Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

CURRETASE DAN TUBEKTOMI


DENGAN REGIONAL ANESTESI

Pembimbing :

dr. Dublianus Sp.An

dr. Tati Sp.An

Disusun oleh :

Fathur Aulia Rahman

Resha Adi Wibowo

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI RSUD CILEGON


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
1 Oktober – 2 November 2018
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan berkah dan rahmatNya sehinga penulis dapat menyelesaikan referat
dengan judul “CURRETASE DAN TUBEKTOMI DENGAN REGIONAL
ANESTESI” guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh
kepaniteraan klinik bagian ilmu anestesi Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti di RSUD Cilegon periode 1 Oktober – 2 November 2018. Disamping itu
makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan bagi pembaca.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada pihak yang telah menyelesaikan makalah ini, yaitu
1. Orangtua
2. Dr. Tati Sp.An selaku dokter pembimbing Kepaniteraan klinik ilmu
Anestesi RSUD Cilegon
3. Dr. Dublianus Sp.An selaku dokter pembimbing Kepaniteraan klinik
ilmu Anestesi RSUD Cilegon
4. Rekan – rekan Kepaniteraan klinik ilmu anestesi RSUD Cilegon

Penulis menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar referat ini
dapat menjadi lebih baik lagi. Penulis mohon maaf apabila banyak terdapat
kesalahan maupun kekurangan dalam makalah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis sendiri maupun pembaca

Cilegon, Oktober 2018

2
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi berasal dari bahasa yunani. An-“tidak, tanpa” dan aesthesos, “persepsi,
kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Istilah Anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun
1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena anestesi
adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan rasa nyeri pembedahan.
Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran pasien.
Anestesi dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Anestesi
regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara pada impuls saraf
sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversibel).
Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.
Anestesi regional memiliki keuntungan, diantaranya adalah menghindari polifarmasi,
alternatif yang efektif terhadap anestesi umum, anesthesia yang dapat diperpanjang, pasien
dapat tetap dalam keadaan sadar, dan dapat dilakukan pemberian makanan atau minuman yang
lebih dini.

3
BAB II
STATUS PASIEN

I IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny A
Usia : 42 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 88 kg
Agama : Islam
Diagnosis preop : G4P3A0 H 7 minggu Atas indikasi sisa konsepsi + MOW
Jenis Pembedahan : Curretase dan Tubektomi
Jenis Anestesi : Regional Anestesi
Tanggal Masuk : 24 Oktober 2018
Tanggal Operasi : 25 Oktober 2018

II ANAMNESIS
Pasien mengaku takut dan cemas sehari dan pada saat hari dilakukannya operasi
Riwayat Obstetrik
Pasien memiliki 3 orang anak sebelumnya lahir normal dan hidup persalinan dilakukan
di Bidan, belum pernah melakukan abortus.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak terdapat riwayat Diabetes Melitus, Hipertensi, Penyakit Jantung, Penyakit
Paru, dan Asma

Riwayat penyakit keluarga


Pada keluarga tidak terdapat penyakit yang dapat diturunkan, keluarga juga tidak
terdapat riwayat Diabetes Melitus, Hipertensi, Penyakit Jantung, Penyakit Paru, dan
Asma

4
Program Keluarga Berencana (KB)
Pasien mengaku pernah menggunakan KB pil setelah anak ke 3 lahir

Kebiasaan
Tidak ada kebiasaan merokok, meminum Alkohol, mengonsumsi obat golongan
narkotika, dan Kebiasaan olahraga yang jarang

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : TD = 110/80, N=82, SpO2=99, RR=20
Kepala : normocephali
Mata : Konjungtiva anemi (-), ikterik (-),
Telinga : Sekret (-), normotia
Hidung : sekret (-), deviasi septum (-), polip (-)
Mulut : Hygiene baik, gigi utuh, gigi palsu (-),
Leher : KGB tidak teraba, kelenjar tiroid tidak teraba
Thoraks : pernapasan simetris, tidak ada nafas yang tertinggal
Jantung : S1/S2 Reguler, gallop (-), murmur (-)
Paru : suara napas vesikuler, wheezing (-), Ronkhi (-)
Abdomen : Bising Usus (+), Tidak terdapat nyeri tekan
Ekstremitas : terdapat oedem non pitting pada kedua tungkai bawah

