Anda di halaman 1dari 74

Bed Side Teaching (BST)

*Program Studi Profesi Dokter /G1A219076/ November 2021


**Pembimbing

Abses Colli

Ikhtisyamuddin Milzam Taris*


dr. Miftahurrahmah, Sp. BA**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN BEDAH RSUD RADEN


MATTAHER JAMBI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU
KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI

2021
LEMBAR PENGESAHAN

Bed Side Teaching (BST)

Abses Colli

Ikhtisyamuddin Milzam Taris*


dr. Miftahurrahmah, Sp. BA**

Telah Disetujui dan Dipresentasikan sebagai Salah Satu Tugas


Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Raden
Mattaher Provinsi Jambi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi 2021

Jambi, November 2021


Pembimbing,

dr. Miftahurrahmah, Sp. BA


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Bed Side Teaching yang
berjudul “Abses Colli ”. Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima
kasih banyak kepada dr. Miftahurrahmah, Sp. BA selaku dosen pembimbing yang
memberikan banyak ilmu selama di Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Bedah.
Penulis menyadari bahwa laporan Bed Side Teaching ini jauh dari
sempurna, penulis juga masih dalam tahap pembelajaran, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik ke depannya.
Akhir kata, penulis berharap semoga laporan Bed Side Teaching (BST) ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi dan
pengetahuan kita.

Jambi, November 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan


membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses
colli atau abses leher dalam.
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher
dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik
biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat.
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus,
Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran.
Abses leher dalam dapat berupa: 1,2
1. abses peritonsil
2. abses retrofaring
3. abses parafaring
4. abses submandibula
5. angina Ludovici (Ludwig’s Angina)

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : An. Aliskha putri Adiba
Umur : 7 Bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan :-
Alamat : kec. jelutung, kota jambi
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
MRS : 23/10/2021

2.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama:
Keluar nanah dari leher kiri sejak ± 3 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke IGD RSUD Raden Mattaher Jambi dengan keluhan keluar
nanah dari leher kiri sejak ± 3 hari SMRS. Nanah berwarna kuning, kental,
dan berbau. Sebelumnya, ±10 hari SMRS pasien mengeluhkan adanya
benjolan sebesar seperti gigitan nyamuk yang semakin membesar. Bengkak
terasa nyeri dan kemerahan. Keluhan juga disertai dengan demam (+), Mual
(-), Muntah (-), BAK (+) normal, BAB (+) normal.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat Keluhan serupa disangkal

2
Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat Keluhan serupa disangkal

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit ringan


Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan Darah :-
Frekuensi Napas : 25 kali/menit
Frekuensi Nadi :128 kali/menit
Suhu :36,7 oC
SpO2 : 98%

a. Status Generalis
a. Kepala : Normocephal, rambut tidak mudah dicabut.
b. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil Isokor (+/+)
c. Telinga : Otore (-/-), darah (-), nyeri tekan tragus (-)
d. Hidung : Epistaksis (-), septum deviasi (-) Rhinore (-)
e. Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (+), Abses (+),
Undulasi (+), pus (+)
f. Mulut : Bibir kering (-), atrofi papil(-), gusi berdarah(-).

b. Thorax (Paru)
a. Inspeksi : ekspansi dinding dada simetris, retraksi (-)
b. Palpasi : fremitus taktil normal, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
c. Perkusi : sonor (+/+)
d. Auskultasi : vesikuler (+/+)Normal, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

3
c. Thorax (Jantung)
a. Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
b. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
c. Perkusi : Batas-batas jantung
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan: ICS IV linea parasternal dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
d. Auskultasi : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)

d. Abdomen
a. Inspeksi : Datar, sikatrik (-), defans muscular (-), jejas (-),
luka (-)
b. Palpasi : Soepel, Nyeri tekan (-)
c. Perkusi : Timpani (+)
d. Auskultasi : BU (+) normal

e. Genitalia : tidak diperiksa


f. Ekstremitas
Ekstremitas Superior
Dextra
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
Sinistra
Status lokalisata

Ekstremitas inferior
Dextra
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
4
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
Sinistra
Status lokalisata

STATUS LOKALIS
Regio Colli Sinistra
a. Inspeksi : tampak benjolan berwarna kemerahan berbatas tegas
b. Palpasi : Nyeri tekan (+), teraba panas (+), undulasi (+)
c. Move : Gerakan terbatas karena nyeri

2.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium:
Darah Rutin Normal

Hb 9.21 11 – 15

Ht 27.2 34.5 – 54.0

Eritrosit 3.53 4.5 – 5.5

MCV 77.1 80 – 96

MCH 26.1 27 – 31

MCHC 33.8 32 – 36

Leukosit 23.2 4 – 10

Hitung jenis Normal


Neutrofil % 12.6 50 – 70
Lymfosit % 7.88 18 – 42
Monosit % 2.32 2 – 11
Eosinofil % 0.005 1–3

5
KESAN :
Leukositosis, Anemia hipokromik mikrostitik, penurunan hematokrit

2.7. Diagnosis
Abses Colli Sinistra
2.8. Penatalaksanaan

Farmakologi:
• IVFD RL 800 cc/24 jam
• Inj Ceftriaxone 2 x 400 mg
• Inj. Metronidazole 3 x 80 mg
• Inj. Paracetamol 4 x 150 mg

Non Farmakologi:
 Asupan nutrisi yg cukup
 Tindakan Operasi (Insisi + drainase + debridement)

Diagnosis post op : Post insisi + drainase + debridement a.i abses colii sinistra

2.9. Prognosis
Quo Vitam : ad bonam
Quo Functionam : ad bonam
Quo Sanactionam : ad bonam

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. ANATOMI FARING

Gambar 1. Potongan sagital rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring. 3

7
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari
dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6.
Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan
laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan
dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpamnjang.
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot, dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi
atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring).
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan
otot. 4,5
1. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada
nasofraing karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia,
sedamng epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian
bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran
cerna, epitelnya berlapis gepeng dan tidak bersilia.
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang
terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem
retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan
tubuh terdepan.
2. Palut lendir (mucous blanket)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui
hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas
silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini
mengandung enzim lysozyme yang penting untuk proteksi.
3. Otot
8
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor
faring superior, media, dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot
ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian
atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan
di belakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut “rafe faring” (raphe
pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini
dipersarafai oleh n.vagus (n.X).
Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. Letak
otot-otot ini di sebelah dalam. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan
menarik laring, sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan
menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai
elevator. Kerja kedua otot itu penting sewaktu menelan. M.stilofaring dipersarafi
oleh n.IX sedangkan m.palatofaring dipersarafi oleh n.X.
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam
satu sarung fasia dari mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli palatini,
m.palatoglosus, m.palatofaring, dan m.azigos uvula.
1. M.levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya
untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius.
Otot ini dipersarafi oleh n.X.
2. M.tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk
mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba Eustachius.
Otot ini dipersarafi oleh n.X.
3. M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan
ismus faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
4. M.palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh
n.X.
5. M.azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan
menaikkan uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
9
Gambar 2. Rongga mulut. 6

Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak
beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring
asendens dan cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang
palatina superior.
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus daring
yang ekstensif. Plesksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari
n.glososfaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut
motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-
otot faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang
n.glosofaring (n.IX).
Kelenjar getah bening
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior,
media, dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening
retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media
mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam
10
atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening dalam
bawah.
Pembagian faring

Gambar 3. Pembagian nasofaring 7


Berdasarkan letaknya faring dibagi atas:4,5
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di
bagian bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung
sedangkan ke belakang adalah verrtebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan
dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid
pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa
Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur
embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring
di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare,
yang dilalui oleh n.glosofaring, n.vagus, dan n.asesorius spinal saraf
kranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os.temporalis dan
11
foramen laserum, dan muara tuba Eustachius.
2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atanya adalah
palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah
rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding
posterio faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan
posterior, uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum.

Dinding posterior faring


Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut
terlibat dalam radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring,
serta gangguan otot-otot di bagian tersebut. Gangguan otot posterior
faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan
gangguan n.vagus.

Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior.
Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas
yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang
dinamanakan fosa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan
biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses.
Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan
kapsul yang sebenarnya.

