Anda di halaman 1dari 37

Journal

reading DM Dinda Alsayla


RSUD Dr. Soeroto Ngawi
Universitas Islam Indonesia
Introduction

• COVID-19disebabkan oleh novel betacoronavirus, SARS-Cov2


• Pertama dilaporkan Desember 2019 di Wuhan, China
• 11 Maret 2020, tersebar secara globalpandemic
• 6 Juni 2020, >6 juta terinfeksi dan 380 ribu kematian
• menyerang traktus respiratorius & keparahan penyakit bervariasi (rinorea ringan - ARDS dan kematian)
• Gejala lain: anosmia, diare, rash, gangguan tromboembolik, miokarditis dan vasculitis
• Periode inkubasi: ± 5 hari, dengan onset gejala menjelang hari ke 11.5
• Eksresi tertinggi asam nukleat virus pada onset gejalaKemampuan transmisi kemungkinan pada
periode pre simtomatik
• Perburukan klinis: minggu kedua penyakit
Introduction

• CFR dilaporkan berkaitan dengan umur (>>pada usia tua >70 tahun)
• Factor lain: perawatan di ICU, laki-laki>perempuan, hipertensi, obesitas dan diabetes
• CFR : 0.82% dan 9.64%
• IFT : 0.1%-0.41%
• SARS-CoV-2 merupakan salah satu coronavirus (SARS-CoV dan MERS-CoV) yang menyebabkan
penyakit respirasi parah, dan telah memiliki outbreak mayor pada 20 tahun terakhir.
• Walaupun sudah dilakukan percobaan pengembangan vaksin terhadap SARS dan MERS, termasuk
percobaan klinis manusia fase 1, belum ada vaksin yang berlisensi untuk coronavirus jenis apapun.
Sejarah vaksin untuk coronavirus

Coronavirus memiliki ukuran 30+kb, genom rantai


tunggal RNA yang terbungkus dengan
nukleokapsid heliks (N), dan lapisan luar terdiri
dari protein membran (M), protein envelope (E),
dan protein spike (S).

Protein S secara alami berbentuk trimeric,


mengandung RBD yang bertanggung jawab untuk
melekat pada ACE2 dan pintu masuk kedalam sel.

protein S target mayor untuk pengembangan


vaksin karena mendapatkan neutralising antibody
• Pengembangan vaksin coronavirus sulit karena:
1. Vaksin coronavirus pada model binatang terbukti
imunogenik tapi secara umum tidak dapat
mencegah penyakit secara efektif.
2. Serupa infeksi coronavirus alami, dikhawatirkan
kemungkinan tidak menginduksi imunitas
seumur hidup dan dapat terjadi reinfeksi
3. perburukan penyakit akibat penggunaan vaksin
coronavirus (SARS-CoV dan MERS-CoV) pada
beberapa model binatang yang menunjukkan
imunopatologis dimediasi Th2
4. Tikus yang diberikan vaksin whole virus inaktif (vaksin protein
S DNA rekombinan/vaksin partikel mirip virus) patologi
paru termasuk infiltrasi eosinophil 2 hari setelah berhadapan
dengan SARS-CoV sedangkan pada paru tikus yang tidak
divaksin tidak terlihat.
5. Imunopatologi paru yang serupa terlihat terutama pada tikus
tua dibandingkan dengan tikus muda.
6. Tikus yang diberikan vaksin SARS-CoV protein N 
pneumonia berat/infiltrate eosinofilik paru setelah
berhadapan dengan virus, sedangkan tikus yang diimunisasi
dengan glikoprotein yang mengekspresikan partikel replicon
virus tidak. Sehingga antigen protein N mungkin adalah
antigen yang berkaitan dengan imunopatologi ini.
7. Imunopatologi serupa juga terlihat pada tikus yang divaksin Perkembangan penyakit akibat
dengan vaksin MERS-CoV inaktif Ketika berhadapan dengan vaksin dapat menjadi lebih berat
virus hidup. pada tipe vaksin tertentu
SARS-COV-2/COVID-19 VACCINES
Context
Sulit mengembangkan & memperbanyak
produksi vaksin dengan cepat dalam kondisi Pada outbreak, penundaan distribusi vaksin
pandemic global karena butuh banyak aktivitas menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang besar
yang harus dilakukan secara bersamaan dan
terkoordinir, ex: Epidemik SARS 2003 yang berakhir sebelum
pengembangan vaksin selesai & epidemic ebola pada
sedangkan proses biasanya bertahap dan butuh tahun 2013/2014 di afrika barat yang membunuh lebih
waktu puluhan tahun dengan uji pre-klinik, uji dari 11000 orang dan menyebabkan beban ekonomi dan
fase klinik, produksi terencana dan distribusi. sosial hingga menghabiskan 53 milyar dolar. Padahal
Hal ini menyebabkan penumpukan sumber daya vaksin sudah dikembangkan dan kemudian terbukti
dan peningkatan resiko finansial. efektif untuk pencegahan ebola dan dapat berkontibusi
untuk mengontrol outbreak.
Variasi sistem teknologi
2017, CEPI  membahas kegagalan dimasa lampau dan bertujuan mengembangkan
respon terkoordinasi terhadap ancaman penyakit infeksi yang muncul untuk memastikan
pengembangan vaksin dan distribusi cepat dalam merespon epidemic

