Anda di halaman 1dari 12

Manajemen Kasus General Anestesi

Union Fracture Clavicula Dextra


I. IDENTITAS
Nama Pasien : Tn. SM
Umur : 41 Tahun
Alamat : Pangkur, Ngawi
Agama : Islam
No.RM : 554xxx
Tgl Operasi : 20 April 2021

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dan pengambilan data sekunder dari status pasien pada tanggal 20
April 2021.
1. Keluhan Utama
Ingin melepaskan implant
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poli untuk memeriksakan keadaan tulangnya yang sebelumnya
dipasang implant. Berdasarkan hasil foto rontgen dokter ortopedi menjelaskan bahwa
keadaan tulang sudah membaik dan disarankan untuk melepaskan implant. Operasi Aff
implant dijadwalkan pada tanggal 20 April 2021 setelah sebelumnya dilakukan
pemeriksaan laboratorium.

3. Anamnesis sistem
 Cerebrospinal : Pusing (-), demam (-), kejang (-)
 Kardiovaskular : Berdebar-debar (-), nyeri dada (-)
 Respirasi : Sesak nafas (-), batuk (-)
 Digesti : Mual (-), muntah (-), BAB normal
 Urogenital : BAK normal
 Integumentum : Gatal-gatal (-), kemerahan (-)
 Muskuloskeletal : Bengkak pada ekstremitas kaki (-)
4. Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat diabetes mellitus (-)
 Riwayat tekanan darah tinggi (-)
 Riwayat asma (-)
 Riwayat alergi (-)
5. Riwayat penyakit keluarga
 Riwayat diabetes mellitus (-)
 Riwayat tekanan darah tinggi (-)
 Riwayat asma (-)
 Riwayat alergi (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


 Keadaan umum : Cukup
 Kesadaran : Composmentis
 Berat badan : 69 kg
 Tinggi badan : 163 cm
 Vital sign
TD : 121/87 mmHg RR : 18 x/menit
HR : 84 x/menit Suhu : 36,5 ºC
 Kepala : Bentuk kepala normal, mesosefal
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 Leher : Simetris, massa (-), deviasi trakea (-), nyeri tekan (-),
tiroid tidak teraba membesar
 Thorak : Dada simetris ka/ki, retraksi (-)
 Jantung : S1 S2 tunggal, reguler
 Pulmo : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
 Abdomen : Supel, bising usus (+)
 Ekstremitas : Edem tungkai ( - ), akral hangat, bekas luka pada clavicula dextra
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan darah lengkap tanggal tanggal 12 April 2021
WBC 13.09 10^3/UL MCV 86.4 fl
RBC 5.67 10^6/ul MCH 27.4 pg
HGB 15.6 g/dl PLT 203 10^3/ul
HCT 49.0 %

2. Fungsi Hati
SGOT : 42.8 U/L
SGPT : 47.3 U/L
3. Pemeriksaan hematologi
 Masa Protrombin (PT) : 11.3 (10,8-14,4)
 Masa tromboplastin parsial (PTT) : 31.1 (24-35)

V. DIAGNOSIS
Union Fracture Clavicula Dextra
VI. TERAPI
Terapi nonfarmakologi : -
Terapi farmakologi :-
Terapi Pembedahan : Aff Implant
VII. PENATALAKSAAN ANESTESI
I. PENATALAKSANAAN ANASTESI
- Pasien laki-laki berusia 41 tahun dengan Union Fracture Clavicula dextra
ASA I | BB: 69 kg | TB: 163 cm | TD: 121/87 mmHg | N: 84 x/menit
- Anamnesis
Asma ( - ), alergi ( - ), HT ( - ), DM ( - ), gigi palsu ( - ), puasa ( + )
- Konsul ke dokter Spesialis Anestesi  general anestesi
 Teknik : Semi closed inhalasi dengan ET No. 7.5
 Premedikasi : Ringer Lactate 1 plabot
 Induksi : Propofol (140 mg)
 Maintenance : O2 3 Lpm, Sevoflurane 25 cc
 Obat lain : Fentanyl (75 mcg), Recuronium Bromide (40
mg), Asam traneksamat (1000 mg), Ondansetron (4 mg)
 Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit,
kedalaman anestesi, cairan, dan perdarahan.