Tonsil

12
Gambar 4. Cincin Waldeyer. 8
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan
ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya.
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina, dan tonsil lingual yang ketiga0tiganya membentuk lingkaran
yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut
tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali
ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang
kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai
celah yang disebut kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan
leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga
disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot farings
sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat
darah dari a.palatina minor, a.palatina asendens, cabang tonsil a.maksila
eksterna, a.faring asendens, dan a.lingualis dorsal. Tonsil lingual

13
terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat
foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila
sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran
duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada
massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
3. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis,
batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas
posterior adalah vertebra servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan
kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan
laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama
yang tampak di bawah dasar lidah adalah valekula. Bagian ini
merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum
glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap
sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill’s pocket), sebab pada
beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini
berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar,
meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap
sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi
demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi
tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga
untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke
esofagus.
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap
sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian
analgesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi
14
langsung.
Lapisan fasia leher dalam
Fasia servikalis :
A. Fasia servikalis superfisialis
B. Fasia servikalis profunda :
1. Lapisan superfisial
2. Lapisan media :
- divisi muskular
- divisi viscera
3. Lapisan profunda :
- divisi alar
- divisi prevertebra

Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus
organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa
ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis
superfisialis dan fasia servikalis profunda.
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke
bawah ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang
antara fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar
limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.
Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu : 9,10,11
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar
tengkorak sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke
daerah wajah dan melekat pada klavikula serta membungkus m.
sternokleidomastoideus, m.trapezius, m. masseter, kelenjar parotis dan
submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer , lapisan
15
pembungkus dan lapisan anterior.
2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi
muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan
membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid.
Dibagian superior melekat pada os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian
inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula.
Divisi viscera membungkus organ – organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid,
trakea dan esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak
bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat
pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke toraks,
menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia
bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian
posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator.
3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi
alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi
prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan
bersatu dengan divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar
melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding
anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke
lateral meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut.
Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding
posterior dari danger space dan dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga
lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis ( carotid sheath )
yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris sampai ke
toraks.

16
Ruang faringeal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring. 4,5
1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space)
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang
terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring.
Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Serat-serat
jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring,
yang dibatasi oleh :
- anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia
servikalis profunda ) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan
tiroid
- posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
- lateral : selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring (fosa
faringomaksila).
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke
mediastinum setinggi bifurkasio trakea ( vertebra torakal I atau II )
dimana divisi viscera dan alar bersatu. Abses retrofaring sering
ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya ialah karena di ruang
retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Daerah retrofaring terbagi
menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh midline raphe .
Tiap – tiap bagian mengandung 2 – 5 buah kelenjar limfe retrofaring
yang biasanya menghilang setelah berumur 4 – 5 tahun. Kelenjar ini
menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasal,
nasofaring, faring, tuba Eustakius dan telinga tengah. Pada peradangan
kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah,
nanahnya akan tertumpah di dalam ruang retrofaring. Daerah ini disebut
juga dengan ruang retroviscera, retroesofagus dan ruang viscera
17
posterior.
2. Ruang parafaring (fosa faringomaksila : pharyngomaxillary fossa)
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada
dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu
mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor
faring superior, batas luarnya adalah ramus asendens mandibula yang
melekat dengan m.pterigoideus interna dan bagian posterior kelenjar
parotis.
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya
oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior
(prestiloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses
supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk
mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi
a.karotis interna, v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam
suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini
dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.

18
Gambar 5. Potongan axial orofaring menunjukkan ruang retrofaring dan
parafaring.12

19
Gambar 6. Penampang sagital leher memperlihatkan posisi spatium
retropharyngeum dan submandibularis.11

20
Gambar 7. Potongan oblik leher menunjukkan ruang faringomaksila (parafaring),
ruang submaksila, dan ruang potensial lainnya.13

21
Gambar 8. Potongan koronal ruang parafaring.13

Selain itu juga dijumpai daerah potensial lainnya di leher yaitu :


- danger space : dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi
prevertebra pada bagian posterior ( tepat di belakang ruang retrofaring ).
- prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior dan
korpus vertebra pada bagian posterior ( tepat di belakang danger space ). Ruang
ini berjalan sepanjang kollumna vertebralis dan merupakan jalur penyebaran
infeksi leher dalam ke daerah koksigeus.

22
Gambar 9. Potongan sagital faring menunjukkan ruang retrofaring, danger space,
dan prevertebral space.14

Ruang submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila.
Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid.
Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang
submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Ruang mandibular dibatasi pada bagian lateral oleh garis inferior dari badan
mandibula, medial oleh perut anterior musculus digastricus, posterior oleh
ligament stylohyoid dan perut posterior dari musculus digastricus, superior oleh
musculus mylohyoid dan hyoglossus, dan inferior oleh lapisan superficial dari
deep servikal fascia. Ruang ini mengandung glandula saliva sub mandibular dan
23
sub mandibular lymphanodes.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke
dalam ruang submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang
submental dan ruang submaksila saja.

Gambar 10. Ruang sublingual dan ruang submandibula yang dibagi oleh
m.mylohyoideus.15

Gambar 11. Ruang sublingual di bagian superior dari m.


mylohyoid. Ruang submandibular di inferior dari m. mylohyoid.16

3.2. FISIOLOGI FARING

24
Fungsi faring yang utama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara, dan untuk artikulasi. 4
Fungsi menelan
Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan
fase esofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan
disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu transpor bolus
makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase
esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan
bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung.
Fungsi faring dalam proses bicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke
arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan
melibatkan mula-mula m.salfingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator
veli palatini bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan
nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir
mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold
of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam
mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring
(bersama m.salfingofaring) dan oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior.
Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan.
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode
fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang
secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.

3.1. ABSES PERITONSIL (QUINSY)


3.1.1. Definisi 1,2,17

25
Abses peritonsil merupakan akumulasi pus terlokalisir di jaringan
peritonsil yang terbentuk akibat dari tonsilitis supuratif. Penjelasan lain adalah
abses peritonsil merupakan abses yang terbentuk di kelompok kelenjar air liur di
fosa supratonsil, yang disebut sebagai kelenjar Weber. Nidus akumulasi pus
terletak antara kapsul tonsil palatina dan muskulus konstiktor faringeus. Pilar
anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan sinus piriformis (inferior)
membentuk batas ruang peritonsil potensial. Karena terbentuk dari jaringan ikat
longgar, infeksi parah area ini bisa secara cepat membentuk material purulen.
Inflamasi dan supurasi progresif bisa menyebar langsung melibatkan palatum
mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang dasar dari lidah.

3.1.2. Epidemiologi

Insidensi abses peritonsil di Amerika Serikat adalah sekitar 30 kasus per


100.000 orang per tahun, mewakili sekitar 45.000 kasus per tahun. Tidak ada data
akurat secara internasional.17

Meskipun tonsilitis penyakit anak, hanya sepertiga kasus abses peritonsil


ditemukan di kelompok umur ini. Umur pasien dengan abses peritonsil bervariasi,
dengan jarak 1-76 tahun, dengan insidensi tertinggi pada pasien dengan usia 15-35
tahun.17

Tidak ada predileksi jenis kelamin ataupun ras.17

3.1.3. Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman

26
penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan
anaerob.1

Biasanya, organisme Gram positif aerob dan anaerob diidentifikasi melalui


kultur. Kultur menunjukkan Streptococcus beta hemolyticus yang paling sering.
Selanjutnya, yang paling sering adalah Staphlococcus, Pneumococcus, dan
Haemophilus. Terakhir, organisme lain yang bisa dikultur adalah Lactobacillus,
bentuk-bentuk filamentosa seperti Actinomyces sp., Micrococcus, Neisseria sp.,
diphteroid, Bacteroides sp., dan bakteri tidak bersporulasi. Beberapa bukti
menunjukkan bakteri anaerob sering menyebabkan infeksi ini. 18

3.1.4. Patofisiologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menampati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Proses
inflamasi dan supurasi dapat melebar melibatkan palatum mole, dinding lateral
faring, dan kadang-kadang, dasar lidah. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil
dapat terbentuk di bagian inferior.1

Patofisiologi abses peritonsil tidak diketahui. Teori yang paling banyak


diterima adalah kelanjutan dari episode tonsilitis eksudatif yang menjadi
peritonsilitis terlebih dahulu dan lalu membentuk abses. Progresifitas proses
inflamasi dapat terjadi pada populasi yang diobati dan yang tidak diobati. Abses
peritonsil juga ditemukan tanpa riwayat tonsilitis rekuren atau kronis. Abses
peritonsil juga bisa merupakan manifestasi dari infeksi Epstein Barr Virus
(misalnya mononucleosis).17

Teori lain menunjukkan asal abses peritonsil ada di kelenjar Weber. 1,17
Kelenjar air liur kecil ini ditemukan di ruang peritonsil dan disebutkan membantu
membersihkan debris dari tonsil. Saat obstruksi terjadi sebagai hasil dari jaringan
27
parut karena infeksi, nekrosis jaringan dan pembentukan abses terjadi, sehingga
terjadilah abses peritonsil.

Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak


permukaannya hiperemis, bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah
tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula
ke arah kontralateral.
Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses
dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.

Fosa tonsiler kaya akan pembuluh limfa menuju ke ruang parafaring dan
kelenjar limfa servikal superior, yang menjelaskan pola limfadenopati secara
klinis. Limfadenopati servikal superior ipsilateral adalah hasil penyebaran infeksi
ke kelenjar limfa regional. Kadang-kadang, keparahan proses supuratif dapat
menuju abses servikal, khususnya pada kasus yang sangat fulminan atau progresif
cepat.

3.1.5. Gejala dan tanda1,2,17


1. Anamnesis

Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri
menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga
(otalgia), mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore),
banyak ludah (hipersalivasi), suara gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang
sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula
dengan nyeri tekan. Pasien biasanya memiliki riwayat faringitis akut ditemani
dengan tonsilitis dan rasa faring tidak nyaman unilateral dan makin memburuk.
Pasien mungkin mengalami malaise, kelelahan, dan sakit kepala. Pasien sering
mengalami demam dan rasa tenggorokan penuh yang tidak simetris. Karena
28
limfadenopati dan inflamasi otot servikal, pasien sering mengalami nyeri leher dan
bahkan keterbatasan gerak leher. Dokter harus memikirkan diagnosis abses
peritonsil pada pasien dengan gejala faring persisten meskipun sudah diberikan
rejimen antibiotik yang adekuat.

Seiring derajat inflamasi dan infeksi berlanjut, gejala berlanjut ke dasar


mulut, ruang parafaring, dan ruang prevertebral. Kelanjutan di dasar mulut
mengkhawatirkan karena obstruksi jalan napas; dokter harus sadar dengan gawat
darurat yang mungkin terjadi.

2. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan fisik mungkin hasil bervariasi dari tonsilitis akut dengan
faring asimetris unilateral sampai dehidrasi dan sepsis, Kebanyakan pasien
memiliki nyeri berat. Pemeriksaan rongga mulut menunjukkan tanda-tanda eritem,
palatum mole asimetris, eksudasi tonsil, dan uvula disposisi kontralateral.
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum
mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula
bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin
banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.

Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di kutub superior tonsil


yang terkena, pada fosa supratonsil. Pada tingkat lipatan supratonsil, mukosa
dapat tampak pucat dan mungkin menunjukkan bintil-bintil kecil. Palpasi pada
palatum mole sering menunjukkan fluktuasi. Nasofaringoskopi dan laringoskopi
fleksibel dianjurkan untuk pasien dengan airway distress. Laringoskopi adalah
kunci untuk menyingkirkan epiglotitis dan supraglotitis, juga kelainan pita suara.

Derajat trismus tergantung dari inflamasi ruang faring lateral. Penemuan


limfadenopati servikal ipsilateral melibatkan satu atau lebih kelenjar tidak tak
biasa. Kelenjar limfa yang terkena mungkin agak padat. Pada pasien dengan
29
inflamasi kelenjar limfa yang signifikan, tortikolis dan keterbatasan mobilitas
mungkin dialami.

Gambar 12. Abses peritonsil dengan deviasi uvula.19

3.1.6. Pemeriksaan Penunjang2,17


1. Pemeriksaan laboratorium

 Darah perifer lengkap, elektrolit, kultur darah: pasien dengan abses peritonsil
sering tampak septik dan dapat menunjukkan derajat bervariasi dehidrasi
karena intake oral yang kurang. Untuk mengetahui dua peristiwa ini perlu
pemeriksaan darah perifer lengkap, elektrolit, dan kultur darah.
 Tes Monospot
o Pada pasien yang menunjukkan tonsilitis dan limfadenopati servikal
bilateral, tes Monospot (antibodi heterofil) harus dipertimbangkan
o Jika hasil tes positif, pasien membutuhkan evaluasi hepatosplenomegali.
Tes fungsi hati harus dipertimbangkan pada pasien dengan hepatomegali.
 Kultur swab tenggorok: untuk membantu identifikasi organisme infeksius,
swab tenggorok dan kultur harus dipertimbangkan. Hasil dapat membantu
seleksi antibiotik yang paling tepat saat organisme teridentifikasi, mebatasi
resiko resitensi antibiotik.
30
2. Pemeriksaan radiologi

 Foto x-ray jaringan lunak polos


o Foto jaringan lunak leher lateral menampakkan nasofaring dan orofaring
dapat membantu dokter untuk menyingkirkan abses retrofaring.
o Pada foto anteroposterior, foto menunjukkan distorsi jaringan lunak tetapi
tidak berguna untuk menentukan lokasi abses.
 CT scan
o Pada kasus tertentu dan pasien yang sangat muda, evaluasi radiologi
dapat dilakukan dengan CT scan rongga mulut dan leher menggunakan
kontras intravena.
o Temuan yang biasa adalah adanya kumpulan cairan hipodens pada apex
tomnsil yang terkena, dengan penebalan pinggiran.
o Temuan lain dapat termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan fosa di
sekitarnya.
o Penggambaran lebih jauh limfadenopati servikal dibutuhkan, karena
identifikasi kumpulan cairan intranodal mungkin, yang mengindikasikan
abses servikal dan membantu perencanaan penanganan bedah.
 Ultrasonografi20
o Ultrasonografi intraoral sederhana, dapat ditolerir, non invasif yang dapat
membantu membedakan selulitis dan abses.
o USG juga dapat membantu pilihan aspirasi lebih langsung pada fosa
tonsil sebelum penanganan bedah definitif.

3. Aspirasi jarum

 Aspirasi jarum dapat dilakukan sebelum drainase. Ini membantu identifikasi


lokasi abses di ruang peritonsil.

31
 Lokasi aspirasi dianestesi dengan lidocaine dengan epinefrin, dan jarum
ukuran 16-18 G dipasang di spuit 10cc. Infiltrasi adalah metode pilihan untuk
anestesi lokal untuk aspirasi dan insisi abses peritonsil.
 Jarum ditusukkan di mukosa yang telah teranestesi dimana aspirasi akan
dilakukan.
 Aspirasi material purulen merupakan diagnostik, dan dapat dikirim untuk
kultur.

Gambar 13. Aspirasi jarum pada abses peritonsil.19


3.1.7. Diagnosis

Indikasi untuk mempertimbangkan kemungkinan abses peritonsil meliputi


sebagai berikut: 17

- Pembengkakan unilateral area peritonsil.


- Pembengkakan unilateral palatum mole, dengan disposisi anterior tonsil
ipsilateral.
- Tonsilitis yang non resolusi, dengan pembesaran tonsil unilateral persisten.

32
Pada dewasa, tanda klinis yang berhubungan dengan abses peritonsil
antara lain trismus, deviasi uvula, disposisi inferior kutub superior dari tonsil yang
terkena.21 Pada kasus abses peritonsil, saat insisi dan drainase dilakukan, gejala
pasien akan membaik. Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan
terapeutik, karena dapat menentukan lokasi akurat ruang abses. Cairan aspirasi
dapat dikultur, dan pada beberapa kasus, insisi dan drainase mungkin tidak perlu.
Jika pasien terus menerus melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronik
setelah insisi dan drainase, ini dapat menjadi indikasi tonsilektomi.

3.1.8. Terapi 1,17


1. Medikamentosa

 Pasien dengan dehidrasi membutuhkan cairan intravena sampai inflamasi


hilang dan pasien bisa melanjutkan intake cairan oral adekuat.
 Antipiretik dan analgetik digunakan untuk meredakan demam dan rasa tidak
nyaman.
 Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah kultur diperoleh dari abses.
Penggunaan penisilin intravena dosis tinggi tetap sebagai pilihan baik untuk
terapi empiris untuk abses peritonsil.
 Sebagai pilihan alternatif, karena biasanya pus mikrobial, obat yang
mengobati kopatogen dan tahan terhadapp beta laktamase juga dianjurkan
sebagai pilihan pertama.
 Cephalexin atau sefalosporin lain (dengan atau tanpa metronidazol)
tampaknya merupakan pilihan awal. Pilihan alternatif antara lain (1)
cefuroxime or cefpodoxime (dengan atau tanpa metronidazol), (2)
klindamisin, (3) trovafloxacin, atau (4) amoksisilin/klavulanat (jika
mononucleosis sudah disingkirkan). Pasien dapat diberi resep antibiotik oral
jika intake oral sudah terpenuhi; lama pengobatan sebaiknya sekitar 7-10 hari.

