Anda di halaman 1dari 55

TUGAS KLINIS PKPA RUMAH SAKIT

GANGGUAN GINJAL AKUT DAN PENYAKIT GINJAL KRONIS

ACUTE KIDNEY INJURY AND CHRONIC KIDNEY DISEASE

Disusun Oleh:

Brandon Salim, S.Farm. 203202026


Martha Mega Anggrainy, S.Farm. 203202038

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
BAB I

GANGGUAN GINJAL AKUT/ACUTE KIDNEY INJURY (AKI)

PENDAHULUAN

Gagal ginjal akut (acute kidney injury) adalah penyakit ginjal yang ditandai

dengan peningkatan kreatinin atau penurunan keluaran urin secara akut sesuai

dengan definisi yang berlaku.

I. Defenisi Gangguan Ginjal Akut

Gagal ginjal akut didefinisikan oleh Kidney Disease: Improving Global

Outcomes (KDIGO) sebagai penyakit yang memenuhi setidaknya satu dari hal-hal

ini:

 Peningkatan kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dL dalam kurun waktu 48 jam, atau

 Peningkatan kreatinin serum ≥ 1.5 kali dari nilai dasar yang diperkirakan

terjadi dalam kurun waktu 7 hari, atau

 Keluaran urin kurang dari 0.5 mL/kgBB/jam dalam kurun waktu 6 jam

(KDIGO, 2012)

Terdapat 2 klasifikasi besar untuk gagal ginjal akut, yaitu kriteria RIFLE dan

kriteria dari KDIGO:

Tabel 1. Klasifikasi gagal ginjal akut dari KDIGO Clinical Practice Guideline for
Acute Kidney Injury (2012)
Stadium Kreatinin Serum Keluaran urin
1.5 – 1.9 kali nilai dasar, atau peningkatan ≥ < 0.5 mL/kgBB/jam
1
0.3 mg/Dl selama 6 – 12 jam
< 0.5 mL/kgBB/jam
2 2.0 – 2.9 kali nilai dasar
selama ≥ 12 jam
3.0 kali nilai dasar, atauPeningkatan < 0.3 mL/kgBB/jam
3 kreatinin serum ≥ 4.0 mg/dL, atau selama ≥ 24 jam, atau
Permulaan dimulai terapi pengganti ginjal, anuria selama ≥ 12 jam
Stadium Kreatinin Serum atau LFG Keluaran urin
Kreatinin 1.5 kali nilai dasar, atau > < 0.5 mL/kgBB/jam
Risk
25% penurunan LFG selama 6 jam
Kreatinin 2.0 kali nilai dasar, atau > < 0.5 mL/kgBB/jam
Injury
50% penurunan LFG selama 12 jam
Kreatinin 3.0 kali nilai dasar, atau >
< 0.3 mL/kgBB/jam
75% penurunan LFG, atau kreatinin >
Failure selama 24 jam, atau
4.0 mg/dL dengan peningkatan akut
anuria selama 12 jam
0.5 mg/Dl
Loss Kehilangan fungsi ginjal selama > 4 minggu
End stage kidney disease (penyakit ginjal tahap akhir) selama >
ESKD
3 bulan
LFG: laju filtrasi glomerulus; ESKD: end stage kidney disease

atauPada pasien < 18 tahun,penurunan LFG


< 35 mL/menit per 1.73 m2
LFG: Laju Filtrasi Glomerulus

Tabel 2. Kriteria RIFLE untuk gagal ginjal akut

Penyebab dan patofisiologi dari gagal ginjal akut dibagi menjadi 3

kelompok besar, yaitu:

 Prerenal, akibat dari hipoperfusi ke ginjal yang menyebabkan penurunan LFG

(laju filtrasi glomerulus), seperti pada hipovolemia, gangguan fungsi jantung,

vasodilatasi sistemik dan peningkatan resistensi vaskular

 Renal, akibat gangguan yang terjadi dalam ginjal seperti tubulus, glomerulus,

interstisial dan pembuluh darah intrarenal

 Pasca renal, akibat dari adanya obstruksi pada traktus urinarius dimulai dari

tubulus ginjal hingga uretra dimana terjadi peningkatan tekanan intratubular

(Markis dkk, 2016; Emedicine, 2017; Macedo dkk, 2009).


Prinsip pengobatan dari gagal ginjal akut berdasarkan dari stadium

penyakitnya yang direkomendasikan oleh KDIGO adalah:

Selain yang diberi tanda*, terdapat gradasi peningkatan prioritas seiring

peningkatan stadium gagal ginjal akut (KDIGO,2012)

II. Patofisiologi Gangguan Ginjal Akut

Patofisiologi gagal ginjal akut (acute kidney injury) adalah ketika terjadi

gangguan perfusi oksigen dan nutrisi dari nefron baik karena pasokan yang

menurun maupun permintaan yang meningkat. Patofisiologi dari gagal ginjal akut

dibedakan berdasarkan etiologinya.


Prerenal

Hipoperfusi ke ginjal yang menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus

(LFG), seperti pada hipovolemia, gangguan fungsi jantung, vasodilatasi sistemik

dan peningkatan resistensi vaskular. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan

dalam mempertahankan tekanan filtrasi intraglomerulus sehingga ginjal hanya

menerima 25% dari curah jantung (cardiac output). Sistem pembuluh darah di

ginjal dapat mempertahankan perfusi hingga tekanan darah sistemik dengan mean

arterial pressure (MAP) 65 mmHg. Dalam sebuah penelitian, MAP 72 – 82 mmHg

diperlukan untuk menghindari gagal ginjal akut pada pasien syok sepsis dan bila

terdapat gangguan ginjal.

Renal

Gangguan terjadi dalam ginjal seperti tubulus, glomerulus, interstisial dan

pembuluh darah intrarenal. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis / ATN)

merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan gagal ginjal akut. Kerusakan

dan kematian sel tubulus dapat disebabkan karena iskemik maupun toksik.

“Sampah” hancuran sel akibat ATN ini kemudian dapat menumpuk dan

menyebabkan obstruksi yang memperparah gagal ginjal akut.

Pada gagal ginjal akut akibat gangguan renal, dapat terjadi isothenuria

(kegagalan mengatur osmolalitas urin), osmolalitas urin dapat kurang dari 300

mOsm/kgBB.

Pasca Renal

Adanya obstruksi pada traktus urinarius dimulai dari tubulus ginjal hingga

uretra dimana terjadi peningkatan tekanan intratubular. Obstruksi ini juga dapat

memicu gangguan tekanan darah pada ginjal dan reaksi inflamasi yang
mengakibatkan penurunan LFG (Markis dkk, 2016; Emedicine, 2017; Macedo dkk,

2009; Badin dkk, 2011)

III. Etiologi Gangguan Ginjal Akut

Etiologi gagal ginjal akut (acute kidney injury) terbagi menjadi prerenal,

renal dan pasca renal. Penyebab dari gagal ginjal akut dibagi menjadi 3 kelompok

besar, yaitu:

Prerenal

Gagal ginjal akut prerenal terjadi akibat hipoperfusi ke ginjal yang

menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Etiologi gagal ginjal akut

prerenal dibedakan menjadi hipovolemia, gangguan fungsi jantung, vasodilatasi

sistemik, peningkatan resistensi vaskular renal, dan kegagalan peningkatan

resistensi arteriol aferen ginjal.

Hipovolemia

Gagal ginjal akut prerenal dapat terjadi karena hipovolemia akibat kondisi-

kondisi berikut:

 Pendarahan

 Akibat ginjal: poliuria dan obat-obatan diuretik

 Akibat saluran cerna: muntah dan diare

 Akibat sistem integumenter: luka bakar dan sindroma Steven-Johnson

 Pankreatitis

Gangguan Fungsi Jantung

Gangguan fungsi jantung berikut juga dapat menyebabkan gagal ginjal akut:

 Gagal jantung kongestif

 Infark miokard akut

 Emboli paru
Vasodilatasi Sistemik

Vasodilatasi sistemik akibat penggunaan obat antihipertensi, reaksi

anafilaksis, atau sepsis, merupakan salah satu penyebab terjadinya gagal ginjal akut

prerenal.

Peningkatan Resistensi Vaskular Renal

Peningkatan resistensi vaskular renal dapat terjadi akibat penggunaan obat

yang menyebabkan vasokonstriksi ginjal, misalnya siklosporin. Peningkatan

resistensi vaskular renal juga dapat diakibatkan oleh penggunaan obat anestesi,

prosedur pembedahan, sindrom hepatorenal, dan hiperkalsemia.

