Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ILMU ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2022


UNIVERSITAS BOSOWA

TEKNIK ANESTESI SUBARACHNOID BLOCK PADA PASIEN


HEMOROID GRADE III

DISUSUN OLEH :

Andi Ratnasari

45 20 112 020

DOSEN PEMBIMBING :
dr. Muhammad Rum, Sp.An, KIC, M. Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BOSOWA
MAKASSAR
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Andi Ratnasari

NIM : 4520112020

Judul : Teknik Anestesi Subarachnoid Block pada Pasien Hemoroid


Grade III
Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik
Bagian Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Bosowa.

Makassar, Februari 2022

Mengetahui,
Pembimbing

(dr. Muhammad Rum, Sp.An, KIC, M.Kes)


BAB I

LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : Tn. S
No. RM : 399487
Usia : 38 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Agama : Islam
Alamat / No. Telepon : Bonto Baddo
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Petani
Tanggal MRS : 26 Januari 2022 pukul 20.30 WITA
Tanggal dilakukan OP : 28 Januari 2022 pukul 14.00 WITA
Lama Anestesi : 55 menit
Diagnosis : Hemoroid Grade III
Tindakan : Hemoroidektomi
Jenis Anesthesia : Subarachnoid Block (SAB)
2. Riwayat Pasien

Seorang pasien laki-laki berusia 38 tahun diantar ke IGD Rumah Sakit Umu
m Daerah Labuang Baji pada hari rabu, 26 Januari 2022 dengan keluhan utam
a terdapat benjolan pada anus disertai nyeri. Pasien mengatakan timbulnya ben
jolan tersebut sudah dialami sejak 5 tahun lalu dan kadang disertai nyeri hilang
timbul dan memberat sejak 2 minggu. Timbulnya benjolan tersebut dapat terjadi
secara spontan maupun saat BAB dan memerlukan dorongan jari agar bisa ma
suk kembali ke dalam anus. Selanjutnya akan dilakukan operasi pada tanggal 2
8 Januari 2022.

Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat Hipertensi : Ada (terkontrol)


2. Riwayat Penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat Penyakit paru : disangkal
4. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat Stroke : disangkal
6. Riwayat Kejang : disangkal
7. Riwayat Alergi Obat : disangkal
8. Riwayat Penyakit Ginjal : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga : Disangkal

Riwayat Pribadi

1. Riwayat Merokok : disangkal


2. Riwayat Konsumsi Alkohol : disangkal
3. Pre-Op

Anamnesis

 A (Allergy) :
Alergi Makanan (-), Alergi Obat (-)
 M (Medication) :
Riwayat pengobatan sebelumnya (-), obat hipertensi (-)
 P (Past Illness) :
Riwayat Hipertensi (+) terkontrol, Riwayat Asma (-), Riwayat DM (-), ,
merokok (-), konsumsi alkohol (-), riwayat trauma dan MRS (-), riwayat
operasi (-).
 L (Last Meal) :
Puasa mulai pukul 06.00 (8 jam sebelum operasi)
 E (Event/Environment):
Pasien mengalami benjolan pada anus

Pemeriksaan Fisik

Tanda Vital

 TD : 146/89 mmHg
 Nadi : 91x/menit
 Suhu : 36,2 C
 Pernapasan : 23x/ menit
 SpO2 : 98%
 Kepala : dalam batas normal
 Paru : dalam batas normal
 Jantung : dalam batas normal
 Abdomen : dalam batas normal
 Ekstremitas : dalam batas normal
 BB : 72 kg
 TB : 178 cm
 IMT : 22,78 kg/m2

Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap (26/01/2022)

Hemoglobin : 14,5 g/dL (14-17,5)


MCV : 88,3 fl (80,0-96,1)
MCH : 31,5 pg (27,5-33,2)
MCHC : 35,6 (33,4-35,5)
Eritrosit : 4,61 juta (4,5-5,9)
Trombosit : 316.000 u/L (172.000-450.000)
HCT : 40,7% (41,5-50,4)
Leukosit : 5.600 /mm3 (4.100-11.300)
Gran% : 57,7% (37-72)
Lymph% : 30,7% (20-50)
Kimia Darah (26/01/2022)
Kreatinin : 0,65 mg/dL (0,7-1,1 mg/dL)
Gula Darah Sewaktu : 93 mg/dL (<200 mg/dL)
4. Durante Operasi
Tindakan Operasi : Hemoroidektomi
Jenis Anestesi : Anestesi Regional Subarachnoid Block (SAB), posi
si lumbar puncture setinggi L3-L4
Lama Anestesi : 13.55 – 14.50 WITA (55 menit)
Lama Operasi : 14.00 – 14.45 WITA (45 menit)
Injeksi Anestesi : Bucain Spinal 5mg/ml (Bupivacaine HCL
Monohydrate 0,5%, Dextrose 8%) 12,5 mg
Maintenance : O2 Nasal Kanul 3 LPM
Posisi : Supine
Terapi Cairan : Kristaloid : Ringer Lactat 500 mL