33
 Penggunaan steroid kontroversial. Pada studi oleh Ozbek, penambahan dosis
tunggal dexametason ke dalam antibiotik parenteral telah ditemukan secara
signifikan mengurangi waktu rawat inap, nyeri tenggorok, demam, dan
trismus dibandingkan dengan kelompok pasien yang hanya diobati dengan
antibiotik parenteral.22 Dan juga, penggunaan steroid pada pasien dengan
gejala dan tanda mononukleosis selama studi belum menuju pembentukan
abses peritonsil.
 Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada
leher.

2. Bedah

Penanganan pasien yang diduga abses peritonsil sebaiknya meliputi


rujukan ke spesialis THT atau bedah dengan pengalaman terhadap penanganan
penyakit ini. Rujukan segera sebaiknya dipertimbangkan jika diagnosis belum
jelas dan diindikasikan pada pasien dengan obstruksi jalan napas.

Preoperatif

 Mendiskusikan patofisiologi dan indikasi operasi kepada pasien adalah


penting.
 Consent sebaiknya diterima dari pasien atau wali hanya setelah menjelaskan
komplikasi yang mungkin secara hati-hati.
 Pada kasus dimana akses jalan napas terganggu, konsultasi segera dengan
dokter anestesi harus dilakukan, dan mendiskusikan obstruksi jalan napas
yang potensial.
 Potensi obstruksi jalan napas yang signifikan muncul jika akses jalan napas
pasien dibatasi oleh trismus atau edema struktur orofaringeal.

Intraoperatif

34
Pada pasien kooperatif, tindakan dapat dilakukan di kursi pemeriksaan.
Lipatan supratonsil dianestesi dengan injeksi anestesi lokal dengan epinefrin untuk
mengurangi perdarahan. Tempat aspirasi atau insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.

a. Aspirasi jarum

 Aspirasi jarum dapat dilakukan pada anak berumur 7 tahun, khususnya jika
sedasi sadar dilakukan.
 Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik karena bisa
menentukan lokasi rongga abses secara akurat.
 Cairan aspirasi dapat dikirim untuk kultur dan pada beberapa kasus, dpat
tidak dilanjutkan dengan insisi dan drainase.

b. Insisi dan drainase

 Insisi dan drainase intraoral dilakukan dengan menginsisi mukosa di atas


abses, biasanya terletak di lipatan supratonsil.
 Setelah abses terlihat lokasinya, diseksi tumpul dilakukan untuk memecahkan
lokulisasi.
 Pembukaan dibiarkan terbuka untuk drainase, dan pasien diminta untuk
berkumur dengan larutan NaCl, supaya material yang terakumulasi keluar
dari rongga abses.
 Aspirasi atau drainase yang berhasil menuju ke perbaikan segera gejala-gejala
pasien.

Pada pasien sangat muda atau inkooperatif atau saat abses terletak di
tempat tidak biasa, sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.

35
Gambar 14. Insisi dan drainase pada abses peritonsil.19

c. Tonsilektomi

 Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan


bersama-sama tindakan drainase abses disebut tonsilektomi “a’chaud”. Bila
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi
“a’tiede”, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu setelah drainase abses, disebut
tonsilektomi “a’froid”.
 Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3
minggu setelah drainase abses.
 Tonsilektomi segera sebagai bagian penanganan abses peritonsil juga masih
merupakan kontroversi. Banyak studi menunjukkan amannya tonsilektomi
pada abses akut. Yang lainnya menunjukkan tonsilektomi seger atau tertunda
mungkin tidak perlu karena tingginya tingkat keberhasilan dan rendahnya
rekurensi dan morbiditas setelah drainase.
 Pada situasi dimana abses terletak di lokasi yang susah untuk dijangkau,
tonsilektomi mungkin satu-satunya jalan untuk drainase abses.

36
Pascaoperatif

 Karena perbaikan segera terhadap gejala nyeri, kebanyakan pasien dapat di


pulangkan segera setelah pembedahan jika intake oral bagus dan tidak ada
perdarahan.
 Beberapa pasien mungkin membutuhkan rawat inap untuk 24-48 jam atau
sampai intake oral sudah terpenuhi dan nyeri sudah menurun.
 Hidrasi intravena penting karena kebanyakan pasien memiliki defisit cairan.
 Penggunaan antibiotik lanjutan juka penting. Saat pasien dapat intake cairan
lewat mulut, antibiotik bisa diberikan secara oral selama 7-10 hari.
 Analgetik oral juga penting tergantung tingkat ketidaknyamanan dari
inflamasi.

3.1.9. Komplikasi

Sejumlah komplikasi klinis dapat terjadi jika diagnosis abses peritonsil


terlewat atau terlambat. Keparahan komplikasi tergantung progresifitas penyakit
dan juga karakteristik ruang-ruang yang terkena. Penanganan dan pencegahan
segera penting.1,17

1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau


piemia.
2. Penjalaran infeksi atau abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga
terjadi mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus
sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
4. Penjalaran dapat berlanjut ke ruang submandibular dan sublingual di dasar
mulut (Angina Ludovici).

37
5. Perdarahan merupakan komplikasi potensial jika arteri karotid eksterna atau
cabangnya terluka. Perdarahan dapat terjadi intraoperatif atau periode awal
pascaoperasi.23

3.1.10. Prognosis

Kebanyakan pasien yang diobati dengan antibiotik dan drainase adekuat


sembuh dalam beberapa hari. Sebagian kecil pasien mengalami abses kembali,
membutuhkan tonsilektomi. Jika pasien berlanjut melaporkan nyeri tenggorok
berulang dan/atau kronis setelah insisi dan drainase tepat, tonsilektomi
diindikasikan. 17

3.2. ABSES RETROFARING


3.2.1. Definisi1,2,24
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher
bagian dalam ( deep neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang
retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus
paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe retrofaring.
Penyakit ini ditemukan biasanya pada anak yang berusia di bawah 5 tahun.
Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar
limfa, masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung
aliran limfa dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan
telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi.

Abses retrofaringeal menghasilkan gejala nyeri tenggorok, demam, kaku


leher, dan stridor. Abses retrofaringeal terjadi lebih sedikit daripada jaman dahulu
karena penggunaan antibiotik meluas pada infeksi saluran napas atas supuratif.
Abses retrofaringeal, dulu secara eksklusif merupakan penyakit anak, sekarang
meningkat frekuensinya pada orang dewasa. Abses retrofaringeal menunjukan

38
tantangan diagnostik pada dokter gawat darurat karena kejadiannya yang tidak
frekuen dan presentasi yang bervariasi.

Pengenalan segera dan penanganan agresif terhadap abses retrofaringeal


penting karena penyakit ini masih memiliki mortalitas dan morbiditas yang
signifikan.

3.2.2. Epidemiologi

Frekuensi

Abses retrofaringeal relatif berkurang frekuensinya dibanding dulu karena


penggunaan antibiotik. Namun pada beberapa studi di Amerika Serikat yang
merupakan negara maju juga didapatkan peningkatan frekuensi dalam 12 tahun
sebanyak 4,5 kali.25

Mortalitas / Morbiditas

Saat mediastinitis terjadi, mortalitas mencapai 50%, meskipun dengan


pengobatan antibiotik. Abses retrofaringeal juga dapat menyebabkan trombosis
vena jugularis interna, erosi arteri karotid, perikarditis, dan abses epidural. Selain
invasi ke struktur yang berdekatan, abses retrofaringeal juga bisa menyebabkan
sepsis dan resiko terhadap jalan napas (airway compromise).

Tingkat mortalitas keseluruhan adalah 1% penelitian infeksi ruang leher


dalam di Taiwan.26 Pada studi terhadap 234 orang dewasa dengan infeksi leher
dalam di German, tingkat mortalitas 2,6%.27 Penyebab kematian terutama karena
sepsis dengan kegagalan multiorgan. Di Amerika Serikat, 2003, pada data pasien
rawat inap anak (Kids’ Inpatient Database) menunjukan 1321 pasien abses
retrofaring tanpa kematian.28 Pada kasus di Children’s National Medical Center di
Washington DC menunjukkan 4 anak umur 8-18 bulan dengan abses
39
retrofaringeal yang terkana mediastinitis. Ke-4 anak diobati secara agresif dengan
antibiotik dan drainase bedah, dan 3 pasien membutuhkan debridement
torakoskopik. Ke-4 anak selamat tanpa sekuel.29

Ras

Abses retrofaringeal melalui beberapa studi menunjukan hasil yang


berbeda-beda dalam hubungannya dengan ras.

