Pecahnya selaput ketuban merupakan suatu hal yang normal pada saat proses
persalinan. Kehamilan preterm dengan ketuban pecah dini dimaksudkan pada
pecahnya selaput ketuban sebelum usia kehamilan 37 minggu dan sebelum adanya
tanda-tanda persalinan. Diagnosis yang tepat dan akurat dan sesuai usia kehamilan
saat diagnosis ditegakkan sangat diperlukan untuk meningkatkan luaran janin dan
meminimalkan komplikasi yang terjadi.
Pendahuluan
Kehamilan preterm dengan ketuban pecah dini (Preterm Premature Rupture of
Membrane, PPROM) digunakan untuk kondisi pecahnya selaput ketuban yang terjadi
secara spontan saat kehamilan kurang dari 37 minggu dan sebelum terjadinya
proses persalinan.1,2 Hal ini merupakan 2-4% komplikasi dari kehamilan janin
tunggal dan merupakan 20% komplikasi dari kehamilan kembar. 3
Pembagian dari PPROM ini meliputi previable PROM yaitu terjadi sebelum janin
berumur 23 minggu, PPROM remote from term (umur viabel sampai 32 minggu) dan
PPROM near term (usia kehamilan 32-36 minggu).4
Sebanyak 30-40% dari PPROM ini akan berujung dengan persalinan preterm. Hal ini
menambah risiko prematuritas dan komplikasi perinatal serta neonatal, termasuk 12% risiko kematian janin. Ibu hamil yang diawasi harus segera dikenali kondisi
PPROM karena diagnosis yang cepat dan penanganan yang tepat akan
meningkatkan hasil akhir janin.1
Ada banyak hal yang diperkirakan sebagai penyebab, terutama infeksi. Pada banyak
penelitian dan literatur dikatakan bahwa kejadian sepsis neonatorum setelah
PPROM berkisar 2-20% dengan kejadian kematian neonatal akibat infeksi sekitar
5%.1
Usia kehamilan.
Terdapat hubungan berbanding terbalik antara usia kehamilan dan periode laten.
Saat aterm 50 % dari kehamilan dengan ketuban pecah dini akan partus secara
spontan dalam kurun waktu 12 jam, 75% dalam 24 jam, 85% dalam 48 jam dan
95% dalam 72 jam tanpa adanya intervensi apapun. Pada PPROM 50% akan inpartu
dalam 24-48 jam dan 70-90% dalam 7 hari. Wanita dengan PPROM pada usia
kehamilan 24-28 minggu memiliki periode laten yang lepih lama dibandingkan
dengan PPROM yang mendekati aterm.
b.
Derajat oligohidramnion.
Bukti dari penebalan miometrium berlebihan pada perempuan PPROM yang belum
inpartu (12mm) pada transabdominal ultrasound dikaitkan dengan pemendekan
periode laten.
d.
Jumlah fetus.
Secara umum, pada kondisi kehamilan gemeli disertai PPROM akan memiliki periode
laten yang lebih singkat dibandingkan dengan kehamilan tunggal
e.
Komplikasi Kehamilan.
Bukti menunjukkan bahwa pada kehamilan disertai komplikasi seperti infeksi intra
amnio, solusio plasenta maupun fetal distress akan memicu pelahiran yang lebih
awal dan pemendekan periode laten.
Diagnosis
Secara luas PPROM merupakan suatu diagnosis klinis. Dari anamnesis dijumpai
adanya riwayat keluar air-air yang banyak dari vagina dan dikomfirmasi dengan
pemeriksaan inspekulo. Pemeriksaan minimal invasif yang menjadi gold
standard dalam mendiagnosis ketuban pecah dini meliputi 3 tanda klinis dalam
pemeriksaan inspekulo, yakni: 1). Terlihat cairan jernih dalam forniks posterior atau
adanya cairan yang keluar dari OUE. 2). Pemeriksaan pH sekret servikovaginal
dengan tes nitrazin menunjukkan perubahan warna dari kuning menjadi biru. 3).
Ditemukannya gambaran daun pakis secara mikroskopis. Adapun perkiraan jumlah
cairan amnion yang sedikit dari pemerikasaan Leopold maupun ultrasound saja
tidak dapat menegakkan diagnosis. Dengan pengecualian melihat langsung cairan
amnion keluar dari OUE, semua tanda-tanda klinis lainnya memiliki keterbatasan
dalam perihal ketepatan diagnosis, biaya dan teknis. 3
Pemeriksaan yang dilakukan setelah lebih dari 1 jam pecah ketuban secara umum
menjadi kurang akurat. Mempercayakan pada pemeriksaan klinis saja akan
menimbulkan positif palsu dan negatif palsu secara bersama-sama pada hasil.