Adjuvantia : Fentanyl 25 mcg

Pemantauan TTV : TD 126/76 mmHg, HR 75

TD 128/80 mmHg, HR 55

TD 120/76 mmHg, HR 47

TD 123/77 mmHg, HR 49

TD 117/81 mmHg, HR 72

Post Operasi : Selesai operasi pasien dipindahkan ke recovery ro


om, lalu ke ruang perawatan bedah

Tindakan Anestesi Regional

 Pasien diposisikan lateral dekubitus atau duduk, dilakukan punksi antara


L3-L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis), dengan jarum / trokard.
Setelah menembus ligamentum flavum (hilang tahanan), tusukan
diteruskan sampai menembus selaput duramater, mencapai ruangan
subaraknoid. Identifikasi adalah dengan keluarnya cairan cerebrospinal,
jika stylet ditarik perlahan-lahan.
 Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang subaraknoid.
 Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi,
menggunakan jarum halus atau kapas dan tes motorik dengan
mengangkat kaki dan menekuk lutut.
 Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan
selanjutnya.

Pemberian Cairan

Cairan Masuk

Pre operatif : RL 500 mL

Durante Operatif : RL 500 mL

Cairan Keluar

Perdarahan : ± 200 mL

Produksi Urin : ± 400 mL

5. Post Operasi di Recovery Room (RR)

Masuk recovery room pukul : 15.00 WITA

Pindah ke ruang perawatan pukul : 15.15 WITA


Kriteria Bromage Score

Post Operasi di ICU

 B1 (Breathing) :
Airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit RH(-),Wh(-), saturasi
oksigen 99% dengan O2 nasal canul 3 lpm.
 B2 (Blood) :
Akral hangat (CRT <2 dtk), kulit merah, nadi 60x/menit, TD 135/85
mmHg, S1S2 tunggal regular, murmur (-), T.ax: 36,5 C
 B3 (Brain) :
GCS E4M6V5, Reflek Cahaya +/+, Reflek kornea +/+, gangguan
pendengaran (-), gangguan penglihatan (-)
 B4 (Bladder) :
Catheter (+), Produksi Urin 60 mL/KgBB
 B5 (Bowel) :
Nafu makan baik, intake makanan oral, minum 1000 cc/hari, Bising Usus
(+) Normal, mual (-), muntah (-)
 B6 (Bone) :
Mobilitas normal, turgor kulit baik, anemis (-), ikterik (-), sianosis (-),
dekubitus (-)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hemoroid

1. Definisi

Hemoroid dari kata "haima" dan "rheo". Dalam medis, berarti pelebaran
pembuluh darah vena (pembuluh darah balik) di dalam pleksus hemorrhoidalis
yang ada di daerah anus. Pleksus hemorrhoidalis merupakan pembuluh darah
normal yang terletak pada mukosa rektum bagian distal dan anoderm.
Gangguan pada hemoroid terjadi ketika plexus vaskular ini membesar.
Sehingga kita dapatkan pengertiannya dari "hemoroid adalah dilatasi varikosus
vena dari plexus hemorrhoidal inferior dan superior".1
Hemoroid adalah kumpulan dari pelebaran satu segmen atau lebih vena
hemoroidalis di daerah anorektal. Hemoroid bukan sekedar pelebaran vena
hemoroidalis, tetapi bersifat lebih kompleks yakni melibatkan beberapa unsur
berupa pembuluh darah, jaringan lunak dan otot di sekitar anorektal. 1