 Dalam 10 tahun kasus abses retrofaringeal yang ditangani di Kings County


Hospital di Brooklyn, New York, 70% pasien adalah dari ras Afrika-Amerika,
25% Kaukasia, dan 5% Hispanik.
 Pada studi pasien pedtiatrik dengan abses retrofaringeal di Wayne State
University di Detroit menunjukkan 43% kasus terjadi di orang kulit hitam,
54% kulit putih, 1% Hispanik, dan 1% campuran.30
 Di Amerika Serikat, 2003, pada data pasien rawat inap anak (Kids’ Inpatient
Database) menunjukan 1321 pasien abses retrofaring, 37,4% kulit putih,
11,7% Afrika-Amerika, 11,1% Hispanik, 2% Asia, 3,8% ras lain, dan sisanya
ras tidak dicatat.28

Jenis Kelamin

Abses retrofaringeal lebih biasa terjadi pada laki-laki daripada perempuan,


dengan frekuensi 50-67% pada laki-laki dan 33-50% pada perempuan, dari hasil
beberapa studi.27,28,30

Umur

Abses retrofaringeal dulu merupakan penyakit yang biasa terjadi pada


anak, namun sekarang frekuensi pada dewasa meningkat.24

40
3.2.3. Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah
(1) infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2)
trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan
medis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3)
tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin). Pasien dengan penyakit
immunocompromised atau penyakit kronis seperti diabetes, kanker, alkoholisme,
dan AIDS memiliki resiko yang meningkat terhadap abses retrofaringeal.1,2,24
3.2.4. Patofisiologi 24

Ruang retrofaringeal adalah posterior dari faring, dengan fasia


bukofaringeal di anterior, fasia prevertebral di posterior, dan selubung karotid di
lateral. Ruang ini memanjang superior sampai basis kranii dan inferior ke
mediastinum.

Abses di ruang ini dapat disebabkan oleh organisme berikut:

- Organisme aerob, seperti streptococcus beta hemolitikus dan Staphylococcus


aureus.
- Organisme anaerob, seperti Bacteroides dan Veillonella.
- Organisme Gram negatif, seperti Haemophilus parainfluenzae dan Bartonella
henselae.

Tingkat mortalitas tinggi dari abses retrofaringeal berhubungan dengan


obstruksi jalan napas, mediastinitis, pneumonia aspirasi, abses epidural, trombosis
vena juular, fasiitis nekrotikans, sepsis, dan erosi arteri karotid.

3.2.5. Gejala dan tanda 1,2,24


Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada
anak kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau

41
makan atau minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul
sesak napas karena sumbatan, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan
berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga
dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada bayi,
nyeri tenggorok dan/atau pembengkakan leher dapat menyebabkan asupan gizi
yang kurang disertai letargi.
Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral.
Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis. Kelenjar getah bening leher juga dapat
membengkak. Pada anak dapat ditemukan gejala dan tanda tonsilitis, faringitis,
dan juga otitis media.

3.2.6. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium 24

 Darah perifer lengkap


o Rata-rata sel darah putih pada suatu studi 17000, dengan jarak antara
3100-45900.
o Sel darah putih pada 18% pasien kurang dari 8000; jadi, sel darah putih
normal tidak menyingkirkan diagnosis abses retrofaringeal.
o Pada studi di Jerman, rata-rata sel darah putih 14700 dengan jarak 200-
114000.
 Kultur darah diindikasikan sebelum pemberian antibiotik, tapi hasil kultur
mungkin negatif pada sekitar 82% kasus abses retrofaringeal.
 Kultur pus, yang diaspirasi pada saat drainase abses retrofaringeal, dapat
menumbuhkan satu atau lebih organisme 91% dari setiap pemeriksaan.
 Protein C-reaktif (CRP)

42
o Pada studi orang dewasa dan anak dengan infeksi leher dalam, pasien
dengan protein C-reaktif lebih dari 100 memiliki masa rawat inap lebih
lama.
o Pada studi Jerman, CRP rata-rata 15,7 dengan jarak 0,0-74.

2. Pemeriksaan radiologi 24

 Foto x-ray jaringan lunak leher lateral


o Pelebaran jaringan lunak retrofaringeal diamati pada 88% pasien dengan
abses retrofaringeal menunjukan pembengkakan jaringan lunak lebih dari
7 mm pada C2 dan lebih dari 14 mm pada C6. Studi lain menemukan
pembengkakan jaringan lunak lebih dari 7 mm pad C2 dan lebih dari 22
mm pada C6; jadi, radiografi leher lateral bisa kurang sensitif untuk
mendeteksi abses retrofaringeal daripada studi ini.
o Selain pembengkakan jaringan lunak, radiografi leher lateral kadang-
kadang tetapi jarang dapat menunjukan air fluid level, gas di jaringan,
atau benda asing.

 CT scan leher
o CT scan leher dengan kontras intravena sangat bergun untuk diagnosis
dan manajemen abses retrofaringeal. Abses retrofaringeal tampak sebagai
lesi hipodens pada ruang retrofaringeal dengan penebalan cincin perifer.
Temuan lain pada CT scan meliputi pembengkakan jaringan lunak,
lapisan lemak yang terobliterasi, dan efek masa.
o Lakukan CT scan leher dengan kontras intravena saat temuan x-ray leher
lateral kurang jelas atau gejala klinis abses retrofaringeal memenuhi
tetapi x-ray leher lateral memberi hasil negatif. X-ray leher lateral dapat
menyesatkan, terutama pada anak-anak.
o CT scan leher dengan kontras intravena juga dapat berguna jika x-ray
positif karena CT scan dapat membedakan antara abses retrofaringeal dan
43
selulitis. CT scan juga menunjukkan pelebaran abses retrofaringeal dan
hubungannya dengan pembuluh darah besar, yang sangat membantu
untuk dokter bedah.
o CT scan leher juga dapat membandingkan abses retrofaringeal dan
limfadenopati pada anak, yang dapat membantu dokter bedah THT untuk
menentukan pengobatan dengan antibiotik intravena saja atau dengan
drainase abses.
 Foto x-ray dada diindikasikan untuk melihat pneumonia spirasi dan
mediastinitis.
 MRI dengan gadolinium dapat melihat abses retrofaring, tetapi modalitas ini
belum digunakan secara luas.
 Ultrasonografi dapat menunjukkan abses retrofaringeal, tetapi penggunaannya
belum diklarifikasi.

3.2.7. Diagnosis 1
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas
bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto
Rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran
ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran
retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa.
Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal.
3.2.8. Diagnosis banding 1,24
1. Adenoiditis
2. Tumor
3. Aneurisma aorta
4. Epiglotitis
5. Abses peritonsil

44
3.2.9. Terapi 1
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah.
Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman
aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan
insisi abses melalui laringoskopi langsung dalam posisi pasien baring
Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan
dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien dirawat inap
sampai gejala dan tanda infeksi reda.

Gambar 15.(A)Insisi pada abses retrofaring dengan posisi Trendelenburg.


(B) Insisi pada abses peritonsil.31
3.2.10. Komplikasi 1,24
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah sebagai berikut:
1. penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera
2. mediastinitis
3. obstruksi jalan napas sampai asfiksia
4. bila pecah spontan, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru

45
5. dislokasi atlantooksipital
6. abses epidural
7. sepsis
8. erosi vertebra servikal 2 dan 3
9. defisit nervus kranialis (nervus IX-XII ada di dalam faisa servikalis)
10. trombosis septik sekunder dari erosi ke dalam arteri karotid 32
11. kompresi arteri karotid dan vena jugularis interna 32
12. palsi nervus fasialis

3.2.11. Prognosis 24

Prognosis umumnya baik jika abses retrofaringeal diidentifikasi segera,


ditangani secara agresif, dan komplikasi tidak terjadi. Tingkat kematian bisa
setinggi 40-50% jika pasien mengalami komplikasi serius.

3.3. ABSES PARAFARING


3.3.1. Definisi 1,2,33
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
ruang parafaring. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung
akibat tusukan saat tonsilektomi, limfogen dan hematogen.
3.3.2. Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:1,2,33
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi
dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah
terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring
superior) yang memisahkan ruang parafaring dan fosa tonsilaris.

46
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring,
hidung, sinus paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan
sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring.
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.

