Anda di halaman 1dari 8

Respon Imun Dari SLE (Systematic Lupus Erythomatosus)

Bab1
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) digambarkan pertama kali
oleh Cazenave dan Clausit di tahun 1852. SLE adalah penyakit autoimun
dimana imun tubuh menyerang jaringan tubuh sendiri biasanya jaringan
yang diserang seperti kulit, otak, ginjal dan paru-paru. Pada abad 20,
penyakit ini menjadi penyakit yang banyak diderita manusia dan banyak
menyerang wanita pada usia 15-40 dengan rasio wanita dan laki-laki 10:1
(Agustin, 2013).
SLE memiliki etiologi dan patogenesis yang belum jelas, banyak
penelitian yang menyebutkan penyakit ini sebagai penyakit yang
melibatkan banyak faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan, dan
homoral. Terganggunya mekanisme pengaturan imun seperti eliminasi
dari sel-sel yang mengalami apoptosis dan kompleks imun berperan
penting terhadap terjadinya SLE. Hilangnya toleransi imun, banyaknya
antigen, meningkatnya sel Th, terganggunya supresi sel B dan perubahan
respon imun dari Th1 ke Th2 menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan
terbentuknya autoantibodi yang berlebihan (Munoz, 2005).
Pada umumnya penderita lupus terus meningkat tiap tahunnya.
Menurut Yayasan Lupus Indonesa (YLI) menyatakan bahwa jumlah
penderita lupus di Indonesia tahun 2006 sebesar 7.693 jiwa dan tahun
2010 sebesar 10.314 jiwa, hal ini sedikit mengkhawatirkan karena
minimnya pengetahuan baik praktisi dan penderita sendiri terkait gejala
dan terapi dari lupus (Agustin 2007).


b. Tujuan
Menjelaskan mekanisme respon imun SLE dengan berbagai faktor
yang terlibat yaitu genetik, lingkungan, dan hormonal serta mekanisme
terapinya.



















Bab 2
ISI
a. Mekanisme Respon Imun SLE
Mekanisme terjadinya SLE dapat terjadi oleh banyak faktor
sedikitnya 4 faktor yang dapat dikaitkan berdasarkan pendekatan etiologi,
patofisiologi serta immunologi, faktor tersebut diantaranya faktor genetik,
faktor lingkungan, faktor regulasi epigenetik dan ekspresi gen serta faktor
immunitas selular (George, 2011).
1) Faktor Genetik
Faktor genetik memberikan suatu kecenderungan bahwa SLE yang
jarang terjadi memungkinkan disebabkan oleh perubahan suatu gen,
namun yang lebih umum dihasilkan dari efek gabungan dari varian dalam
sejumlah besar gen. Kurangnya kompleks gen C4 (suatu protein
komplemen) telah terkait dengan penghilangan penurunan sel B self-
reaktif (seleksi negatif ).
Selain itu banyak polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) yang
berhubungan dengan SLE berada dalam daerah noncoding DNA dari
respon kekebalan terkait genes. Beberapa gen telah dikaitkan dengan
beberapa penyakit autoimun (misalnya, STAT4 dan PTPN22 yang
dikaitkan dengan arthritis dan diabetes). SNP tertentu terkait dengan SLE
telah diidentifikasi untuk gen yang produknya dapat berkontribusi untuk
fungsi sel T abnormal pada SLE (CD3 - 9 dan PP2Ac10). Sebuah studi
replikasi baru-baru ini menkonfirmasikan beberapa keterkaitan yang
mengidentifikasi TNIP1, PRDM1, JAZF1, UHRF1BP1, dan IL10 sebagai
lokus yang berisiko SLE. Meskipun temuan ini menjanjikan, lokus
diidentifikasi sejauh ini hanya dapat menjelaskan sekitar 15/100 dari
heritabilitas SLE (Niederer, 2010). Selain itu, jumlah salinan berubah dari
gen tertentu, seperti C4, FCGR3B, dan TLR7 telah dikaitkan dengan
ekspresi penyakit ini (Kelley et al, 2007).

