Anda di halaman 1dari 34

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. HM

Jenis Kelamin : Perempuan

Tanggal lahir : 23 Juni 1987

Umur : 30 Tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan Terakhir : S1

Agama : Islam

Alamat : Stain

Status pernikahan : Menikah (1 kali 24 Tahun)

No.RM : 12.25.85

Tanggal masuk : 25 Oktober 2017

Ruang rawat : KB Ruang Nifas

B. ANAMNESIS (Autoanamnesis pada tanggal 26 Oktober 2017)

- Keluhan Utama : Nyeri perut bagian bawah

- Anamnesis Terpimpin : Keluhan dirasakan sejak satu minggu yang

lalu. Pasien masuk rumah sakit pukul 22.45 wit. keluhan disertai dengan

keluarnya darah tanpa bercampur lendir sejak pagi tadi. .Selain itu, pasien

juga mengeluhkan keluarnya air-air jernih yang merembes sejak satu

1
minggu yang lalu juga sebelum masuk rumah sakit. Pasien G1P0A0

dengan riwayat pemeriksaan (ANC) di puskesmas dan di dr. Erwin

R,Sp.OG satu kali. HPHT : 22-1-2017, UK 39 minggu 3 hari, TP: 29-10-

2017. Pada waktu hamil muda, pasien mengalami mual muntah. Demam

dan sakit kepala disangkal. Pasien telah diinjeksi tetanus toksoid satu kali.

Pasien tidak pernah menggunakan KB. Pasien makan dan minum baik,

BAB dan BAK normal.

- Riwayat Penyakit Dahulu :

Penyakit hipertensi, diabetes melitus, asma dan operasi disangkal, namun

pasien mempunyai riwayat alergi.

- Riwayat Menstruasi dan Ginekologi :

Menurut pasien, usia menarche 12 tahun dan siklusi menstruasinya teratur

(28-30 hari) dengan lama haid yaitu 4 hari dan biasaya ganti pembalut tiga

kali sehari.

- Riwayat Keluarga :

Tidak ada keluarga yang mempunyai penyakit hipertensi, diabetes melitus,

asma.

- Riwayat Obstetri :

Pasien baru pertama kali hamil, tidak pernah melahirkan dan tidak pernah

keguguran.

2
- Riwayat Pengobatan :

Pasien belum mengkonsumsi obat apapun. Hanya mendapatkan injeksi

toksoid saja.

- Riwayat Kebiasaan :

Pasien mengaku tidak pernah merokok dan minum minuman beralkohol.

C. PEMERIKSAAN FISIK

- Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 120/90 mmHG

Nadi : 80 x/menit

Pernapasan : 22 x/menit

Suhu : 36,5C

Berat badan : 88 Kg

Tinggi badan : 156 cm

- Pemeriksaan Fisik

Kepala : Normocephal

Mata : Pemandangan normal, konjungtiva normal

Leher : Pembesaran KGB leher (-), pembesaran kelenjar tiroid

(-)

Kelenjar getah bening : Pembersaran (-)

Dada : normochest, mammae normal, putting susu menonjol

3
Bunyi tambahan : Ronki basah halus -/-, Wheezing - / -

Jantung : BJ I/II murni, reguler,

Ekstremitas : Dalam batas normal

- Pemeriksaan khusus :

a. Inspeksi :

Normal, perut membesar dengan arah memanjang, linea alba (+), linea

nigra (+).

b. Palpasi :

Leopold I : Tinggi fundus uteri = 29 cm, TBJ = 2790 gr

Leopold II : Posisi punggung kiri

Leopold III : Presentasi kepala

Leopold IV : Konvergen (belum masuk PAP)

Perlimaan : 4/5

Kontraksi : Negatif

c. Auskultasi DJJ : 139 x/menit

d. Pemeriksaan Dalam/ Vagina Touche :

Vulva : Varises, edema, sikatiks, PMS, jahitan = negative

Vagina : teraba hangat

Portio : ostium tebal lunak

Pembukaan : 1 cm

Ketuban : Negatif

Presentasi : Kepala

4
Houge :I

Promontorium : Tidak teraba

Pengeluaran Pervagina : Darah lendir (+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan darah (dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2017) :

Tes Hasil Unit Nilai Rujukan

Jumlah Eritrosit 4.31 106/mm3 3.5-5.5

Hemoglobin 12.2 g/dl 14.0-18.0 (L), 12.0-15.0 (P)

Jumlah Trombosit 260 103/mm3 150-400

Jumlah Leukosit 9.7 103/mm3 5.0-10.0

Glukosa Sewaktu 70 mg/dl < 140

Ureum 12 mg/dl 10-50

SGOT 24 u/L < 33

SGPT 14 u/L < 50

2. EKG (dilakukan pada tangga; 25 Oktober 2017) :

Gambar 1. EKG dalam batas normal

5
E. DIAGNOSIS KERJA

G1P0A0 + Hamil aterm + Oligohidroamnion + KPD 7 Hari. Janin hidup

tunggal intrauterine.