Kegagalan Peningkatan Resistensi Arteriol Eferen Ginjal

Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen ginjal yang menyebabkan

gagal ginjal akut prerenal terjadi akibat penggunaan obat antihipertensi

golongan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) dan angiotensin

receptor blockers (ARB) misalnya candesartan.

Renal

Gagal ginjal akut renal terjadi akibat gangguan yang terjadi dalam ginjal

seperti tubulus, glomerulus, interstisial dan pembuluh darah intrarenal. Masing-

masing bagian ginjal memiliki kemungkinan etiologinya masing-masing.

Tubulus

Penyebab pada tubulus dibagi menjadi 2, penyebab iskemik dan

nefrotoksik.

Iskemik:

Kondisi iskemik pada tubulus dapat terjadi pada kondisi berikut:

 Syok

 Pembedahan
 Trauma

 Pankreatitis

 Kehamilan

 Bakteremia

Nefrotoksik:

Penyebab nefrotoksik pada tubulus adalah

 Obat-obatan: aminoglikosida, lithium, amfoterisin dan agen kontras untuk

radiografi

 Toksin endogen: asam urat, rhabdomyolisis, dan hemolisis intravaskular

 Kristal: sindrom lisis tumor, kejang, asiklovir, metotreksat, vitamin C dalam

dosis sangat tinggi

Glomerulus

Penyebab dari glomerulus, seperti:

 Glomerulonefritis seperti glomerulonefritis akut pasca infeksi,

glomerulonefritis terkait IgA dan glomerulonefritis membranoproliferatif

primer

 Nefritis terkait lupus

 Sindrom Goodpasture (penyakit anti-glomerular basement membrane / GBM)

 Penyakit Wegener (glomerulonefritis terkait ANCA / anti-neutrophil

cytoplasmic antibody)

 Endokarditis infektif

Interstisial

 Infeksi: pyelonefritis

 Obat-obatan: penisilin, OAINS, penghambat pompa proton, sefalosporin,

alopurinol, rifampicin, sulfonamid, indinavir dan mesalanin


 Penyakit sistemik (contoh: sindrom Sjogren, lupus, sarcoidosis)

Pembuluh Darah

Gagal ginjal akut renal juga dapat diakibatkan oleh gangguan pembuluh

darah

 Gangguan arteri dan vena ginjal seperti akibat trombosis, emboli, diseksi dan

peradangan (vaskulitis)

 Hipertensi maligna

 Sindrom hemolitik uremik

 Thrombotic thrombocytopenic purpura

Pasca Renal

Gagal ginjal akut pasca renal terjadi akibat obstruksi pada traktus urinarius,

dimulai dari tubulus distal ginjal hingga uretra sehingga terjadi peningkatan tekanan

intratubular. Penyebab kondisi ini adalah:

 Pembesaran prostat, baik pembesaran prostat jinak maupun kanker prostat

 Keganasan pada vesica urinaria dan serviks (uterus)

 Obstruksi pada vesica urinaria akibat antidepresan trisiklik dan neurogenic

bladder

 Posisi kateter urin yang tidak tepat

 Bekuan darah

 Batu saluran kemih

 Tekanan tinggi intraabdomen pada ascites besar

 Obstruksi di uretra akibat striktur, tumor dan fimosis (Markis dkk, 2016;

Emedicine, 2017).
Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya gagal ginjal akut dibedakan antara faktor risiko

terkait pasien dan terkait prosedur.

Faktor Risiko terkait Pasien

Faktor risiko gagal ginjal akut terkait pasien adalah:

 Riwayat penyakit ginjal sebelumnya

 Nilai dasar kreatinin yang tinggi

 Genetik, contoh: defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD)

 Gangguan jantung dan pembuluh darah:

 Hipertensi

 Penyakit pembuluh darah perifer

 Gagal ginjal kongestif

 Fraksi ejeksi ventrikel kiri < 35%

 Syok kardiogenik

 Penyakit jantung koroner

 Aterosklerosis

 Diabetes mellitus

 Sirosis hepatis

 Penggunaan obat-obatan nefrotoksik

 Sepsis

 Trauma, perdarahan dan kurang cairan

Faktor Risiko terkait Prosedur

Terdapat juga faktor risiko yang berhubungan dengan tindakan medis sebagai

berikut:

 Riwayat pembedahan jantung dan pembedahan dengan risiko tinggi lainnya


 Penggunaan IABP (intra-aortic balloon pump)

 Durasi bypass jantung-paru

 Hemodilusi

 Penggunaan obat-obatan kontras untuk radiologi (Cartin-Ceba dkk, 2012)

IV. Penetapan Diagnosis Gangguan Ginjal Akut

Diagnosis gagal ginjal akut (acute kidney injury) dapat ditentukan oleh

keluaran urin (urine output) dan/atau kreatinin darah. Anamnesis dan pemeriksaan

fisik serta pemeriksaan penunjang lain juga diperlukan untuk melihat penyebab,

progresivitas, faktor risiko dan komplikasi yang timbul.

Anamnesis

Pada anamnesis terkait gagal ginjal akut, dokter harus menanyakan

mengenai tanda dan gejala, serta menggali kemungkinan penyebab dan faktor risiko.

Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yang perlu ditanyakan pada pasien adalah:

 Gangguan berkemih, misalnya frekuensi berkemih yang kurang, hematuria,

adanya edema, atau gejala obstruksi saluran kemih

 Cepat lelah

 Penurunan berat badan

 Gatal

 Anoreksia

 Gangguan tidur

Anamnesis Penyebab dan Faktor Risiko

Hal-hal berikut juga perlu ditanyakan untuk menggali kemungkinan

penyebab dan faktor risiko gagal ginjal akut pada pasien:


 Ada tidaknya kurang cairan akibat muntah, diare dan hidrasi yang kurang

 Penggunaan obat-obatan nefrotoksik (contoh: OAINS dan aminoglikosida)

 Perdarahan, termasuk hemoptisis, dan/atau transfusi

 Riwayat hipertensi, penyakit jantung, diabetes, gangguan hati, obesitas

 Riwayat infeksi tenggorokan atau kulit sebelumnya

 Mencari sumber infeksi penyebab sepsis (bila ada)

 Riwayat operasi besar dan jantung

 Riwayat penggunaan kontras untuk studi radiografi (Emedicine, 2017;

NCGC, 2013).

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada gagal ginjal akut mencakup

pemeriksaan tanda vital, mata, dada, abdomen, serta kulit dan ekstremitas.

Tanda Vital

Pada gagal ginjal akut, dapat ditemui kelainan tanda vital sebagai berikut:

 Hipertensi

 Hipotensi ortostatik

 Takikardia

 Peningkatan suhu tubuh (demam)

Mata

Waspadai penyebab autoimun jika didapatkan gejala seperti uveitis dan

mata kering. Pada funduskopi, dapat ditemukan retinopati yang dapat disebabkan

karena diabetes mellitus atau hipertensi. Kemungkinan penyebab lain dapat dilihat

dari ada tidaknya sklera ikterik dan band keratopathy.

Dada
Pada inspeksi, lihat ada tidaknya spider angioma atau dilatasi vena jugular.

Pada auskultasi, bisa terdapat bunyi jantung S3 atau ronki basah yang mengarah ke

edema paru.

Abdomen

Pada abdomen, perhatikan kemungkinan kelainan fisik sebagai berikut:

 Ascites, caput medusae

 Massa yang pulsatil atau bising yang mengarah ke ateroemboli

 Nyeri abdomen dan/atau nyeri ketuk pada angulus costovertebralis

 Massa abdomen bawah

Dokter juga perlu melakukan pemeriksaan digital rektum (digital rectum

examination) untuk melihat ada tidaknya pembesaran prostat, baik yang mengarah

kepada pembesaran prostat jinak maupun kanker prostat.

Kulit dan Ekstremitas

Pada inspeksi, bisa didapatkan livedo reticularis, edema perifer, atau ruam-

ruam di kulit dan ekstremitas pasien (Emedicine, 2017; Rahman dkk, 2012).

Diagnosis Banding

Diagnosis banding gagal ginjal akut adalah:

 Gangguan metabolik:

 Azotemia

 Ketoasidosis diabeticum

 Asidosis metabolik

 Gangguan elektrolit

 Penyakit ginjal kronis

 Glomerulonefritis akut

 Sindrom hemolitik uremik


 Hipertensi emergensi

 Gangguan jantung

 Henoch-Schonlein Purpura

 Obstruksi saluran kemih (Emedicine, 2017).