2. Patofisiologi
Hemoroid atau wasir merupakan salah satu dari gangguan sirkulasi darah.
Gangguan tersebut dapat berupa pelebaran (dilatasi) vena yang disebut
venectasia atau varises daerah anus dan perianus yang disebabkan oleh
bendungan dalam susunan pembuluh vena. 1
Mekanisme dasar yang terjadi pada hemoroid adalah pembendungan
hipertrofi bantalan anus internal yang disebabkan oleh 1.) Kegagalan
pengosongan vena bantalan anus secara cepat saat defekasi 2.) Bantalan anus
yang terlalu mobile 3.) Terperangkapnya bantalan oleh sfingter anus yang
ketat.
Pembendungan dapat terjadi karena dorongan massa feses yang keras
pada vena melalui dinding rektum dan proses mengedan akan meningkatkan
tekanan intra abdominal yang berakibat terjepitnya vena intra muskuler kanalis
anus.1

3. Faktor Risiko
a) Diet
Diet tinggi serat, Defekasi dengan cara jongkok, serta tidak adanya
pengaturan waktu dan tempat buang air defekasi dianggap sebagai penyebab
faktor rendahnya insiden hemorrhoid. Salah satu upaya menghindari
hemorrhoid adalah dengan diet tinggi serat. Diet rendah serat akan
menyebabkan tinja dengan kaliber kecil. Hal ini akan meningkatkan tekanan
yang akan menyebabkan hemoroid menggembung dan mekanismenya dengan
mengganggu venous return.
b) Kebiasaan Defekasi
Duduk lama di toilet (misalnya sambil membaca) dan merasa terobsesi
untuk defekasi secara reguler dan mengeluarkan seluruh kotoran dipercaya
merupakan suatu penyebab masalah venous return yang relatif pada area
perianal (efek turniket), sehingga hal inilah yang menyebabkan pelebaran
hemoroid. Penyebab kebiasaan mengedan lama ini adalah posisi defekasi dan
konsistensi tinja, padat atau cair.
c) Kehamilan
Kehamilan sangatlah jelas merupakan faktor predisposisi terhadap wanita,
meskipun etiologi yang jelasnya bel diketahui. Umumnya pasien akan kembali
ke keadaan semu setelah melahirkan. Hubungan antara kehamilan dan kejadia
hemoroid mendukung dugaan adanya perubahan hormone atau adanya
tekanan langsung, yang selama ini diperca sebagai faktor utama. Kehamilan
dan tekanan yang tingg pada otot sfingter interna menyebabkan penurunan
venou return dianggap sebagai mekanisme kerja.
d) Obesitas
Obesitas dapat menjadi faktor resiko hemorrhoid oleh karena meningkatnya
tekanan vena rektal. Tekanan otot anus atau sikap/posisi tubuh yang buruk
dapat menyebabkan terlalu banyak tekanan pada vena rektal.
e) Pekerjaan
Riwayat Pekerjaan (misalkan pekerjaan sopir) oleh karena semakin lama
duduk akan menyebabkan darah terkumpul di daerah anus dan meningkatkan
tekanan pada vena di daerah tersebut.
f) Perokok
Nikotin akan meningkatkan tekanan darah dan juga tekanan pada vena. Hal
ini terjadi pada semua vena di tubuh, bukan hanya vena yang di daerah anus.

4. Klasifikasi
Hemoroid diklasifikasikan berdasarkan asalnya, dimana dentate line
menjadi batas histologis. Klasifikasi hemoroid yaitu:1
a) Hemoroid eksternal, berasal dari dari bagian distal dentate line dan dilapisi
oleh epitel skuamos yang telah termodifikasi serta banyak persarafan
serabut saraf nyeri somatik
b) Hemoroid internal, berasal dari bagian proksimal dentate line dan dilapisi
mukosa.
Gambar 1. Hemoroid Interna dan Eksterna
5. Derajat
Derajat hemorrhoid internal adalah sebagai berikut:1
 Derajat 1: terbatas pada kanalis anal dan tidak mengalami prolaps.
 Derajat 2: prolaps hemoroid tapi dapat tereduksi secara spontan.
 Derajat 3: prolaps hemoroid dan tereduksi secara manual.
 Derajat 4: hemoroid selalu keluar dan tidak dapat masuk ke anal canal
meski dimasukkan secara manual atau prolaps permanen (inkaserata).