F. TATALAKSANA

Saat pasien masuk UGD (25 Oktober 2017) :

- Pro SC Cito

- IVFD RL 20 tpm

- Foley catether

- Injeksi ondansentron 1 ampul/IV

- Injeksi Ranitidine 1 ampul/IV

- Injeksi cefotaxime 1 gr/IV

- IVFD dextrose 5% loading 200 cc

- Konsul anestesi

- Puasa 6 jam pre op

- Observasi DJJ

G. LAPORAN OPERASI (26 Oktober 2017)

- Diagnosis pre operasi : G1 hamil aterm PKTH (Presentasi Kepala

Tunggal Hidup, KPD 7 hari Oligohidroamnion berat (Indeks Cairan

Amnion <1)

- Diagnosis post operasi : P1 post SC, Oligohidroamnion berat (ICA <1)

- Tindakan : SC TPP ( Transperitoneal Profunda)

- Teknik operasi :

6
o Pasien dengan posisi supine di atas meja operasi dan dilakukan

anestesi spinal

o Asepsis dengan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya

o Insisi pfannsteil

o Setelah peritoneum dibuka, tampak uterus gravidus

o SBU (segmen bawah uterus) disayat, ditembus dan dilebarkan

secara tumpul berbentuk semilunar

o Dengan menarik kepala, lahirkan bayi perempuan, berat lahir 2800

gram, panjang badan 50 cm, AS 8/9

o Air ketuban jernih, sangat sedikit

o Plasenta berimplantasi di fundus

o Dengan tarikan ringan pada tali pusat, plasenta dilahirkan lengkap

o Kedua ujung SBU dijahit hemostasis dan jelujur dua lapis atau

PGA nomor 2 2-0

o Cavum abdomen dicuci dengan NS 500 cc

o Kedua tuba dan cavum uteri dalam batas normal

o Diyakini tidak ada perdarahan, alat dan kasa lengkap dinding

abdomen dibersihkan lapis demi lapis

o Perdarahan 300 cc, urin 200 cc, jernih.

- Instruksi post operasi :

o Kontrol nadi, tekanan darah, pernapasan dan suhu

o Bedrest 24 jam dengan posisi head up 30

7
o Tidak lagi berpuasa

o Infuse : IVFD RL + Oxytocin 2x1 U / 8 jam

o Obat-obatan :

Cefotaxime 2 x 1 gram IV

Ketorolac 3 x 30 mg/8jam/ IV

Ranitidine 50 mg/12 jam/IV

Tramadol 100 mg dalam RL 500 CC 24 tetes

Paracetamol 1 gram/ 8 jam/ IV

o Dauer kateter 1 x 24 jam

o Ganti balut (verband) = Hari ketiga

H. PROGNOSIS

Ad Vitam : Bonam

Ad Functionam : Bonam

Ad Sanationam : Dubia ad bonam

I. FOLLOW-UP

Tanggal Perjalanan Penyakit Terapi


27/10/2017 S : Nyeri pada luka operasi (+) P:
TD = 130/80 O: Cefotaxime 2 x 1
mmHg KU : Baik, CM gram IV
N = 80 x/menit Mata : CA -/-, SI -/- Ketorolac 3 x 30
P = 20 x/menit Mammae : Putting menonjol, bendungan (-), mg/8jam/ IV
S = 36,5C mastitis (-), ASI (-) Ranitidine 50 mg/12
Abdomen : Supel, NT (+) pada tempat jam/IV
operasi, luka operasi baik, TFU 2 jari di bawah Paracetamol 1 gram/
pusat, BU (+) kesan normal. 8 jam/ IV
BAK (+), BAB (-)
Lokia rubra (+)
A : P1 A0 Post SC hari pertama
28/10/2017 S : Nyeri pada luka operasi berkurang P:
TD = 110/80 O: Aff infuse, ganti obat

8
mmHg KU : Baik, CM oral
N = 60 x/menit Mata : CA -/-, SI -/- Cefadroxil 2x500 mg
P = 20 x/menit Mammae : Puting menonjol, bendungan (-), Paracetamol 3x500
S = 36,5C mastitis (-), ASI (+) mg
Abdomen : Supel, NT (+) pada tempat
operasi, luka operasi baik, TFU 2 jari di bawah
pusat, BU (+) kesan normal.
BAK (+), BAB (-)
Lokia rubra (+)
A : P1 A0 Post SC hari kedua
29/10/2017 S : Nyeri pada luka operasi berkurang P:
TD = 110/70 O: Cefadroxil 2x500 mg
mmHg KU : Baik, CM Paracetamol 3x500
N = 80 x/menit Mata : CA -/-, SI -/- mg
P = 20 x/menit Mammae : Puting menonjol, bendungan (-), Ganti verban
S = 36,5C mastitis (-), ASI (+)
Abdomen : Supel, NT (+) pada tempat
operasi, luka operasi baik, TFU 2 jari di bawah
pusat, BU (+) kesan normal.
BAK (+), BAB (-)
Lokia rubra (+)
A : P1 A0 Post SC hari ketiga
29/10/2017 S : Nyeri pada luka operasi berkurang P:
TD = 130/80 O: Cefadroxil 2x500 mg
mmHg KU : Baik, CM Paracetamol 3x500
N = 80 x/menit Mata : CA -/-, SI -/- mg
P = 20 x/menit Mammae : Puting menonjol, bendungan (-), Boleh pulang
S = 36,5C mastitis (-), ASI (+)
Abdomen : Supel, NT (+) pada tempat
operasi, luka operasi baik, TFU 2 jari di bawah
pusat, BU (+) kesan normal.
BAK (+), BAB (-)
Lokia rubra (+)
A : P1 A0 Post SC hari keempat

J. RESUME MEDIS

Pasien perempuan usia 30 tahun G1P1A0, HPHT : 22-1-2017, UK : 39 minggu 5

hari, mengeluh nyeri perut bagian bawah sejak seminggu yang lalu disertai KPD

sebelum masuk rumah sakit. keluhan disertai keluar lendir bercampur darah

pervaginam sejak pagi tadi sebelu masuk rumah sakit. Afebris. Pemeriksaan fisik

dimana Tekanan darah 120/90 mmHg, Nadi 80 x/menit, pernapasan, 22

x/menit, Suhu, 36,5C. pemeriksaan dalam didapatkan vulva normal, , portio

9
ostium tebal lunak, pembukaan 1 cm, ketuban negatif, presentasi kepala,

houge I. laporan operasi yaitu Oligohidroamnion dan KPD sehingga rencana

tindakan yang akan dilakukan adalah section cesarea transperitoneal profunda.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketuban Pecah Dini

A. Definisi

Ketuban pecah dini (KPD) merupakan pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda

mulai persalianan dan ditunggu satu jam sebelum terjadinya inpartu dimana

pembukaan pada primi kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm.

sebagian besar KPD terjadi pada usia kehamilan lebih dari 37 minggu (Premature

Rupture Of The Membranes/PROM) dan Ketuban pecah dini preterm adalah

pecahnya selaput ketuban secara spontan yang terjadi sebelum inpartu pada umur

kehamilan 37 minggu (Preterm Premature Rupture of the Membranes/PPROM).


