Anda di halaman 1dari 14

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK DAERAH PERUMAHAN DENGAN

KESEHATAN MENTAL ANTARA PRIA DAN WANITA DI BELGIA

Abstrak

Tujuan : Akhir akhir ini, telah berkembang ketertarikan pembahasan mengenai hubungan
antara beberapa faktor kontekstual dengan kesehatan seseorang. Muncul pertanyaan mengenai
apakah gangguan kesehatan mental yang sangat bervariasi berhubungan dengan karakteristik
sosial ekonomi perumahan seseorang. Penelitian ini juga menggaitkannya dengan jenis kelamin
seseorang (gender).

Metode : Keluhan depresi dan ansietas secara umum dinilai dengan menggunakan subskala
berdasarkan gejala yang relevan yaitu menggunakan Checklist 90 (revisi). Model multilevel yang
diperkirakan dalam penelitian ini diukur dengan PASW statistic 18 berdasarkan keunikan data
penelitian, penelitian ini juga menggunakan penggabungan data dari The Belgia Health Interview
Survey dari tahun 2001 dan 2004, dengan data dari 264 kota yang berasal dari Badan Statistika
Belgia dan Lembaga Survei Sosial Ekonomi.

Hasil utama yang didapatkan : Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pengangguran
berhubungan dengan keluhan depresi pada wanita.

Pengantar

Epidemiologi tentang kesehatan mental telah memberikan kontribusi yang luas terhadap
penyakit penyakit global. Di Negara Negara berkembang dengan tingkat penghasilan yang
tinggi, depresi adalah masalah kesehatan yang paling utama. Karena tingginya prevalensi
gangguan mental ini, penting kiranya dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor faktor yang
mempengaruhi kesehatan mental. Saat ini penelitian di Belgia mengenai faktor faktor yang
mempengaruhi kesehatan mental sedang menarik untuk diperhatikan. Namun, penelitian
internasional lainnya juga telah menunjukkan bahwa kesehatan seseorang bervariasi sesuai
dengan daerah perumahannya. Penelitian di Inggris, Belanda, Kanada, Swedia dan Amerika
Serikat menunjukkan bahwa sebagian perbedaan perbedaan ini dapat dikaitkan dengan efek
kontekstual. Penelitian di Negara lain akan digunakan sebagai acuan dalam penelitian yang
mempelajari tentang hubungan antara faktor faktor konteksual dengan gejala kesehatan mental
pada populasi di Belgia.

Beragamnya karakteristik sosial ekonomi dari daerah perumahan seseorang telah


dipikirkan merupakan faktor yang mempengaruhi kesehatan mental penduduk. Kondisi
lingkungan sosial seseorang juga merupakan salah satu dampak dari status sosial ekonomi
seseorang. Sosial ekonomi seseorang dinilai berdasarkan tingkat pengangguran dan pendapatan
daerah secara umum. Tingkat pengangguran dapat diperkirakan sebagai sumber stres seseorang
karena mencerminkan kondisi pekerjaan seseorang saat ini dan yang akan datang. Sedangkan
pendapatan daerah berkaitan dengan pendapatan seseorang yang juga mempunyai dampak
negatif pada kesehatan seseorang dan juga dapat memperkirakan tingkat kekurangan pendapatan
yang didapat seseorang.

Faktor lain yang diperhatikan juga memiliki dampak pada kesehatan mental adalah faktor
karakteristik struktural, faktor gangguan dan stres lingkungan serta faktor tekanan sosial. Faktor
utama yang diambil oleh penelitian ini adalah faktor stres sosial sesuai dengan penelitian
terdahulu oleh Ross dkk. Dalam penelitian ini, penulis mencoba mencari hubungan antara stress
kronis dengan kesehatan mental seseorang. Beberapa teori mengenai hal ini antara lain teori
Pearlin mengenai Ambient Stain berpendapat bahwa lingkungan sosial penduduk berpeluang
mengakibatkan stress kronik pada penduduk yang dapat merugikan kesehatan mentalnya. Teori
lain dari Turner dkk menekankan bahwa stres kronis, seperti hidup dalam kondisi kesulitan
ekonomi menimbulkan perbedaan kelompok sosial sehingga berkontribusi untuk kesehatan
mental penduduk. Faktor kedua mengacu pada tekanan psikologis dimana menurut Kawachi dan
Berkman adanya gubungan antara gangguan internal seseorang dengan munculnya keluhan
depresi dan ansietas. Faktor ketiga adalah adanya moderator yang mempengaruhi hubungan
antara stres dan tekanan. Moderator adalah sumber daya yang memobilisasi orang untuk
mengatur efek dari stres. Dukungan sosial adalah peredam stress yang utama, hal itu
mempengaruhi cara orang memandang stres dan dapat membantu mencegah tekanan psikologis.

