Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

Malformasi anorektal merupakan defek bawaan lahir yang jarang terjadi dan
mengenai anus dan rektum. Sekitar 1 dari 2.500 hingga 1 dari 5.000 bayi yang lahir
memiliki defek tersebut. Terdapat pengelompokan tingkat keparahan malformasi
anorektal, mulai dari stenosis anal ringan, atresia ani dengan atau tanpa fistula, hingga
persisten kloaka atau bahkan ekstrofi kloaka. Terlebih, malformasi anorektal sering
bermanifestasi dengan malformasi lainnya. Sekitar 64% dari seluruh pasien malformasi
anorektal memiliki satu atau lebih anomali ekstra-anal. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa malformasi yang terkait dengan malformasi anorektal tersebut
lebih sering terjadi pada defek yang "tinggi", bersifat kompleks dan sulit ditangani
dengan prognosis fungsional yang buruk bila dibandingkan dengan defek yang
"rendah", dimana tidak terlalu kompleks dan mudah ditangani dengan prognosis
fungsional yang sangat baik. Malformasi terkait di antaranya adalah pada sistem
genitourinari (21-61%), spinal dan korda spinalis (5-40%), sistem gastrointestinal (10-
25%), serta pada jantung (9-20%). Bayi laki-laki cenderung memiliki resiko lebih
tinggi untuk menderita malformasi anorektal. Defek tersebut diperkirakan muncul pada
perkembangan fetus usia 4-8 minggu. Penyebab terjadinya malformasi anorektal masih
belum jelas diketahui. Di samping faktor genetik, paparan prenatal terhadap tembakau,
alkohol, kafein, obat-obatan tertentu, berat badan berlebih, diabetes melitus, paparan
yang membahayakan dari pekerjaan, diperkirakan berperan sebagai faktor resiko
lingkungan (Zwink dkk, 2011).
Di sisi lain, penyakit jantung kongenital masih menjadi defek kelahiran
terbanyak, yaitu sekitar 1 dari 125 bayi lahir hidup. Menjadi tantangan bagi seorang
anestesiologis untuk memberikan manajemen anestesi bagi anak dengan kelainan
jantung bawaan yang akan menjalani prosedur operasi ekstra-kardiak. Hal tersebut
bergantung pada usia pasien, kompleksitas dari gangguan jantung, kapasitas pasien
untuk melakukan kompensasi, urgensi pembedahan, serta penyakit penyerta lainnya.

1
Berdasarkan review klinis dari 191.261 pasien dengan usia kurang dari 18 tahun yang
menjalani pembedahan ekstra-kardiak, adanya kelainan jantung kongenital
meningkatkan resiko mortalitas baik pada pembedahan minor maupun mayor. Pada
kelompok klinis yang sama, pada neonates dan bayi dengan penyakit jantung bawaan
memiliki resiko dua kali lipat lebih tinggi.
Dengan meningkatnya tehnik pembedahan dan penatalaksaan perawatan
perioperatif oleh dokter ahli anestesi dan ahli pediatrik juga akan meningkatkan hasil
akhir dari perawatan pasien dengan malformasi anorektal dengan atrial septal defect.
Laporan kasus ini kami sajikan untuk menjelaskan penatalaksanaan perioperatif
anestesi dan pembedahan pasien anak dengan malformasi anorektal dengan fistula
rektovestibuler serta kelainan penyerta berupa atrial septal defect. Pertimbangan untuk
melakukan pembedahan adalah untuk memperbaiki sistem gastrointestinal dan
genitourinaria.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. MALFORMASI ANOREKTAL
1. Definisi
Atresia ani atau anus imperforata atau malformasi anorektal adalah suatu
kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya
agenesis ani, agenesis rekti dan atresia rekti. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat
muncul sebagai sindroma VACTREL (Vertebra, Anal, Cardial Tracheoeophagus
fistel, Renal, Esofageal, Limb) (Faradilla, 2009).

2. Epidemiologi
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1
dalam 5000 kelahiran (Grosfeld, 2006). Secara umum, malformasi anorektal lebih
banyak ditemukan pada laki-laki dari pada perempuan. Fistula rektouretra
merupakan kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi laki-laki, diikuti oleh
fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis malformasi anorektal yang
paling banyak ditemui adalah anus imperforata diikuti fistula rektovestibular dan
fistula perineal (Oldham, 2005).

3. Embriologi
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan
hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah,
esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas.
Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon
asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut
hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan
ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat
disebut sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum

3
urorektalis menghasilkan 2 anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan
anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan
proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani
perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus
dapat tidak ada atau rudimenter.

Gambar 1. Embriologi saluran cerna


Fungsi fisiologi anorectal
1. Motilitas kolon
a. Absorbsi cairan
b. Keluarkan isi feses dari kolon ke rectum
2. Fungsi defekasi
a. Keluarkan feses secara intermitten dari rectum
b. Tahan isi usus agar tidak keluar saat tidak defekasi

4
4. Klasifikasi
a. Secara Fungsional
1) Tanpa anus tetapi dengan dekompresi adekuat traktus gastrointestinalis
dicapai melalui saluran fistula eksterna. Kelompok ini terutama
melibatkan bayi perempuan dengan fistula recto-vagina atau recto-
fourchette yang relatif besar,dimana fistula ini sering dengan bantuan
dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adekuat sementara
waktu.
2) Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adekuat untuk jalan keluar
tinja. Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk
menghasilkan dekompresis pontan kolon, memerlukan beberapa bentuk
intervensi bedah segera.
b. Berdasarkan Letak
1) Anomali rendah
Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis,
terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan
fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran
genitourinarius.
2) Anomali intermediet
Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborektalis; lesung anal
dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3) Anomali tinggi
Ujung rektum di atas otot puborektalis dan sfingter internal tidak ada. Hal
ini biasanya berhubungan dengan fistula genitourinarius-retrouretral
(pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rektum
sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.
c. Klasifikasi Wingspread
1) Jenis Kelamin Laki-laki

5
 Golongan I
- Kelainan fistel urin
Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari
orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra
maupun ke vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel
adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang
dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup
kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka
fistel ke vesika urinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar,
penderita memerlukan kolostomi segera.
- Atresia rektum
Pada atresia rektum tindakannya sama pada perempuan.
Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada
pemerikasaan colok dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2
cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi.
- Perineum datar
Tidak ada keterangan lebih lanjut.
- Fistel tidak ada
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada
invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi.
 Golongan II
- Kelainan fistel perineum
Fistel perineum sama dengan pada perempuan,
lubangnya terletak lebih anterior dari letak anus normal, tetapi
tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi.
- Membran anal

6
Pada membran anal biasanya tampak bayangan
mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada
sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin.
- Stenosis anus
Pada stenosis anus, sama dengan perempuan. Pada
stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya,
tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar sehingga
biasanya harus segera dilakukan terapi definitif.
- Fistel tidak ada
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada
invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi (Grosfeld,
2006).

Gambar 2. Malformasi anorektal pada laki-laki


2) Jenis Kelamin Perempuan
 Golongan I
- Kelainan kloaka
Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara
traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi
feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan
kolostomi.
- Fistel vagina

7
Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina.
Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya
dilakukan kolostomi.
- Fistel rektovestibular
Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat di vulva.
Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum
susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai makan
makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita
dalam keadaan optimal.
- Atresia rektum
Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada
pemerikasaan colok dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2
cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi.
- Fistel tidak ada
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada
invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi.
 Golongan II
- Kelainan fistel perineum
Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva
dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang
buntu menimbulkan obstipasi
- Stenosis anus
Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang
seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar
sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif.

8
- Fistel tidak ada
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada
invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi

Gambar 3. Malformasi anorektal pada perempuan

5. Etiologi
a. Faktor penyebab
1) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayilahir
tanpa lubang dubur.
2) Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu
atau 3 bulan.
3) Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik di daerah
usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara
minggu ke-4 hingga ke-6 usia kehamilan.
4) Berkaitan dengan Sindrom Down
Malformasi anorektal memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah
satunya adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa
risiko malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan
kelainan malformasi anorektal yakni 1 dalam 100 kelahiran,
dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran.
Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara malformasi

9
anorektal dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua
hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari 3 bermacam-macam gen
yang berbeda dapat menyebabkan malformasi anorektal atau dengan kata
lain etiologi malformasi anorektal bersifat multigenik (Levitt, 2009).
5) Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
6) Kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguanpertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik.
b. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya atresia ani dapat disebabkan oleh
kelainan kongenital saat lahir seperti:
1) Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral,
anal, jantung, trachea, esofagus, ginjal, dan kelenjar limfe).
2) Kelainan sistem pencernaan.
3) Kelainan sistem pekemihan.
4) Kelainan tulang belakang

6. Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian
belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang
merupakan bakal genitourinarius dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal
karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia ani karena tidak
ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara minggu ke-7
dan ke-10 dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga dapat terjadi
karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina.
Tidak adanya pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan feses tidak
dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi.

10
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula.
Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan
segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin
akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses yang
mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini
biasanyaakan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada
wanita 90% kasus atresia ani dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum
(rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju
kevesika urinaria atau ke prostat (rektovesika). Pada letak rendah, fistula menuju
keuretra (rektouretralis).

7. Manifestasi klinis
Gejala yang menunjukan terjadinya malformasi anorektal terjadi dalam
waktu 24-48 jam. Gejala itu dapat berupa:
a. Perut kembung
b. Muntah
c. Tidak bisa buang air besar
d. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat
sampai dimana terdapat penyumbatan.
Malformasi anorektal sangat bervariasi, mulai dari anus imperforata letak
rendah dimana rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga
feses bayi tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung
dari rektum dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama
sekali tidak ada. (Grosfeld, 2006).
Sebagian besar bayi dengan anus imperforata memiliki satu atau lebih
abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%.
Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih
sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi

11
beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler
(Grosfeld, 2006).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi anorektal adalah (Kella, 2006).
a. Kelainan kardiovaskuler
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan anus imperforata. Jenis
kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten
ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
b. Kelainan gastrointestinal
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%),
obstruksi duodenum (1%-2%).
c. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan
lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan
hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah
myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
d. Kelainan traktus genitourinarius
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada
malformasi anorektal. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan
urogeital dengan malformasi anorektal letak tinggi antara 50 % sampai 60%,
dengan malformasi anorektal letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut
dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae,
Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL
(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb
abnormality) (Oldham, 2005).

