Back
person
by fannykinasih
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. Sv
Usia : 36 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Anak ke : 1 dari 4 bersaudara
Agama : Islam
Pendidikan : D3
Suku : Serawai
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Jl. xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx Bengkulu
No RM : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Tanggal Pemeriksaan : 07/2/2015 pukul 10.00 WIB
Genogram
Keterangan :
Pasien
Laki- laki
Perempuan
Menikah
Meninggal
F. Situasi Kehidupan Sekarang
Pasien sekarang tinggal dengan adik bungsu pasien yang laki- laki dirumah ayahnya di
Panorama. Sebelumnya pasien tinggal bertiga dengan adik bungsu dan ayahnya, kemudian
ayahnya 3 bulan yang lalu pindah ke rumah yang baru bersama istri dan anak tirinya. Lingkungan
tempat tinggal pasien terkesan baik, pasien tinggal di daerah perumnas yang saling berdekatan
rumahnya dengan tetangga, dan hubungan keluarga dengan tetangga pasien baik. Rumah Sakit
Umum berada kira-kira 5 kilometer dari rumah pasien. Saat ini pasien tidak bekerja dan setiap
hari melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci, menyapu, memasak dan membersihkan
rumah. Dalam biaya pengobatan pasien masih umum dan belum menggunakan BPJS, sehingga
dikenai biaya yang pasien dapatkan dari adiknya. Hubungan pasien dengan kedua adik dan
ayahnya cukup baik, ayahnya juga rutin mengunjungi pasien 2 kali dalam seminggu. Keluarga
pasien cukup terrbuka dan mendukung kesembuhan pasien dengan berkomitmen untuk
mengingatkan pasien untuk rutin minum obat hingga kontrol bila obat habis.
G. Persepsi Pasien Terhadap Dirinya dan Lingkungannya
Pasien terkadang sadar bahwa dirinya sakit dan perlu pengobatan sehingga ia pergi ke Poli RSJ
untuk meminta obat penenang supaya bisa tenang dan tidur dengan nyenyak. Tetapi saat
diulang pertanyaannya mengenai dirinya, pasien mengatakan bahwa dirinya tidak sakit, pasien
berkata bahwa dulu ia stres karena suara- suara yang mengganggunya sehingga ia tidak bisa
jadi PNS, sekarang ia hanya ingin obat. Pasien berobat atas kemauan sendiri dan berkomitmen
minum obat sesuai anjuran dokter dan bila obat habis pasien ingin kontrol secara suka rela.
2. Kesadaran
Kompos mentis, secara kualitas berubah
3. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Keadaan pasien tenang. Pasien tidak memperlihatkan gerak-gerik yang tidak bertujuan, gerak
berulang, maupun gerakan abnormal/involunter.
4. Pembicaraan
• Kuantitas : Pasien dapat menjawab pertanyaan dan dapat mengungkapkan isi hatinya dengan
jelas.
• Kualitas : pasien menyambung jika ditanya, dan menjawab pertanyaan dengan spontan, pasien
terkadang bercerita dengan spontan tetapi tiba- tiba pasien terdiam dan menunjukan ekspresi
seperti ingin menangis, volume bicara terkadang kuat tetapi kadang lemah, intonasi pasien
berbicara agak lambat, pengucapan kata jelas dan pembicaraan dapat dimengerti.
• Tidak ada hendaya berbahasa, pasien fasih berbahasa inggris.
