Anda di halaman 1dari 23

MINI CLINICAL EXAMINATION

AN KA 7 TAHUN DENGAN APENDISITIS AKUT

Oleh:

Delavemia Rostiani G4A016085

Pembimbing:

dr. Aunun Rofiq, Sp. An

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017
HALAMAN PENGESAHAN

1
MINI CLINICAL EXAMINATION

An Ka 7 Tahun Dengan Apendisitis Akut

Disusun oleh:
Delavemia Rostiani G4A016085

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui,
Pada tanggal: April 2017

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Aunun Rofiq, Sp.An

I. LAPORAN KASUS

2
A. Identitas Pasien
Nama : An. KA
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 04 Juni 2009
Alamat : Kedungurang 08/03 Gumelar
Agama : Islam
Diagnosis : Apendisitis Akut
Pro : Apendektomi
DPJP Anestesi : dr. Yudi, Sp.BA
No. CM : 02002018
Tanggal masuk RSMS : 27 Maret 2017
Tanggal Operasi : 27 Maret 2017

B. Anamnesis Pra Anestesi


1. Keluhan Utama
Pasien dengan keluhan nyeri hebat pada perut kanan bawah.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Margono Soekarjo Purwokerto hari
Selasa, 27 Maret 2017 dengan keluhan nyeri hebat perut kanan bawah
sejak 3 hari sebelum masuk RSMS. Nyeri perut dirasakan terutama di
bagian kanan bawah. Pasien juga mengeluh adanya demam,mual, dan
muntah. Pasien mengeluhkan buang air besar tidak teratur, pasien belum
buang air besar sejak hari sabtu, 25 maret 2017. Pasien langsung
mendapatkan penanganan awal di IGD, kemudian pada malam hari
langsung dilakukan proses oprasi apendektomi di ruang OK IGD. Pasien
sedang tidak batuk, pilek, dan sesak nafas.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Asma (-), penyakit Jantung bawaan (-), hepatitis (-),
penyakit ginjal (-), anemia (-), alergi obat (-), alergi makanan (-), pingsan
(-), riwayat operasi (-), riwayat kejang (-).

3
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), Asma (-), penyakit Jantung (-),
Gangguan Pembekuan Darah (-).
5. Tanda Vital
Heart Rate : 104x/menit, kuat, isi cukup, reguler
Respiratory Rate : 27x/ menit
Suhu : 38oC
6. Status Antropometri
Berat Badan : 21 kg
Tinggi Badan : 120 cm
7. Pemeriksaan Fisik
a. KU : Lemah
b. Airway : Clear (+), buka mulut 3 jari, Mallampati II, TMD 6 cm,
gigi palsu (-), gigi tanggal (+), gigi goyang (-), massa jalan nafas (-),
massa di leher (-)
c. Kepala/Leher: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), massa di
wajah (-), masa di leher (-), luka bakar (-), deviasi trakea (-).
d. Breathing/Thorak:
Spontan (+), RR 27x/ menit
Paru : SD ves +/+, wh -/-, rbk -/-, rbh -/-
Jantung : S1>S2, reguler, gallop (-), murmur (-)
e. Circulation
TD 110/70 mmHg, Nadi 104x/menit, kuat, isi cukup, reguler.
f. Abdomen
Inspeksi : Datar, distensi (-),darm contur (-),darm steifung (-)
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (+) regio kanan bawah, Mc burney sign
(+), rebound tenderness (+), rovsing sign (-), psoas
sign (+), obturator sign (+), defans muskuler (-)
Perkusi : Timpani
g. Ekstremitas : Akral hangat, edema superior (-/-) edema inferior (-/-),
parese (-/-), paralise (-/-), Turgor < 1 detik
h. Pemeriksaan Vertebrae

4
Tidak didapatkan kelainan
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 23/03/2017
Hb : 12.7g/dL
Leukosit : 26550 U/L
Ht : 38%
Eritrosit : 4,9 juta/L
Trombosit : 442.000
GDS : 103
PT : 10,6 detik
APTT : 45,4
K : 4,4
Cl : 99
Assesment : ASA I E
Rencana Operasi : Laparotomi Apendektomi
Rencana Anestesi : General anestesi/Endo Tracheal Tube (ETT)

