Tuberkulosis primer terjadi pada individu yang terpapar pertama kali dengan
kuman tuberkulosis, sedangkan tuberkulosis paru kronik (reaktivasi atau pasca
primer) adalah hasil aktifasi infeksi tuberkulosis pada suatu fokus dorman yang
terjadi beberapa tahun lalu. 2,3
Ketika mikobakteria dapat mencapai paru-paru, terdapat empat kemungkinan
yang akan terjadi, yaitu: 1) respon imun awal penjamu dapat mematikan mikobakteria
secara efektif; 2) Mikobakteria cepat tumbuh dan bermultiplikasi yang akan
menimbulkan manifestasi klinis (TB primer); 3) Mikobakteria menjadi dormant dan
tidak pernah menimbulkan penyakit (infeksi laten); 4) Mikobakteria laten akan
tumbuh menibulkan manifestasi klinis (TB reaktifasi)2,4
oksida dan membunuh bakteri dan dibutuhkan untuk pembentukan granuloma untuk
mengatasi infeksi mikrobakteri. Selain itu TNF dapat menyebabkan efek patogenesis
seperti demam, turunnya berat badan dan nekrosis haringan yang merupakan ciri khas
tuberkulosis (5,11) . Pada pasien tuberkulosis TNF juga berperan untuk meningkatkan
kerentanan sel T melakukan apoptosis baik secara spontan maupun oleh stimulasi M.
Tuberculosis secara in vitro. IL~10 menghambat produksi sitokinin oleh monosit dan
limfosit sedangkan TGF menekan proliferasi sel T dan menghambat fungsi efektor
makrofag 3,30.
Karbohidrat dan komponen glikolipid pada dinding sel mikrobakteri sama
fungsinya dengan protein yang disekresikan yaitu akan meningkatkan efek
imunosupresi makrofag pada pasien tuberkulosis Lipoarabinomanan, suatu komplek
heteropolisakarida yang terletak pada membran sel mikrobakteri akan menekan
respons proliferasi terhadap M. Tuberculosis melalui rangsangan terhadap makrofag
untuk melepaskan sitokin imunosupresif seperti IL~10. Lipoarabinomanan akan
menghambat aktivitas makrofag oleh IFN dan akan mengambil radikal bebas
oksigen serta menghambat kerusakan oleh patogen intra seluler. Dengan menghindari
aktivasi makrofag, lipoarbinomanan yang berasal dan strain M. Tuberculosis virulen
berperan sebagai faktor yang menyebabkan organisme lolos dari mekanisme
eliminasi sitokin. 3,11,30
RESPON SEL LIMFOSIT T
Limfosit T merupakan mediator obligat kekebalan, mereka tidak bekerja
sendiri tapi harus berinteraksi dengan sel-sel imun respon lainnya untuk mencapai
resistensi yang optimal.1,4 Semua populasi sel T (CD4 /, CD8 / dan sel /)
berperan dalam proteksi. Sel T yang mengekspresikan reseptor /,95% lebih terdiri
dari sel T post timus terdapat pada organ perifer dan darah. Sebaliknya sel T /
hanya sedikit terdapat pada darah tersebut, tetapi lebiha banyak terdapat pada
jaringan mukosa paru-paru. Bukti bahwa sel T / sangat diperlukan untuk resistensi
patogen intra seluler melalui produksi interferon, sedangkan sel Th2 akan
memperburuk penyakit melalui IL-4.2
Data yang telah dipublikasikan menunjukan bahwa jenis sitokin yang
diproduksi sebagai respons terhadap M. Tuberculosis masih diperdebatkan. Beberapa
studi menunjukan bahwa klon sel T CD4+ yang reaktif terhadap M.tuberculosis
adalah Th1 yang menghasilkan IFN dalam konsetrasi tinggi dan IL-4 dan II-5 dalam
konsentrasi rendah. Penelitian lain menunjukan bahwa klon sel T yang reaktif
terhadap M. Tuberculosis akan menghasilkan IFN dan IL-4 atau IFN , IL-2 , IL-5
dan IL-10, Studi terakhir melaporkan beberapa klon akan mngekspresikan mRNA
terhadap IL-4 ,meskipun IL-4 tidak terdeteksi pada supernatan kultur sel.