IV PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal pemeriksaan : 25-10-2018

Hematologi Rutin
Hemoglobin 11.6
Hematokrit 35.8
Eritrosit 4.67
MCV/VER 76.7
MCH/HER 24.4

5
Jumlah Leukosit 9.28
Jumlah Trmbosit 279

BO Rh Typing
Golongan Darah O
Rhesus Positif

Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 63

Imunoserologi
HbsAg (Rapitd) Non-reaktif
Anti HI Penyaring Non-reaktif
Rapid

Urin Lengkap
Warna Kuning
Kejernihan Jernih
Protein Negatif
Glukosa Negatif
Darah Negatif
Bilirubin Negatif

Sedimen
Leukosit 5-10
Eritrosit 0-2
Silinder Negatif
Sel epitel 1+
Kristal Negatif
Bakteri Negatif

6
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang, maka
Diagnosis : G4P3A0 H 7 minggu Atas indikasi sisa konsepsi + MOW
Status operatif (ASA) : 1
Jenis operasi : Curretase dan Tubektomi
Jenis Anestesi : Regional Anestesi

7
BAB III

LAPORAN ANESTESI
1. Pre operatif

- informed consent (+)


- Puasa (+) dari jam 11 malam
- Tidak terdapat Hipertensi
- Tidak ada gigi goyang atau pemakaian gigi palsu
- IV line terpasang dengan infus RL 500 cc
- Keadaan umum : baik
- Kesadaran : compos mentis
- Tanda vital :
 TD : 118/80 mmHg
 Nadi : 80x/menit
 RR : 20x/menit
 Suhu : 36,4o C

2. Pramedikasi anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberika ondansetron 4 mg bolus IV

3. Pemantauan selama anestesi


Selama operasi dilakukan monitoring terus – menerus tentang keadaan pasien yaitu
reaksi pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi pernapasan
dan jantung.
Kardiovaskular : Nadi setiap 5 menit, Tekanan darah setiap 5 menit
Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan pada pasien dan saturasi oksigen
Cairan : Monitoring input cairan

4. Monitoring tindakan operasi :


Jam Tindakan Tek. Darah Nadi (x/menit) Saturasi O2
(mmHg) (%)
11.00 - Pasien dipindah ke 116/80 80 98
meja operasi
- Pemasangan
monitoring saturasi,
nadi, tekanan darah.
- Ondansetron 4 mg
bolus iv sebagai
pramedikasi
- Pasien posisi duduk
- Diberikan anestetik
lokal bupivacaine
20mg pada L4 – L5
- Mengecek sudah ada
rasa kebas atau belum
di bagian ekstrimitas
bawah pasien

8
- Diberikan 02 2L
11.05 - Operasi dimulai
- Kondisi terkontrol 114/82 78 98
dan terpantau
11.10 - Kondisi terkontrol
107/78 72 98
11.15 - Kondisi terkontrol
- Curretase Selesai
105/77 79 98
- Dilanjutkan tindakan
tubektomi
11.20 - Kondisi terkontrol 108/76 74 99
11.25 - Kondisi terkontrol
- Penambahan RL 500 110/82 70 98
cc
11.30 - Kondisi terkontrol 114/80 76 98
11.35 - Kondisi terkontrol
- Pemberian Tramadol 109/79 79 99
100 mg
11.40 - Operasi selesai
- Alat monitoring di
lepas, O2 dihentikan
111/82 81 99
- Pasien dipindah ke
recovery room dan
pemberian O2 kanul

5. Intraoperatif

Tindakan operasi : Curretase dan Tubektomi

Tindakan anestesi : Regional Anestesi

Lama operasi : 35 menit (11.05 – 11.40)

Lama Anestesi : 40 menit (11.00 – 11.40)


Jenis Anestesi : Regional Anestesi dengan teknik Subarachniod Blok ( SAB )
dengan spinocain no.27

Posisi : Supine

Pernafasan : Spontan

Infuse : Ringer laktat pada lengan kanan 500 cc

Pramedikasi : Ondansetron 4 mg

Induksi : Bupivacain 20 mg

Rumatan : O2 2L

9
Medikasi : - Bupivacain 20 mg
- Tramadol 100mg

Cairan : Input : RL 500 cc

6. Post Operatif

- Pasien ditempatkan di recovery room dan bila sudah memenuhi kriteria pasien dapat
dipindah ke ruangan
- Observasi tanda vital :
 Kesadaran : Compos mentis
 Tek. Darah : 108/78 mmHg
 Nadi : 81x/menit
 Saturasi : 98%
- penilaian pemulihan kesadaran dengan bromage score didapatkan 0