C. Laporan Anestesi Durante Operasi


1 Tanggal operasi : 27/3/2017
2 Jam mulai anestesi : 19.45 WIB
3 Jam selesai anestesi : 21.15 WIB
4 Kondisi prainduksi
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Heart rate : 140 x/menit, kuat, isi cukup, reguler
RR : 22 x/menit
Suhu : 380 C
5 Tehnik anestesia
Anestesi : General Anestesia (ETT)
Premedikasi : Dexametason 5 mg
Preemptive analgesi : Fentanyl 25 g
Induksi inhalasi : Sevofluran
IV : Propofol 40 mg
Intubasi ET : Non kinking 4,5

5
Monitoring Durante Operasi
a Tekanan darah, SpO2 dan HR
Tabel I.1. Monitoring Durante Operasi
Waktu SpO2 HR
19.45 100% 72
20.00 100% 76
20,15 100% 70
20.30 100% 76
20.45 100% 80
21.00 100% 83
21.15 100% 80

b Obat yang masuk


Fentanyl 25 g
Propofol 40 mg
Dexametaxon 5 mg
Paracetamol 500 mg
c. Cairan yang masuk durante operasi
RL : 500 ml
Nacl : 500 ml
d. Perdarahan : 200 cc

D Terapi Cairan
Rumus:
Maintenance cairan

Berat badan cc/kg/ jam

10 kg pertama 4
10 kg ke-dua 2
Setiap kg penambahan BB 1

Kebutuhan cairan pasien = 40 cc + 20 cc + 1 cc = 61 cc/ jam


10 kg I = BB x 4 cc
= 10 x 4cc

6
= 40 cc/ jam
10 kg II = BB x 2 cc
= 10 x 2 cc/ jam
= 20 cc/ jam
Sisa BB = BB x 1 cc
= 1 x 1 cc
= 1 cc/ jam
Pengganti Puasa (PP) = Puasa (jam) x M
Stress Operasi (SO) = 6cc/kgBB (operasi sedang)
Jam I = PP + M + SO
Jam II = PP + M + SO
Jam III = Jam II
Jam IV = M + SO
30 Menit = Jam I
EBV = anak 80 x BB

Perhitungan (BB= 21 Kg):


Maintenance (M) = 61 cc
Stress Operasi (SO) = 6 x 21 = 126cc
Pengganti puasa (PP) = 4 x 61 = 244cc
EBV = 80 x 21 = 1.680 cc
Lama Operasi (1 Jam 30 menit)
Input Cairan durante operasi
Jam I = PP + M + SO
= (244) + 61 + 126
= 309 cc
30 menit = Jam I
= (309)
= 154 cc
Output durante operasi
Jumlah perdarahan = 200 cc
Urin output = 0 cc
Total output durante operasi = 200 cc

7
Tabel I.2. Keseimbangan Cairan Durante Operasi
Output Cairan Input Cairan
Perdarahan + urin output Durante operasi = 1000 cc
= 200 + 0 cc
Output cairan D.O. = 200cc Input cairan D.O. = 1000 cc

Kebutuhan durante operasi


1 jam 15 menit : 309 + 154
: 463 cc

Total Cairan Output Total Cairan Input


200+463 1000 cc
= 663 = 1000cc
Balance Cairan: +337 cc

II. LANDASAN TEORI

A. Apendisitis
Apendisitis akut adalah peradangan yang timbul secara mendadak
pada apendik. Apendisitis akut merupakan penyebab paling
umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga
abdomen dan menjadi indikasi untuk dilakukan bedah
abdomen darurat (Mansjoer, 2000). Penyebab dari apendisitis yaitu
obstruksi pada lumen dan erosi mukosa usus akibat parasit Entamoeba
hystolitica dan benda asing lainnya seperti fekalit (Sjamsuhidayat, 2012).
Tanda dan gejala apendisitis berupa muntah (rangsangan viseral akibat
rangsangan nervus vagus), obstipasi , demam 37,5 0C-38,50C, anoreksia, dan
nausea. Nyeri somatik akibat apendisitis dapat bervariasi, hal ini diakibatkan