Pasien Tn.SM usia 41 tahun, dengan diagnosis Union fracture clavicula


dextra diantar ke ruang operasi untuk menjalankan AFF implant pada tanggal
20 April 2021 dengan menggunakan general anestesi, ASA I. Anestesi
diberikan sejak pukul 10.28 dan operasi dimulai pukul 10.32. Operasi
berlangsung selama 43 menit. Obat anestesi yang digunakan sebagai induksi
adalah propofol. Sedangkan obat lain yang digunakan yaitu fentanyl,
recuronium bromide, asam traneksamat, dan ondansetron.
Pasien masuk ruangan operasi kemudian dilakukan pemasangan alat- alat
monitoring seperti tensimeter dan pulse oxymetri yang berguna dalam
memantau keadaan pasien selama operasi berlangsung. Pada pasien ini sudah
terpasang IV line.
Keadaan umum pasien sebelum operasi adalah:
- TD : 121/87 mmHg SpO2 : 99 %
- Nadi : 84 x/menit BB : 69 kg
- RR : 18 x/menit TB : 163 kg
Sebelum pemberian induksi anestesi, pasien diberikan O2 3 Lpm
selama 2 menit sebelum dimulainya pemasukan obat-obat anestesi dan
tindakan anestesi. Kemudian dimasukkan induksi anestesi berupa
propofol dan fentanyl diikuti dengan recuronium bromide sebagai muscle
relaxant Setelah pemberian induksi anestesi, dilakukan pengecekan
reflex bulu mata dan rangsang nyeri untuk memastikan pasien sudah
tertidur. Setelah pasien tertidur, operasi dimulai pukul 10.32 dan
dilakukan pemantauan keaadaan pasien meliputi vital sign, cairan dan
perdarahan setiap 5 menit.
Berikan oksigen dengan menggunakan masker sebanyak 3 Lpm dan
dibantu dengan bagging selama 2 menit. Lakukan intubasi dengan
menggunakan ET no. 7.5. Setelah ET masuk lakukan pengecekan pada
kedua lapang paru dengan menggunakan stetoskop untuk memastikan
ET telah masuk ke dalam paru dan berada pada posisi yang sesuai
sehingga kedua lapang paru mendapatkan oksigen. ET kemudian
dihubungkan dengan mesin ventilator dan ditambahkan gas sevoflurane.

Pukul 11.05 pemberian sevoflurane dihentikan dan diberikan bantuan


nafas secara manual sampai pasien dapat bernafas secara spontan. Pukul
11.15 operasi selesai, tindakan suction pada orofaring dan ekstubasi pun
mulai dilakukan.
Selama operasi berlangsung tidak terjadi hipotensi ataupun kenaikan
tekanan darah yang berarti:
 Cairan yang masuk selama operasi 1000 cc (1000 cc ringer lactate)
 Perdarahan selama operasi 50 cc
 Operasi berlangsung selama 43 menit
 Urine output spontan tanpa kateter
- Post operasi :
 Post op rawat di RR
 Beri O2 masker 3 Lpm
 Observasi KU dan Vital Sign setiap 15 menit sampai pasien sadar
penuh
 Jika pasien sadar penuh tanpa disertai mual dan muntah, bising usus
(+) bisa dicoba berikan minum sedikit sedikit
 Aldrette score > 8 pindah ruangan
II. PEMBAHASAN ANASTESI
Persiapan preoperasi sebelum dilakukannya sebuah tindakan operasi
merupakan sesuatu yang sangat penting sebagai upaya dalam mengurangi
terjadinya kecelakaan anastesi. Salah satu yang dilakukan saat pre operasi
adalah mengunjungi pasien yang akan dioperasi dan mengecek kesesuaian
identitasnya. Selain memastikan identitas, evaluasi pre operasi meliputi
anamnesis berupa keluhan dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Dari sini dapat diketahui jenis
operasi yang mungkin akan dilakukan berdasarkan keluhannya, kelainan
diluar dari kelainan yang akan dioperasi, ada tidaknya riwayat penyakit
sistemik yang diderita pasien, serta hal-hal yang berhubungan dengan
anastesi lainnya seperti asma, alergi, penggunaan gigi palsu, dan lain
sebagainya. Dari kunjungan yang telah dilakukan, seorang dokter anastesi
dapat menentukan teknik anastesi yang digunkan, macam pilihan obatnya,
serta perlu tidaknya diberikan tindakan tambahan.
Hasil dari evaluasi pre operasi yang dilakukan harus dilengkapi dengan klasifikasi
status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Status fisik ASA (American Society of
Anesthesiologist) bertujuan untuk menilai kesehatan pasien sebelum dilakukannya
operasi.
Adapun klasifikasi dari ASA adalah sebagai berikut:
 ASA I Pasien normal dan sehat fisik dan mental

 ASA II Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada


keterbatasan fungsional

 ASA III Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang
menyebabkan keterbatasan fungsi.

 ASA IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup


dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi

 ASA V Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan


atau tanpa operasi

 ASA VI Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil.

Bila suatu operasi yang akan dilakukan bersifat darurat (emergency) maka
penggolongan ASA akan diikuti dengan huruf E.

Pada pasien Tn. SM usia 41 tahun dengan diagnosis union fracture


clavicula dextra akan dilakukan tindakan operasi berupa AFF implant. Dari
hasil pemeriksaan preanestesi berupa anamnesis, pemeriksaan fisik serta
penunjang, pasien ini layak untuk dilakukan operasi dengan klasifikasi ASA
I. Berdasarkan konsultasi yang telah dilakukan dengan dokter anestesi,
pasien ini akan direncanakan untuk dilakukan tindakan general anesthesia
(GA).
General anesthesia atau anestesi umum merupakan tindakan yang
berfungsi untuk menghilangkan rasa nyeri atau sakit pada seluruh tubuh
secara sentral dengan mempengaruhi sistem saraf pusat disertai hilangnya
kesadaran yang bersifat dapat pulih kembali (reversible). General anestesi
terdiri dari beberapa teknik yakni dengan teknik intravena, inhalasi dengan
sungkup muka dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal
tube atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena.
Kedalaman anestesi merupakan tingkat keadaan dimana sistem saraf
pusat (SSP) ditekan oleh agen anestesi umum berdasarkan pada potensi dari
agen anestesi dan konsentrasi yang digunakan. Kedalaman anestesi harus
selalu dimonitor terus menerus selama tindakan pemberian anestesi pada
pasien. Hal ini bertujuan agar pemberian anestesi tidak terlalu dalam
sehingga membahayakan pasien, namun juga harus cukup adekuat untuk
dilakukannya operasi tanpa pasien merasakan nyeri.
Arthur Ernest Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium
dengan melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot
dan reflek pada pasien berdasarkan penggunaan agen anestesi inhalasi yaitu
diethyl ester.
- Stadium I (stadium analgesia atau disorientasi)
Stadium ini berlangsung mulai dari induksi anestesi hingga
hilangnya kesadaran. Rasa nyeri belum hilang sama sekali sehingga
hanya dapat dilakukan pembedahan kecil. Akhir stadium ini ditandai
dengan hilangnya reflek bulu mata.
- Stadium II (stadium hipersekresi atau eksitasi atau delirium)
Dimulai dari hilangnya kesadaran dan hilangnya reflek bulu mata
sampai ventilasi kembali teratur. Terdapat depresi ganglia basalis
sehingga refleks-refleks tidak terkontrol atau reaksi berlebihan
terhadap berbagai rangsangan.
- Stadium III (stadium pembedahan)
Mulai dari respirasi tertur sampai apnea. Stadium ini dibagi 4 plana :
 Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil
miosis, refleks cahaya positif, lakrimasi meningkat, refleks faring
dan muntah negative serta tonus otot mulai menurun.
 Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi nafas meningkat, bola mata tidak bergerak,
terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai
menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang.
 Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal
mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral,
refleks laring dan peritoneum negatif, tonus otot semakin
menurun.
 Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang,
refleks sfingter ani dan kelenjar air mata negatif, relaksasi otot
lurik sempurna.
- Stadium IV (stadium paralisis atau stadium kelebihan obat).
Stadium ini mulai dari henti nafas (paralisis diafragma) hingga henti
jantung.
Pemberian anestesi dimulai dengan pemberian obat premedikasi anestesi
secara intravena. Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan
memberikan obat -obatan pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan
antikholinergik, sedasi/trankuilizer, dan analgetik. Tujuan premedikasi ialah
meredakan kecemasan, memperlancar induksi anestesi, mengurangi sekresi
kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah anestesi, mengurangi
rasa mual muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan

lambung, maupun mengurangi refleks yang membahayakan.


Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan
pembedahan. Induksi dapat dilakukan dengan cara inhalasi, intravena,
intramuskular atau rektal. Obat induksi anestesi intravena contohnya
thiopental, propofol atau ketamine. Pasien Tn. SM mendapatkan propofol
140 mg sebagai obat induksi anestesi intravena. Propofol dikemas dalam
cairan emulsi lemak berwarna putih susu yang bersifat isotonik dengan
kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Propofol hanya memiliki efek hipnotik dan
tidak memiliki efek analgetik maupun relaksasi otot.
Propofol memiliki onset kerja yang cepat dibandingkan thiopental. Proses
pemulihan kesadaran juga cepat dibandingkan dengan obat anestesi yang
lain.Pasien cepat kembali sadar setelah pembiusan sehingga efek konfusi
pasca bedah minimal. Selain efek utamanya tersebut propofol juga memiliki
efek lain sebagai antiemetik, antipruritik, antikonvulsan dan mengurangi
konstriksi bronkus. Sehingga mengakibatkan efek muat atau muntah pasca
pembedahan sangat minimal. Efek samping yang mungkin timbul dengan
pemberian propofol adalah hipotensi dan apnea sementara. Propofol tidak
dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan wanita hamil. Dosis induksi Propofol
yaitu 2-2,5 mg/kgBB. Pada pasien ini diberikan propofol sebanyak 140 mg.
Ditinjau dari berat badan pasien yaitu 69 kg, maka rentang dosis anjuran
adalah 138-172,5 mg. Pemberian propofol pada pasien sudah sesuai dosis
anjuran.
Selain propofol, digunakan pula fentanyl sebagai obat analgetik pada
kasus ini. Obat ini tergolong ke dalam golongan opioid yang diharapkan
mampu mengendalikan nyeri saat pembedahan. Fentanyl merupakan opioid
yang lebih banyak digunakan dibanding morfin karena menimbulkan efek
analgesia anestesia yang lebih kuat dengan efek depresi napas yang lebih
ringan. Karakteristiknya yaitu lebih larut dalam lemak dibandind petidin dan
menembus sawar jaringan dengan mudah. Namun efeknya ialah kekakuan
otot punggung yang dapat dicegah dengan pelumpuh otot.
Dosis anjuran untuk pembedahan singkat yaitu 1-3 mcg/kgBB. Berat
badan pasien 69 kg. Sehingga rentang dosis anjurannya 69-207 mcg. Pada
kasus ini, pasien diberikan fentanyl 75 mcg yang mana sudah sesuai dengan
dosis anjuran.
Di samping itu, diberikan pula recuronium bromide yang tergolong ke
dalam obat pelumpuh otot (muscle relaxant). Pelumpuh otot terdiri atas 2
kelompok yaitu pelumpuh otot depolarisas dan non depolarisasi. Pelumpuh
otot depolarisasi contohnya suksinilkolin. Sedangkan pelumpuh otot non
depolarisasi contohnya pancuronium, vecuronium dan recuronium.
Recuronium bromide merupakan muscle relaxant kompetitif yang
memiliki mula kerja paling cepat, dilaporkan bereaksi dalam 2 menit.
Recuronium adalah pelemas otot aminosteroid dengan lama kerja
menengah yang memiliki efek kardiovaskular minimal. Namun pada dosis
tinggi menimbulkan efek vagolitik yang ringan. Sebagian besar obat ini
dieliminasi di hati dan sebagian kecil di ginjal. Dosis anjuran recuronium
yaitu 0,6-1 mg/kgBB. Pada pasien ini berat badannya 69 kg dan diberikan
dosis 45 mg. Hal tersebut sesuai karena rentang dosis pasien ini adalah 41.4-
69 mg.
Kemudian diberikan asam traneksamat. Asam traneksamat merupakan
obat antifibrinolitik atau competitive inhibitor dari aktivator plasminogen
dan penghambat plasmin. Plasmin sendiri berperan menghancurkan
fibrinogen. Oleh karena itu asam traneksamat dapat digunakan untuk
membantu mengatasi perdarahan akibat fibrinolisis yang berlebihan. Efek
samping dari asam traneksamat yaitu hipotensi apabila diberikan secara
intravena dengan cepat. Sehingga kecepatan pemberian tidak boleh lebih
dari 1ml/menit. Rentang dosis injeksi yang dianjurkan yaitu 500-1000 mg.
Pasien ini diberikan dosis 1000 mg, artinya sudah sesuai.
Lalu pasien diberikan ondansetron yang merupakan antiemetik golongan
antagonis reseptor 5HT. Mekanisme kerjanya yaitu memblok reseptor
serotonin 5HT3. Ondansetron rutin digunakan sebagai profilaksis anti mual
dan muntah dan dianjurkan digunakan sebelum induksi operasi. Dosis
injeksi anjuran yaitu 4-8 mg. Pada pasien ini diberikan sebanyak 4 mg,
artinya sudah sesuai dosis.
Pada pasien ini diberikan agent inhalasi sevoflurane. Sevoflurane
digunakan terutama sebagai komponen hipnotik dalam pemeliharaan
anestesi umum dengan efek induksi yang lebih cepat daripada isoflurane
serta jarang menyebabkan batuk. Agen ini sangat cocok digunakan saat
keadaan pandemi seperti ini guna mempercepat onset dan mengurangi
kemungkinan batuk pada pasien.
Selain obat-obatan, diperlukan pula pemantauan terhadap keseimbangan
cairan pasien yang dapat dinilai dengan menghitung intake dan output
cairan melalui produksi urin atau perdarahan maupun intake cairan. Pada
pasien ini cairan yang masuk adalah 1000 cc dengan perdarahan 50 cc.
Operasi berlangsung selama 43 menit.
Program pergantian cairan pasien ini sebagai berikut Berat badan Tn.SM 69
kg, puasa± 10 jam, jumlah perdarahan (JP) 50 cc:

