Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah tugas kelompok MIGROLOGI yang berjudul
KUSTA / LEPRA dapat selesai tepat waktu. Makalah ini diajukan sebagai syarat
memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah MIKROBIOLOGI
Makalah disusun agar pembaca dapat mdemperluas ilmu tentang
penyakit lepra yang disajikan dari berbagai sumber. Kami menyadari bahwa
memang makalah ini belum sempuna seutuhnya. Untuk itu kami mengharapkan
kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun guna untuk perbaikan di masa
yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat dipahami dan selanjutnya dapat bermanfaat di
bidang perkuliahan, serta bermanfaat bagi teman teman yang membaca

Tulungagung, 07Maret 2015


Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................1
1

Daftar Isi...........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................3
1.2 Tujuan.........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
1.1 Definisi.......................................................................................................4
2.2 Epidemiologi...............................................................................................4
2.3 Etiologi.......................................................................................................5
2.4 Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya Penyakit Kusta......................6
2.5 Patogenesis.................................................................................................7
2.6 Gejala klinis................................................................................................10
2.7 Pemeriksaan Penunjang Diagnostik..........................................................11
2.8 Pencegahan penyakit kusta.........................................................................16
2.9 Pengobatan terhadap penyakit kusta...........................................................18
2.10 Reaksi Kusta.............................................................................................19
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................21
3.2 Saran...........................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................23

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih
merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah
2

di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan


sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi
meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
sosial.
Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang
berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi
lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam
memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Kusta merupakan penyakit
menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang
dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Meskipun

infeksius,

tetapi

derajat

infektivitasnya

rendah.

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah
endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai,
air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan
penyakit lain yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena
kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
1.2 Tujuan
1. Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Untuk menjelaskan definisi kusta.


Untuk menjelasakan bagaimanakah klasifikasi kusta.
Untuk menjelasakan bagaimanakah etiologi kusta.
Untuk menjelasakan bagaimanakah patofisiologi kusta.
Untuk menjelasakan bagaimanakah manifestasi klinis kusta.
Untuk menjelaskan bagaimanakah pencegahan kusta.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman
kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan
tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)Kusta merupakan penyakit kronik yang
disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)
3

Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh


mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf
tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian
atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi ulit
dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas
( COC, 2003)
2.2 Epidemiologi
Masalah epidemiologi belum dapat terpecahkan , cara penularan
belum dapat diketahui secara pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu
melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan lain ialah
secara inhalasi, sebab M.leprae masih dapat hidup selama beberapa hari dlm
droplet.
Penyebaran penyakit kusta dari satu tempat ke tempat yang lain
sampai tersebar diseluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan
penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau
Malenesia termasuk indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina .
Distribusi penyakit ini dalam satu negara maupun tiap-tiap negara ternyata
berbada-beda.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis
kuman penyebab , cara penularan , keadaan sosial ekonomi dan
lingkungan,varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan , perubahan
imunitas, dan kemungkinan adanya reserfoir diluar manusia.
Kusta bukan penyakit keturunan . Kuman dapat ditemukan di kulit,
folikel rambut, kelenjar keringat dan ASI, jarang ditemukan dalam urin.
Sputum dapat banyak mengandung M.leprae

yang berasal dari traktus

respiratorius atas .Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi


pertama. Dapat menyerang semua umur , dimana anak-anak lebih rntan
daripada orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada orang dewasa adalah pada
usia antara 25-35 tahun.

Kusta dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi ,dan deformitas.


Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena
dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya.
2.3 Etiologi
Klasifikasi ilmiah.
Kerajaan

: Bacteria

Filum

: Actinobacteria

Ordo

: Actinomycetales

Upaordo

: Corynebacterineae

Famili

: Mycobacteriaceae

Genus

: Mycobacterium

Spesies

: M. Leprae.
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat

obligat intraseluler,v f menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti
mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf
pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa
inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun. Kuman
kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro
biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan
BTA
.