8
oleh variasi lokasi anatomi dari apendiks. Apendiks retrosekal dapat
menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal akan
menyebabkan nyeri pada supra pubik, apendiks retroileal dapat menyebabkan
nyeri testikuler yang diakibatkan iritasi pada arteri spermatika dan ureter serta
nyeri kuadran kiri bawah akibat dari inflamasi dari ujung apendiks
(Seymour,2012).
Penegakan diagnosis apendisitis dapat dilakukan dengan skor
Alvarado (tabel 2.1). Klasifikasi skor Alvarado yaitu 7-10 secara klinis
apendisitis, 5-6 kemungkinan apendisitis, dan 1-4 bukan apendisitis (Trudavu
et al, 2010). Pada pemeriksaan fisik apendisitis dapat ditemukan nyeri tekan
Mc Burney, psoas sign positif, Rovsing sign positif, obturator sign positif, dan
reboumd tenderness positif. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
peningkatan leukosit (anak-anak 11.000-14.000/mm3) (Sjamsuhidayat, 2012).
Tabel 2.1. Skor Alvarado (Trudavu et al, 2010)

Mekanisme terjadinya apendisitis dapat bermula dari


adanya fekalit. Feses yang terperangkap dalam lumen
apendiks akan menyebabkan obstruksi dan terbentuklah
fekalit. Obstruksi yang terjadi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin
lama mukus semakin banyak, sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen. Tekanan tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukus. Pada saat ini terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh sekitar nyeri
epigastrium dan umbilikus. Invasi E.coli dan bakteri lainnya
dari lumen ke lapisan mukosa, submukosa, lapisan

9
muskularisa, dan akhirnya ke peritoneum parietalis
menyebabkan terjadinya peritonitis lokal kanan bawah. Pada
tahap ini suhu tubuh mulai naik. Bila sekresi mukus terus
berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
peradangan oleh bakteri serta menimbulkan nyeri pada perut
kanan bawah. Kejadian ini merupakan stadium supuratif
(Mansjoer, 2000).
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark diding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium
ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang
telah rapuh pecah, akan menyebabkan apendisitis perforasi.
Pada anak-anak omentum lebih pendek, apendiks lebih
panjang, dan dinding apendiks lebih tipis. Keadaan demikian
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi (Mansjoer, 2000).

B. Teknik Anestesi General


Anestesi general adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh
secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.
Perbedaan dengan anestesi lokal ialah, pada anestesi umum yang terpengaruh
ialah syaraf pusat sehingga turut terjadi kehilangan kesadaran (Budiono,
2013). Sifat anestesi umum yang ideal adalah bekerja cepat, induksi dan
pemulihan baik, cepat mencapai anestesi yang dalam, batas keamanan lebar,
dan tidak bersifat toksis (Munaf, 2008). Obat anestesi umum paling sering
diberikan secara inhalasi dan intravena, namun adapula obat yang diberikan
perektal tetapi jarang digunakan. Obat anestesi umum yang diberikan secara
inhalasi diantaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan
isofluran. Obat anestesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu
ketamin, propofol, etomidat, dan golongan benzodiazepin (Munaf, 2008;
Budiono, 2013).
1. Anestesi Total Intravena (TIVA)

10
Anestesi total intravena adalah teknik anestesi dimana induksi
dan rumatan anestesi dicapai melalui obat-obatan yang diberikan lewat
jalur intravena. Pada teknik ini pasien dibiarkan bernafas spontan atau
diberikan ventilasi dengan campuran oksigen dan air (Reves, et al.,
2005). Obat anestesi umum akan dimetabolisme di jaringan. Sesuai
dengan obatnya, ada yang dimetabolisme si hepar, ginjal, ataupun
jaringan lain. Sedangkan ekskresinya, dapat melalui ginjal, hepar, kulit,
maupun paru-paru. Beberapa obat anestesi intravena yang sering
digunakan dalam praktek sehari-hari adalah propofol, ketamin,
midazolam, dan dikombinasi dengan golongan opioid maupun ketamin
dosis rendah (Lisa, 2005).
Kriteria Obat Untuk TIVA (Lisa, 2005)
a. Larut di dalam air sehingga penggunaan pelarut/solvent dapat
dihindari
b. Obat tetap stabil meskipun terlarut dan terpapar cahahaya matahari
c. Tidak adsorpsi terhadap bahan-bahan plastik seperti infuse set
d. Tidak iritan terhadap vena (baik nyeri pada penyuntikan, vena
phlebitis atau thrombosis) atau merusak jaringan ketika diberikan
intravena maupun intraarterial
e. Menghasilkan hipnotik/tertidur dalam one arm circulation time
f. Mula kerja obat cepat dan diinaktifkan oleh metabolisme baik
hati, darah maupun jaringan lain
g. Minimal efek terhadap kardiovascular dan respirasi

