Abses Colli
2021
LEMBAR PENGESAHAN
Abses Colli
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Bed Side Teaching yang
berjudul “Abses Colli ”. Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima
kasih banyak kepada dr. Miftahurrahmah, Sp. BA selaku dosen pembimbing yang
memberikan banyak ilmu selama di Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Bedah.
Penulis menyadari bahwa laporan Bed Side Teaching ini jauh dari
sempurna, penulis juga masih dalam tahap pembelajaran, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik ke depannya.
Akhir kata, penulis berharap semoga laporan Bed Side Teaching (BST) ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi dan
pengetahuan kita.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Keluar nanah dari leher kiri sejak ± 3 hari SMRS
2
Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat Keluhan serupa disangkal
a. Status Generalis
a. Kepala : Normocephal, rambut tidak mudah dicabut.
b. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil Isokor (+/+)
c. Telinga : Otore (-/-), darah (-), nyeri tekan tragus (-)
d. Hidung : Epistaksis (-), septum deviasi (-) Rhinore (-)
e. Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (+), Abses (+),
Undulasi (+), pus (+)
f. Mulut : Bibir kering (-), atrofi papil(-), gusi berdarah(-).
b. Thorax (Paru)
a. Inspeksi : ekspansi dinding dada simetris, retraksi (-)
b. Palpasi : fremitus taktil normal, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
c. Perkusi : sonor (+/+)
d. Auskultasi : vesikuler (+/+)Normal, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
3
c. Thorax (Jantung)
a. Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
b. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
c. Perkusi : Batas-batas jantung
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan: ICS IV linea parasternal dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
d. Auskultasi : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
d. Abdomen
a. Inspeksi : Datar, sikatrik (-), defans muscular (-), jejas (-),
luka (-)
b. Palpasi : Soepel, Nyeri tekan (-)
c. Perkusi : Timpani (+)
d. Auskultasi : BU (+) normal
Ekstremitas inferior
Dextra
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
4
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
Sinistra
Status lokalisata
STATUS LOKALIS
Regio Colli Sinistra
a. Inspeksi : tampak benjolan berwarna kemerahan berbatas tegas
b. Palpasi : Nyeri tekan (+), teraba panas (+), undulasi (+)
c. Move : Gerakan terbatas karena nyeri
Hb 9.21 11 – 15
MCV 77.1 80 – 96
MCH 26.1 27 – 31
MCHC 33.8 32 – 36
Leukosit 23.2 4 – 10
5
KESAN :
Leukositosis, Anemia hipokromik mikrostitik, penurunan hematokrit
2.7. Diagnosis
Abses Colli Sinistra
2.8. Penatalaksanaan
Farmakologi:
• IVFD RL 800 cc/24 jam
• Inj Ceftriaxone 2 x 400 mg
• Inj. Metronidazole 3 x 80 mg
• Inj. Paracetamol 4 x 150 mg
Non Farmakologi:
Asupan nutrisi yg cukup
Tindakan Operasi (Insisi + drainase + debridement)
Diagnosis post op : Post insisi + drainase + debridement a.i abses colii sinistra
2.9. Prognosis
Quo Vitam : ad bonam
Quo Functionam : ad bonam
Quo Sanactionam : ad bonam
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. ANATOMI FARING
Gambar 1. Potongan sagital rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring. 3
7
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari
dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6.
Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan
laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan
dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpamnjang.
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot, dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi
atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring).
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan
otot. 4,5
1. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada
nasofraing karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia,
sedamng epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian
bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran
cerna, epitelnya berlapis gepeng dan tidak bersilia.
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang
terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem
retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan
tubuh terdepan.
2. Palut lendir (mucous blanket)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui
hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas
silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini
mengandung enzim lysozyme yang penting untuk proteksi.
3. Otot
8
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor
faring superior, media, dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot
ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian
atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan
di belakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut “rafe faring” (raphe
pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini
dipersarafai oleh n.vagus (n.X).
Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. Letak
otot-otot ini di sebelah dalam. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan
menarik laring, sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan
menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai
elevator. Kerja kedua otot itu penting sewaktu menelan. M.stilofaring dipersarafi
oleh n.IX sedangkan m.palatofaring dipersarafi oleh n.X.
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam
satu sarung fasia dari mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli palatini,
m.palatoglosus, m.palatofaring, dan m.azigos uvula.
1. M.levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya
untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius.
Otot ini dipersarafi oleh n.X.
2. M.tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk
mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba Eustachius.
Otot ini dipersarafi oleh n.X.
3. M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan
ismus faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
4. M.palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh
n.X.
5. M.azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan
menaikkan uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
9
Gambar 2. Rongga mulut. 6
Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak
beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring
asendens dan cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang
palatina superior.
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus daring
yang ekstensif. Plesksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari
n.glososfaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut
motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-
otot faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang
n.glosofaring (n.IX).
Kelenjar getah bening
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior,
media, dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening
retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media
mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam
10
atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening dalam
bawah.