Misalnya tes nitrazin yang hanya dipakai untuk mengkonfirmasi pH alkali dari sekret
servikovaginal (pH sekret vagina umumnya 4,5-6 sedangkan pH cairan amnion 7,17,3) digunakan secara umum untuk mendiagnosis ketuban pecah dini. Padahal hal
ini tidak lepas dari adanya positif palsu terkait servisitis, vaginitis (bakterial
vaginosis) dan kontaminasi oleh darah, urin, sperma maupun bahan antiseptik.
Adapun sensitivitas dan spesifisitas dari tes ini berturut-turut berkisar 90-97% dan
16-70%. Tes pakis juga tidak luput oleh kemungkinan negatif palsu pada kondisi
pengambilan spesimen yang terlalu sedikit atau terkontaminasi darah. 3
Ketepatan diagnosis sangat dibutuhkan karena sangat terkait dengan intervensi
yang akan dilakukan. Selain itu penting untuk mendiagnosis kasus ini sedini
mungkin karena sangat menentukan luaran janin. Sebaliknya kesalahan
mendiagnosis sebagai PPROM akan memicu intervensi obstetri yang tidak perlu
seperti perawatan inap di rumah sakit, pemberian antibiotik dan kortikosteroid atau
bahkan induksi persalinan.3
Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan ketuban pecah dini tergantung akan usia gestasi.
Dapat terjadi infeksi pada ibu maupun janin, persalinan prematur, hipoksia akibat
kompresi tali pusat, deformitas pada janin, meningkatkan kasus seksio sesarea dan
gagalnya persalinan normal.5
Salah satu komplikasi terbanyak yang dijumpai pada PPROM adalah persalinan
preterm.1 Permasalahan yang ditemukan pada persalinan preterm tidak hanya
seputar kematian perinatal, lebih dari itu bayi prematur akan diliputi oleh berbagai
kelainan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kelainan jangka pendek
meliputi Respiratory distress syndrome, perdarahan intraventrikular, Enterokolitis
negrotikans, displasia bronkopulmoner, sepsis dan patensi duktus arteriosus.
Adapun efek jangka panjang berupa kelainan neurologis seperti serebral palsi
retardasi mental serta prestasi di sekolah yang kurang baik. 5
Usia kehamilan saat terjadinya ketuban pecah dini pada dasarnya akan bertolak
belakang dengan lamanya periode laten. Kasus ketuban pecah dini pada wanita
hamil aterm sebanyak 95% akan melahirkan dalam kurun 24 jam setelah kejadian,
sedangkan pada PPROM yang terjadi saat gestasi 16-26 minggu dijumpai
melahirkan sebanyak 57% dalam waktu 1 minggu dan 22% dalam waktu 1 bulan.
Saat timbul PPROM yang terlampau dini akan berkaitan dengan malpresentasi,
kompresi tali pusat, oligohidramnion, kelainan neurologi, perdarahan otak, sindrom
gawat nafas dan enterokolitis nekrotikans. 1 Lewis et al (2007) menemukan bahwa
penatalaksanaan secara ekspektatif pada wanita dengan ketuban pecah dini
preterm disertai kelainan presentasi akan meningkatkan kejadian prolapsus tali
pusat, terutama sebelum 26 minggu.6
Korioamnionitis merupakan komplikasi yang cukup sering dijumpai pada kasus
PPROM. Demam merupakan tanda penting untuk diagnosis selain leukositosis,
takikardi ibu atau janin, nyeri tekan pada uterus, dan sekret vagina yang busuk.
Korioamnionitis ini memiliki efek buruk pada janin, diantaranya peningkatan
insidensi sepsis, sindrom distres pernafasan, kejang awitan dini, perdarahan otak,
dan leukomalasia periventrikular. Bahkan dikatakan bahwa neonatus dengan berat
badan lahir sangat rendah akan cenderung mengalami cedera neurologis akibat
korioamnionitis seperti peningkatan kejadian serebral palsi setelah anak berusia 3
tahun.6
Pengelolaan
Wanita yang berisiko untuk mengalami persalinan prematur dan memiliki kontraksi
dini menjadi sasaran untuk pemberian penanganan untuk meningkatkan luaran
janin. Bila tidak ditemukan indikasi ibu maupun janin untuk membutuhkan
persalinan segera maka penanganan ditujukan untuk mencegah persalinan
prematur. Penanganan meliputi terminasi kehamilan atau dengan ekspektatif.
Penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian antibiotik, kortikosteroid atau
keduanya. Setelah adanya konfirmasi pecah ketuban, dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut:1
1.
Pembukaan dan pendataran serviks dilihat dari pemeriksaan inspekulo yang
dilakukan secara steril.
2.
Untuk kehamilan dibawah 34 minggu jika tidak ditemukan indikasi ibu maupun
janin untuk diterminasi ibu dirawat di kamar bersalin. Pemberian antibiotik
parenteral dengan spektrum luas untuk menghindari korioamnionitis. Denyut
jantung janin (DJJ) dan kontraksi uterus terus dimonitor untuk mengamati adanya
penekanan tali pusat, fetal distress maupun tanda-tanda persalinan.
3.
Kehamilan dibawah 32 minggu, dilakukan pemberian betametason (2 dosis 12
mg IM per 24 jam) atau deksametason (4 dosis 5 mg IM per 12 jam).
4.
Jika kondisi janin baik dan tidak ditemukan tanda-tanda inpartu ibu
dipindahkan ke ruang perawatan antepartum serta dimonitor adanya tanda-tanda
inpartu, infeksi maupun gawat janin.
5.
Untuk kehamilan diatas atau sama dengan 34 minggu jika tidak terdapat
tanda inpartu dilakukan induksi persalinan apabila tidak ada kontra indikasi.
Pelahiran perabdominal dilakukan bila ada indikasi secara obstetri, termasuk gagal
induksi.
6.
Selama induksi pemberian antibiotik parenteral diberikan untuk mencegah
infeksi streptokokus.
Penggunaan kortikosteroid oleh National Institute of Health Consensus Development
Conference (2000) direkomendasikan selama antenatal pada wanita dengan
ketuban pecah dini sebelum 32 minggu dan tidak terdapat tanda-tanda
Pencegahan
Kesimpulan
Kasus PPROM merupakan salah satu penyebab utama borbiditas dan mortalias
perinatal. Hal ini diperkirakan sekitar 20-30% dari seluruh kelahiran preterm, dan
prognosis tergantung dari usia kehamilan saat ditemukan. Ketepatan diagnosis
sangat ditekankan dalam mendiagnosis PPROM karena berkaitan dengan hasil akhir.
Sekali diagnosis ditegakkan opsi penanganan meliputi rujukan ke rumah sakit,
amniosintesis untuk menyingkirkan korioamnionitis, konsultasi ke neonatologis dan
ahli fetomaternal, pemberian kortikosteroid dan antibiotik jika sesuai indikasi, dan
penanganan secara aktif bilamana usia kehamilan mencukupi tercapai.
Daftar Pustaka
1.
Alamsyah M, Handono B. Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm. Dalam:
Prematuritas. PT Refika aditama. Bandung; 2009. hal 95-112
2.
Medina TM, Hill DA. Preterm premature rupture of membrane: diagnosis and
management. Am Fam Physician. 2006. p 659-64
3.
Caughey AB, Robinson Jn, Norwitz ER. Contemporary diagnosis and
management of preterm premature rupture of membranes. Rev obstet gynecol. Vol
1; 2008. p 11-22
4.
Mercer BM. Preterm premature rupture of the membranes. High risk
pregnancy series an expert view. ACOG; 2003. p178-93
5.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. preterm
birth. In: Williams obstetric 23 ed; USA; McGraw-Hill; 2010. p 804-31
6.
Mochtar AB. Persalinan preterm. Dalam: Ilmu kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Edisi 4. Jakarta; 2009. hal 667-76
7.
Krisnadi SR, Pramatirta AY, Siddiq A, Sitanggang E. Panduan pengelolaan
persalinan preterm nasional. HKFM POGI. 2011. hal 7
8.
Forgas JS, Romero R, Esprinosa J, Erez O, Friel LA, Kusanovic JP et al. Prelabor
rupture of the membranes. In Clinical Obstetric The Fetus and Mother.3 ed. 2007. p
1130-88
9.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Williams
Obstetrics, edisi 23. New York: Mc Graw Hill, 2010:428-625, 511-21
10. Mose JC. Pencegahan persalinan prematur. Dalam: Prematuritas. PT Refika
aditama. Bandung; 2009. hal 141-63