1) Propofol
Penggunaan propofol populer di Instalasi Gawat Darurat
sebagai bagian dari agen untuk prosedur yang membutuhkan sedasi
dan analgesi. Propofol lebih dipilih karena profil farmakokinetiknya
dengan mula kerja obat yang cepat dan waktu pulih yang singkat
(Zed, et al., 2007). Propofol menjadi obat pilihan induksi anestesia,
khususnya ketika bangun yang cepat dan sempurna diperlukan.
Kecepatan onset sama dengan barbiturat intravena, masa pemulihan

11
lebih cepat dan pasien dapat pulang berobat jalan lebih cepat
setelah pemberian propofol. Kelebihan lainnya, pasien merasa lebih
nyaman pada periode paska bedah disbanding anestesi intravena
lainnya. Mual dan muntah paska bedah lebih jarang (Trevor, 2008)
Disamping kelebihan-kelebihan diatas, propofol juga
mempunyai kekurangan- kekurangan, yaitu dapat menyebabkan
penurunan tekanan darah arteri, penurunan denyut jantung,
depresi pernafasan, sampai henti nafas. Propofol menyebabkan
penurunan tekanan darah sistolik berkisar 25-40%. Mekanisme
penurunan tekanan darah ini disebabkan oleh efek inotropik negatif
dan relaksasi dari otot polos pembuluh darah (David, et al., 2008).
Propofol sebagai agen anestesi dikatakan lack of analgesia. Karena
itu apabila digunakan sendiri akan menjadi inefektif karena masih
akan timbul pergerakan atau menarik diri pada saat prosedur
berlangsung (Megan and Douglas, 2006). Sehingga dalam
penggunaanya, propofol sering dikombinasikan dengan analgesik,
seperti golongan opioid, maupun ketamin dosis rendah (Mahajan, et
al., 2010).
2) Fentanil
Fentanil merupakan opioid sintetik dengan seratus kali lebih
poten dari morfin sebagai analgesik. Obat ini dapat menghilangkan
nyeri, mengurangi respon somatik dan autonomik terhadap
manipulasi airway, dengan hemodinamik yang lebih stabil dengan
mula kerja yang cepat dan durasi kerja yang singkat. Tetapi
disamping itu kelemahannya adalah mempengaruh ventilasi
pernafasan dan mual muntah pasca operasi (Motoko, et al., 2001)
Fentanil memiliki berbagai variasi dosis, akan tetapi untuk
analgesia dalam Stoelting (2006) dapat berkisar pada 1-2 g/kgBB.
Propofol sering dikombinasikan dengan fentanil dengan rentang
dosis 1-2 g/kgBB dalam prosedur sedasi analgesia. Analgesia dari
kelas opioid memilik kelemahan karena memiliki efek samping
mendepresi pernafasan. Dosis fentanil yang lebih besar sering

12
menyebabkan efek samping hipoventilasi hingga henti nafas
(Stoelting, 2006).
2. Anestesi Inhalasi
Obat anestesi inhalasi yang sering digunakan antara lain isofluran,
sevofluran, dan N2O. Obat anestesi yang diberikan secara inhalasi akan
berdifusi ke dalam sirkulasi darah. Obat tersebut selanjutnya akan
menyebar ke dalam jaringan. Sehingga, jaringan yang kaya pembuluh
darah seperti otak atau organ vital akan menerima obat lebih banyak
dibandingkan jaringan yang pembuluh darahnya sedikit (Budiono, 2013).
Kriteria obat anestesi inhalasi yaitu (Budiono, 2013) :
1) Tidak mudah terbakar atau menimbulkan ledakan
2) Mudah diuapkan pada suhu normal
3) Potensinya kuat
4) Harganya murah
5) Sedikit mengalami metabolisme dan tidak menimbulkan alergi
6) Waktu induksi dan pemulihannya cepat
7) Tidak menekan sistem syaraf simpatis berlebihan
8) Tidak menimbulkan mual dan muntah
9) Tidak mengiritasi jalan nafas
10) Bersifat bronkodilatasi
11) Tidak toksik pada ginjal dan hepar
12) Tidak menimbulkan depresi otot jantung dan vasodilatasi perifer

a) Isofluran
Isofluran merupakan cairan tak berwarna dan berbau tajam,
serta dapat mengiritasi jalan nafas dalam dosis tinggi. Isofluran juga
tidak mudah terbakar, tidak terpengaruh cahaya, dan tidak merusak
logam.Isofluran memiliki keuntungan yaitu membuat keadaan
kardiovaskular stabil, tidak bersifat aritmogenik, tekanan intrakranial
tidak meningkat, relaksasi pada otot rangka, tidak toksik terhadap
ginjal, dan berfungsi sebagai bronkodilator. Kerugian isofluran
antara lain dapat menyebabkan iritasi jalan nafas karena baunya yang

