Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTESI PADA ATRESIA ANI DENGAN VACTERL SYNDROME

Oleh :

Siti Lingga Oktafiani

H1AP15008

Pembimbing

dr. Ferdi, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BENGKULU 2019


BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Bayi Ny.P
Usia : 2 hari
Jenis Kelamin : laki-laki
Alamat : Jl. Tri Brata, Blok D. No. 18
Tanggal masuk : 6 November 2019
Diagnosis pre operasi : Atresia Ani dengan VACTERL Syndrome
Jenis Operasi : Colostomy
Jenis Anestesi : General Anestesi dengan teknik Endo Tracheal Tube
Tanggal Operasi : 8 November 2019
B. ANAMNESIS
 Keluhan utama : bayi baru lahir ±2 hari dengan tidak ada anus dan perut kembung
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien merupakan pasien rujukan dari RS Tiara Sella Kota Bengkulu, bayi lahir 2 hari
yang lalu dengan perut kembung dan tidak ada anus. Kemudian didapatkan juga unilateral
upper limb deformitas. Pasien lahir di RS Ummi Bengkulu pada 05 November 2019 dari ibu
usia 27 tahun dengan P3A1 di usia kehamilan 38 minggu secara sectio caesaria atas indikasi
placenta previa totalis dan presbo. Bayi lahir langsung menangis, merintih(-), KU Baik,
Gerak aktif, Apgar Score 8/9. Berat badan lahir 2650 gram, panjang badan 46 cm, lingkar
kepala 34 cm, lingkar dada 30 cm, thorax-abd DBN, Anus (-), fistula (-), ekstremitas atas
dextra deformitas (+), kembung (+).

 Riwayat penyakit dahulu : -


 Riwayat Penyakit Keluarga
 R. Asma : (-)
 R. Alergi : (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
KU : tampak sakit sedang, lemas, pucat
BB : 2650 gram
PB : 46 cm
LK : 34 cm
LD : 32 cm
Gizi : baik
2. Tanda Vital
Tekanan Darah :-
Nadi : 132x/menit
Pernafasan : 44x/menit
Suhu : 36,7 C
3. Pemeriksaan fisik Fisik generalis :
a. Kepala : normocephali tidak ada jejas
b. Mata : Konjungtiva palpebra anemis (+), sklera tikterik (-) dan tidak
terdapat edema palpebra
c. Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret/darah (-)
d. Mulut : mukosa bibir pucat (+), atrofi lidah (+)
e. Telinga : tidak terdapat secret dan nyeri tekan mastoid
f. Leher ` : dalam batas normal
g. Paru : gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, sonor seluruh
lapang paru, bunyi nafas vesikuler (+/+)
h. Jantung : BJ I-II intensitas normal,reguler, batas jantung sulit dinilai
i. Abdomen : buncit, simetris, soepel, teraba lien pada titik schuffner III,
hepar teraba 2 jbac, nyeri tekan (+), timpani, redup, Bising usus dalam batas normal.
j. Ekstremitas : akral teraba hangat, sianosis (-), telapak kaki pucat, CRT<2
detik

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 05-11-2019

Hemoglobin : 16,2 g/dl


Hematokrit : 49 %
Leukosit : 23.300 mm3
Trombosit : 246.000 sel/mm3
Eritrosit : 4,6 juta/IU
MCV : 108
MCH : 35 pg/ml
MCHC : 33 %

Tanggal 06-11-2019

GDS : 94 mg/dl

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Hasil Radiologi
 Hasil Echo Cardigraph
Kesan: VSD pro, L-R shunt, PDA (+) ??, L-R shunt
F. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka :
Diagnosis pre operatif : Atresia ani dengan VACTERL Syndrome
Status Operatif : ASA III
Jenis Operasi : Kolostomi
Jenis Anastesi : General Anastesi dengan teknik ETT no 3

G. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
Atresia ani dengan Vacterl Syndrome
2. Diagnosis Pasca Bedah
Post Kolostomi
3. Penatalaksanaan Preoperasi
a IVFD D10% GTT9 cc/jam
b Cebactam 2X135 mg
c Mikasin 1X20 mg
d Metronidazol 2X20 mg
4. Rencana tindakan Anestesi
a. Jenis Anestesi : General Anestesi dengan teknik ETT no 3
b. Pre Operasi :
- Lengkapi Inform Consent
- Puasa 6-8 jam
- Pasang IV Line (transfuse set dan iv cath no 20)
c. Durante Operasi
- Mulai Anestesi :11 September 2019, pukul 10.35 WIB
- Mulai Operasi :11 September 2019, pukul 10.45 WIB
- Premedikasi : Fentanyl 5 mcg iv
- Induksi : Sevoflurane 3,5 lt
- Intubasi : Laringoskop blade no.0
ETT no.3
- Medikasi tambahan : Paracetamol 20 mg
- Respirasi : Kendali
- Posisi : supine
- Cairan : Dextrose 100% 500 mL
- Selesai operasi : 14:30 WIB.
d. Post Operasi
- Jalan nafas : Clear
- Pernafasan : Spontan
- Bila Spontan : Adekuat
- Kesadaran : Masih tersedasi
- Steward Score : Bangun 2, Menangis 2, Gerak tanpa tujuan 1,
- Instruksi pasca sedasi dan anestesi :
 Pemantauan tanda vital selama 24 jam
 Lain – lain : jika emergency lapor dokter anestesi
- Terapi yang diberikan post operasi :
- IVFD D10% GTT9 cc/jam
- Cebactam 2X135 mg
- Mikasin 1X20 mg
- Metronidazol 2X20 mg

H. PERHITUNGAN TERAPI CAIRAN

- Kebutuhan cairan perioperatif:

 Satu jam pertama: 25 ml/Kg + 4 ml/kg = 29mL x 2,650 = 76,85 mL


 Jam berikutnya = Cairan rumatan + macam operasi

= 4 ml/ kg + 4 ml/kg = 8 mL x 2,650 kg = 21,2 mL

- Perhitungan cairan pengganti puasa: 4 jam x 4 ml/kg/jam x 2,650 kg = 42,4 ml

- Maintenance : 10,6

- Stress operasi : 6 x 2,650 kg x 2 jam = 32 cc

- EBV : 70 x 2,650 Kg = 185,5

Perdarahan:

- Tabung suction : 200 cc

- Kassa kecil : 31 x 10 cc = 310 cc

- Kassa besar : 1 x 100 cc = 100 cc

- Perkiraan total perdarahan : 610 cc

- Volume urin : 1cc x 2,650kg = 2,650 cc/jam = 3 cc/jam

- IWL : 30 x 2,650 kg / 24 jam = 79,5/24 jam = 3,31/ jam = 3 cc/jam

Cara Pemberian:

- Jam I : (50% x pengganti puasa) + maintenace + stress operasi


(50 % x 42,4 cc) + 10,6 cc + 32 cc = 63,8 cc

- Jam II : (25% x pengganti puasa) + maintenace + stress operasi

(25 % x 42,4 cc) + 10,6 cc + 32 cc = 53,2 cc

- Input : Jam I + jam II + pengganti jumlah perdarahan

(kristaloid + koloid)

63,8 + 53,2 + 610 = 727 cc

Perhitungan balance cairan:

- Input : 727 cc

- Output: Urin + IWL + perdarahan

3 cc + 3 cc + 610 cc = 616cc

- Balance cairan = +111 cc

Monitoring Selama Anestesi.


Jam Nadi SaO2 Keterangan

Masuk ruang operasi, dextrose 10%, fentanyl


13:10 122 100%
5 mcg, pemasangan ETT no 3

13:20 128 100% Mulai bernafas spontan

13:30 123 100% -

13:40 130 100% -

13:50 122 100% Paracetamol 20 mg

14:00 140 100% -

14:10 135 100% -

14:20 124 99% -

14:30 133 100% -


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Atresia ani atau anus imperforata atau malformasi anorektal adalah suatu kelainan
kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis
rekti dan atresia rekti. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma
VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb)1 . Pertama kali diperkenalkan
oleh Quan dan Smith pada tahun 1973 dengan sebutan “VATER” kemudian berubah menjadi
“VACTERL” pada tahun 1975 oleh Kaufman dan Nora. VACTERL association adalah suatu
kondisi yang ditandai dengan adanya minimal tiga dari cacat bawaan berikut: cacat tulang
belakang, atresia anal, cacat jantung, trakeo-esofagus fistula, anomali ginjal, dan kelainan
anggota gerak tubuh.2

Gambar 1 : bayi dengan asosiasi VACTERL, XR: malformasi vertebrae (V), atresia anal (A), tampak
pada studi kontras berikut.malformasi cardiac (C), Tracheoesofageal fistula dengan atresia esofagel (TE),
OG tube tampak dibagian atas esofagus. Udara di usus,anomali ginjal (R), anomali tungkai (L), namun
pada pasien ini tidak tampak anomali pada tungkai.