8. Diagnosis
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Pada anamnesis dapat
ditemukan:

12
1) Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir
2) Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula
3) Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan
kelainan adalah letak rendah
b. Pemeriksaan penunjang
1) Radiologi dengan Barium Enema
 Akan terlihat gambaran klasik seperti daerah transisi dari lumen sempit
ke daerah yang melebar.
 Pada foto 24 jam kemudian, terlihat retensi barium dan gambaran
mikrokolon pada Hirschsprung segen panjang.
2) Biopsi hisap rektum
 Digunakan untuk mencari tanda histologik yang khas, yaitu tidak
adanya sel ganglion parasimpatik di lapisan muskularis mukosa, dan
adanya serabut saraf yang menebal.
 Pada pemeriksaan histokimia, aktivitas kolinesterase meningkat.
 Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
 Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran
berarti atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital
Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi
 Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi
terlebih dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan
definitif.
Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram.
Bila akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran
rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa
rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
 Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel

13
 Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP
(Posterio Sagital Ano Rectal Plasty) tanpa kolostomi.
 Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi
terlebih dahulu.
 Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm
dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1
cm dari kulit dilakukan kolostomi terlebih dahulu.
Leape (1987) menyatakan bila mekonium didadapatkan pada
perineum, vestibulum atau fistel perianal maka kelainan adalah letak
rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi
atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir
agar usus terisis, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang
posisi badan vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position
(sujud) dengan bertujuan agar udara berkumpul didaerah paling distal.
Bila terdapat fistula lakukan fistulografi.
Pada pemeriksan klinis, pasien malformasi anorektal tidak selalu
menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus
ditegakkan pada pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi
daerah perianal dan dengan memasukkan termometer melalui anus
(Oldham, 2005).
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan
fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak
ditemukan selama beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium
harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau fistula urinarius.
Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi
struktur otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap kolaps dan kosong.
Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk menandingi tonus otot
yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24

14
jam untuk menentukan jenis malformasi anorektal pada bayi untuk
menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt,
2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum,
ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan
bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini
berhubungan dengan malformasi anorektal letak tinggi dan harus
dilakukan colostomy (Levitt, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan
malformasi anorektal letak rendah meliputi adanya mekonium pada
perineum, "bucket-handle" (skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan
adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium) (Levitt, 2007).

9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak
tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu
penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough,
tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus
yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 memperkenalkan metode
operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan cara
membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk
memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel.
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara
jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta
antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan
ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain
dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca
operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi,
persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta

15
ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari
berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian
akhiran rektum dan ada tidaknya fistula.
Leape (1987) menganjurkan pada:
a. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCS
dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP)
b. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot
sfingter ani ekternus
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana
dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi.
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan
intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi.
Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak dipakai
adalah posterosagital anorektoplasti, baik minimal, limited atau full postero sagital
anorektoplasti.

16
Penatalaksanaan malformasi anorektal (Latef, 1989)

Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus laki-laki


Dengan inspeksi perineum dapat ditentukan adanya malformasi anorektal
pada 95% kasus malformasi anorektal pada bayi perempuan. Prinsip
penatalaksanaan malformasi anorektal pada bayi perempuan hampir sama dengan
bayi laki-laki (Oldham, 2005).

17
Penatalaksanaan malformasi anorektal pada bayi perempuan (University of
Michigan, nd).

Gambar 5. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus


perempuan

Anoplasty
PSARP adalah metode yang ideal dalam penatalaksanaan kelainan
anorektal. Jika bayi tumbuh dengan baik, operasi definitif dapat dilakukan pada
usia 3 bulan. Kontrindikasi dari PSARP adalah tidak adanya kolon. Pada kasus
fistula rektovesikal, selain PSARP, laparotomi atau laparoskopi diperlukan untuk
menemukan memobilisasi rektum bagian distal. Demikian juga pada pasien kloaka
persisten dengan saluran kloaka lebih dari 3 cm (Oldham, 2005).

18
10. Prognosis
Prognosis baik apabila gejala obstruksi segera diatasi. Penyulit pasca bedah
seperti kebocoran anastomosis, atau striktur anastomosis umumnya dapat diatasi.

B. MANAJEMEN ANESTESI
Anestesi pada bayi dan anak berbeda dengan anestesi pada orang dewasa.
Permasalahan yang perlu diperhatikan pada anestesi pediatrik antara lain (Soerasdi,
2004):
1. Preoperatif
Respirasi
Frekuensi pernafasan pada bayi dan anak lebih cepat dibandingkan dengan orang
dewasa. Tipe pernafasan pada pada bayi adalah abdominal, lewat hidung, sehingga
gangguan pada kedua bagian ini memudahkan timbulnya kegawatan pernafasan
(Latief, 1989). Gangguan respirasi (contoh: dispnea, batuk, stridor, wheezing)
bermanfaat sebagai studi tambahan. Kemampuan posisi terlentang tanpa gangguan
respirasi harus dijelaskan. Kompresi trakea dan brokus dari tumor mungkin
disebabkan oleh posisi (Soerasdi, 2004). Tes: foto toraks, supine-duduk/ volume
loops (berguna untuk evaluasi lokasi dan tandatanda obstruksi jalan nafas). AGD,
pulse oxymetri, jika simptomatis, CT/MRI dada.

Kardiovaskuler
Frekuensi jantung/ nadi bayi dan anak berkisar antara 100-120 kali per menit.
Hipoksia menimbulkan bradikardi, karena parasimpatis yang lebih dominan
(Latief, 1989). Gangguan massa mediastinum mungkin termasuk sindroma vena
kava superior. Gejala lain mungkin termasuk sinkop dan sakit kepala (TTIK)
menjadi lebih buruk pada posisi terlentang. Tes: ekokardiografi, EKG, jika
simptomatis (Soerasdi, 2004).

19
2. Premedikasi
Manfaat dan kegunaan premedikasi masih menjadi perdebatan di antara para ahli.
Ada yang mengatakan bahwa premedikasi pada anak tidak diperlukan karena
menimbulkan trauma yang akan dibawa sampai dewasa. Terlepas perlu atau
tidaknya premedikasi pada anak, maksud dan tujuan premedikasi yang terpenting
adalah (Omoigui, 2016) :
a. Menghilangkan atau mengurangi rasa takut, cemas, dan gelisah, sehingga anak
menjadi tenang ketika masuk kamar operasi.
b. Memudahkan dan melancarkan induksi anestesi.
c. Mencegah terjadinya perubahan psikologis atau perilaku pasca anestesi/bedah.
d. Mengurangi sekret pada saluran nafas dan rongga mulut.
e. Sebagai vagolitik. Mencegah timbulnya refleks vagal akibat obat anestesi,
rangsangan fisik, atau manipulasi pembedahan.

3. Jenis Obat Premedikasi


a. Golongan antikolinergik
1) Sulfas Atropin dan Skopolamin
Atropin lebih unggul dibanding skopolamin untuk mengendalikan
bradikardi dan aritmia lainnya terutama pada bayi usia kurang dari enam
bulan.Biasanya bradikardi timbul karena manipulasi pembedahan atau karena
obat anestesi seperti halotan dosis tinggi (Omoigui, 2016).
Dengan ditinggalkannya pemakaian eter, maka tidak diperlukan lagi obat
premedikasi untuk mengurangi sekresi air liur. Atropin dan skopolamin
sebaiknya tidak diberikan kepada pasien dengan suhu tinggi dan takikardi
(Omoigui, 2016).
2) Glikopirolat
Merupakan senyawa garam amonium kuartener dengan khasiat
antikolinergik yang kuat. Panjang efek sampingnya tidak begitu kuat
disbanding sulfas atropin. Dosis 5-10 gr/kgBB intra vena (Omoigui, 2016).

20
b. Golongan hipnotik sedatif
1) Diazepam
Merupakan obat golongan sedatif yang banyak digunakan sebagai
premedikasi untuk anak karena berkhasiat menenangkan. Pada sekitar 80%
kasus, tanpa mendepresi nafas dan sedikit sekali menimbulkan muntah
(Omoigui,2016).
Dosis: Intravena (IV) atau intramuskular (IM): 0,20 mg/kgBB
Per oral : 0,25-0,50 mg/kgBB
Per rektal : 0,40-0,50 mg/kgBB
2) Midazolam
Termasuk golongan benzodiazepin yang mudah larut dalam air. Waktu
kerja sangat cepat, lama kerja tidak terlalu lama. Dapat diberikan secara
parenteral dan oral (Omoigui, 2016).
Dosis IM: 0.05 mg/kgBB
Peroral: 7.5-15 mg/kgBB
Per rektal: 0.35-0.45 mg/kgBB
3) Prometazin (phenergan)
Termasuk golongan antihistamin yang mempunyai efek sedasi cukup baik.
Dapat diberikan per oral dengan dosis 1 mg/kgBB. Dosis maksimal 30 mg
(Omoigui, 2016).
4) Barbiturat
Terdapat 2 sediaan yang sering digunakan untuk premedikasi, yaitu
pentobarbitone (nembutal) dan quinalbarbitone (seconal). Diberikan per oral
1,5 jam pra bedah dengan dosis 2-5 mg/kgBB. Obat ini tidak pernah diberikan
pada bayi usia < 6 bulan, karena metabolismenya lama. Tidak dianjurkan untuk
diberikan secara IM karena akan menimbulkan rasa sakit, nekrosis, dan abses
(Omoigui, 2016).