13
menyengat. Hal ini mengakibatkan isofluran lebih sering dipakai
sebagai obat pemeliharaan dibandingkan obat induksi (Budiono,
2013).
b) Sevofluran
Sevofluran merupakan cairan jernih tidak berwarna, berbau
enak, dan tidak iritatif. Sevofluran juga tidak bereaksi dengan logam,
tidak mudah terbakar, tidak mudah eksplosif, stabil terhadap cahaya,
dan dapat diabsorbsi secara cepat. Sevofluran sering dipakai sebagai
obat induksi anestesi (Budiono, 2013).
c) Nitrogen Oksida (N2O)
N2O merupakan agen anestesi yang tidak berwarna, tidak
iritatif, mempunyai bau agak manis, dan efek analgesinya kuat.
Namun N2O merupakan agen anestesi yang lemah, sehingga perlu
didahului dengan premedikasi, induksi obat intra vena, diteruskan
dengan kombinasi obat lain untuk pemeliharaan, dan ditambah
dengan pelumpuh otot (Munaf, 2008; Budiono, 2013).
Teknik anestesi yang diterapkan pada pasien An.KA adalah anestesi
umum. Obat yang dipakai yaitu propofol dengan dosis 40mg dan Fentanyl 25
g. Operasi pada pasien ini berlangsung selama 1 jam 30 menit. Sementara
pemeliharaan anestesi general menggunakan sevofluran dan N2O.

C. Terapi Cairan
Keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit pada tubuh dikendalikan oleh
ADH, aldosteron dan atrial natriuretic peptide (ANP). Total cairan tubuh
adalah 60% BB yang terdiri dari cairan intrasel 40% BB dan cairan ekstrasel
20% BB (caira interstitial 15% BB dan intravaskuler 5% BB). Volume darah
sendiri adalah 8% BB yang didapatkan dari cairan intravaskuler 5% BB dan
volume sel darah merah 3% BB. Kompartemen cairan tubuh dipengaruhi oleh
tekanan onkotik dan tekanan hidrostatik. Tekanan hidrostatik ini akan yang
akan mendorong cairan intravaskuler keluar melalui kapiler menuju
interstitial. Sebaliknya tekanan onkotik akan menarik cairan dari interstitial

14
ke intravaskuler. Berdasarkan jenisnya cairan intravena dibagi menjadi 3
macam, yaitu (Soenarjo and Heru, 2013):
1 Cairan kristaloid: NaCl 0.9%, Ringer laktat, Dextrose 5%
2 Cairan koloid: Albumin, koloid sintetik (dextran dan hetastarch), plasma
protein fraction (plasmanat)
3 Cairan khusus: mannitol 20%, sodium bikarbonat
Berdasarkan tujuan terapi cairan intravena dibagi menjadi tiga macam,
yaitu (Soenarjo and Heru, 2013):
1 Cairan rumatan (maintenance) yaitu cairan yang bersifat hipotonis, misal:
dextrose 5%, dextrose 5% dalam NS 0.25, dextrose 5% dalam NS 0.5.
2 Cairan pengganti (repalcement) yaitu cairan yang bersifan isotonis,
misal: ringer laktat, NaCl 0.9% dan koloid
3 Cairan khusus yaitu cairan yang bersifat hipertonis, misal: NaCl 3%,
mannitol 20% dan sodium bikarbonat.
Tujuan terapi cairan intrvena adalah untuk memulihkan volume
sirkulasi darah. Pada syok tujuan resusitasi cairan adalah untuk memulihkan
perfusi jaringan dan pengiriman oksigen ke sel agar tidak terjadi iskemik
jaringan yang berakibat gagal organ. Volume cairan pengganti yang
diperlukan untuk mengembalikan volume sirkulasi darah ditentukan oleh
ruang distribusi cairan pengganti yang tergantung kadar koloid dan Na +
(Santry and Hasan, 2016).
Ketika mempertimbangkan kristaloid dibandingkan koloid, perbedaan
dalam keberhasilan tidak berbeda jauh namun untuk perbedaan pada risiko
toksisitas ginjal dan komplikasi perdarahan dengan HES tampak lebih
signifikan. Perbedaan kandungan klorida pada kristaloid tampaknya memiliki
efek fisiologis dan klinis yang penting pada pasien akut, khususnya terhadap
asidosis metabolik hiperkloremik dan cedera ginjal dan peran koloid tidak
jelas (John et al, 2008).

