Anda di halaman 1dari 33

Tinjauan Pustaka

TATALAKSANA SINDROMA METABOLIK

Disusun Oleh:
Firma Hernik Saputri
H1AP14010

Pembimbing : dr. Zaini Dahlan, SpPD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Firma Hernik Saputri

NPM : H1AP14010

Fakultas : Kedokteran

Judul : Tatalaksana Sindroma Metabolik

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing : dr. Zaini Dahlan, SpPD, FINASIM

Bengkulu, 16 Mei 2019


Pembimbing,

dr. Zaini Dahlan, SpPD, FINASIM.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II. DEFINISI DAN KRITERIA ..................................................................... 2
BAB III. PATOFISIOLOGI ................................................................................... 7
III.1 Obesitas Sentral ............................................................................ 8
III.2 Resistensi Insulin.......................................................................... 9
III.3 Dislipidemia ............................................................................... 10
III.4 Peran sistem Imunitas pada Resistensi Insulin ........................... 11
III.5 Hipertensi ................................................................................... 11
BAB IV. TATALAKSANA.................................................................................. 13
IV. 1 Tatalaksana Penyebab Sindroma Metabolik ............................. 13
IV.2 Tatalaksana Dislipidemia ........................................................... 14
IV.3 Resistensi Insulin ....................................................................... 19
IV.4 Hipertensi ................................................................................... 19
IV.5 Kondisi Proinflamasi ................................................................. 24
BAB V. KESIMPULAN ....................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 28

ii
iii
BAB I. PENDAHULUAN

Sindroma metabolik merupakan kumpulan gejala yang menunjukkan


risiko kejadian kardiovaskular, diabetes melitus tipe 2, stroke, dan masalah
kesehatan lain yang lebih tinggi pada seseorang individu tersebut dibandingkan
dengan individu yang sehat.1 Penderita sindroma metabolik memiliki risiko
mengalami diabetes melitus (DM) tipe 2 lima kali lipat lebih tinggi dibandingkan
dengan populasi normal dan dua kali lipat kemungkinan berkembang menjadi
penyakit kardiovaskular.2 Kejadian sindroma metabolik ini banyak terjadi pada
usis 18–30 tahun dan berkembang menjadi penyakit kardiovaskular pada usia
yang lebih lanjut, oleh karena itu sindroma metabolik perlu didiagnosis dan
ditatalaksana sedini mungkin sebelum berkembang menjadi penyakit yang lebih
serius.1,3 Penatalaksanaan sindroma metabolik bergantung pada masing-masing
komponennya.4
Pengelompokan berbagai kelainan metabolik, seperti hipertensi,
hiperglikemia, dan hiperurisemia mulai diamati dan diteliti pada tahun 1923 oleh
Reaven.5 Kelainan metabolik tersebut berhubungan dengan faktor risiko pada
pasien-pasien dengan resistensi insulin dan peningkatan kejadian penyakit
kardiovaskular. Kelainan metabolik ini disebut sebagai sindroma X. Sindroma ini
kemudian dikenal dengan sindroma resistensi insulin dan akhirnya dikenal
sebagai sindroma metabolik.4
Sindroma metabolik merupakan tantangan kesehatan masyarakat dan
klinis yang besar dan meningkat di seluruh dunia di tengah masa urbanisasi.6
Sebanyak 28,4% penduduk Indonesia menderita sindroma metabolik (berdasarkan
kriteria Modified NCEP ATP III) dan prevalensi wanita lebih banyak
dibandingkan dengan laki-laki.4,5 Sindroma ini berkaitan dengan kelebihan asupan
energi, peningkatan kejadian obesitas, dan kebiasaan hidup yang tidak aktif,
sehingga terjadi resistensi insulin, obesitas sentral, dislipidemia, dan hipertensi.1,6