5. Sikap terhadap pemeriksa
Pasien kooperatif, kontak mata tidak adekuat. Pasien sering kali menjawab pertanyaan tidak
melihat kearah pemeriksa. Pasien dapat menjawab pertanyaan dengan baik, walaupun setiap
menjawab pertanyaan pasien merespon agak lama dan seringkali saat ditanya terdiam, tampak
menunjukkan ekspresi sedih ingin menangis kemudian meminta pemeriksa untuk mengulangi
pertanyaannya
B. Keadaan Afektif
1. Mood : Hipomania
2. Afek : Labil
3. Keserasian : tidak serasi
C. Gangguan Persepsi
- Halusinasi auditorik ada pasien mendengar suara- suara yang mengganggunya, menghina
dan menyuruh pasien untuk menyerah
- Halusinasi visual, somatik, dan halusinasi lainnya tidak ada
- Ilusi tidak ada
D. Proses Pikir
1. Bentuk pikir : autistik
2. Arus pikir
a. Produktivitas : pasien dapat menjawab spontan saat diajukan pertanyaan, namun terkadang
pasien saat ditanya tiba-tiba terdiam (blocking) kemudian setelah itu bertanya kembali mengenai
pertanyaannya.
b. Kontinuitas : Koheren, mampu memberikan jawaban sesuai pertanyaan
c. Hendaya berbahasa : Tidak terdapat hendaya berbahasa
3. Isi pikiran : Waham kontol (+), pasien merasa bahwa pikirannya dikontrol oleh suara bisikan
yang terus mengganggunya hingga sekarang.
E. Fungsi Intelektual / Kognitif
1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan
• Taraf pendidikan
Pasien lulusan D3 Ilmu Kesehatan Lingkungan
• Pengetahuan Umum
Baik, pasien dapat menjawab dengan tepat siapa presiden Indonesia dan sistem jaminan
kesehatan di Indonesia sekarang.
2. Daya konsentrasi dan perhatian
Konsentrasi pasien kurang, pasien tidak dapat mengurangkan angka 7 dikurang 100, pasien juga
tidak bisa mengalikan angka seperti 4x5 atau 5x10, pasien mengatakan tidak bisa fokus merasa
bahwa memorinya terganggu oleh suara-suara tersebut.
Perhatian pasien kurang, pasien bisa mengeja kata SEKOLAH tetapi tidak bisa menyebutkan
benda-benda yang berawalan huruf A.
3. Orientasi
• Waktu : Baik, pasien mengetahui saat wawancara saat pagi hari
• Tempat : Baik, pasien mengetahui dia sedang berada dirumahnya, dan menjalani pengobatan di
RSJ Bengkulu
• Orang : Baik, pasien mengetahui siapa saja saudaranya, siapa saja yang tinggal serumah
dengannya, dan mengetahui sedang diwawancara oleh siapa.
• Situasi : Baik, pasien mengetahui bahwa dia sedang konsultasi dan wawancara.
4. Daya Ingat
• Daya ingat jangka panjang
Baik, pasien masih dapat mengingat dimana pasien bersekolah SD
• Daya ingat jangka menengah
Baik, pasien dapat mengingat kapan ayah pasien menikah lagi
• Daya ingat jangka pendek
Baik, pasien dapat mengingat makan apa tadi malam
• Daya ingat segera
Baik, pasien dapat mengingat nama pemeriksa dan dapat mengulang 6 angka yang disebutkan
oleh pemeriksa
• Akibat hendaya daya ingat pasien
Tidak terdapat hendaya daya ingat pada pasien saat ini.
6. Kemampuan baca tulis: baik
7. Kemampuan visuospatial: baik
8. Berpikir abstrak: baik, pasien dapat menjelaskan persamaan apel dan pir
9. Kemampuan menolong diri sendiri : baik, pasien dapat melakukan perawatan diri sehari- hari
secara mandiri seperti mandi, makan, minum, dan melakukan pekerjaan rumah sendiri.
F. Daya Nilai
Daya nilai sosial pasien baik. Uji daya nilai realitas pasien juga baik.
G. Pengendalian Impuls
Pengendalian impuls pasien baik, selama wawancara dapat mengontrol emosinya dengan baik
(tidak mengamuk atau menangis)
H. Tilikan
Tilikan derajat 2, karena pasien menyadari bahwa dirinya mengalami stres, tetapi pasien juga
merasa bahwa dirinya tidak memiliki sakit dalam kejiwaannya, pasien hanya memerlukan
pengobatan untuk dapat tidur dengan nyenyak tanpa diganggu oleh bisikan.