2.4 Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya Penyakit Kusta


a) Sumber Penularan
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap
sebagai sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada
armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai
kelenjar thymus
b) Cara Keluar dari Pejamu (Host)
5

Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari


kuman. Suatu kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak
diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10. Dan telah terbukti
bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe Lepromatous
merupakan sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan
c) Cara Penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan
tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang
utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang
lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta.
Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama
dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan
regimen WHO tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain.
d) Cara Masuk ke Pejamu
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini
belum dapat dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran
pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh
e) Pejamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak
dengan penderita, hal

ini

disebabkan

karena

adanya

imunitas.

M.

leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan sistem kekebalan yang


efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas,
menopause,

kehamilan,

serta

faktor

infeksi

dan

malnutrisi dapat

meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi keluarga


kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe penyakit yang
berkembang setelah infeksi. Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap
kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular
tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat
menjadi sakit.
2.5 Patogenesis

Patogenitas dan daya invasi rendah, sebab penderita yang


mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi
dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang
berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau
menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu, kusta
dapat disebut penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan
tingkat reaksi selulernya daripada intensitas infeksinya.
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh
APC

(Antigen Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal

pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah tergantung pada TCRterkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh
molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi
sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang
berinteraksi

dengan

ligan

sel

melalui

CD28.

Adanya

kedua

signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi


Th1 dan Th2. Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi To
menjadi Th1. Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13.
IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL4 dan IL10 akan mengaktifasi dari
makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE.
IL 4, IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast. Signal I tanpa adanya signal
II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara
lengkap akan menyebabkan respon kearah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy,
kita akan melihat bahwa Th1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2
sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan
dengan Th1.
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum
sum tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel
dendritik merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis
yaitu di tempat tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta organ
organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk
bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan
7

diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain
itu dengan adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38
dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi
ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin
satu satunya

yang

diekspresikan

oleh

DC matang).

M. Leprae

mengaktivasi DC melalui TLR 2 TLR 1 heterodimer dan diasumsikan


melalui triacylated lipoprotein

seperti

19kda lipoprotein. TLR 2

polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap


leprosy.
Mycobacterium

leprae

adalah

satu-satunya

bakteri

yang

menginfeksi saraf tepi dan hampir semua komplikasinya merupakan akibat


langsung dari masuknya bakteri ke dalam saraf tepi. Bakteri ini tidak
menyerang otak dan medulla spinalis.
Kemampuan untuk merasakan sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun,
sehingga penderita yang mengalami kerusakan saraf tepi tidak menyadari
adanya luka bakar, luka sayat atau mereka melukai dirinya sendiri. Kerusakan
saraf tepi juga menyebabkan kelemahan otot yang menyebabkan jari-jari
tangan seperti sedang mencakar dan kaki terkulai.
Karena itu penderita lepra menjadi tampak mengerikan. Penderita
juga memiliki luka di telapak kakinya.
Kerusakan pada saluran udara di hidung bisa menyebabkan hidung tersumbat.
Kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan.
Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul,
karena infeksi ini dapat menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma
yang dihasilkan oleh testis.

1. Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta


M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks
protein laminin 2 yang akan berikatan dengansel schwaan melalui
reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu
mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana
8

Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan


M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di
dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia
bekerja terus-menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih
banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself
sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan
jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann
merupakan APC non professional.
2. Patogenesis reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis
penyakit kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari
komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta
tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi
lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV (Delayed
Type Hipersensitivity Reaction). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT
dan BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan
mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil
dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction ,
dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid (peningkatan sistem
imunitas
terapi,

selluler)

dan

dan downgrading,

lepromatous

(penurunan

biasanya
dimana

terjadi
terjadi

pada

respon

pergeseran

terhadap
ke

arah

sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi

pada awal terapi. Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas


humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga
disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi
pasien

LL.

M.

Leprae akan

berinteraksi

dengan

pada

antibodi

membentuk kompleks imun dan mengendap pada pembuluh darah.