Pembagian faring
Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior.
Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas
yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang
dinamanakan fosa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan
biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses.
Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan
kapsul yang sebenarnya.
Tonsil
12
Gambar 4. Cincin Waldeyer. 8
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan
ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya.
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina, dan tonsil lingual yang ketiga0tiganya membentuk lingkaran
yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut
tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali
ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang
kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai
celah yang disebut kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan
leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga
disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot farings
sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat
darah dari a.palatina minor, a.palatina asendens, cabang tonsil a.maksila
eksterna, a.faring asendens, dan a.lingualis dorsal. Tonsil lingual
13
terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat
foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila
sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran
duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada
massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
3. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis,
batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas
posterior adalah vertebra servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan
kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan
laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama
yang tampak di bawah dasar lidah adalah valekula. Bagian ini
merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum
glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap
sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill’s pocket), sebab pada
beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini
berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar,
meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap
sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi
demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi
tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga
untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke
esofagus.
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap
sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian
analgesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi
14
langsung.
Lapisan fasia leher dalam
Fasia servikalis :
A. Fasia servikalis superfisialis
B. Fasia servikalis profunda :
1. Lapisan superfisial
2. Lapisan media :
- divisi muskular
- divisi viscera
3. Lapisan profunda :
- divisi alar
- divisi prevertebra
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus
organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa
ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis
superfisialis dan fasia servikalis profunda.
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke
bawah ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang
antara fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar
limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.
Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu : 9,10,11
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar
tengkorak sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke
daerah wajah dan melekat pada klavikula serta membungkus m.
sternokleidomastoideus, m.trapezius, m. masseter, kelenjar parotis dan
submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer , lapisan
15
pembungkus dan lapisan anterior.
2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi
muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan
membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid.
Dibagian superior melekat pada os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian
inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula.
Divisi viscera membungkus organ – organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid,
trakea dan esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak
bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat
pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke toraks,
menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia
bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian
posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator.
3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi
alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi
prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan
bersatu dengan divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar
melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding
anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke
lateral meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut.
Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding
posterior dari danger space dan dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga
lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis ( carotid sheath )
yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris sampai ke
toraks.
16
Ruang faringeal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring. 4,5
1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space)
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang
terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring.
Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Serat-serat
jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring,
yang dibatasi oleh :
- anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia
servikalis profunda ) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan
tiroid
- posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
- lateral : selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring (fosa
faringomaksila).
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke
mediastinum setinggi bifurkasio trakea ( vertebra torakal I atau II )
dimana divisi viscera dan alar bersatu. Abses retrofaring sering
ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya ialah karena di ruang
retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Daerah retrofaring terbagi
menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh midline raphe .
Tiap – tiap bagian mengandung 2 – 5 buah kelenjar limfe retrofaring
yang biasanya menghilang setelah berumur 4 – 5 tahun. Kelenjar ini
menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasal,
nasofaring, faring, tuba Eustakius dan telinga tengah. Pada peradangan
kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah,
nanahnya akan tertumpah di dalam ruang retrofaring. Daerah ini disebut
juga dengan ruang retroviscera, retroesofagus dan ruang viscera
17
posterior.
2. Ruang parafaring (fosa faringomaksila : pharyngomaxillary fossa)
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada
dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu
mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor
faring superior, batas luarnya adalah ramus asendens mandibula yang
melekat dengan m.pterigoideus interna dan bagian posterior kelenjar
parotis.
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya
oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior
(prestiloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses
supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk
mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi
a.karotis interna, v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam
suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini
dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.
18
Gambar 5. Potongan axial orofaring menunjukkan ruang retrofaring dan
parafaring.12
19
Gambar 6. Penampang sagital leher memperlihatkan posisi spatium
retropharyngeum dan submandibularis.11
20
Gambar 7. Potongan oblik leher menunjukkan ruang faringomaksila (parafaring),
ruang submaksila, dan ruang potensial lainnya.13
21
Gambar 8. Potongan koronal ruang parafaring.13
22
Gambar 9. Potongan sagital faring menunjukkan ruang retrofaring, danger space,
dan prevertebral space.14
Ruang submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila.
Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid.
Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang
submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Ruang mandibular dibatasi pada bagian lateral oleh garis inferior dari badan
mandibula, medial oleh perut anterior musculus digastricus, posterior oleh
ligament stylohyoid dan perut posterior dari musculus digastricus, superior oleh
musculus mylohyoid dan hyoglossus, dan inferior oleh lapisan superficial dari
deep servikal fascia. Ruang ini mengandung glandula saliva sub mandibular dan
23
sub mandibular lymphanodes.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke
dalam ruang submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang
submental dan ruang submaksila saja.