B. Epidemiologi
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000
kelahiran.1 Secara umum, malformasi anorektal lebih banyak ditemukan pada laki-laki dari
pada perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui pada
bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis malformasi
anorektal yang paling banyak ditemui adalah anus imperforata diikuti fistula rektovestibular
dan fistula perineal.3 Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester menunjukkan
bahwa malformasi anorektal letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan malformasi
anorektal letak tinggi.4
Kejadian Vacterl Syndrome sangat jarang yakni 1/10.000 hingga 1/40.000 infan per
tahun5. Beberapa bayi dilahirkan dengan gejala yang tidak dapat diperbaiki dan biasanya
tidak bertahan hidup. Penyebab asosiasi ini masih diperdebatkan. Vacterl dapat dilihat pada
beberapa cacat kromosom seperti trisomi 18 dan lebih sering terlihat pada bayi dari ibu
diabetes. Predisposisi sindrom ini adalah pada laki-laki. Dari Januari 2003 sampai Januari
2013 antara 32 bayi 15 ( 46,8 % ) didiagnosis dengan asosiasi VACTERL . Cacat yang paling
umum adalah cacat jantung bawaan dengan 73,3 % dan kedua tulang belakang dengan 66,6
%6.

C. Embriologi
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan hindgut.
Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah, esofagus, lambung
sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas. Midgut membentuk usus halus,
sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai pertengahan kolon
transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga ke membrana kloaka, membrana ini
tersusun dari endoderm kloaka, dan ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk
mulai minggu keempat disebut sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap
dari septum urorektalis menghasilkan 2 anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan
anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan proktoderm dan
lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak normal.
Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus dapat tidak ada atau rudimenter.1

Fungsi fisiologi anorectal


1. Motilitas kolon
a. Absorbsi cairan
b. Keluarkan isi feses dari kolon ke rectum
2. Fungsi defekasi
a. Keluarkan feses secara intermitten dari rectum
b. Tahan isi usus agar tidak keluar saat tidak defekasi

D. Klasifikasi
1. Secara Fungsional
a. Tanpa anus tetapi dengan dekompresi adekuat traktus gastrointestinalis dicapai
melalui saluran fistula eksterna. Kelompok ini terutama melibatkan bayi
perempuan dengan fistula recto-vagina atau recto-fourchette yang relatif
besar,dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan
dekompresi usus yang adekuat sementara waktu.
b. Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adekuat untuk jalan keluar tinja.
Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan
dekompresis pontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah
segera.

2. Berdasarkan Letak
a. Anomali rendah
Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis, terdapat sfingter
internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat
hubungan dengan saluran genitourinarius.
b. Anomali intermediet
Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborektalis; lesung anal dan sfingter
eksternal berada pada posisi yang normal.
c. Anomali tinggi
Ujung rektum di atas otot puborektalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya
berhubungan dengan fistula genitourinarius-retrouretral (pria) atau rectovagina
(perempuan). Jarak antara ujung buntu rektum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.

3. Klasifikasi Wingspread
a. Jenis Kelamin Laki-laki
 Golongan I
- Kelainan fistel urin
Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin
terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel
adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel
terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim
maka fistel ke vesika urinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan
kolostomi segera.

- Atresia rektum
Pada atresia rektum tindakannya sama pada perempuan. Pada atresia rektum,
anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur jari tidak dapat masuk lebih
dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
- Perineum datar
Tidak ada keterangan lebih lanjut.
- Fistel tidak ada
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu
segera dilakukan kolostomi.
 Golongan II
- Kelainan fistel perineum
Fistel perineum sama dengan pada perempuan, lubangnya terletak lebih anterior
dari letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi.
- Membran anal
Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila
evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin.
- Stenosis anus
Pada stenosis anus, sama dengan perempuan. Pada stenosis anus, lubang anus
terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar
sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif.
- Fistel tidak ada
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu
segera dilakukan kolostomi.
Gambar 1. Malformasi anorektal pada laki-laki8
b. Jenis Kelamin Perempuan
 Golongan I
- Kelainan kloaka
Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus
genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat
dilakukan kolostomi.
- Fistel vagina
Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi
tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi.
- Fistel rektovestibular
Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat di vulva. Umumnya evakuasi feses lancar
selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai makan
makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal.
- Atresia rektum
Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur jari
tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi.
- Fistel tidak ada
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera
dilakukan kolostomi.
 Golongan II
- Kelainan fistel perineum
Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus
normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi
- Stenosis anus
Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat
sempit. Evakuasi feses tidak lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif.
- Fistel tidak ada
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu
segera dilakukan kolostomi