Komplemen akan berikatan pada komples , imun

dan

merangsang

netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan


melisis sel.
2.6 Gejala klinis
9

Bila kuman M. Leprae masuk kedalam tubuh seseorang, maka


dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut.Bentuk
tipe klinis tergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS
baik maka akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, dan sebaliknya
apabila SIS rendahakan memberikan gambaran ke arah lepromatosa.
Bentuk-bentuk Lepra:
1.Bentuk Lepra tuberkuloid.
Disebut juga dengan nama Lepra paucibacillair. Pada tahap ini
pasien masih mudah disembuhkan, karena ternyata pasien LT masih punya
daya-tangkis imunologi yang baik. Bentuk ini paling sering dijumpai,
kurang lebih 75% dari jumlah penderita akan tetapi tidak bersifat menular.
Gejalanya pertama, berupa noda-noda putih pucat dikulit yang hilang-rasa
dan penebalan saraf-saraf yang nyeri diberbagai tempat diseluruh tubuh,
terutama di telinga, muka, kaki-tangan. Dapat merusak saraf-saraf jika tidak
segera diobati, oleh karena tidak luka-luka nya yang dirasakan pasien, maka
biasanya lama-kelamaan lukanya akan membentuk borok, dan membuat
puntung terutama jika luka yang menginfeksi kaki-tangan (cacat hebat
sekunder).
2.Bentuk Lepra lepromatosa atau Lepra multibacillair.
Adalah bentuk tersebar yang sangat menular dan banyak terdapat
basil, dengan ciri bentol merah (nodule), demam, dan anemia. Pasien yang
terkena bentuk lepra yang kedua ini bisa dikatakan dengan pasien berparassinga. Karena timbul deformasi akibat infiltrat di muka, kelumpuhan urat
saraf-saraf muka (paresis facialis) dan mutilasi hidung karena rapuhnya
tulang rawan. Bila tidak diobati, pasien yang terkena basil ini akan
mengalami kerusakan organ juga.
3.Bentuk Lepra borderline (LB)
Adalah bentuk kombinasi dari kedua bentuk diatas yaitu LT dan
LL, yang akan terbagi lagi menjadi tiga bentuk peralihan. Tergantung dari

10

cirinya masing-masing apakah menjadi LTB (lepra tuberculoid borderlin),


LLB (lepra lepromateus borderline), dan lepra tak tentu.
Menurut klasifikasi Ridley-Jopling 1962 kusta terbagi atas :
I:

intermedinate; tidak termasuk dalam spectrum

TT:

Tuberkuloid polar (bentuk stabil); tuberkuloid 100% jadi tidak akan

berpindah tipe.
Ti:

Tuberkuloid indefinite; tipe campuran tubeculoid dan lepromatosa

(Tuberkuloid lebih banyak)


BT: Borderline Tuberkuloid;
BB:

tipe campuran, tapi Tuberkuloid lebih banyak

Mid Borderline; tipe campuran (50% tuberkuloid dan 50%

lepromatosa)
BL:

Borderline Lepromatosa; tipe campuran, tapi lepromatosa lebih

banyak
Li:

Lepromatosa indefinite; tipe campuran tuberkuloid dan lepromatosa

(lepromatosa lebih banyak)


LL:

Lepromatosa polar (bentuk stabil); lepromatosa 100% jadi tidak akan

berpindah tipe.
2.7Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu
dari tanda kardinal berikut:
1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi
tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya
berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit
merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi,
bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot.
2) BTA positif

11

Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.


Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis bakterioskopik
histopatologis dan serologis.
1.Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit )
Pemeriksaan

bakterioskopik

digunakan

untuk

membantu

menegakan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari


kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), antara lain
dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita
bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M. Leprae.
Cara pengambilan bahan kerokan :
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1.Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2.Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali

tidak

ditemukan lesi ditempat lain.


3.Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu
ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4.Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan leprae ialah:
a. Cuping telinga kiri atau kanan
b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a. Tidak menyenangkan pasien
b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput
lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir
hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
a.Semua orang yang dicurigai menderita kusta

12

b.Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien


kusta
c.Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenater
sangka kuman resisten terhadap obat
d.Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7. Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam,
yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett.
Cara Pemeriksaan sediaan BTA lepra
a) Pengambilan jaringan kulit
a.Bagian yang diambil ,dibersihkan dengan kapas alcohol
b.Bagian tersebut dijepit diantara ibu jari dan jari telunjuk sedemikian kuat
sehingga kulit kelihatan menjadi pucat, supaya kemungkinan perdarahan
sedikit sekali.
c.Dengan lancet steril dibuat sayatan sepanjang 1/2 cm sedalam 2 mm
d.Darah yang keluar pertama dibersihkan, kemudian sisa dan dasar luka
dikerok dengan vaccine pen untuk mendapatkan bubur jaringan
epidermis dan dermis
b) Pembuatan preparat
a. Siapkan objeck glass yang bersih dan bebas lemak, diberi kode / tanda
tentang no. lab., sampel yang diambil, daerah / bagian yang akan
dipulas

dengan sampel dsb.