21
c. Golongan narkotik analgetik
Narkotik jarang diberikan sebagai obat premedikasi pada bayi/anak kecil
karena sering menimbulkan pusing, mual, muntah, sampai depresi nafas.
Pemberian morfin biasanya atas indikasi adanya cacat jantung bawaan yang
sianotik dengan dosis 0.05-0.2 mg/kgBB intramuskuler, 1 jam prabedah.
Meperidin (pethidin) merupakan obat golongan narkotik dengan sedasi ringan.
Seringmenimbulkanmuntah sehingga jarang digunakan untuk narkotik
analgetik (Omoigui, 2016).

4. Cara Pemberian Premedikasi


Sampai saat ini belum ditemukan cara pemberian premedikasi pada bayi/anak
yang dianggap ideal, yaitu sederhana, efektif, dan tidak menimbulkan trauma
psikis.
Metode yang lazim dipakai adalah:
a. Parenteral (IM/IV)
Masih sering digunakan, walaupun sering ditolak anak karena takut akan jarum
dan sakit.
b. Peroral
Pemberian cara ini sebenarnya paling ideal diberikan pada bayi/anak yang
masih kecil karena tidak akan menimbulkan trauma atau rasa sakit. Agar
pemberian oral lebih efektif, biasanya waktunya lebih lama. Agar anak/bayi
suka, biasanya dicampur dengan aroma obat lain agar terasa manis dan disukai.
c. Per rektal
Pemberian premedikasi secara rektal sering disebut sebagai anestesi basal.
d. Per nasal
Metode pemberian secara nasal masih dalam penelitian dengan cara-cara yang
paling baru. Obat diberikan secara tetesan/semprotan (nose spray) ke dalam
mukosa hidung. Selanjutnya obat akan diserap lewat mukosa hidung dan
masuk dengan cepat ke dalam sirkulasi darah karena mukosa hidung kaya akan

22
pembuluh darah. Pemberian obat cara ini cepat memberikan efek, sehingga
kadang-kadang disebut sebagai pra induksi.
Jenis obat : Midazolam 0,2 mg/kgBB (untuk anak 1-5 tahun). Sulfentanil 1,5-
3 U gr/kgBB.

5. Teknik Anestesi Intra operatif


Dilakukan anestesi umum dengan pipa endotrakea, dengan gas hangat. Kamar
operasi dengan suhu 20-25ºC. Pad hangat pada meja operasi.
a. Induksi
Pasang jalur IV sebelum induksi. Jika ada sindroma vena kava superior, penting
jika akses intravena pada ekstremitas bawah. Atropin (0,02 mg/kg IV)diberikan
untuk mengurangi sekresi kelenjar dan mencegah bradikardi dari efek induksi
halotanyang dalam dari laringoskopi. Intubasi bangun pada posisi duduk
mungkin perlu. Suatu induksi memakai sungkup dengan halotan/ O2 pada
posisi semifowler mungkin tepat. Intubasi seharusnya dilakukan dengan
ventilasi spontan. Gunakan pipa endotrakeal dan evaluasi dari trakea/bronkus.
Hindari penggunaan pelemas otot sampai pipa endotrakeal terpasang. Dokter
bedah segera hadir dengan persiapan bronkoskopi yang rigid saat dilakukan
induksi yang berakibat obstruksi jalan nafas akut. Perubahan posisi sederhana
(misalnya: dari posisi supinasi ke lateral atau duduk) mungkin mengakibatkan
kolaps kardiorespirasi (Soerasdi, 2004).
b. Induksi anestesi parenteral
1) Intramuskuler
Metode ini dipilih jika ada kesulitan mencari pembuluh darah vena atau cara
induksi lain tidak memungkinkan. Sebenarnya induksi anestesi cara ini lebih
pasti dan praktis dibanding cara induksi per rektal, dan dapat dilakukan pada
saat bayi/anak sudah ada di meja operasi. Kerugian metode ini adalah
suntikan, yang sangat ditakuti bayi/anak dan volume yang diberikan cukup
banyak (Omoigui, 2016).

23
Obat yang digunakan biasanya ketamin dosis 6-10 mg/kgBB. Biasanya
anak/bayi akan tidur setelah 3-5 menit.
2) Intravena
Keuntungan cara ini adalah selain cepat, juga menyenangkan karena dapat
berjalan mulus dan cepat, terutama apabila telah terpasang
infus.Kerugiannya biasanya sangat sukar memasang infus, anak/bayi sering
berontak, dan kesukaran mencari pembuluh vena.
Obat yang digunakan:
1) Penthotal
Dapat diberikan pada bayi/anak. Perlu diingat bahwa neonatus sangat
peka terhadap obat ini, danmetabolisme berlangsung lama. Dosis
induksi bayi/anak 4-5 mg/kgBB.
2) Methohexita (brevital)
Untuk induksi digunakan larutan 1% dengan dosis 1,5 mg/kgBB.
Sebagai pilihan alternatif penthotal, biasanya pemulihan lebih cepat
dibanding penthotal. Pada anak sering menimbulkan twitching otot dan
singultus apabila dosisnya tinggi.
3) Diazepam
Masa pemulihan lebih lama dari penthotal. Dosis 0,4 mg/kgBB.
4) Ketamin
Dosis 2 mg/kgBB. Dalam waktu 1-2 menit anak sudah tidur.
5) Propofol
Cukup efektif untuk anak, tapi sering menimbulkan rasa sakit dan
terbakar sehingga cara pemberiannya memerlukan teknik khusus. Dosis
2,5-3,5 mg/kgBB.
6) Midazolam
Tergolong benzodiazepin yang larut air, tidak menyebabkan rasa sakit
pada pembuluh darah. Dosis 0,15 mg/kgBB.
c. Induksi anestesi inhalasi

24
Dari penelitian didapatkan bahwa penangkapan (uptake) gas anestesi pada
paru anak/bayi lebih cepat dibanding orang dewasa, karena proporsi jaringan
pembuluh darahnya lebih banyak. Karena itu, induksi inhalasi pada
anak/bayi lebih cepat disbanding orang dewasa, dan ekskresinya pun lebih
cepat (Omoigui, 2016).
Oleh sebab itu, banyak ahli anestesi sering memakai teknik ini, tapi
kerugian teknik ini adalah dapat menimbulkan trauma psikis dan
pengalaman yang buruk. Untuk mengatasi kendala tersebut, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan:
Persiapan pre operatif harus lebih baik. Masker diberi rasa dan warna yang
menarik. Pemasangan masker jangan langsung menutupi muka. Bisa
memakai teknik single breath. Obat anestesi untuk inhalasi (Omoigui,
2016):
1) N2O/O2
Induksi dengan gas ini karena tidak berbau, tidak merangsang.
2) Eter
Karena baunya sangat merangsang dan tidak enak, sering menimbulkan
sekresi yang berlebihan dan saat ini sudah tidak dipergunakan lagi.
3) Halotan
Merupakan gas anestesi inhalasi yang sering digunakan untuk bayi/anak
karena baunya tidak merangsang, sehingga induksi bisa berjalan lancar. Gas
ini sering menimbulkan kejadian drug induced hepatitis pada pemakaian
berulang, terutama pada anak usia > 14 tahun.
4) Isofluran
Koefisien kelarutan gas ini dalam darah sangat rendah disbanding halotan,
sehingga secara teoritis induksi anestesi dan pemulihan berlangsung sangat
cepat. Gas ini hampir tidak mengalami metabolism dalam tubuh.
Dikeluarkan lewat paru secara utuh dan sempurna. Induksi anestesi dengan
isofluran perlu pengalaman cukup dan penuh perhatian, karena baunya yang

25
tidak sedap dan merangsang jalan nafas di mana kadang-kadang bayi/anak
akan menahan nafas.
d. Induksi anestesi per nasal
Merupakan cara induksi anestesi yang paling baru. Dikenal dengan istilah
pra induksi karena perubahan kesadaran yang timbul berbeda dengan akibat
pemberian premedikasi secara oral atau intramuskuler. Pemberian sufentanil
lewat nasal dengan dosis 1,5-3 U gr/kgBB ternyata cukup efektif sebagai pra
induksi pada anak yang lebih besar. Cara ini tidak begitu menimbulkan efek
yang traumatis (Omoigui, 2016).
e. Rumatan
Ventilasi spontan/ ventilasi bantu dengan volatile dan O2 100% mungkin
tepat.
f. Pengakhiran
Penderita harus sadar penuh sebelum dilakukan ekstubasi.
g. Kebutuhan cairan dan darah
Biasanya kehilangan darah minimal. Jika ada mediatinoskopi kehilangan
darah dapat diketahui segera. Kebutuhan cairan 10-20 ml/kgBB IV.
h. Posisi
Jika obstruksi bertambah secara mendadak, ubah posisi ke decubitus lateral
yang memungkinkan trakea terelevasi.
i. Komplikasi
Gagal nafas, gangguan jalan nafas, bronkospasme, laringospasme, hipotensi.
Oleh karena itu perlu memperhatikan ABC. Gunakan obat resusitasi
(misalnya: efedrin 10µg/Kg).
j. Pengelolaan nyeri post op
Dapat diberikan metamizole 10-20 mg/Kg IV, 3-4 kali/ 24 jam.

C. ATRIAL SEPTAL DEFECT

26
1. Definisi
Atrial septal defect (ASD) merupakan keadaan dimana terjadi defek pada
bagian septum antar atrium sehingga terjadi komunikasi langsung antara atrium kiri
dan kanan. ASD dapat terjadi di bagian manapun dari septum atrium, tergantung
dari struktur septum atrium yang gagal berkembang secara normal (Bernstein,
2007).
Secara anatomis ASD dibagi menjadi ASD primum, sekundum, tipe sinus
venosus, dan tipe sinus koronarius. Pada ASD primum terdapat defek pada bagian
bawah septum atrium, yaitu pada septum atrium primum. Selain itu, pada ASD
primum sering pula terdapat celah pada daun katup mitral. Kedua keadaan tersebut
menyebabkan pirau dari atrium kiri ke kanan dan arus sistolik dari ventrikel kiri ke
atrium kiri melalui celah pada katup mitral (regurgitasi mitral). Pada tipe sinus
venosus defek septum terletak di dekat muara vena kava superior atau inferior dan
sering disertai dengan anomali parsial drainase vena pulmonalis, yaitu sebagian
vena pulmonalis kanan bermuara ke dalam atrium kanan. Pada tipe sinus
koronarius defek septum terletak di muara sinus koronarius. Pirau pada ASD sinus
koronarius terjadi dari atrium kiri ke sinus koronarius, baru kemudian ke atrium
kanan. Pada kelainan ini dapat ditemukan sinus koronarius yang membesar
(Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994; Ghanie, 2007).