Gambar 2. Malformasi anorektal pada perempuan8

E. Etiologi
VACTERL yang berhubungan dengan anomali merupakan defek pada diferensiasi
mesodermal selama proses embriogenesis7. Patogenesis pada sindrom ini dapat dijelaskan
dalam ‘developmental field complex’ (DFC) – bagian dari embrio yang merespon sebagai
unit koordinasi untuk menghasilkan induksi embrionik secara kompleks atau struktur anatomi
yang multiple8 . Atresia ani yang merupakan salah satu gejala pada VACTERL syndrome,
terdapat beberapa faktor penyebab yang dapat menyebabkan atresia ani, yaitu
a. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayilahir tanpa
lubang dubur.
b. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3
bulan.
c. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik di daerah usus,
rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu ke-4
hingga ke-6 usia kehamilan.
d. Berkaitan dengan Sindrom Down
Malformasi anorektal memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya
adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko
malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan
malformasi anorektal yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan
populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan
adanya hubungan antara malformasi anorektal dengan pasien dengan trisomi 21
(Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari 3
bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan malformasi anorektal
atau dengan kata lain etiologi malformasi anorektal bersifat multigenik.6
e. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
f. Kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguanpertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
Sedangkan Faktor predisposisi terjadinya atresia ani dapat disebabkan oleh kelainan
kongenital saat lahir seperti:
a. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral,
anal, jantung, trachea, esofagus, ginjal, dan kelenjar limfe).
b. Kelainan sistem pencernaan.
c. Kelainan sistem pekemihan.
d. Kelainan tulang belakang

F. Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan
embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor
dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinarius
dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal
anorektal. Terjadi atresia ani karena tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan
struktur kolon antara minggu ke-7 dan ke-10 dalam perkembangan fetal. Kegagalan
migrasi dapat juga dapat terjadi karena kegagalan dalam agenesis sakral dan
abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak adanya pembukaan usus besar yang keluar
anus menyebabkan feses tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami
obstruksi.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga
terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses yang mengalir kearah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanyaakan terbentuk fistula antara
rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% kasus atresia ani dengan fistula ke
vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak
tinggi, umumnya fistula menuju kevesika urinaria atau ke prostat (rektovesika). Pada
letak rendah, fistula menuju keuretra (rektouretralis).
G. Manifestasi klinis
Anorektal anomali dengan persentasi sekitar 50-90% yang mengenai individu.
Anorektal anomali bersamaan dengan trakeoesofageal fistula. Atresia anal atau anus
imperforata terlihat pada sekitar 55 persen pasien dengan asosiasi VACTERL. Mulai dari
atresia sebagian sampai komplit. Berhubungan dengan malformasi genitourinaria. Anomali
ini biasanya dicatat pada saat lahir dan sering memerlukan operasi pada hari-hari pertama
kehidupan. Atresia anal terbagi dua, yaitu :
- Tingkat tinggi atau superlevator
- Tingkat rendah atau infralevator
Kadang-kadang bayi akan memerlukan beberapa operasi untuk sepenuhnya
merekonstruksi usus dan anus.
Gejala yang menunjukan terjadinya malformasi anorektal terjadi dalam waktu 24-48
jam. Gejala itu dapat berupa9 :
1. Perut kembung
2. Muntah
3. Tidak bisa buang air besar
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai
dimana terdapat penyumbatan.
Malformasi anorektal sangat bervariasi, mulai dari anus imperforata letak rendah
dimana rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi tidak
dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari rektum dekat ke uretra
dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali tidak ada.9
Sebagian besar bayi dengan anus imperforata memiliki satu atau lebih abnormalitas
yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%. Makin tinggi letak
abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih sering. Kebanyakan dari kelainan
itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa
seperti kelainan kardiovaskuler.2
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi
anorektal adalah:10
1. Kelainan kardiovaskuler
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan anus imperforata. Jenis kelainan yang paling
banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi
of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum
(1%-2%).
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral seperti
hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal
yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada malformasi
anorektal. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan malformasi
anorektal letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan malformasi anorektal letak rendah
15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai
VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL
(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality).3