1,2,3
Peristiwa KPD dapat menyebabkan oligohidramnion dan dalam jangka panjang

kejadian ini akan dapat menyebabkan hilangnya fungsi amnion bagi pertumbuhan dan

perkembangan janin.4

Oligohidramnion adalah kondisi dimana cairan amnion terlalu sedikit.

Mengetahui jumlah cairan amnion dapat diukur melalui beberapa metode yang

berbeda, paling umum melalui evaluasi indeks cairan amnion (ICA) atau pengukuran

saku dalam. Jika ICA menunjukkan tingkat cairan kurang dari 5 cm (atau kurang dari

persentil ke-5), tidak adanya kantong cairan 2-3 cm, atau volume cairan kurang dari

11
500 mL pada usia kehamilan 32-36 minggu, maka dapat didiagnosis sebagai

oligohidramnion.5

B. Insiden6,7

Ketuban pecah dini dapat terjadi pada kehamilan aterm, preterm, dan pada

midtrimester kehamilan. Insiden KPD dilaporkan berbeda-beda. Menurut Mochtar

Tahun 1988, insidensi ketuban pecah dini ini kira-kira 12% dari semua kehamilan.

Frekuensi kejadiannya yaitu 8%, 1%-3% dan kurang dari 1%. Secara umum menurut

Chan Tahun 2006, insiden dari KPD terjadi sekitar 7-12%. Menurut Alonto Tahun

2007 insiden KPD terjadi pada 5-10% kehamilan, 60% di antaranya saat aterm.

C. Cairan Amnion 1,2,3

Asal cairan amnion yaitu dari ultrafiltrasi plasma meternal dan setelah minggu

kedua, cairan amnion berasal dari cairan esktrseluler kulit janin. Setelah minggu ke-

20, kulit janin tertutup oleh lapisan tanduk sehingga cairan amnion terutama berasal

dari urin janin. Ginjal janin mulai memproduksi urin janin sekitar minggu ke-12 dan

diperkirakan bahwa urin janin terbentuk sebanyak 7-12 ml/hari. Cairan yang berasal

dari paru tidak terlalu banyak, sisanya merupakan cairan filtrasi yang berasal dari

permukaan fetal plasenta. Untuk itu, komposisi air ketuban adalah sebagai berikut :

1. Kandungan air sekitr 98%.

2. Berat jenisnya sekitar 1.007-1.008/1.025

3. Terdiri dari bagian padat dan protein sebagai berikut:

12
a. Protein 2,5%, sebagian besar berupa albumin.

b. Bagian padatnya : rambut lanugo dan verniks kaseosa.

c. Sel epitel yang lepas dan/atau sel paru.Urin janin, kemungkinan

mengandung amoniak, kreatinin.

d. Elektroilit yang ada pada darah dan urin.

e. Lesitin dan sfingomielin dalam komposisi L/S di atas dua yang

menunjukkan janin aterm.

Cara untuk memperkirakan pertambahan cairan amnion adalah sebagai berikut :

1. Bertambah sekitar 10 ml sampai umur kehamulan delapan minggu dan 60 ml

sampai umur kehamilan 21 minggu.

2. Makin berkurang dan hampir menetap pada umur kehamilan 33 minggu,

sampai dengan aterm cairan amnion berjumlah sekitar 1.000 cc. (manuaba)

Tabel 1. Volume cairan amnion yang normal


Minggu Janin (g) Plasenta (g) Cairan Persentase
Kehamilan Amnion Cairan
(ml) (ml)
16 100 100 200 50
26 1000 200 1000 45
36 2500 400 900 24
40 3300 500 800 17

Cairan amnion mempunyai beberapa peran selama kehamilan yaitu untuk

menciptakan ruangan fisik bagi muskuloskeletal janin untuk terbentuk secara normal,

membantu dan mencegah kompresi tali pusat. Dalam pertumbuhan organ janin,

cairan amnion diduga berperan penting karena mengandung Epidermal Growth

Factor (EGF). Selain itu, cairan amnion juga mengandung Parathyroid hormone

13
related protein (PTH-rP) yang berfungsi untuk meningkatkan pembentukan paru dan

surfaktan paru untuk mampu berkembang saat lahir dan fungsi dalam pertukaran O2

dan CO2. (WILIAM DAN MANUABA)

Normalnya cairan amnion mencapai 1.000 cc pada kehamilan 36 minggu dan

kemudian menurun sampai kurang dari 200 cc pada 42 minggu. Cairan amnion pada

multigravida yaitu sekitar 1.500 cc dan sebanyak-banyaknya yang masih dalam batas

normal adalah 2.000 ml. Abnormalidtas cairan amnion yang biasa ditemukan yaitu

cairan amnion yang terlalu banyak yaitu lebih dari 2.000 cc (Hidramnion) atau terlalu

sedikit yaitu dibawah 1.000 cc (oligodiramnion). (manuaba dan wiliam)

Gambar 1. Persentil normal untuk indeks cairan amnion (ICA)

D. Etiologi dan Faktor Risiko2,7,9

Penyebab KPD menurut Manuaba, 2009 dan Morgan, 2009 meliputi:

1. Serviks inkompeten menyebabkan dinding ketuban paling bawah mendapatkan

tekanan yang semakin tinggi.

