Anda di halaman 1dari 37

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................2
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................3
1.1 Labiopalatoskisis...........................................................................................................3
2.2 Pembedahan pada Labiopalatoskisis.............................................................................4
2.3 Anestesiologi.................................................................................................................5
2.3.2 Anestesi Umum.......................................................................................................6
2.4Anastesi Pada Pediatri...............................................................................................20
2.4.1 Anastesi pada Anak.........................................................................................20
2.4.2 Penerapan Anestesi Pada Pediatrik.................................................................22
BAB III LAPORAN KASUS..............................................................................................30
3.1 Identitas Pasien............................................................................................................30
3.2 Anamnesis...................................................................................................................30
3.3 Pemeriksaan Fisik........................................................................................................31
3.4 Pemeriksaan Penunjang...............................................................................................33
3.4 Observasi Durante Operasi..........................................................................................34
3.5 Resume........................................................................................................................34
BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................................35
1.1 Pre Operatif.................................................................................................................35
1.2 Durante Operasi...........................................................................................................35
1.3 Terapi dan Resusitasi Cairan.......................................................................................36
BAB V PENUTUP...39
1. 3 Kesimpulan.....39
1.2 Saran ....39
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................40

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Memiliki anak merupakan suatu anugerah yang harus disyukuri dan dijaga
sepenuh hati dan jiwa supaya ia dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal.
Setiap keluaraga pasti mengharapkan anaknya sehat, sempurna baik jasmani maupun
rohani. Adakalanya harapan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan dimana ada
orangtua yang memiliki anak lahir dalam kondisi cacat bawaan, seperti malformasi
fasial. 1
Malformasi fasial sebagai kondisi cacat bawaan terdiri dari beberapa jenis,
yaitu labioskizis, palatoskizis dan labiopalatoskiziz. Labioskizis adalah adanya celah
pada bibir, sedangkan palatoskizis adalah celah yang terdapat pada palatum.
Labiopalatoskizis adalah kelainan bawaan pada anak dimana terdapat celah pada bibir
dan palatum yang merupakan malformasi fasial yang terjadi dalam perkembangan
embrio. 1
Tingkat kelainan labiopalatoskizis bervariasi, mulai dari yang ringan hingga
berat. Celah yang terjadi disalah satu bibir dan tidak memanjang hingga kehidung
disebut unilateral incomplete, jika celah terdapat pada salah satu bibir dan memanjang
hingga kehidung disebut unilateral complete dan apabila celah terjadi dikedua sisi bibir
dan memanjanng hingga kehidung disebut bilateral complete. 1 Berat badan menjadi
salah satu syarat bagi bayi untuk bisa dilakukan koreksi operasi untuk menutup celah
pada bibir dan palatum. Bayi yang akan dioperasi harus memiliki berat badan minimal 5
kg, kadar Hb 10 g/dl dan leukosit < 10.000 /ul serta umur bayi sudah mencapai 3
bulan.1
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum
dan anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang
reversible akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh
secara sentral. Perbedaan dengan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh,
keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran.Anestesi regional terbagi atas anestesi
spinal (anestesi blok subaraknoid), anestesi epidural dan blok perifer. 2 Anestesi spinal
dan anestesi epidural telah digunakan secara luas di bidang ortopedi, obstetri dan
ginekologi, operasi anggota tubuh bagian bawah dan operasi abdomen bagian bawah. 2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1 Labiopalatoskisis
Labiopalatoskisis adalah celah bibir dan palatum. Nyata sekali berhubungan erat
secara embriologis, fungsional, dan genetik. Celah bibir muncul akibat adanya
hypoplasia lapisan mesenkim, menyebabkan kegagalan penyatuan prosesus nasalis
media dan prosesus maksilaris. Celah palatum muncul akibat terjadinya kegagalan
dalam mendekatkan atau memfusikan lempeng palatum.3
Klasifikasi celah bibir dan celah langit-langit
Klasifikasi yang diusulkan oleh Veau dibagi dalam 4 golongan yaitu :
Golongan I : Celah pada langit-langit lunak (gambar 1).
Golongan II : Celah pada langit-langit lunak dan keras dibelakang foramen
incisivum (gambar 2).
Golongan III : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang
alveolar dan bibir pada satu sisi (gambar 3).
Golongan IV : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang alveolar
dan bibir pada dua sisi (gambar 4).4

3
Gejala Klinis
Celah bibir dapat terjadi dalam berbagai variasi, mulai dari takik kecil pada batas
yang merah terang sampai celah sempurna yang meluas kedasar hidung. Celah ini
mungkin unilateral (lebih sering pada sisi kiri) atau bilateral dan biasanya melibatkan
rigi-rigi alveolus. Biasanya disertai dengan gigi yang cacat bentuk, gigi tambahan atau
bahkan tidak tumbuh gigi. Celah kartilago cuping hidung dan pemanjangan vomer,
menghasilkan tonjolan keluar bagian anterior celah prosesus maksilaris.3
Celah palate murni terjadi pada linea mediana dan dapat melibatkan hanya uvula
saja atau dapat meluas kedalam atau melalui palatum molle dan palatum durum sampai
keforamen insisivus. Apabila celah palatum ini bersamaan dengan calah bibir
(sumbing), cacat ini dapat melibatkan linea mediana palatum molle dan meluas sampai
ke palatum durum pada satu atau kedua sisi, memaparkan satu atau kedua rongga
hidung sebagai celah palatum unilateral atau bilateral. 3
2.2 Pembedahan pada Labiopalatoskisis
Penanganan untuk labiopalatoskisis adalah dengan cara operasi. Operasi ini
dilakukan setelah bayi berusia 2 bulan dengan berat badan yang meningkat dan bebas
dari infeksi oral pada saluran napas dan sistemik. Dalam beberapa literature dijelaskan
operasi dapat dilakukan apabila memenuhi hukum sepuluh (rules of ten) yaitu berat
badan bayi minimal 10 pon, kadar Hb 10 gr/dL dan usianya minimal 10 minggu serta
kadar leukosit minimal 10.000/ul. Pembedahan dilakukan elektif untuk memperbaiki

4
kelainan, tetapi waktu yang tepat untuk operasi tersebut bervariasi dan dilakukan
secara bertahap.5
Berikut ini adalah tahapan proses yang akan dijalani, meliputi: 5
1. Tindakan pertama dikerjakan untuk menutup celah bibir berdasarkan kriteria rule
of ten yaitu umur > 10 minggu, berat badan > 10 pon, Hb > 10 gr/dl, leukosit
>10.000/ui
2. Tindakan operasi selanjutnya adalah menutup langit-langit/palatoplasti dikerjakan
sedini mungkin (15-24 bulan) sebelum anak mampu bicara sehingga pusat bicara
otak belum membentuk cara bicara. Pada umur 8-9 tahun dilaksanakan tindakan
operasi penambahan tulang pada celah alveolus atau maksila untuk memungkinkan
ahli ortodentis mengatur pertumbuhan gigi dikanan dan kiri celah supaya normal
3. Operasi terakhir pada usia 15-17 tahun dikerjakan setelah pertumbuhan tulang-
tulang muka selesai.
2.3 Anestesiologi
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
yang meliputi pemberian anestesia maupun analgesia: penjagaan, keselamatan
penderita yang mengalami pembedahan atau tindakan lainnya, bantuan resusitasi dan
pengobatan intensif pasien yang gawat; pemberian terapi inhalasi dan penanggulangan
nyeri menahun. 6
2.3.1 Anestesi
1. Definisi
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-tidak, tanpa dan
aesthesos, persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah
Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun
1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara,
karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan
nyeri pembedahan. Sedangkan analgesia adalah tindakan pemberian obat
untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. 7