No Kriteria Score Nilai


1 Dapat mengangkat tungkai bawah 3
2 Tidak dapat menekuk lutut tetapi dapat mengangkat kaki 2
3 Tidak dapat mengangkat tungkai bawah tetapi dapat 1
menekuk lutut
4 Tidak dapat mengangkat kaki sama sekali 0
Keterangan :
Pasien dapat dipindah ke ruangan jika score kurang dari 2

10
BAB IV
ANALISA KASUS

Berdasarkan hasil dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang dari pasien Ny A
diperoleh kelas ASA 1, yaitu pasien dengan keadaan normal
Tindakan operatif yang akan dilakukan adalah kuretase dan mow dengan jenis anestesi
yaitu regional anestesi. Jenis anestesi yang dilakukan pada pasien ini sesuai dengan salah satu
indikasi dari regional anestesi yaitu pembedahan obgyn. Teknik anestesi yang digunakan
adalah subarachnoid block setinggi L4-L5. Regional anestesi memiliki keuntungan yaitu
tekhnik sederhana sehingga biaya yang dikeluarkan juga murah. Selain itu tekhnik ini juga
aman untuk pasien yang tidak puasa, serta tidak terdapat komplikasi jalan nafas dan perawatan
post operasi lebih ringan.
Premedikasi yang digunakan pada saat dilakukan tindakan pembedahan adalah ondansetron 4
mg sebagai antiemetik untuk mengurangi efek mual dan muntah peri/pasca operasi.
Mekanisme kerja dari ondansetron sebagai antagonis dari serotonin/ reseptor 5HT3
sehingga tidak terjadi pelepasan 5HT3 kedalam usus halus. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus
halus akan merangsang refleks muntah dengan mengaktifkan serabut afferen vagal melalui
reseptor 5HT3.
Teknik anestesi spinal pada pasien ini dilakukan dengan posisi duduk. Posisi duduk
menguntungkan karena identifikasi kolumna dan prosessus spinosus lebih mudah dilakukan.
Spinocan No. 27G ditusukkan setinggi L4-L5 dan terlihat LCS jernih keluar dari spinocan.
Obat anestesi lokal yang digunakan adalah Bupivakain 0,5% 20 mg. Bupivakain merupakan
salah satu anestesi lokal golongan amida, bersifat hiperbarik. Hiperbarik merupakan keadaan
dimana densitas obat anestesi lebih besar dibandingkan LCS pada suhu 30oC. Hal ini
menyebabkan dapat terjadinya perpindahan obat anestesi (bupivakain) oleh karena gaya
gravitasi.

11
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi
5. 1 Kolumna Vertebralis
Kolumna vertebralis merupakan penyusun rangka axial yang utama, tersusun oleh 26
tulang, yaitu 7 ruas tulang servikalis, 12 ruas tulang toraks, 5 ruas tulang lumbar serta sakrum
dan koksigis. Kolumna vertebralis memiliki beberapa fungsi, diantaranya menyangga berat
badan dan kepala, melindungi medula spinalis, mempertahankan posisi tubuh tegak saat berdiri
dan duduk, tempat perlekatan otot, dan memungkinkan pergerakan kepala dan batang tubuh.
Panjang total kolum vertebralis pada orang dewasa rata-rata 71 cm (28 inchi).
Kolum vertebralis tidak lurus dan kaku, tampilan lateral menunjukkan 4 kurva spinalis,
diantaranya kurva servikalis (lordosis), kurva toraks (kifosis), kurva lumbar (lordosis), dan
kurva sakrum (kifosis). Kurva kolum vertebralis memainkan peran fungsional penting dalam
meningkatkan kekuatan dan menjaga keseimbangan bagian atas tubuh, saat manusia dalam
posisi bediri berat badan harus ditransmsikan melalui kolum vertebralis ke panggul dan
akhirnya ke anggota tubuh bagian bawah. 4 kurva vertebra tidak terdapat pada bayi. Kurva
serviks mulai berkembang sekitar 3 bulan ketika bayi mulai mengangkat kepala, dan menjadi
jelas ketika bayi belajar duduk. Kurva lumbal berkembang ketika seorang anak mulai berjalan
kedua kurva tersebut disebut kurva sekunder atau disebut juga kurva kompensasi karena kurva
tersebut membantu menggeser bobot untuk memungkinkan postur tegak. Sedangkan kurva
toraks dan kurva sakrum disebut sebagai kurva primer atau kurva akomodasi, karena
mengakomodasi organ-organ viseral yang berada di toraks dan abdominopelvis.