I. Taraf Dapat Dipercaya
Kemampuan pasien untuk dapat dipercaya cukup akurat, pasien berkata dengan jujur mengenai
peristiwa yang terjadi, dan di cross check juga dengan keterangan dari ayah pasien yang
menceritakan kejadian yang serupa.
IV. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis
• KU : Tampak Sehat
• Sensorium : CM (GCS: E4 V5 M6)
Vital Sign
• TD : 120/70 mmHg
• Nadi : 72 x/menit
• RR : 20 x/menit
• Suhu : 36,8 oC
b. Status Internus
Kepala Normocephali, rambut tidak mudah dicabut, pertumbuhan rambut merata, dan warna
rambut hitam-putih.
Mata Sklera ikterik -/-, conjungtiva palpbera anemis -/-, edema palpebra -/-
Hidung deformitas (-), tidak ada sekret.
Telinga deformitas (-), liang lapang, pengeluaran sekret (-).
Mulut bibir tidak sianosis, lidah kotor (-), papil lidah tersebar merata, mukosa lidah merah
Leher Dalam batas normal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
GANGGUAN SKIZOAFEKTIF
A. Definisi6
Gangguan skizoafektif adalah kelainan mental yang rancu yang ditandai dengan adanya gejala
kombinasi antara gejala skizofrenia dan gejala gangguan afektif. Penyebab gangguan
skizoafektif tidak diketahui, tetapi empat model konseptual telah diajukan, antara lain:
1. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe skizofrenia atau suatu tipe gangguan
mood
2. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan ekspresi bersama-sama dari skizofrenia dan
gangguan mood
3. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe psikosis ketiga yang berbeda, tipe yang
tidak berhubungan dengan skizofrenia maupun suatu gangguan mood
4. Kemungkinan terbesar adalah bahwa gangguan skizoafektif adalah kelompok gangguan yang
heterogen yang meliputi semua tiga kemungkinan yang pertama. 6
B. Patofisiologi
Pada prinsipnya patofisiologi dari skizoafektif sama dengan skizofrenia yaitu dimana mungkin
melibatkan ketidakseimbangan neurotransmiter di otak, terutama norepinefrin, serotonin, dan
dopamine.6 Namun, proses patofisiologi gangguan skizoafektif masih belum diketahui secara
pasti. Penelitian yang mempelajari fungsi neurotransmitter pada penderita gangguan skizoafektif
sangatlah sedikit, dan kebanyakan menggunakan sampel dari cairan serebrospinal atau plasma.
Telah dilaporkan pola abnormalitas neurotransmiter yang serupa antara penderita gangguan
skizoafektif, skizofrenia, dan gangguan bipolar. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kadar norepinefrin, prostaglandin E1 dan platelet 5HT pada pasien skizofrenia dan skizoafektif.1
Secara umum, penelitian-penelitian telah menemukan bahwa gangguan skizoafektif dikaitkan
dengan penurunan volume otak, terutama bagian temporal (termasuk mediotemporal), bagian
frontal, termasuk substansia alba dan grisea. Dari sejumlah peneltian ini, daerah otak yang
secara konsisten menunjukkan kelainan adalah daerah hippocampus dan parahipocampus.1
Pada penelitian neuroimaging pasien dengan gangguan skizoafektif, ditemukan penurunan
volume thalamus dan deformitas thalamus yang serupa dengan pasien skizofrenia, tetapi
abnormalitas pada nucleus ventrolateral penderita gangguan skizoafektif tidak separah
penderita skizofrenia. Penderita skizoafektif juga menunjukkan deformitas pada area thalamus
medius, yang berhubungan dengan sirkuit mood.7
Penelitian genetik penderita gangguan skizoafektif cenderung menunjukkan adanya gangguan
afek dan skizofrenia pada sanak saudara penderita. Hodgkinson dkk (2004) melaporkan bahwa
penderita gangguan skizoafektif memiliki gangguan pada kromosom lq42, yaitu abnormalitas
pada DISC 1 (Disrupted-In-Schizophrenia-1). DISC 1 berfungsi dalam perkembangan neuron dan
diekspresikan pada lobus frontal. Abnormalitas pada gen ini juga menyebabkan disfungsi pada
regulasi emosi dan proses informasi.3
C. Pedoman Diagnostik5
Menurut PPDGJ-III
1. Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif adanya
skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan, atau dalam
beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan
bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia
maupun episode manik atau depresif.
2. Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia dan gangguan
afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda.
3. Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah mengalami suatu
episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (depresi pasca-skizofrenia).
Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif berulang, baik berjenis manik (F25.0)
maupun depresif (F 25.1) atau campuran dari keduanya (F 25.5). Pasien lain mengalami satu
atau dua episode skizoafektif terselip diantara episode manik atau depresif (F30-33)
D. Klasifikasi5
1. Gangguan Skizoafektif Tipe Manik (F25.0)
Pedoman diagnostik:
a. Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektif tipe manik yang tunggal maupun untuk
gangguan berulang dengan sebagian besar episode skizoafektif tipe manik
b. Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek yang tak begitu menonjol
dikombinasi dengan iritabilitas atau kegelisahan yang memuncak.
c. Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atau lebih baik lagi dua, gejala
skizofrenia yang khas (sebagaimana ditetapkan untuk skizofrenia)
2. Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif (F25.1)
Pedoman diagnostik:
a. Kategori ini harus dipakai baik untuk episode skizoafektif tipe depresif yang tunggal, dan untuk
gangguan berulang dimana sebagian besar episode didominasi oleh skizoafektif tipe depresif
b. Afek depresif harus menonjol, disertai oleh sedikitnya dua gejala khas, baik depresif maupun
kelainan perilaku terkait seperti tercantum dalam uraian untuk episode depresif (F.32)
c. Dalam episode yang sama, sedikitnya harus jelas ada satu, dan sebaiknya ada dua gejala khas
skizofrenia (sebagaimana ditetapkan dalam pedoman diagnosis skizofrenia (F.20).
3. Gangguan skizoafektif tipe campuran (F25.2)
Gangguan dengan gejala-gejala skizofrenia berada secara bersama-sama dengan gejala-gejala
afektif bipolar campuran (F31.6)
4. Gangguan skizoafektif lainnya (F25.
5. Gangguan skizoafektif YTT (F25.9)
E. Penatalaksanaan
Penanganan pasien gangguan skizoafektif meliputi :
1. Farmakoterapi6
a. Gejala manik : antimanik
b. Gejala depresi : antidepresan
Pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe depresif, harus diberikan percobaan anti depresan
dan terapi elektrokonvulsan (ECT) sebelum mereka diputuskan tidak responsif terhadap terapi
anti depresan.
c. Gejala bipolar : antipsikotik. harus mendapatkan percobaan lithium, carbamazepine (Tegretol),
valporate (Depakene), atau suatu kombinasi obat-obat tersebut jika satu obat saja tidak efektif.
2. Psikoterapi6
a. Psikoterapi suportif
Psikoterapi ini dapat dilakukan dengan bimbingan, reassurance, serta terapi kelompok
b. Psikoterapi reedukatif
1) Terhadap Pasien :
a) Memberikan informasi kepada pasien dan edukasi mengenai penyakit yang dideritanya,
gejala-gejala, dampak, faktor-faktor penyebab, pengobatan, komplikasi, prognosis, dan risiko
kekambuhan agar pasien tetap taat meminum obat dan segera datang ke dokter bila timbul
gejala serupa di kemudian hari
b) Memotivasi pasien untuk berobat teratur
c) Mengajarkan terapi relaksasi pada pasien saat pasien marah ataupun akan marah sehingga
diharapkan pasien dapat mengontrol marahnya dan mengemukakan amarahnya dengan cara
yang lebih halus.