2. Jenis Anestesi

5
Menurut Keat Sally 201, pasien yang menjalani pembedahan akan
menerima salah satu anestesi dari tiga jenis anestesi sebagai berikut : 8
a. Anestesi umum
Klien yang mendapatkan anestesi umum akan kehilangan seluruh
sensasi dan kesadarannya. Relaksasi otot akan mempermudah manipulasi
anggota tubuh. Klien juga mengalami amnesia tentang seluruh proses
yang terjadi selama pembedahan. Pembedahan yang menggunakan
anestesi umum melibatkan prosedur mayor dan membutuhkan
manipulasi jaringan yang luas. 8
b. Anestesi regional
Anestesia regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikkan
agen anestetik di sekitar saraf sehingga area yang disarafi teranestesi.
Infiltrasi obat anestesi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1) Anestesi spinal dimasukkan ke dalam cairan serebrospinal pada
ruang sub arakhnoid spinal dilakukan dengan pungsi lumbal.
Anestesi akan menyebar dari ujung prosesus sipoideus ke bagian
kaki. Posisi klien mempengaruhi pergerakan obat anestesi ke
bawah atau ke atas medula spinalis.
2) Anestesi epidural lebih aman daripada anestesi spinal karena obat
disuntikkan ke dalam epidural di luar durameter dan kandungan
anestesinya tidak sebesar anestesi spinal. Karena menghilangkan
sensasi di daerah vagina dan perineum, maka anestesi epidural
merupakan pilihan terbaik untuk prosedur kebidanan. 8
2.3.2 Anestesi Umum
1. Definisi
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan
nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Anestesi umum
biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan
ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus
bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan
lain-lain. 7
2. Tujuan
6
Anastesi umum menjamin hidup pasien, yang dapat memungkinkan
operator melakukan tindakan bedah dengan leluasa dan menghilangkan rasa
nyeri. 7
3. Syarat Ideal Anestesi Umum7
a) Memberi induksi yang halus dan cepat
b) Timbul situasi pasien tidak sadar atau tidak berespon
c) Hambat refleks-refleks
d) Timbulkan relasaxi otot skeletal, tapi bukan otot pernafasan
e) Hambat persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup
untuk terapi operasi
f) Berikan keadaan pemulian yang halus cepat dan tidak menimbulkan efek
samping obat yang berlangsung lama.
4. Indikasi Anestesi Umum9
a) Infant dan anak usia muda
b) Dewasa yang memilih anestesi umum
c) Pembedahan luas atau ekstensif
d) Penderita sakit mental
e) Pembedahan lama
f) Pembedahan dimana anestesi tidak praktis atau tidak memuasakan
g) Riwayat penderita toksik atau alergi obat anestesi local
h) Penderita dengan pengobatan antikoagulan
5. Komplikasi Anestesi9
a) Kerusakan fisik
Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi antara lain:
pembluh darah dan intubasi
Pembuluh darah
Benzodiazepine dan kanulasi vena yang lama lebih mungkin menyebabkan
tromboflebitis dan infeksi
Intubasi
Kerusakan pada bibir, gusi dan gigi geligi dapat terjadi pada intubasi
trakea
b) Pernapasan
Yang paling ditakuti adalah obstruksi saluran pernafasan akut selama atau
segera setelah induksi anestesi. Spasme laring dan penahanan nafas dapat
sulit dibedakan serta dapat timbul sebagai respon terhadap anestesi yang
ringan, terutama jika saluran pernapasan dirangsang oleh uap anestesi
iritan atau materi asing yang mencakup sekresi dan kandungan asam
lambung.
c) Kardiovaskular

7
Komplikasi kardiovaskular yang dapat terjadi antara lain hipotensi,
hipertensi, aritmia jantung dan payah jantung. Hipotensi didefinisikan
sebagai tekanan darah systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih dari
25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia
yang diakibatkan oleh perdarahan, overdosis obat anestetika, penyakit
kardiovaskular seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan
reaksisensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot dan reaksi transfuse.
Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan pemulihan anestesi.
Komplikasi hipertensi disebabkan oleh analgesia dan hypnosis yang tidak
adekuat. Sementara factor-faktor yang mencetuskan aritmia adalah
hipoksia, hiperkapnia, tindakan intubasi, gangguan elektrolit dan pengaruh
beberapa obat tertentu.
d) Hati
Penyebab hepatitis paska bedah dapat disebabkan oleh halotan. Zat
anestesi mengurangi susunan kekebalan tubuh dan membuat pasien lebih
muda terkena infeksi yang mencakup hepatitis virus. Anestesi halotan
berulang dalam interval 6 minggu mungkin harus dihalangi
e) Suhu tubuh
Akibat vasodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi menyebabkan
penururnan suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama, bisa timbul
hipotermi yang parah, yang menyebabkan pengembalian kesadaran
tertunda, pernafasan dan perfusi perifer tidak adekuat.

6. Komponen Anestesi9
Komponen anesthesia yang ideal (trias anestesi) terdiri dari:
a) Hipnotik, hipnotik didapat dari sedative, anestesi inhalasi (halotan,
enfluran, isofluran, sevofluran)
b) Analgesia, analgesia didapat dari N2O, analgesia narkotik, NSAID tertentu
c) Relaksan otot, relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangan tonus
otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan
7. Stadium Anestesi9
a) Stadium I (analgesia) dimulai dari saat pemberian zat anestesi sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan

8
pembedahan ringan seperti pencabutan gigi dan biopsy kelenjar dapat
dilakukan pada stadium ini
b) Stadium II (delirium/eksitasi, hiperfleksi) dimulai dari hilangnya
kesadaran dan refleksi bulu mata sampai pernapasan kembali teratur pada
stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut
kehendak, pasien tertawa, berteriak dan menangis, pernapasan tidak
teratur, kadang-kadang apnu dan hiperpnu, tonus otot rangka meningkat,
inkontenensia urin dan alvi serta muntah. Stadium ini harus cepat dilewati
karena dapat menyebabkan kematian
c) Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana 1: Pernapasan teratur dan spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis,
reflex cahaya ada, lakrimasi meningkat, reflex faring dan muntah
tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna
Plana 2: Pernapasan teratur dan spontan, perut dan volume dada tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak
terfiksasi ditengah, pupil midriasi, reflex cahaya mulai menurun,
relaksasi otot sedang dan reflex laring hilang sehingga dapat
dikerjakan intubasi
Plana 3: Pernapasan teratur karena otot intercostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, reflex laring dan
peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna
(tonus otot semakin menurun)
Plana 4: Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot intercostal
paralisis total, pupil sangat midriasi, refleksi cahaya hilang,
reflex spingter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot
lurik sempurna (tonus otot sangat menurun)
d) Stadium IV (paralisis medulla oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan
darah tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti dan akhirnya terjadi

9
kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi
dengan pernapasan buatan.
8. Persiapan Pre-anestesi9
a) Persiapan mental dan fisik pasien
Anamnesis
- Identitas pasien: nama, umur, alamat, pekerjaan
- Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anesthesia seperti penyakit alergi, diabetes
mellitus, penyakit paru kronik, penyakit jantung dan hipertensi, penyakit
hati dan penyakit ginjal
- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunkana dan mungkin dapat
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anesthesia
- Riwayat operasi dan anesthesia yang pernah dialami, berapa kali dan
selang waktunya, serta apakah pasien mengalami komplikasi saat itu
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi jalannya
anesthesia misalanya merokok, alcohol, obat-obat penenang atau narkotik
Pemeriksaan Fisik
- Tinggi dan berat badan untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan
yang diperlukan dan jumlah urin selama dan pasca bedah
- Kesadaran umum, tanda-tanda anemia, tekanan darah, frekuensi nadi, pola
dan frekuensi pernapasan
- Pemeriksaan saluran pernapasan: batuk-batuk, sputum, sesak nafas, tanda-
tanda sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi palsu, trismus, persendian
temporo mandibular
- Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskular, dispnu atau ortopnue,
sianos dan hipertensi
- Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat
membuat tekanan intra abdominal meningkat sehingga dapat
menyebabkan regurgitasi
Pemeriksaan Laboratorium
- Darah: Hemoglobin, leukosit, golongan darah, hematocrit, masa
pembekuan, masa perdarahan, hitung jenis leukosit
- Urin: protein, reduksi, sedimen
- Foto thorax sEKG: terutama pada pasien diatas 40 tahun karena dilakukan
adanya iskemia miokard
- Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru
- Fungsi hati pada pasien icterus