b. Bubur jaringan yang sudah diambil dipulaskan pada objeck glass yang
sudah siap sedemikian rupa sehingga diperoleh smear yang tidak terlalu
tebal dan tidak terlalu tipis, dengan diameter 1 1,5 cm
c. Biarkan kering dengan sendirinya di udara
d. Setelah kering di fiksasi dengan melewatkannya diatas nyala api Bunsen
2 3 kali, setelah dingin baru boleh dicat
c) Pengecatan
a. Sediaan yang telah kering dilakukan fiksasi selama 5 menit.
b.Sambil difiksasi, digenangi dengan Carbol Fuchsin 0,3%,
dipanaskan diatas bunsen sampai menguap selama 5 menit
c. Dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan
13

d. Warna merah pada sediaan dilarutka dengan asam alkohol 3%


e. Dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan
f. Digenangi dengan larutan methylen blue selama 20 30 detik
g. Dicuci dengan air mengalir dan di keringkan
h. Diamati dibawah mikroskop
d) Pembacaan sediaan
a.Sediaan yang telah kering ditetesi minyak imersi, dilihat dengan
mikroskop dengan pembesaran 100x
b.Dicari dengan adanya batang panjang atau pendek yang berwarna merah
dengan latar belakang berwarna biru.
Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode
cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat

lingkaran.

kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid),

yaitu
Bentuk

pecah-pecah

(fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.


1. Indeks Bakteri (IB):
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan
hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil
pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY
sebagai berikut:
0 : bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
2. Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA.
IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi
hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.
2.Pemeriksaan Histopatologik

14

Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis, kalau ada


kuman M leprae masuk, tergantung pada sistem kekebalan seluler orang
tersebut bila sistem imunitas selulernya baik maka makrofag akan mampu
memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ketempat kuman disebabkan
karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau
datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag
akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian
akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid
yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi
penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS
rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang
sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan
disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut
penyebarluasaan.
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivatderivatnya. Gambaran histopatologik tipe tuberkel dan kerusakan saraf yang
lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe
lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone),
yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannnya tidak
patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe
borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut.
3.Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi
pada tubuh seseorang yang terinfeksi M leprae. Antibodi yang terbentuk
dapat bersifat spesifik terhadap M.leprae yaitu antibodi anti phenolic
glycolipid (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan
antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan
(LAM) yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu
diagnosis kusta yang meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak
jelas. Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena

15

tidak didapati lesi kulit misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam


pemeriksaan serologik kusta lainnya adalah:
- Uji MLPA (mycobacterium leprae particle aglutination)
- Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent assay)
- ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)
- ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)
2.8 Pencegahan penyakit kusta
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
a. Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang
belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada
disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan
tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta.
Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta
adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan
masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara,
meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran
penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita
dan masyarakat (Depkes RI, 2006)
b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum

ditemukan upaya pencegahan primer

penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil


penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi
BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar
50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan
terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum
menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara
memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI,
2006).

16

2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai
penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat
atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.
Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe
Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan
kepada orang lain (Depkes RI, 2006).
3. Pencegahan tertier
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada
penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :
a. Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita
sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi

untuk

mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.


b. Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk
mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah
mengalami gangguan fungsi saraf.
c. Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh
fungsi

penyesuaian

diri

secara

maksimal

atas

usaha

untuk

mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan


kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan
kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang
cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh
kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang
akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006).
Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :
1. Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
2.

mencegah terjadinya kontraktur.


Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami

3.
4.

kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.


Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan
normal terbatas pada tangan.
17

5.

Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita


cacat.