Gambar 10. Ruang sublingual dan ruang submandibula yang dibagi oleh
m.mylohyoideus.15
24
Fungsi faring yang utama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara, dan untuk artikulasi. 4
Fungsi menelan
Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan
fase esofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan
disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu transpor bolus
makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase
esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan
bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung.
Fungsi faring dalam proses bicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke
arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan
melibatkan mula-mula m.salfingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator
veli palatini bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan
nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir
mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold
of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam
mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring
(bersama m.salfingofaring) dan oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior.
Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan.
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode
fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang
secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.
25
Abses peritonsil merupakan akumulasi pus terlokalisir di jaringan
peritonsil yang terbentuk akibat dari tonsilitis supuratif. Penjelasan lain adalah
abses peritonsil merupakan abses yang terbentuk di kelompok kelenjar air liur di
fosa supratonsil, yang disebut sebagai kelenjar Weber. Nidus akumulasi pus
terletak antara kapsul tonsil palatina dan muskulus konstiktor faringeus. Pilar
anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan sinus piriformis (inferior)
membentuk batas ruang peritonsil potensial. Karena terbentuk dari jaringan ikat
longgar, infeksi parah area ini bisa secara cepat membentuk material purulen.
Inflamasi dan supurasi progresif bisa menyebar langsung melibatkan palatum
mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang dasar dari lidah.
3.1.2. Epidemiologi
3.1.3. Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
26
penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan
anaerob.1
3.1.4. Patofisiologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menampati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Proses
inflamasi dan supurasi dapat melebar melibatkan palatum mole, dinding lateral
faring, dan kadang-kadang, dasar lidah. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil
dapat terbentuk di bagian inferior.1
Teori lain menunjukkan asal abses peritonsil ada di kelenjar Weber. 1,17
Kelenjar air liur kecil ini ditemukan di ruang peritonsil dan disebutkan membantu
membersihkan debris dari tonsil. Saat obstruksi terjadi sebagai hasil dari jaringan
27
parut karena infeksi, nekrosis jaringan dan pembentukan abses terjadi, sehingga
terjadilah abses peritonsil.
Fosa tonsiler kaya akan pembuluh limfa menuju ke ruang parafaring dan
kelenjar limfa servikal superior, yang menjelaskan pola limfadenopati secara
klinis. Limfadenopati servikal superior ipsilateral adalah hasil penyebaran infeksi
ke kelenjar limfa regional. Kadang-kadang, keparahan proses supuratif dapat
menuju abses servikal, khususnya pada kasus yang sangat fulminan atau progresif
cepat.
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri
menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga
(otalgia), mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore),
banyak ludah (hipersalivasi), suara gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang
sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula
dengan nyeri tekan. Pasien biasanya memiliki riwayat faringitis akut ditemani
dengan tonsilitis dan rasa faring tidak nyaman unilateral dan makin memburuk.
Pasien mungkin mengalami malaise, kelelahan, dan sakit kepala. Pasien sering
mengalami demam dan rasa tenggorokan penuh yang tidak simetris. Karena
28
limfadenopati dan inflamasi otot servikal, pasien sering mengalami nyeri leher dan
bahkan keterbatasan gerak leher. Dokter harus memikirkan diagnosis abses
peritonsil pada pasien dengan gejala faring persisten meskipun sudah diberikan
rejimen antibiotik yang adekuat.
2. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan fisik mungkin hasil bervariasi dari tonsilitis akut dengan
faring asimetris unilateral sampai dehidrasi dan sepsis, Kebanyakan pasien
memiliki nyeri berat. Pemeriksaan rongga mulut menunjukkan tanda-tanda eritem,
palatum mole asimetris, eksudasi tonsil, dan uvula disposisi kontralateral.
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum
mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula
bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin
banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.
Darah perifer lengkap, elektrolit, kultur darah: pasien dengan abses peritonsil
sering tampak septik dan dapat menunjukkan derajat bervariasi dehidrasi
karena intake oral yang kurang. Untuk mengetahui dua peristiwa ini perlu
pemeriksaan darah perifer lengkap, elektrolit, dan kultur darah.
Tes Monospot
o Pada pasien yang menunjukkan tonsilitis dan limfadenopati servikal
bilateral, tes Monospot (antibodi heterofil) harus dipertimbangkan
o Jika hasil tes positif, pasien membutuhkan evaluasi hepatosplenomegali.
Tes fungsi hati harus dipertimbangkan pada pasien dengan hepatomegali.
Kultur swab tenggorok: untuk membantu identifikasi organisme infeksius,
swab tenggorok dan kultur harus dipertimbangkan. Hasil dapat membantu
seleksi antibiotik yang paling tepat saat organisme teridentifikasi, mebatasi
resiko resitensi antibiotik.
30
2. Pemeriksaan radiologi
3. Aspirasi jarum
31
Lokasi aspirasi dianestesi dengan lidocaine dengan epinefrin, dan jarum
ukuran 16-18 G dipasang di spuit 10cc. Infiltrasi adalah metode pilihan untuk
anestesi lokal untuk aspirasi dan insisi abses peritonsil.