10
- Fungsi ginjal pada pasien hipertensi
- Analisis gas darah, elektrolit pada ileus obstruktif
b) Perencanaan Anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sedangkan pada operasi cito penundaan
yang tidak perlu harus dihindari
c) Merencanakan Prognosis
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seorang berasal
dari The American Society of Anesthesiologist (ASA). Klasifikasi sebagai
berikut:
ASA 1: pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia
ASA 2: pasien dengan penyakit sistemik ringan dan sedang
ASA 3: pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
ASA 4:pasien dengan penyakit sistemik berat yang tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakit merupakan ancaman kehidupan setiap
saat
ASA 5: pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E
e) Persiapan pada hari operasi
Secara umum, persiapan pembedahan antara lain:
1. Pengosongan lambung: dengan cara puasa, memasang NGT. Lama
puasa pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, bayi 2
jam (stop ASI). Pada operasi darurat, pasien tidak puasa, maka
dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi lambung
2. Pengosongan kandung kemih
3. Informed consent (surat izin operasi dan anstesi)
4. Pemeriksaan fisik ulang
5. Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesoris lainnya
6. Premediaksi secara intramuscular -1 jam menjelang operasi atau
secara intravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi
9. Premedikasi9

11
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi,
diantaranya:
a) Meredakan kecemasan dan ketakutan, misalnya diazepam
b) Memperlancar induksi anesthesia, misalnya petidin
c) Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, misalnya sulfas atropine
dan hoisin
d) Meminimalkan jumlah obat anestetik, misalnya petidin
e) Mengurangi mual-muntah pasca bedah, misalnya ondansentron
f) Menciptakan amnesia, misalnya diazepam, midazolam
g) Mengirangi isi lambung
h) Mengurangi reflex yang membahayakan misalnya trakurium, sulfas
atropine
Obat-obat premedikasi dapat digolongkan seperti dibawah ini:
a) narkotik analgesic, misalnya morfin petidin
b) transqualizer yaitu dari golongan benzodiazepine misalnya diazepam dan
midazolam. Diazepam dapat diberikan peroral 10-15 mg beberapa jam
sebelum induksi anastesi
c) barbiturat, misalnya pentobarbital, penobarbital, sekobarbital
d) antikoloinergik, misal atropine dan hoisin
e) antihistamin misal promethazine
f) antasida misal gelusil
g) H2 reseptor antagonis, misalnya cimetidine dan ranitidine. Ranitidine
diberikan 150 mg 1-2 jam sebelum operasi
10. Persiapan Induksi Anestesi9
Untuk persiapan induksi anesthesia sebaiknya kita mempersiapakan
STATICS:
S: Scope (stetoscop, laringoscop)
- Stetoskop: untuk mendengarkan suara paru dan jantung
- Laringoskop: untuk membuka mulut dan membuat area mulut lebih luas
serta melihat daerah faring dan laring, mengindentifikasikan epiglottis,
pita suara dan trakea. Ada dua jenis laringoskop, yaitu Blade lengkung
(Miler, Magill), biasa digunakan pada laringoskop dewasa dan Blade
Lurus
T: Tube (pipa endotrakeal, LMA)

12
- Pipa endotrakeal
Endotrakeal tube mengantarakan gas anestesi langsung
kedalam trakea. Endotrakeal tube dikerjakan pada pasien yang
memiliki kemungkinan kontaminasi pada jalan nafas, posisi
pembedahan yang sulit, pembedahan dimulut atau muka atau
pembedahan yang lama.
- Laringeal Mask Airway
Indikasi pemasangan LMA ialah sebagai alternative dari
ventilasi face mask atau intubasi ET. Kontraindikasi pemasangan
LMA pada pasien-pasien dengan risiko aspirasi isi lambung dan
pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik
jangka waktu lama.
LMA terdiri dari 2 macam:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standard
lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan
esophagus

A: Airway device (sarana aliran udara, misal sungkup muka, pipa


oropharing)
- Alat bantu jalan nafas orofaring (oropharingeal airway)
Alat bantu jalan nafas orofaring menahun pada pangkal lidah dari
dinding kebelakang faring. Alat ini berguna pada pasien yang masih
bernafas spontan, alat ini juga membantu saat dilakukan pengisapan
lendir dan mencegah pasien menggigit pipa endotrakeal (ETT)
- Alat bantu nafas nasofaring (nasopharyngeal airway)
Digunakan pada pasien yang menolak menggunakan alat bantu jalan
napas orofaring atau apabila secara teknis tidak mungkin memasang
alat bantu jalan napas orofaring (misalnya trismus, rahang mengatup
kuat, dan cedera berat daerah mulut)
- Sungkup muka (face mask) berguna untuk mengantarkan udara/gas
anastesi dari alat resusitasi atau system anesthesia ke jalan napas
pasien
13
T: Tape (plaster), plaster untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan
intubasi supaya tidak terlepas
I: Inducer (stilet/forceps Magil)
Stilet (mandren) digunakan untuk mengatur kelengkapan pipa
endotrakeal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi (Mc gill)
digunkaan untuk memanipulasi pipa endotrakeal nasal atau pipa
nasogastric melalui orofaring
C: Connection. Connection ialah hubungan antara mesin repirasi/anestesi
dengan sungkup muka, serta penghubung-penghubung yang lain
S: Suction. Digunakan untuk membersihkan jalan napas dengan cara
menyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
11. Induksi Anestesia9
Induksi anesthesia merupakan saat dimasukannya zat anesthesia
sampai tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan
dengan tahap pemeliharan anestesi untuk mempertahankan atau
memperdalam stadium anestesi setelah induksi
Cara pemberian anesthesia umum
a) Parenteral (intramuscular/intravena). Digunakan untuk tindakan yang
singkat atau induksi anestesi. Untuk tindakan yang lama anesthesia
parenteral dikombinasikan dengan cara lain
- Anestesia intravena
1. Profolol
Profolol dikemas dalam cairan emulsi lemak dengan kepekaan
1% (1ml=10mg). suntikan sering menyebabkan nyeri sehingga
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg IV. Dosis bolus
untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan 2-4 mg/kg/jam dan
dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2mg/kg. Profolol dapat
menurunkan tekanan darah selama induksi anestesi karena
menurunnya resistensi arteri perifer dan vasodilatasi
14
2. Ketamine
Ketamine mempunyai sifat analgesic dan anestetik. Ketamine
sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri
kepala dan mual-muntah. Dosis bolus untuk induksi intravena
ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg
3. Thiopental
Thiopental hanya dapat digunakan secara intravena dengan dosis
3-7 mg/kg. Larutan ini sangat bersifat alkalis sehingga dapat
menyebabkan nekrosis jaringan bila keluar dari vena
4. Opioid (morfin, fentanyl, petidin, sufentanil)
Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga digunakan
untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesi
digunakan fentanyl dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis
rumatan 0,3-1 mg/kg/menit
- Anestesi Intramuskular
Hanya ketamine yang dapat diberikan secara intramuscular
b) Per-rektal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.
Yang dimaksud induksi perrektal adalah thiopental atau midazolam.
Midazolam memiliki kontraindikasi dengan galukoma sudut sempit akut,
miastenia gravis, syok atau koma, intoksikasi alcohol akut dengan
depresi tanda-tanda vital, bayi premature. Efek samping dapat
menyebabkan kejadian-kejadian kardiorespirasi, fluktuasi pada tanda-
tanda vital
c) Anesthesia inhalasi
Yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi yang mudah
menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik melalui udara pernapasan.
Zat anestetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan O2) dan
kosentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya.
Tekanan parsial dalam jaringan otak akan menentukan kekuatan daya
anestesi. Zat anestetik disebut kuat bila dengan tekanan parsial yang
rendah sudah dapat memberi anestesi yang adekuat
- N2O (Nitrous Oksida) gas ini bersifat anestetik lemah. Pemberian
anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25% untuk
menghindari hipoksia difusi
- Halotan, halotan sering dikombinasikan dengan N2O pada nafas
spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 volume% dan pada nafas yang
15
dapat dikendalikan sekitar 0,5-1%. Kontraindikasi pemakaian halotan
adalah penderita gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam waktu
kurang dari 3 bulan atau pasien yang terlalu gemuk
- Enfluran, pada EEG dapat menimbulkan tanda-tanda epileptic.
Enfluran lebih iritatik dibanding halotan
- Isofluran, isofluran dapat meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intracranial, serat efek terhadap depresi jantung dan curah jantung
minimal
- Sevofluran, sevofluran memiliki efek terhadap kardiovaskular cukup
stabil dan jarang menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan
sevofluran cepat dikeluarkan oleh tubuh
12. Rumatan Anestesia9
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan
cara mengatur kosentrasi obat anestesi didalam tubuh pasien. Jika
kosentrasi obat tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam,
sebaliknya jika kosentrasi obat rendah, maka akan didapat anestesi yang
dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu
diperlukan pemantuan secara ketat terhadap indikator-indikator kedalaman
anestesi.
Rumatan intravena dengan menggunakan opioid dosis tinggi fentanyl
10-50 g/kgBB. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O
dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol atau enfluran 2-4 vol atau isofluran
2-4 vol atau sevofluran 2-4 vol tergantung pernapasan pasien spontan,
dibantu atau dikendalikan
13. Obat Pelumpuh Otot9
Fungsi obat pelumpuh otot adalah memudahkan cedera pada
tindakan laringoskop dan intubasi trakea, membuat relaksasi otot selama
pembedahan, serta menghilangkan spasme laring dan reflex jalan nafas

