I. IDENTITAS
Nama Pasien : Tn. LL
Umur : 44 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Kedunggalar, Ngawi
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
No. RM : 554xxx
Tanggal Operasi : 20 April 2021
II. ANAMNESIS
Autoanamnesa dan pengambilan data sekunder dari status pasien pada tanggal 20
April 2021.
1. Keluhan Utama
Benjolan di paha kiri.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk ke rumah sakit pada tanggal 19 April 2021 akibat benjolan yang ada
di paha kiri sehingga direncanakan operasi keesokan harinya setelah sebelumnya
telah dilakukan berbagai pemeriksaan.
3. Anamnesis Sistem
- Cerebrospinal : Nyeri kepala ( - ), demam ( - )
- Kardiovaskular : Berdebar-debar ( - ), nyeri dada ( - )
- Respirasi : Sesak nafas ( - ), batuk ( - )
- Digesti : Mual ( - ), muntah ( - ), nyeri abdomen( -)
- Urogenital : BAK normal
- Integumentum : Gatal ( - ), kemerahan pada kulit ( - )
- Muskuloskeletal : edem ekstremitas ( - ), Massa pada paha kiri
4. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat HT ( - ), DM ( - ), Asma ( - ), Alergi obat ( - )
5. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat HT ( - ), DM ( - )
- Tidak ada riwayat alergi
ASA III Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang
menyebabkan keterbatasan fungsi.
ASA IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan
menyebabkan ketidakmampuan fungsi
ASA V Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau
tanpa operasi
Pada pasien Tn. LL usia 44 tahun dengan diagnosis tumor femur sinistra akan
dilakukan tindakan operasi berupa eksisi tumor. Dari hasil pemeriksaan preanestesi
berupa anamnesis, pemeriksaan fisik serta penunjang, pasien ini layak untuk
dilakukan operasi dengan klasifikasi ASA I. Berdasarkan konsultasi yang telah
dilakukan dengan dokter anestesi, pasien ini akan direncanakan untuk dilakukan
tindakan general anesthesia (GA).
General anesthesia atau anestesi umum merupakan tindakan yang berfungsi untuk
menghilangkan rasa nyeri atau sakit pada seluruh tubuh secara sentral dengan
mempengaruhi sistem saraf pusat disertai hilangnya kesadaran yang bersifat dapat
pulih kembali (reversible). General anestesi terdiri dari beberapa teknik yakni dengan
teknik intravena, inhalasi dengan sungkup muka dan dengan teknik intubasi yaitu
pemasangan endotrecheal tube atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena.
Kedalaman anestesi merupakan tingkat keadaan dimana sistem saraf pusat (SSP)
ditekan oleh agen anestesi umum berdasarkan pada potensi dari agen anestesi dan
konsentrasi yang digunakan. Kedalaman anestesi harus selalu dimonitor terus
menerus selama tindakan pemberian anestesi pada pasien. Hal ini bertujuan agar
pemberian anestesi tidak terlalu dalam sehingga membahayakan pasien, namun juga
harus cukup adekuat untuk dilakukannya operasi tanpa pasien merasakan nyeri.
Arthur Ernest Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan
melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan reflek pada
pasien berdasarkan penggunaan agen anestesi inhalasi yaitu diethyl ester.
- Stadium I (stadium analgesia atau disorientasi)
Stadium ini berlangsung mulai dari induksi anestesi hingga hilangnya kesadaran.
Rasa nyeri belum hilang sama sekali sehingga hanya dapat dilakukan pembedahan
kecil. Akhir stadium ini ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata.
- Stadium II (stadium hipersekresi atau eksitasi atau delirium)
Dimulai dari hilangnya kesadaran dan hilangnya reflek bulu mata sampai ventilasi
kembali teratur. Terdapat depresi ganglia basalis sehingga refleks-refleks tidak
terkontrol atau reaksi berlebihan terhadap berbagai rangsangan.
- Stadium III (stadium pembedahan)
Mulai dari respirasi tertur sampai apnea. Stadium ini dibagi 4 plana :
Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola
mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks cahaya positif, lakrimasi
meningkat, refleks faring dan muntah negative serta tonus otot mulai menurun.
Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun, frekuensi
nafas meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis,
refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang.
Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum negatif,
tonus otot semakin menurun.
Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total,
pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfingter ani dan kelenjar air mata
negatif, relaksasi otot lurik sempurna.
- Stadium IV (stadium paralisis atau stadium kelebihan obat).
Stadium ini mulai dari henti nafas (paralisis diafragma) hingga henti jantung.
Pemberian anestesi dimulai dengan pemberian obat premedikasi anestesi secara
intravena. Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat
-obatan pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikholinergik,
sedasi/trankuilizer, dan analgetik. Tujuan premedikasi ialah meredakan kecemasan,
memperlancar induksi anestesi, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus,
meminimalkan jumlah anestesi, mengurangi rasa mual muntah pasca bedah,
menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan
lambung, maupun mengurangi refleks yang membahayakan.
Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan. Induksi dapat
dilakukan dengan cara inhalasi, intravena, intramuskular atau rektal. Obat induksi
anestesi intravena contohnya thiopental, propofol atau ketamine. Pasien Tn. LL
mendapatkan propofol 100 mg sebagai obat induksi anestesi intravena. Propofol
dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu yang bersifat isotonik
dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Propofol hanya memiliki efek hipnotik dan
tidak memiliki efek analgetik maupun relaksasi otot. Propofol memiliki onset kerja
yang cepat dibandingkan thiopental. Proses pemulihan kesadaran juga cepat
dibandingkan dengan obat anestesi yang lain. Pasien cepat kembali sadar setelah
pembiusan sehingga efek konfusi pasca bedah minimal. Selain efek utamanya
tersebut propofol juga memiliki efek lain sebagai antiemetik, antipruritik,
antikonvulsan dan mengurangi konstriksi bronkus. Sehingga mengakibatkan efek
muat atau muntah pasca pembedahan sangat minimal. Efek samping yang mungkin
timbul dengan pemberian propofol adalah hipotensi dan apnea sementara. Propofol
tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan wanita hamil. Dosis induksi Propofol yaitu
2-2,5 mg/kgBB. Pada pasien ini diberikan propofol sebanyak 100 mg. Ditinjau dari
berat badan pasien yaitu 50 kg, maka rentang dosis anjuran adalah 100-125 mg.
Pemberian propofol pada pasien sudah sesuai dosis anjuran.
Selain propofol, digunakan pula fentanyl sebagai obat analgetik pada kasus ini.
Obat ini tergolong ke dalam golongan opioid yang diharapkan mampu
mengendalikan nyeri saat pembedahan. Fentanyl merupakan opioid yang lebih
banyak digunakan dibanding morfin karena menimbulkan efek analgesia anestesia
yang lebih kuat dengan efek depresi napas yang lebih ringan. Karakteristiknya yaitu
lebih larut dalam lemak dibandind petidin dan menembus sawar jaringan dengan
mudah. Namun efeknya ialah kekakuan otot punggung yang dapat dicegah dengan
pelumpuh otot. Dosis anjuran untuk pembedahan singkat yaitu 1-3 mcg/kgBB. Berat
badan pasien 50 kg. Sehingga rentang dosis anjurannya 50-150 mcg. Pada kasus ini,
pasien diberikan fentanyl 100 mcg yang mana sudah sesuai dengan dosis anjuran.
Di samping itu, diberikan pula recuronium bromide yang tergolong ke dalam obat
pelumpuh otot (muscle relaxant). Pelumpuh otot terdiri atas 2 kelompok yaitu
pelumpuh otot depolarisas dan non depolarisasi. Pelumpuh otot depolarisasi
contohnya suksinilkolin. Sedangkan pelumpuh otot non depolarisasi contohnya
pancuronium, vecuronium dan recuronium. Recuronium bromide merupakan muscle
relaxant kompetitif yang memiliki mula kerja paling cepat, dilaporkan bereaksi dalam
2 menit. Recuronium adalah pelemas otot aminosteroid dengan lama kerja menengah
yang memiliki efek kardiovaskular minimal. Namun pada dosis tinggi menimbulkan
efek vagolitik yang ringan. Sebagian besar obat ini dieliminasi di hati dan sebagian
kecil di ginjal. Dosis anjuran recuronium yaitu 0,6-1 mg/kgBB. Pada pasien ini berat
badannya 50 kg dan diberikan dosis 40 mg. Hal tersebut sesuai karena rentang dosis
pasien ini adalah 30- 50 mg.
Kemudian diberikan asam traneksamat. Asam traneksamat merupakan obat
antifibrinolitik atau competitive inhibitor dari aktivator plasminogen dan penghambat
plasmin. Plasmin sendiri berperan menghancurkan fibrinogen. Oleh karena itu asam
traneksamat dapat digunakan untuk membantu mengatasi perdarahan akibat
fibrinolisis yang berlebihan. Efek samping dari asam traneksamat yaitu hipotensi
apabila diberikan secara intravena dengan cepat. Sehingga kecepatan pemberian tidak
boleh lebih dari 1ml/menit. Rentang dosis injeksi yang dianjurkan yaitu 500-1000
mg. Pasien ini diberikan dosis 500 mg, artinya sudah sesuai.
Kesimpulan
Langkah-langkah anestesi dan obat-obatan yang digunakan pada kasus ini sudah
sesuai dengan yang seharusnya, namun jumlah cairan yang diberikan masih sedikit
kurang sesuai.