3.3.3. Patofisiologi 33
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan sekitar dan
membentuk abses sublingual, submental, submandibula, mastikator atau
parafaring. Dari gigi anterior sampai M1 bawah biasanya yang mula-mula terlibat
adalah ruang sublingual dan submental. Bila infeksi dari M2 dan M3 bawah,
ruang yang terlibat dulu adalah submandibula. Hal ini disebakan posisi akar gigi
M2 dan M3 berada di bawah garis perlekatan m. milohiod pada mandibula sedang
gigi anterior dan M1 berada diatas garis perlekatan tersebut.

Gambar 16. Jalur infeksi dari gigi.33

47
Gambar 17. Jalur perluasan potensial abses leher dalam. 33

3.3.4. Gejala dan tanda 1,2,33


Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di
sekitar angulus submandibula, demam tinggi dan pembengkakan diniding lateral
faring, sehingga menonjol ke arah medial.
3.3.5. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium33
Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis
kuman dan pemberian antibiotika yang sesuai.
2. Pemeriksaan Radiologi33
Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur
diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua
posisi tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis,
cairan di dalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.
Keterbatasan pemeriksaan foto polos leher adalah tidak dapat

48
membedakan antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks
dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks,
pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan
tomografi komputer dapat membantu menggambarkan lokasi dan perluasan abses.
Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan gambaran kontras
pada dinding abses dan edema jaringan lunak disekitar abses.

3.3.6. Diagnosis 1,2,33


Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda
klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto
Rontgen jaringan lunak AP atau CT scan.
3.3.7. Terapi 1,2,33
Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap
kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada
perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam
narkosis. Caranya melalui insisi dari luar dan inttra oral.
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula.
Secara tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus
ke arah atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna
mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat
di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi
horizontal ke bawah di depan m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).

49
Gambar 18. Insisi Mosher.33
Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai
klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior
ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan
sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal.
Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
3.3.8. Komplikasi 1,2,33
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau
langsung (per kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat
mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis
mencapai mediastinum.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila
pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur sehingga terjadi
perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul
tromboflebitis atau septikemia.

3.4. ABSES SUBMANDIBULA


3.4.1. Definisi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan
50
pus pada daerah submandibula.1,2,34 Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada
leher bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada
ruang submandibula berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring,
kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher
dalam lain.1,2
Akhir-akhir ini abses leher bagian dalam termasuk abses submandibula
sudah semakin jarang dijumpai.35 Hal ini disebabkan penggunaan antibiotik yang
luas dan kesehatan mulut yang meningkat. Walaupun demikian, angka morbiditas
dari komplikasi yang timbul akibat abses submandibula masih cukup tinggi
sehingga diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan.
3.4.2. Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau
kelenjar limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang
leher dalam lain.1
Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari
mandibula, jika apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus
mylohyoid.36 Infeksi dari gigi dapat menyebar ke ruang submandibula melalui
beberapa jalan yaitu secara langsung melalui pinggir myolohioid, posterior dari
ruang sublingual, periostitis dan melalui ruang mastikor.35
Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai
kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob
yang sering ditemukan adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus
influenza, Streptococcus Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp,
Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam
adalah kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun
Fusobacterium.37
3.4.3. Patofisiologi
Patofisiologi abses submandibula melalui gigi antara lain:38
1. Iritasi Pulpa
51
2. Hiperemic Pulpa
3. Pulpitis
4. Ganggren pulpa
5. Abses

Gambar 19. Patofisiologi abses submandibula.39

Ruang submandibula berhubungan dengan beberapa struktur didekatnya


(gambar di bawah) oleh karena itu abses submandibula dapat menyebar ke
struktur didekatnya.

52
Gambar 20. Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan
sagital.
Ket : SMS: submandibular space; SLS: sublingual space; PPS: parapharyngeal
space; CS: carotid space; MS: masticatory space. SMG: submandibular gland;
GGM: genioglossus muscle; MHM: mylohyoid muscle; MM: masseter muscle;
MPM: medial pterygoid muscle; LPM: lateral pterygoid muscle; TM: temporal
muscle.35
3.4.5. Gejala dan tanda 1,2
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah
mandibula dan atau di bawah lidah. Pasien juga biasanya akan mengeluhkan air
liur yang banyak, trismus akibat keterlibatan muskulus pterigoideus, disfagia dan
sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan
53
terdorong ke belakang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya pembengkakan
di daerah submandibula, fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan
material yang bernanah atau purulent (merupakan tanda khas). Angulus mandibula
dapat diraba. Lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.
3.4.6. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang
bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi
antibiotik.
2. Radiologis
a. Foto x-ray jaringan lunak kepala AP
b. Foto x-ray panoramik: dilakukan apabila penyebab abses
submandibuka berasal dari gigi.
c. Foto x-ray thoraks: perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum,
empisema subkutis, pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat
aspirasi abses.
d. CT-scan: CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan gold
standard pada abses leher dalam. Berdasarkan suatu penelitianbahwa
hanya dengan pemeriksaan klinis tanpa CT-scan mengakibatkan
estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien.
Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan hipodens (intensitas
rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid level.37
3.4.7. Diagnosis 1,2
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
3.4.8. Terapi
1. Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab,
uji kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara
54
parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur
pus. Antibiotik kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob,
gram positip dan gram negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman
penyebabnya adalah campuran dari berbagai kuman. Secara empiris
kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole masih cukup baik. Setelah
hasil uji sensistivitas kultur pus telah didapat pemberian antibiotik dapat
disesuaikan.36,37
Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi
terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone,
ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka
sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif.
Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari.36,37
2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi
abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan
terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan
luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os
hioid, tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari
gejala dan tanda infeksi reda.40

55
Gambar 21. (a)Insisi pada abses submandibula atau parotid. (b). Insisi pada
abses submasseter. Pada saat insisi kutaneus, perjalanan arteri dan vena
fasialis (a) harus diperhatikan, begitu juga dengan nervus fasialis (b).41
3. Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan
trakeostomi perlu dipertimbangkan.40

3.4.9. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau
langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula
paling sering meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini
cukup tipis.35 Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor
melewati muskulus pterigoideus medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya
infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.37
Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah
menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila
pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi
perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul
tromboflebitis dan septikemia.35
3.4.10. Prognosis
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat
didiagnosis secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak
terjadi. Pada fase awal dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan
pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat menghasilkan penyembuhan yang
sempurna.Apabila telah terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai 40-50%
walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis mempunyai angka
mortalitas 20-40% sedangkan trombosis vena jugularis mempunyai angka
56
mortalitas 60%.40
3.5. ANGINA LUDOVICI (LUDWIG’S ANGINA)
3.5.1. Definisi 1,2,42
Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis
(peradangan jaringan ikat) dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh
ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan
submandibula. Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di
mana infeksi bakteri berasal dari rongga mulut seperti gigi, lidah, gusi,
tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang membedakan angina Ludovici dari
infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua
ruang submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).

3.5.2. Etiologi 1,2,43


Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman
aerob dan anaerob. Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh
odontogen baik melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral
hygiene yang kurang. Selain itu, 95% kasus angina Ludwig melibatkan ruang
submandibular bilateral dan gangguan jalan nafas merupakan komplikasi paling
berbahaya yang seringkali merenggut nyawa. Rute infeksi pada kebanyakan kasus
ialah dari terinfeksinya molar ketiga rahang bawah atau dari perikoronitis, yang
merupakan infeksi dari gusi sekitar gigi molar ketiga yang erupsi sebagian. Hal ini
mengakibatkan pentingnya mendapatkan konsultasi gigi untuk molar bawah
ketiga pada tanda pertama sakit, perdarahan dari gusi, kepekaan terhadap
panas/dingin atau adanya bengkak di sudut rahang.
Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi penyebab
odontogenik dari angina Ludwig. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada
tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan menyebar ke
ruang submandibular. Di samping itu, perawatan gigi terakhir juga dapat
57
menyebabkan angina Ludwig, antara lain: penyebaran organisme dari gangren
pulpa ke jaringan periapikal saat dilakukan terapi endodontik, serta inokulasi
Streptococcus yang berasal dari mulut dan tenggorokan ke lidah dan jaringan
submandibular oleh manipulasi instrumen saat perawatan gigi.
Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain sialadenitis
kelenjar submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat
keganasan mulut, abses peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus, epiglotitis,
injeksi obat intravena melalui leher, trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi
endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah, infeksi saluran pernafasan atas,
dan trauma pada dasar mulut.
Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig
melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri
anaerob yang diisolasi seringkali berupa bacteroides, peptostreptococci, dan
peptococci.
Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum,
Aerobacter aeruginosa, spirochetes, Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies
Clostridium. Bakteri Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria,
Escherichia coli, spesies Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies
Klebsiella.