14
2. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah).

3. Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban seperti infeksi genitalia dan

meningkatnya enzim proteolitik. Masa interval sejak ketuban pecah sampai

terjadi kontraksi disebut fase laten. Makin panjang fase laten, makin tinggi

kemungkinan infeksi. Makin muda kehamilan, makin sulit upaya

pemecahannya tanpa menimbulkan morbidiats janin dan komplikasi ketuban

pecah dini makin meningkat.

4. Multipara, grandemultipara. Pada kehamilan yang terlalu sering akan

mempengaruhi proses embriogenesis sehingga selaput ketuban yang terbentuk

akan lebih tipis yang akan menyebabkan selaput ketuban pecah sebelum tanda-

tanda inpartu.

5. Overdistensi uterus pada hidramnion, kehamilan ganda dan sefalopelvik

disproporsi. Hidramnion atau kadang-kadang disebut polihidramnion adalah

keadaan di mana banyaknya air ketuban melebihi 2000 cc. Hidramnion dapat

terjadi pada kasus anensefalus, atresia esophagus, gemeli dan ibu yang

mengalami diabetes mellitus gestasional (DMG). Ibu dengan DMG akan

melahirkan bayi dengan berat badan berlebihan pada semua usia kehamilan

sehingga kadar cairan amnion juga akan berlebih. Kehamilan ganda adalah

kehamilan dengan dua janin atau lebih sehingga kemungkinan terjadinya

hidramnion bertambah 10 kali lebih besar.

15
E. Mekanisme Ketuban Pecah Dini1,2,3

Mekanisme pecah ketuban yang terjadi sebelum aterm terjadi oleh karena

berbagai faktor yang akhirnya mempercepat lemahnya membran ketuban. Hal ini

peningkatan sitokin-sitokin lokal dan ketidakseimbangan dalam interaksi antara

matrix metalloproteinase (MMP) dan tissue inhibitor matrixmetyalloproteinase

(TiMP), peningkatan aktivitas-aktivitas kolagenase dan protease, peningkatan tekanan

intrauterin (misalnya : Polyhydramnios). Selanjutnya faktor risiko klinis, termasuk

gangguan jaringan ikat (misalnya pada sindrom Ehlers-Danlos). Asending infeksi

melalui kolonisasi bakteri juga dapat menyebabkan lokal respon inflamasi termasuk

memproduksi sitokin-sitokin, prostaglandin, dan MMP yang 27 dapat menyebabkan

melemahnya dan terjadi degradasinya dari membran ketuban.

1. Faktor infeksi

Infeksi intrauterin disebabkan oleh bakteri yang dianggap menjadi penyebab

utama infeksi terkait persalinan prematur. Rongga ketuban biasanya steril dan atau

dibawah 1% pada persalinan aterm terdapat bakteri dalam cairan ketuban. Isolasi

bakteri dalam cairan ketuban adalah temuan patologis yang dikenal sebagai invasi

mikroba dari rongga amnion. Kebanyakan kolonisasi tersebut subklinis dan tidak

terdeteksi tanpa analisis cairan ketuban. Frekuensi tergantung pada presentasi klinis

dan usia kehamilan. Pada pasien dengan persalinan prematur dengan membran utuh,

didapatkan kultur bakteri pada cairan ketuban adalah 12,8%. Kemudian dilakukan

pengukuran pada pasien tersebut pada saat dimulai proses pengeluaran janin,

frekuensi menjadi hampir dua kali lipat (22%).

16
Pada ketuban pecah dini preterm didapatkan kultur bakteri pada cairan ketuban

adalah 32,4%, dan kemudian dilakukan pengukuran kembali pada saat dimulai proses

pengeluaran janin menjadi 75%. Infeksi dapat menyebabkan ketuban pecah dini

sebesar 10-30% melalui beberapa mekanisme. Beberapa flora-flora vagina seperti

Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus, Trichomonas vaginalis mensekresi

protease yang akan menyebabkan terjadinya degradasi membran pada selaput ketuban

dan akhirnya melemahkan selaput ketuban. Respon terhadap infeksi berupa reaksi

terjadinya reaksi inflamasi akan merangsang produksi sitokin, MMP, dan

prostaglandin oleh netrofil PMN dan makrofag. IL-1, IL6, TNF- yang diproduksi

oleh monosit akan meningkatkan aktivitas MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion.

Infeksi bakteri dan respon inflamasi juga merangsang produksi prostaglandin oleh

selaput ketuban yang diduga berhubungan dengan ketuban pecah dini preterm karena

menyebabkan irritabilitas pada uterus dan terjadi degradasi kolagen membran.

Beberapa jenis bakteri tertentu dapat menghasilkan fosfolipase A2 yang melepaskan

prekursor prostaglandin dari membran fosfolipid. Respon imunologis terhadap infeksi

juga menyebabkan produksi prostaglandin oleh sel korion akibat perangsangan

sitokin yang diproduksi oleh monosit. Sitokin juga terlibat dalam induksi enzim

Siklooksigenase II yang berfungsi mengubah asam arakhidonat menjadi

prostaglandin. Prostaglandin mengganggu sintesis kolagen pada selaput ketuban dan

meningkatkan aktivitas matriks MMP-1 dan MMP-3.