5.1.1 Struktur umum Vertebra


Tulang vertebra terdiri atas 3 bagian utama, diantaranya badan vertebra (vertebrae
body) yang berhubungan dengan diskus intrervertebralis dibagian bawah dan atas. Arcus
vertebra yang menempel pada bagian posterior dari bdadan vertebra dan terdiri dari 2 pedikel.
Dan prosesus artikular yang memiliki permukaan cekung halus yang disebut facet artikular.
Gabungan dari vertebra membentuk sebuah terowongan yang disebut foramen verterba yang
merupakan tempat lewatnya medula spinalis, diantara pedikel verterba yang berdekatan adalah
foramina intravertebral, dimana saraf tulang belakang munucl ketika bercabang dari medula
spinalis.

12
Sumber gambar : Fundamental anatomy & physilogy

5.1.2 Karakteristik Regional Vertebra


A. Vertebra Servikal
Ketujuh servikal membentuk kerangka fleksibel untuk leher dan mendukung
kepala. Jaringan tulang vertebra servikalis lebih padat daripada yang ditemukan
didaerah vertebra lainnya. Pembeda lain antara regio servikalis dan regio lainnya
adalah adanya foramen transversus, arteri dan vena vertebra melewati foramen
tersebut karena berkaitan pada aliran darah yang terkait dengan perdarahan ke otak.
Vertebra servikalis C2-C6 umumnya memiliki proses bifid atau berlekuk. Prosesus
spinosus bifida eningkatkan luas permukaan untuk melekatnya ligamentum nuchal
kuat yang menempel pada bagian oksipital. Vertebra servikalis C1 tidak memiliki
prosesus spinosus.
B. Vertebra Toraks
12 vertebra torakalis berartikulasi dengan tulang costae. Foramen vertebra relatif
lebih kecil dan memiliki procesus spinosus yang lebih yang panjang
memproyesikan posterior dan inferior. Prosesus spinosus mulai dari T10, T11,T12

13
semakin mirip dengan daerah lumbal sebagai transisi antara kurva toraks dan
lumbar. Prosesus transversus vertebra T1-T10 relatif lebih tebal

C. Vertebra Lumbar
Memilik 5 segmen , merupakan vertebra yang paling besar dan tebal diantara
vertebra lainnya. Vertebra lumbal memiliki tugas menaha tahanan yagn paling
besar dari berat badan. Prosesus spinosus yang besar memberikan area permukaan
untuk perlekatan otot punggung bawah yang memperkuat atau menyesuaikan kurva
lumbar.

Vertebra servikalis Vertebra torakal Vertebra lumbal

Sumber gambar : Fundamental of anatomy & physiology

5.1.2 Medula spinalis


Kanalis spinalis berisi medula spinalis dengan lapisan pelindungnya (meningen), jaringan
lemak, dan pleksus vena. Menigen terdiri dari 3 lapisan, yaitu piamater, arachnoidmater, dan
duramater. Pia mater erat melekat pada medula spinalis, sedangakan subarachnoid erat melekat
pada duramate yang lebih tebal dan padat. Cairan serebrospinal terkandung diantara pia dan
araknoid. Ruang subdural umumnya merupakan ruang potensial yang terbatas. Ruang epidura
adalah ruang potensial yang lebih baik didefinisikan dalam kanal vertebra yang dibatasi oleh
dura dan ligamentum flavum. Medula spinals memanjang dari foramen magnum ke tingkat L1
pada orang dewasa, pada anak-anak berkahir di L3 dan bergerak naik seiring bertambahnya
usia. Akar saraf anteriot dan posterior pada setiap tingkat tulang belakang bergabung satu sama
lain dan keluar dari foramina intervertebralis, membentuk saraf vertebra dari C1 sampai S5.
Suplai daraah ke medula spinalis berasal dari arteri spina anterior. Arteri spinal anterior