3.5.3. Gejala dan tanda 1,2,42


Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu
terasa tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan
mengalami kesulitan membuka mulut, berbicara, dan menelan, yang
mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta kesulitan bernapas.
Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan dan minum. Gejala klinis
umum angina Ludovici meliputi malaise, lemah, lesu, malnutrisi, dan dalam kasus
yang parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas. Gejala klinis
58
ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang keras seperti papan
(board-like) serta peninggian suhu pada leher dan jaringan ruang submandibula-
sublingual yang terinfeksi; disfonia (hot potato voice) akibat edema pada organ
vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakan, nyeri dan peninggian lidah;
nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan dalam artikulasi
bicara (disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi
dengan karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar
bawah dapat dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang
submandibular yang dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus
dapat terjadi dan menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda
penting seperti pasien tidak mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu,
stridor inspirasi dan sianosis menunjukkan adanya hambatan pada jalan napas
yang perlu mendapat penanganan segera. Pada pasien juga mungkin akan
ditemukan tanda-tanda dehidrasi karena kurangnya asupan makanan dan
minuman.
3.5.4. Pemeriksaan Penunjang44
1. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah: tampak leukositosis yang mengindikasikan adanya
infeksi akut. Pemeriksaan waktu bekuan darah penting untuk dilakukan
tindakan insisi drainase.
 Pemeriksaan kultur dan sensitivitas: untuk menentukan bakteri yang
menginfeksi (aerob dan/atau anaerob) serta menentukan pemilihan
antibiotik dalam terapi.
2. Pemeriksaang radiologi
 Foto x-ray: walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan
dalam mendiagnosis atau menilai dalamnya abses leher, foto polos ini
dapat menunjukkan luasnya pembengkakkan jaringan lunak. Radiografi
dada dapat menunjukkan perluasan proses infeksi ke mediastinum dan
59
paru-paru. Foto panoramik rahang dapat membantu menentukan letak
fokal infeksi atau abses, serta struktur tulang rahang yang terinfeksi.
 USG: USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis
dari abses. USG dapat membantu diagnosis pada anak karena bersifat non-
invasif dan non-radiasi. USG juga membantu pengarahan aspirasi jarum
untuk menentukan letak abses.
 CT-scan: CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena dapat
memberikan evaluasi radiologik terbaik pada abses leher dalam. CT-scan
dapat mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta derajat
obstruksi jalan napas sehingga dapat sangat membantu dalam memutuskan
kapan dibutuhkannya pernapasan buatan.
 MRI: MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak
dibandingkan dengan CT-scan. Namun, MRI memiliki kekurangan dalam
lebih panjangnya waktu yang diperlukan untuk pencitraan sehingga sangat
berbahaya bagi pasien yang mengalami kesulitan bernapas.
3.5.5. Diagnosis 1,2,42,44
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang ditambah adanya riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut
gigi.
3.5.6. Terapi
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:44
 pertama dan paling utama, menjaga patensi jalan napas.
 kedua, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati
dan membatasi penyebaran infeksi.
 ketiga, dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.

Trakeostomi awalnya dilakukan pada kebanyakan pasien, namun dengan


adanya teknik intubasi serta penempatan fiber-optic Endotracheal Tube yang lebih

60
baik, maka kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi dilakukan melalui
hidung dengan menggunakan teleskop yang fleksibel saat pasien masih sadar dan
dalam posisi tegak. Jika tidak memungkinkan, dapat dilakukan krikotiroidotomi
atau trakheotomi dengan anestesi lokal.44
Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi antibiotik
dan operasi dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam
kondisi yang lebih terkontrol, menghindari kebutuhan akan
trakheotomi/krikotiroidotomi, serta mengurangi waktu pemulihan di rumah sakit.
Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti dengan pemberian dosis 4 mg tiap 6 jam
selama 48 jam.44
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera
diberikan. Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi
setiap 4 jam) merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan
meningkatnya prevalensi produksi beta-laktamase terutama pada Bacteroides sp,
penambahan metronidazole, clindamycin, cefoxitin, piperacilin-tazobactam,
amoxicillin-clavulanate harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu
mengoptimalkan regimen terapi.44
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi
(mengurangi ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina
Ludwig jarang terdapat pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat
dilakukan memakai cunam tumpul. Jika terbentuk nanah, dilakukan insisi dan
drainase. Insisi dilakukan di garis tengah secara horisontal setinggi os hyoid (3-4
jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di bawah dan paralel dengan corpus
mandibula melalui fascia dalam sampai kedalaman kelenjar submaksila. Insisi
vertikal tambahan dapat dibuat di atas os hyoid sampai batas bawah dagu. Jika
gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi dari penyakit ini, maka gigi tersebut
harus diekstraksi untuk mencegah kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai
infeksi reda.1,45

61
Gambar 22. Insisi pada angina Ludovici.31
3.5.7. Komplikasi 1,2,42
Angina Ludwig merupakan selulitis bilateral dari ruang submandibular
yang terdiri dari dua ruang yaitu ruang sublingual dan ruang submaksilar. Secara
klinis, kedua ruang ini berfungsi sebagai satu kesatuan karena adanya hubungan
bebas serta kesamaan dalam tanda dan gejala klinis. Celah buccopharingeal, yang
dibentuk oleh m. styloglossus melalui m. constrictor media dan superior,
merupakan penghubung antara ruang submandibular dengan ruang pharingeal
lateral. Infeksi angina Ludwig dapat menyebar secara langsung melalui celah
buccopharingeal ini ke ruang pharingeal lateral, di mana selulitis akan dengan
cepat menjadi berbahaya serta menimbulkan obstruksi jalan napas yang berat.
Akibat barrier anatomik yang tidak dibatasi, infeksi dapat menyebar secara
mudah ke jaringan leher, ruang fascia retropharingeal, bahkan hingga
mediastinum dan ruang subphrenik. Selain gejala obstruksi jalan napas yang dapat
terjadi tiba-tiba, komplikasi dari angina Ludwig dapat berupa trombosis sinus
kavernosus, aspirasi dari sekret yang terinfeksi, dan pembentukan abses
subphrenik. Komplikasi lebih lanjut yang telah dilaporkan meliputi sepsis,
mediastinitis, efusi perikardial/pleura, empiema, infeksi dari carotid sheath yang
62
mengakibatkan ruptur a. carotis, dan thrombophlebitis supuratif dari v. jugularis
interna.
3.5.8. Prognosis
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas
untuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan
radang. Sekitar 45% – 65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area
yang terinfeksi, disertai dengan pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil
pengobatan yang lengkap. Selain itu, 35% dari individu yang terinfeksi
memerlukan intubasi dan trakeostomi.44
Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa.
Kematian pada era preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan diagnosis
dini, perlindungan jalan nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik
intravena yang adekuat serta penanganan dalam ICU, penyakit ini dapat sembuh
tanpa mengakibatkan komplikasi. Begitu pula angka mortalitas dapat menurun
hingga kurang dari 5%.45

BAB IV
ANALISIS MASALAH
Pasien An. A, 7 bulan, datang ke IGD RSUD Raden Mattaher Jambi dengan
keluhan keluar nanah dari leher kiri sejak ± 3 hari SMRS. Nanah berwarna
kuning, kental, dan berbau. Sebelumnya, ±10 hari SMRS pasien mengeluhkan
adanya benjolan sebesar seperti gigitan nyamuk yang semakin membesar.
Bengkak terasa nyeri dan kemerahan. Keluhan juga disertai dengan demam (+),
63
Mual (-), Muntah (-), BAK (+) normal, BAB (+) normal
Pada identitas pasien diketahui bahwa pasien berusia 7 bulan, berjenis
kelamin perempuan. Dari anamnesis didapatkan keluhan pasien yaitu keluhan
keluar nanah dari leher kiri sejak ± 3 hari SMRS. Nanah berwarna kuning, kental,
dan berbau. Pada anamnesis didapatkan gejala-gejala yang dialami pasien
merupakan gejala dari abses leher dalam tipe submandibular berupa bengkak di
rahang bawah, nyeri, dan
berfluktuasi, disertai kesulitan membuka mulut (trismus) dan demam. Sementara
gejala abses submental berupa benjolan di bawah dagu yang kemerahan
dengannyeri tekan positif dan terasa fluktuasi pada perabaan. Menurut
kepustakaan,lokasi abses leher dalam yang paling sering terjadi adalah abses
submandibula,dan angka kejadian abses lebih dari satu ruang potensial sebesar
29%. Abses pada pasien ini hanya terjadi pada satu sisi, dimana hal ini
berhubungan dengan sumber infeksi.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil leukosit yang meningkat dan
hasil hitung jenis menunjukkan peningkatan pada hitung neutrophil yang
menandakan infeksi kemingkinan disebabkan oleh bakteri.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka
didapat didiagnosis pasien abses colli sinistra
Tatalaksana awal dilakukan pada pasien adalah pemberian IVFD RL
800 cc/24 jam, Inj Ceftriaxone 2 x 400 mg, Inj. Metronidazole 3 x 80 mg, Inj.
Paracetamol 4 x 150 mg sebagai antibiotic dan antiinflamasi, dan dilakukan
drainase abses sebagai terapi definitive untuk evakuasi dari abses dan untuk
mencegah komplikasi pada pasien ini.