2) Terhadap Keluarga :
a) Memberikan edukasi dan informasi mengenai penyakit pasien, gejala, faktor- faktor pemicu,
pengobatan, komplikasi, prognosis, dan risiko kekambuhan di kemudian hari.
b) Menjelaskan kepada keluarga bahwa salah satu faktor pemicu penyakit pasien saat ini adalah
keluarga pasien yang mengabaikan pasien
c) Meminta keluarga untuk mendukung pasien pada saat-saat setelah sakit agar pasien dapat
mengalami remisi.
F. Prognosis
Prognosis buruk pada pasien dengan gangguan skizoafektif umumnya dikaitkan dengan sejarah
premorbid yang buruk, onset yang tidak diketahui, tidak ada faktor pencetus, psikosis yang
dominan, gejala negatif, onset awal, kekambuhan yang tak henti-hentinya, atau mereka yang
memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia.2
BAB III
PEMBAHASAN
Dari hasil wawancara, tidak ditemukan kelainan fisik yang berhubungan dengan gejala-gejala
psikiatrik yang dialami pasien, seperti riwayat trauma atau gangguan otak. Dengan demikian,
diagnosis banding gangguan mental organik (F0) dapat disingkirkan.
Selain itu, tidak ditemukan riwayat konsumsi alkohol,merokok dan zat psikoafektif. Dengan
demikian, diagnosis banding gangguan mental akibat penggunaan zat (F1) dapat disingkirkan.
Melalui hasil wawancara, ditemukan adanya gangguan psikotik yang muncul pertama kali saat
pasien berusia 23 tahun yaitu sejak 12 tahun yang lalu, yaitu adanya halusinasi auditorik dan
waham yang menetap selama lebih dari 1 bulan. Juga terdapat perilaku katatonik seperti stupor,
mutisme, negativisme, dan perilaku rigiditas selama lebih dari 1 bulan, dimana terjadi penurunan
fungsi sosial dan okupasi yang sebelumnya normal dan semua gejala diatas yang terjadi lebih
dari 6 bulan. Selain memenuhi kriteria gejala skizofrenia, juga terdapat adanya gangguan afektif
yang sama-sama menonjol yang terjadi bersamaan dengan fase aktif, maka dari itu diagnosis
skizoafektif dapat ditegakkan.6
Pada pasien ini skizoafektif yang dialami adalah tipe bipolar episode campuran, karena
menunjukkan gejala-gejala hipomanik dan tampilan yang manik, dan depresi yang bersama-
sama mencolok selama episode penyakit sekarang dan telah berlangsung lebih dari 2 minggu.