14
dibentuk dari arteri vertebralis didasar tengkorak. Arteri spinal anterior mensuplai 2/3 dari
medula spinalis, sedangakan arteri posteror memasok 1/3 posterior

5.2 Klasifikasi Status Fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah yang
berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat
prakiraan risiko anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari
dampak samping pembedahan.
 Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
 Kelas II : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
 Kelas III : pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
rutin terbatas
 Kelas IV : pasien dengan kelainan sistemik berat tidak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya setiap saat
 Kelas V : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
 Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E

5.3 Regional Anestesi


Definisi
Adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh untuk sementara pada impuls saraf
sensorik, dan saraf otonom sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk
sementara atau dapat kembali seperti semula. Fugsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau
seluruhnya, tetapi pasien tetap dalam keadaan sadar

Pembagian Anestesi Regional


1. Blok Sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural dan kaudal.
Tindakan ini sering dikerjakan
2. Blok Perifer (blok saraf), seperti blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional
intravena .

15
Mekanisme Kerja
Mekanisme dari spinal dan epidural anestesi dipercaya memiliki prinsip melakukan
blokade terhadap nerve root. Anestesi lokal diinjeksikan ke cairan Serebrospinal atau ke
ruang epidural hingga mencapai medula spinalis tanpa melakukan penusukan jarum pada
medula spinalis, karena hal ini dapat berisiko menimbulkan cedera medula spinalis. Obat
anestesi lokal melakukan blokade terhadap saraf somatik (saraf sensroik dan motorik) dan
otonom .
Jalur penghantaran rasa nyeri hingga disampaikan ke otak melalu beberapa tahapan,
diantaranya,
1. Transduksi
Stimulasi dari reseptor perifer menghasilkan lokal inflammatory mediator yang
menyebabkan perubahan pada aktivitas dan sensitivitas neuron. Neurotransmitter yang
dihasilkan dapat berupa asetilkolin. Pre-insisi dari lokal anestesi efektif melakukan
blokade terhadap tahapan trasnduksi.
2. Transmisi
Bila rangsangan nyeri telah di transduksikan, impuls dihantarkan melalui A-delta dan
C-fiber dari bagian yang mengalami cedera menuju ke kornu dorsalis menuju colum
spinalis dimana mereka bersinaps lalu tereksitasi dan membentuk neuron pertama. Pada
tahap ini dapat diblokade oleh regional anestesi, salah satu diantaranya bupivacaine
yang lebih melakukan blokade terhadap saraf sensoris bila dibandingkan dengan saraf
motorik, dan merupakan analgesi persalingan, dimana diharapkan pemeliharaan
mobilitas ibu.

16
Essential Anesthesia (from science to practice)

3. Persepsi
Serat aferen dari kornu dorsalis menuju ke tingkat yang lebih tinggi yaitu sistem saraf
pusat , melalui traktus spinotalamikus. Agen agen yang bekerja sentral dapat mengubah
persepsi, seperti opioid
4. Modulasi
Jalur eferen termasuk neurotransmitter inhibitor memodifikasi informasi nosiseptif
aferen.
Tabel 1. Klasifikasi serabut saraf

17
Blokade pada kornu anterior akan mencergah motor eferen yang bertanggung
jawab untuk tonus otot rangka. Interupsi pada transmisi otonom eferen pada akar medula
spinalis selama blok neuraksial menghasilkan blokade simpatis. Keluaran saraf simpatis
berasal dari vertebra torakolumbar, serabut saraf preganglionik simpatis (mielin B) keluar dari
medula spinalis pada tingkat T1-L2, sebaliknya serat postganglionik parasimpatik keluar dari
medula spinalis pada saraf kranial dan sakralis. Anestesi pada neuraksial tidak menghalangi
saraf vagus (saraf kranial kesepuluh)

5.3.1 Blok sentral


5.3.1.1. Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah pemberian obat anesteti lokal ke dalam ruangsubarachnoid.
Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetiklokal ke dalam ruang
subarachnoid. Anestesi spinal (anestesi subaraknoid) disebut juga sebagai analgesi/blok spinal
intradural atau blok intratekal.Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan
menembus kutis subkutis Lig. Supraspinosum Lig. Interspinosum Lig. Flavum
ruang epidural durameter ruang subarachnoid.