Berdasarkan tujuan dari penelitian ini, faktor stres sosial menghasilkan dua hipotesis
yang menarik. Hipotesis pertama adalah bahwa variasi dari kesehatan mental seseorang dapat
dijelaskan berdasarkan perbedaan dalam kerentanan terhadap stres lingkungan, apakah stress
tersebut berefek positif atau negatif bagi dirinya. Hipotesis kedua adalah bahwa adanya
perbedaan terhadap dukungan seseorang untuk membantu mengatasi stress. Penelitian ini akan
menyoroti perbedaan antar gender, karena beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
daerah perumahan lebih mempengaruhi kesehatan perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Namun, dari data empiris yang ada hal tersebut tidak begitu konsisten. Dari dua hipotesis
tersebut dapat dirumuskan dua bahasan mengenai perbedaan gender yang pertama mengenai
kerentanan, dapat disimpulkan bahwa lebih mudah bagi perempuan untuk mengatasi kehilangan
pekerjaan dan kekurangan pendapatan, karena adanya peran keluarga yang dapat memberikan
dorongan sosial. Kedua, mengenai efek dukungan sosial, Belle menunjukkan bahwa perempuan
lebih peka terhadap dukungan sosial selama periode stres dibandingkan laki-laki. Pria hanya
mencari dukungan dari pasangan mereka, sedangkan wanita jauh lebih mungkin untuk
mengandalkan anak mereka, kerabat dekat, atau teman sebagai kepercayaan mereka.

Pada penelitian sebelumnya telah pula dijelaskan beberapa faktor risiko yang dapat
mempengaruhi kesehatan mental seseorang seperti status sosial ekonomi termasuk kemiskinan,
pengangguran, pendidikan seseorang dapat berdampak pada kesehatan mental seseorang jika
individu tersebut tidak dapat mengatasi dan melawan faktor risiko tersebut. beberapa penelitian
internasional lainnya, menunjukkan hubungan tingginya prevalensi depresi di kalangan remaja
dan senior. Selain itu, jenis rumah tangga memiliki dampak seperti orang orang yang memiliki
pasangan, menikah ataupun kumpul kebo menurunkan dampak dari tekanan mental. Tingkat
kependudukan suatu daerah juga merupakan suatu stressor yang dapat berkaitan dengan
timbulnya gangguan mental pada penduduk.

Singkatnya, penelitian ini akan mempelajari tentang hubungan antara karakteristik sosial
ekonomi dari daerah perumahan penduduk dengan keluhan depresi dan ansietas di antara
populasi umum Belgia. Pertanyaan penelitian adalah apakah jumlah keluhan depresi dan ansietas
berbeda menurut tingkat pengangguran dan tingkat pendapatan daerah, serta karakteristik
individu khususnya pola gender. Penelitian ini juga mempertanyakan apakah kesehatan mental
perempuan lebih dipengaruhi oleh karakteristik daerah perumahannya. Oleh karena itu, pada
penelitian kali ini penulis menerapkan tes konservatif. Karakteristik sosial ekonomi yang dapat
ditinjau dari daerah perumahan dan dukungan sosial individu tersebut juga menjadi fokus
perhatian pada penelitian ini. Penulis berhipotesis bahwa perempuan kurang rentan terhadap stres
sosial-ekonomi dan bahwa perempuan lebih dapat mengatasi stress tersebut karena dukungan
sosial untuk mereka, dibandingkan dengan rekan rekan pria mereka.

METODE

Sampel

Sampel yang sesuai dengan variabel pada penelitian ini diperoleh dari The Health
Interview Survey (HIS). Tujuan dari HIS adalah untuk mengumpulkan informasi tentang status
kesehatan fisik dan mental dan penggunaan pelayanan kesehatan preventif dan kuratif. Survei ini
akan memungkinkan para peneliti untuk mendeteksi demografis, gradien sosio-ekonomi dan
budaya dalam berbagai aspek kesehatan.