a) Atrakium
Merupakan obat pelumpuh atau nondepolarisasi. Keunggulan obat ini
adalah metabolisme terjadi di darah, tidak bergantung fungsi hati dan
ginjal. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular yang
bermakna. Dosis intubasi yaitu 0,5-0,6 mg/kgBB/iv, dosis relaksasi otot
yaitu 0,5-0,6 mg/kg/BB/iv dan dosis pemeliharaan 0,1-0,2 mg/kg/BB/iv
b) Suksametonium (succinyl choline)
16
Indikasi dari suksametonium adalah sebagai pelumpuh otot jangka
pendek, dosis untuk intubasi ialah 1-2 mg/kg/BB/iv
14. Teknik Anestesi9
a) Teknik anestesi spontan dengan sungkup muka
Indikasi:
- Untuk tindakan singkat (0,5-1jam)
- Keadaan umum pasien cukup baik
- Lambung harus kosong
Urutan Tindakan:
- Periksa peralatan yang digunakan
- Pasang infus
- Persiapkan obat-obat
- Induksi dapat dilakukan dengan propofol 2-2,5 mgkgBB
- Setelah induksi, sampai pasien tertidur dengan reflex bulu mata
hilang, sungkup muka ditempatkan pada muka
- N2O mulai diberikan 4L dengan 02 L/menit untuk memperdalam
anestesi, bersamaan dengan halotan dibuka sampai 1% dan sedikit
demi sedikit dinaikkan sampai 3-4% tergantung reaksi tubuh
penderita.
- Kalau stadium anestesi sudah cukup dalam, masukkan pipa orofaring
- Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% dan hentikan beberapa
menit sebelum operasi selesai
- Selesai operasi N2O dihentikan dan penderita diberi O2 beberapa
menit

b) Teknik anestesi spontan dengan pipa endotrakeal


Indikasi
- Operasi lama
- Kesulitan mempertahankan jalan napas bebas pada anesthesia dengan
sungkup muka
Urutan tindakan:
- Induksi dengan propofol
- Sungkup muka ditempatkan pada muka dan oksigen 4-6 L/menit,
kalau perlu nafas dibantu dengan menekan balon nafas secara
periodik
- Sesudah fasikulasi menghilang, pasien diintubasi
- Pipa guedel dimasukan dimulut agar pipa endotrakeal tidak tergigit.
Kemudian difiksasi dengan plester
- Mata diplester agar tidak terbuka dan kornea tidak kering
17
- Pipa endotrakeal dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat
anestesi NO2 dibuka 3-4 L/menit dan 02 2L/menit kemudian halotan
dibuka 1 vol dan cepat dinaikkan sampai 2 vol. Nafas pasien
dikendalikan dengan menekan balon nafas
- Halotan dikurangi sampai 0,5-1,5 untuk pemeliharaan anestesi
- Nafas dapat dibiarkan spontan kalau usaha nafas cukup kuat
- Kedalaman anestesi dipertahankan dengan kombinasi NO2 dan O2
masing-masing 2 L/menit, serta halotan 1,5-2 vol
c. Teknik anestesi pipa endotrakeal dan nafas kendali
- Teknik anestesi dan intubasi sama seperti diatas
- Setelah pengaruh suksinil kolin mulai habis, diberi obat pelumpuh otot
jangka panjang misalnya alkuronium dosis 0,1-0,2 mg/kgBB
- nafas dikendalikan dengan ventilator atau secara manual. Kosentrasi
halotan sedikit demi sedikit dikurangi dan dipertahankan dengan 0,5-
1%
- obat pelumpuh otot dapat diulang lagi dengan 1/3 dosis apabila pasien
tampak ada usaha mulai bernafas sendiri
- halotan dapat dihentikan setelah lapisan fasial kulit terjahit. N2O
dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit
- Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali. O2
diberi terus selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi
15. Monitoring Perianestesia9
Dalam tindakan anesthesia harus dilakukan monitoring terus
menerus tentang keadaan pasien.
a) Kardiovaskuler
- Nadi. Monitoring nadi merupakan keharusan karena gangguan
sirkulasi sering terjadi selama anestesi
- Tekanan darah
- Banyaknya perdarahan
b) Respirasi
Respirasi dinilai dari jenis nafasnya, apakah ada retraksi intercostal
atau supraklavikula
c) Suhu Tubuh
Tubuh tidak mampu mempertahankan suhu tubuh. Obat anestesi
mendepresi pusat pengatur suhu, sehingga mudah turun naik dengan
suhu lingkungan
d) Monitoring Ginjal
Untuk mngetahui keadaan sirkulasi ginjal
e) Monitoring blockade neuromuscular