64
BAB V
KESIMPULAN

Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam ruang potensial di
antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber,
seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala
dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam
65
yang terlibat. Penatalaksanaan pada abses leher dalam dapat dilakukan secara
medikamentosa dan non-medikamentosa untuk mengurangi, mengobati dan
membatasi sumber infeksi, serta mencegah komplikasi yang dapat terjadi

DAFTAR PUSTAKA
1. Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. Hal. 226-30.
2. Adams, G.L. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies,
Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC. 1997. Hal.333.
66
3. The Mouth. Dalam: Gray’s Anatomy of The Human Body. Yahoo
Education. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat di:
http://education.yahoo.com/reference/gray/subjects/ subject/ 242 .
4. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. Hal. 212-6.
5. Snell RS. Pharynx. Dalam: Snell RS. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa
Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. Hal. 795-801.
6. Mouth cavity. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://atlas.likar.info/Nebo/.
7. Zoltan V. Pharynx. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://www.earspecialist. eu/index.php?
page=content&method=static&id=116.
8. Tonsil. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://www.graphicshunt.com/ health/images/lingual_tonsil-1853.htm .
9. Rambe AYM. Abses Retrofaring. Dalam: USU Digital Library. Diakses: 8
Desember 2011. Diperbaharui: 2003. Terdapat pada:
http://repository.usu.ac.id/handle/ 123456789/ 3464.
10. Scott BA, Stiernberg CM. Deep neck space infections. Dalam : Bailey BJ,
Ed. Head and neck surgery – otolaryngology, Vol 1. Philadelphia: JB
Lippincott Company , 1993 . h.738-49.
11. Snell RS. Fascia Cervicalis Profunda. Dalam: Snell RS. Anatomi Klinik
Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. Hal. 849-51.
12. Axial Section of Oropharynx. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://atlas.likar.info/Okologlotochnaya_kletchatka/ .
13. Abses Parafaring. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
www.scribd.com/doc/57908713/Abses-Parafaring.

67
14. Acevedo JL, Isaacson GC. Pediatric Retropharyngeal Abscess. Terakhir
diperbaharui: 22 Juli 2011. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://emedicine.medscape.com /article/995851-overview.
15. Hartmann RW. Ludwig’s Angina in Children. Am Fam
Physician. 1999 Jul 1;60(1):109-112. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat
pada: http://www.aafp.org/afp/1999/0701/ p109.html.
16. Angina Ludovici. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
www.scribd.com/doc/6208 0690/Angina-Ludwig.
17. Gosselin BJ, Geibel J. Peritonsillar Abscess. Terakhir diperbaharui: 4
Februari 2010. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://emedicine.medscape.com/ article/194863-overview#showall .
18. Repanos C, Mukherjee P, Alwahab Y. Role of microbiological studies in
management of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Aug
2009;123(8):877-9.
19. Peritonsillar Abscess. Dalam: Access Emergency Medicine from McGraw-
Hill. Diakses: 13 Desember 2011. Terdapat pada:
http://www.accessemergencymedicine .com/overflow.aspx?
searchStr=peritonsillar+abscess&hasExactMatch=True&hasDrugMatch=Fa
lse&searchSource=Images&ftbool=False.
20. Ramirez-Schrempp D, Dorfman DH, Baker WE, Liteplo AS. Ultrasound
soft tissue applications in the pediatric emergency department: to drain or
not to drain?. Pediatr Emerg Care. Jan 2009;25(1):44-8.
21. Kilty SJ, Gaboury I. Clinical predictors of peritonsillar abscess in adults. J
Otolaryngol Head Neck Surg. Apr 2008;37(2):165-8.
22. Ozbek C, Aygenc E, Tuna EU, Selcuk A, Ozdem C. Use of steroids in the
treatment of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Jun 2004;118(6):439-
42.
23. Heidemann CH, Wallen M, Aakesson M, et al. Post-tonsillectomy
hemorrhage: assessment of risk factors with special attention to
68
introduction of coblation technique. Eur Arch Otorhinolaryngol. Jul
2009;266(7):1011-5.
24. Kahn JH, O’Connor RE. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine.
Terakhir diperbaharui: 17 Juni 2010. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat
pada: http://emedicine.medscape.com/ article/764421-overview#showall .
25. Abdel-Haq NM, Harahsheh A, Asmar BL. Retropharyngeal abscess in
children: the emerging role of group A beta hemolytic streptococcus. South
Med J. Sep 2006;99(9):927-31.
26. Wang LF, Kuo WR, Tsai SM, Huang KJ. Characterizations of life-
threatening deep cervical space infections: a review of one hundred ninety-
six cases. Am J Otolaryngol. Mar-Apr 2003;24(2):111-7.
27. Ridder GJ, Technau-Ihling K, Sander A, Boedeker CC. Spectrum and
management of deep neck space infections: an 8-year experience of 234
cases. Otolaryngol Head Neck Surg. Nov 2005;133(5):709-14.
28. Lander L, Lu S, Shah RK. Pediatric retropharyngeal abscesses: a national
perspective. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. Dec 2008;72(12):1837-43.
29. Shah RK, Chun R, Choi SS. Mediastinitis in infants from deep neck space
infections. Otolaryngol Head Neck Surg. Jun 2009;140(6):936-8.
30. Coticchia JM, Getnick GS, Yun RD, Arnold JE. Age-, site-, and time-
specific differences in pediatric deep neck abscesses. Arch Otolaryngol
Head Neck Surg. Feb 2004;130(2):201-7.
31. The Surgery of Sepsis. Terakhir diperbaharui: 20 April 2010. Diakses: 14
Desember 2011. Terdapat pada:
http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/The_surgery_of_ sepsis.
32. Elliott M, Yong S, Beckenham T. Carotid artery occlusion in association
with a retropharyngeal abscess. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. Feb
2006;70(2):359-63.
33. Abses Parafaring. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
www.scribd.com/ doc/66624613/abses-parafaring.
69
34. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal
infection. International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33.
35. Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N, et all.
Odontogenic infection pathway to the submandibular space: imaging
assessment. Int. J. Oral Maxillofac. Surg. 2002; 31: 165–9.
36. Huang T, Chen T, Rong P, Tseng F, Yeah T, Shyang C. Deep neck
infection: analysis of 18 cases. Head and neck. Ockt 2004.860-4 .
37. Pulungan MR. Pola Kuman abses leher dalam. Diakses: 14 Desember 2011.
Terdapat pada:http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-
LEHERDALA M-Revisi.
38. Abses Submandibula. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://www.scribd.com/doc/68513145/ABSES-SUBMANDIBULA.
39. Tooth Decahy progression. Diakses: 8 desember 2011. Terdapat pada:
http://www.moondragon.org/health/graphics/toothdecayprogression.jpg .
40. Gómez CM, Iglesia V, Palleiro O, López CB. Phlegmon in the
submandibular region secondary to odontogenic infection. Emergencias
2007;19:52-53.
41. Fundamental Principles of Treatment of Infection-Oral Surgery Lecture
Note. Terakhir diperbaharui: 17 Juli 2011. Diakses: 14 Desember 2011.
Terdapat pada:
http://dentistryandmedicine.blogspot.com/2011/07/fundamental-principles-
of-treatment-of.html
42. MD Guidelines. Ludwig’s Angina. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat
pada: http://www.mdguidelines.com/ludwigs-angina.
43. Topazian R. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. St. Louis: W.B.
Saunders; 2002.
44. Ludwig’s Angina. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
www.scribd.com/doc /62080690/Angina-Ludwig.

70
45. Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-
Maret 2008;Vol.21.

71

Anda mungkin juga menyukai