15
Tabel 2.2 Derajat dehidrasi pada anak (Leksana, 2015)

Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan, pada


anak-anak 4 ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg pertama, 2 ml/kgBB/jam
untuk berat badan 10 kg kedua, dan 1 ml/kgBB/jam tambahan untuk sisa
berat badan. Salah satu tanda rehidrasi tercapai ialah dengan adanya produksi
urin 0,5-1 ml/kgBB.
1 Cairan Selama Pembedahan
Terapi cairan selama operasi meliputi kebutuhan dasar cairan dan
penggantian sisa defisit pra operasi ditambah cairan yang hilang selama
operasi. Penggantian cairan tergantung pada besar kecilnya pembedahan ,
yakni 6-8 ml/kgBB untuk bedah besar, 4-6 ml/kgBB untuk bedah sedang,
dan 2-4 ml/kg BB untuk bedah kecil. Cairan pengganti pada anak, untuk
bedah ringan 2 ml/kgBB, sedang 4 ml/kgBB dan berat 6 ml/kgBB (Latief
et al., 2009).
Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur
pembedahan dan perkiraan jumlah perdarahan. Pada perdarahan untuk
mempertahankan volume intravena dapat diberikan kristaloid atau koloid
sampai tahap timbulnya bahaya karena anemia. Pada keadaan ini
perdarahan selanjutnya diganti dengan transfusi sel darah merah untuk
mempertahankan konsentrasi hemoglobin ataupun hematokrit pada level

16
aman, yaitu hemoglobin (Hb) 7 10 g/dl atau hematokrit (Ht) 21 30%.
Penggantian cairan akibat perdarahan berdasarkan berat-ringannya
perdarahan adalah sebagai berikut (Latief et al., 2009) :
a. Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 15%, cukup
diganti dengan cairan elektrolit.
b. Perdarahan sedang, perdarahan 10 20% EBV, 15 30%, dapat
diganti dengan cairan kristaloid dan koloid.
c. Perdarahan berat, perdarahan 20 50% EBV, > 30%, harus diganti
dengan transfusi darah.
2 Terapi Cairan Paska Bedah
Terapi cairan paska bedah ditujukan untuk (Latief et al., 2009):
a. Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.
b. Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan
lambung, febris).
c. Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama pembedahan.
d. Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.
Nutrisi parenteral bertujuan menyediakan nutrisi lengkap, yaitu
kalori, protein dan lemak termasuk unsur penunjang nutrisi elektrolit,
vitamin dan trace element. Pemberian kalori sekitar 25 Kkal/kgBB/hari
dengan protein 0,8 gram/kgBB/hari. Nutrisi parenteral ini penting, karena
pada penderita paska bedah yang tidak mendapat nutrisi sama sekali akan
kehilangan protein 75 125 gr/hari. Hipoalbuminemia menyebabkan
edema jaringan, infeksi dan dehisensi luka operasi, terjadi penurunan
enzim pencernaan yang menyulitkan proses realimentasi (Latief et al.,
2009).
3 Cairan Infus
Cairan infus dapat berupa cairan kristaloid, cairan koloid, atau
campuran keduanya. Jenis-jenis cairan tersebut adalah (Latief et al.,
2009, Barash, 2006; Sunatrio, 2000):
a. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES =
CEF). Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia

17
dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross
match, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan
sederhana dan dapat disimpan lama. Cairan kristaloid bila diberikan
dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya
seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume
intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler
sekitar 20-30 menit. Pemberian cairan kristaloid berlebihan dapat
menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intrakranial
(Barash, 2006).