Pengumpulan data ini diselenggarakan oleh Institut Ilmiah Kesehatan Masyarakat,


pemilihan sampel berdasarkan pada cara multistage stratified cluster dimana secara geografis
daerah perumahan dipilih sesuai dengan kode kota mereka. Tersedia data cross-sectional yang
mewakili populasi Belgia berusia lebih tua dari 15 tahun dalam suatu perumahan kolektif dan
pribadi dengan perbandingan sampel orang tua di HIS tahun 2004. Sampel tidak mencakup
individu yang dirawat di RS Jiwa atau sedang di penjara, kecuali individu/lansia yang hidup di
panti jompo. Karakteristik rumah tangga atau perumahan dinilai berdasarkan melalui kuesioner
tertulis, diisi oleh satu orang dalam satu rumah. Karakteristik individu dinilai melalui kuesioner
lisan dan / atau tertulis diberikan kepada anggota rumah tangga terpilih.

Dalam penelitian ini merupakan data dari dua periode/gelombang, dilakukan selama
tahun 2001 (N = 12,111) dan 2004 (N = 12,945), dari Survei Nasional Wawancara Rumah
Tangga Belgia (the Belgian National Household Interview Survey) dikumpulkan untuk
memperbesar jumlah kasus. Tingkat respon di rumah tangga adalah 61,4% untuk kedua sampel.
Setelah mengeluarkan sampel yang tidak sesuai dengan kriteria penelitian ini, total sampel dalam
penelitian tentang keluhan depresi meliputi 18.174 responden. Sampel dengan keluhan ansietas
terdiri dari 18.109 responden. Ini merupakan penduduk laki-laki 47,3% dan penduduk
perempuan 52,7%. Data pada tingkat individu digabung dengan data daerah tingkat perumahan
yang diperoleh dari Badan Statistika Belgia dan survei sosial ekonomi Umum pada tahun 2001,
berdasarkan kode kota. Survei yang kedua adalah wajib bagi semua penduduk Belgia yang
sebelumnya dilakukan sensus. 20% dari data dapat diperoleh untuk penelitian ini. Secara
keseluruhan, terdapat 264 kota, yang merupakan 44,8% dari total jumlah kota di Belgia (589)
dengan jumlah minimum penduduk 2.219 dan maksimum 447.139.

Variabel Dependen

Hasil kesehatan mental diukur dengan menggunakan sub-skala yang relevan berdasarkan
Gejala yaitu Checklist-90 yang telah direvisi. Alat ini dipakai karena dapat mempertimbangkan
sesuatu yang berbeda dari faktor psikopatologi individu. Penelitian ini membahas keluhan
depresi dan ansietas, dimana keluhan depresi mengacu pada perasaan sedih, rendahnya tingkat
energi, perasaan bersalah, harga diri rendah, pikiran untuk bunuh diri, kesepian dan
mengkhawatirkan. Sedangkan keluhan ansietas meliputi jantung berdebar, perasaan tegang,
menjadi gelisah, ketakutan tiba-tiba, gemetar, merasa takut dan panik. Peneliti melakukan
penilaian berdasarkan skor subskala dari keluhan depresi dan ansietas yang didapat dari nilai
rata-rata semua item yang valid. Penilaian subskala dilakukan dengan cara menilai perasaan
responden selama seminggu yang lalu yaitu menjawab kategori yang berkisar dari 'pernah' (1),
'jarang' (2), 'kadang-kadang' (3), 'sedikit' (4) untuk ' selalu '(5). Pengukuran telah banyak
digunakan dalam literatur internasional dan telah terbukti memiliki keandalan yang sangat baik
dan validitas pada populasi umum Belgia menurut sebuah studi dari Levecque. Pertama, subskala
keluhan depresi memiliki Alpha Cronbach sebesar 0,90 dan subskala ansietas memiliki Alpha
Cronbach sebesar 0,88. Sedangkan menurut Nunally menganggap validitas internal dikatakan
bermakna ketika Alpha Cronbach lebih tinggi dari 0,80. Cara kedua, keandalan suatu penelitian
dilakukan dengan cara konsistensi internal dari skala yang ada, yaitu korelasi antara item yang
berbeda. Antar korelasi item bervariasi antara 0,45 dan 0,79 dengan nilai rata-rata 0,64 untuk
keluhan depresi. Dalam kasus keluhan ansietas, nilainya berfluktuasi antara 0,30 dan 0,66
dengan nilai rata-rata 0,44. Jadi kedua gejala tersebut terpisah secara coherent.