- Maintenance (M) = 2 cc/kgBB/jam = 2 x 69 = 138 cc


- Stress operasi (SO) = 8 cc/kgBB/jam = 8 x 69 = 552 cc
- Pengganti puasa (PP) = M x jam puasa = 138 x 10 = 1380 cc
- EBV = 65 cc/kgBB = 65 x 69 = 4.485 cc
- UBL = EBV x 20% = 4.485 x 20% = 897 cc
Kebutuhan cairan
M + SO + ½PP + 3 (JP) = 138 + 552 + 690 + 150 = 1.530 cc
Berdasarkan perhitungan diatas, maka dapat dikatakan bahwa pemberian
cairan selama proses operasi masih kurang sehingga diharapkan sisanya dapat
diberikan pada saat pasien berada di ruang pemulihan.
Pada pasien dengan anestesi general setelah selesai operasi harus dinilai
keadaannya dengan menggunakan aldrette score untuk selanjutnya dipindahkan
ke ruangan pemulihan. Jika skor aldrette > 8 selama berada di ruangan
pemulihan, maka pasien boleh dipindahkan kembali ke ruangan.

Kesimpulan

Langkah-langkah anestesi dan obat-obatan yang digunakan pada kasus ini


sudah sesuai dengan yang seharusnya, namun jumlah cairan yang diberikan
masih urang sesuai.

Anda mungkin juga menyukai