Jarum ditusukkan di mukosa yang telah teranestesi dimana aspirasi akan
dilakukan.
Aspirasi material purulen merupakan diagnostik, dan dapat dikirim untuk
kultur.
32
Pada dewasa, tanda klinis yang berhubungan dengan abses peritonsil
antara lain trismus, deviasi uvula, disposisi inferior kutub superior dari tonsil yang
terkena.21 Pada kasus abses peritonsil, saat insisi dan drainase dilakukan, gejala
pasien akan membaik. Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan
terapeutik, karena dapat menentukan lokasi akurat ruang abses. Cairan aspirasi
dapat dikultur, dan pada beberapa kasus, insisi dan drainase mungkin tidak perlu.
Jika pasien terus menerus melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronik
setelah insisi dan drainase, ini dapat menjadi indikasi tonsilektomi.
33
Penggunaan steroid kontroversial. Pada studi oleh Ozbek, penambahan dosis
tunggal dexametason ke dalam antibiotik parenteral telah ditemukan secara
signifikan mengurangi waktu rawat inap, nyeri tenggorok, demam, dan
trismus dibandingkan dengan kelompok pasien yang hanya diobati dengan
antibiotik parenteral.22 Dan juga, penggunaan steroid pada pasien dengan
gejala dan tanda mononukleosis selama studi belum menuju pembentukan
abses peritonsil.
Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada
leher.
2. Bedah
Preoperatif
Intraoperatif
34
Pada pasien kooperatif, tindakan dapat dilakukan di kursi pemeriksaan.
Lipatan supratonsil dianestesi dengan injeksi anestesi lokal dengan epinefrin untuk
mengurangi perdarahan. Tempat aspirasi atau insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.
a. Aspirasi jarum
Aspirasi jarum dapat dilakukan pada anak berumur 7 tahun, khususnya jika
sedasi sadar dilakukan.
Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik karena bisa
menentukan lokasi rongga abses secara akurat.
Cairan aspirasi dapat dikirim untuk kultur dan pada beberapa kasus, dpat
tidak dilanjutkan dengan insisi dan drainase.
Pada pasien sangat muda atau inkooperatif atau saat abses terletak di
tempat tidak biasa, sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
35
Gambar 14. Insisi dan drainase pada abses peritonsil.19
c. Tonsilektomi
36
Pascaoperatif
3.1.9. Komplikasi
37
5. Perdarahan merupakan komplikasi potensial jika arteri karotid eksterna atau
cabangnya terluka. Perdarahan dapat terjadi intraoperatif atau periode awal
pascaoperasi.23
3.1.10. Prognosis
38
tantangan diagnostik pada dokter gawat darurat karena kejadiannya yang tidak
frekuen dan presentasi yang bervariasi.
3.2.2. Epidemiologi
Frekuensi
Mortalitas / Morbiditas
Ras
Jenis Kelamin
Umur
40
3.2.3. Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah
(1) infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2)
trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan
medis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3)
tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin). Pasien dengan penyakit
immunocompromised atau penyakit kronis seperti diabetes, kanker, alkoholisme,
dan AIDS memiliki resiko yang meningkat terhadap abses retrofaringeal.1,2,24
3.2.4. Patofisiologi 24
41
makan atau minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul
sesak napas karena sumbatan, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan
berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga
dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada bayi,
nyeri tenggorok dan/atau pembengkakan leher dapat menyebabkan asupan gizi
yang kurang disertai letargi.
Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral.
Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis. Kelenjar getah bening leher juga dapat
membengkak. Pada anak dapat ditemukan gejala dan tanda tonsilitis, faringitis,
dan juga otitis media.
42
o Pada studi orang dewasa dan anak dengan infeksi leher dalam, pasien
dengan protein C-reaktif lebih dari 100 memiliki masa rawat inap lebih
lama.
o Pada studi Jerman, CRP rata-rata 15,7 dengan jarak 0,0-74.
2. Pemeriksaan radiologi 24
CT scan leher
o CT scan leher dengan kontras intravena sangat bergun untuk diagnosis
dan manajemen abses retrofaringeal. Abses retrofaringeal tampak sebagai
lesi hipodens pada ruang retrofaringeal dengan penebalan cincin perifer.
Temuan lain pada CT scan meliputi pembengkakan jaringan lunak,
lapisan lemak yang terobliterasi, dan efek masa.
o Lakukan CT scan leher dengan kontras intravena saat temuan x-ray leher
lateral kurang jelas atau gejala klinis abses retrofaringeal memenuhi
tetapi x-ray leher lateral memberi hasil negatif. X-ray leher lateral dapat
menyesatkan, terutama pada anak-anak.
o CT scan leher dengan kontras intravena juga dapat berguna jika x-ray
positif karena CT scan dapat membedakan antara abses retrofaringeal dan
43
selulitis. CT scan juga menunjukkan pelebaran abses retrofaringeal dan
hubungannya dengan pembuluh darah besar, yang sangat membantu
untuk dokter bedah.
o CT scan leher juga dapat membandingkan abses retrofaringeal dan
limfadenopati pada anak, yang dapat membantu dokter bedah THT untuk
menentukan pengobatan dengan antibiotik intravena saja atau dengan
drainase abses.