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan

hematologi, serologi, dan urinalisis.

Pemeriksaan Hematologi

Pemeriksaan hematologi yang dilakukan untuk gagal ginjal akut berupa

pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal, biomarker, dan sediaan apus darah tepi.

Fungsi ginjal kreatinin merupakan pemeriksaan yang harus diperiksa sebagai

bagian dari kriteria diagnosis gagal ginjal akut. Pada sediaan apus darah tepi, dapat

ditemukan schistocytes atau formasi Rouleaux. Schistocytes mengindikasika

kemungkinan terjadinya hemolitik anemia pada sindrom hemolitik uremik dan

purpura trombotik trombositopenik sedangkan formasi Rouleaux dapat ditemukan

pada multiple myeloma.

Biomarker yang berhubungan dengan gagal ginjal akut adalah:

 Cystatic C: untuk melihat fungsi filtrasi glomerulus

 Neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL): digunakan pada

pasien yang menjalani operasi cardiopulmonary bypass grafting (CABG)

untuk melihat adanya kerusakan tubulus ginjal

 Kidney injury module-1 (KIM-1), n-acetyl-b-D-glucosaminidase (NAG,

dan liver fatty acid-binding protein (L-FAB): ketiga biomarker ini juga

bermanfaat untuk melihat adanya kerusakan tubulus


 Insulin-like growth factor binding protein 7 (IGFBP-7): biomarker ini

mencerminkan stress pada tubulus

 Interleukin-18: biomarker inflamasi pada ginjal.

Pemeriksaan Serologi

Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan untuk diagnosis gagal ginjal akut:

 Level komplemen

 ANA (Antinuclear antibody)

 ASO (Antistreptolysin)

 ANCA (Antineutrophil cytoplasmic antibody)

 Anti-GBM (Anti-glomerular basement membrane)

Urinalisis

Pada urinalisis, hal-hal berikut harus diperhatikan:

 Keluaran urin (urine output)

 Fraksi ekskresi dari natrium dan urea (FENa / fractional excretion of

sodium and urea)

 Albuminuria dan proteinuria

 Hematuria

 Sedimen urin

Hasil fraksi eksreksi natrium dan urea kurang dari 1% mengindikasikan

etiologic prerenal sedangkan hasil lebih dari 2% mengindikasikan penyebab

intrarenal. Walau demikian, hasil ini tidak akurat pada pasien yang sedang

menggunakan diuretik (Emedicine, 2017;Rahman dkk, 2012;Osterman dkk, 2016)

Pencitraan

Pencitraan yang dapat dilakukan untuk gagal ginjal akut berupa

ultrasonografi abdomen, CT-scan atau MRI, serta angiografi aortorenal.


Ultrasonografi berguna untuk melihat adanya gangguan ginjal seperti

ukuran yang mengecil, obstruksi saluran kemih, dan hidronefrosis. Ultrasonografi

abdomen juga bermanfaat untuk menilai liver dan abdomen pasien.

Jika pada hasil ultrasonografi ditemukan kecurigaan obstruksi, lakukan CT-

scan atau MRI untuk evaluasi lebih lanjut. Angiografi aortorenal dapat dilakukan

jika terdapat kecurigaan gangguan vaskular ginjal seperti contohnya pada stenosis

arteri renalis (Emedicine, 2017; Rahman dkk, 2012).

Biopsi

Biopsi dapat dilakukan pada kecurigaan gagal ginjal akut renal. Untuk itu,

singkirkan terlebih dahulu kemungkinan penyebab prerenal dan pasca renal dari

gagal ginjal akut (Rahman dkk, 2012).

V. Penatalaksanaan Gangguan Ginjal Akut

Penatalaksanaan gagal ginjal akut (acute kidney injury) bersifat suportif,

yaitu perbaikan cairan, tekanan darah, elektrolit dan terapi pengganti ginjal.

Prinsip pengobatan dari gagal ginjal akut dapat dilakukan menurut

rekomendasi dari Kidney disease: improving global outcomes (KDIGO)

berdasarkan stadium penyakitnya (KDIGO, 2012)


Selain yang diberi tanda*, terdapat gradasi peningkatan prioritas seiring

peningkatan stadium gagal ginjal akut.

Dalam pengobatan gagal ginjal akut, penyebab harus dicari dan dilakukan

tata laksana terhadap penyebab tersebut. Pengobatan bersifat suportif dan sampai

sejauh ini belum ditemukan pengobatan terapeutik. Beberapa modalitas pengobatan

gagal ginjal akut tanpa terapi pengganti ginjal adalah hidrasi, perbaikan tekanan

darah, perbaikan kadar elektrolit, diet dan kontrol gula darah (KDIGO, 2012;

Emedicine, 2017).

Perbaikan Status Cairan

Bila terdapat kekurangan cairan pada pasien dengan risiko atau sudah

mengalami gagal ginjal akut, sebaiknya resusitasi dilakukan dengan cairan

kristaloid isotonik seperti cairan salin normal dan ringer laktat. Pengobatan dengan

diuretik tidak disarankan untuk mencegah gagal ginjal akut, kecuali bila terbukti

adanya kelebihan cairan tubuh. Furosemid digunakan untuk mengeluarkan cairan

pada saat ginjal masih berespon dengan obat ini. Respon ginjal terhadap furosemid

dapat dikatakan sebagai tanda prognosis yang baik.

Perbaikan Tekanan Darah

Perbaikan tekanan darah dilakukan dengan target mean arterial

pressure minimal 65 mmHg. Penggunaan dopamine dalam dosis rendah (≤ 5

mcg/kgBB/menit) tidak dianjurkan karena hanya memberikan efek sementara

perbaikan fisiologis ginjal dan tidak memberikan keuntungan klinis berikutnya

(Friedrich dkk, 2005).

Perbaikan Kadar Elektrolit dan Keseimbangan Asam Basa

Hiperkalemia berat (≥ 6.5 mmol/L) atau dengan perubahan EKG (contoh:

gelombang T tinggi) dapat diberikan 5-10 unit insulin dengan dextrose agar terjadi
pergerakan kalium ke intrasel. Kalsium glukonas (10 mL pada konsentrasi 10%)

diberikan dalam 5 menit secara intravena, digunakan untuk stabilisasi membran sel

dan menurunkan risiko aritmia. Hiperkalemia juga dapat diatasi dengan

penggunaan sodium polystyrene sulfonate atau furosemide.

Gagal ginjal akut juga dapat menyebabkan asidosis yang perlu dikoreksi

dengan menggunakan bikarbonat.

Diet dan Kontrol Gula Darah

Pasien harus merestriksi asupan kalori dan protein. Total energi yang

disarankan untuk diberikan adalah 20 – 30 kkal/kgBB/hari. Total protein yang

disarankan untuk diberikan:

 0.8 – 1.0 gr/kgBB/hari pada gagal ginjal akut tanpa dialisis

 1.0 – 1.5 gr/kgBB/hari pada gagal ginjal akut dengan atau memerlukan

dialisis

 Maksimum 1.7 gr/kgBB/hari pada gagal ginjal akut dengan continous renal

replacement therapy (CRRT)

Pasien juga harus membatasi asupan garam dan cairan. Pada pasien yang

mengalami hiperkalemia, pasien juga harus menjalani diet rendah kalium.

Hemodialisis

Terapi pengganti ginjal seperti cuci darah pada gagal ginjal akut dilakukan

secara segera (cito) apabila terdapat kondisi gagal ginjal akut yang mengancam

nyawa, seperti:

 Kelebihan cairan yang tidak dapat ditangani dengan obat-obatan

 Asidosis yang tidak dapat ditangani dengan obat-obatan

 Perikarditis atau pleuritis uremikum


 Keracunan dan intoksikasi, seperti keracunan lithium dan intoksikasi

alkohol

Gagal ginjal akut umumnya reversibel sehingga hemodialisis dapat

dihentikan bila sudah tidak diperlukan lagi (KDIGO, 2012; Emedicine, 2017).

Pencegahan Gagal Ginjal Akut

Pada pasien neonatus dengan asfiksia perinatal yang berat dan risiko tinggi

menjadi gagal ginjal akut, direkomendasikan digunakan teofilin dosis tunggal.

Pasien dengan risiko tinggi gagal ginjal akut, terutama pasien dengan riwayat gagal

ginjal akut sebelumnya, perlu menghindari obat-obat nefrotoksik, misalnya:

 Aminoglikosida

 Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS)

 Obat-obatan kemoterapi untuk kanker

 Radiokontras

Gagal ginjal akut akibat kontras dapat dicegah menggunakan statin. 1 dari

28 pasien yang diberikan profilaksis dengan statin akan terhindar dari gagal ginjal

akut saat mendapat kontras.