Infeksi sistemik bisa berasal dari penyakit periodontal, pneumonia, sepsis,

prankreatis, pielonefritis, infeksi traktus genitalis, korioamnionitis dan infeksi amnion

17
semuanya berhubungan dengan terjadinya pecahnya ketuban. Infeksi bakteri juga

merangsang produksi prostaglandin, dimana dapat meningkatkan risiko pecahnya

selaput ketuban preterm yang diakibatkan oleh degradasi dari selaput ketuban.

Beberapa bakteri vaginal menghasilkan fosfolipase A2, dimana fosfolipase A2 ini

akan melepaskan asam arakhidonat. Lebih lanjut, respon imun tubuh terhadap infeksi

bakteri akan meningkatkan produksi sitokin yang akan meningkatkan produksi dari

prostaglandin. Dimana sitokin ini juga akan meningkatkan kadar MMP yang akan

mengakibatkan degradasi kolagen dan akan mengakibatkan pecahnya selaput ketuban.

Gambar 2. Jalur yang berpotensial terjadinya infeksi intrauterine.

2. Faktor nutrisi

Gangguan nutrisi seperti mikronutrien merupakan faktor predisposisi adanya

gangguan pada struktur kolagen. Asam askorbat yang berperan dalam pembentukan

struktur kolagen tripel heliks berhubungan dengan pecahnya selaput ketuban. Zat

18
tersebut kadarnya lebih rendah pada kasus ketuban pecah dini. Asupan nutrisi ibu

sebelum dan selama kehamilan dapat mempengaruhi kondisi janin dan berpengaruh

pada kejadian persalinan prematur. Beberapa faktor yang berpotensi sebagai

penyumbang risiko persalinan prematur spontan antara lain rendahnya berat badan

ibu sebelum kehamilan, indeks massa tubuh, dan kenaikan berat badan semasa

kehamilan.

3. Faktor hormon

Progesteron dan estradiol menekan proses remodeling matriks ektraseluler pada

jaringan reprodruktif. Kedua hormon ini dapat menurunkan konsentrasi MMP-1 dan

MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi TiMP pada fibroblast serviks. Tingginya

konsentrasi progesteron menyebabkan penurunan produksi kolagenase. Hormon

relaxin diproduksi oleh sel desidua dan plasenta berfungsi mengatur pembentukan

jaringan ikat, dan mempunyai aktivitas yang berlawanan dengan efek inhibisi oleh

progesterone dan estradiol dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9

dalam membran janin. Aktivitas hormon ini meningkat sebelum persalinan pada

selaput ketuban saat aterm.

4. Faktor apoptosis

Apoptosis adalah istilah yang digunakan sebagai sinonim dari proses kematian

sel. Proses apoptosis sangat dipengaruhi oleh sinyal yang berasal dari protein

ekstraseluler dan intraseluler. Faktor ekstraseluler sangat dipengaruhi oleh infeksi

yang telah lama dikenal sebagai pencetus ketuban pecah dini, sedangkan faktor

intraseluler diperankan oleh p53 yang merupakan suatu protein yang berperan dalam

19
apoptosis intraseluler melalui pengaktifan protein bax yang memacu pelepasan

sitokrom c. Fungsi normal p53 adalah sebagai penjaga proteinom. Pada keadaan

dimana jumlah p53 rendah maka p53 akan berperan sebagai penjaga sel, sedangkan

dalam jumlah banyak akan menyebabkan pengaktifan apoptosis. Kadar p53 pada

selaput amnion lebih tinggi pada kehamilan dengan ketuban pecah dini dibandingkan

dengan kehamilan normal. Kadar p53 > 0,97 U/ml berisiko lebih dari 30 kali

menyebabkan ketuban pecah dini.

Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan kimia

yang menyebabkan selaput ketuban rapuh pada bagian tertentu saja, bukan karena

seluruh selaput ketuban rapuh. Pada ketuban pecah dini aterm ditemukan sel-sel yang

mengalami kematian sel terprogram (apaptosis) di amnion dan korion terutama

disekitar robekan pada selaput ketuban. Pada kasus koriomnionitis terlihat sel-sel

yang mengalami apaptosis akan melekat dengan granulosit, kemudian menunjukkan

terjadinya respon-respon imunologis mempercepat terjadinya kematian sel. Kematian

sel terprogram terjadi setelah proses degradasi matriks ektraseluler dimulai.

Proses apoptosis dipercepat pada terjadinya robekan selaput ketuban pada

kehamilan dengan ketuban pecah dini baik melalui jalur caspase-dependent dan

caspase independent, dapat dilihat untuk jalur caspase-dependent dengan memeriksa

eksekutor utama apoptosis yaitu caspase-3 dan jalur caspase independent dengan

parameter endonuclease-G, hal ini disebabkan faktor endonuclease- G ini muncul

paling awal dan dominan sebagai bentuk respons adanya apoptosis melalui caspase-

independent.

20
5. Faktor mekanis

Peregangan secara mekanis akan merangsang beberapa faktor diselaput ketuban

seperti MMP-1 pada membran. IL-6 yang diproduksi dari sel amnion dan korion

bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang aktivitas kolagenase. Hal-hal

tersebut akan menyebabkan terganggunya keseimbangan proses sintesis dan

degradasi matriks ekstraseluler yang akhirnya menyebabkan pecahnya selaput

ketuban.

Degradasi kolagen dimediasi oleh MMP yang dihambat oleh inhibitor jaringan

spesifik dan inhibitor protease. Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan

oleh melemahnya selaput ketuban karena kontraksi uterus dan peregangan yang

berulang. Daya regang ini dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan

degradasi komponen matriks ekstraseluler pada selaput ketuban. Pada ketuban pecah

dini terjadi perubahan-perubahan seperti penurunan jumlah jaringan kolagen, serta

peningkatan aktivitas kolagenolitik. Degradasi kolagen tersebut terutama disebabkan

oleh MMP.