Foto x-ray dada diindikasikan untuk melihat pneumonia spirasi dan
mediastinitis.
MRI dengan gadolinium dapat melihat abses retrofaring, tetapi modalitas ini
belum digunakan secara luas.
Ultrasonografi dapat menunjukkan abses retrofaringeal, tetapi penggunaannya
belum diklarifikasi.
3.2.7. Diagnosis 1
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas
bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto
Rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran
ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran
retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa.
Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal.
3.2.8. Diagnosis banding 1,24
1. Adenoiditis
2. Tumor
3. Aneurisma aorta
4. Epiglotitis
5. Abses peritonsil
44
3.2.9. Terapi 1
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah.
Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman
aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan
insisi abses melalui laringoskopi langsung dalam posisi pasien baring
Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan
dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien dirawat inap
sampai gejala dan tanda infeksi reda.
45
5. dislokasi atlantooksipital
6. abses epidural
7. sepsis
8. erosi vertebra servikal 2 dan 3
9. defisit nervus kranialis (nervus IX-XII ada di dalam faisa servikalis)
10. trombosis septik sekunder dari erosi ke dalam arteri karotid 32
11. kompresi arteri karotid dan vena jugularis interna 32
12. palsi nervus fasialis
3.2.11. Prognosis 24
46
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring,
hidung, sinus paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan
sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring.
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.
3.3.3. Patofisiologi 33
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan sekitar dan
membentuk abses sublingual, submental, submandibula, mastikator atau
parafaring. Dari gigi anterior sampai M1 bawah biasanya yang mula-mula terlibat
adalah ruang sublingual dan submental. Bila infeksi dari M2 dan M3 bawah,
ruang yang terlibat dulu adalah submandibula. Hal ini disebakan posisi akar gigi
M2 dan M3 berada di bawah garis perlekatan m. milohiod pada mandibula sedang
gigi anterior dan M1 berada diatas garis perlekatan tersebut.
47
Gambar 17. Jalur perluasan potensial abses leher dalam. 33
48
membedakan antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks
dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks,
pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan
tomografi komputer dapat membantu menggambarkan lokasi dan perluasan abses.
Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan gambaran kontras
pada dinding abses dan edema jaringan lunak disekitar abses.
49
Gambar 18. Insisi Mosher.33
Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai
klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior
ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan
sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal.
Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
3.3.8. Komplikasi 1,2,33
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau
langsung (per kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat
mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis
mencapai mediastinum.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila
pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur sehingga terjadi
perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul
tromboflebitis atau septikemia.
52
Gambar 20. Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan
sagital.
Ket : SMS: submandibular space; SLS: sublingual space; PPS: parapharyngeal
space; CS: carotid space; MS: masticatory space. SMG: submandibular gland;
GGM: genioglossus muscle; MHM: mylohyoid muscle; MM: masseter muscle;
MPM: medial pterygoid muscle; LPM: lateral pterygoid muscle; TM: temporal
muscle.35
3.4.5. Gejala dan tanda 1,2
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah
mandibula dan atau di bawah lidah. Pasien juga biasanya akan mengeluhkan air
liur yang banyak, trismus akibat keterlibatan muskulus pterigoideus, disfagia dan
sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan
53
terdorong ke belakang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya pembengkakan
di daerah submandibula, fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan
material yang bernanah atau purulent (merupakan tanda khas). Angulus mandibula
dapat diraba. Lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.
3.4.6. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang
bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi
antibiotik.
2. Radiologis
a. Foto x-ray jaringan lunak kepala AP
b. Foto x-ray panoramik: dilakukan apabila penyebab abses
submandibuka berasal dari gigi.
c. Foto x-ray thoraks: perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum,
empisema subkutis, pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat
aspirasi abses.
d. CT-scan: CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan gold
standard pada abses leher dalam. Berdasarkan suatu penelitianbahwa
hanya dengan pemeriksaan klinis tanpa CT-scan mengakibatkan
estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien.
Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan hipodens (intensitas
rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid level.37
3.4.7. Diagnosis 1,2
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
3.4.8. Terapi
1. Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab,
uji kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara
54
parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur
pus. Antibiotik kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob,
gram positip dan gram negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman
penyebabnya adalah campuran dari berbagai kuman. Secara empiris
kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole masih cukup baik. Setelah
hasil uji sensistivitas kultur pus telah didapat pemberian antibiotik dapat
disesuaikan.36,37
Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi
terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone,
ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka
sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif.
Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari.36,37
2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi
abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan
terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan
luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os
hioid, tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari
gejala dan tanda infeksi reda.40
55
Gambar 21. (a)Insisi pada abses submandibula atau parotid. (b). Insisi pada
abses submasseter. Pada saat insisi kutaneus, perjalanan arteri dan vena
fasialis (a) harus diperhatikan, begitu juga dengan nervus fasialis (b).41
3. Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan
trakeostomi perlu dipertimbangkan.40
3.4.9. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau
langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula
paling sering meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini
cukup tipis.35 Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor
melewati muskulus pterigoideus medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya
infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.37
Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah
menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila
pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi
perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul
tromboflebitis dan septikemia.35
3.4.10. Prognosis
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat
didiagnosis secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak
terjadi. Pada fase awal dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan
pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat menghasilkan penyembuhan yang
sempurna.Apabila telah terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai 40-50%
walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis mempunyai angka
mortalitas 20-40% sedangkan trombosis vena jugularis mempunyai angka
56
mortalitas 60%.40
3.5. ANGINA LUDOVICI (LUDWIG’S ANGINA)
3.5.1. Definisi 1,2,42
Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis
(peradangan jaringan ikat) dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh
ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan
submandibula. Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di
mana infeksi bakteri berasal dari rongga mulut seperti gigi, lidah, gusi,
tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang membedakan angina Ludovici dari
infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua
ruang submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).
60
baik, maka kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi dilakukan melalui
hidung dengan menggunakan teleskop yang fleksibel saat pasien masih sadar dan
dalam posisi tegak. Jika tidak memungkinkan, dapat dilakukan krikotiroidotomi
atau trakheotomi dengan anestesi lokal.44
Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi antibiotik
dan operasi dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam
kondisi yang lebih terkontrol, menghindari kebutuhan akan
trakheotomi/krikotiroidotomi, serta mengurangi waktu pemulihan di rumah sakit.
Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti dengan pemberian dosis 4 mg tiap 6 jam
selama 48 jam.44
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera
diberikan. Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi
setiap 4 jam) merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan
meningkatnya prevalensi produksi beta-laktamase terutama pada Bacteroides sp,
penambahan metronidazole, clindamycin, cefoxitin, piperacilin-tazobactam,
amoxicillin-clavulanate harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu
mengoptimalkan regimen terapi.44
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi
(mengurangi ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina
Ludwig jarang terdapat pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat
dilakukan memakai cunam tumpul. Jika terbentuk nanah, dilakukan insisi dan
drainase. Insisi dilakukan di garis tengah secara horisontal setinggi os hyoid (3-4
jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di bawah dan paralel dengan corpus
mandibula melalui fascia dalam sampai kedalaman kelenjar submaksila. Insisi
vertikal tambahan dapat dibuat di atas os hyoid sampai batas bawah dagu. Jika
gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi dari penyakit ini, maka gigi tersebut
harus diekstraksi untuk mencegah kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai
infeksi reda.1,45
61
Gambar 22. Insisi pada angina Ludovici.31
3.5.7. Komplikasi 1,2,42
Angina Ludwig merupakan selulitis bilateral dari ruang submandibular
yang terdiri dari dua ruang yaitu ruang sublingual dan ruang submaksilar. Secara
klinis, kedua ruang ini berfungsi sebagai satu kesatuan karena adanya hubungan
bebas serta kesamaan dalam tanda dan gejala klinis. Celah buccopharingeal, yang
dibentuk oleh m. styloglossus melalui m. constrictor media dan superior,
merupakan penghubung antara ruang submandibular dengan ruang pharingeal
lateral. Infeksi angina Ludwig dapat menyebar secara langsung melalui celah
buccopharingeal ini ke ruang pharingeal lateral, di mana selulitis akan dengan
cepat menjadi berbahaya serta menimbulkan obstruksi jalan napas yang berat.
Akibat barrier anatomik yang tidak dibatasi, infeksi dapat menyebar secara
mudah ke jaringan leher, ruang fascia retropharingeal, bahkan hingga
mediastinum dan ruang subphrenik. Selain gejala obstruksi jalan napas yang dapat
terjadi tiba-tiba, komplikasi dari angina Ludwig dapat berupa trombosis sinus
kavernosus, aspirasi dari sekret yang terinfeksi, dan pembentukan abses
subphrenik. Komplikasi lebih lanjut yang telah dilaporkan meliputi sepsis,
mediastinitis, efusi perikardial/pleura, empiema, infeksi dari carotid sheath yang
62
mengakibatkan ruptur a. carotis, dan thrombophlebitis supuratif dari v. jugularis
interna.
3.5.8. Prognosis
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas
untuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan
radang. Sekitar 45% – 65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area
yang terinfeksi, disertai dengan pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil
pengobatan yang lengkap. Selain itu, 35% dari individu yang terinfeksi
memerlukan intubasi dan trakeostomi.44
Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa.