H. Diagnosis
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Pada anamnesis dapat ditemukan:1
a. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir
b. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula
c. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan kelainan
adalah letak rendah
2. Pemeriksaan penunjang
a. Radiologi dengan Barium Enema
 Akan terlihat gambaran klasik seperti daerah transisi dari lumen sempit ke daerah
yang melebar.
 Pada foto 24 jam kemudian, terlihat retensi barium dan gambaran mikrokolon
pada Hirschsprung segen panjang.
b. Biopsi hisap rektum
 Digunakan untuk mencari tanda histologik yang khas, yaitu tidak adanya sel
ganglion parasimpatik di lapisan muskularis mukosa, dan adanya serabut saraf
yang menebal.
 Pada pemeriksaan histokimia, aktivitas kolinesterase meningkat.
3. Pena menggunakan cara sebagai berikut:1
a. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
 Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti
atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti
(PSARP) tanpa kolostomi
 Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih
dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif.
Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum
< 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut
letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan
rektoperinealis.1
b. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel
 Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP (Posterio
Sagital Ano Rectal Plasty) tanpa kolostomi.
 Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu.
 Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari kulit
dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit
dilakukan kolostomi terlebih dahulu.
Leape (1987) menyatakan bila mekonium didadapatkan pada perineum, vestibulum
atau fistel perianal maka kelainan adalah letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka
kelainan adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam
setelah lahir agar usus terisis, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi
badan vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud) dengan bertujuan agar
udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi.1
Pada pemeriksan klinis, pasien malformasi anorektal tidak selalu menunjukkan gejala
obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada pemeriksaan klinis segera
setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan dengan memasukkan termometer melalui
anus.3,5
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula
rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama beberapa jam
pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau
fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi
struktur otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan
intrabdominal harus cukup tinggi untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum.
Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis malformasi
anorektal pada bayi untuk menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty.6
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai dengan
tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot
perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan malformasi anorektal letak
tinggi dan harus dilakukan colostomy.6
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan malformasi anorektal letak
rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin tag yang terdapat
pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium).6
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi
harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani
menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan
inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun
1982 memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti,
yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk
memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel.1
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang,
meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis.
Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat
ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG.
Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan
letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi,
serta ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari
berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran
rektum dan ada tidaknya fistula.1
Leape (1987) menganjurkan pada:1
1. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu, setelah 6
–12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP)
2. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes
provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus
3. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion
4. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana dikerjakan
minimal PSARP tanpa kolostomi.
Pada atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu
untuk dekompresi dan diversi. Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang
paling banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baik minimal, limited atau full
postero sagital anorektoplasti.1

Penatalaksanaan malformasi anorektal11

Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus laki-laki11


Dengan inspeksi perineum dapat ditentukan adanya malformasi anorektal pada 95%
kasus malformasi anorektal pada bayi perempuan. Prinsip penatalaksanaan malformasi
anorektal pada bayi perempuan hampir sama dengan bayi laki-laki.3
Penatalaksanaan malformasi anorektal pada bayi perempuan9

Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus perempuan9

Anoplasty
PSARP adalah metode yang ideal dalam penatalaksanaan kelainan anorektal. Jika
bayi tumbuh dengan baik, operasi definitif dapat dilakukan pada usia 3 bulan. Kontrindikasi
dari PSARP adalah tidak adanya kolon. Pada kasus fistula rektovesikal, selain PSARP,
laparotomi atau laparoskopi diperlukan untuk menemukan memobilisasi rektum bagian distal.
Demikian juga pada pasien kloaka persisten dengan saluran kloaka lebih dari 3 cm.3

J. Prognosis
Prognosis baik apabila gejala obstruksi segera diatasi. Penyulit pasca bedah seperti
kebocoran anastomosis, atau striktur anastomosis umumnya dapat diatasi.
Tatalaksana Anestesia pada Pasien Colostomy

1. Definisi Anastesi Umum


Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh.Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes
Srpada tahun 1846.
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai
dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Anestesi
memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan sakit
yang tak tertahankan,mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan
kenangan yang tidak menyenangkan.

2. Komponen Anestesi Umum


Pada anestesi umum terdapat trias anestesi yaitu hipnotik (hilang kesadaran),
analgetik dan relaksasi.Hipnotik dapat dilakukan dengan hambatan mental, analgetik dapat
dilakukan dengan hambatan sensoris dan relaksasi dengan hambatan refleks dan hambatan
motoris.
a) ANALGESIA
Terjadi hambatan sensoris, stimulasi nyeri dihambat secara sentral sehingga tidak
dapat diartikan di korteks serebri.Analgesia bisa terjadi dalam berbagai tingkatan di mulai
dengan light analgesia (stadium I) sampai (true analgesia) di mana semua sensasi hilang.
b) RELAKSASI
Bisa terjadi karena adanya hambatan motorik dan hambatan reflek pada hambatan
motoris terjadi depresi area motorik di otak dan hambatan implus efferent,sehinggaterjadi
relaksasi otot skelet.Efek depresi motoris ini tergantung dari kedalaman anestesi, di mana otot
pernapasan / diafragma yang paling akhir di tekan.Pada hambatan refrek, terjadi penekanan
reflek misalnya ada sistem respirasi untuk mencegah spasme bronkus, spasme laring,
pembentukan mukus.Pada sirkulasi untuk mencegah terjadinya aritmia dan pada
gastrointestinal untuk mencegah mual dan muntah.
c) HIPNOTIK
Terjadi hambatan mental.Ada beberapa tingkatan dimulai dari tenang,sedasi, light
sleep (hipnosis),deep sleep (narkosis),complete anaesthesia,dan terakhir terjadi depresi
medulla oblongata.
3. Indikasi Anestesi Umum
Indikasi Anestesi Umum adalah :
 Infant dan anak –anak
 Operasi yang luas
 Pasien dengan kelainan mental
 Bila pasien menolak anestesi lokal
 Operasi yang lama
 Operasi di mana dengan anestesi lokal tidak praktis dan tidak menguntungkan
 Pasien dalam terapi anti koagulan
 Pasien yang alergi terhadap obat anestesi lokal