18
Untuk mengetahui apakah relaksasi sudah cukup baik atau setelah
selesai anestesi apakah tonus otot sudah kembali normal
f) Monitoring system saraf
Monitoring dengan memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respon
terhadap trauma pembedahan, respon terhadap otot apakah relaksasi
cukup atau tidak
2.4 Anestesi Pada Pediatri
2.4.1 Anestesi pada Anak
Anestesi pada bayi dan anak berbeda dengan anestesi pada orang dewasa,
karena mereka bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini. Seperti pada
anesthesia untuk orang dewasa, anesthesia pada anak dan bayi khususnya harus
diketahui betul sebelum melakukan anesthesia karena alasan anesthesia pediatric
seharusnya ditangani oleh dokter spesialis anestesiologi yang sudah
berpegalaman. 6
Pemabagian pediatric berdasarkan perkembangan biologis:
1. Orok (neonatus), usia dibawah 28 hari
2. Bayi (infant), usia 1 bulan-1 tahun
3. Bayi (child), usia 1 tahun-12 tahun
Beberapa perbedaan dengan orang dewasa adalah hal-hal yang menyangkut
masalah psikologis, anatomi, fisiologi, farmakologi dan patologi
PERMASALAHAN YANG PENTING
1) Pernafasan
Frekuensi pernafasan pada bayi dan anak lebih cepat dibanding orang
dewasa. Pada bayi antara 30-40x permenit. Tipe pernapasan pada bayi ialah
abdominal, lewat hidung, sehingga gangguan pada kedua bagian ini
memudahkan timbulnya kegawatan pernafasan. 6
2) Kardio-sirkulasi
Frekuensi jantung atau nadi bayi dan anak berkisar antara 100-120
permenit. Hipoksia menimbulkan bradikardia, karena parasimpatis yang
lebih dominan. Kadar hemoglobin pada bayi baru lahir tinggi (16-20 gr%)
tetapi kemudian menurun sampai usia 6 bulan (10-12 gr%), karena
pergantian dari HbF (fetal) menjadi HbA (adult). Jumlah darah bayi secara
absolut sedikit, walaupun untuk perhitungan mengandung 90 mgBB. Karena
itu perdarahan dapat menimbulkan gangguan system kardiosirkulasi. 6
3) Suhu Tubuh
Bayi bersifat poikilotermik, karena luas permukaan tubuhnya
relative lebih luas dibanding orang dewasa. Hal ini dapat menimbulkan

19
bahaya hipotermi pada lingkungan yang dingin dan hipertermi pada
lingkungan yang panas. Disamping itu pusat pengaturan suhu
dihipotalamus belum berkembang dengan baik. 6

4) Cairan Tubuh
Bayi lahir cukup bulan mengandung relative banyak air yaitu dari
berat badan 75%, setelah berusia 1 tahun menurun menjadi 65%, setelah
dewasa menjadi 55-60%. Cairan ekstrasel bayi baru lahir adalah 40% dari
berat badan, sedangkan pada dewasa adalah 20%. 6
Kebutuhan cairan berdasarkan derajat metabolism menurut Liu:
Berat badan sampai 10 kg : 100 ml/kg24 jam
Berat badan 10kg-20kg : 1000ml+ 50 ml/kg/24 jam untuk tiap 1 kg
diatas 10 kg
Lebih dari 20 kg : 1500 ml + 20 ml/kg 24 jam untuk tiap 1 kg
diatas 20 kg
Berdasarkan kebutuhan kalori dan krbutuhan cairan dihitung dari
rata-rata pasien di Rumah Sakit, di kemukakan oleh holliday dan Segar
yaitu untuk pasien dengan berat 0-10 kg adalah 100ml/kg, untuk pasien 11-
20 kg adalah 1000ml+ 50 mm/kg, dan untuk >20 kg adalah 1500+20ml/kg.
berdasarkan berat badan, kebutuhan cairan IV perjam diekstrapolasi dari
rumus Holliday dan Segar, sehingga dalam praktek sehari-hari pada anak
paling sering digunakan 4-2-1 rule 10

Pemasangan infus pada bayi dapat dikerjakan pada beberapa lokasi,


yaitu pada vena di kepala (dengan jarum sayap), vena dipunggung tangan,
dipunggung kaki dan kalau terpaksa di vena cubiti.
2.4.2 Penerapan Anestesi Pada Pediatrik
20
1) Masa Pra-anestesi
Kunjungan pra anesthesia dilakukan sekurang-kurangnya dalam waktu
24 jam sebeleum tindakan anesthesia. Perkenalan dengan orang tua
penderita sangat penting untuk memberi penjelasan mengenai masalah
pembedahan dan anesthesia yang akan dilakukan. Pada kunjungan tersebut
kita mengadakan penilaian tentang keadaan umum, keadaan fisik dan mental
penderita. 6
2) Puasa
Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia. Lama
puasa yang dianjurkan oleh Liu sebagai berikut:
Usia Stop makanan padat atau susu Minum
cairan
- Neonatus 4jam 2jam
- 1-6 bulan 2jam
4jam
- 6 bulan- 3 tahun 6jam
- Lebih dari 3 tahun 6jam 8jam
8jam

3) Premedikasi
a. Atropin
Hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan suksinil kolin,
halotan, prostigmin atau eter. Dosis atropine yang dianjurkan ialah 0,01-
0,02 mg/kg. minimal 0,1 mg dan maksimal 0,5mg, lebih digemari
secara IV. 6
b. Penenang
Anagetika-narkotika tidak dianjurkan untuk usia sampai 1 tahun.
Diazepam 0,2-0,4 mg/kg dapat diberikan baik secara oral atau rektal.
Suntikan intramuscular atau intravena kurang disukai karena
menimbulkan nyeri. Prometasin 0,5 mg/kg dapat diberikan secara IM
atau IV pada anak-anak. Droperidol 0,15 mg/kg kadang-kadang
diberikan pada anak-anak secara IM atau IV. 6
Premedikasi secara IM diberikan 30-60 menit sebelum induksi
anesthesia sedangkan secara IV 5 menit sebelum induksi. 6

4) Masa Anestesia
a. Induksi
Induksi anesthesia pada bayi dan anak sebaiknya ada yang
membantu. Induksi diusahakan agar berjalan mulus dengan trauma yang

21
sekecil mungkin. Induksi dapat dikerjakan secara inhalasi atau
intravena.6
b. Induksi Inhalasi
Dikerjakan pada bayi dan anak yang sulit dicari venanya atau pada
yang takut disuntik. Diberikan halotan dengan oksigen atau campuran
N2O dalam oksigen 50%. Kosentrasi halotan mula-mula rendah 1 vol%
kemudian dinaikkan setiap beberapa kali bernafas 0,5 vol% sampai tidur.
Sungkup muka mula-mula jaraknya beberapa sentimeter dari mulut dan
hidung, kalau sudah tidur baru dirapatkan ke muka penderita. 6
c. Induksi Intravena
Dikerjakan pada anak yang tidak takut pada suntikan atau pada
mereka yang sudah terpasang infus. Induksi intravena biasanya dengan
tiopenton (pentotal) 2-4 mg/kg pada neonatus dan 4-7 mg/kg pada anak.
Induksi dapat juga dengan ketamine 1-2 mg/kg IV. Kadang-kadang
ketamine diberikan secara IM. 6
5) Intubasi
Laringoskopi pada bayi dan anak tidak membutuhkan bantal kepala.
Kepala bayi terutama neonatus oksiputnya menonjol. Dengan adanya
perbedaan anatomis pada ajalan nafas bagian atas, lebih muda menggunakan
laringoskop dengan bilah lurus pada bayi. 6
Intubasi dalam keadaan sadar dikerjakan pada keadaan gawat atau
diperkirakan akan menjumpai kesulitan. Beberapa penulis menganjurkan
intubasi sadar pada neonatus usia kurang dari 10-14 hari. Hati-hati terhadap
hipertensi dan meningginya tekanan intrakranial yang mungkin dapat
menyebabkan perdarahan dalam otak akibat laringoskopi dan intubasi. 6
Lebih digemari intubasi sesudah tidur dengan atau tanpa pelumpuh
otot. Kalau tidak menggunakan pelumpuh otot, bayi atau anak ditidurkan
sampai dalam lalu diberikan analgesia topical baru dikerjakan intubasi. 6
Dengan pelumpuh otot digunakan suksinil-kolin dosis 2 mg/kgBB
secara intravena setelah bayi atau anak tidur. Pipa trakea pada bayi dan anak
dipakai yang tembus pandang tanpa cuff. Untuk usia diatas 5-6 tahun boleh
dengan cuff pada kasus-kasus laparatomi atau jika ditakutkan akan terjadi
aspirasi. 6
Secara kasar ukuran besarnya pipa trakea sama dengan besarnya jari
kelingking atau besarnya lubang hidung. Bayi premature menggunakan pipa
bergaris tengah 2.0-3.0 mm, bayi cukup bulan 2.5-3.0 mm. Sampai 6 bulan
22
4.0 mm dan sampai 1 tahun 4,5 mm. Untuk usia diatas 1 tahun digunakan
rumus sebagai berikut: 6
Pilihlah pipa trakea yang paling besar yang dapat masuk dengan
sedikit longgar dan pada tekanan inspirasi 20-25 cm H2O terjadi sedikit
kebocoran. Dianjurkan menggunakan pipa mulut faring untuk fiksasi pipa
trakea supaya tidak terlipat. Intubasi hidung tidak dianjurkan, karena dapat
menyebabkan trauma, perdarahan adenoid dan infeksi. 6
6) Pemeliharaan Anestesi
Anestesi neonatus sangat dianjurkan dengan intubasi dan nafas
kendali. Penggunaan sungkup muka dengan nafas spontan pada bayi hanya
untuk tindakan ringan yang tidak lama. 6
Gas anestetika yang umum digunakan adalah N2O dicampur dengan
O2 perbandingan (0-65%) dan (35-100%). Walaupun N2O mempunyai sifat
analgesia kuat, tetapi sifat anestetikanya sangat lemah. Karena itu sering
dicampur dengan halotan, enfluran atau isofluran. 6
Narkotika hanya diberikan untuk usia diatas 1 tahun atau pada berat
diatas 10 kg. Morfin dengan dosis 0,1 mg/kg atau petidin dosis 1-2 mg/kg.
Pelumpuh otot non depolarisasi sangat sensitive, karena itu harus diencerkan
dan diberikan secara sedikit demi sedikit. 6