Karakteristik Individu

Variabel dependen pada tingkat individu adalah gender dan dukungan sosial. Gender
direpresentasikan sebagai variabel buatan: laki-laki menerima skor 1 dan perempuan
didefinisikan sebagai kategori referensi. Dukungan sosial yang dinilai menggunakan Medical
Outcome Study yang disusun oleh Sherbourne dan Stewart. Skala ini mempertanyakan fungsi
dan kualitas dorongan sosial. Hal ini mengacu pada afektif, emosional dan instrumental suatu
dukungan yang diterima dan interaksi sosial positif yang didapat. Menurut skala Likert, jenis
item berkisar dari 'pernah' (1), 'jarang' (2), 'kadang-kadang' (3), 'sering' (4) untuk 'selalu' (5). Jika
lebih dari 4 item yang hilang, seluruh skala dikeluarkan dari analisis. Jika tidak, nilai rata-rata
dari item yang valid dihitung.

Beberapa variabel kontrol dimasukkan dalam penelitian ini. Status sosial ekonomi
responden dinyatakan dengan status kerja, tingkat pendidikan saat ini dan pendapatan rumah
tangga. Status pekerjaan saat ini dinyatakan berdasarkan kategori berikut: 'pensiun',
'dinonaktifkan', 'pengangguran', 'mahasiswa dan lain-lain' dan 'bapak rumah tangga / istri, yang
dibandingkan dengan kategori referensi kerja parttime. Tingkat pendidikan dinyatakan dengan
ijazah atau gelar tertinggi dan dibagi menjadi empat kategori: 'tidak ada diploma atau primer
pendidikan', 'SMP', 'SMA dan 'pendidikan tinggi'. Tingkat pendapatan rumah tangga
berdasarkan pada skala OECD yang telah dimodifikasi (Organization for Economic Co-
operation and Development) yang memberikan bobot pada pendapatan rumah tangga sesuai
dengan komposisi rumah tangga. Orang dewasa yang memiliki umur yang lebih tua dari anggota
keluarga lainnya di rumah tangga diberi bobot 1, orang dewasa lainnya diberi bobot 0,5 dan
setiap anak di bawah 18 tahun diberi bobot 0,3. Pendapatan rumah tangga ini dibagi dalam enam
kategori: 'kurang dari 750 euro, '750-1000 euro, '1000-1500 euro, '1500-2500 euro, sedangkan
'laba yang hilang lebih dari 2500 euro merupakan kategori referensi. Umur diukur dalam tahun.
Jenis status rumah tangga berdasarkan kategori berikut : 'single', 'tunggal dengan anak (Single
parent)', 'pasangan' (mitra hidup bersama), 'rumah tangga kompleks' (co-habitants, tapi tidak ada
mitra/kumpul kebo) dan 'pasangan dengan anak-anak' merupakan kategori referensi.

Karakteristik Daerah Perumahan

Dua variabel yang mengacu pada sosio-ekonomi sesuai daerah perumahan adalah tingkat
pengangguran dan rata-rata pendapatan rumah tangga. Tingkat pengangguran berdasarkan rasio
penduduk yang menganggur, dibandingkan individu yang bekerja. Langkah ini didasarkan pada
data sensus tahun 2001, Survei Sosial Ekonomi Umum. Rata -rata pendapatan rumah tangga
(dalam Euro) didasarkan pada distribusi pajak tahunan penduduk daerah perumahan. Sebagai
variabel kontrol, kepadatan penduduk diukur melalui jumlah jiwa per kilometer persegi. Dua
indikator tersebut berdasarkan data Badan Statistik Belgia tahun 2004.

Analisis

Pertama-tama, koefisien korelasi intra kelas (ICC) dihitung untuk memperkirakan


proporsi varians berdasarkan keluhan kesehatan mental yang dapat dijelaskan oleh karakteristik
daerah perumahan. Antara kelompok varians dibagi dengan total varians dari keluhan kesehatan
mental. Selanjutnya, dengan menggunakan model multilevel, yaitu metode estimasi Maximum
Likelihood, penulis menganalisis hubungan antara karakteristik daerah perumahan dan keluhan
depresi dan ansietas, setelah dikurangi karakteristik individu. Model bertingkat dilakukan untuk
pria dan wanita secara terpisah untuk memeriksa pola spesifik gender.

Metode analisis untuk menilai keluhan kesehatan mental berdasarkan karakteristik daerah
perumahan koefisien korelasi intra kelas adalah dengan koefisien korelasi intra kelas, model
multilevel.