Gambar 6. Anatomi jantung normal (A) dan jantung dengan ASD (B)

27
Pada ASD sekundum terdapat lubang patologis pada fosa ovalis, serta
dapat tunggal atau multipel (fenestrated atrial septum). Defek yang lebar dapat
meluas ke inferior sampai pada vena kava inferior dan ostium sinus koronarius,
ataupun dapat meluas ke superior sampai pada vena kava superior (Soeroso dan
Sastrosoebroto, 1994; Ghanie, 2007).

2. Etiologi
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa penyakit jantung kongenital
banyak disebabkan oleh interaksi kompleks antara faktor genetik dengan faktor
lingkungan (paparan terhadap zat teratogen). Abnormalitas genetik dapat
disebabkan oleh mutasi gen tunggal (single gene mutation) dan kelainan
kromosomal (delesi, trisomi, monosomi). Kelainan kromosomal yang sering
menyebabkan ASD diantaranya sindrom Turner (45X), sindrom Down (trisomi 21), serta
sindrom Miller Dieker (delesi 17p). Namun demikian perlu diingat bahwa banyak
kelainan kromosomal lainnya yang dapat menyebabkan penyakit jantung
kongenital, meskipun tidak spesifik menyebabkan kelainan tertentu.
Kelainan jantung pada sindrom Down merupakan kelainan yang paling jelas
mekanismenya karena melibatkan anomali struktur yang berasal dari bantalan
endokardium (termasuk sekat atrioventrikular dan katup jantung). Teratogen
merupakan faktor lingkungan yang paling berperan dalam menyebabkan penyakit
jantung kongenital, termasuk di antaranya ASD. Telah diketahui bahwa pajanan
terhadap infeksi rubella kongenital, diabetes gestasional, alkohol, thalidomide,
asam retinoat dapat menyebabkan terjadinya penyakit jantung kongenital pada anak
(Friedman dan Child, 2001; Gatzoulis dkk, 2005).

28
3. Klasifikasi
ASD dapat digolongan menjadi empat golongan,yakni (Bernstein,
2007):
a. ASD sekundummerupakan tipe yang tersering (80%). Pada ASD
sekundum terdapat lubang patologis di tempat fossa ovalis. Defek dapat
berukuran kecil sampai sangat besar sehingga mencakup sampai sebagian
besar septum.Akibatnya terjadi pirau dari atrium kiri ke atrium
kanan, dengan beban volume di atrium dan ventrikel kanan.
b. ASD p r i m u m merupakan jenis kedua terbanyak dari ASD. Pada
defek septum primum terdapat celah pada bagian bawah septum
atrium, yakni pada septum atrium primum. Disamping itu, sering
pula terdapat celah pada daun katup mitral.
c. Defek sinus venosusterletak didekat muara vena kava superior
atau vena kava inferior dan seringkali disertai dengan anomali
parsial drainase vena pulmonalis, yakni sebagian vena pulmonalis
bermuara ke dalam atrium kanan.
d. Defek disinus koronarius defek terdapat di muara sinus koronarius.
Pirau dari kiri ke kanan yang terjadi adalah dari atrium kiri ke sinus
koronarius, baru kemudian ke atrium kanan.

4. Patofisiologi
Penyebab dari penyakit jantung kongentinal ASD ini belum dapat
dipastikan, banyak kasus mungkin terjadi akibat aksi teratogen yang tidak
diketahui dalam trisemester pertama kehamilan saat terjadi perkembangan
jantung janin.Dimana struktur kardiovaskuler terbentuk. Adanya ASD akan
membuat darah dari atrium kiri dapat masuk ke atrium kanan melalui defek sekat
ini. Aliran ini tidak deras karena perbedaan tekanan pada atrium kiri dan kanan
tidak begitu besar (tekanan pada atrium kiri 6 mmHg sedangkan pada atrium
kanan 5 mmHg) .Adanya aliran darah menyebabkan penambahan beban pada

29
ventrikel kanan, arteri pulmonalis, kapiler paru-paru dan atrium kiri. Bila shunt
besar, maka volume darah yang melalui arteri pulmonalis dapat 3-5 kali dari
darah yang melalui aorta. Dengan bertambahnya volume aliran darah pada
ventrikel kanan dan arteri pulmonalis, maka akan terjadi kenaikan tekanan,
sehingga tahanan katup arteri pulmonalis meningkat dan terjadi perbedaan
tekanan sekitar 15 -25 mmHg. Akibat adanya perbedaan tekanan ini, timbul
suatu bising sistolik (jadi bising sistolik pada ASD merupakan bising
dari stenosis relatif katup pulmonal). Pada valvula trikuspidalis juga ada
perbedaan tekanan, sehingga disini juga terjadi stenosis relatif katup
trikuspidalis sehingga terdengar bising diastolic (Popelova dkk, 2008; Hasan dan
Alatas, 2007).
Karena adanya penambahan beban yang terus menerus pada arteri
pulmonalis, lama kelamaan akan terjadi kenaikan tahanan pada arteri pulmonalis
dan akibatnya akan terjadi kenaikan tekanan ventrikel kanan yang permanen.
Arah shunt pun bisa berubah menjadi dari kanan ke kiri sehingga sirkulasi darah
sistemik banyak mengandung darah yang rendah oksigen akibatnya terjadi
hipoksemi dan sianosis (Rigatelli dkk, 2007).
Derajat pirau dari atrium kiri ke atrium kanan tergantung pada besarnya
defek, komplians relatif ventrikel kanan dan resistensi relatif vaskular pulmonal.
Pada defek yang besar, sejumlah darah yang teroksigenasi (dari vena pulmonal)
mengalir dari atrium kiri ke atrium kanan, menambah jumlah darah vena yang
masuk ke atrium kanan (venous return). Total darah tersebut kemudian dipompa
oleh ventrikel kanan ke paru. Aliran darah balik dari paru ke atrium kiri akan
terbagi menjadi dua, yaitu ke atrium kanan melalui defek dan ke ventrikel kiri.
Pada defek yang besar, rasio aliran darah pulmonal dibandingkan sistemik
(Qp/Qs) dapat berkisar antara 2:1 sampai 4:1 (Ghanie, 2007).
Gejala asimtomatis pada bayi dengan ASD terkait dengan resistensi paru
yang masih tinggi dan struktur ventrikel kanan pada masa awal kehidupan, yaitu
dinding otot ventrikel kanan yang masih tebal dan komplians yang kurang,

30
sehingga membatasi pirau kiri ke kanan. Seiring dengan bertambahnya usia,
resistensi vaskular pulmonal berkurang, dinding ventrikel kanan menipis dan
kejadian pirau kiri ke kanan melalui ASD meningkat. Peningkatan aliran darah
ke jantung sisi kanan akan menyebabkan pembesaran atrium dan ventrikel kanan
serta dilatasi arteri pulmonalis. Resistensi vaskular pulmonal tetap rendah
sepanjang masa anak-anak, meskipun dapat mulai meningkat saat dewasa dan
menyebabkan pirau yang berlawanan dan terjadi sianosis (Ghanie, 2007).

5. Diagnosis
Atrial septal defect sekundum lebih sering terjadi pada perempuan dengan
rasio 2:1 antara perempuan dan pria. ASD sering tidak terdeteksi sampai dewasa
karena biasanya asimptomatik dan tidak memberikan gambaran diagnosis fisik
yang khas. Walaupun angka kekerapan hidup tidak seperti normal, cukup banyak
yang bertahan hidup sampai usia lanjut (Bernstein, 2007).
a. Gejala klinis
Penderita ASD sebagian besar menunjukkan gejala klinis sebagai berikut
(Rigatelli dkk, 2007):
 Detak jantung berdebar-debar (palpitasi)
 Sering mengalami infeksi saluran pernapasan
 Dispneu (kesulitan dalam bernapas)
 Sesak napas ketika melakukan aktivitas
Dispneu d’effort dan atau kelelahan ringan adalah gejala awal yang
paling sering ditemui.Pada bayi kurang dari 1 tahun jarang sekali
memperlihatkan tanda-tanda gagal jantungkongestif yang mengarah pada defek
atrium yang tersembunyi (Bernstein, 2007; Rigatelli dkk, 2007). Diagnosis
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik:
 Denyut arteri pulmonalis dapat diraba di dada

31
 Pemeriksaan dengan stetoskop menunjukkan bunyi jantung yang abnormal.
Dapat terdengar murmur akibat peningkatan aliran darah yang melalui katup
pulmonalis.
 Tanda-tanda gagal jantung
 Jika shunt-nya besar, murmur juga bisa terdengar akibat peningkatan aliran
darah yang mengalir melalui katup trikuspidalis.
Pada pemeriksaan ASD terdapat suara splitting yang menetap pada S2.
Tanda ini adalah khas pada patologis ASD dimana defek jantung yang tipe lain
tidak menyebabkan suara splitting pada S2 yang menetap. Sianosis jarang
ditemukan, kecuali bila defek besar atau common atrium, defek sinus koronarius,
kelainan vaskular paru, stenosis pulmonal, atau bila disertai anomali Ebstein
(Bernstein, 2007; Rigatelli dkk, 2007).
b. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk ASD ini dapat dilakukan dengan beberapa
cara,antara lain (Bernstein, 2007; Rigatelli dkk, 2007):
 Foto Thoraks
Foto thoraks standar dapat sangat membantu diagnosis ASD. Pada pasien
dengan ASD dengan pirau yang bermakna, foto thoraks AP menunjukkan
atrium kanan yang menonjol, dan dengan konus pulmonalis yang menonjol.
Pada foto AP biasanya tampak jantung yang hanya sedikit membesar dan
vaskularisasi paru yang bertambah sesuai dengan besarnya pirau, seperti pada
defek septum ventrikel, vaskularisasi paru tampak meningkat bila Qp/ Qs > 2:1.
 Elektrokardiografi
Gambaran EKG penting dalam membantu diagnosis defek septum sekundum.
Elektroardiogram menunjukkan pola RBBB pada 95% kasus defek septum
sekundum, yang menunjukkan terdapatnya beban volume ventrikel kanan. Pada
ASD deviasi sumbu QRS ke kanan (right axis deviation) yang membedakannya
dari ASD primum yang menunjukkan deviasi sumbu (left axis deviation). Dapat