1
BAB II. DEFINISI DAN KRITERIA

Sindroma metabolik adalah kumpulan gejala yang menunjukkan risiko


kejadian kardiovaskular lebih tinggi pada individu tersebut. Sejak munculnya
sindroma resistensi insulin, beberapa organisasi berusaha membuat kriteria
sindroma metabolik supaya dapat diterapkan secara praktis klinis sehari-hari.
Secara umum, semua kriteria yang diajukan memerlukan minimal 3 kriteria untuk
mendiagnosis sindroma metabolik atau sindroma resistensi insulin ini.4
World Health Organization (WHO) merupakan organisasi pertama yang
mengusulkan kriteria sindroma metabolik pada tahun 1998. Menurut WHO pula,
istilah sindroma metabolik dapat dipakai pada penyandang DM mengingat
penyandang DM juga dapat memenuhi kriteria tersebut dan menunjukkan
besarnya risiko terhadap kejadian kardiovaskular.4
Setahun kemudian pada tahun 1999, the European Group for Study of
Insulin Resistance (EGIR) melakukan modifikasi pada kriteria WHO. EGIR
cenderung menggunakan istilah sindroma resistensi insulin. Berbeda dengan
WHO, EGIR lebih memlih obesitas sentral dibandingkan IMT dan istilah
sindroma resistensi insulin tidak dapat dipakai pada penyandang DM karena
resistensi insulin merupakan faktor risiko timbulnya DM.4
Pada tahun 2001, National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult
Treatment Panel III (ATP III) mengajukan kriteria baru yang tidak
mengharuskanadanya komponen resistensi insulin. Meski tidak pula mewajibkan
adanya komponen obesitas sentral, kriteria ini menganggap bahwa obesitas sentral
merupakan faktor utama yang mendasari sindroma metabolik.4
Pada tahun 2003, American Associatio of Clinical Endocrinologists (AACE)
memodifikasi definisi dari ATP III. Sama seperti EGIR, bila sudah ada DM, maka
istilah sindroma resistensi insulin tidak digunakan lagi. Dua tahun kemudian, pada
tahun 2005, International Diabetes Federation (IDF) kembali memodifikasi
kriteria ATP III. IDF menganggap obesitas sentral sangat berkorelasi dengan
resistensi insulin, sehingga memakai obesitas sentral sebagai kriteria utama. Nilai

2
cut-off yang digunakan juga dipengaruhi oleh etnik. Beberapa kriteria sindroma
metabolik dapat dilihat pada tabel 2.1.4
Kriteria yang diajukan oleh NCEP-ATP Ill lebih banyak digunakan, karena
lebih memudahkan seorang klinisi untuk mengidentifikasi seseorang dengan
sindroma metabolik. Sindrom metabolik ditegakkan apabila seseorang memiliki
sedikitnya 3 (tiga) kriteria.4

3
Tabel 2.1. Kriteria Sindroma Metabolik berdasarkan beberapa Organisasi4,6
Kriteria Klinis WHO (1998) EGIR ATP III (2001) AACE (2003) IDF(2005)
Resistensi TGT, GDPT, DMT2, Insulin plasma > Tidak ada, tetapi TGT atau GDPT Tidak ada
insulin atau sensitivitas insulin persentil ke-75 mempunyai 3 dari 5 ditambah salah satu dari
menurun* Ditambah dua dari kriteria berikut kiteria berikut
Ditambah 2 dari Kriteria kriteria berikut berdasarkan penilaian
berikut klinis
Berat badan Pria: rasio pinggang LP ≥ 94 cm pada pria LP ≥ 102 cm pada pria IMT ≥ 25 kg/m2 LP yang meningkat
panggul > 0,90 atau ≥ 80 cm pada atau ≥ 98 cm pada (spesifik tergantung
Wanita: rasio pinggang wanita wanita# populasi, dapat dilihat pada
panggul > 0,85 table 2.2) ditambah dari
Dan/atau IMT >30 kriteria berikut
kg/m2
Lipid TG ≥150 mg/dL TG ≥ 150 mg/dL dan TG ≥ 150 mg/dL TG ≥ 150 mg/dL dan TG ≥ 150 mg/dL atau dalam
dan/atau HDL-C < 35 atau HDL-C <39 HDL-C < 40 mg/dL pengobatan TG
mg/dL pada pria atau < mg/dL pada pria dan HDL-C < 40 mg/dL pada pria atau < 50 HDL-C < 40 mg/dL pada
39 mg/dL pada wanita wanita pada pria atau < 50 mg/dL pada wanita pria atau < 50 mg/dL pada
mg/dL pada wanita wanita atau dalam
pengobatan HDL-C
Tekanan Darah ≥ 140/90 mmHg ≥ 140/90 mmHg atau ≥ 130/85 mmHg ≥ 130/85 mmHg ≥ 130 mmHg sistolik atau ≥
dalam pengobatan 85 mmHg diastolic atau
hipertensi dalam pengobatan hipertensi
Glukosa TGT, GDPT, atau TGT atau GDPT (tetapi ≥ 110 mg/dL (termasuk TGT atau GDPT (tetapi ≥ 100 mg/dL (termasuk
DMT2 bukan diabetes) penderita diabetes)@ bukan diabetes) penderita diabetes)
Lainnya Mikroalbuminuria Kriteria resistensi
insulin lainnya$
DMT2 menunjukkan diabetes melitus tipe 2; LP, Lingkar pinggang; IMT, Indeks massa tubuh; dan TG, trigliserita, semua singkatan lainnya terdapat dalam teks
*Sensitivitas insulin diukur pada kondisi euglikemia hiperinsulinemia, ambilan glukosa di bawah kuartil terendah sebagai latar belakang populasi yang diteliti
#
Beberapa pasien pria dapat akan mempunyai faktor-faktor risiko metabolik saat lingkar pinggang meningkat meskipun hanya sampai nilai ambang (yakni 94
hingga 102 cm [37 sampai 39 inci]). Pasien seperti itu mungkin mempunyai kontribusi genetik yang cukup kuat terhadap resistensi insulin. Mereka akan
mendapatkan manfaat dari perubahan kebiasaandan gaya hidup, seperti halnya pria dengan peningkatan lingkar pinggang kategorik
@
Definisi tahun 2001 menilai kadar glukosa puasa ≥ 110 mg/dL (6,l mmol/L) sebagai kadar yang meningkat. Nilai ini dimodifikasi pada tahun 2004 menjadi >
100 mg/dL (5,6 mmol/L), sesuai dengan defirisi terkini dari American Diabetes Association mengenai definisi GDPT.