VI. Prognosis Gangguan Ginjal Akut

Prognosis gagal ginjal akut (acute kidney injury) dapat diprediksi

berdasarkan temuan klinis, salah satunya adalah ada/tidaknya oliguria.

Komplikasi

Komplikasi pada gagal ginjal akut:

 Gangguan elektrolit seperti hiperkalemia

 Gangguan dari ureum yang tinggi seperti perikarditis, pleuritis, dan

gangguan platelet
 Gangguan dari kelebihan cairan: gagal napas karena edema paru akibat

kelebihan cairan

 Sindrom Respon Inflamasi Sistemik (Systemic Inflammation Response

Syndrome / SIRS) dan sepsis: kedua kondisi ini terjadi akibat pengeluaran

sitokin waktu terjadi gagal ginjal akut. SIRS dan sepsis dapat menimbulkan

komplikasi pada kegagalan multiorgan, salah satunya adalah edema paru

nonkardiogenik akibat proses inflamasi

 Sindrom kardiorenal

 Penyakit ginjal kronis (Faubel dkk, 2016).

Prognosis

Faktor yang mempengaruhi prognosis gagal ginjal akut:

 Fungsi ginjal sebelum terjadi gagal ginjal akut

 Oligouria dan tidak respons terhadap diuretik

 SIRS dan/atau gangguan multiorgan

 Hipotensi dengan atau tanpa penggunaan obat-obatan vasopresor

 Tidak kembalinya fungsi ginjal setelah GGA

Pasien dengan riwayat gagal ginjal akut memiliki risiko gagal ginjal akut

ulangan yang lebih besar sehingga harus menghindari obat yang bersifat

nefrotoksik seperti aminoglikosida dan obat antiinflamasi nonsteroid (Emedicine,

2017; Faubel dkk, 2016).

VII. Edukasi dan Promosi untuk Pasien Gangguan Ginjal Akut

Diperlukan edukasi dan promosi kesehatan mengenai tanda dan gejala gagal

ginjal akut (acute kidney injury) agar pasien dapat segera mencari tenaga kesehatan,

serta diet khusus dapat diberikan selama proses pemulihan.


Edukasi Pasien

Pasien, terutama yang berisiko tinggi mengalami gagal ginjal akut harus diedukasi

untuk mengenali tanda atau gejala dari gagal ginjal akut:

 Jumlah berkemih menjadi berkurang atau tidak berkemih sama sekali

 Warna urin kemerahan atau coklat

 Mual, muntah dan lemas

 Pembengkakan

 Gangguan neurologis seperti perubahan perilaku dan kejang

Pasien harus segera menemui tenaga kesehatan bila mengalami tanda atau

gejala di atas (Uptodate, 2017).

Edukasi Pasien Gagal Ginjal Akut

Dalam proses pemulihan pasca gagal ginjal akut dan dengan melihat kondisi

dari klinis dan hasil laboratorium, ada kemungkinan diperlukan diet rendah kalium,

rendah garam (natrium) dan rendah fosfor (MayoClinic, 2020).

Pasien yang telah dinyatakan dapat rawat jalan, disarankan untuk

melakukan kunjungan kembali sesuai dengan advis dari dokter spesialis, dan

pemeriksaan yang dapat dilakukan minimal 3 bulan sekali adalah:

 Pemeriksaan darah: fungsi ginjal dan elektrolit

 Pemeriksaan urin: proteinuria

Pengecekan untuk komorbid lain yang mungkin seperti diabetes, hipertensi,

dan profil lipid. Pasien tidak perlu melakukan pengawasan klinis untuk

gagal ginjal akut bila dalam jangka waktu 1 tahun tidak terdapat kejadian

gagal ginjal akut dan komorbid telah diatasi (Silver dkk, 2015).
BAB II

PENYAKIT GINJAL KRONIS/CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

I. Defenisi Penyakit Ginjal Kronis

Penyakit Ginjal Kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi

yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada

umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis

yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel. Gagal ginjal kronik

biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (KDIGO,

2012).

Kelainan struktur dan fungsi dari ginjal tersebut terjadi lebih dari tiga bulan

dengan implikasi kesehatan. Keadaan ini terjadi karena penurunan fungsi ginjal

secara progresif secara perlahan hingga mencapai 60% dan dapat ditandai dengan

gagalnya tubuh untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan

serta elektrolit yang dapat menyebabkan uremia. Kriteria penyakit ginjal kronik

dapat dilihat pada Gambar 1. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih

dari 3 bulan dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m², maka tidak

termasuk kriteria penyakit ginjal kronik (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

Gambar 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik


II. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronis

Ginjal normal memiliki 1 juta nefron (unit satuan ginjal) yang berpengaruh

terhadap laju filtrasi glomerulus. Ginjal memiliki kemampuan untuk menjaga laju

filtrasi glomerulus dengan meningkatkan kerja nefron yang masih sehat ketika ada

nefron yang rusak (Emedicine, 2017).

Berikut ini progresi gangguan ginjal dari awal sampai terjadi kerusakan

gagal ginjal berdasarkan Dipiro et al (2015) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema Progresi Gangguan Ginjal berdasarkan Dipiro et al (2015)

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit

yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi

kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural


dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons), yang diperantarai

oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan

terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran

darah glomerulus. Proses adaptasi ini diikuti oleh proses pertama adaptasi berupa

sklerosis nefron yang masih tersisa, dan akhimya diikuti dengan penurunan fungsi

nefron yang progresif. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-

aldosteron intrarenal yang diperantarai oleh growth factor seperti transforming

growth factor β (TGF-β), ikut memberikan kontribusi terhadap peristiwa

hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Beberapa hal yang juga berperan

dalam progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,

hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas antar individu untuk kejadian

sklerosis, fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial (Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam, 2009).

III. Etiologi Penyakit Ginjal Kronis

Etiologi dari Penyakit Ginjal Kronik, terbagi menjadi beberapa faktor, yaitu:

1. Faktor suspektibilitas

Faktor ini dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit ginjal, namun

tidak secara langsung menyebabkan penyakit ginjal. Faktor-faktor ini,

contohnya usia, berat badan saat lahir yang rendah, riwayat keluarga, dan

dislipidemia.

2. Faktor inisiasi

Faktor ini dapat secara langsung berakibat ke kerusakan ginjal, namun dapat

dicegah dengan terapi farmakologi. Dari Indonesian Renal Registry (IRR)

didapatkan faktor inisiasi sebagai berikut:


a. Glomerulonefritis, sekelompok penyakit yang menyebabkan peradangan

dan kerusakan pada unit penyaringan ginjal.

b. Diabetes mellitus, suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

kedua-duanya.

c. Hipertensi, bila tekanan darah sebesar 140/90 mmHg. Berdasarkan

penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi

esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau

idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.

d. Ginjal polikistik, Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang

tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh

karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau

penyakit.

e. Gangguan ginjal akut yang tidak ditangani dengan baik

f. Penyakit pada pembuluh darah, seperti atheroemboli, thrombosis vena

ginjal, dan stenosis arteri ginjal.

3. Faktor progresi

Faktor ini mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah faktor inisiasi tidak

diperbaiki. Faktor-faktor ini, seperti glikemia, diabetes, hipertensi,

proteinuria, hiperlipidemia, obesitas, dan merokok.

IV. Manifestasi Klinis Penyakit Ginjal Kronik

Manifestasi kardiovaskular pada gagal ginjal kronis mencakup hipertensi,

gagal jantung kongestif dan edema pulmoner sedangkan gejala dermatologi yang
sering terjadi mencakup rasa gatal yang parah dan gejala gastrointestinal juga sering

terjadi mencakup anoreksia, mual, muntah, dan cegukan.

Beberapa gejala dan pemeriksaan yang dapat dijadikan pegangan /indikator

telah terjadinya penurunan fungsi ginjal yang signifikan yaitu:

1. Jumlah urin (kemih) berkurang atau tidak ada urin. Jumlah urin < 500 ml per 24

jam atau <20 ml/KgBB/jam pada orang dewasa dan <1 ml/KgBB4 pada anak-anak,

walaupun jumlah air yang diminum dalam jumlah yang wajar/normal.

2. Pucat/anemia, Penderita terlihat pucat pada muka maupun telapak tangannya,

bila diukur Hb < 10 g/dl.