Selain itu digunakan system teknologi baru untuk mempercepat pengembangan vaksin.
Vaksin berlisensi untuk manusia biasanya merupakan:
• virus hidup yang dilemahkan (ex: measles, mumps, rubella)
• virus inaktif (ex; vaksin polio inaktif)
• vaksin subunit terkonjugasi polisakarida atau protein (protein: pertussis aselular,
hepatitis B; konjugasi polisakarida: pneumokokus, meningokokus)
• partikel mirip virus
Selama puluhan tahun terakhir, beragam system tekonologi baru telah dikembangkan
termasuk vaksin yang terdiri dari asam nukleat (DNA dan RNA) dan vector virus dan
protein rekombinan.
1. Vaksin rekombinan/vector virus
• Teknologi vector virus melibatkan pengiriman satu/beberapa gen yang mengkode antigen target
dalam virus rekayasa yang tidak berkaitan.
• Pada HIV, Ebola, Zika dan Chikungunyaa, vaksin menggunakan vector virus termasuk Ad, MV,
VSV, alphavirus, poxvirus, dan virus herpes mengizinkan insersi ≥5kb transgen dan menunjukkan
kemampuan untuk menstimulus imunitas seluler dan humoral.
• Namun, kecendrungan produksi vaksin yang lambat pada kondisi outbreak dimana
membutuhkan laboratorium BSL2, dan kemungkinan adanya imunitas pada penerima vaksin
vector virus seperti Ad5 dan MV menurukan efektivitas vaksin.
• Vaksin Ebola (rVSV-ZEBOV) saat ini merupakan vaksin vector satu-satunya yang telah dilisensi
dan dapat digunnakan untuk manusia, dan hanya diproduksi secara terbatas.
• Vaksin MVA-MERS-S_DF1 yang mengekspresikan S protein dari MERS-CoV pada open label,
uji coba fase 1 pada 26 individu berumur 18-55 tahun, menunjukkan profil keamanan yang baik
tanpa adanya efek samping apapun tapi hanya menginduksi respon sel T dan humoral yang
sedikit atau terbatas terhadap MERS-CoV. Namun, walaupun didapatkan antibody netralisasi
spesifik vector, vaksin tetap mendapatkan respon antibody terhadap transgen setelah imunisasi
booster.

• Vaksin ChAdOx1 MERS yang menggunakan vector adenoviral yang mengekspresikan protein S
pada uji klinis fase 1 untuk 24 individu berumur 18-50 tahun menunjukkan bahwa dosis tunggal
mampu mendapatkan respon humoral dan selular terhadap MERS CoV. Mayoritas efek
samping yang diinginkan dan yang tidak diinginkan yang dilaporkan oleh partisipan bersifat
ringan hingga sedang dan dapat sembuh sendiri, tidak terdapat efek samping serius yang
berkaitan dengan administrasi vaksin, yang mendukung progress menuju uji coba fase 1b dan 2
2.Vaksin asam nukleat
• Vaksin asam nukleat memanfaatkan DNA atau RNA plasmid, mRNA, atau replicon virus yang mengkode antigen.
• Asam nukleat yang awalnya dibawa oleh sel akan menginisiasi sintesis protein, sehingga akan muncul respon imun
humoral dan imun dimediasi sel, mirip dengan infeksi alami.
• Vaksin seperti ini telah diuji coba untuk penyakit infeksi pada binatang dan menunjukkan imunogenisitas, Ex: foot and
mouth disease, virus deer Powassan dan virus rabies.
• Uji coba fase 1 pada manusia yang sedang berlangsung untuk vaksin asam nukleat melawan virus ebola, influenza, dan
zika.
• Kelebihan : mengizinkan manipulasi antigen dan produksi yang cepat, karena produksi dapat sintetik dan secara
keseluruhan bebas dari sel sehingga menghindari kebutuhan terhadap laboratorium BSL2.
• Kekurangan : terutama mRNA, rapuh dan membutuhkan proses rantai dingin tidak terputus untuk transport dan
penyimpanan.
Uji coba fase 1 telah dilakukan pada kandidat vaksin DNA SARS-CoV
dan MERS-CoV:
• Vaksin DNA rekombinan SARS mengkode genom protein N SARS-
CoV, dikembangkan oleh NIAID diinvestigasi pada 10 individu
dewasa.
• Vaksin DNA MERS-CoV dikembangkan oleh GeneOne Life science
dan mengkode seluruh Panjang genom protein S, dengan partisipan
lebih banyak (n=75).