Kematian pada era preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan diagnosis
dini, perlindungan jalan nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik
intravena yang adekuat serta penanganan dalam ICU, penyakit ini dapat sembuh
tanpa mengakibatkan komplikasi. Begitu pula angka mortalitas dapat menurun
hingga kurang dari 5%.45
BAB IV
ANALISIS MASALAH
Pasien An. A, 7 bulan, datang ke IGD RSUD Raden Mattaher Jambi dengan
keluhan keluar nanah dari leher kiri sejak ± 3 hari SMRS. Nanah berwarna
kuning, kental, dan berbau. Sebelumnya, ±10 hari SMRS pasien mengeluhkan
adanya benjolan sebesar seperti gigitan nyamuk yang semakin membesar.
Bengkak terasa nyeri dan kemerahan. Keluhan juga disertai dengan demam (+),
63
Mual (-), Muntah (-), BAK (+) normal, BAB (+) normal
Pada identitas pasien diketahui bahwa pasien berusia 7 bulan, berjenis
kelamin perempuan. Dari anamnesis didapatkan keluhan pasien yaitu keluhan
keluar nanah dari leher kiri sejak ± 3 hari SMRS. Nanah berwarna kuning, kental,
dan berbau. Pada anamnesis didapatkan gejala-gejala yang dialami pasien
merupakan gejala dari abses leher dalam tipe submandibular berupa bengkak di
rahang bawah, nyeri, dan
berfluktuasi, disertai kesulitan membuka mulut (trismus) dan demam. Sementara
gejala abses submental berupa benjolan di bawah dagu yang kemerahan
dengannyeri tekan positif dan terasa fluktuasi pada perabaan. Menurut
kepustakaan,lokasi abses leher dalam yang paling sering terjadi adalah abses
submandibula,dan angka kejadian abses lebih dari satu ruang potensial sebesar
29%. Abses pada pasien ini hanya terjadi pada satu sisi, dimana hal ini
berhubungan dengan sumber infeksi.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil leukosit yang meningkat dan
hasil hitung jenis menunjukkan peningkatan pada hitung neutrophil yang
menandakan infeksi kemingkinan disebabkan oleh bakteri.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka
didapat didiagnosis pasien abses colli sinistra
Tatalaksana awal dilakukan pada pasien adalah pemberian IVFD RL
800 cc/24 jam, Inj Ceftriaxone 2 x 400 mg, Inj. Metronidazole 3 x 80 mg, Inj.
Paracetamol 4 x 150 mg sebagai antibiotic dan antiinflamasi, dan dilakukan
drainase abses sebagai terapi definitive untuk evakuasi dari abses dan untuk
mencegah komplikasi pada pasien ini.
64
BAB V
KESIMPULAN
Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam ruang potensial di
antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber,
seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala
dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam
65
yang terlibat. Penatalaksanaan pada abses leher dalam dapat dilakukan secara
medikamentosa dan non-medikamentosa untuk mengurangi, mengobati dan
membatasi sumber infeksi, serta mencegah komplikasi yang dapat terjadi
DAFTAR PUSTAKA
1. Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. Hal. 226-30.
2. Adams, G.L. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies,
Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC. 1997. Hal.333.
66
3. The Mouth. Dalam: Gray’s Anatomy of The Human Body. Yahoo
Education. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat di:
http://education.yahoo.com/reference/gray/subjects/ subject/ 242 .
4. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. Hal. 212-6.
5. Snell RS. Pharynx. Dalam: Snell RS. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa
Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. Hal. 795-801.
6. Mouth cavity. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://atlas.likar.info/Nebo/.
7. Zoltan V. Pharynx. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://www.earspecialist. eu/index.php?
page=content&method=static&id=116.
8. Tonsil. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://www.graphicshunt.com/ health/images/lingual_tonsil-1853.htm .
9. Rambe AYM. Abses Retrofaring. Dalam: USU Digital Library. Diakses: 8
Desember 2011. Diperbaharui: 2003. Terdapat pada:
http://repository.usu.ac.id/handle/ 123456789/ 3464.
10. Scott BA, Stiernberg CM. Deep neck space infections. Dalam : Bailey BJ,
Ed. Head and neck surgery – otolaryngology, Vol 1. Philadelphia: JB
Lippincott Company , 1993 . h.738-49.
11. Snell RS. Fascia Cervicalis Profunda. Dalam: Snell RS. Anatomi Klinik
Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. Hal. 849-51.
12. Axial Section of Oropharynx. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://atlas.likar.info/Okologlotochnaya_kletchatka/ .
13. Abses Parafaring. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
www.scribd.com/doc/57908713/Abses-Parafaring.
67
14. Acevedo JL, Isaacson GC. Pediatric Retropharyngeal Abscess. Terakhir
diperbaharui: 22 Juli 2011. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://emedicine.medscape.com /article/995851-overview.
15. Hartmann RW. Ludwig’s Angina in Children. Am Fam
Physician. 1999 Jul 1;60(1):109-112. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat
pada: http://www.aafp.org/afp/1999/0701/ p109.html.
16. Angina Ludovici. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
www.scribd.com/doc/6208 0690/Angina-Ludwig.
17. Gosselin BJ, Geibel J. Peritonsillar Abscess. Terakhir diperbaharui: 4
Februari 2010. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://emedicine.medscape.com/ article/194863-overview#showall .