3. Mual, muntah dan tidak nafsu makan.

4. Nafas berat, mudah sesak bila banyak minum atau melakukan kerja berat.

5. Rasa sangat lemah.

6. Sering cegukan/sedakan (hiccup) yang berkepanjangan.

7. Rasa gatal di kulit.

8. Pemeriksaan laboratorium yang penting: ureum darah sangat tinggi (nilai normal

ureum < 40 mg/dl), kreatinin darah juga tinggi (nilai normal kreatinin < 1,5 mg/dl),

Hb sangat rendah (nilai normal Hb 12-15 g/dl pada perempuan dan 13-17,5 g/dl

pada laki-laki).

V. Penetapan Diagnosis Penyakit Ginjal Kronik

Penetapan diagnosis penyakit ginjal kronik (PGK) mempunyai sasaran

sebagai berikut:

- Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

- Mengejar etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi

- Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)


- Menentukan strategi terapi rasional

- Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan

pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik

diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus

1) Gambaran Klinis

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus

urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, SLE.

b. Sindroma Uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,muntah,

nokturia, kelebihan volume cairan ( volume overload ), neuropati perifer, pruritus,

uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.

c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah

jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,

klorida).

2) Gambaran Laboratoris

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya

b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,

dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft – Gault.

Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi

ginjal.

c. Kelainan biokomiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan

kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,

hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.


d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isosteinuria.

- Pengukuran Laju Filtrasi Glomerulus

 Kreatinin

Kreatinin merupakan zat non protein nitrogen sebagai hasil metabolisme

kreatin otot, zat endogen yang difiltrasi bebas, tidak mengalami reabsorbsi

ditubulus ginjal, tetapi sejumlah kecil kreatinin disekresi oleh sel tubulus ginjal.

Kadarnya di plasma relatif konstan dan klirensnya dapat diukur sebagai indikator

laju filtrasi glomerulus.

Nilai kreatinin serum normal: 0,6 – 1,3 mg/dL. Kreatinin serum > 1,5

mg/dL menunjukkan telah adanya gangguan fungsi ginjal. Beberapa rumus

yang digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus melalui kadar

kreatinin darah adalah:

Rumus Cockcroft – Gault =

GFR = ( 140 – usia ) x berat badan x 1,73

72 x Pcr x A

Pcr = kadar kreatinin darah (mg/dL) A = luas permukaan tubuh (m2)

*Untuk wanita rumus tersebut dikalikan denganii 0,85

Rumus MDRD (Modification of Diet in Renal Disease):


-1,154 – 0,203
GFR = 186 x (kreatinin serum) x (umur) x (0,742) x

(1,210)

 Klirens

Klirens dari suatu zat adalah volume dari plasma yang dibersihkan dari

zat tersebut dalam satuan waktu. Klirens kreatinin merupakan cara

yang banyak digunakan untuk mengukur GFR. Klirens kreatinin secara


konvensional memerlukan pengumpulan urine 24 jam. Hal ini menjadi

kendala bila nilai GFR perlu segera diketahui.

Rumus Klirens kreatinin (mL/menit) =

Kreatinin urine (mg/dL) X volume urine (ml/menit) X 1,73

Kreatinin serum (mg/dL) X A (m2)

Klirens kreatinin normal 100 – 180 ml/menit. Nilai dibawah 90

ml/menit menunjukkan penurunan laju filtrasi glomerulus.

 Cystatin-C (Cys C)

Merupakan suatu proteinase cysteine, termasuk gen cystatin non glycosylated

tipe II terdiri dari 122 asam amino. Nilai batas yang menunjukkan adanya

gangguan GFR= 1,4 mg/L.

- Urea

Urea merupakan hasil ekskresi terbesar dari metabolisme protein.

Nilairujukan urea nitrogen pada serum atau plasma adalah 20 – 30

mg/dL dan BUN 10 – 20 mg/dL.

- Elektrolit

 Kalium: Hiperkalemia pada penyakit ginjal kronik karena oliguri, gangguan

adaptasi nefron serta kondisi pH darah yang cenderung asidosis. Nilai K normal

= 3,5 – 5 meq/L.

 Natrium: Pada penyakit ginjal kronik terjadi kegagalan peningkatan ekskresi

NaCl, sehingga menyebabkan penumpukan cairan ekstraseluler. Nilai normal

natrium = 136 – 146 meq/L.

 Kalsium: Nilai normal kalsium total plasma/serum: 8,8 – 10,2 mg/dl.

 Posfat: Nilai normal fosfat plasma/serum normal: 2,5 – 4,5 mg/dl.


 Magnesium: Nilai normal magnesium serum: 0,6 – 1,1 mmol/L.

- Asam Urat

Reabsorbsi asam urat 98 – 100% terjadi di tubulus proksimalis.

Sebagian kecil asam urat disekresi oleh tubulus distal dan 70%

diekskresikan ke urine. Penyakit ginjal kronik menyebabkan kadar asam

urat serum meningkat karena adanya gangguan fungsi filtrasi, sekresi

ginjal dan ekskresi asam urat melalui urine yang menurun. Nilai rujukan

asam urat darah dengan metode urikase adalah:

1. Wanita dewasa = 2,6 – 6 mg/dl (0,16 – 0,36 mmol/L)

2. Pria dewasa = 3,5 – 7,2 mg/dl (0,21 – 0,43 mmol/L)

3. Anak – anak = 2 – 5,5 mg/dl (0,12 – 0,33 mmol/L)

- Keseimbangan Asam Basa Darah

Nilai normal pH dalam darah sekitar 7,36 – 7,44. Bila pH darah berada

dibawah rentang ini, maka menunjukkan terjadinya asidosis metabolik.

- Pemeriksaan Urine

 Albuminuria

Albuminuria adalah istilah umum untuk peningkatan jumlah albumin

dalam urin. Nilai normal albumin dalam urin sekitar 0 – 8 mg / dl.

 Sedimen Urine

Sedimen urine adalah partikel di dalam urine yang dapat berasal dari

darah, ginjal dan saluran kemih (Rahmawati, 2018).

3) Gambaran Radiologis

Gambaran radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:

a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak


b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati

filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras

terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan

c. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi.

d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks

menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi

e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi

4) Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologis Ginjal

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran

ginjal yang masih mendekati normal, dimana didiagnosis secara non invasive tidak

bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,

menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.

Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang

sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak

terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas dan obesitas

(Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

VI. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal, yaitu atas dasar

derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Pembagian penyakit

ginjal kronik atas dasar derajat penyakit atau laju filtrasi glomerulus dapat dilihat

pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

- Stadium 1

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya

ginjal (renal reserve), namun LFG masih normal bahkan meningkat, LFG

≥90 ml/min/1,73 m2. Kemudian, secara perlahan akan terjadi penurunan

fungsi nefron yang progresif dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin

serum. Pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah

mengalami abnormalitas patologi ginjal dan peningkatan kadar urea serta

kreatinin serum.

Contohnya seperti pasien lupus nefritik dengan tingkat proteinuria sebanyak

2,2 gram per hari, diketahui selama 18 bulan dengan konsentrasi kreatinin

sebesar 66 mikromol/L, dan LFG sebesar 149 ml/menit/1,73 m2. Pasien

seperti ini terdiagnosis memiliki penyakit ginjal kronik stadium 1.

- Stadium 2

Penyakit ginjal kronis stadium 2 didefenisikan dengan adanya kerusakan

ginjal hingga LFG menjadi 60-89 ml/menit/1,73 m2.


- Stadium 3

Jika sudah mencapai tahap ini, maka gejala-gejala klinis awal PGK baru

kelihatan. Gejala yang paling awal, yaitu hipertensi, kemudian

hiperlipidemia, dan gejala keabnormalan jumlah fosfat, dan kalsium mulai

muncul pada stadium ini. Pada stadium 3 ini juga mulai terdapat gejala

gejala berkurangnya nutrisi dalam tubuh, menurunnya berat badan karena

adanya perubahan pada metabolisme protein, serta meningkatnya resiko

untuk terjadi infeksi dan neuropati. Penurunan fungsi ginjal ini terbagi

menjadi 2 tahap yaitu tahapan IIIA (LFG 45-59) dan tahapan IIIB (LFG 30-

44). Kondisi fungsi dari ginjal pasien menurun sedang, pada tahap ini pasien

sudah mendapatkan pengobatan intensif.

- Stadium 4

Pada tahap ini, terjadi penurunan LFG berat sekitar 15-29 ml/min/1,73 m2.