2.9 Pengobatan terhadap penyakit kusta


Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT)
dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981.
Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat,
dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995
sebagai berikut:
a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari
diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan
setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment)
meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak
lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment
Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b) Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln
diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari
diminum di rumah. DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24
dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum
24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB
diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
c) Dosis untuk anak
18

Klofazimin:
Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian 50mg/2kali/minggu, Umur 11-14
tahun, Bulanan 100mg/bln, Harian 50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg
BB,Rifampisin:10-15mg/Kg BB
d) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998),
pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal
rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien
langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi
diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat
alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari
yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB
dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
2.10 Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum
diketahui dengan pasti sampai saat ini. Mengenai patofisiologi yang belum
jelas tersebut akan diterangkan secara imunologik. Dimana reaksi imun tubuh
kita dapat menguntungkan dan merugikan yang disebut reaksi imun patologik
dan reaksi kusta tergolong di dalamnya. Reaksi kusta dapat dibedakan
menjadi eritema nodosum leprosum (ENL) dan reaksi reversal atau reaksi
upgrading.
ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula
pada BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilarny makin besar
kemungkinanan timbulnya ENL. Secara imunopatologis, ENL termasuk
respon imun humoral, berupa fenomena kompelks imun akibat reaksi antara
antigen M leprae + antibodi (IgM & IgG) + komplemen yang kemudian akan
menghasilkan komplek imun. Dengan terbentuknya kompleks imun ini maka
ENL termasuk di dalam golongan penyakit komplek imun. Kadar antibodi
19

imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe


tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah kuman
beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat mengendap dan
melibatkan berbagai organ.jauh lebig banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL
lebih banyak terjadi pada saat pengobata. Hal ini terjadi karena banyak
kuman kusta yang mati dan hancur yang kemudian kuman kuman lepra ini
akan menjadi antigen, dengan demikian akan meningkatkan terbentuknya
komplek imun. Kompleks imun ini terus

BAB III
PENUTUP

20

3.1 Kesimpulan :

a. Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman


micobakterium leprae.
b. Kusta dibagi dalam 2 bentuk,yaitu :
-kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
-kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
c. Micobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat
obligat intraseluller, menyerang saraf perifer, kulit dan organ
lain seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati, sumsum
tulang kecuali susunan saraf pusat.
d. Micobakterium leprae masuk kedalam tubuh manusia, jika orang
tersebut memiliki respon imunitas yang tinggi maka kusta akan
lebih mengarah pada tuberkuloid, namun jika respon imunitas dari
tubuh orang tersebut rendah maka kusta akan lebih mengarah pada
lepromatosa.
e. Manifestasi klinik dari penderita kusta adalah adanya lesi kulit
yang khas dan kehilangan sensibilitas.
f. Penularan penyakit kusta sampai saat ini hanya diketahui melalui
pintu keluar kuman kusta yaitu: melalui sekret hidung dan kontak
langsung dengan kulit penderita. Selain itu ada faktor-faktor lain
yang berperan dalam penularan ini diantaranya: usia, jenis
kelamin, ras, kesadaran sosial dan lingkungan.
g. Untuk pencegahan penyakit kusta terbagi dalam 3 tahapan yaitu :
pencegahan secara primer, sekunder dan tersier.
h. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien kusta yang
perlu dilakukan adalah melakukan pengkajian, pemeriksaan fisik,
menentukan diagnosa keperawatan, kemudian memberikan
tindakan perawatan yang komprehensif.
3.2 Saran :
21

Untuk

menanggulangi

penyebaran

penyakit

kusta,

hendaknya pemerintah mengadakan suatu program pemberantasan


kusta yang mempunyai tujuan sebagai penyembuhan pasien kusta
dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada
orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Hendaknya masyarakat yang tinggal didaerah yang
endemi

akan

kusta

diberikan

penyuluhan

tentang,

cara

menghindari, mencegah, dan mengetahui gejala dini pada kusta


untuk mempermudah pengobatanya.
Karena di dunia kasus penderita kusta juga masih
tergolong tinggi maka perlu diadakanya penelitian tentang
penanggulangan penyakit kusta yang efektif

DAFTAR PUSTAKA

22

1. Ditjen PPM dan PLP, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta,


Jakarta,1996.
2. Kosasih, A, Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin, Kusta, FK-UI, 1988.

23

Anda mungkin juga menyukai