32
juga terjadi blok AV derajat 1 (pemanjangan interval PR) terdapat pada 10% kasus
defek sekundum. Hipertrofi ventrikel kanan cukup sering ditemukan, akan tetapi
pembesaran atrium kanan jarang tampak.
 Ekokardiografi
Dengan menggunakan ekokardiografi trans torakal (ETT) dan Doppler
berwarna dapat ditentukan lokasi defek septum, arah pirau, ukuran atrium dan
ventrikel kanan, keterlibatan katup mitral misalnya prolaps yang memang sering
terjadi pada ASD.
Ekokardiografi trans esophageal (ETE) sangat bermanfaat bila,dengan cara
ini dapat dilakukan pengukuran besar defek secara presisi, sehingga dapat
membantu dalam tindakan penutupan ASD perkutan, juga kelainan yang
menyertai.
 Kateterisasi jantung
Dengan tersedianya alat ekokardiografi dan doppler, terdapat 2 hal penting
dalam diagnosis dan penatalaksanaan ASD. Pertama, lebih banyak pasien dengan
defek septum sekundum yang diagnosisnya dapat ditegakkan pada masa bayi dan
anak kecil. Kedua, diagnosis anatomik dan fisiologis yang akurat dengan
ekokardiografi dan doppler memungkinkan kateterisasi jantung., kateterisasi hanya
dilakukan apabila terdapat keraguan akan adanya penyaki penyerta atau hipertensi
pulmonal.
Apabila dilakukan pada kateterisasi jantung defek septum sekundum tanpa
komplikasi ditemukan tekanan ventrikel kanan dan arteri pulmonalis yang normal
atau sedikit meningkat. Terdapat pula kenaikan saturasi oksigen di atrium kanan.
Perlu dicari kemugkinan terdapatnya kelainan lain misalnya stenosis pulmonal atau
anomali parial drainase vena pulmonalis.

6. Penatalaksanaan

33
Menutup ASD pada masa kanak-kanak bisa mencegah terjadinya kelainan
yang serius di kemudian hari.Pada beberapa anak, ASD dapat menutup spontan
tanpa pengobatan.Jika gejalanya ringan atau tidak ada gejala, tidak perlu
dilakukan pengobatan.Jika lubangnya besar atau terdapat gejala, dilakukan
pembedahan untuk menutup ASD. Pengobatan pencegahan dengan antibiotik
sebaiknya diberikan setiap kali sebelum penderita menjalani tindakan
pencabutan gigi untuk mengurangi risiko terjadinya endokarditis infektif
(Rigatelli dkk, 2007).
Pada ASD dengan rasio left to right shunt lebih besar dari 2:1 perlu
dilakukan tindakan operasi untuk mengkoreksi keadaan tersebut. Ada 2 jenis
tindakan operasi yang digunakan untuk melakukan koreksi pada ASD ini, yaitu
(Rigatelli dkk, 2007).:
 Bedah jantung terbuka
 Amplatzer septal occlude (ASO)
ASO merupakan alat dengan cakram ganda yang dapat mengembang
sendiri (self expandable), terbuat dari kawat nitinol berdiameter 0,004-0,0075
inci yang teranyam kuat menjadi dua cakram dengan pinggang penghubung 3-4
mm. Di dalamnya terdapat lapisan dakron terbuat dari benang polyester yang
dapat merangsang trombosis sehingga lubang/hubungan antara atrium kiri dan
kanan akan tertutup sempurna. Tindakan pemasangan ASO telah mendapat
persetujuan dari American Food and Drug Administration (FDA) pada bulan
Desember 2001. Di Indonesia, tindakan ASO mulai dilakukan pada tahun 2002.
Kriteria pasien ASD yang akan dilakukan pemasangan ASO, antara lain :
a. ASD sekundum
b. Diameter kurang atau sama dengan 34 mm
c. Flow ratio lebih atau sama dengan 1,5 atau terdapat tanda-tanda beban
volume pada ventrikel kanan
d. Mempunyai rim posterior minimal 5 mm dari vena pulmonalis kanan

34
e. Defek tunggal dan tanpa kelainan jantung lainnya yang memerlukan
intervensi bedah
f. Muara vena pulmonalis normal ke atrium kiri
g. Hipertensi pulmonal dengan resistensi vaskuler paru (Pulmonary Artery
Resistance Index = PARI) kurang dari 7 - 8 Wood Unit
h. Bila ada gagal jantung, fungsi ventrikel (EF) harus lebih dari 30%.
Pada dewasa sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk keluhan,
umur, ukuran dan anatomi defek, adanya kelainan yang menyertai, tekanan arteri
pulmonal serta resistensi vascular paru. Indikasi penutupan ASD (Bernstein,
2007).
 Pembesaran jantung foto toraks, dilatasi ventrikel kanan,kenaikan arteri
pulmonalis 50% atau kurang dari tekanan aorta, tanpa mempertimbangkan
keluhan.
 Adanya riwayat iskemik transient atau stroke pada ASD atau foramen
ovale persisten.

7. Komplikasi
Komplikasi yang akan timbul jika tidak dilakukan penutupan defek adalah
pembesaran jantung kanan dan penurunan komplians ventrikel kanan, aritmia,
dan kemungkinan untuk menyebabkan penyakit vaskular paru obstruktif.
Sindroma eisenmenger adalah keadaan pirau kanan ke kiri parsial atau total pada
pasien dengan defek septum akibat perubahan vaskular paru. Pada defek septum
yang menyebabkan pirau dari kiri ke kanan, peningkatan alirah darah ke paru
menyebabkan perubahan histologis pada pembuluh darah paru. Hal ini
menyebabkan tekanan darah di paru meningkat, sehingga pirau berbalik arah
menjadi dari kanan ke kiri. Gejala yang timbul berupa sianosis, dyspnea, lelah
dan disritmia. Pada tahap akhir penyakit, dapat timbul gagal jantung, nyeri dada,
sinkop dan hemoptisis.

35
Beberapa komplikasi menyertai tindakan penutupan defek septum, baik
trans-kateter atau melalui pembedahan. Komplikasi mayor, yaitu komplikasi
yang perlu penanganan segera antara lain kematian, dekompensasi
hemodinamik yang mengancam nyawa, memerlukan intervensi bedah, dan lesi
fungsional atau anatomi yang permanen akibat tindakan kateterisasi. Komplikasi
yang dapat timbul dari tindakan pembedahan antara lain aritmia atrial, blok
jantung. Komplikasi lain yang berhubungan dengan alat-alat oklusi transkateter
adalah embolisasi yang kadang memerlukan pembedahan ulang, aritmia,
trombus. Komplikasi yang jarang terjadi adalah efusi perikardial, transient
ischemic attack dan sudden death (Rigatelli dkk, 2007).

8. Prognosis
Secara umum, prognosis defek septum sekundum pada masa anak-anak
dapat dikatakan baik.Pada sebagian besar kasus meskipun tidak dioperasi pasien
dapat melakukan aktivitasnya dengan normal ataupun hampir normal. Masalah
akan timbul pada dekade ke-2 hingga ke-3. Hipertensi pulmonal dapat terjadi
dalam kurun waktu tersebut. ASD meskipun tidak membahayakan tapi perlu
mendapatkan perhatian khusus karena selama puluhan tahun tidak menunjukkan
keluhan dalam perjalanannya, tetapi dalam waktu sangat pendek terutama
dengan timbulnya hipertensi pulmonal akan mengarah dalam suatu keadaan
klinis yang berat. Timbulnya fibrilasi atrium dan gagal jantung merupakan gejala
yang berat (Rigatelli dkk, 2007).
Setelah penutupan ASD pada waktu anak-anak, ukuran jantung akan
kembali pada ukuran normal pada waktu 4-6 bulan. Setelah dilakukan
penutupan, tidak ada permasalahan yang timbul dengan aktivitas fisik dan tidak
ada batasan apapun dalam aktivitas. Yang harus dilakukan adalah melakukan
perawatan secara berkaladengan seorang ahli kardiologi yang telah merawatnya
(Rigatelli 2007).. Prognosis penutupan ASD akan sangat baik dibanding dengan
pengobatan medikamentosa. Pada kelompok umur 40 tahun ke atas harus

36
dipertimbangkan terjadinya aritmia atrial, apalagi bila sebelumnya telah ditemui
adanya gangguan irama (Bernstein, 2007).