4. Stadium Anastesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III
dibagi menjadi 4 plana), yaitu:
a. Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi
(hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi
kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini
b. Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan
refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
c. Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai pernapasan
spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
• Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola mata
yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat,
refleks faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang
sempurna. (tonus otot mulai menurun).
• Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun, frekuensi
meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya
mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga dikerjakan
intubasi.
• Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi tidak
ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot
lurik hampir sempuma (tonus otot semakin menurun).
• Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil
sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak
ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun).
d. Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan
perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut
jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini
tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
5. Prosedur Anastesi Umum
a. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga
pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta
berkenalan dengan pasien.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
- Identifikasi pasien, seperti: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
- Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit
dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik
(asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark miokard,
angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal.
- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi
dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-obat
antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis,
diuretika, obat anti alergi, dan bronkodilator.
- Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan
selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih
sadar, perawatan intensif pasca bedah.
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi
seperti: merokok dan alkohol.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka
mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi
intubasi.Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien
c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit
yang sedang dicurigai.Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara
rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb,
lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50
tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus
dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam
ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium,
selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya
pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan
hiperglikemia.Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan
teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru
pasca bedah.Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi
sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.
d. Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien
dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus
dihindari.
e. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia.Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang
menjalani anesthesia.Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anestesia.Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam,
anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi
anesthesia.
f. Klasifikasi status fisik

g. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya :
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anesthesia
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual muntah pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak
pasti.Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan
menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg
beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5
dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin
misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal
operasi.Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi
suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran,
narfoz).

h. Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat
yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan napas
atas pasien, tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran
gas segar atau dengan menghisapnya dengan kapur soda.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
- Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea
- Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve, pop-off valve,
APL, adjustable pressure limiting valve)
- Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)
Bahan karet hitam (karbon) atau plastic transparent anti static, anti tertekuk
- Kantong cadang (reservoir bag)
- Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang mendadak
tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O
Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle system),
sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre.

i. Induksi anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.Setelah pasien
tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai
tindakan pembedahan selesai.
Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan
yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat
dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:
S : Scope  Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih bilah
atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tubes  Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan usia > 5
tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway  Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya
lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut

I : Introducer  Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah dimasukkan
C : Connector  Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction  Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya
Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular,
atau rectal.
1) Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang jalur
vena, karena cepat dan menyenangkan.Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan
hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali.Obat induksi bolus disuntikkan dalam
kecepatan antara 30-60 detik.Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan
tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan
pada pasien yang kooperatif.
 Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan
dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula
digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
 Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3
mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga satu menit
sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara intravena.
 Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan ketamin
sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa
seperti midasolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan
darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar,
tetapi dengan mata terbuka.
2) Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
3) Induksi inhalasi
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat :
- tidak berbau menyengat / merangsang
- baunya enak
- cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.
 Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan). Cara induksi ini dikerjakan
pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut
disuntik. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2.
Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4
liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Jika
pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang
dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
 Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun
langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan
konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
 Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang dilakukan,
karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
4) Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.Tanda-
tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak
ada gerakan pada kelopak mata.