Pelumpuh otot Dosis awal Dosis ulang Lama kerja


Tubokurarin
Gallamin 0,2-0,6 mg/kg 0,2 mg/kg 30 menit
Alkurnium 1-3 mg/kg 1 mg/kg 20 menit
Pankuronium 0,15-0,20 mg/kg 0,20 mg/kg 30 menit
0,04-0,07 mg/kg 0,04 mg/kg 30 menit

7) Infus
Banyaknya cairan yang harus diberikan per infus sesuaikan dengan
banyaknya cairan yang hilang. Untuk bedah kecil, ringan dengan perdarahan
yang sangat minimal tidak diperlukan terapi cairan. apalagi segera setelah
pembedahan diperbolehkan minum. Walaupun demikian diperlukan jalur
vena terbuka untuk memasukkan obat-obattan pada waktu anesthesia, atau
kalau diperlukan infus segera dapat diberikan. Biasanya dipasang semprit
berisi NaCl fisiologis dengan jarum sayap. 6

23
Terapi cairan dimaksudkan untuk mengganti cairan yang hilang pada
waktu puasa, pada waktu pembedahan (translokasi), adanya perdarahan dan
oleh sebab-sebab lain misalnya adanya cairan lambung, cairan fistula dan
lain-lainnya. 6

Besarnya cairan yang hilang akibat trauma bedah atau anesthesia


yang harus diganti menurut Lockhart:

Klasifikasi pembedahan Pembedahan Cairan hilang


Kecil
Ringan Kraniotomi 0ml/kg/jam
Sedang Hernia inguinalis 2ml/kg/jam
Besar Torakotomi 4ml/kg/jam
Obstruksi Usus 6ml/kg/jam

Cairan yang seharusnya masuk, karena puasa harus diganti.


Misalanya puasa 6 jam harus diganti 25% dari kebutuhan dasar 24 jam
Cara menggantinya sebagai berikut:
- Pada jam I diberikan 50% nya
- Pada jam II diberikan 25% nya
- Pada jam III diberikan 25% nya
Cairan hilang akibat perdarahan yang kurang dari 10% diganti
dengan cairan kristaloid dalam dekstrosa, misalnya cairan dekstrosa 5%
dalam Ringer-Laktat. 6

8) Transfusi
Banyaknya perdarahan dapat diperkirakan dengan:
1. Mengukur darah dalam botol penyedot, menimbang kain kasa sebelum
dan sesudah kena darah dengan bantuan kolorimeter. Jumlahkan
keduanya kemudian tambahakan 25% untuk darah yang sulit dihitung
misalnya yang menempel di tangan pembedah, yang melengket di kain
penutup dan lain-lain. 6
2. Mengukur hematocrit secara serial
Perdarahan melebihi 10% pada neonatus harus diganti dengan darah. 6
9) Peralatan Anestesia
Peralatan anesthesia pediatric bersifat khusus, apalagi untuk teknik
anetesi spontan. Tahanan terhadap aliran gas harus serendah mungkin, ruang
ruginya sekecil mungkin, anti obstruksi, hendaknya ringan dan mudah
dipindah-pindah. 6

24
Untuk anesthesia yang lama, kalau mungkin gas-gas anestetikanya
dihangatkan dan dilembabkan. Peralatan anesthesia yang digunakan ialah
system Jackson-Ress modifikasi dari system T dari Ayre, system Bain
khusus untuk bayi dan anak dan di Amerika dengan sitem tertutup khusus
bayi. 6
10) Pemantauan
Pernafasan : stetoskop precordial/esofagial, tekanan jalan nafas, kadar O2,
kadar CO2, nafas spontan, gerak balon anesthesia, dada,
warna ekstremitas
Sirkulasi : stetoskop precordial/esophagus, cuff kecil husus untuk tensi,
oksilometer, langsung (dengan transduser0, CVP umbilical,
jugular interna, EKG lead 2
Suhu : rektal, esophagus, nasofaring
Perdarahan : isi dalam botol penyedot, menimbang berat kasa berdarah,
periksa hemtokrit secara serial.
Air kemih : isi dalam kantong air kemih 6

11) Pengakhiran Anestesi


Setelah pembedahan selesai, obat anestetika dihentikan
pemberiannya. Berikan zat asam murni 5-15 menit. Bersihakan rongga
hidung dan mulut dari lender kalau perlu. 6
Kalau menggunakan pelumpuh otot, netralkan dengan progstigmin
(0,04 mg/kg) dan atropine (0,02 mg/kg). Depresi nafas oleh narkotika-
analgetika netralkan dengan naloksoin 0,2-0,4 mg secara titrasi. 6
Ekstubasi pada bayi dikerjakan kalau bayi sudah sadar benar,
anggota badan bergerak-gerak, mata terbuka, nafas spontan adekuat.
Ekstubasi dalam keadaan anesthesia ringan, akan menyebabkan batuk-batuk,
spasme laring atau bronkus. Ekstubasi dalam keadaan anesthesia dalam
digemari karena kurang traumatis. Dikerjakan kalau nafas spontannya
adekuat, keadaan umumnya baik dan diperkirakan tidak akan menimbulkan
kesulitan pasca intubasi. 6
12) Perawatan di ruang Pulih
Setelah selesai anesthesia dan keadaan umum baik, penderita
dipindahkan keruang pulih. Disini diawasi seperti dikamar bedah, walaupun
kurang intensif dibandingkan dengan pengawasan sebelumnya. Untuk
memindahkan penderita ke ruangan biasa dihitung dulu. 6
Skornya menurut Lockhart:

25
Yang dinilai Nilai
1. Pergerakkan
- Gerak bertujuan
- Gerak tak bertujuan 2
- Diam 1
2. Pernafasan 0
- Teratur, batuk, menangis
- Depresi 2
- Perlu dibantu 1
3. Warna 0
- Merah muda (pink)
- Pucat 2
- Sianosis 1
4. Tekanan Darah 0
- Berubah 20%
- Berubah 20%-30% 2
- Berubah lebih 30% 1
5. Kesadaran 0
- Sadar penuh
- Bereaksi 2
- Tak bereaksi 1
0