MMP ini merupakan suatu grup enzim yang dapat memecah komponen-

komponen matriks ekstraseluler. Enzim tersebut diproduksi dalam selaput ketuban.

MMP-1 dan MMP-8 berperan pada pembelahan tripel heliks dari kolagen fibrin (tipe

I dan III), dan selanjutnya didegradasi oleh MMP-2 dan MMP-9 yang juga memecah

kolagen tipe IV. Pada selaput ketuban juga diproduksi penghambat MMP / TIMP.

TIMP-1 menghambat aktivitas MMP-2. TIMP-3 dan TIMP-4 mempunyai aktivitas

yang sama dengan TIMP-1.

21
Lapisan dalam amnion merupakan mikrovili yang berfungsi mentransfer cairan

dan metabolik. Lapisan ini menghasilkan zat penghambat MMP-1. Sel mesenkim

berfungsi menghasilkan kolagen sehingga menjadi lentur dan kuat. Disamping itu,

selaput amnion menghasilkan sitokin IL-6, IL-8, MCP-1 (Monocyte Chemoattractant

Protein-1), zat ini bermanfaat untuk melawan bakteri. Di samping itu, selaput amnion

menghasilkan zat vasoaktif seperti Endothelin-1 (Vasokonstriktor), dan PHRP

(Parathyroid Hormone Related Protein) suatu vasorelaxan. Dengan demikian, selaput

amnion mengatur peredaran darah dan tonus pembuluh lokal.

F. Penegakan Diagnosis1,2,6

Diagnosis dapat ditegakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

laboratorium. Pada KPD, yang perlu diperhatikan yaitu pastikan diagnosis, tentukan

umur kehamilan, evaluasi ada atau tidaknya infeksi maternal atau infeksi janinndan

apakah dalam keadaan inpartu, terdapat kegawatan janin.

1. Anamnesis

Dari anamnesis bisa menegakkan 90% dari diagnosis. Terkadang cairan

seperti urin dan vaginal discharge bisa dianggap cairan amnion. Penderita merasa

basah pada vagina atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari

jalan lahir dimana riwayat keluar air ketuban berupa cairan jernih keluar dari

vagina yang kadang-kadang disertai tanda-tanda persalinan.

2. Pemeriksan fisik

a. Inspeksi

22
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina,

bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak,

pemeriksaan ini akan lebih jelas.

b. Pemeriksaan inspekulo

Merupakan langkah pertama dalam mendiagnosis KPD karena

pemeriksaan dalam seperti vaginal toucher dapat meningkatkan risiko

infeksi. Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna,

konsentrasi, bau dan pH-nya. Yang dinilai adalah :

1. Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan pendataran dari

serviks. Dilihat juga dari prolaps dari tali pusat atau ekstremitas bayi.

Bau dari amnion yang khas juga diperhatikan.

2. Pooling pada cairan amnion dari forniks posterior mendukung

diagnosis KPD. Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien

batuk untuk mempermudah melihat pooling.

3. Cairan amnion dikonfirmasikan dengan menggunakan nitrazine test.

Pemeriksaan pH vagina perempuan hamil sekitar 4,5. Bila ada cairan

ketubah, pHnya sekitar 7,1-7,3 dan kertas nitrazine test berubah

menjadi biru. Tes nitrazin ini bisa memberikan hasil positif palsu bila

tersamarkan dengan cairan seperti darah, semen atau vaginitis seperti

trichomoniasis.

4. Mikroskopis (tes pakis). Jika dengan pooling dan tes nitrazin masih

samar dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis dari cairan yang

23
diambil dari forniks posterior. Cairan di swab kemudian dikeringkan

di atas gelas objek dan dilihat dibawah mikroskop. Gambaran

ferning menandakan cairan amnion.

5. Dilakukan juga kultur dari swab untuk Chlamydia, gonnorhea dan

group B Streptococcus.

3. Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Laboratorium :

1. Pemeriksaan alpha-fetoprotein (AFP). Konsentrasinya tinggi di dalam

cairan amnion tetapi tidak di semen dan urin.

2. Pemeriksaan darah lengkap dan kultur dari urinalisis.

3. Tes pakis.

4. Tes lakmus (Nitrazine test).

B. Pemeriksaan ultrasonography (USG)

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam

kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit

(oligohidramnion atau anhidramnion). Oligohidramnion ditambah dengan

anamnesis dari pasien bisa membantu diagnosis tetapi bukan menegakkan

diagnosis rupturnya membran fetal. Selain itu dinilai Amniotic Fluid Index

(AFI), presentasi janin, berat janin, dan usia janin. Ultrasonografi dapat

mengidentifikasikan kehamilan ganda, janin yang tidak normal atau

melokalisasi kantong cairan amnion pada amniosentesis dan sering digunakan

24
dalam mengevaluasi janin. Pemeriksaan USG berguna untuk menegakkan

diagnosis ketuban pecah dini.

G. Penatalaksanaan2,3

1. Konservatif

Rawat di rumah sakit , berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisin

bila tidak tahan ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari). Jika umur

kehamilan < 32 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar atau sampai air

ketuban tidak lagi keluar. Jika usia kehamilan 32 37 minggu, belum inpartu, tidak

ada infeksi, tes busa negatif beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan

kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu. Jika usia kehamilan 32 -

37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol),

deksametason, dan induksi sesudah 24 jam. Jika usia kehamilan 32 37 minggu, ada

infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi, nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit,

tanda-tanda infeksi intrauterin). Pada usia kehamilan 32 -37 minggu berikan steroid

untuk memacu kematangan paru janin, dan bila memungkinkan periksa kadar lesitin

dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama

2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam selama 4 kali.

2. Aktif

Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio sesarea.

Dapat pula diberikan misoprostol 25-50g intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.

Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan diakhiri.

25
Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. jika tidak

berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea. Bila skor pelvik > 5, induksi

persalinan.

Penatalaksanaan ketuban pecah dini menurut Rahmawati, 2011 yaitu :

1. Penatalaksanaan ketuban pecah dini tergantung pada umur kehamilan dan tanda

infeksi intrauterin.

2. Pada umumnya lebih baik untuk membawa semua pasien dengan KPD ke

rumah sakit dan melahirkan bayi yang berumur > 37 minggu dalam 24 jam dari

pecahnya ketuban untuk memperkecil risiko infeksi intrauterin.

3. Tindakan konservatif (mempertahankan kehamilan) diantaranya pemberian

antibiotik dan cegah infeksi (tidak melakukan pemeriksaan dalam), tokolisis,

pematangan paru amnioinfusiepitelisasi (vit C dan trace element, masih

kontroversi), fetal and maternal monitoring. Tindakan aktif

(terminasi/mengakhiri kehamilan) yaitu dengan sectio caesarea atau pun partus

per vaginam.

4. Dalam penetapan langkah pelaksanaan tindakan yang dilakukan apakah langkah

konservatif ataukah aktif, sebaiknya perlu mempertimbangkan usia kehamilan,

kondisi ibu dan janin, fasilitas perawatan intensif, kondisi, waktu dan tempat

perawatan, fasilitas/kemampuan monitoring, kondisi/status imunologik ibu dan

kemampuan finansial keluarga.

26
5. Untuk usia kehamilan < 37 minggu dilakukan penanganan konservatif dengan

mempertahankan kehamilan sampai usia kehamilan matur.

6. Untuk usia kehamilan 37 minggu atau lebih, lakukan terminasi dan pemberian

profilaksis Streptococcus grup B. untuk kehamilan 34-36 minggu lakukan

penatalaksanaan sama halnya dengan aterm.

7. Untuk kehamilan 32-33 minggu lengkap lakukan tindakan konservatif /

expectant management kecuali jika paru-paru sudah matur (maka perlu

dilakukan tes pematangan paru), profilaksis Streptococcus grup B, pemberian

kortikosteroid (belum ada konsensus namun direkomendasikan oleh para ahli),

pemberian antibiotik selama fase laten.

8. Untuk previable preterm (usia kehamilan 24-31 minggu lengkap) lakukan

tindakan konservatif, pemberian profilaksis Streptococcus grup B, single-course

kortikosteroid, tokolisis (belum ada konsensus), dan pemberian antibiotik

selama fase laten (jika tidak ada kontraindikasi).

9. Untuk non viable preterm (usia kehamilan < 24 minggu) lakukan konseling

pasien dan keluarga, lakukan tindakan konservatif atau induksi persalinan.

Tidak direkomendasikan profilaksis Streptococcus grup B dan kortikosteroid.

Pemberian antibiotik tidak dianjurkan karena belum ada data untuk pemberian

yang lama.

10. Rekomendasi klinik untuk KPD yaitu pemberian antibiotik karena pada periode

fase laten yang panjang, kortikosteroid harus diberikan antara 24-32 minggu

(untuk mencegah terjadinya risiko perdarahan intraventrikuler, respiratory

27
distress syndrome, dan necrotizing examinations). Tidak boleh dilakukan

digital cervical examinations jadi pilihannya adalah dengan spekulum, tokolisis

untuk jangka waktu yang lama tidak diindikasikan sedangkan untuk jangka

pendek dapat dipertimbangkan untuk memungkinkan pemberian kortikosteroid,

antibiotik dan transportasi maternal, pemberian kortikosteroid setelah 34

minggu dan pemberian multiple course tidak direkomendasikan.

11. Pematangan paru dilakukan dengan pemberian kortikosteroid yaitu

deksametason 2 x 6 mg selama 2 hari atau betametason 1 x 12 mg selama 2

hari.

12. Agentokolisis yaitu 2 agonis (terbutalin, ritodrine), kalsium antagonis

(nifedipine), prostaglandin sintase inhibitor (indometasin), magnesium sulfat,

oksitosin antagonis (atosiban).

13. Tindakan epitelisasi masih kontroversial, walaupun vitamin C dan trace

element terbukti berhubungan dengan terjadinya ketuban pecah terutama dalam

metabolisme kolagen untuk maintenance integritas membran korio-amniotik,

namun tidak terbukti menimbulkan epitelisasi lagi setelah terjadi KPD.

14. Tindakan terminasi dilakukan jika terdapat tanda-tanda korioamnionitis,

terdapat tanda-tanda tali pusat/janin (fetal distress) dan pertimbangan antara

usia kehamilan, lamanya ketuban pecah dan lamanya menunda persalinan.

15. KPD dengan usia kehamilan < 37 minggu tanpa infeksi, berikan antibiotik

eritromisin 3 x 250 mg, amoksisilin3 x 500 mg dan kortikosteroid.

28
16. KPD dengan usia kehamilan > 37 minggu tanpa infeksi (ketuban pecah > 6

jam) berikan ampisilin 2 x 1 gr IV dan penisilin G 4 x 2 juta IU, jika serviks

matang lakukan induksi persalinan dengan oksitosin, jika serviks tidak matang

lakukan sectio caesarea.

17. KPD dengan infeksi (kehamilan < 37 minggu ataupun > 37 minggu) berikan

antibiotik ampisilin 4 x 2 gr IV, gentamisin 5 mg/ kgBB, jika serviks matang

lakukan induksi persalinan dengan oksitosin, jika serviks tidak matang lakukan

sectio caesarea.