4
$
Meliputi riwayat penyakit keluarga berupa diabetes melitus tipe 2, sindroma ovarium polikistik, gaya hidup yang kurang banyak gerak, usia lanjut dan etnis
tertentu yang rentan terhadap diabetes melitus tipe

5
Tabel 2.2. Cut-off Lingkar Pinggang Spesifik tergantung Populasi dan Jenis
Kelamin3
Negara/Etnis Lingkar Pinggang
Eropa Laki-laki ≥ 94 cm
Amerika Serikat menggunakan nilai ATP
III (102 cm untuk laki-laki; 82 cm untuk
Perempuan ≥ 80 cm
perempuan) kemungkinan akan terus
digunakan.
Asia Selatan Laki-laki ≥ 90 cm
Berdasarkan populasi Cina, Malaysia, dan
Perempuan ≥ 80 cm
Asia-India
Laki-laki ≥ 90 cm
Cina
Perempuan ≥ 80 cm
Laki-laki ≥ 90 cm
Jepang
Perempuan ≥ 80 cm
Menggunakan rekomendasi Asia
Etnis Amerika Selatan dan Tengah Selatan sampai terdapat data yang
lebih spesifik
Menggunakan rekomendasi Eropa
Afrika Sub-Saharan sampai terdapat data yang lebih
spesifik
Menggunakan rekomendasi Eropa
Mediteranen timur dan Timur Tengah
sampai terdapat data yang lebih
(Arab)
spesifik

6
BAB III. PATOFISIOLOGI

Sindroma metabolik merupakan proses inflamasi ringan kronik sebagai


konsekuensi dari interaksi kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan.
Resistensi insulin, adiposit viseral, dislipidemia aterogenik, disfungsi endotel,
kelainan genetika, peningkatan tekanan darah, hiperkoagulasi, dan stress kronis
adalah beberapa faktor yang menyebabkan sindroma metabolik ini (gambar 2.1).6

Gambar 2.1. Patofisiologi Sindroma Metabolik6

7
III.1 Obesitas Sentral
Jaringan lemak abdominal terdiri dari jaringan lemak visceral,
retroperitoneal, dan subkutaneus (Gambar 2.2). Penumpukan lemak pada ketiga
jaringan ini dapat menyebabkan obesitas sentral.8 Obesitas sentral digambarkan
dengan lingkar perut yang berlebihan.4 Cut-off lingkar perut berbeda-beda,
tergantung etnis dan jenis kelamin.9 Pengukuran lingkar pinggang pada obesitas
sentral lebih baik dibandingkan dengan mengukur indeks massa tubuh (IMT)
untuk memprediksi risiko terjadinya penyakit kardiovaskular.10

Gambar 2.2. Jaringan Lemak Abdomen10

Obesitas abdominal merupakan kunci utama terjadinya sindroma metabolik.


Kejadian obesitas ini terjadi akibat meningkatnya kebiasaan mengonsumsi
makanan yang berlemak dan kurangnya aktivitas fisik. Jaringan adiposit
merupakan jaringan yang heterogen terdidiri dari adiposit, stroma preadiposit, sel
imun, dan edotelium. Jaringan ini dapat memberikan respon dengan cepat dan
dinamis terhadap nutrisi yang berlebihan dengan cara hipertrofi dan hyperplasia.
Perubahan ini dapat menyebabkan suplai darah ke jaringan adiposa berkurang dan
menyebabkan hipoksia. Hipoksia inilah yang diperkirakan menjadi etiologi dari
nekrosis dan infiltrasi makrofag ke dalam jaringan adiposa. Keadaan ini
menyebabkan produksi metabolisme aktif yang berlebihan, yang biasa disebut

8
sebagai adipokinase, yaitu gliserol, free fatty acids (FFA), mediator proinflamasi
(tumor necrosis factor alpha (TNF α) dan interleukin-6 (IL-6)), plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1), serta C-reactive protein (CRP).4,6

III.2 Resistensi Insulin


Resistensi insulin mendasari kelornpok kelainan pada sindroma metabolik.
patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan jaringan adiposa dan sistem
kekebalan tubuh (Gambar 2.3).11

Gambar 2.3.Mekanisme Disfungsi Sel β dan Resistensi Insulin11

Sejauh ini belum disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk
resistensi insulin. Resistensi insulin ini biasa disebut juga dengan pre-diabetes.
Pre-diabetes adalah kondisi abnormalitas metabolisme glukosa yang ditandai
dengan peningkatan gula darah puasa yang disebut dengan gula darah puasa
terganggu (GDPT) dan/atau peningkatan gula darah post-prandial yang disebut