Pasien mengalami anemia yang dapat dilihat dari kelelahan dan kelesuan

yang dialami. Pada stadium ini juga terjadi penurunan kemampuan dalam

menyerap zat besi, karena itu pasien harus menerima suplemen berupa zat

besi (parenteral), vitamin B12 dan asam folat (oral), atau terapi pengganti

Eritropoietin (bila Hb<100 g / L).

- Stadium 5

Stadium ini disebut juga Gagal ginjal, LFG < 15 ml/min/1,73 m2. Kondisi

penurunan fungsi ginjal dari pasien sangat berat. Ketika telah mencapai

tahap ini, akan timbul uremia. Gejala-gejala yang paling utama, yaitu mual,

muntah, anemia, dan hipertensi. Pasien PGK stadium 5 memerlukan

monitoring dan pemeliharaan secara berkala, berupa terapi pengganti ginjal,


yaitu dialisis atau transplantasi (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009;

KDIGO, 2012).

Selain klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan laju filtrasi

glomerulus, terdapat juga klasifikasi PGK berdasarkan diagnosis etiologi yang

dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis atas Dasar Diagnosis Etiologi

VII. Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik memiliki tujuan, untuk:

- Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

- Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

- Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal

- Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

- Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

- Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Pengobatan Gagal ginjal kronis terdiri dari 2 strategi, yang pertama yaitu usaha

untuk memperlambat laju penurunan fungsi ginjal dengan pengobatan hipertensi,

pembatasan asupan protein, restriksi fosfor, mengurangi proteinuria dan

mengendalikan hiperlipidemia. Lini kedua yaitu dengan mencegah kerusakan ginjal.


Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya,

dapat dilihat pada Tabel 2 (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

Tabel 2. Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya

Derajat LFG (ml/menit/1,73 m2) Rencana tatalaksana


1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar,
evaluasi pemburukan
fungsi ginjal,
2 60 – 89 Menghambat
pemburukan fungsi
ginjal
3 30 – 59 Evaluasi dan terapi
komplikasi
4 15 – 29 Persiapan untuk terapi
pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal

1) Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasar

Terapi terhadap penyakit dasar paling tepat dilakukan sebelum terjadinya

penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran

ginjal yang masih normal (yang diperiksa melalui USG, biopsi dan pemeriksaan

histopatologi) dapat ditentukan terapi yang tepat sesuai indikasi. Sebaliknya, bila

LFG sudah menurun 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah

tidak banyak memberi manfaat.

2) Pencegahan dan Terapi terhadap kondisi Komorbid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada

pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid

(superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor- faktor

komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak

terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat

nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.


3) Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi

glomerulus. Skematik tentang patogenesis perburukan fungsi ginjal dapat dilihat

pada Gambar 4.

Gambar 4. Skema patogenesis perburukan fungsi ginjal

Cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi glomerulus ini adalah:

Pembatasan Asupan Protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG

<60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak

selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gram di

antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan

sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Pemantauan yang teratur harus dilakukan terhadap

status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat

ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak dapat

disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang

terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang

mengandung ion hidrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga diekskresikan

melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit
Ginjal Kronik akan mengakibatkan supan protein berlebih (protein overload) akan

mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah

dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan

meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein

juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu

berasal dari sumber yang sama. Pembatasan asupan protein dan fosfat dapat dilihat

pada Tabel 3.

Tabel 3. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronis

LFG ml/menit Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari


>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≤ 10 g
≥ 0,35 g/kg/hari nilai
biologi tinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≤ 10 g
≥ 0,35 g/kg/hari protein
nilai biologi tinggi atau
tambahan 0,3 g asam
amino essensial
<60 0,8/kg/hari (+1 g ≤9g
protein/g proteinuria atau
0,3 g/kg tambahan asam
amino essensial
4) Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular

Beberapa studi membuktikan bahwa pengendalian tekanan darah mempunyai

peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam

memperkecil hiperfitrasi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.

Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular

adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia,

pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan

cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan

dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.


5) Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi

Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang

manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.

Beberapa di antara komplikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 (Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam, 2009).

Tabel 4. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik

Derajat Penjelasan LFG (ml/menit) Komplikasi


1 Kerusakan ≥ 90 -
ginjal dengan
LFG normal
2 Kerusakan 60-89 Tekanan darah tinggi
ginjal dengan
LFG ringan
3 Penurunan LFG 30-59 Hiperfosfatemia,
sedang Hipokalsemia,
Anemia,
Hiperparatiroid,
Hipertensi,
Hiperhomosistinemia
4 Penurunan LFG 15-29 Malnutrisi, Asidosis
berat metabolik,
Hiperkalemia,
Dislipidemia
5 Gagal ginjal < 15 Gagal jantung,
Uremia.

VIII. Manajemen Terapi Farmakologi Penyakit Ginjal Kronis

Pada pedoman Clinical Practice Guideline for the Evaluation and

Management of Chronic Kidney Disease (KDIGO, 2012) manajemen terapi PGK

dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Manajemen Terapi Penyakit Ginjal Kronis menurut KDIGO, 2012.


1) Pengobatan Hipertensi

Hipertensi sering terkait dengan gagal ginjal kronik. Ini terjadi lebih dari 75%

pasien dengan penyakit ginjal kronik pada stadium manapun dan merupakan

penyebab serta akibat dari penyakit ginjal kronik. Tekanan darah yang ditargetkan

yaitu kurang dari 130/80 mmHg. Tatalaksana hipertensi pada pasien PGK menurut

KDIGO, 2012 yaitu:

Terapi lini pertama untuk pengobatan Hipertensi pada pasien Penyakit

Ginjal Kronis, yaitu Golongan ACEi atau ARB. Terapi lini kedua (jika pemberian

ACEi atau ARB tidak memberikan efek yang signifikan) dapat digunakan Obat

Anti Hipertensi Golongan CCB (Calcium Channel Blockers). CCB

Nondihidropiridin memiliki efek untuk menurunkan proteinuria, sementara CCB

Dihidropiridin tidak memiliki efek menurunkan proteinuria dan digunakan untuk

pasien nonproteinuria (rasio albumin dengan kreatinin <30mg/mmol).

ACE-Inhibitor menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin

II yang memiliki sifat vasokonstriktor sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan

sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar

bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodiltasi

ACEinhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah,

sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium

dan retensi kalium. Di ginjal, ACE-Inhibitor menyebabkan vasodilatasi arteri

renalis sehingga meningkatkan aliran darah ginjal dan secara umum akan
memperbaiki laju filtrasi glomerulus. Pada sirkulasi glomerulus, ACE-Inhibitor

menimbulkan vasodilatasi lebih dominan pada arteriol eferen dibanding dengan

arteriol aferen sehingga menurunkan tekanan intraglomerular. Efek ini

dimanfaatkan untuk mengurangi proteinuria pada diabetes nefropati dan sindrom

nefrotik dan juga memperlambat perkembangan nefropati.

 Captopril: Jika digunakan tunggal, awalnya 12,5 mg 2 kali sehari; jika

digunakan bersama diuretika awalnya 6,25 mg 2 kali sehari (dosis

pertama sebelum tidur); dosis penunjang lazim 25 mg 2 kali sehari;

maksimal 50 mg 2 kali sehari (3 kali sehari pada hipertensi berat).

Untuk nefropati diabetik, 75-100 mg sehari dalam dosis terbagi; Pada

gangguan ginjal yang berat, awalnya 12,5 mg 2 kali sehari.

 Enalapril: Jika digunakan tunggal, dosis awal 5 mg sekali sehari; jika

dikombinasikan dengan diuretika awalnya 2,5 mg sehari dan dosis

pemeliharaannya 10-20 mg sekali sehari; Pada hipertensi berat dapat

ditingkatkan sampai maksimal 40 mg sekali sehari.

 Ramipril: Dosis 5-10 mg sehari, jika kurang efektif dapat dikombinasi

dengan CCB atau diuretika.

Efek Samping ACEi: hipotensi; pusing, sakit kepala, letih, astenia, mual (terkadang

muntah), diare, (terkadang konstipasi), kram otot, batuk kering yang persisten (PIO

Nas, 2015).

ARB merupakan antagonis terhadap angiotensin II, sehingga memiliki

mekanisme kerja yakni menduduki reseptor angiotensin II yang memiliki sifat

vasokonstriksi. Oleh karena itu, tekanan darah dapat diturunkan. Contoh obat

golongan ini adalah Valsartan, Candesartan, Losartan, dan Irbesartan. ARB sangat
efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang

tinggi tapi kurang efektif pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang rendah.