H. Komplikasi3,7,10

Ketuban pecah dini dapat menimbulkan komplikasi pada ibu maupun pada janin

yang dikandungnya. Komplikasi tersebut antara lain:

1. Terhadap janin

Walaupun ibu belum menunjukkan gejala-gejala infeksi tetapi janin mungkin

sudah terkena infeksi, karena infeksi intrauterin lebih dahulu terjadi (amnionitis,

vaskulitis) sebelum gejala pada ibu dirasakan. Jadi akan meninggikan mortalitas

dan morbiditas perinatal. Pada janin dapat terjadi infeksi bahkan sepsis. Sepsis

neonatorum adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan ditandai

dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum

tulang atau air kemih.

2. Terhadap ibu

Karena jalan telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi intrapartal, apalagi bila

terlalu sering periksa dalam. Selain itu dapat juga dijumpai infeksi puerpuralis

29
(nifas), peritonitis dan septikemia serta dry-labour. Ibu akan merasa lelah

karena terbaring di tempat tidur, partus akan menjadi lama, maka suhu badan

naik, nadi cepat dan tampaklah gejala-gejala infeksi. Hal tersebut akan

meninggikan angka kematian dan morbiditas pada ibu. Menurut Chan, pasien

yang mengalami ketuban pecah dini akan mengalami peningkatan kejadian

infeksi baik korioamnionitis, endometritis, sepsis.

3. Lainnya, yaitu :

a. Persalinan premature : setelah ketubah pecah, biasanya disusul dengan

persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan

aterm, 90% terjadi dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26

minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.

b. Hipoksia dan asfiksia : dengan pecahnya ketuban terjadi

oligohidroamnion yang menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia dan

hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat

oligohidroamnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.

c. Sindrom deformitas janin : ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini,

menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan

kompresi muka dan anggota badan janin, serta hipoplasia pulmonar.

30
BAB III

DISKUSI

Ketuban pecah dini (KPD) merupakan pecahnya ketuban sebelum terdapat

tanda mulai persalianan yang terjadi sekitar 7-12%. Ketuban pecah dini dapat terjadi

pada kehamilan aterm, preterm, dan pada midtrimester kehamilan

Pada kasus ini, pasien usia 30 tahun datang dengan G1P0A0 HPHT : 22-1-

2017 usia kehamilan 39 minggu 3 hari datang dengan keluhan nyeri perut bagian

bawah yang disertai dengan keluarnya air-air sejak satu minggu yang lalu sebelum

masuk rumah sakit, dan pagi sebelum ke rumah sakit, pasien mengeluh keluarnya

lendir bercampur darah pervaginam.

Berdasarkan penegakkan diagnosis yang dilakukan, didapatkan diagnosis

pada pasien ini yaitu Oligohidroamnion + KPD satu minggu. Hal ini sejalan dengan

teori dimana KPD dapat terjadi pada usia kehamilan lebih dari 37 minggu dan untuk

oligohidroamnion jika disesuaikan dengan keadaan pasien yang didapatkan pada saat

operasi yaitu indeks cairan amnion <1 yang sesuai dengan teori bahwa cairan amnion

yang terlalu sedikit dan diukur dengan ICA menunjukkan tingkat cairan kurang dari 5

cm (atau kurang dari persentil ke-5), tidak adanya kantong cairan 2-3 cm, atau

volume cairan kurang dari 500 mL pada usia kehamilan 32-36 minggu, maka dapat

didiagnosis sebagai oligohidramnion.

Pada pasien ini, tatalaksana yang dilakukan yaitu SC TPP. Hal ini sesuai

dengan keadaan pasien yang sudah seminggu mengalami KPD. Berdasarkan usia

31
kehamilan, faktor ibu dan bayi, maka sesuai teori, keadaan ini harus dilakukan

penanganan secara aktif dalam hal ini tindakan terminasi sesuai dengan pertimbangan

usia ibu, usia kehamilan, lamanya ketubah pecah yaitu seminggu dan komplikasi

pada janin jika tidak dilakukan terminasi yaitu seperti infeksi itrauterin (amnionitis

bahkan sepsis) yang dapat meningkatkan mortalitas janin.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Manuaba Chandranita Ida Ayu et all, 2009, Buku Ajar Patologi Obstetri untuk

Mahasiswa Kebidanan, Cetakan pertama, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

2. Cunningham F, Gary et al, 2006, Obstetri Williams, Edisi 21, Buku

Kedokteran EGC, Jakarta.

3. Prawirohardjo , Sarwono et al, 2007, Ilmu Kebidanan, Edisi ketiga, Yayasan

Bina Pustaka Prawirohardjo, Jakarta.

4. Widjanarko, Bambang, 2017, Ketuban Pecah Dini, Available from :

http://reproduksiumj.blogspot.com/2017/11/ketuban-pecah-dini.html . Akses

November 2017

5. Anonim. Oligohydroamnions. Available from :

http://americanpregnancy.org/pregnancy-complications/oligohydramnios/

Akses : November 2017.

6. Chan Paul D, Johnson Susan M, 2006, Current Clinical Strategies

Gynecology and Obstetrics, Current Clinical Strategies Publishing, California.

7. Mochtar, Rustam, 1998, Sinopsis Obstetri jilid 1, Edisi kedua, Buku

Kedokteran EGC, Jakarta.

8. Alonto, A.M. 2007. Urinary Tract Infections.. In : Mahon, C.R., Lehman, D.C.,

Manuselis, G., editors. Diagnostic Microbiology. 3rd. Ed. Missouri:Saunders

Elsevier.p.1110-29.

33
9. Morgan Geri, Hamilton Carole, 2009, Panduan Praktik Obstetri dan

Ginekologi, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

10. Sholeh Kasim et al, 2010, Buku Ajar Neonatologi, Edisi 1, Badan Penerbit

IDAI, Jakarta.

34

Anda mungkin juga menyukai