2) Faktor Lingkungan
Faktor cahaya ultraviolet dan merokok telah dikatikan dengan
pengaruhnya terhadap imunitas selular terkait penyakit autoimun SLE. Hal
ini dikaitkan pada pengaruh cahaya dan merokok dalam perkembangan
virus Epstein Barr (EBV) yang dapat meningkatkan resiko SLE karena
ketidakmampuan sel T CD8 untuk mengendalikan sel B yang terkena virus
ini sehingga terjadinya autoimun yang disebabkan sel T CD8 yang diluar
kendali (George, 2011).

3) Faktor Regulasi Epigenetic dan Ekspresi Gen
Aksesibilitas DNA oleh faktor transkripsi gen diatur oleh metilasi
DNA dan modifikasi histon (asetilasi dan metilasi). Regulasi dari beberapa
daerah gen diketahui terlibat dalam patogenesis penyakit ini (ITGAL,
CD40LG, CD70, dan PPP2CA) telah dilaporkan dapat menekan ekpresi
SLE. Perubahan pada protein histon karena deasetilasi menyebabkan
ekspresi regulasi gen tersebut yang meningkatkan risiko ekspresi SLE
(Tenbrock et al, 2006).

4) Faktor Imunitas Selular
Pensinyalan yang berlebihan dilakukan oleh sel T dan sel B
ditemukan pada pasien SLE kondisi ini disebabkan perubahan fungsional
dan tempat dimana rantai CD3- digantikan fungsinya oleh rantai FcR-
pada sel T yang terikat pada spleen tyrosine kinase dan dapat
meningkatkan ikatan antigen atau autoantigen. Agregasi dari lemak
transport dan kolesterol pada jaringan epitel juga menyebabkan
abnormalnya pensinyalan yang meningkatkan ekspresi dari SLE. CD44
suatu kemokin yang bertugas menghantarkan sel Th aktif ke daerah infeksi
mengalami over ekspresi pada pasien SLE hal ini disebabkan fosforilasi
oleh Rho Kinase pada CD44. Meningkatnya jumlah kalsium/kalmodulin
yang kemudian menjadi CaMK4 (calmodulin dependent protein kinase)
bergerak menuju nukleus, molekul ini berperan dalam transkripsi IL-2
yang diperantai faktor transkripsi CREM-. Namun pada pasien SLE
mekanisme ini ditekan dimana CREM- seperti kehilangan
kemampuannya untuk menghasilkan IL-2. Kekurangan IL-2
mengakibatkan aktivitas sel T sitotoksik menjadi rendah, meningkatkan
risiko infeksi, meningkatkan mekanisme kematian sel, dan menigkatkan
autorekatif dari sel T pada pasien SLE. Pada SLE pun ditemukan
peningkatan dari produksi IL-17 yang berperan utama dalam pengaktifan
sel T dalam membunuh jamur dan terjadi peningkatan pada CD4+ serta
CD8-, namun kekurangan CD8+ di dalam darah (Gambar 1). Hal ini yang
menyebabkan terjadinya pembunuhan oleh autoantibodi terhadap jaringan
kulit, darah, phospolipid, ginjal hingga terjadinya mekanisme pembunuhan
total sel otak, hal ini yang membuat pasien SLE yang menderita sejak
lama dan tidak terbantu dengan peran medis dapat menyebabkan kematian
(George, 2011).
Pada pasien SLE pun ditemukan peningkatan IL-10 yang menekan
produksi Th1 dan meningkatkan produksi Th2. Hal ini menyebabkan
rendahnya cell mediated immunity karena fungsi Th1 ditekan, dan
meningkatkan reaktivitas sel plasma (sel B aktif) untuk menghasilkan
antibodi yang merupakan fungsi dari sel Th2. Mekanisme autoantibodi ini
dalam merusak jaringan terdapat 3 cara yaitu pertama kompleks imun
(misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan
mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua,
autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang
terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi
kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi
menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang
berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan
berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi
belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan.