Sebelum melakukan analisis, beberapa variabel telah diubah. Hasil kesehatan mental
memiliki distribusi yang tidak simetris. Setiap variabel diberikan penilaian seperti nilai untuk
variabel usia diambil dari nilai asli usia dibagi 10 untuk memperbesar estimasi parameter. Selain
itu, semua karakteristik daerah perumahan berdasarkan rata rata pendapatan rumah tangga
kepadatan penduduk, di nilai berdasarkan nilai-nilai asli tiap item yang dibagi oleh satu juta
untuk memperbesar estimasi parameter.

Hasil

Statistik deskriptif disajikan pada Tabel 1.


Mental health outcomes (before
log transformation)#
MEN WOMEN
Mean S.D. Mean S.D.
(Min. - Max.) (Min. - Max.)
Complaints of depression 1.3 (1 - 5) 0.5 1.4 (1 - 5) 0.6
Complaints of generalised anxiety 1.2 (1 - 5) 0.4 1.3 ( 1 - 5) 0.5
Independent variables at the residential area level
Median (Min. - Max.)
Local unemployment rate* 0.11 (0.03- 0.34)
Median area income (in euros) 18,878 (13,379 - 24,352)
Population density 599 (21 -19,480)
Independent variables at the individual level
MEN WOMEN
Mean S.D. Mean S.D.
(Min. - Max.) (Min. - Max.)
Social support 4.0 (1 - 5) 1.0 4.0 (1 - 5) 1.0
Age 47.5 (15 - 98) 18.9 48.9 (15 - 101) 19.8
% %
Current employment situation#
Retired 26.4 26
Disabled 2.6 2.5
Unemployed 4.8 6.1
Student and others 0.3 12.6
Househusband/wife 1.4 2.4
Paid job ( ref. )
Educational level#
No diploma or primary education 15 19.2
Lower secondary 18.4 19.2
Higher secondary 28.3 24.3
Tertiary education ( ref. )
Equivalent income of the household#
< 750 4.5 6.1
750 - 1.000 7.9 11.2
1.000 - 1.500 20.4 20.2
1.500 - 2.500 30.1 28.2
> 2500 (ref.) 13.0 13.4
Household type#
Single 19.7 23.9
Single with child(ren) 2.3 6.8
Couple 34.4 29.7
Complex household 14.5 13.0
Couple with child(ren) ( ref. )

Kedua, hasil analisis regresi bertingkat (Multilevel Regression Analyses) disajikan pada
Tabel 2 dan 3. Tingkat pengangguran dan rata rata pendapatan daerah berkorelasi (Korelasi
Pearson: -0,767, signifikan pada tingkat .01), untuk diterapkan langkah demi langkah pemodelan.
Namun hasil ini tidak berbeda dari hasil penelitian akhir, di mana semua karakteristik daerah
perumahan dimasukan. Akibatnya, hanya hasil dari model akhir ditabulasikan.
Tabel 2 menyajikan hasil berkaitan dengan keluhan depresi. Pada tingkat daerah
perumahan, tingkat pengangguran terkait dengan keluhan depresi dan hubungan ini hanya
ditemukan di kalangan wanita (B = 0,112, p <0,001). Pada tingkat individu, terlihat bahwa
responden pria dan wanita dilaporkan menerima lebih banyak dukungan sosial yang secara
signifikan mengurangi keluhan depresi. Asosiasi ini lebih menonjol di antara perempuan (laki-
laki: B = -0,026, p <0,001; perempuan: B = -0,038, p <0,001). Untuk status pekerjaan saat ini,
tampak bahwa status pekerjaan individu secara signifikan berhubungan dengan keluhan
kesehatan mental di kalangan laki-laki dan perempuan. Pria yang pensiun (B = 0,019, p <0,001),
cacat (B = 0,109, p <0,001), pengangguran (B = 0,024, p <0,001) atau mahasiswa (B = 0.300, p
<
0,01) semua tampaknya memiliki lebih banyak keluhan depresi, dibandingkan dengan penduduk
yang bekerja. Di antara perempuan, fenomena yang sama terjadi dengan beberapa perbedaan
kecil (pensiun: B = 0,012, p <0,05; cacat: B = 0,115, p <0,001; menganggur: B = 0,029, p
<0,001).