. Tempat Penusukan pada Anastesi Spinal

Medula spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinal,
dibungkus oleh meningens yang terdiri dari duramater, lemak dan pleksus venosus. Pada
dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena itu, anestesi spinal
dilakukan ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.

18
Indikasi anestesi spinal
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan anestesi
umum ringan

Kontraindikasi absolut spinal


1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat atau syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minimal
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi
8. Terdapat perdarahan intra atau ekstra kranial

Kontraindikasi relative anestesi spinal


1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Prediksi bedah yang berjalan lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik

5.4.1.1 Persiapan anestesi spinal


Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia
umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya

19
ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan
prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Informed consent Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal
2. Pemeriksaan fisik Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran Hemoglobin, Hematokrit, PT (Prothrombine Time), PTT
(Partial Thromboplastine Time), BT (Bleeding Time), dan CT (Clotting Time)
5.4.1.2 Peralatan anestesi spinal
1. Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock) atau
jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)

Jenis Jarum Spinal


5.4.1.3 Teknik anestesi spinal
Teknik Anestesi Spinal Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan
pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal
kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba.

20
Gambar 6. Posisi lateral dekubitus

2. Posisi lain adalah duduk, yaitu megambil perpotongan antara garis yang menghubungkan
kedua garis Krista iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya
berisiko trauma terhadap medula spinalis.

Posisi duduk
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anestesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% sebanyak 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan
penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira
2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke
lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel)
harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas
atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri
kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar
likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau yakin ujung
jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya
likuor keluar. Untuk analgesia spinal secara kontinyu dapat dimasukan kateter.

21
Tusukan pada anestesi spinal
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir)
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit – ligamentum flavum dewasa ± 6cm

Komplikasi tindakan anestesi spinal


1. Hipotensi berat Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.
2. Bradikardia Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok sampai
T-2 3. Hipoventilasi Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total

Komplikasi pasca tindakan


1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis

22
5.3.1.2 Anestesi Epidural
Adalah blokade saraf dengan menempatkan obat diruang epidural. Ruangan ini
berada diantara ligamentum flavum dan durameter. Obat anestesi lokal diruang epidural
bekerja langsung pada akar saraf spinal yang terletak dibagian lateral. Awal kerja
anestesi epidural leih lambat dibanding anestesi spinal, dan kualitas blokade sensorik
motorik juga lebih lemah.
Indikasi anestesi epidural
1. pembedaha dan penanggulangan nyeri pasca bedah
2. Tatalaksana nyeri saat persalinan
3. Tambahan pada anestsi umum ringan

Teknik Anestesi Epidural


1. Posisi pasien pada saat tusukan seperti pada anestesi spinal
2. Tusukkan jarum epidural pada ketinggian L3-L4, karena jarak antara ligamentum
flavum-durameter adalah yang terlebar
3. Jarum epidural yang digunakan ada yang disebut Crawford dan Touhy
4. Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak tekhnik tetapi yang paling
populer adalah teknik hilangnya resistensi dan teknik tetes tergantung.
Teknik hilangnya resistensi menggunakan semprit kacar atau semprit plastik rendah
resistensi yang diisi oleh udara atau NaCl sebanyak 3 ml, setelah diberikan anestesi
lokal pada tempat suntikan, jarum epidural ditusukkan sedalam 1-2cm. kemudian
udara atau NaCl disuntuikkan perlaha-lahan secara terputus-putus sambil
mendorong jarum epidural sampai terasa menembus jaringan keras. Setelah yakin
ujung jarum berada dalam ruang epidural, dilakukan uji dosis

5.3.1.3 Anestesi Kaudal


Anesthesia kaudal sebenarnya sama dengan epidural, karena kanalis kaudalis adalah
kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditemaptkan di ruang kaudal melalui hiatus
sakralis.
Indikasi Anestesi Kaudal
Bedah daerah sekitar perineum, anorektal misalnya hemoroid, fistula, paraanal.
Indikasi kontra
Seperti analgesia spinal dan analgesia epidural