Tabel 2.3 Jenis Cairan Terapi (Barash, 2006).

b. Cairan Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau
biasa disebut plasma substitute atau plasma expander. Di dalam cairan
koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan
agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh
karena itu, koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat
terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita
dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak
(misal luka bakar. Berdasarkan pembuatannya, terdapat dua jenis
larutan koloid (Sunatrio, 2000) :
1. Koloid alami

18
Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin
manusia (5 dan 2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma
atau plasenta 60 C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis
dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung
albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
Prekallikrein activators (Hagemans factor fragments) seringkali
terdapat dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin.
Oleh sebab itu pemberian infus dengan fraksi protein plasma
seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
2. Koloid Sintesis
a) Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul
40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul
60.000 - 70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostocmesenteroides B yang tumbuh dalam media
sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander
yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi
Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi
mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah.
Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat
mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor
VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.
Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat
mengganggu cross match, waktu perdarahan memanjang
(Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan
memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu (Sunatrio,
2000).
b) Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul rata-
rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30
30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal

19
akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan
sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar
serum amilase (walau jarang). Low molecullar weight
Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu
mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang
diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya
sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas
yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta
starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada
penderita gawat (Sunatrio, 2000).
c) Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte
dengan berat molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa
kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu (Sunatrio,
2000):
1) Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
2) Urea linked gelatin
3) Oxypoly gelatin, merupakan plasma expanders dan banyak
digunakan pada penderita gawat. Walaupun dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari
golonganurea linked gelatin.

20
III. KESIMPULAN

Pasien An. KA 7 tahun, post-operasi laparotomi apendektomi yang di


operasi di ruang OK IGD pada tanggal 27 Maret 2017. Pasien dengan diagnosis
apendisitis akut direncanakan menjalani operasi dengan teknik anastesi umum.
Tujuan awal dari operasi ialah mengangkat peradangan yang terjadi pada apendix
vermiformis. Selama operasi tidak didapatkan masalah yang berkaitan dengan
perdarahan. Perdarahan selama operasi berjumlah 200 cc. Jumlah tersebut masih
berada dalam jenis perdarahan ringan (10%-15% EBV), sehingga terapi yang
dibutuhkan hanya berupa cairan kristaloid. Terapi cairan yang diberikan selama
operasi sebanyak 1000 ml. Terapi cairan yang diberikan melebihi dari estimasi
penghitungan kebutuhan pasien An.KA.

21
DAFTAR PUSTAKA

Budiono, Uripno. 2013. Anestesi Umum. Dalam: Soenardjo dan Heru Dwi
Jatmiko (Eds). Anestesiologi. Semarang: Perdatin Jawa Tengah.

Fendrick, A.M., Pan, D.E., Johnson, G.E., 2008. OTC Analgesics and Drug
Interactions: Clinical Implications. Osteopathic Medicine and Primary
Care. 2 (2).

John, R.H., Brohi, K., Dutton, R.P., Hauser, C.J., Holcomb, J.B., Kluger, Y., Jones,
K.M., Parr, M.J., Rizoli, S.B., Yukioka, T., Hoyt, D.B., dan Bouillon, B.
2008.The Coagulopathy of Trauma: A Review of Mechanisms. The
Journal of Trauma, Injury, Infection and Critical Care.748-754.

Latief, S,A, Surjadi K, Dachlan R., 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Pertama. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 41-49

Leksana, E. 2015. Strategi Terapi Cairan Pada Dehidrasi.Cdk 224.vol 42 no 1

Lunn JN., 2004. Farmakologi Terapan Anestesi Umum : Catatan Kuliah Anestesi.
Edisi 4.Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC; 4: 86-93.

Mangku G, Senapathi TGA., 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi.
Jakarta: PT. Indeks.

Mansjoer. A. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3.


Jakarta : Media Aesculapius.

Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC.

Santry, Heena P., and Hasan B.A.Fluid Resuscitation: Past, Present and The
Future. HHS Public Access. 2016; 33 (3); 229-241

Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku


Kedokteran, EGC. Jakarta. (Seymour, 2000).

22
Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan
Anorektum, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta,
2005,hlm.639-645.

Soenarjo and Heru D.J. 2013. Anestesiologi Edisi Kedua. Semarang: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP.

Trevor AJ, White PF.2008. General Anesthetics. In: Katzung BG, ed. Basic and
Clinical Pharmacology. 9th Ed. Toronto: McGraw-Hill Companies.: p
4134

23

Anda mungkin juga menyukai