j. Teknik anestesi
- Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka
Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut,
keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.Selesai dilakukan induksi, sampai
pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup muka ditempatkan pada muka.
Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik kebelakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan
napas bebas dan pernafasan lancar. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk
memperdalam anestesi, bersamaan dengan ini halotan dibuka sampai 1% dan sedikit demi
sedikit dinaikkan dengan 1% sampai 3 atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderita
Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak
cepat, dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah.Kalau stadium anesthesia sudah
cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel). Halotan kemudian
dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap rangsang operasi. Halotan dikurangi
dan dihentikan beberapa menit sebelum operasi selesai.Selesai operasi, N2O dihentikan dan
penderita diberi O2 100% beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi.
- Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi
dengan sungkup muka.
Setelah induksi, dapat dilakukan intubasi.Balon pipa endotrakea dikembangkan
sampai tidak ada kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon nafas.Harus
yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk terlalu dalam yaitu di
salah satu bronkus atau di eosofagus.Pipa endotrakea di fiksasi, lalu pasang guedel di mulut
supaya pipa endotrakea tidak tergigit.Lalu mata ditutup dengan plester supaya tidak terbuka
dan kornea tidak menjadi kering.Lalu pipa endotrakea dihubungkan dengan konektor pada
sirkuit nafas alat anestesi.
- Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali
Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas. Nafas dikendalikan secara
manual atau dengan respirator.Bila menggunakan respirator setiap inspirasi (volume tidal)
diusahakan + 10 ml/kgBB dengan frekuensi 10/14 per menit.Apabila nafas dikendalikan
secara manual, harus diperhatikan pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris.Menjelang
akhir operasi setelah menjahit lapisan otot selesai diusahakan nafas spontan dengan
membantu usaha “nafas sendiri” secara manual.Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi
kulit terjahit.N2O dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit. Ekstubasi dapat dilakukan
setelah nafas spontan normal kembali dengan volume tidal 300 ml. O2 diberi terus 5-6 L
selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi
- Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk
dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.
Banyaknya cairan yang harus diberikan per infus disesuaikan dengan banyaknya
cairan yang hilang. Terapi cairan dimaksudkan untuk mengganti cairan yang hilang pada
waktu puasa, pada waktu pembedahan, adanya perdarahan dan oleh sebab-sebab lain, cairan
fistula dan lain-lainnya.
1) Rumatan (dalam 24 jam)
4ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg pertama, 2 ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg
kedua, 1 ml/kgBB/jam untuk berat badan sisa
2) Untuk koreksi transloksi cairan selama operasi dipertungkan sebgai berikut:
Trauma ringan rata-rata 2 ml/kgbb/jam
Trauma sedang rata-rata 4 ml/kgbb/jam
Trauma berat rata-rata 6 ml/kgbb/jam
Pedoman koreksi deficit puasa adalah:

Hitung jumlah deficit puas berdasarkan lama puasa, selanjutnya koreksi sesuai dengan
pedoman berikut:

Jam I 50% deficit + cairan pemeliharaan/jam


Jam II 25% deficit + cairan pemeliharaan/jam
Jam III 25% deficit + cairan pemeliharaan/jam

Selanjutnnya diberikan cairan pemeliharaan/jam ditambah cairan koreksi akibat


translokasi luka operasi dan koreksi akibat perdarahan.

Transfusi dilakukan bila:


Transfusi darah umumnya >50% diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan untuk
menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular.
Indikasi transfusi adalah:

o Perdarahan akut Hb <8 gr% atau Ht <30%


o Bedah mayor kehilangan darah >20% volume darah

l. Postoperative
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan
untuk observasi pasien pasca atau anestesi.Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa cara
skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara
Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas
pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa.

Aldrete Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas 2


motorik perintah atau secara sadar.
1
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas
perintah atau secara sadar.
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas
0
perintah atau secara sadar.
2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2
 Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi
1
 Apneu/tidak bernafas
0

3 Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2


 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari semula
1
 Tekanan darah berbeda >50% dari semula
0

4 Kesadaran  Sadar penuh 2


 Bangun jika dipanggil
1
 Tidak ada respon atau belum sadar
0

5 Warna kulit Kemerahan atau seperti semula 2


 Pucat
1
 Sianosis
0

Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.


Tabel 2. Steward Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Kesadaran  Bangun 2
 Respon terhadap stimuli
 Tak ada respon 1

2 Jalan napas Batuk atas perintah atau menangis 2


 Mempertahankan jalan nafas dengan baik
 Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan 1
nafas 0

3 Gerakan  Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2


 Gerakan tanpa maksud
 Tidak bergerak 1

Steward score ≥5 boleh dipindah ruangan.


BAB III

PEMBAHASAN

Pada pasien ini didiagnosis atresia ani dengan sindrom VACTERL. Pada kasus ini
terapi yang dipilih adalah terapi operasi colostomy dengan anastesi umum. Tujuan dari
anestesi umum adalah menjamin hidup pasien, yang memungkinkan operator melakukan
tindakan bedah dengan leluasa dan menghilangkan rasa nyeri. Manajemen anastesi yang
perlu diperhatikan pada pasien ini adalah persiapan pre operatif, durante operatif dan post
operatif.