23
Teknik analgesia kaudal
1. Posisi pasien telungkup dengan simsfisis diganjal (tungkai dan kepala lebih rendah dari
bokong) atau dikubitus lateral, terutama pada wanita hamil.
2. Dapat digunakan jarum suntik biasa atau jarum dengan kateter vena (venocath,
abbotcath) ukuran 20 – 22 pada pasien dewasa.
3. Pada dewasa biasanya digunakan volum 12 – 15 ml (1 – 2 ml/ segemen).
4. Pada anak prosedur lebih mudah
5. Identifikasi hiatus sakralis diperoleh dengan menemukan kornu sakralis kanan dan kiri
yang sangat mudah teraba pada penderita kurus dan spina iliaka superior posterior.
Dengan menghubungkan ketiga tonjolan tersebut diperoleh hiatus sakralis.
6. Setelah dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada daerah hiatus sakralis, ditusukan
jarum yang mula – mula 90o terhadap kulit. Setelah diyakini masuk kanalis sakralis
arah jarum diubah 45o – 60o dan jarum didorong sedalam 1 – 2 cm. Kemudian suntikan
NaCl sebanyak 5ml secara agak cepat sambil meraba apakah ada pembengkakan di
kulit untuk menguji apakah cairan masuk dengan benar di kanalis kaudalis.
5.3.2. Obat anestetik lokal / regional
Anestetik lokak dibagi menjadi dua golongan :

1. Golongan ester (-COOC-)


Kokain, benzokain, tetrakain, kloroprokain, ametocaine

2. Golongan amida (-NHCO-)


Lidokain, mepivakain, prilokain, bupivacaine, dibukain, etidokain,

Mekanisme kerja
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium channel), mencegah
peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga terjadi
depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf. Potensi dipengaruhi
oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten. Ikatan dengan protein (protein binding)
mempengaruhi lama kerja dan konstanta dissosiasi (pKa) menentukan awal kerja.
Konsentrasi minimal anestetika lokal dipengaruhi oleh :

1. Ukuran, jenis dan mielinisasi saraf

24
2. pH (asidosis menghambat blockade saraf)
3. frekuensi stimulasi saraf

Mula kerja
Bergantung beberapa factor, yaitu :

1. pKa mendekati pH fisiologi sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi meningkat dan
dapat menembus sel saraf sehingga menghasilkan mula kerja cepat
2. alkalinisasi anestetika lokal membuat mula kerja cepat
3. konsentrasi obat anestetika local

Lama kerja
1. ikatan dengan protein plasma, karena reseptor anestetika lokal adalah protein
2. dipengaruhi oleh kecepatan abosorpsi
3. dipengaruhi oleh ramainya pembuluh darah perifer di daerah pemberian

Farmakokinetik
A. Absorpsi sistemik dipengaruhi oleh:
1. Tempat suntikan
Kecepatan absorpsi sistemik sebanding dengan ramainya vaskularisasi tempat suntikan :
abosropsi intravena > trakeal > intercostal > kaudal > para servikal > epidural > pleksus brakial
> skiatik > subkutan

2. Penambahan vasokonstriktor
Adrenalin 5 mcg/ml atau 1:200.000 membuat vasokonstriksi pembuluh darah pada tempat
suntikan sehingga dapat memperlambat abosropsi sampai 50%

3. Karakterisktik obat anestetik lokal


Obat anestetika lokal terikat kuat pada jaringan sehingga dapat diabosrpsi secara lambat

B. Distribusi dipengaruhi oleh ambilan organ dan ditentukan oleh faktor – faktor:
1. Perfusi jaringan

25
2. Koefisien partisi jaringan/darah
Ikatan kuat dengan protein plasma  obat lebih lama di darah
Kelarutan dalam lemak tinggi  meningkatkan ambilan jaringan

3. Massa jaringan
Otot merupakan tempat reservoir bagi anestetika lokal

Metabolisme dan eksresi


1. Golongan ester
Golongan ester di metabolisme oleh pseudocholinesterase. Hidrolisa ester sangat cepat dan
kemudian metabolit dieksresi melalui urin.