18. Repanos C, Mukherjee P, Alwahab Y. Role of microbiological studies in
management of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Aug
2009;123(8):877-9.
19. Peritonsillar Abscess. Dalam: Access Emergency Medicine from McGraw-
Hill. Diakses: 13 Desember 2011. Terdapat pada:
http://www.accessemergencymedicine .com/overflow.aspx?
searchStr=peritonsillar+abscess&hasExactMatch=True&hasDrugMatch=Fa
lse&searchSource=Images&ftbool=False.
20. Ramirez-Schrempp D, Dorfman DH, Baker WE, Liteplo AS. Ultrasound
soft tissue applications in the pediatric emergency department: to drain or
not to drain?. Pediatr Emerg Care. Jan 2009;25(1):44-8.
21. Kilty SJ, Gaboury I. Clinical predictors of peritonsillar abscess in adults. J
Otolaryngol Head Neck Surg. Apr 2008;37(2):165-8.
22. Ozbek C, Aygenc E, Tuna EU, Selcuk A, Ozdem C. Use of steroids in the
treatment of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Jun 2004;118(6):439-
42.
23. Heidemann CH, Wallen M, Aakesson M, et al. Post-tonsillectomy
hemorrhage: assessment of risk factors with special attention to
68
introduction of coblation technique. Eur Arch Otorhinolaryngol. Jul
2009;266(7):1011-5.
24. Kahn JH, O’Connor RE. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine.
Terakhir diperbaharui: 17 Juni 2010. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat
pada: http://emedicine.medscape.com/ article/764421-overview#showall .
25. Abdel-Haq NM, Harahsheh A, Asmar BL. Retropharyngeal abscess in
children: the emerging role of group A beta hemolytic streptococcus. South
Med J. Sep 2006;99(9):927-31.
26. Wang LF, Kuo WR, Tsai SM, Huang KJ. Characterizations of life-
threatening deep cervical space infections: a review of one hundred ninety-
six cases. Am J Otolaryngol. Mar-Apr 2003;24(2):111-7.
27. Ridder GJ, Technau-Ihling K, Sander A, Boedeker CC. Spectrum and
management of deep neck space infections: an 8-year experience of 234
cases. Otolaryngol Head Neck Surg. Nov 2005;133(5):709-14.
28. Lander L, Lu S, Shah RK. Pediatric retropharyngeal abscesses: a national
perspective. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. Dec 2008;72(12):1837-43.
29. Shah RK, Chun R, Choi SS. Mediastinitis in infants from deep neck space
infections. Otolaryngol Head Neck Surg. Jun 2009;140(6):936-8.
30. Coticchia JM, Getnick GS, Yun RD, Arnold JE. Age-, site-, and time-
specific differences in pediatric deep neck abscesses. Arch Otolaryngol
Head Neck Surg. Feb 2004;130(2):201-7.
31. The Surgery of Sepsis. Terakhir diperbaharui: 20 April 2010. Diakses: 14
Desember 2011. Terdapat pada:
http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/The_surgery_of_ sepsis.
32. Elliott M, Yong S, Beckenham T. Carotid artery occlusion in association
with a retropharyngeal abscess. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. Feb
2006;70(2):359-63.
33. Abses Parafaring. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
www.scribd.com/ doc/66624613/abses-parafaring.
69
34. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal
infection. International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33.
35. Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N, et all.
Odontogenic infection pathway to the submandibular space: imaging
assessment. Int. J. Oral Maxillofac. Surg. 2002; 31: 165–9.
36. Huang T, Chen T, Rong P, Tseng F, Yeah T, Shyang C. Deep neck
infection: analysis of 18 cases. Head and neck. Ockt 2004.860-4 .
37. Pulungan MR. Pola Kuman abses leher dalam. Diakses: 14 Desember 2011.
Terdapat pada:http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-
LEHERDALA M-Revisi.
38. Abses Submandibula. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://www.scribd.com/doc/68513145/ABSES-SUBMANDIBULA.
39. Tooth Decahy progression. Diakses: 8 desember 2011. Terdapat pada:
http://www.moondragon.org/health/graphics/toothdecayprogression.jpg .
40. Gómez CM, Iglesia V, Palleiro O, López CB. Phlegmon in the
submandibular region secondary to odontogenic infection. Emergencias
2007;19:52-53.
41. Fundamental Principles of Treatment of Infection-Oral Surgery Lecture
Note. Terakhir diperbaharui: 17 Juli 2011. Diakses: 14 Desember 2011.
Terdapat pada:
http://dentistryandmedicine.blogspot.com/2011/07/fundamental-principles-
of-treatment-of.html
42. MD Guidelines. Ludwig’s Angina. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat
pada: http://www.mdguidelines.com/ludwigs-angina.
43. Topazian R. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. St. Louis: W.B.
Saunders; 2002.
44. Ludwig’s Angina. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
www.scribd.com/doc /62080690/Angina-Ludwig.
70
45. Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-
Maret 2008;Vol.21.
71