9
dengan Toleransi glukosa terganggu (TGT). Kriteria GDPT dan TGT dapat dilihat
pada tabel 2.3. berikut ini.12

Tabel 2.3. Kriteria GDPT dan TGT12


Kriteria Glukosa Darah (mg/dL)
GDPT 100 – 125
TGT 140– 199

III.3 Dislipidemia
Dislipidemia yang khas pada sindroma metabolik ditandai dengan
peningkatan trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya
normal, namun mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small dense
LDL.2 Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan
trigliserida meurut NCEP ATP III dapat dilihat pada tabel 2.4.13

Tabel 2.4. Kadar Lipid Serum13


Kadar Kolesterol Klasifikasi
(mg/dL)
Kolesterol Total
< 200 Optimal
200–239 Diinginkan
≥ 240 Tinggi
Kolesterol LDL
< 100 Optimal
100–129 Mendekati optimal
130–159 Diinginkan
160–189 Tinggi
≥ 190 Sangat tinggi
Kolesterol HDL
< 40 Rendah
≥ 60 Tinggi
Trigliserida
< 150 Optimal
150 – 199 Diinginkan
200 – 499 Tinggi
≥ 500 Sangat tinggi

10
Resistensi insulin yang memicu terjadinya dislipdemia dengan beberapa
cara. Pertama, Insulin normalnya menekan terjadinya lipolisis di adiposit,
sehingga terjadinya peningkatan lipolisis akibat kegagalan dari jalur signal
insulin. Peningkatan lipolisis ini akan menyebabkan peningkatan level asam
lemak bebas di darah. Asam lemak bebas merupakan substrat untuk sintesis
trigliserida di hati. Kedua, berperan dalam menstabilkan produksi apoB, yaitu
lipoprotein utama dari partikel very low density lipoprotein (VLDL). Insulin
normalnya menurunkan produksi apoB melalui jalur Phosphatidyl-Inositol-3-
kinase (PI3K), jadi resistensi insulin secara langsung meningkatkan produksi
VLDL Ketiga, insulin insulin bekerja sebagai regulator dari aktivasi apoprotein
lipase yang berperan dalam VLDL clearence. Resistensi insulin menyebabkan
aktivasi lipoprotein lipase menurun dan VLDL clearence menurun. VLDL akan
dimetabolisme menjadi lipoprotein sisa dan LDL yang dapat memicu
terbentuknya atheroma. Gangguan pada metabolisme lemak ini berhubungan erat
dengan stress oksidatif disfungsi endotel yang akan meningkatkan proses
inflamasi makrovaskuler pada penyakit aterosklerosis.6

III.4 Peran sistem Imunitas pada Resistensi Insulin


Keadaan inflamasi pada sindroma metabolik ditandai dengan
meningkatnya sitokin dan protein fase aku, seperti CRP di dalam darah. Keadaan
inflamasi ini selanjutnya akan meningkatkan keadaan protrombotik, yaitu
peningkatan faktor-fakror koagulan, seperti fibrinogen, faktor VII, faktor VII, dan
antifibrinolitik faktor (PAI-1)abrasi platelet, dan disfungsi endotel. Keadaan-
keadaan ini dapat meningkatkan kejadiaan aterosklerosis dan penyakit
kardiovaskular, namun belum didapatkan kesepakatan alur diagnosis yang mampu
menggabungkan keduanya.4,6

III.5 Hipertensi
Hipertensi juga berhubungan dengan kelainan metabolik yang berat, seperti
obesitas, toleransi glukosa, dan dan dislipidemia. Pada resistensi insulin terjadi
peningkatan kadar glukosa darah dan karar insulin dalam darah. Hiperglikemia

11
dan hiperinsulinemia dapat mengaktifkan renin angiotensin system (RAS) dengan
cara meningkatkan angiotensinogen, angiotensin II, dan reseptor angiotensisin I.
Hiperinsulinemia juga dapat juga merangsang sistem saraf simpatis yang
mengakibatkan peningkatan penyerapan natrium di ginjal, meningkatkan kardiak
output, dan vasokontriksi. Keadaan inilah yang mendasari terjadinya hipertensi
pada keadaan resistensi insulin. Selain itu, adiposit juga dapat memproduksi
aldosteron sebagai respon dari peningkatan angiotensin II, sehingga adiposit juga
biasa disebut sebagai miniatur dari renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS).6