Pada pasien ini terlihat 1 tahun terakhir pasien mulai rajin membersihkan rumah, mencuci, dan
memasak. Selain itu penampilan pasien terlihat manik dan suka memakai baju yang nyentrik
serta mengubah tampilan rumahnya menjadi cat rumah yang nyentrik dan cerah. Namun, pasien
juga terkadang melamun, tidak melakukan pekerjaan rumah ketika mendengar suara- suara,
menarik diri dari lingkungan sosial, serta tidak ada minat lagi untuk mencari pekerjaan. Pasien
juga saat diwawancara menunjukkan afek yang labil, terkadang pasien bersemangat dan
tersenyum serta tertawa saat bercerita, kemudian tiba- tiba pasien tampak murung, diam dan
menunduk seperti ingin menangis, sesaat kemudian kembali ceria.6
Pada pasien ini diberikan risperidon tablet yaitu antipsikotik atipikal yang memiliki efek sedasi
dan efek ekstrapiramidal yang kecil. Obat ini mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor
serotonin (5HT2) dan aktivitas menengah terhadap reseptor dopamin (D2), α1 dan α2 adrenergik,
serta histamin. Dengan demikian obat ini efektif baik untuk gejala positif (waham, halusinasi),
maupun gejala negatif (upaya pasien yang menarik diri dari lingkungan). Risperidon
dimetabolisme di hati dan diekskresi di urin. Dengan demikian perlu diadakan pengawan
terhadap fungsi hati. Secara umum risperidon ditoleransi dengan baik. Efek samping sedasi,
otonomik, dan ekstrapiramidal sangat minimal dibandingkan obat antipsikosis tipikal. Dosis
anjurannya adalah 2-6 mg/hari. Pada pasien ini diberikan dosis 2x3 mg/hari karena pada dosis
yang lebih rendah 2x2 mg pasien tidak merasakan manfaatnya.4,8
Tablet trihexyphenidyl diberikan jika efek ekstrapiramidal muncul. Gejala tersebut seperti
distonia akut, akatisia dan sindrom parkinsonisme (tremor,bradikinesia,rigiditas). Obat ini
tergolong obat antikolinergik sehingga efek terhadap gejala ektrapiramidal.4
Pada pasien ini sudah tepat untuk pengobatan gejala bipolarnya dengan diberikan antipsikotik
untuk menghilangkan gejala positif dan negatif yang ada pada pasien. Namun, perlu
dipertimbangkan untuk penambahan obat mood stabilizer seperti lithium atau asam valproat
untuk mengatasi gangguan mood atau afeknya apsien yakni episode manik dan depresif. Asam
valproat diindikasikan pada gangguan afektif bipolar (kombinasi dengan litium) dan skizoafektif.
Obat ini lebih efektif pada rapid cycling yang terjadi pada pasien dibandingkan litium sehingga
dijadikan pilihan utama pada gangguan afektif dengan ciri rapid cycling . Pembuktian terakhir
menndapatkan bahwa asam valproat lebih efektif menangani episode depresi dibandingkan
litium dan karbamazepin. Mekanisme keefektivitasannya dalam gangguan psikiatri masih belum
diketahui. Obat ini dimetabolisme oleh hati melalui sistim beta-oksidasi, glukuronidasi, dan
sitokrom P450. Adapun efek samping yang sering terjadi antara lain gangguan gastrointestinal,
hati (hepatitis), darah (trombositopenia), dan saraf (ataksia, tremor). Oleh karena itu, perlu
dilakukan pengawasan fungsi hati dan hematologi secara berkala.4,8
DAFTAR PUSTAKA
1. Abrams, DJ., Rojas, DC., Arciniegas, DB. 2008. Is Schizoaffective disorder a distinct clinical
condition?. Journal of Neuropsychiatric Disease and Treatment, 4(6) 1089–1109
2. Brannon GE, MD. 2012. Schizoaffective Disorder.
http://emedicine.medscape.com/article/294763-overview#aw2aab6b2b5aa
3. Ishizuka K, Paek M, Kamiya A, et al. 2006. A review of Disrupted-In-Schizophrenia-1 (DISC1):
neurodevelopment, cognition, and mental conditions. Biol Psychiatry, 59:1189–97.
4. Maslim R. 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi Ketiga. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya
5. Maslim R. (editor). 2002. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
6. Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. 2003. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri
Klinis Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara.
7. Smith MJ., Wang L., Cronenwett W., Mamah D., Barch DM., Csernansky JG. 2011. Thalamic
Morphology in Schizophrenia and Schizoaffective Disorder. J Psychiatr Res. 45(3): 378–385.
8. Albers J L, Hahn RK, Reist C. Handbook of Psychiatric Drugs. 2005 edition. Current Clinical
Strategies Publishing. Diunduh dari: www.ccspublishing.com/ccs
thumb_upLikethumb_downDislike
Indeks
Last
Login