Jumlah keseluruhan skor diatas 8, maka penderita boleh pindah ke ruangan

26
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : An. J. T
Umur : 2 tahun
Alamat : Sentani
BB : 14 Kg
TB : 70 cm
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan :-
Suku bangsa : Wamena
Ruangan : Ruang Bedah Wanita
Tanggal masuk rumah sakit : 15 Maret 2015
Tanggal operasi : 18 Maret 2015

3.2 Anamnesis
Dilakukan anamnesis secara heteroanamnesis (ibu pasien)
Keluhan utama:
Bibir sumbing

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Umum Daerah Mulia dengan diagnosis
Labiopalatiskisis. Pasien diantar oleh orangtuanya ke polik bedah Rumah Sakit Umum
Daerah Dok II dengan keluhan bibir sumbing. Bibir sumbing pada pasien sudah
dialami dari lahir. Namun orangtua pasien menyangkal tidak mengalami kesulitan
dalam makan dan minum pada pasien. Alasan orangtua pasien membawa pasien
berobat agar bibir pasien tidak sumbing lagi. Pasien merupakan anak kedua dari dua
bersaudara. Orangtua pasien mengatakan selama hamil control teratur di Puskesmas
Nabire dan di USG 2 kali oleh dokter pada umur kehamilan 7 dan 8 bulan, namun kata
dokter yang melakukan USG bayi dikandungan dalam keadaan baik. Orangtua pasien
menyangkal bahwa dalam keluarga tidak ada yang mengalami sakit seperti pasien.

Riwayat penyakit dahulu :


27
Penyakit jantung (-), riwayat operasi (-), alergi obat (-)
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital
Nadi : 88 x/m
Respirasi : 24 x/m
Suhu badan : 36,8 0C
Kepala : Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, terlihat adanya
labiopalatoskisis
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Paru : simetris, retktraksi (-), suara napas vesikuler, rhonki (-),
wheezing (-)
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-)
Abdomen : datar, supel, bisung usus (+), hepar dan lien tidak teraba membesar
Ekstremitas : akral hangat, edema (-)
Status Anestesi
PS ASA : II
Hari/Tanggal : Jumat, 18/03/2015
Ahli Anestesiologi : dr. DW, Sp. An,KIC
Ahli Bedah : dr. J.G. Sp.B
Diagnosa Pra Bedah : Labiopalatoskisis
Diagnosa Pasca Bedah : Labioplasti
TTV : N: 99 x/m; T : 36,7 0C
B1 : airway bebas, retraksi (-), gerak dada simetris, suara
nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, RR : 30
x/m
B2 : Perfusi : hangat, kering, merah. Capillary Refill Time <
2 detik, BJ : I-II regular, konjungtiva anemis -/-, nadi :
99x/m
B3 : Kesadaran composmentis, GCS E4V5M6 , refleks cahaya
+/+, refleks kornea +/+
B4 : Terpasang pampers, urin 100cc, warna kuning jernih
B5 : Perut datar, mual (-), muntah (-), bising usus (+), nyeri
tekan (-)
B6 : Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-)
28
Medikasi pra bedah : 1. Ketamin 5ml (IM)
2. Sedacum 2,5ml (IM)
3. Fentanyl 25 mcg (IV)
4. Petidin 0,5 ml (IV)
5. Tramus 0,5 ml (IV)
Jenis Pembedahan : Labioplasti
Lama Operasi : 11.35 12.25 WIT
Jenis Anestesi : Anestesi General
Anestesi dengan : Sevofluran + 02
Teknik Anestesi : Pre oksigenasi 5, induksi IV, intubasi apnu 4,5 mm,
cuff (+), SC sistem
Pernafasan : Spontan
Posisi : Terlentang
Infus : Tangan kiri, IV line abocath 22 G, cairan RL
Penyulit Pembedahan :-
TTV Pada Akhir : N:132x/m; SB:37,40C; RR : 33x/m
Pembedahan
Medikasi : Durante Operasi:
- Fentanyl (25 mcg)
- Antrain `
- Recofol (3 ml)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap 8 Maret 2015 Nilai Rujukan
Hemoglobin 13,9 g/dl 13,3-16,6 g/dl
Leukosit 13,800/mm3 3,370-8,380 /mm3
Trombosit 308.000/mm3 172.000-378.000 /mm3
aPTT 28,5 24,8-34,4 detik
PTT 10,6 9,0-12,6 detik
Pemeriksaan Foto Rontgen

29
Pemeriksaan Foto Klinis

Sebelum Dilakukan Operasi Sesudah Dilakukan Operasi

3.4 Observasi Durante Operasi


Observasi Heart Rate
140
120
100
80
60 Column3

40
20
0
11 11.15 11.3 11.45 12 12.15 12.3

Gambar. Diagram Observasi Heart Rate

30
Balance Cairan
Waktu Input Output
Pre operasi RL : 200 cc Urin : 100cc

Urin : 50cc
Durante
RL : 300cc Perdarahan : 50 cc
operasi

Total 500 cc 200 cc


Balance cairan: input output = 500 200 cc = 300 cc
`
3.5 Resume
Seorang anak laki-laki berumur 2 tahun datang diantar oleh orangtuanya dengan
rujukan dari RSUD Mulia dengan diagnosis labiopalatoskisis. Pasien datang dengan
keluhan bibir sumbing. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit
13.800/mm3
Pasien akhirnya menjalani operasi palatoskisis pada tanggal 18 Maret 2015
dengan anestesi umum menggunakan obat premedikasi dan medikasi, dan menjalani
operasi selama 1 jam 20 menit.

BAB IV
PEMBAHASAN
1.1 Pre Operatif
Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien merupakan pasien laki-laki, 2 tahun,
merupakan pasien pediatri yang mengalami bibir sumbing dari lahir. Berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan,
diketahui pasien menderita labiopalatoskisis.
Pasien ditetapkan pada klasifikasi PS ASA 2 disebabkan pasien dengan penyakit
sistemik ringan dimana selain adanya labiopalatoskisis didapatkan juga adanya
leukositosis (13.800/mm3).
Pada kasus ini (labioplasti), dilakukan penilaian status dan evaluasi status
generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang (pemeriksaan laboratorium) untuk
mengoreksi kemungkinan adanya gangguan fungsi organ yang mengancam serta
mempersiapkan darah untuk transfusi untuk mengantisipasi adanya perdarahan pada
pasien. Selain itu, pasien dipuasakan selama 8 jam sebelum dilakukan operasi.

31
1.2 Durante Operasi
Anestesi umum dipilih menjadi pilihan anestesi berdasarkan atas indikasi
anestesi umum sendiri adalah untuk infant dan anak usia muda. Pada kasus ini,
penderita merupakan pasien anak-anak (pediatric) yang tidak kooperatif, memiliki
stress psikis, stress fisik, juga untuk menjamin kenyamanan selama operasi dan akan
dilakukan tindakan bedah pada daerah wajah (pro labioplasti) sehingga anestesi umum
merupakan pilihan yang tepat. Dimana pasien dibuat tidak sadar dengan anestesi umum
agar operator (ahli bedah) mudah melakukan tindakan.
Pada kasus ini dilakukan pemberian premedikasi kurang lebih 5 menit sebelum
dilakukan induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
membangun reaksi anestesi itu sendiri, diantaranya yaitu meredakan kecemasan dan
ketakutan pada pasien yaitu dengan pemberian sedacum. Memperlancar induksi
anestesi pada pasien dengan diberikannya petidin. Merelaksasikan otot, untuk
mengurangi tegangan tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan
dengan diberikannya tramus. Pada kasus ini merupakan pasien pediatric yang pada saat
memasuki ruang operasi sudah ketakutan hebat, dengan pemberiannya premedikasi
diatas, tim anestesi dengan mudah melakukan induksi anestesi.
Pemilihan anestesi inhalasi (sevofluran + O2) pada kasus ini dikarenakan
penangkapan gas-gas anestesi pada anak-anak lebih cepat dibanding orang dewasa
karena proporsi jaringan pembuluh darahnya lebih banyak dan ekskresi induksi
inhalasi pada anak-anakpun lebih cepat dibandingkan orang dewasa. Selain itu tim
anestesi dapat dengan mudah mengontrol respirasi induksi inhalasi pada monitor. Pada
pasien ini juga diberikan induksi inhalasi sevofluran karena memiliki efek terhadap
kardiovaskular cukup stabil. Dan setelah pemberian sevofluran dihentikan maka cepat
dikeluarkan oleh tubuh. Pada kasus ini juga diberikan medikasi propofol, dimana
pemberian propofol ini bertujuan pada tekhnik anestesi yang dilakukan yaitu teknik
anestesi spontan dengan pipa endotrakeal. Pemberian propofol pada teknik ini
diharapkan pasien tertidur dengan reflex bulu mata hilang hingga mempermudah
dikakukan intubasi.
Pada pasien ini diberikan medikasi durante operasi yaitu fentanyl 25mcg dan
antrain secara intravena. Indikasi pemberian fentanyl adalah sebagai anesthesia
rumatan untuk menjaga kedalaman anestesi dengan cara mengatur kosentrasi didalam