12
BAB IV. TATALAKSANA

Untuk mencegah komplikasi kardiovaskular pada individu yang telah


memiliki sindroma metabolik, diperlukan pemantauan yang terus menerus dengan
modifikasi komponen sindroma metabolik yang ada. Penatalaksanaan sindroma
metabolik masih merupakan penatalaksanaan dari masing-masing komponennya.4
Penatalaksanaan sindroma metabolik terutama bertujuan untuk menurunkan
risiko penyakit kardiovaskular dan risiko diabetes melitus tipe 2 pada pasien yang
belum diabetes. Penatalaksanaan sindroma metabolik terdiri atas 2 pilar, yaitu
tatalaksana penyebab (berat badan lebih/obesitas dan inaktifitas fisik) serta
tatalaksana faktor risiko lipid dan non lipid.4

IV. 1 Tatalaksana Penyebab Sindroma Metabolik


Penyebab utama sindroma metabolik adalah obesitas sentral. Obesitas
sentral terjadi karena inaktivitas fisik dan diet aterogenik. Untuk mengatasi
inaktivitas fisik, pasien disarankan untuk melakukan aktivitas fisik intensitas
sedang secara teratur, setidaknya 30 menit secara kontinu maupun intermiten (dan
lebih baik bila ≥ 60 menit), 5 hari/minggu, tetapi lebih baik lagi bila dilakukan
setiap hari. Pasien juga disarankan untuk mengurangi asupan lemak jenuh, lemak
trans, dan kolesterol. Makanan yang direkomendasikan, yaitu lemak jenuh < 7%
kalori total, kurangi lernak trans, kolesterol dalam diet < 200 mg/dL, lernak total
25% hingga 35% kalori total. Sebagian besar diet lemak sebaiknya berupa lemak
tidak jenuh; gula sederhana harus dibatasi.4
Pasien yang memiliki IMT berlebih dianjurkan untuk menurunkan berat
badan sebanyak 7% hingga 10% selama satu tahun pertarna terapi. Sesudah itu,
teruskan penurunan berat badan sebisa mungkin dengan tujuan akhir mencapai
berat badan yang diinginkan (IMT<25 kg/m2).4

13
IV.2 Tatalaksana Dislipidemia
Langkah awal penatalaksanaan dislipidemia harus dimulai dengan penilaian
jumlah faktor risiko koroner yang ditemukan pada pasien tersebut (risk asessment)
untuk menentukan sasaran kolesterol-LDL yang harus dicapai (Gambar 4.1 dan
Gambar 4.2). Penatalaksanaan dislipidemia terdiri dari penatalaksanaan non-
farmakologis dan farmakologis. Dianjurkan pada semua pasien dislipidemia harus
dimulai dengan pengobatan non-farmakologi terlebih dahulu, baru dilanjutkan
dengan pemberian obat penurun lipid. Pada umumnya, pengobatan non-
farmakologi dilakukan selama tiga bulan sebelum memutuskan untuk
menggunakan terapi farmakologis.13
Terapi non-farmakologis pada dislipidemia berupa konseling intervensi
gaya hidup, Pentingnya konseling intervensi gaya hidup terutama berhubungan
dengan perubahan positif terhadap perilaku untuk mengontrol profil lipid.
Tujuan intervensi gaya hidup adalah untuk mengurangi kolesterol LDL,
mengurangi konsentrasi TG, dan meningkatkan kolesterol HDL. Usaha yang
dapat dilakukan antara lain mengurangi asupan asam lemak jenuh, meningkatkan
asupan serat, mengurangi asupan karbohidrat dan alkohol, meningkatkan aktivitas
fisik sehari-hari, mengurangi berat badan berlebih, dan menghentikan kebiasaan
merokok.16

14
Golongan Disarankan Konsumsi Konsumsi kadang-
seperlunya kadang dengan jumlah
terbatas
Sereal Whole grain Roti olahan, nasi dan Kue-kue, muffin, pai,
pasta, biskuit, corn croissant
flake
Sayuran Sayur mentah Kentang Sayuran yang dimasak
maupun dengan mentega atau krim
matang
Tumbuhan Lentil, kacang
polong polong, kacang
fava, buncis,
kedelai
Buah-buahan Buah segar Buah yang
atau beku dikeringkan, jeli, selai,
buah kalengan, es krim
rasa buah (sorbet), es
loli, jus buah
Gula-gula dan Pemanis tanpa Sukrosa, madu, coklat, Cake, es krim, fruktosa,
pemanis permen minuman ringan (soft
kalori
drink)

Daging dan Ikan berminyak Potongan sapi, domba, Sosis, salami, bacon, spare
ikan maupun tanpa rib, hot dog, jeroan
minyak, produk babi atau sapi muda
unggas tanpa tanpa lemak, hidangan
kulit
laut, kerang- kerangan

Produk susu Susu dan Susu dan keju rendah Keju reguler, krim, susu dan
dan telur yogurt skim lemak, produk susu yogurt biasa
lain, telur

Lemak Cuka, mustard, Minyak zaitun, minyak Lemak trans dan margarin
memasak dan saos/dressing sayuran non-tropis, padat (sebaiknya dihindari),
dressing bebas lemak margarin lembut, salad minyak sawit dan kelapa,
dressing, mayones, saos mentega, lemak babi, lemak
tomat bacon