Keduanya menunjukkan profil keamanan yang dapat diterima dan


menginduksi respon humoral dan selular: vaksin DNA MERS-CoV telah
berlanjut ke uji coba klinis tahap 2.
Vaksin SARS lainnya yang telah mencapai uji coba fase 1 adalah vaksin
inaktif yang diproduksi oleh sinovac biotech.
Tidak terdapat laporan penelitian pada manusia dimana subyek yg
divaksin dihadapkan dengan virus alami.
Kandidat
vaksin
• Hingga 1 juni 2020, terdapat 124 kandidat vaksin yang sedang dikembangkan
untuk mencegah COVID-19 yang terdaftar pada rangkuman WHO, dimana 10
kandidat vaksin yang didesain secara spesifik untuk mencegah COVID-19 telah
memasuki uji coba fase 1, kombinasi fase 1/2, atau uji coba klinis pada manusia
dewasa fase 2.

• kebanyakan penelitian ini melibatkan dewasa sehat dari umur 18 tahun hingga
50-60 tahun. 2 percobaan melibatkan partisipan lebih muda, salah satu dari umur ≥3
tahun dan yg lainnya ≥6 tahun tanpa ada Batasan atas dikeduanya. Salah satu
mengkombinasikan percobaan fase 1/2 melibatkan partisipan lebih tua hingga 85
tahun, dan penelitian awal fase 1 telah diperpanjang pada may 2020 juga melibatkan
partisipan lebih tua hingga 99 tahun.
Vaksin berlisensi seperti BCG dan polio oral telah terbukti
tidak memiliki efek modulasi spesifik pada system imun dan
menyediakan proteksi terhadap penyakit infeksi lain. Sehingga
timbul dugaan bahwa vaksin ini mungkin memiliki efek dalam
pencegahan COVID-19.

3 RCT multisenter terhadap administrasi vaksin BCG sedang


dilakukan pada tenaga Kesehatan di Australia, Belanda dan
Afrika selatan. Uji coba Vaksin measles untuk mencegah
COVID-19 pada tenaga Kesehatan di Egypt telah dilakukan
dan vaksin polio oral juga dipertimbangkan di USA.
Discussion

Walaupun imunitas dapat bertahan setelah infeksi SARS-CoV2,


estimasinya 60-70% populasi harus imun untuk mencapai herd immunity
terhadap SARS-CoV2.

cara paling aman dan terkontrol untuk pencegahan yang efektif dan dapat
dipertahankan pada populasi adalah dengan memiliki vaksin yang
berefikasi dan aman dgn mayoritas populasi berhasil divaksin.

vaksin juga harus siap diproduksi dalam jumlah besar dengan biaya yang
murah, dan dapat ditransportasikan dengan membutuhkan rantai beku
yang minimal sehingga bermanfaat secara global.
Discussion

Imunitas setelah infeksi primer COVID-19 melindungi dari reinfeksi


pada model primate dan kemungkinan besar juga terjadi pada manusia.

Apakah hal ini dapat di tiru pada vaksin dan berapa lama imunitas akan
bertahan masih belum dapat diapstikan.

Setelah infeksi SARS-CoV, IgG dan antibody penetral terdeteksi selama


1-3 tahun setelah infeksi sehingga menunjukkan bahwa perlindungan
yang diinduksi vaksin kemungkinan tidak bertahan lama dan
membutuhkan reimunisasi
Perkembangan kandidat vaksin baru terhadap SARS-CoV dapat cepat menuju uji coba pre-klinik
dan klinik.
Beberapa hasul uji coba fase 1 :
● Vaksin Ad5-CoV, yang dilakukan pada 108 partisipan menunjukkan profil kemanan atau
tolerabilitas yang masuk akal dan telah menuju ke fase 2.
● Vaksin mRNA-1271 (dirilis 18 Mei) menunjukkan serokonversi dan perkembangan antibody
penetral pada 8 individu.