Gambar 1. Pengalihan fungsi dari CD3 oleh FcR- yang terikat dengan spleen tyrosin
kinase yang berperan dalam penyampaian sinyal terikatnya antigen oleh limfosit (panel
A) agregasi lipid karena kolesterol menumpuk pada permukaan membuat abnormalnya
pensinyalan ikatan antigen(Panel B dan C) dan fosforilasi CD44 oleh ROCK yang
menyebabkan over ekspresi berlangsung lama(George, 2011).
b. Mekanisme Obat dan Terapi
1. Terapi farmakologi
Pasien SLE efektif diterapi dengan NSAID, antimalaria, dan
pemberian antibodi monoklonal. Penggunaan NSAID terbukti efektif
dengan menginhibisi COX akan mengurangi inflamasi karena kerusakan
jaringan yang ditimbulkan oleh SLE ini. Penggunaan antimalaria dapat
mengurangi produksi dari antibodi ini dengan bekerja pada Toll-Like
Receptor (TLR) serta dapat mengurangi reaktivitas dari sel T dan
mengurangi pelepasan sitokin TNF- dan IL-1. Penggunaan antibodi
monoklonal juga terbukti efektif pada penderita SLE yang bersifat halus
dan moderat, contohnya adalah belimumab yang baru-baru ini diteliti
dengan menghambat aktifitas B-lymphosit stimulator (BlyS). BlyS ini
berperan aktif dalam differensiasi sel B naife menjadi sel plasma setelah
dapat respon dari sel T. Pengurangan level Blys dipercaya dapat
mengurangi produksi sel plasma yang mengeluarkan antibodi secara
berlebih. (Davidson, 2010).
2. Terapi non farmakologi
Pasien SLE hindari dari merokok, terkena sinar UV langsung,
hindari obat-obatan yang dapat mengakibatkan SLE seperti fenitoin, dan
perbanyak memakan ikan karena omega 3 dan omega 6 terbukti dapat
mengurangi penyakit autoimmuniti (George, 2011)
Bab III. Penutup
SLE merupakan penyakit autoantibody yang menyerang jaringan
sendiri karena over ekspresi dari sel-sel limfosit. Hal ini diperantai dari
sitokin, kemokin, dan banyak faktor yang mendorong penyakit ini. Terapi
SLE dapat menggunakan NSAID, immunosupressan, dan antibody
monoklonal atau dengan terapi non farmakologi seperti menghindari
merokok.








Daftar Pustaka
Agustin W dan Endang R. 2013. Kesejahteraan Psikologis pada Orang
dengan Lupus (Odapus) Wanita Usia Dewasa Awal Berstatus
Menikah. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. 02; 01-02.

Davidson A. 2011. Targeting BAFF in autoimmunity. Curr Opin
Immunol.22:732-9.

George C. Tsokos, M.D. 2011. Mechanisms of Disease of Systhematic
Lupus Erythematosus. England Journal Medical. 365:2110-21.

Kelley J, Johnson MR, Alaron GS,Kimberly RP, Edberg JC. 2007.
Variation in the relative copy number of the TLR7 gene in patients with
systemic lupus erythematosus and healthy control subjects. Arthritis
Rheum. 56:3375-8.

Munoz LE, Gaipl US, Franz S, Sheriff A, Voll RE, Kalden JR, Herrmann
M. 2005. SLE-a disease of clearance deficiency Rheumatology.
Rheumatology Oxford (England) 44:1101-07.

Niederer HA, Clatworthy MR, Willcocks LC, Smith KG. 2010.
FcgammaRIIE, FcgammaRIIIB, and systemic lupus erythematosus.
Ann N Y Acad Sci.1183:69-88.

Tenbrock K, Juang YT, Leukert N, Roth J, Tsokos GC. 2006. The
transcriptional repressor cAMP response element modulator alpha
interacts with histone deacetylase 1 to repress promoter activity. J
Immunol;177:6159-64.

Anda mungkin juga menyukai