Meskipun beberapa penelitian menitik-beratkan pada fungsi sel T CD4+ yang
berperan sebagai antimikobakteri melalui produksi sitokin dan aktivasi makrofag,
mekanisme lain dan sel T pada sel pertahanan tubuh adalah melalui sitolisis langsung
oleh makrofag dan sel fagosit yang terinfeksi M. Tuberculosis . Kultur sel T sitolik
yang spesifik terhadap M.tuberculosis secara in vitro adalah sel T CD4+ dan aktivitas
sel tersebut pada lokasi penyakit meningkat dibandingkan pada sel darah tepi.
Beberapa
makrofag
yang
terinfeksi
M.tuberculosis
mempunyai
potensi
antimikrobakteri yang rendah sehingga basil terhindar dari system imun hospes. Sel T
sitolitik yang mengenal antigen mikrobakteri dapat melisiskan makrofag tersebut
sehingga basil yang dilepaskan akan dimakan dan dibunuh oleh makrofag dengan
aktivitas mikrobakteri yang lebih tinggi. Selain itu sel T sitolik dapat berperan
sebagai scanvenger dengan melisiskan makrofag yang mati sehingga dapat
dikatabolis oleh sel mononuclear di sekitarnya.4
2) SEL LIMFOSIT T CD8+
Sel T CD8+ merupakan populasi sel T sitolik yang mempunyai fungsi
pertahanan terhadap pathogen intraseluler pada binatang percobaan. Tidak seperti sel
CD4+, sel T CD8+ tidak menghasilkan IL-2 tetapi lebih bergantung pada sumber
eksogen. Peran sel T CD8+ dapat dibuktikan dengan percobaan bahwa deplesi sel T
CD8+ akan memperburuk infeksi M.tuberculosis dan BCG pada tikus, dan transfer
sel T CD8+ yang selektif akan melindungi terhadap tuberculosis. Penelitian lain
menggunakan tikus mutan dengan delesi sel gen 2-MHC kelas I sehingga sel T
CD8+ tidak berfungsi secara aktif, maka tikus akan mati dengan cepat karena infeksi
M.tuberculosis tetapi tidak dengan infeksi BCG.2,4 Namun sel T CD8+ jarang
diidentifikasikan pada tuberculosis manusia. Sel T CD8+ tidak terkonsentrasi secara
selektif pada lokasi penyakit (site of disease) pada pasien tuberculosis dan parahnya
tuberculosis pada pasien HIV tidak terpengaruhi oleh jumlah sel T CD8+. Sebaliknya
tidak ada korelasi antara tes tuberculin
tuberculosis dapat disebabkan oleh karena tes tuberculin tidak dapat digunakan untuk
mengetahui aktivitas sel T CD8 sitotoksik.
Berbagai studi in vitro menunjukkan bahwa sel T CD4+ yang reaktif terhadap
mikobakterium sangat potensial menghasilkan IFN . Namun IFN juga dihasilkan
oleh sel T CD8+ yang spesifik terhadap mikobakterium . Sitokin merupakan mediator
utama resistensi tuberculosis. Sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang reaktif
mikobakterium juga mengekspresikan aktifitas sitolik yang spesifik yaitu; dapat
melisiskan makrofag yang telah disensitisasi antigen mikobakterial atau terinfeksi
BCG atau M.tuberculosis. Kedua fungsi tesebut dapat ditunjukkan secara in vitro
tetapi juga proteksi secara in vitro. 4
3) SEL LIMFOSIT T/
Beberapa bukti menunjukkan bahwa sel T /berperan pada respon imunitas
awal terhadap infeksi M. tuberculosis. Selain sel T /, sel lain juga menghasilkan
IFN dan mengekspresikan aktivitas sitolitik yang berperan pada resistensi. Sel NK
maupun sel T / menghasilkan IFN dan melisiskan sel target yang tersensitisasi
mikobakterium. M. tuberculosis relatif resisten terhadap makrofag. Keberadaan M
tuberculosis pada individu sehat selama beberapa tahun tanpa menyebabkan penyakit
menunjukkan bawa sistem imun gagal menghilangkan patogen tersebut dan harus
mengandalkan efek mikobakteri-sidal dan penghambatan pertumbuhan mikobakteri
Sel limfosit T / pada orang dengan tes tuberkulin negatif dan pada bayi baru lahir
akan berproliferasi sebagai respon terhadap M. tuberculosis. Berdasarkan penelitian