Profil efikasi dan keamanan yang penting untuk melangkah menuju uji coba fase 3 dan
mendapatkan izin sehingga dapat digunakan untuk mengontrol transmisi COVID-19 masih
menjadi sebuah pertanyaan.
● Terdapat usaha kolaborasi internasional untuk mempercepat perkembangan dan produksi vaksin.
● Pembentukan CEPI mendukung perkembangan vaksin COVID-19 dengan cepat tanpa perlu
mendirikan mekanisme baru dengan bantuan pembiayaan.
● CEPI mendukung 9 kandidat vaksin COVID-19 yang secara singkat disebutkan disini.
● Sejak terbentuknya, CEPI telah Menyusun Langkah-Langkah pembiayaan awal perkembangan
vaksin, hingga uji coba klinis fase 3.
● Namun, CEPI tidak memliki peran dalam produksi atau distribusi vaksin dan persetujuan public
dan investor dibutuhkan demi persiapan yang lengkap untuk produksi dan pengiriman vaksin.
• Selain CEPI, WHO dan NIH juga berkontribusi terhadap usaha kolaboratif dunia untuk mempercepat
perkembangan vaksin.
• Uji coba solidaritas WHO terhadap vaksin merupakan uji coba klinis yang besar, RCT, multi-site secara
individual untuk mengevaluasi manfaat dan resiko masing-masing kandidat vaksin COVID-19 dalam 3-
6 bulan.
• ACTIV sebuah Kerjasama public-private internasionaal, telah dibentuk untuk mengkoordinir dan
mempercepat respon terhadap pandemic COVID-19.
• organisasi pemerintahan (di US dan di eropa), perusahaan biofarmatik internasional dan organisasi non-
profil semuanya terlibat dalam kemajuan perkembangan vaksin
• Efikasi vaksin pada populasi yang tidak terwakilkan dan rentan juga menjadi sebuah masalah.
• Mayoritas uji coba vaksin berfokus pada orang sehat berumur 18-65 tahun, kecuali lansia, ibu
hamil, dan anak-anak.
• Mortalitas lebih tinggi pada lansia, sehingga perlu dipertimbangkan untuk uji coba vaksin serta
diprioritaskan untuk menerima vaksin COVID-19 pada situasi outbreak.
• Kehamilan tidak terbukti menjadi factor resiko keparahan penyakit dan beban penyakit pada anak-
anak rendah.
• Penting untuk segera memahami dengan baik imunopatogenesis COVID-19 untuk mendapatkan
pedoman yang menilai imunologis respon vaksin.
• Situasi pandemic menjadi tantangan dan pemicu untuk mempercepat regulasi dan proses perizinan yang
biasanya lambat
• Perusahaan vaksin menyanggupi peningkatan produksi sebelum hasil pasti uji coba fase 3.
• Evaluasi: Distribusi vaksin, efektivitas vaksin, monitoring keamanan post-marketing
• Ex: Hubungan antara vaksin rotavirus dengan intususepsi pada anak-anak baru terdeteksi setelah
dilakukan lisensi dan distribusi vaksin serta Vaksin dengue baru di filipina
• Perlu lebih waspada terkait keamanan vaksin selama penggunaannya oleh populasi
• keamanan vaksin COVID-19 Perlu dipertimbangkan, mengingat sistem vaksin baru digunakan tanpa
lisensi terlebih dahulu dan didistribusikan kepada kelompok populasi diluar yang terlibat dalam uji
coba kandidat vaksin
• Perkembangan vaksin yang menunjukkan efikasi pada uji coba klinis hanya
merupakan awal dari proses untuk memproduksi, mendistribusikan dan memonitor
efektivitas vaksin baru.
• Tantangan kedepannya masih banyak,
Ex: pada tahun 2016 sebagai bagian dari GPEI, 155 negara direncanakan untuk secara
serentak mengganti tOPV menjadi bOPV. Koordinasi pergantiannya mengharuskan paling
tidak satu dosis IPV masuk kedalam jadwal imunisasi rutin pada 126 negara pengguna
OPV. Kesulitan yang signifikan ditemukan pada produksi vaksin dan rantai suplai
sehingga menyebabkan gangguan dan penundaan pada beberapa negara.
• Perbaikan potensi distribusi vaksin COVID-19 secara global dan peningkatan
kewaspadaan walaupun vaksin yang efektif dapat dikembangkan.
Walau usaha sudah dilakukan untuk mempercepat
pengembangan vaksin, tanggal selesainya uji klinis awal
diperkirakan terjadi pada akhir 2020 hingga pertengahan
2021 dan masih mungkin lebih Panjang sebelum vaksin
dapat dilisensi untuk penggunaan secara global, walaupun
pandemic yang terjadi memicu pertimbangan ulang
terhadap pendekatan regulasi dan lisensi yang biasa
dilakukan. Hal ini menekankan bahwa kebutuhan strategi
Kesehatan masyarakat yang terbukti seperti menjaga jarak,
deteksi awal, isolasi mandiri dan control outbreak masih
menjadi alat mitigasi yang penting.
Critical
Appraisal:
Systematic
Review
THANKS!
Do you have any questions?

CREDITS: This presentation template was created by Slidesgo,


including icons by Flaticon, and infographics & images by Freepik

Anda mungkin juga menyukai