D. MANAJEMEN ANESTESI
1. Pertimbangan Preoperatif
Pasien dengan penyakit jantung kongenital diklasifikasikan menjadi
tiga kelompok, yaitu dengan sianosis, gagal jantung kongestif, serta
abnormalitas yang asimptomatik. Sianosis merupakan hasil dari komunikasi
intrakardiak yang abnormal yang menyebabkan darah tidak teroksigenasi
masuk ke dalam sirkulasi arteri sistemik (right to left shunt). Kegagalan jantung
kongestif seringkali disebabkan oleh obstruksi aliran ventrikel kanan atau
peningkatan dari aliran darah pulmonal. Sedangkan abnormalitas yang
asimptomatik dikarenakan adanya aliran darah teroksigenasi ke dalam jantung
bagian kanan (left to right shunt) (Morgan dkk, 2013).
Meskipun seringkali asimptomatik, namun persiapan preoperative tetap
harus memperhatikan berbagai hal, di antaranya (Shanani, 2012):
a. Ventrikel kanan memiliki fungsi yang sama pentingnya dengan
ventrikel kiri pada pasien pediatric dengan penyakit jantung bawaan.
Pasien dengan aliran pulmoner yang tinggi dapat mengalami takikardia,
takipnea, iritabilitas, kardiomegali, serta hepatomegaly.
b. Pasien mungkin memiliki kelainan non-kardiak seperti kelainan
musculoskeletal sebanyak 8.8%, kelainan neurologis 6.9%, serta
iregularitas genitourinary sebanyak 5.3%. Pasien down syndrome
mungkin mengalami subluksasi atlanto-oksipital yang dapat menjamin
tindakan pencegahan airway manajemen.
c. Riwayat pengobatan harus diperhatikan, termasuk efek samping terkait
obat-obatan tersebut. Obat-obatan jantung harus diberikan pagi sebelum
tindakan pembedahan, meskipun pada pembedahan mayor, pemberian
aspirin biasanya dihentikan 7-10 hari sebelum pembedahan. Anak

37
dengan terapi warfarin harus menjalani pemantauan antikoagulan dan
diberikan pengganti heparin intravena sebelum pembedahan.
d. Stimulasi saraf simpatis akibat tangisan (kecemasan dan distres) pasien
dapat meningkatkan konsumsi oksigen dan aktivitas mikoardium, hal
ini tidak dapat ditoleransi dengan baik pada pasien dengan cadangan
jantung yang terbatas. Midazolam adalah premedikasi pilihan untuk
mengurangi konsumsi oksigen dengan dosis 0,5 mg/kg secara oral
setengah jam sebelum operasi. Jika terdapat akses IV, maka dosis
tambahan 0,1-0,25 mg/kg midazolam dapat diberikan, dengan syarat
gangguan jalan nafas dan pernapasan telah ditangani dengan tepat.
e. Pemeriksaan laboratiorium berupa pemeriksaan darah lengkap, profil
koagulasi, protrombin time, serta partial tromboplastin time dilakukan
untuk mengetahui apakah terdapat polisitemia yang beresiko
menyebabkan thrombosis dan infark pada pembuluh darah otak, ginjal,
dan paru. Pemeriksaan jumlah leukosit dan C-reactive protein
menunjukkan apakah terdapat infeksi. Pemeriksaan elektrolit serum
dilakukan pada pasien yang mendapat terapi diuretik. Pemeriksaan
EKG dapat menunjukkan ventricular strain atau hipertrofi, ECHO
untuk Doppler dan gambaran arus, serta kateterisasi jantung untuk
mengetahui tekanan di masing-masing ruang jantung, arah arus, serta
anatomi coroner. Pemeriksaan xray thorax dapat menunjukkan posisi
dan besar jantung, atelectasis, infeksi pernapasan akut, penanda
vaskuler, serta peningkatan hemidiafragma.
f. Evaluasi oleh dokter kardiologis harus dilakukan pada pasien dengan
lesi yang kompleks dan diikuti oleh ketidakmampuan dalam melakukan
kompensasi.
2. Pertimbangan Intraoperatif
Pada kondisi ASD, dikarenakan tekanan secara normal lebih tinggi di
bagian jantung kiri, maka darah akan mengalir dari kiri ke kanan (left to right

38
shunt). Normalnya, overload pada ventrikel kiri adalah sebesar 5%, sehingga,
perbedaan gradien tekanan left to right yang kecil pun dapat menyebabkan
peningkatan aliran darah pulmoner yang besar. Rasio antara aliran darah
pulmoner (Qp) dengan sistemik (Qs) bermanfaat untuk menentukan arah aliran.
Bila rasio lebih dari 1, maka aliran adalah left to right, sedangkan bila rasio 1,
maka dapat berarti tidak terdapat aliran, aliran bersifat bidireksional, atau
berlawanan arah (Morgan dkk, 2013).
Tingginya aliran darah pulmoner menyebabkan kongesti vaskuler
pulmoner, dan meningkatkan ekstravasasi cairan paru. Hal ini kemudian
menyebabkan gangguan pertukaran oksigen, menurunkan kompliens paru,
serta meningkatkan usaha bernapas. Distensi atrium kanan juga menyebabkan
penekanan pada bronkus besar, sedangkan distensi pembuluh darah pulmoner
menyebabkan penekanan pada bronkus kecil (Morgan dkk, 2013).
Peningkatan aliran darah pulmoner secara kronis dapat menyebabkan
peningkatan PVR. Peningkatan afterload ventrikel kanan menyebabkan
hipertrofi dan peningkatan tekanan jantung kana secara progresif. Bila
gangguan terus berlanjut, maka tekanan jantung kanan dapat melebihi jantung
kiri, sehingga terjadi perubahan aliran menjadi right to left shunt (Eisenmenger
sindrom) (Morgan dkk, 2013).
Peningkatan relatif systemic vascular resistance (SVR) terhadap PVR
mendukung aliran L to R (left to right). Meskipun demikian, peningkatan SVR
yang besar harus dihindari dikarenakan dapat memperburuk kondisi L to R
tersebut. Di samping itu, adanya aliran shunting tersebut menyebabkan resiko
emboli pada sirkulasi otak ataupun koroner (Morgan dkk, 2013).
Sebagian besar anak dengan ASD memiliki gejala yang minimal, di
samping beberapa anak yang mengalami infeksi pernapasan rekuren. Kondisi
ASD tanpa kegagalan jantung tidak berpengaruh secara signifikan pada
pemberian anestesi secara inhalasi dan intravena (Morgan dkk, 2013).
Sebenarnya, pada kondisi ASD pasien bersifat asianotik, namun penurunan

39
pertukaran gas bisa terjadi akibat kongesti paru. 1-1,5 minimum alveolar
concentration (MAC) isofluran, halotan dan sevofluran tidak berpengaruh
terhadap rasio QpQs pada pasien dengan ASD atau VSD terisolasi selama
ventilasi mekanik. 100% oksigen dan hiperventilasi pada pasien dengan shunt
L-R akan menghasilkan vasodilatasi paru, yang selanjutnya akan meningkatkan
kongesti paru, sehingga hal tersebut harus dihindari (Shanani, 2012).
Selain itu, manajemen nyeri merupakan faktor penting bagi dokter anestesi
yang harus diperhatikan pada manajemen intra atau post operatif. Infus opioid
atau patient-controlled analgesia pada pembedahan mayor merupakan
intervensi post operatif utama bagi pasien dengan penyakit jantung bawaan
(Shanani, 2012).
3. Pertimbangan Post operatif
Meskipun pembedahan memberikan hasil yang memuaskan, pasien dengan
penyakit jantung bawaan dengan pembedahan non-kardiak masih berada di
dalam kategori resiko tinggi pada saat setelah operasi. Pengamatan terhadap
pasien di bangsal dengan pemantauan yang ketat atau di unit perawatan intensif
dapat memberikan jaminan informasi bila pasien mengalami aritmia, iskemia
jantung, dehidrasi, nyeri, masalah ventilator, serta komplikasi lainnya sebelum
menimbulkan efek yang merugikan (Shanani, 2012).

BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : An. Varisha
Umur : 7 bulan
Tanggal lahir : 3 Juli 2016

40
Alamat : Ds Purwosari RT 03 RW 03, Blora, Jawa Tengah
No. RM : 01-34-80-04
Masuk RSDM : 19 April 2016
Tanggal Operasi : 23 Februari 2017

Anamnesis
Keluhan Utama: Muntah saat diberi minum ASI.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan dari RSUD Blora dengan diagnosis malformasi anorektal
dengan atrial septal defect. Anak berjenis kelamin perempuan berumur 7 bulan dengan
berat badan 6,5 kilogram. Orang tua anak mengeluh tidak didapatkannya lubang anus
pada anak, serta BAB keluar melalui lubang vagina. Anak lahir dalam kondisi aterm di
bidan dan mendapatkan ASI eksklusif. Karena keterbatasan sarana, pasien lalu dirujuk
ke RSDM. Saat tiba di RSDM, pasien sadar, menangis kuat dengan gerak aktif.

Riwayat Penyakit Dahulu


Asma : disangkal
Alergi susu : disangkal
Penyakit jantung bawaan : atrial septal defect
Riwayat penyakit serupa : disangkal

Pemeriksaan Fisik
Pre operasi tanggal 22 Februari 2017
a. Tanda vital
BB : 6500 gram
PB : 66 cm
Nadi : 128 kali/menit, reguler, isi cukup.
Frek.napas : 32 kali/menit, thorakoabdominal. Saturasi 92 – 96 %.
Suhu : 36,7OC

41
b. Keadaan umum
Tampak sakit sedang, compos mentis, gerak aktif.
c. Kepala
Mesocephal, tak tampak kelainan pada fontanella mayor maupun minor.
d. Mata
Mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor
dengan diameter 2 mm/2 mm, refleks cahaya positif.
e. Hidung
Napas cuping hidung tidak ada.Patensi dan septum kesan normal.
f. Mulut
Mukosa basah, buka mulut sulit dievaluasi, malampati sulit dinilai, kelainan
mandibula/maksila tidak ditemukan.Tak tampak sianosis.
g. Telinga
Bentuk normal.
h. Leher
Gerak kesan bebas, tidak kaku, deviasi trakhea tidak dijumpai. Pembesaran
KGB tidak ada.
i. Thoraks
Bentuk normal, gerak simetris, retraksi napas minimal. Suara napas
bronchovesicular dengan suara tambahan ronchi basah kasar pada kedua
lapangan paru. Vocal fremitus sulit dinilai.
j. Jantung
Bunyi jantung I teratur dengan intensitas normal, bunyi jantung II didapatkan
wide fix splitting. Murmur sistolik di katup pulmonal.
k. Abdomen
Tampak cembung, kesan tidak distensi. Bising usus normal dan tympani. Hepar
maupun lien tidak teraba. Tidak terdengar suara napas pada epigastrium.
l. Ekstremitas
Hangat, tidak dijumpai adanya sianosis maupun udem.