Ternyata ibu rumah tangga dilaporkan hanya memiliki sedikit keluhan depresi
dibandingkan dengan penduduk yang bekerja (B = -0,011, p <0,05). Ketika kita memiliki melihat
pada dampak dari tingkat pendidikan, kita tidak memperhatikan asosiasi yang signifikan antara
penduduk laki-laki. Untuk variabel pendidikan, perempuan yang menyelesaikan pendidikan
dasar dilaporkan memiliki keluhan depresi yang lebih (B = 0,023, p <0,001) dibandingkan
perempuan yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Sehubungan dengan pendapatan
rumah tangga, laki-laki dengan pendapatan rumah tangganya kurang dari 750 euro perbulan
lebih banyak memiliki keluhan depresi (B = 0,016, p <0,05). Wanita dengan pendapatan rumah
tangga yang lebih rendah dari 1500 euro perbulan lebih banyak memiliki keluhan depresi (<750
: B = 0,028, p <0,001; 750-1000 : B = 0,016, p <0,01; 1000-1500 : B = 0,011 , p <0,05)
dibandingkan dengan orang-orang dalam rumah tangga yang berpenghasilan lebih dari 2500
euro. Selain itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang tua memiliki lebih sedikit keluhan
depresi (laki-laki: B = 0,004, p <0,001; perempuan: B = 0,004, p <0,01).
Terakhir adalah status single berhubungan secara positif dengan jumlah keluhan depresi yang
dilaporkan di antara laki-laki (B = 0,019, p <0,001), dibandingkan dengan pria yang memiliki
pasangan dan anak-anak. Di antara wanita, single dengan anak-anak dilaporkan lebih memiliki
Table 2 Multilevel regression analyses: association between residential area characteristics and complaints of depression among
men and women, Belgium 2001-2004
Dependent variables: Complaints of depression
MEN WOMEN
B B
Intercept -0.035 *** 0.005
Contextual effects
Unemployment rate 0.046 0.112 ***
Median area income (in euros) 0.000 0.000
Density 0.194 -0.291
Individual effects
Social support -0.026 *** -0.038 ***
Current employment situation (ref.: paid labour)
Retired 0.019 *** 0.012 *
Disabled 0.109 *** 0.115 ***
Unemployed 0.024 *** 0.029 ***
Househusband/wife -0.008 -0.011 *
Student and others 0.300 ** 0.012
Educational level (ref.: tertiary education)
No diploma or primary education 0.007 0.023 ***
Lower secondary 0.003 0.003
Higher secondary -0.002 -0.001
Equivalent income of the household (ref.: > 2.500 )
< 750 0.016 * 0.028 ***
750 - 1.000 0.007 0.016 **
1.000 - 1.500 -0.001 0.011 *
1.500 - 2.500 -0.003 0.002
Missing income -0.008 -0.012 *
Age 0.004 *** 0.004 **
Household type (ref.: couple with child(ren))
Single 0.019 *** 0.007
Single with child(ren) 0.007 0.020 ***
Couple 0.004 -0.001
Complex household 0.008 0.000

keluhan depresi dibandingkan dengan wanita yang mempunyai pasangan dan anak-anak (B =
0,020, p <0,01).

Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak satu pun dari karakteristik daerah perumahan secara
signifikan berhubungan dengan keluhan ansietas. Pada tingkat individu, responden yang
menerima lebih banyak dukungan sosial dilaporkan secara signifikan kurang mengalami keluhan
ansietas baik antara pria dan wanita. Dan hubungan ini sedikit lebih menonjol di antara
penduduk perempuan (laki-laki: B = -0,018, p <0,001; perempuan: B = -0,028, p <0,001).
Berdasarkan dengan status pekerjaan, pola yang sama muncul seperti yang terjadi dengan
keluhan depresi, kecuali orang-orang yang pensiun. Mereka tidak berbeda secara signifikan dari
penduduk yang bekerja. Orang yang cacat (pria: B = 0,091, p <0,001; perempuan: B = 0.101, p
<0,001), orang yang menganggur (pria dan wanita: B = 0,022, p <0,001) dan siswa laki-laki (B =
0.032 , p <0,01) melaporkan lebih banyak keluhan ansietas daripada pekerja yang dibayar,
sementara ibu rumah tangga dilaporkan memiliki sedikit keluhan ansietas daripada tenaga kerja
dibayar (B = -0,011, p <0,05). Orang-orang yang hanya menyelesaikan pendidikan dasar (laki-
laki: B = 0,008, p <0,05; perempuan: B = 0,038, p <0,001) dan orang-orang yang menyelesaikan
pendidikan menengah rendah (SMP) (laki-laki: B = 0,009, p <0,05; perempuan: B = 0,017 , p
<0,001) melaporkan lebih banyak yang memiliki keluhan ansietas daripada orang yang mencapai
pendidikan tinggi. Namun, asosiasi ini kurang jelas antara penduduk laki-laki. Selain itu,
perempuan yang memiliki pendidikan menengah tinggi (SMA) juga melaporkan lebih keluhan
ansietas dibandingkan dengan orang-orang yang menyelesaikan pendidikan tersier (B = 0,010, p
<0,001).