 Valsartan: 80 mg sekali sehari; jika diperlukan ditingkatkan hingga 160

mg sehari atau ditambahkan pemberian diuretika.

 Candesartan cilextil: dosis awal 4 mg sekali sehari, tingkatkan jika perlu

hingga maksimal 32 mg sekali sehari; dosis penunjang lazim 8 mg

sekali sehari. Kombinasi dengan diuretika: kandesartan sileksetil 16 mg

+ HCT 12,5 mg sekali sehari (jika klirens kreatinin > 30 ml/menit).

Efek Samping: kelelahan, jarang diare, sakit kepala, nyeri sendi (PIO Nas, 2015).

Obat golongan calcium channel blocker akan menghambat

masuknya ion Ca2+ ke dalam sel sehingga kontraktilitas tidak terjadi.

 Amlodipin: Dosis awal 5 mg sekali sehari; maksimal 10 mg sekali

sehari.

 Nifedipine: Dosis awal 10 mg 3 kali sehari, dosis penunjang lazim 5-20

mg 3 kali sehari.

Efek Samping: muka merah, letargi; takikardi, palpitasi; juga edema kaki (PIO Nas,

2015).

Diuretik hemat kalium sebaiknya dihindari pada pasien dengan insufisiensi

ginjal karena risiko hiperkalemia. Loop diuretik (furosemide, asam ethacrynic, atau

bumetanide) dan metozalone adalah satu-satunya diuretik yang efektif pada pasien

dengan gagal ginjal yang signifikan, tetapi dosis obat ini perlu ditingkatkan pada

pasien tersebut (Nafrialdi, 2011).


Loop diuretik dapat menyebabkan penurunan resistensi vaskular ginjal dan

peningkatan aliran darah. Loop diuretik sangat berguna ketika mengobati edema

dan tekanan darah tinggi pada pasien (Nafrialdi, 2011).

 Furosemide: 40-80 mg per hari.

Efek Samping: Vertigo, mulut terasa kering, dan aritmia (PIO Nas, 2015).

2) Pengobatan Diabetes Mellitus.

Pedoman untuk pengobatan diabetes pada pasien dengan penyakit ginjal

kronik menurut Canadian Diabetes Association:

Metformin direkomendasi sebagai lini pertama untuk diabetes mellitus tipe 2

dengan gagal ginjal kronik stadium 1 sampai 3 yang memiliki fungsi renal stabil

yang tidak berubah selama 3 bulan terakhir. Dosis awal 500 mg 1x sehari selama 1

minggu, kemudian dinaikkan menjadi 2x sehari, dan dinaikkan lagi menjadi 3x

sehari. Dosis maksimum 2 g sehari dalam dosis terbagi setelah makan. Efek

samping: nyeri perut, diare, penurunan penyerapan vitamin B12 (PIO Nas, 2015;

Dipiro dkk., 2015).

Pilihan agen lain yang mengurangi glukosa:

 Risiko hipoglikemia seharusnya dinilai secara teratur untuk

pasien yang memakai insulin atau insulin secretagogue. Pasien

ini seharusnya diajarkan bagaimana mengenali, mendeteksi dan

mengobati hipoglikemia.

 Sulfonilurea kerja pendek (misalnya gliclazide) dipilih sebagai

lini kedua diabetes mellitus pada PGK. Skema tatalaksana DM

pada Penyakit Ginjal Kronis dapat dilihat pada Gambar 5

(KDIGO, 2012).
Gambar 5. Skema tatalaksana DM pada Penyakit Ginjal Kronis

3)iiPengobatan Anemia

Penatalaksanaan terapi anemia pada pasien gagal ginjal kronik dapat dilihat

dibawah ini:

4) Pengobatan Hiperlipidemia

Penatalaksanaan hiperlipidemia pada PGK menurut KDIGO, 2012 untuk

penanganan kadar lemak dalam darah adalah seperti dibawah ini:


Berdasarkan guideline dari KDIGO, 2012 tatalaksana yang

direkomendasikan yaitu:

Golongan Statin (sebagai first line) menghambat secara kompetitif

koenzim 3-hidroksi-3-metilglutaril (HMG CoA) reduktase, yakni enzim yang

berperan pada sintesis kolesterol, terutama dalam hati.

 Simvastatin: 10-40 mg sekali sehari malam hari.

 Atorvastatin: Biasanya 10 mg, maksimal 80 mg sekali sehari.

Efek Samping: ruam kulit, alopesia, anemia, pusing, depresi, neuropati

perifer.

Golongan Fibrat dalah agonis peroxisome proliferator alpha

receptor dan mampu meningkatkan kolesterol HDL, menurunkan

trigliserida, serta LDL.

 Gemfibrozil: 1200mg setiap hari, dipertimbangkan sebagai

alternatif pengobatan statin untuk pasien PGK yang beresiko

kardiovaskular intermediate atau tinggi dengan kadar kolesterol

HDL rendah (<1.0 mmol/L). Preparat fibrat lain (mis:

fenofibrat,dll) seharusnya dicegah atau dosis dikurangi untuk

pasien PGK stadium 2-4 karena meningkatkan resiko toksisitas.

Statin dan fibrat seharusnya tidak diberikan bersamaan pada pasien dengan

gagal ginjal kronik stadium 4 karena risiko rabdomiolisis (KDIGO, 2012).

5) Terapi Hiperposfatemia

KDIGO meninjau bukti yang mendukung untuk rekomendasi dalam

penundaan progresi dari CKD. Osteodistrofi renal merupakan komplikasi PGK

yang sering terjadi. Penggunaan tes kepadatan mineral tulang dilakukan pada
pasien dengan GFR ≤ 45 mL/menit/1,73 m2 (KDIGO, 2012; Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam, 2009). Pemilihan obat dapat dilihat dibawah ini:

IX. Kajian Interaksi Obat pada Penyakit Ginjal Kronis

Beberapa interaksi obat yang ditemui selama pengobatan pasien Penyakit

Ginjal Kronis menurut Drug.com dapat dilihat di Tabel 6 dan Tabel 7.

Tabel 6. Kajian Interaksi Obat dalam Pengobatan Penyakit Ginjal Kronis


Tabel 7. Kajian Interaksi Obat dalam Pengobatan Penyakit Ginjal Kronis

X. Catatan Penting Peresepan Obat Pasien GGK


Catatan penting untuk peresepan pada pasien GGK untuk penunjang

terapi pasien disesuaikan dengan penulisan peresepan dokter dapat dilihat

Tabel 8.
Obat Catatan Penting
1. Antihipertensi
Antagonis sistem RAA Hindari pada pasien yang diduga gangguan fungsional stenosis
(ACEI, ARB, antagonis arteri ginjal
aldosteron, inhibitor renin Dimulai dengan dosis yang lebih rendah pada pasien dengan
langsung) GFR<45mL/menit/1,73m2
Menilai GFR dan mengukur serum kalium dalam waktu 1 minggu
dari awal pemberian atau mengikuti setiap eskalasi dosis
Dihentikan sementara selama adanya penyakit penyerta,
persiapkan radiocontrast secara IV, persiapan untuk colonscopy
atau sebelum operasi besar
Jangan rutin menghentikan pengobatan pada pasien dengan
GFR<30mL/menit/1,73m2 selama mereka tetap nephroprotective
Turunkan dosis hingga 50% pada pasien dengan
Beta-blocker GFR<30mL/menit/1,73m2
Digoxin Turunkan dosis berdasarkan konsentrasi plasmanya
2. Analgetik
NSAID Hindarkan pada pasien dengan GFR<30mL/menit/1,73m2
Terapi jangka panjang tidak direkomendasikan pada pasien
dengan GFR<60mL/menit/1,73m2
Dianjurkan tidak digunakan pada pasien yang menggunakan
lithium
Hindarkan pada pasien yang menggunakan RAAS blocking agent