Penanganan anestesi untuk kasus demikian dimulai dari sebelum tindakan anestesi
dilaksanakan. Pada persiapan pre operatif harus diperhatikan lingkungan untuk tindakan
operasi terutama suhu lingkungan sekitar karena pada neonatus usat pengaturan suhu di
hipothalamus belum berkembang, walaupun sudah aktif. Kelenjar keringat belum berfungsi
normal, mudah kehilangan panas tubuh sehingga neonatus sulit mengatur suhu tubuh dan
sangat terpengaruh oleh suhu lingkungan (bersifat poikilotermik). Selain itu pada tahap pre
operatif kecukupan oksigenasi dan volume cairan tubuh menjadi hal yang sangat penting
untuk diperhatikan, Pada neonatus normal reaksi pembuluh darah masih sangat kurang,
sehingga keadaan kehilangan darah, dehidrasi dan kelebihan volume juga sangat kurang
ditoleransi. Manajemen cairan pada neonatus harus dilakukan dengan secermat dan seteliti
mungkin. Tekanan sistolik merupakan indicator yang baik untuk menilai sirkulasi volume
darah dan dipergunakan sebagai parameter yang adekuat terhadap penggantian volume.
Autoregulasi aliran darah otak pada bayi baru lahir tetap terpelihara normal pada tekanan
sistemik antara 60-130 mmHg. Frekuensi nadi bayi rata-rata 120kali/menit dengan tekanan
darah sekitar 80/60 mmHg11 . Pada pasien ini berdasakan hasil pemeriksaan Echo
Cardiography pasien ini memiliki kelainan jantung VSD, sehingga sangat diperhatikan untuk
kehilangan darah, kecukupan volume cairan tubuh.

Sifat operasi pada pasien ini mendesak, maka pemilihan jenis dan obat anestesi menjadi
sangat penting. Untuk itu, dipilih suatu tindakan “balance anesthesia” dengan menggunakan
obat anestesi yang dapat menjaga kestabilan antara oksigenasi, SVR dan PVR. Sebelum
dilakukan intubasi, pasien diberikan fentanyl 5 mcg sebagai premedikasi. Tujuan pemberian
premedikasi pada pasien anak sama dengan orang dewasayakni untuk menurangi ansietas
pasien, mengurangi rasa nyeri yang dialami,
menurunkan dosis obat untuk induksi. Pada tahap induksi, piihan teknik induksinya adalah
induksi inhalasi. Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk,
walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan
halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan enfluran (etran),
isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan
waktu induksi menjadi lama.

Pada pasien ini dilakukan tindakan intubasi menggunakan ETT nomor 3 dengan
pemasangan ETT dilakukan dengan kondisi sadar. Setelah dilakukan intubasi, tetap dilakukan
baging hingga pernapasan pasien kembali spontan. Setelah napas spontan maka dilakukan
pemberian analgesic non opioid yaitu paracetamol sebanyak 20 mg. Selama operasi
berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun tindakan
operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan
serius. Secara umum pelaksanaan operasi colostomy dan penanganan anestesi secara general
anesthesion berlangsung baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Grosfeld J, O’Neill J, Coran A, Fonkalsrud E. Pediatric Surgery 6th edition.


Philadelphia: Mosby elseivier, 2006; 1566-99.
2. Solomon, BD (Aug 16, 2011). "VACTERL/VATER
Association.".Orphanet journal of rare diseases 6: 56. doi:10.1186/1750-
1172-6-56. PMC 3169446.PMID 21846383.
3. Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. principles and Practice of
Pediatric Surgery Vol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2005; 1395-1434
4. Boocock G, Donnai D. Anorectal Malformation: Familial Aspects and
Associated Anomalies. Archives of Disease in Childhood, 1987, 62, 576-
579.
http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=1778456&blobtype
=pdf [diakses 3 November 2012]
5. Europian society of radiology 2013, “Imaging features of VACTERL
association” 10.1594/ecr2013/C-2039.
6. Placa, Simona; Mario, Gluffre, 2013, Esophageal atresia in newborns: a
wide spectrum from the isolated forms to a full VACTERL
phenotype? 39 (1). pp. 1–8. doi:10.1186/1824-7288-39-
45. PMC 3726359. PMID 23842449
7. Martinez-Frias M.L., Frias J.L., Opitz J.M. Errors of morphogenesis and
developmental field theory.Am J Med Genet 1998;76:291-96.
8. Opitz J.M. The developmental field concept in clinical genetics. J Pediatr
1982;101:805-09.
9. Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare
Diseases 2007, 2:33. http://www.ojrd.com/content/2/1/33 [diakses 3
November 2012]
10. Kella N, Memon S, Qureshi G. Urogenital Anomalies Associated with
Anorectal Malformation in Children. World Journal of Medical Sciences 1
(2) 2006; 151-154 http://www.idosi.org/wjms/1(2)2006/20.pdf [diakses 3
November 2012]
11. Bissonette B, Dalens BJ. Pediatric Anesthesia: Principles And Practice.
McGraw-Hill Medical Publishing Division. New York.2002 : 405-413, 483-
503 Rupp K, Holzki J,Fischer T, Keller C. Pediatric Anesthesia. 1st Edition.
Drager 1999 : Germany

Anda mungkin juga menyukai