Kacang- Segala jenis, tidak Kelapa


kacangan/biji- diasinkan (kecuali
bijian kelapa)

Cara memasak Memanggang, Menggoreng dengan Menggoreng dengan


merebus, sedikit minyak, banyak minyak
mengukus membakar

Tabel 3.2 Rekomendasi diet untuk menurunkan konsentrasi kolesterol LDL dan
profil lipid lainnya.16
Tujuan melakukan aktivitas fisik secara teratur adalah mencapai berat
badan ideal, mengurangi risiko terjadinya sindrom metabolik, dan mengontrol
faktor risiko PJK. Pengaruh aktivitas fisik terhadap parameter lipid terutama berupa

15
penurunan TG dan peningkatan kolesterol HDL. Olahraga aerobik dapat
menurunkan konsentrasi TG sampai 20% dan meningkatkan konsentrasi
kolesterol HDL sampai 10%. Sementara itu, olahraga berupa latihan resistensi
hanya menurunkan TG sebesar 5% tanpa pengaruh terhadap konsentrasi HDL.
Efek penurunan TG dari aktivitas fisik sangat tergantung pada konsentrasi TG

awal, tingkat aktivitas fisik, dan penurunan berat badan.111-113 Tanpa disertai
diet dan penurunan berat badan, aktivitas fisik tidak berpengaruh terhadap
kolesterol total dan LDL.
Aktivitas fisik yang dianjurkan adalah aktivitas yang terukur seperti jalan
cepat 30 menit per hari selama 5 hari per minggu atau aktivitas lain setara
dengan 4-7 kkal/menit atau 3-6 METs. Beberapa jenis latihan fisik lainnya antara
lain.17
• Berjalan cepat (4,8-6,4 km per jam) selama 30-40 menit
• Berenang selama 20 menit
• Bersepeda baik untuk kesenangan atau transportasi, jarak 8 km dalam
30 menit
• Bermain voli selama 45 menit
• Menyapu halaman selama 30 menit
• Menggunakan mesin pemotong rumput yang didorong selama 30 menit
• Membersihkan rumah (secara besar-besaran)
• Bermain basket selama 15 hingga 20 menit
• Bermain golf tanpa caddy (mengangkat peralatan golf sendiri)
• Berdansa selama 30 menit

16
Gambar 2.4. Urutan Penatalaksanaan Dislipidemia13

17
Gambar 2.5. Bagan Penatalaksanaan Dislipidemia. A. Faktor risiko 0 – 1, B.
Faktor risiko multipel > 2, C. Faktor risiko tinggi13

18
IV.3 Resistensi Insulin
Resistensi insulin tidak perlu pengobatan khusus, kecuali pasien telah
mengalami diabetes melitus. Terapi untuk resistensi insulin, yaitu dengan
memperbaiki gaya hidup.4
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka
yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi
insulin itu sendiri.

Gambar 4.3 Algoritme pengelolaan DM Tipe 2.14

IV.4 Hipertensi
Turunkan Tekanan darah, setidaknya mencapai < 140/90mmHg atau <
130/80 mmHg bila terdapat diabetes. Kurangi TD lebih lanjut sebisa mungkin
melalui perubahan gaya hidup.2 Jika memerlukan obat maka ikuti petunjuk
pengobatan JNC VIII.4

19
• Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan
tekanan darah dan secara umum sangat menguntungkan dalam
menurunkan risiko permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang
menderita hipertensi derajat 1 tanpa faktor risiko kardiovaskular lain,
maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana awal yang harus
dijalani setidaknya selama 4-6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut
tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau
didapatkan faktHemoglobin 6,9gr/dL

• Hematokrit 40%
• Trombosit 165.000
• Leukosit 5.300
• Gula darah sewaktu 119
• SGOT 30
• SGPT22
• HBSAg (+)
• Hemoglobin 6,9gr/dL

• Hematokrit 40%
• Trombosit 165.000
• Leukosit 5.300
• Gula darah sewaktu 119
• SGOT 30
• SGPT22
• HBSAg (+)
• Hemoglobin 6,9gr/dL

• Hematokrit 40%
• Trombosit 165.000
• Leukosit 5.300
• Gula darah sewaktu 119
• SGOT 30

20
• SGPT22
• HBSAg (+)
• Hemoglobin 6,9gr/dL

• Hematokrit 40%
• Trombosit 165.000
• Leukosit 5.300
• Gula darah sewaktu 119
• SGOT 30
• SGPHemoglobin 6,9gr/dL

• Hematokrit 40%
• Trombosit 165.000
• Leukosit 5.300
• Gula darah sewaktu 119
• SGOT 30
• SGPT22
• HBSAg (+)
• T22
• HBSAg (+)
or risiko kardiovaskular yang lain maka sangat dianjurkan untuk memulai
terapi farmakologi.
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah
penurunan berat badan, mengganti makanan yang tidak sehat dengan
memperbanyak asupan sayur dan buah-buahan dapat memberikan manfaat yang
lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari diabetes dan
dislipidemia.15
Mengurangi asupan garam. Negara kita makanan tinggi garam dan lemak
merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak jarang pula
pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan cepat saji, makanan
kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah garam ini juga
bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien hipertensi