42
Pemeriksaan Penunjang
Tabel 1. Hasil laboratorium tanggal 17 Februari 2017
Hb 12,4 GDS 94 mg/dl Ureum 11 mg/dl
Hct 36 % Gol darah O Creatinin 0,4 mg/dl
AL 10,2 ribu/ul Na 135 mmol/l Albumin 4,1 mg/dl
AT 309 ribu/ul K 4,1 mmol/l HbsAg non reaktif
AE 4,75 juta/ul Cl 110 mmol/l PT 14,2 detik
MCV 68.0 /um APTT 32,3 detik INR 1,180

Pemeriksaan Echocardiografi
Terdapat atrial septal defect II dengan diameter 1.2 cm, Left to Right shunt.

Konsul Pediatrik
Assessment:
1. DE: PJB asianotik
DA: ASD secundum besar
DF: Ross II
2. Malformasi anorektal dan fistula rectovestibuler
3. Gizi baik
Terapi:
1. Diet jantung IV 700 kkal + ASI/ASB on demand
2. Furosemide 2 mg/12 jam PO
3. Sydenafil 1 mg/8 jam PO
4. Spironolakton 6,25 mg/12 jam PO
5. Bisoprolol 0, 5 mg/12 jam PO

Diagnosa Anestesiologi

43
Anak perempuan usia 7 bulan dengan malformasi anorektal dengan atrial septal defect,
pro PSARP dan sigmoidostomi status Fisik ASA III Plan GAET respirasi control

Problem
- Peditrik
- ASD II
Potensial Problem
- Perdarahan
- Desaturasi
- Nyeri post op
Operasi
Persiapan sebelum induksi
Cek ulang identitas pasien dan persetujuan tindakan anestesi
Cek persiapan alat dan obat anestesi
Cek monitor dan mesin anestesi.
Kondisi umum pasien menjelang induksi di atas meja operasi
KU : Bayi menangis, gerak aktif.
Nadi : 128 kali/menit, reguler, isi cukup.
Respirasi : 32 kali/menit.
SpO2 : 96 %.(udara ruang)
Tehnik Anestesi : General Anestesi Endotracheal Tube, ET 3.5, Respirasi kontrol.
Premedikasi : Sulfas Atropin 0,1 mg dan midazolam 0.05 mg/kg diberikan
sebelum intubasi.
Induksi : Dilakukan setelah pasien terintubasi dengan fentanyl 2 mcg/kg
Setelah itu diberikan pelumpuh otot dengan atracurium 3.5 mg.
Maintenance : O2 : airbar = 6 L/menit : 3,5 L : 2,5 L) dengan FiO2sekitar 67 %.
Sevoflurane 2-3 vol%.
Obat lain : Fentanyl 5 mcg /30 menit.
Atracurium 1 mg/30 menit.

44
Posisi operasi dengan prone (knee chest position) pada saat PSARP dan supine pada
saat sigmoidostomi.
Anestesi mulai : jam 10:15 WIB
Anestesi selesai : jam 13:15 WIB
Operasi mulai : jam 10:45 WIB
Operasi selesai : jam 12:55 WIB

Balance cairan
1. Pasien mendapatkan nutrisi parenteral dengan infus intravena yang telah
terpasang.
Pengganti puasa = 4 ml/kgBB/jam x 6.5 kg x 4 jam = 104 ml (tercukupi).
2. Pemeliharaan = 4 ml/kgBB/jam x 6.5 kg = 26 ml/jam.
3. Stres operasi besar = 6 ml/kgBB/jam x 6.5 kg = 39 ml.
4. Estimated Blood Volume = 85 ml/kg x 6.5 kg = 552.5 ml
5. Allowable Blood Loss = [(36 – 30) x 3 x 552.5] / 100 = 95.45 ml.
6. Rencana pemberian cairan jam pertama = 26 + 39 = 65 ml.
Untuk jam kedua dan ketiga = 26 + 39 = 65 ml/jam.
Ditambah dengan perdarahan yang terjadi selama operasi.
Jam Input Output Balance
10.15 – 11.15 D5 1/4NS 80 ml M + SO = 65 ml -14 ml
Darah = 25 ml
Urin = 4 ml
11.15 – 12.15 D5 1/4NS 100 M + SO = 65 ml + 5 ml
ml Darah = 10 ml
Urin = 6 ml
12.15 – 13.15 D5 1/4NS 65 ml M + SO = 65 ml - 6 ml
Darah =3 ml

45
Urin = 8 ml

Kondisi hemodinamik selama operasi:

140
120
100
80 Sistolik
60
Diastolik
40
20 HR

0
10.15 10.30 10.45 11.00 11.15 11.30

Heart rate berkisar antara 115– 130 kali/menit


Tekanan darah sistole berkisar 80-90 mmHg, diastole 50-65 mmHg
SpO2 berkisar antara 98– 100 %.
Perdarahan sekitar 38 ml.
Operasi berlangsung sekitar 3 jam.
Produksi urine sekitar 18 ml.

Post Operatif
OK IBS
Setelah operasi selesai dilakukan caudal block dengan levobupivacain 0.125% Volume
6.5 ml, kemudian dilakukan extubasi sadar. Selanjutnya pasien dibawa menuju ruang
PICU untuk pengawasan lebih lanjut. Analgetik post op metamizole 120 mg/ 8 jam dan
caudal block.

PICU
Hari 0:
Kesadaran : CM

46
N : 125 x/menit
Respirasi : Spontan, RR 30x/mnt, SpO2 99% (NC 1 lpm)
T : 37.2 oC
BB : 6500 gr
Tanda – tanda infeksi (-), luka operasi baik, tidak ada rembesan darah / cairan.
BAK (+), BAB (-)
Balance cairan + 25 ml.

Tabel 10. Hasil laboratorium post operatif (23 Februari 2016)


Hb 11,6 GDS 186 mg/dl pH 7,416
Hct 34 % Albumin 3,2 g/dl BE -4,4 mmol/L
AL 9,8 ribu/ul Natrium 134 mmol/L pCO2 40,6 mmHg
AT 302 ribu/ul Kalium 3,76mmol/L pO2 115 mmHg
AE 4,5 juta/ul Chlorida 97 mmol/L HCO3 23,9 mmol/L
MCV 68.0 /um Total CO2 20,6 mmol/L
SpO2 97 %

Plan:
D1/4NS 198ml + D40% 54ml + Ca Gluconas 10ml + KCl 5Meq  26 ml/jam.
Cefotaxime 130 mg/8 jam/IV
Gentamicin 10 mg/24 jam/IV
Aminosteril 185 ml/24 jam  7,5 ml/jam
Metamizole 120 mg/8 jam/IV
OGT Alirkan
Hari 1:
Kesadaran : CM
N : 134 x/menit

47
Respirasi : Spontan, RR 31x/mnt, SpO2 98% (NC 1 lpm)
T : 36.6 oC
BB : 6500 gr

Tanda – tanda infeksi (-), luka operasi baik, tidak ada rembesan darah / cairan.
BAK (+), BAB (-).
Balance cairan + 10 ml.
Plan:
D1/4NS 198ml + D40% 54ml + Ca Gluconas 10ml + KCl 5 Meq  26 ml/jam.

Cefotaxime 130 mg/8 jam/IV


Gentamicin 10 mg/24 jam/IV
Aminosteril 185 ml/24 jam  7,5 ml/jam
Metamizole 120 mg/8 jam/IV
OGT Alirkan

Hari 2:
Kesadaran : CM
N : 128 x/menit
Respirasi : Spontan, RR 32x/mnt, SpO2 98% (NC 1 lpm)
T : 36.6 oC
BB : 6500 gr
Tanda – tanda infeksi (-), luka operasi baik, tidak ada rembesan darah / cairan.
BAK (+), BAB (-).
Balance cairan + 20 ml.
Plan:
D1/4NS 198ml + D40% 54ml + Ca Gluconas 10ml + KCl 5 Meq  26 ml/jam.

48
Diet ASI/PASI/Ad Lib
Cefotaxime 130 mg/8 jam/IV
Gentamicin 10 mg/24 jam/IV
Aminosteril 182ml/24 jam  2,5 ml/jam
Metamizole 120 mg/12 jam/IV

Hari 3:
Kesadaran : CM
N : 135 x/menit
Respirasi : Spontan, RR 32x/mnt, SpO2 98% (NC 1 lpm)
T : 36.6 oC
BB : 6500 gr
Tanda – tanda infeksi (-), luka operasi baik, tidak ada rembesan darah / cairan.
BAK (+), BAB (-).
Balance cairan + 15 ml.

Plan:
D1/4NS 204ml + D40% 55ml + Ca Gluconas 10ml + KCl 5 Meq  26 ml/jam.
Diet ASI/PASI/Ad Lib
Cefotaxime 130 mg/8 jam/IV
Gentamicin 10 mg/24 jam/IV
Aminosteril 182ml/24 jam  2,5 ml/jam
Metamizole 120 mg/12
Pindah bangsal

49
BAB IV
PEMBAHASAN

Preoperatif
Sebelum dilakukan operasi, pasien mendapatkan perawatan terlebih dahulu di
bangsal pediatri. Status hidrasi pasien ini pada saat pre operatif sudah normal karena
sudah mendapatkan penanganan medis yang adekuat dari RS asal dan di bangsal
pediatri RSDM. Jika terjadi dehidrasi, maka perlu dilakukan resusitasi terlebih dahulu.
Setelah teratasi lalu diberikan kebutuhan cairan dengan perhitungan rumatan.
Penggantian cairan untuk resusitasi akibat dehidrasi diberikan cairan bolus 10 – 20
ml/kg dengan kristaloid isotonis dan bisa diulang sesuai kebutuhan dan respon pasien.
Indikator evaluasi antara lain keadaan umum, tanda vital, dan produksi urin. Untuk
cairan rumatan, dapat diberikan per oral akan tetapi pada pasien ini diberikan secara

50
intravena karena masalah gastrointestinal. Jenis cairan yang diberikan dapat berupa
dekstrosa 5% 0,25 normal saline.
Diagnosis malformasi anorectal dengan fistula rectovestibuler didasarkan pada
anamnesis keluarga, pemeriksaan fisis, dan penunjang.Dari anamnesis diperoleh tidak
didapatkannya lubang anus pada anak, serta BAB keluar melalui lubang vagina.
Pemeriksaan fisik ditemukan adanya wide fix splitting pada bunyi jantung II serta
murmur sistolik di katup pulmonal. Pemeriksaan penunjang echocardiografi
menunjukkan adanya ASD II dengan diameter 1.2 cm.