2. Golongan amida
Metabolisme terutama oleh enzim mikrosomal di hati. Kecepatan metabolismenya lebih lambat
dari hidrolisis ester. Metabolit dieksresi lewat urin dan sebagian kecil dalam bentuk utuh

Efek samping terhadap system tubuh


 Sistem kardiovaskular
1. Depresi automatsasi miokard
2. Depresi kontraktilitas miokard
3. Dilatasi arteriolar
4. Dosis besar dapat menyebabkan disritmia

 Sistem pernapasan
Relaksasi otot polos bronkus. Henti napas akibat paralise saraf frenikus, paralise intercostal
atau depresi langsung pusat pengaturan napas

 Sistem saraf pusat (SSP)


SSP rentan terhadap toksisitas anestetika lokal, dengan tanda – tanda awal parestesia lidah,
pusing, kepala terasa ringan, tinnitus, pandangan kabur, agitasi, twitching, depresi pernapasan,
tidak sadar, konvulsi dan komaa.
Tambahan adrenalin berisiko kerusakan saraf.

26
 Imunologi
Golongan ester menyebabkan reaksi alergi lebih sering, karena merupakan derivate para amino
benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen

 Sistem musculoskeletal
Bersifat miotoksik (bupivakain>lidokain>prokain)
Tambahan adrenalin berisiko kerusakan saraf. Regenerasi dalam waktu 3 – 4 minggu

 Anestetika lokal yang ideal


1. Poten dan bersifat sementara ( reversible )
2. Tak menimbulkan reaksi lokal, sistemik atau alergik
3. Mula kerja cepat dengan durasi memuaskan
4. Stabil, dapat disterilkan
5. Harganya murah

 Toksisitas bergantung pada :

1. Jumlah larutan yang disuntikkan


2. Konsentrasi obat
3. Ada tidaknya adrenalin
4. Vaskularisasi tempat suntikkan
5. Absorpsi obat
6. Laju destruksi obat
7. Hipersensitivitas
8. Usia
9. Keadaan umum
10. Berat badan

27
BAB VI
KESIMPULAN

Ny A dengan diagnosa G4P3A0 H 7 minggu Atas indikasi sisa konsepsi + MOW ASA
1 dilakukan operasi Curretase dan Tubektomi pada tanggal 25 Oktober 2018. Jenis anestesi
yang digunakan adalah Regional Anestesi. Hal ini dirasakan cukup aman bagi ibu, karena
minim efek samping dari obat anestesi lokal yang dihasilkan salah satunya tidak menimbulkan
depresi nafas.
Operasi berlangsung dengan lancar tanpa hambatan khusus, hal ini disebabkan karena
pasien tidak memiliki faktor risiko yang dapat menimbulkan permasalahan selama operasi
berjalan. Selama di recovery room juga pasien tidak menunjukkan suatu keadaan yang
memerlukan penanganan yang serius, tanda vital pasien cenderung baik, yaitu tekanan darah
108/78, Nadi 81, saturasi oksigen 99, pasien memasuki RR pukul 11:45 dan dijemput dari RR
pukul 12:30.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Butterworth JF, David CM, John DW. Morgan & Mikahil’s Clinical Anestehesiology
5th edition. United states : Mc Graw-Hill ; 2013
2. Euliano TY, JK Gravenstein. Essential Anesthesia from science to practice. Cambridge
: Cambridge University Press ; 2014
3. Ehrenfeld JM, Richard DU, Scott S. Anesthesia Student Survival Guide : a case-based
approach. New York : Springer Science;2010
4. Guideline for obstetric Anesthesia. : An Updated report by the American society of
anesthesiologist task force on obstetric anesthesia and the society for obstetric
anesthesia and perinatology. The American society of anesthesiologist, Inc Wolters
Kluwer Health. Anesthesiology V 124. 2016;124:00-00
5. Van De Graaff : Human Anatomy, sixh edition. UK : The McGraw-Hill companies ;
2011
6. Hanretty KP. Obstetric illustrated 6th edition. Edinburg : Churchill livingstone; 2013
7. Scanlon VC, Tina S. Essentials of anatomy and physiology 5th edition. Philadelphia : F
A Davis Compay ;2007
8. Latief SA, Kartini AS. Petunjuk praktis anestesiologi edisi kedua. Bagian Anestesiologi
dan terapi intensif . Fakultas kedokteran Universitas Indonesia
9. Handoko, Tony. Anestetik Umum, dalam Farmakologi dan terapi FKUI, edisi ke-4
jakarta: Gaya baru

29

Anda mungkin juga menyukai