menunjukkan bahwa frekuensi sel T / yang reaktif terhadap M. tuberculosis
berkisar antara 5-40%. Hal ini menunjukkan bahwa sel T /pada manusia
mempunyai kapasitas untuk mengenal antigen mikobakteri. Rechallenge atau infeksi
ulang dengan M. tuber-culosis tidak meningkatkan jumlah sel T /, hal ini
menunjukkan bahwa sel tersebut tidak berperan pada respon anamnese. Persentase sel
T / tidak mengalami peningkatan dalam darah orang sehat maupun pasien
tuberkulosis. Sel T / berperan pada respon imunitas awal yaitu pada paru-paru dan
limfo nodi pasien yang baru terinfeksi M. tuberculosis, sebelum terbentuk respon sel
T /. Sel T / yang reaktif terhadap M. tuber-culosis akan menghasilkan IFN , TNF,
IL-2,IL-4, IL-5 dan IL-10 sama dengan sitokin yang dihasilkan oleh sel T /. Selain
itu supernatan dari sel T / yang dirangsang oleh M. tuberculosis akan meningkatkan
agregasi makrofag dan selanjutnya berperan pada pembentukan granuloma.4
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT
Reaksi hipersensitivitas tipe lambat (delayed type hyper-sensitivity) adalah
reaksi yang tidak melibatkan antibodi tetapi melibatkan sel-sel limfosit. Pemindahan
hipersensitivitas ini dapat dilakukan dengan memindahkan limfosit T. Reaksi tipe IV
juga disebut reaksi tipe lambat karena timbul lebih dari 12 jam setelah pemaparan
antigen.
Respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap M tuber-culosis dapat dilakukan
dengan tes kulit tuberkulin yaitu suntikan intradermal dengan PPD (Purified Protein
Derivatif). Reaksi tuberkulin mencapai puncaknya 48-72 jam setelah pemaparan.
Reaksi ini dapat diikuti dengan reaksi yang lebih lambat yang ditandai dengan
DAFTAR PUSTAKA
1. Crevel RV.Ottenhoff TH, Meer JW. Innate immunity to mycobacterium
tuberculosis.Clin microbiol Rev 2002; 15 (2) : 294-309
2.
Y,Nakata
K,Weiden
M,Rom
WN.Mycobacterium
tuberculosis
11. Ferguson JS, Voelker DR, McCormack FX, Schlesinger LS. Surfactant
Protein D binds to Mycobacterium tuberculosis bacili and lipoarabinomannan
via Carbohydate-lectin interactions resulting in reduced phagocytosis of
bacteria by macrophages. J Immunol 1999; 163 : 312-21
12. Bermudez LE, Goodman J. Mycobacterium tuberculosis invades and
Replicates within type II alveolar cells. Infect immun 1996; 64(4) 1400-6
13. Nigou J, Zelle-Rieser C, Gilleron M, Thurner M, Puzo G. Mannosylated
Lipoarabinoannans inhibit IL-12 production by dendritic cells: evidence
For negative signal delivered through the annose receptor. J immunol 2001 ;
166: 7477-85
14. Hel z, McGhee JR, Mestecky J.HIV infection: first battle decides the war
Trends immunol 2006 ;27:274-81
15. Tiemessen CT,Kuhn L. Immune pathogenesis of pediatric HI-V-1 infection.
Curr HIV/AIDS Rep. 2006;3:13-9
16. Jefferys R. Immune activation in HIV infection. More than just markers.
TAGline 2007;13:12
17. Wodarz D, Levy DN. Human immunodeficiency virus evolution towards
reduced replicative fitness in vivo and the development of AIDS. Proc
R Soc B 2007;27:2481-90
18. Gray CM, Walker B. The immune response to HIV. Dalam: Volberding PA,
Sande ME, Lange J, Greene WC , Galant J, penyunting. Global HIV/AIDS
Medicine. Philadelphia: Saunders Elsevier 2008 hal 39-50.
19. Johns-Lopez EC, Cennino JD, Ellner JJ. HIV-associated Tuberculosis.
Dalam: Volberding
9
21. Sattentau Q. HIVs gut feeling. Nat Immunol 2008;9:225-7 N.
22. Abbas AK, Lichtman AH, Phillai S. Cellular and molecular immunology.
Edisi ke 6. Philadelphia Elsevier Saunders, 2007.
23. LaRosa FD, Orange JS. Lymphocytes. J Allergy Clin Immunol 121,2.
2008;364-368.
24.