Durante Operasi
Pasien dipersiapkan di bangsal Pediatrik, kemudian dibawa ke kamar operasi
dengan oksigen. Meja operasi diberi warm blanket dan lampu penghangat dinyalakan
untuk mencegah hipotermi. Monitor yang digunakan yaitu saturasi, EKG, tekanan
darah noninvasif dan stetoskop prekardial yang dipasang di kiri untuk mendengarkan
suara jantung, suara napas, dan kedudukan pipa trakea ketika bayi dipindahkan dari
posisi supine menjadi knee chest position.

Anak diberikan preoksigenasi dengan O2 100% untuk mengisi FRC sehingga


waktu terjadinya hipoksemia pada saat intubasi meningkat. Secara anatomis anak
sendiri memiliki kapasitas residu fungsional yang rendah dibanding dewasa, sehingga
kegagalan melakukan laringoskopi intubasi akan menyebabkan hipoksia yang lebih
cepat terjadi dibanding pasien dewasa (Morgan, et. al., 2006). Premedikasi Sulfas
Atropin diberikan dengan dosis minimal 0.1 mg intravena untuk mencegah reflek vagal
karena tindakan laringoskopi intubasi, antisialogouqe, menjaga cardiac output pasien
neonatus karena cardiac output pasien neonatus tergantung heart rate. Pemberian
midazolam 0,05 mg / kg secara intravena diberikan untuk sedasi, karena pasien sudah
mengenal lingkungan dan stimulasi saraf simpatis akibat tangisan (kecemasan dan
distres) pasien dapat meningkatkan konsumsi oksigen dan aktivitas mikoardium, hal

51
ini tidak dapat ditoleransi dengan baik pada pasien dengan cadangan jantung yang
terbatas. Setelah pasien tersedasi dibawa ke ruang OK dan dipasang monitor (tensi,
pulse oxymetri,EKG).

Setelah terpasang monitor, pasien diinduksi dengan agen inhalasi sevofluran


mulai dari 6 MAC sampai pasien tertidur dalam kemudian diturunkan perlahan,
kemudian diberikan fentanil 14 mcg (2mcg / kg), setelah itu diberikan pelumpuh otot
atrakurium 3,5 mg sbagai fasilitas intubasi, 5 menit kemudian pasien diintubasi
menggunakan endo tracheal tube 3.5 cuff. Konfirmasi ETT sampai posisi tepat di
proksimal dari karina dengan indikator suara paru kanan kiri sama dan tidak adanya
suara di lambung. Setelah ETT dipastikan terpasang dengan benar, fiksasi dengan
plester. Pemeliharaan anestesi menggunakan breathing circuit Jackson Reese dengan
oksigen dan air bar (3,5 L : 2,5 L) dengan FiO2 sekitar 67 %.

Setelah dilakukan premedikasi, dilakukan penghisapan sekret melalui OGT dan


mulut dengan spoit dan kateter suction neonatus dan pemasangan ETT (cuff) dilakukan
dengan tehnik wake intubation. Setelah ETT dipastikan terpasang dengan benar,
induksi inhalasi dan diberikan pelumpuh otot. Pemeliharaan anestesi menggunakan
breathing circuit Jackson Reese dengan oksigen dan air bar (3,5 L : 2,5 L) dengan
FiO2sekitar 67 %. Dilakukan pemasangan stetoskop precordial pada hemithoraks kiri.
Pada awal intubasi saturasi mencapai 100 % dan bisa dipertahankan hingga
pembedahan mulai dilakukan. Durante operasi, bertahan di rentang 97-100%.
Pemeliharaan anestesi pada kasus ini diberikan dengan sevolurane mengingat agen
inhalasi ini tidak menimbulkan iritasi saluran napas dan dapat meningkatkan
konsentrasi anestesi alveolar dengan cepat. Selain itu sifat sevolfurane yang hanya
sedikit menurunkan kontraktilitas miokard, resistensi vaskuler dan tekanan darah
arterial. Gas yang digunakan adalah O2 :air bar = 3,5 L : 2,5 L dengan FiO2 sekitar 67
%. Diberikan pula pelumpuh otot dengan atracurium0.5 mg/kg dengan tujuan untuk
respirasi kendali karena lebih memudahkan operator dalam melakukan tindakan.

52
Post Operatif
Pada Akhir operasi agen inhalasi dimatikan, oksigenasi dengan O2 100%,
napas tetap kendali. Pasien dilakukan ekstubasi sadar dan dikirim ke PICU untuk
perawatan selanjutnya.
Analgetik post operasi diberikan caudal block dengan agen levobupivacain
0.125% volme 7 ml dan metamizole 120 mg. Analgetik caudal block dipilih karena
mengurangi dosis opioid, merupakan exelent analgetic, dan tidak meingingkatkan SVR.
Kombinsi dengan NSID diberikan sesuai dengan prinsip multimodal analgesia.
Selama prawatan di PICU kondisi stabil, pada hari ke-3 sudah boleh pindah
ruangan, pada hari ke-7 pasien sudah diijinkan pulang.

BAB V
KESIMPULAN

Telah dilakukan operasi posterior sagittal anorectoplasty pada penderita anak


perempuan berusia 7 bulan dengan berat badan 6,5 kg dengan diagnosis malformasi
anorektal dengan fistula rektovestibuler dan atrial septal defect. .
Manajemen anestesi pada pasien pediatrik membutuhkan perhatian khusus
karena menyangkut anatomi, fisiologi dan farmakologi yang berbeda dengan pasien
dewasa.
Manajemen anestesi pada ASD dilakukan dengan menjaga dan mencukupi
preload dengan mencukupi kebutuhan cairan, menjaga kontraktilitas jantung dan heart
rate dijaga agar tetap normal. Pada kondisi L to R shunt cegah SVR jangan sampai naik
dan PVR jangan sampai turun.
Pada operasi PSARP dilakukan posisi prone, sehingga sebagai anestesiolog
harus memahami perubahan fisiologi pada posisi tersebut dan persiapan-persiapannya.
Analgetik caudal block dapat digunakan sebagai analgetik pilihan pada operai PSARP.

53
Pasca operasi, pasien dirawat di PICU karena PSARP dan sigmoidostomi
dengan penyulit ASD merupakan operasi besar dan butuh pengawasan intensif di
ruang PICU.

DAFTAR PUSTAKA

Bernstein D. 2007. Congenital heart disease. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier. h. 1878-81.

Faradilla N, Damanik R.R, Mardhiya W.R.2009. Anestesi pada Tindakan


Posterosagital Anorektoplasti pada Kasus Malformasi Anorektal.Universitas Riau.
Available from: (http://www.Files-of-DrsMed.tk.[diakses 14 juni 2017]

Friedman WF, Child JS. 2001. Congenital heart disease in the adult. In: Harrison’s
principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill.

Gatzoulis MA, Swan L, Therrien J, Pantely GA. 2005. Adult congenital heart disease:
a practical guide. Oxford: Blackwell publishing ltd.

54
Gessner IH. 2008. Atrial septal defect, ostium secundum. http://medscape.com [diakses
tanggal: 15 Juni 2017].

Ghanie A. 2007. Penyakit jantung congenital pada dewasa. In: Sudoyo AW dkk (ed).
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta: BP FKUI. 1641-8.

Grosfeld J, O’Neill J, Coran A, Fonkalsrud E. 2006. Pediatric Surgery 6th edition.


Philadelphia: Mosby elseivier,; 1566-99.

Hasan R, Alatas H. 2007. Penyakit jantung bawaan. In: Buku ajar ilmu kesehatan anak.
Jilid II. Jakarta : BP. FKUI. 705-18.

Kella N, Memon S, Qureshi G. 2006. Urogenital Anomalies Associated with Anorectal


Malformation in Children. World Journal of Medical Sciences 1 (2); 151-154
http://www.idosi.org/wjms/1(2)2006/20.pdf [diakses 15 Juni 2017]

Levitt M, Pena A. 2007. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare Diseases,


2:33. http://www.ojrd.com/content/2/1/33 [diakses 15 Juni 2017]

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. 2013. Pediatrics Anesthesia. In :
Clinical anesthesiology, 5th ed. New York : Mcgraw Hill; p.424-425

Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. 2005. Principles and Practice of


Pediatric Surgery Vol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,; 1395-1434

Popelova J, Oechslin E, Kaemmerer H, Sutton M. 2008. Congenital heart disease in


adults. United kingdom: informa healthcare.

55
Rigatelli G, Cardaioli P, Hijazi ZM. 2007. Contemporary clinical management of atrial
septal defects in the adult. http://medscape.com [diakses tanggal 15 Juni 2017].

Shahani, JM. 2012. Anaesthetic considerations in children with congenital heart


disease undergoing non-cardiac surgery. Indian J Anaesth. 56:491-5

Soeroso S, Sastrosoebroto H. 1994. Penyakit jantung bawaan non-sianotik. Dalam:


Sastroasmoro S, Madiyono B, penyunting. Buku ajar kardiologi anak. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia. h. 203-13.

University of Michigan. Imperforate Anus. Departement of Surgery University of


Michigan,http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vii/a/anorectalmalf
ormation [diakses 15 Juni 2017]

Zwink, N., Jenetzky, E., & Brenner, H. 2011. Parental risk factors and anorectal
malformations: systematic review and meta-analysis. Orphanet journal of rare diseases,
6(1), 25.

56

Anda mungkin juga menyukai