Opioid Turunkan dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2


Gunakan dengan peringatan pada pasien dengan
GFR<15mL/menit/1,73m2
3. Antimikroba
Penicillin Risiko crystalluria ketika GFR<15mL/menit/1,73m2 dengan dosis
tinggi
Neurotoksik dengan benzylpenicillin ketika
GFR<15ml/menit/1,73m2dengan dosis tinggi (maksimum 6
g/hari)
Aminoglikosida Turunkan dosis dan atau naikkan interval dosis ketika
GFR<60mL/menit/1,73m2
Monitor konsentrasi serum
Hindari pemakaian ototoxic agents secara bersamaan seperti
furosemide
Makrolida Turunkan dosis sampai 50% ketika GFR<30mL/menit/1,73m2
Fluorokuinolon Turunkan dosis sampai 50% ketika GFR<15mL/menit/1,73m2
Turunkan dosis ketika GFR<45mL/menit/1,73m2, dapat
Tetrasiklin
memperburuk uremia
Antifungi Hindari amphotericin kecuali tidak ada alternatif ketika
GFR<60mL/menit/1,73m2
Turunkan dosis pemeliharaan dari fluconazole sampai 50% ketika
GFR<45mL/menit/1,73m2
Turunkan dosis flucytosine ketika GFR<60mL/menit/1,73m2
4. Obat Hipoglikemia
Sulfonilurea Hindari obat-obat yang utamanya dieksresi melalui ginjal
(contoh: glyburide/glibenklamid)
Obat-obat yang utamanya dimetabolisme di hati perlu diturunkan
dosisnya ketika GFR<30mL/menit/1,73m2 (contoh: gliclazide,
gliquidone)
Obat Catatan Penting
Sebagian diekskresi di ginjal dan perlu diturunkan dosisnya
Insulin ketika GFR<30mL/menit/1,73m2
Metformin Dianjurkan untuk dihindari ketika GFR<30mL/menit/1,73m2,
tapi pertimbangkan risk-benefit jika nilai GFR stabil Tinjau
penggunaan ketika GFR<45mL/menit/1,73m2
Dimungkinkan aman ketika GFR≥45mL/menit/1,73m2 Tunda
penggunaan pada pasien yang tidak sehat secara mendadak
5. Antihiperlidemia
Statin Tidak ada kenaikan toksisitas untuk simvastatin dengan dosis 20
mg/hari atau kombinasi simvastatin 20 mg dan ezetimide 10 mg
per hari pada pasien dengan GFR<30mL/menit/1,73m2 atau
dengan dialisis
Uji lain tentang statin pada pasien dengan
GFR<15mL/menit/1,73m2atau dengan dialisis juga menunjukan
tidak ada kelebihan toksisitas
Fenofibrat Menaikkan SCr sekitar 0,13 mg/dL (12µmol/L)
6. Kemoterapetik
Cisplatin Turunkan dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2
Hindari ketika GFR<30mL/menit/1,73m2
Melphalan Turunkan dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2
Methotrexate Turunkan dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2
Hindari jika mungkin ketika GFR<15mL/menit/1,73m2
7. Antikoagulan
Heparin berbobot molekul Bagi dua dosis ketika GFR<30mL/menit/1,73m2
kecil Pertimbangkan beralih ke heparin konvensional atau dengan
alternatif memantau plasma anti-faktor Xa pada pasien yang
berisiko tinggi perdarahan
Warfarin Menaikkan risiko perdarahan ketika GFR<30mL/menit/1,73m2
Pakailah dosis lebih rendah dan monitor secara ketat ketikat
GFR<30mL/menit/1,73m2
8. Lain-lain
Lithium Nefrotoksisk dan dapat menyebabkan disfungsi tubular ginjal
dengan penggunaan jangka panjang bahkan dalam range
terapeutik
Memantau GFR, elektrolit dan level lithium 6 bulanan atau secara
rutin jika dosis berubah atau pasien tidak sehat mendadak
Hindari penggunaan bersamaan dengan NSAID
Sumber : KDIGO (2012)

XI. Manajemen Terapi Non Farmakologi pada Penyakit Ginjal Kronis

Diet rendah protein (0,6-0,75 g/kg/hari) dapat menunda perkembangan

CKD pada pasien dengan atau tanpa diabetes, meskipun efek yang dihasilkan relatif

kecil (Dipiro, 2009). Sedangkan untuk pasien yang menerima dialisis menjaga

asupan protein dari 1,2g/kg/hari sampai 1,3 g/kg/hari.


XII. Edukasi, Konseling, dan Penyampaian Informasi Obat

Pencegahan dan pengendalian komplikasi pada pasien Penyakit Ginjal

Kronis (PGK) dengan menerapkan perilaku “CERDIK”

C - Cek Kesehatan secara Berkala: Cek tekanan darah, Cek kadar gula darah yang

menunjukkan kadar glukosa dalam darah dan Cek kolesterol total.

E - Enyahkan asap rokok

R - Rajin aktivitas fisik

D - Diet seimbang

I - Istirahat cukup

K - Kelola stress.

- Pemberian Edukasi untuk Patuh Minum Obat

Edukasi pasien untuk meminum obat sesuai regimen terapi, dan pada waktu yang

sama setiap harinya, serta mengenai efek samping yang mungkin terjadi. Berikan

saran kepada pasien untuk membuat alarm jadwal minum obat.

- Lakukan aktivitas olahraga dan istirahat yang cukup. Tidak boleh mengangkat

benda berat, dan lakukan latihan meremas-remas bola untuk mempertahankan

akses vaskuler tetap baik.

- Hindari meminum air putih secara berlebihan. Untuk pasien stadium 1-4 bisa

meminum air maksimal kurang dari 2L dalam sehari, dan untuk pasien pada

stadium 5, kurang dari 1L dalam sehari.

- Batasi makanan yang memiliki protein tinggi, seperti daging sapi, ayam, ikan,

kuning telur, susu, tahu, tempe serta olahan susu.

- Batasi makanan yang tinggi kadar fosfor, seperti selai kacang, minuman bersoda

dan minuman beralkohol.

- Batasi makanan yang tinggi kadar garam, seperti daging olahan dan kalengan.
- Batasi makanan yang tinggi kadar kalium, seperti bayam, pisang, alpukat, kiwi.
DAFTAR PUSTAKA

Badin J, Boulain T, Ehrmann S, et al. 2011. Relation between mean arterial


pressure and renal function in the early phase of shock: a prospective,
explorative cohort study. Crit care. 15(3):R135
Cartin-Ceba R, Kashiouris M, Plataki M. 2012. Risk factors for development
of acute kidney injury in critically ill patients: a systematic review and
meta-analysis of observational studies. Critical care research and
practice. doi:10.1155/2012/691013.
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris.
Emedicine. Acute Kidney Injury. Updated: 13-Jan 2017. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/243492-overview#a5
Emedicine. Chronic Kidney Disease. Updated: . Cited: 30-Octoober 2017.
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/238798-
overview
Faubel S, Shah PB. 2016. Immediate consequences of acute kidney injury: the
impact of traditional and nontraditional complications on mortality in
acute kidney injury. Advance in Chronic Kidney Disease. 23(3):179-
185
Friedrich JO, Adhikari N, Herridge MS, Beyene J. 2005. Meta-analysis: low-
dose dopamine increase urine output but does not prevent renal
dysfunction or death. Ann Intern Med. 142(7):510-524.
KDIGO. 2012. KDIGO Clinical Practice for Acute Kidney Injury. Kidney
International Supplements. 2(4).
Macedo E, Metha RL. 2009. Prerenal failure: from old concepts to new
paradigms. Curr Opin Crit Care. 15(6):467-473.
Markis K, Spanou L. 2016. Acute kidney injury: definition, pathophysiology
and clinical phenotypes (review article). Clin Biochem Rev. 37(2):85-
98.
MayoClinic. Acute Kidney Failure. Updated: -. Available from:
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/kidney-
failure/diagnosis-treatment/drc-20369053.
Nafrialdi. 2011. Farmakologi dan terapi: antihipertensi diuretik dan
antidiuretik. Edisi Kelima. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Halaman 341
– 360, 389 – 409.
National Clinical Guideline Centre (UK). 2013. Acute Kidney Injury:
prevention, detection and management up to the point of renal
replacement therapy.
Osterman M, Joannidis M. 2016. Acute kidney injury 2016: diagnosis and
diagnostic workup. Critical care. 20:299.
Rahman M, Shad F, Smith MC. 2012. Acute kidney injury: a guide to diagnosis
and management. Am fam physician. 86(7):631-639.
Rahmawati, F. 2018. Aspek Laboratorium Gagal Ginjal Kronik. Jurnal Ilmiah
Kedokteran Wijaya Kusuma Surabaya.6 (1):14-22.
Silver SA, Goldstein SL, Harel Z, Harvey A, Rompies EJ, Adhikari NK, et al.
2015. Ambulatory care after acute kidney injury: an opportunity to
improve patient outcomes. Canadian J of Kidney Health and Dis. 2(36).
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
Uptodate. Patient education: acute kidney injury (the basics). Updated: 30-
May, 2017. Available from: https://www.uptodate.com/contents/acute-
kidney-injury-the-basics.

Anda mungkin juga menyukai