Sehubungan dengan pendapatan, pendapatan rumah tangga di bawah 750 euro terkait
dengan keluhan kesehatan mental yang lebih tinggi (laki-laki: B = 0,018, p <0,01; perempuan: B
= 0,017, p <0,05), dibandingkan dengan orang-orang yang berpenghasilan lebih dari 2500.
Wanita yang memiliki pendapatan rumah tangga antara 750 dan 1.000 tampaknya lebih
menderita keluhan ansietas dibandingkan kategori pendapatan tertinggi (B = 0,013, p <0,05).
Perempuan yang memiliki pasangan, tapi tidak punya anak, dilaporkan memiliki keluhan
ansietas dibandingkan orang-orang yang memiliki pasangan dan anak-anak (B = 0,009, p <0,05).

Table 3 Multilevel regression analyses: association between residential area characteristics and complaints of generalised
anxiety among men and women, Belgium 2001-2004
MEN WOMEN
B B
Intercept -0.027 *** -0.004
Contextual effects
Unemployment rate 0.032 0.075
Median area income (in euros) 0.245 1.214
Density -0.081 0.032
Individual effects
Social support -0.018 *** -0.028 ***
Current employment situation (ref.: paid labour)
Retired 0.003 0.003
Disabled 0.091 *** 0.101 ***
Unemployed 0.022 *** 0.022 ***
Househusband/wife -0.028 -0.011 *
Student and others 0.032 ** 0.102
Educational level (ref.: tertiary education)
No diploma or primary education 0.008 * 0.038 ***
Lower secondary 0.009 * 0.017 ***
Higher secondary -0.001 0.010 ***
Equivalent income of the household (ref.: > 2.500 )
< 750 0.018 ** 0.017 *
750 - 1.000 0.009 0.013 *
1.000 - 1.500 0.002 0.005
1.500 - 2.500 -0.002 -0.002
Missing income -0.008 -0.011 *
Age -0.002 -0.002
Household type (ref.: couple with child(ren))
Single -0.001 -0.001
Single with child(ren) -0.010 0.008
Couple 0.006 0.009 *
Complex household 0.004 0.003

Diskusi

Penelitian ini meneliti tentang hubungan antara karakteristik sosial ekonomi daerah
perumahan dengan keluhan depresi dan ansietas, setelah dikurangi karakteristik individu.
Digunakan Model multilevel untuk pria dan wanita secara terpisah, untuk penelitian ini
perbedaan gender merupakan fokus perhatian. Populasi Belgia umum dipelajari, menggunakan
data tingkat individu dikumpulkan dari Survei Kesehatan Wawancara tahun 2001 dan 2004,
dilengkapi dengan dari Badan Statistik Belgia dan Survei Sosial Ekonomi Umum. Data dari
kedua tingkat digabung dengan cara menggunakan kode kota.

Sebelum kita membahas hasil yang telah ditemukan, beberapa keterbatasan penelitian ini
perlu dipertimbangkan. Keterbatasan pertama menyangkut penggambaran unit geografis. Dalam
studi ini, garis besar daerah perumahan didasarkan pada kode kota karena ketersediaan
informasi, jumlah unit yang cukup dan keragaman karakteristik tingkat daerah. Selanjutnya,
karena tidak semua kota yang termasuk dalam sampel, ancaman autokorelasi spasial sebagian
dipecahkan. Kedua, meskipun penggunaan teknik regresi bertingkat, tetap saja sulit untuk
membedakan antara pengaruh kontekstual dan komposisi. Melalui lingkungan beroperasi melalui
dan berinteraksi dengan karakteristik individu. Akibatnya, efek kontekstual yang diabaikan,
karena karakteristik individu sebagian menjelaskan pengaruh lingkungan. Nilai lebih kecil dari
korelasi intra-kelas penelitian ini menggambarkan suatu fenomena. Namun, temuan ini konsisten
dengan penelitian lain yang mengungkapkan bahwa karakteristik area perumahan hanya
menjelaskan bagian terbatas dari variasi dalam hasil kesehatan mental [15,29,31]. Ketiga, karena
penelitian ini menggunakan desain cross-sectional, penelitian ini tidak dapat mengkonfirmasi
faktor penyebab. Keterbatasan keempat adalah fakta bahwa dampak stres tidak terbatas pada
gangguan tertentu, tetapi dapat dinyatakan dengan cara diferensial.