21
derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2gr/hari. Olahraga.
Olahraga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30-60 menit/hari, minimal 3
hari/minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah. Pasien yang tidak
memiliki waktu khusus untuk berolahraga, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk
berjalan kaki, mengendarai sepeda, atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin
mereka di tempat kerja.18
Mengurangi konsumsi alkohol. Walaupun konsumsi alkohol belum
menjadi pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi alkohol semakin
hari semakin meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan dan gaya hidup.
Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada
wanita dapat meningkatkan tekanan darah. Pembatasan atau menghentikan
konsumsi alkohol sangat membantu dalam penurunan tekanan darah.18
Berhenti merokok walaupun belum terbukti berefek langsung dan
menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan salah satu faktor risiko
utama penyakit kardiovaskular dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti
merokokok.18

22
Gambar 4.4 Panduan algoritma Hipertensi menurut JNC VIII.15

Gambar 4.5 Tatalaksana Hipertensi menurut JNC VIII.15

23
IV.5 Kondisi Proinflamasi
Pertimbangkan profilaksis aspirin dosis rendah untuk pasien-pasien yang
berisiko tinggi sedang. Tidak ada terapi yang spesifik, kecuali perbaiki gaya
hidup.4

24
BAB V. KESIMPULAN

Sindroma metabolik adalah kumpulan gejala yang menunjukkan risiko


kejadian kardiovaskular lebih tinggi pada individu tersebut. Terdapat beberapa
organisasi berusaha membuat kriteria sindroma metabolik, yaitu kriteria WHO
(1998), EGIR, ATP III, AACE (2003), dan IDF (2005). Komponen setiap kriteria
meliputi resistensi insulin, berat badan, profil lipid, tekanan darah, glukosa, dan
lainnya.
 Obesitas Sentral
Obesitas abdominal merupakan kunci utama terjadinya sindroma metabolik.
Jaringan lemak dapat memberikan respon dengan cepat dan dinamis terhadap
nutrisi yang berlebihan dengan cara hipertrofi dan hyperplasia, sehingga
menyebabkan hipoksia. Keadaan ini perkirakan menjadi etiologi dari nekrosis
dan infiltrasi makrofag ke dalam jaringan adipose, sehingga meningkatkan
produksi metabolisme aktif yang biasa disebut sebagai adipokinase.
 Resistensi Insulin
Resistensi insulin ini biasa disebut juga dengan pre-diabetes, yaitu kondisi
abnormalitas metabolisme glukosa yang ditandai dengan peningkatan gula
darah puasa yang disebut dengan gula darah puasa terganggu (GDPT) dan/atau
peningkatan gula darah post-prandial yang disebut dengan Toleransi glukosa
terganggu (TGT).
 Dislipidemia
Resistensi insulin yang memicu terjadinya dislipdemia dengan beberapa cara,
yaitu meningkatan lipolisis, meningkatkan produksi VLDL, dan menurunkan
VLDL clearence . VLDL akan dimetabolisme menjadi lipoprotein sisa dan
LDL yang dapat memicu terbentuknya atheroma. Gangguan pada metabolisme
lemak ini berhubungan erat dengan stress oksidatif disfungsi endotel yang akan
meningkatkan proses inflamasi makrovaskuler pada penyakit aterosklerosis.
 Peran sistem Imunitas pada Resistensi Insulin
Keadaan inflamasi pada sindroma metabolik ditandai dengan meningkatnya
sitokin dan protein fase aku, seperti CRP di dalam darah. Keadaan inflamasi ini

25
selanjutnya akan meningkatkan keadaan protrombotik yang dapat
meningkatkan kejadiaan aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular, namun
belum didapatkan kesepakatan alur diagnosis yang mampu menggabungkan
keduanya.
 Hipertensi
Pada resistensi insulin terjadi peningkatan kadar glukosa darah dan karar
insulin dalam darah. Hiperglikemia dan hiperinsulinemia dapat mengaktifkan
renin angiotensin system (RAS) dengan cara meningkatkan angiotensinogen,
angiotensin II, dan reseptor angiotensisn I. Selain itu, adiposit juga dapat
memproduksi aldosteron sebagai respon dari peningkatan angiotensin II,
sehingga adiposit juga biasa disebut sebagai miniatur dari renin-angiotensin-
aldosteron system (RAAS).
Penatalaksanaan sindroma metabolik masih berdasarkan dari masing-
masing komponennya. Tatalaksana pada sindroma metabolik bertujuan untuk
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan risiko diabetes melitus tipe 2 pada
pasien yang belum diabetes. Tatalaksana non-farmakologi lebih diutamakan
dibandingkan dengan terapi farmakologi.
Mengatasi inaktivitas fisik, pasien disarankan untuk melakukan aktivitas
fisik intensitas sedang secara teratur, setidaknya 30 menit secara kontinu maupun
intermiten (dan lebih baik bila ≥ 60 menit), 5 hari/minggu, tetapi lebih baik lagi
bila dilakukan setiap hari.
Pasien juga disarankan untuk mengurangi asupan lemak jenuh, lemak trans,
dan kolesterol. Makanan yang direkomendasikan, yaitu lemak jenuh < 7% kalori
total, kurangi lernak trans, kolesterol dalam diet < 200 mg/dL, lernak total 25%
hingga 35% kalori total. Sebagian besar diet lemak sebaiknya berupa lemak tidak
jenuh; gula sederhana harus dibatasi.
Mengurangi konsumsi alkohol. Walaupun konsumsi alkohol belum
menjadi pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi alkohol semakin
hari semakin meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan dan gaya hidup.
Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada

26
wanita dapat meningkatkan tekanan darah. Pembatasan atau menghentikan
konsumsi alkohol sangat membantu dalam penurunan tekanan darah.
Berhenti merokok walaupun belum terbukti berefek langsung dan
menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan salah satu faktor risiko
utama penyakit kardiovaskular dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti
merokokok.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. AHA. What is metabolik syndrome; 2015. [Diakses pada 5 November 2018].


Tersedia pada https://goo.gl/qGqJvL.
2. Ranasinghe P, Mathangasinghe Y, Jayawardena R, Hills AP, Misra A.
Prevalence and trends of methabolic syndrome among adults in the Asia-
Pascific Region: A systematic review. BMC Public Health. 2017; 17(101):pp.
1–9.
3. Nolan PB, Carric-Ranson G, Stinear JW, Reading SA, Dalleck LC.
Prevalence of metabolik syndrome and metabolik syndrome components in
young adult: A pooled analysis. 2017; 7(1):211–15.
4. Soegondo S dan Purnamasari D. Sindroma metabolik. Dalam: Setiati S, Alwi
I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi, B, dan Syam AF (Ed.). Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi 4. Jakarta: InternaPublishing.
2014;pp.2535–43.
5. Parikh RM dan Mohan V. Changing definition of metabolik syndrome.
Indian J Endocrinol Metab. 2012;16(1):pp.7–12.
6. Kaur J. Review article: A comprehensive review on metabolik syndrome.
Cardio Res Pract. 2014;pp.1–21.
7. Moore JX, Chaudhary N, Akinyemiju T. Metabolik syndrome prevalence by
race/ethnicity and sex in The United States, national health and nutrition
examination Survey, 1998–2012. Prev Chronic Dis. 2017; 14(24):pp.1–15.
8. NCBI. Determination of degree of abdominal obesity; 2013. [Diakses pada 10
November 2018]. Tersedia pada https://goo.gl/CJfUD4.
9. WHO. Waist Circumference and waist-hip ratio report of a WHO expert
consultation. World Healthe Organization. 2008.
10. Huxley R, Barzi F, Lee CM et al. Waist circumference thresholds provide an
accurate and widely applicable method for the discrimination of diabetes.
Diabetes Care, 2007, 30(12):3116–8.
11. Kumar V, Abbas AK, dan Aster JC. Buku ajar patologi robbin.
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh IM Nasar dan S Cornain. Edisi ke-9.
Singapore:Elsevier Saunders; 2013. pp.731–2.
12. Harbuwono DS. Pre diabetes. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi, B, dan Syam AF (Ed.). Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid II. Edisi 4. Jakarta: InternaPublishing. 2014;pp.2544–8.
13. Adam JMF. Dislipidemia. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata
M, Setiyohadi, B, dan Syam AF (Ed.). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid
II. Edisi 4. Jakarta: InternaPublishing. 2014;pp.2549–58.
14. PERKENI.Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe II di
Indonesia.Indonesia:PB.Perkeni.2015
15. James,P.A.The Eight Report of Joint National Committee. JNC 8.2014.
16. Erwinanto et al.,. Panduan dan Tatalaksana Dislipidemia.PERKI: 2017.
17. Grundy S M, Becker D, Clark LT, Cooper RS, Denke MA, Howard WmJ,
Hunninghake DB, Illingworth DR, Luepker RV, McBride P, McKenney JM,
Pasternak RC, Stone NJ, Horn LV. National Cholesterol Education Program

28
(NCEP) Expert Panel on Detection Evaluation and Treatment of High Blood
Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). Third Report of the
National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult
Treatment Panel III): Final Report. Washington, DC: National Institutes of
Health, National Heart, Lung, and Blood Institute 2002;NIH Publication
No.02:5215
18. Soenarta Ann, et al., Pedoman dan Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit
Kardiovaskular. PERKI: 2015.

29

Anda mungkin juga menyukai