32
tubuh pasien. Indikasi pemberian antrain durante operasi yang bekerja sebagai
analgesik bertujuan untuk meringankan rasa sakit.
1.3 Terapi dan Resusitasi Cairan
Kebutuhan cairan untuk pasien ini dengan BB 14 kg, yang kemungkinan
mengalami defisit cairan akibat puasa 8 jam serta adanya perdarahan yang terjadi
selama pembedahan dapat dilakukan terapi cairan dengan perhitungan sebagai berikut :
a. Praoperasi
Defisit cairan karena puasa 8 jam adalah 400cc. diadapat dari Rumus
Holliday dan Segar, yaitu:
10kg x 100cc= 1000cc
4 kg x 50 cc = 200 cc
= 1200cc/24jam
= 50cc/jam = 400cc/8 jam
Dan urin yang didapatkan praoperasi sebanyak 100 cc

b. Durante Operasi
Pasien dilakukan operasi selama 1 jam 20 menit atau (1,5 jam). Maka
Maintenancenya adalah 75 cc/1,5 jam. Didapatkan dari Holliday ddan Segar,
yaitu:
10kg x 100cc= 1000cc
4 kg x 50 cc = 200 cc
= 1200cc/24jam
= 50cc/jam = 75 cc/1,5jam
Untuk Replacement, yaitu cairan yang mengalami translokasi selama
pembedahan operasi bedah kecil (2cc), jadi:
2ccxBBx1,5jam
2ccx14x1,5 jam= 42 cc.
Dan EBV (Estimate Blood Volume) adalah 85 x BB 45 x 14kg =
1190cc. kemudian perdarahan pada pasien ini sebanyak 50 cc.
Jadi untuk mencari EBL ( Estimate Blood Lose) adalah perdarahan/ EBV x
100% 50/1190 x 100% = 4% 4% x EBV 4% x 1190= 47,6cc = 50cc.
Presentase EBL < 10% menggambarkan bahwa pasien tidak pelu dilakukan
transfuse darah.
Kebutuhan cairan karena perdarahan, dapat diganti dengan cairan
kristaloid 2-3 x EBL 2-3 x 50cc = 100-150 cc.

Pada kasus ini, pasien mengalami kehilangan cairan akibat puasa selama 8 jam
sebanyak 400 cc ditambah output (urin) sebanyak 100 cc. Total cairan yang harus

33
diganti selama pre op sebanyak 500 cc, sedangkan cairan yang didapatkan pasien
sebanyak 200 cc. Sehingga cairan yang masih perlu diganti yaitu sebanyak 300 cc.
Selama durante operasi, cairan maintenance untuk pasien ini yaitu sebanyak 75
cc. Sedangkan untuk cairan replacement (dengan operasi bedah kecil selama 1 jam 20
menit) dibutuhkan cairan sebanyak 42 cc. Adanya perdarahan yang terjadi yaitu
sebanyak 50 cc. Maka total cairan yang harus didapatkan pasien ini yaitu 75 cc + 42 cc
+ 50 cc + 50 cc = 217 cc. Sedangkan cairan yang diperoleh sebanyak 300 cc. Sehingga
kelebihan cairan durante operasi yaitu 83 cc.
Total kekurangan cairan yang harus diganti selama pre op sebanyak 300cc dan
kelebihan durante op yaitu sebanyak 83cc. Sehingga kekurangan cairan pada pre op
yang harus digantikan adalah 217 cc.

34
BAB V

PENUTUP

1 Kesimpulan
a. Klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA 2 karena merupakan
pasien pediatrik berumur 2 tahun dengan gangguan sistemik ringan, dimana
adanya labiopalataskisis didapatkan juga adanya leukositosis (13.800/mm3)
b. Pada kasus ini dipilih anestesi umum berdasarkan atas indikasi anestesi umum itu
sendiri yaitu, pasien merupakan pasien pediatric
c. Pada kasus ini dilakukan premedikasi, dimana premedikasi berguna untuk
meredakan kecemasan dan ketakutan pada pasien itu sendiri serta memperlancar
induksi anestesi.
d. Pada realita kebutuhan cairan yang diberikan selama operasi kurang yaitu 217cc

2 Saran
a Perlu dilakukan masa praanestesi (kunjungan pra anestesi yang dilakukan
sekurang-kurangnya dalam waktu 24 jam sebelum tindakan anestesi, agar dapat
memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesi yang
dilakukan, serta dapat dilakukan juga penilaian keadan umum, fisik dan mental
penderita.
b Pada kebutuhan cairan yang diberikan selama operasi agar lebih harus
diperhatikan saat melakukan observasi agar pasien tidak terjadi kekurangan
cairan agar mencegah terjadinya dehidrasi.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismanti R. 2012. Tesis Pengalaman Ibu dalam Memberi Nutrisi Pada Anak dengan
Malformasi Fasial di Rumah Sakit Umum Serang. Jakarta: Fakultas Ilmu
Keperawatan Program Magister Keperawatan Universitas Indonesia. Di akses
tanggal 19 Maret 2016. URL: http://lib.ui.ac.id/20297802-T29788%2520-
%2520pengalaman%2520ibu.pdf
2. Mangku, Gde, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta : PT
Indeks
3. Behrman R.E, Kliegman R.M, Arvin A.M. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi
15 Vol. 2. Jakarta: EGC
4. Pohan F. 2012. Cleft Lip (Labioschisis). Medan: Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara. Di akses tanggal 19 Maret 2016. URL:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31860/4/chapter%252011.pdf
5. Behrman R.E, Kliegman R.M, Arvin A.M. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi
15 Vol. 1. Jakarta: EGC
6. Muhiman M, Thaib M.R dkk. 2004. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi
dan Terapi FKUI
7. Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik (Basic Clinical
Pharmacology). Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: Salemba Medika
8. Utoyo. 2015. Pengaruh Penyinaran Infra Merah terhadap Waktu Flatus pada
Pasien Post SC dengan anestesi Spinal di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan.
Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang. Di akses
tanggal 19 Maret 2016. URL:
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/154/jtptunismus-gdl-utoyonimg2-7663-3-
babii.pdf
9. Edward morgan et al. 2006. Clinical Anesthesiology Fourth Edition. McGraw-Hill
Companies.
10. Peter J. Davis. 2010. Perioperative Crystalloid and Colloid FluidManagement in
Children: Where Are We and How DidWe Get Here? Vol 110. No. 2. Departments of
36
*Anesthesiology, and Pediatrics, University of North Carolina, Chapel Hill, North
Carolina; and Department of Anesthesiology, Childrens Hospital of Pittsburgh of
UPMC, Pittsburgh, Pennsylvania

37

Anda mungkin juga menyukai