Perempuan lebih cenderung untuk mengekspresikan kesedihan dengan cara gangguan


internalisasi/psikologi, sedangkan pria lebih mungkin untuk bereaksi melalui antisosial dan
perilaku alcoholic. Namun, hipotesis ekspresi diferensial diuji dalam sebuah penelitian yang
terkait, berdasarkan sampel Belgia yang sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hidup di
daerah perumahan/perumahan dengan tingkat pengangguran yang tinggi lebih merugikan bagi
perempuan dalam hal depresi, namun memiliki dampak yang sama pada pria dan wanita ketika
alkoholisme diderita pria dan wanita tersebut.

Meskipun terdapat kekurangan, namun masih dapat ditekan. Pertama, penelitian


mengenai hubungan antara faktor-faktor kontekstual dan hasil kesehatan mental jarang di antara
populasi umum Belgia. Kedua, desain penelitian bertingkat cukup unik, berkat pengelompokan
data tingkat individu, yang disediakan oleh Survei Health Interview dan data daerah tingkat yang
diperoleh dari Statistik Belgia dan Survei Sosial Ekonomi Umum. Ketiga, mempelajari populasi
umum memiliki keuntungan bahwa ada variasi yang lebih besar mengenai jumlah keluhan
kesehatan mental, dibandingkan dengan populasi klinis. Temuan utama yang diperoleh dari
penelitian ini adalah empat kali lipat. Pertama, koefisien korelasi intra kelas menunjukkan bahwa
daerah perumahan memiliki dampak yang terbatas pada kesehatan mental penduduknya. Namun
demikian, temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya. Sebagian besar variabel tingkat
daerah menyumbang hanya 1 sampai 5 persen dari varians dengan hasil kesehatan mental.
Kedua, hasil pada tingkat individu sesuai dengan penelitian lain, yang memberikan indikasi
kualitas data yang diperoleh.

Ketiga, analisis regresi bertingkat mengkonfirmasi bahwa tingkat pengangguran


berkaitan dengan jumlah keluhan depresi yang dilaporkan oleh penduduknya. Hasil ini sesuai
dengan penelitian empiris lainnya. Non-signifikansi hubungan antara rata-rata pendapatan daerah
dengan hasil kesehatan mental adalah sama dan sesuai dengan temuan Greiner et al. Keempat,
pola spesifik gender. Hubungan antara tingkat pengangguran dan keluhan depresi hanya
signifikan di kalangan wanita. Perempuan tampaknya lebih sensitif terhadap lingkungan,
dibanding laki-laki menghadapi stres yang sama. Temuan ini menegaskan hasil studi Hari dan
Livingstone. Untuk menjelaskan hasil ini, kami mengacu pada hipotesis dari faktor stres sosial.
Satu penjelasan yang mungkin, bahwa perempuan lebih sensitif dalam komunitas lokal mereka
karena peran sosial. Akibatnya, mereka lebih terekspos dan rentan terhadap peristiwa yang
terjadi dalam jaringan sosial lingkungan mereka. Selain itu, penulis telah melihat dampak dari
dukungan sosial, karena perempuan dan laki-laki memiliki strategi yang berbeda untuk
menangani situasi stres. Hal ini relevan antara dukungan sosial yang tersedia dengan proses stres.
Penelitian empiris menemukan hubungan negatif antara dukungan sosial dan masalah kesehatan
mental. Hubungan negatif antara dukungan sosial dan keluhan depresi yang ditemukan di antara
kedua jenis kelamin, yang konsisten dengan penelitian lain. Hubungan ini entah bagaimana lebih
menonjol di antara penduduk perempuan, tetapi dukungan sosial yang tersedia tidak sepenuhnya
dapat menyangga dampak tingkat pengangguran pada keluhan depresi di kalangan perempuan.

Meskipun perbedaan dijelaskan terbatas, harus diingat bahwa karakteristik daerah


perumahan memiliki lingkup yang luas dengan mempengaruhi sejumlah besar orang. Disarankan
untuk memberikan Intervensi kebijakan yang mempromosikan kesehatan mental untuk
mencegah penyakit mental dengan pendekatan terhadap penduduk laki-laki dan perempuan,
terutama di masa ketidakpastian ekonomi. Misalnya, penutupan pabrik tidak hanya berdampak
pada kesejahteraan mental orang-orang yang dipecat, tapi di seluruh lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai