Anda di halaman 1dari 12

JOURNAL READING

PARESTESIA

1. JESSICA EVELYN KOSASIH 20170720124


2. JESSICA VELISIA 20170720125
3. KANDARANI THOMSEN ADI 20170720126
4. KORNELIUS M.F. NABEN 20170720127
5. KYAGUS BADIUS SANI 20170720128
6. LOUYS MAY FERNANDO 20170720129
7. LUSI SUSANTI 20170720130
8. MAYA ADISTI GUNAWAN 20170720131
9. MUHAMMAD FIRDAN RESALDI 20170720132

PROFESI KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2019
PARESTESIA

1.1 Definisi (Handoyo B, 2009)

Parestesi didefinisikan sebagai suatu fenomena sensorik berupa kebas, rasa terbakar dari
kulit tanpa adanya stimulus yang jelas dan salah satu manifestasi klinis adanya sensasi yang tidak
normal, hal ini terjadi akibat adanya perubahan sensasi pada sistem saraf perifer, dapat bersifat
sementara atau menetap. Parestesi disebabkan oleh cedera saraf yang dapat mengenai N alveolaris
inferior, N lingualis, N bukalis, N milohyoideus dan N mentalis. Cabang – cabang saraf tersebut
mempunyai fungsi sensoris. Pada suatu waktu, pasien merasa kebas (beku) selama beberapa jam
setelah pemberian anestesi lokal, yang terjadi pada bagian – bagian wajah tertentu seperti bibir,
gusi, ujung lidah atau dagu. Hal ini tidak menjadi masalah, namun ketika parestesia tetap ada
selama beberapa hari, minggu bahkan bulan, akan menjadi masalah.

1.2 Etiologi (Handoyo B, 2009)

1.2.1 Trauma pada saraf


 Penyebab timbulnya parestesi secara umum adalah karena trauma yang
mengenai saraf. Injeksi larutan anestesi lokal yang terkontaminasi alcohol atau
larutan sterilisasi, menimbulkan edema dan peningkatan tekanan pada region
saraf, mengakibatkan parestesi. Selain itu faktor variasi letak dari molar tiga
rahang bawah terhadap kanalis mandibula juga dapat menyebabkan parestesi.
Bahan – bahan kontaminan, terutama alcohol, bersifat neurolitik dan dapat
menghasilkan trauma jangka panjang terhadap saraf (parestesi bisa
berlangsung selama beberapa bulan atau tahun).
 Trauma pada selebung saraf dapat dihasilkan oleh jarum sewaktu injeksi
dilakukan. Pasien melaporkan adanya sensai kejutan listrik selama distribusi
pada saraf yang terlibat. Trauma seperti ini paling sering berhubungan dengan
ekstraksi, terutama apabila anatomi gigi dan posisi N. Alveolaris inferior sangat
dekat oleh akar gigi posterior mandibula
 Penyebab lain terjadinya parestesi dapat disebabkan perdarahan kedalam atau
disekitar selubung saraf. Adanya perdarahan dapat meningkatkan tekanan pada
saraf, sehingga menimbulkan parestesi. Hal – hal lain dapat disebabkan karena:
1. Insisi yang luas sampai ke formaen mentalis dan vestibulum lingualis
2. Pembuangan tulang dengan bur tanpa adanya irigasi menyebabkan sensasi
panas berlebih oleh saraf yang dekat dengan tulang
3. Akar gigi molar ketiga bawah yang menembus kanalis mandibularis
4. Tekanan yang berlebihan pada jaringan lunak yang dijahit terlalu kencang
1.2.2 Akibat perawatan ortodonti
Hal ini terjadi pada kasus maloklusi klas III dimana akar distal molar dua
kiri bawah letaknya dekat atau kontak dengan kanalis mandibula
1.2.3 Akibat perawatan saluran akar
Parestesia dapat berasal dari bedah periapkial, over instrument, iritasi dari
obat – obatan saluran akar, pengisian bahan saluran akar yang berlebih.
1.2.4 Kerusakan sistem saraf pusat atau perifer
Hal ini disebabkan karena adanya gangguan atau kerusakan metabolism
seperti pada diabetes mellitus, hipotiroid, kekurangan vitamin B12.

1.3 Patofisiologi (Handoyo B, 2009)

Kerusakan saraf dan gejala klinis secara fisiologis menurut Seddon dan Sunderlan
d kerusakan saraf dapat di bagi kedalam tiga kelompok besar yaitu:

1. Neuropraksia
Kerusakan saraf tanpa kehilangan kontinuitas akson. Dalam hal ini terdapat
gangguan penghantaran impuls yang bersifat sementara. Prognosanya baik, karena p
erbaikan fungsi sensoris terjadi secara spontan, cepat dan sempurna. Perbaikan palin
g lambat berlangsung selama 4 minggu. Kerusakan saraf ini terjadi akibat gangguan
pada selubung mielin sedangkan akson tidakrusak. Penyebabnya dapat berupa tekan
an tumpul, peradangan disekeliling saraf atau jaringangranulasi.
2. Aksonotmesis
Kerusakan saraf yang cukup berat, dimana terjadi kehilangan kontinuitas a
kson tetapi selubung endonerium tetap utuh. Sehingga diperlukan regenerasi akson d
alam proses perbaikannya. Proses perbaikan biasanya berlangsung cukup lama dapa
t terjadi 2 sampai 6 bulan, tetapi fungsi sensoris dapat kembali secara sempurna. Ke
adaan ini dapat disebabkan oleh kompresi yang panjang atau adanya iskemi lokal ya
ng mengganggu mielin dan akson.
3. Neurotmesis
Kerusakan saraf yang parah dimana semua susunan dan struktur saraf terpu
tus. Penyembuhan dapat berlangsung lama hingga 2 tahun, bahkan kehilangan sensa
si biasanya bersifat menetap. Keadaan ini biasanya disebabkan trauma benda tajam.
Proses perbaikan pada pembuluh saraf perifer mempunyai harapan besar u
ntuk mengadakan regenerasi, bila kedua ujung saraf yang terpotong berdekatan dan
tidak ada penghalang serta tidak terjadi infeksi. Secara klinis dan elektromiografi re
generasi spontan akson dan mielin tidak mungkin terjadi pada kerusakan neurotmesi
s. Sehingga diperlukan intervensi bedah untuk penyembuhannya.
Proses degenerasi dan regenerasi saraf yang cedera merupakan aktifitas ga
bungan dari perineurium, endoneurium, akson, mielin serta proliferasi sel-sel schwa
n. Sel-sel schwan mempunyai peranan penting dalam proses multiplikasi dan migras
i yang dibantu oleh sel-sel fibroblas dari endoneurium sehingga terbentuk serat yang
kuat untuk membentuk jembatan sebagai penghubung antar kedua ujung saraf yang
terputus.
Mekanisme terjadinya parestesia sebagai respon terhadap kerusakan saraf p
erifer dapat dijelaskan melalui proses Wallerian degeneration bahwa kerusakan anat
omi saraf menyebabkan kelainan sensasi, sentuhan ringan saja dapat menimbulkan k
elainan sensasi.
Pada sistem saraf perifer, jika terjadi kerusakan maka ujung akson pada sis
i distal akan mengalami degenerasi. Makrofag akan bermigrasi untuk melaksanakan
fungsi fagositosis terhadap debris maupun benda-benda asing di daerah kerusakan. S
el-sel Schwan tidak berdegenerasi tetapi berproliferasi dan berubah membentuk sel
yang solid menyerupai bentuk sel yang asli seperti sel-sel schwan pada akson bagia
n proksimal. Kemudian akson distal sebagai akson baru yang dibungkus oleh sel-sel
Schwan, akan masuk dan bersatu dengan akson proksimal. Jika pembentukan berlan
gsung terus secara normal maka akan terbentuk akson baru yang akan menghubung
kannya dengan sinaps. Dengan terbentuknya kembali selubung akson maka peristiw
a penghanteran impuls akan kembali normal. Selama fase regenerasi didaerah kerus
akan maka peristiwa penghantaran impuls tidak sebaik sebagaimana mestinya.
Kelainan sensasi pada daerah penyembuhan jaringan yang teriritasi kronis
oleh karena adanya kontak jaringan saraf baru dengan jaringan saraf semula disekita
rnya, dapat menyebabkan penghentian penghantaran impuls saraf secara spontan sel
ama fase regenerasi saraf. Jembatan saraf yang dihasilkan oleh fase regenerasi saraf
biasanya tidak sama dalam hal bentuk dan ukuran semula sehingga sifat dan kemam
puan jaringan saraf yang baru dalam penghantaran impuls jadi berubah. Disamping i
tu daya regenerasi dari pembuluh saraf tergantung atas sifat gen dan umur individu.
Pada individu yang lebih tua respon badan sel biasanya lebih lambat dari yang muda
.

1.4 Pembahasan Jurnal

1.4.1 Jurnal 1 - Assesment of Nerve Injuries After Surgical Removal of Mandibular


Third Molar: Prospective Study

a. Metodologi
Jurnal ini mengambil data berasal dari 147 pasien yang datang ke
Departemen Bedah Oral dan Maxillofacial Swargiya Dadasaheb Kalmegh
Smurti Dental College & Hospital, Nagpur, yang melakukan ekstraksi bedah
pada impaksi molar tiga rahang bawah. Prediksi variabel preoperative diambil
dari nama, umur, jenis kelamin, and tipe impaksinya. Postoperativenya
assesmennya dilakukan 1 minggu setelah odontektomi dan pada saat
pengambilan jahitan untuk melihat parestesia/anestesia dengan menanyakan
tentang lidah, dagu, dan sensitifitas bibir dengan melakukan tes neurosensori
seperti 2-point discrimination, pinprick dan tekanan ringan. Pasien dengan
gangguan neurosensori dievaluasi selama 6 bulan.
. Pada saat pasien melakukan visit post operative, setiap pasien ditanya
kan secara spesifik mengenai apakah ada perbedaan pada bibir bawah dan dag
u di bagian yang dioperasi dan yang tidak dioperasi. Pasien juga ditanyakan te
ntang apakah ada kejadian bibir secara tidak sengaja dan tiba – tiba, air liur m
engalir di dagu, dan sensasi terbakar, sakit, ataupun kesemutan.

Test yang dilakukan adalah yang pertama, 2 point Discrimination Test (


TPD) menggunakan probe yang ditarik sepanjang permukaan kulit atau muko
sa pada 2 titik dengan tekanan yang konstan dan pasien ditanyakan apakah ter
asa hanya 1 atau 2 titik. Kedua, pin prick test (PP) menggunakan dental probe
yang tajam diaplikasikan pada permukaan kulit dengan gerakan menusuk yan
g cepat pada beberapa area. Pada setiap area dilakukan gerakan menusuk seba
nyak 3 kali bilateral dan pasien ditanyakan apakah ada perbedaan pada setiap
area (lidah, mukosa, bibir, dan kulit pada dagu). Ketiga, Light Touch Assesme
nt (LT) menggunakan sentuhan ringan cotton stick di area kulit dan pasien die
valuasi.

b. Hasil :
Dari 147 pasien, 95 adalah laki - laki dan 52 perempuan. Batasan umur
pasien mulai dari 15 sampai 57 tahun dengan rata - rata 26,3 tahun. Dari itu
semua, 62 (42,1%) pasien dengan tipe impaksi mesioangular, 37 (25,1%) tipe
impaksi horizontal, 36 (24,4%) tipe impaksi vertikal, 10 (6,8%) tipe impaksi
distoangular, 1 (0,68%) tipe impaksi linguoversi.
Parestesia pada nervus lingual hanya ditemukan pada 2 pasien saja
(1,36%) dari 147 kasus dan tipe impaksinya adalah horizontal kelas 2, posisi C
dan distoangular kelas 2, posisi A. Parestesia pada nervus inferior alveolar
ditemukan pada 1 pasien (0,86%) yang tipe impaksinya mesioangular kelas 2.
1.4.2 Jurnal 2 - Transient Paresthesia after Surgical Removal of Embedded
Supernumerary Tooth

a. Metodologi :

Pasien laki - laki berumur 19 tahun datang ke Universitas SEGI oral


health center fakultas kedokteran gigi pada bulan November 2014. Pasien
mengeluhkan adanya rasa sakit yang sangat mengganggu pada bagian
mandibular bawah kanan gigi premolar. Pada pemeriksaan klinis ditemukan
ruang pulpa pada gigi premolar kedua bawah terbuka akibat gigi tersebut
tambalannya sudah rusak. Pasien dirujuk ke endodontist untuk dilakukan
perawatan saluran akar. Setelah menjalani foto radiografi periapikal secara
rutin pada perawatan saluran akar ditemukan pada bagian apikal premolar
kedua rahang bawah kanan dan molar pertama rahang bawah kanan terdapat
gigi yang supernumerary / gigi yang berlebih. Setelah itu pasien di rujuk ke
ahli bedah mulut pasa SEGi oral health center. Pasien tersebut dievaluasi
menggunakan orthopantomograph (OPG)

Setelah itu ahli bedah dan endodontist menetapkan beberapa rencana


perawatan secara bersama - sama. Tahap pertama perawatan dilakukan
perawatan saluran akar pada gigi premolar 2 rahang bawah kanan dengan
restorasi amalgam. Pada visit kedua dilakukan apicoectomy dengan retrograde
filling dan pengambilan dengan cara bedah pada gigi supernumerary. Pada hari
operasi pengambilan tersebut diberikan 1gr amoxicilin, 200gr metronidazole,
dan 500mg asam mefenamat secara oral satu jam sebelum operasi untuk
mencegah infeksi postoperative dan mengurangi rasa sakit setelah operasi.

b. Hasil :
1. Post operative Hari-1 (POD 1)
Pasien merasa kebas pada bagian kanan dagu dan bagian kanan dari
kulit bawah bibir. Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit sistemik, tidak
ada medical history apapun, dan tidak ada alergi. Pemeriksaan klinis ekstra
oral menunjukkan tidak ada pembengkakan atau limfadenopati di daerah
tersebut. Pemeriksaan klinis intra oral menunjukkan area insisi tersebut
tidak ada tanda - tanda infeksi ataupun inflamasi.

Pasien dievaluasi secara radiografi dengan OPG dan menunjukkan


adanya gambaran soket pada gigi supernumerary yang dekat dengan
foramen mentale. Selain itu, atap kanal nervus inferior terlihat terputus.
Pasien diinformasikan dengan keadaan tersebut yang menyebabkan adanya
rasa kebas pada bagian tersebut dan menunggu sampai kondisi nya
membaik
2. Post operative Hari-7
Pasien merasa sensasi tersebut kembali normal dan menyebar ke
kulit dan mukosa bibir, mulai dari proksimal hingga ke bagian tengah.
Setelah 6 bulan dari hari operasi tersebut pasien merasa lebih nyaman dari
visit yang terakhir dengan tidak ada keluhan maupun gejala dari parestesia
nervus mentale sebelumnya. Selain itu pada radiografi menunjukkan
adanya regenerasi tulang.

1.5 Terapi Parestesia

Dalam kebanyakan kasus, parastesia pada pasien akan sembuh sendiri dari waktu
ke waktu, dengan jarak waktu dari beberapa hari, bulan hingga lebih setahun. Dalam
beberapa kasus, terdapat pasien yang mengalami kehilangan sensoris sebagian maupun
sepenuhnya, yang bersifat permanen.

1.5.1 Perawatan pada Parestesia Permanen


 Testing dan Mapping- Menetapkan dasar sebagai pembanding
Aspek penting dalam mengelola dan merawat parastesia pasien meliputi
pendokumentasian jenis, tingkat dan meluasnya efek yang telah disadari.
 Obat-obatan
Obat anti inflamasi: penggunaan obat ini mengkontrol reaksi inflamasi yang
terjadi pada saraf yang injured/cedera yang cenderung dapat menghambat
pemulihannya (pembengkakan jaringan saraf, gangguan saraf yang melibatkan
mikrosirkulasi)

Adrenokortikosteroid: penggunaan adrenokortikosteroid lebih awal pada


pasien yang mengalami cedera dapat meminimalisir beberapa jenis neuropati pada
saat proses penyembuhan, sehingga dapat memberikan hasil yang lebih baik.

 Surgical repair
Keputusan dalam pembedahan dan penentuan waktunya tergantung pada
sifat perubahan sensorik yang dialami dan dievaluasi kembali oleh dokter bedah
mulut.

DAFTAR PUSTAKA

Handoyo B. 2009. Parestesi Sebagai Salah Satu Komplikasi Dari Anestesi Blok Pada Mandibula.
Skripsi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. H. 17-21

Juodzbalys G, et al. Injury of the Inferior Alveolar Nerve during Implant Placement: a Literature
Review.

Mahdey MH, Wei M. 2016. Transient Paresthesia After Surgical Removal of Embedded
Supernumerary Tooth. iMedPub Journals. Vol.2.1 Availabe from: http://periodontics-
prosthodontics.imedpub.com/transient-paresthesia-after-surgical-removalof-embedded-
supernumerary-tooth.pdf

Meshram VS. 2013. Assessment of Nerve Injuries after Surgical Removal of Third Molar: A
Prospective Study. Hindawi Journal Publishing Corporation. Vol. 2013. Available from:
http://downloads.hindawi.com/archive/2013/291926.pdf

Anda mungkin juga menyukai