Gambar 2. Derajat Hemoroid Interna

B. Subarachnoid Block

1. Definisi

Subarachnoid block (anestesi spinal) merupakan salah satu teknik anestesi


regional dengan memasukkan obat anestesi lokal ataupun ajuvan ke rongga
subaraknoid. Tempat penyuntikan area lumbal di bawah L1 pada dewasa dan
L3 pada anak mengingat letak ujung akhir dari medulla spinalis. Konfirmasi
masuknya ke rongga subaraknoid adalah dengan mengalirnya CSF pada jarum
spinal. Anestesi dapat dilakukan dengan pendekatan midline atau
paramedian.2,3,4
2. Indikasi dan Kontra Indikasi3
a) Indikasi
 Pembedahan daerah perut bagian bawah (lower abdomen)
 Pembedahan daerah sekitar rektum-perineum
 Pembedahan daerah urogenitalia
 Pembedahan daerah ekstremitas bawah
b) Kontra Indikasi Absolut
 Pasien menolak
 Infeksi kulit pada lokasi penyuntikan
 Hipovolemia berat
 Peningkatan tekanan intrakranial
c) Kontra Indikasi Relatif
 Pasien tidak kooperatif
 Defisit neurologis
 Penyakit jantung stenosis

3. Faktor yang Mempengaruhi Ketinggian Blok


Faktor penting yang mempengaruhi ketinggian blok pada anestesi spinal
adalah barisitas obat, posisi pasien saat penyuntikan maupun setelah
penyuntikan, dosis obat, dan tempat penyuntikan. Dosis yang semakin tinggi
dan tempat penyuntikan yang lebih tinggi akan membuat blok menjadi lebih
tinggi. Barisitas obat yang lebih berat dari CSF disebut hiperbarik, sedangkan
yang lebih ringan dibandingkan CSF disebut hipobarik. Adapun CSF memiliki
barisitas 1.003-1.008 pada temperatur 37 C. jika cairan hiperbarik digunakan,
obat akan mengikuti gravitasi sehingga dalam posisi head-down, ketinggian
blok spinal akan semakin tinggi. Sebaliknya, dalam posisi head-up obat
anestesi akan bergerak ke arah caudal sehingga blok spinal akan lebih rendah.
Jika menggunakan obat hipobarik, hal yang berlawanan akan terjadi karena
obat akan bergerak berlawanan dengan gravitasi dan berlawanan dengan obat
hiperbarik. Penggunaan obat isobaric akan membuat obat relatif berada di
tempat penyuntikan.2
Faktor minor lain yang memengaruhi ketinggian blok adalah umur, volume
CSF, kurvatura tulang belakang, volume obat, tekanan intraabdomen, arah
jarum, tinggi pasien, dan kehamilan. Dalam posisi supinasi, jika menggunakan
obat hiperbarik, distribusi obat akan menyebar ke level T4-T8 pada kurvatura.
tulang belakang. Pada kurvatura tulang belakang yang abnormal seperti
skoliosis atau kifoskoliosis, penyebaran akan bervariasi dan menyebabkan efek
yang bervariasi. Terkadang blok dapat terjadi dengan tidak sempurna dan
berbeda dengan yang direncanakan akibat perubahan anatomi. Peningkatan
tekanan intraabdomen dapat membuat pembesaran vena epidural sehingga
volume CSF akan menurun sebagai kompensasi, akibatnya penyebaran obat
anestesi akan lebih luas. Kondisi ini biasa terjadi pada kehamilan, asites, dan
tumor abdomen yang besar. Umur yang lebih tua akan menyebabkan
penurunan volume CSF sehingga dapat terjadi peningkatan penyebaran obat
anestesi.2

4. Dosis Obat Anestesi Lokal dan Ajuvan


Dosis obat anestesi yang diberikan tergantung dari dermatom yang
diinginkan yang disesuaikan dengan prosedur operasi. Untuk mencapai T.
dibutuhkan bupivakain hiperbarik 0,5% dengan dosis 10-14 mg dan untuk
mencapai T, dibutuhkan dosis 12-15 mg dengan awitan 4-6 menit dan durasi 1-
2 jam. Kebutuhan operasi dengan dermatom yang dibutuhkan dapat dilihat
pada Tabel 1.3
Selain obat anestesi lokal, terdapat beberapa obat ajuvan yang dapat
digunakan dengan tujuan yang berbeda-beda. Pemberian opiod dapat
digunakan untuk analgesia pascabedah. Morfin 0,1-0,25 mg intratekal dapat
memberikan efek analgesia yang bertahan hingga 24 jam. Fentanil 10-25 mcg
intratekal hanya bekerja 1-2 jam sehingga biasanya hanya digunakan sebagai
analgesia intraoperatif sehingga dosis anestesi lokal dapat dikurangi.
Pemberian agonis alfa 2 seperti klonidin 15-150 µg dapat memperpanjang blok
sensorik dan motorik anestesi lokal. Pemberian vasokonstriktor epinefrin 0,1-
0,2 mg dapat memperpanjang durasi anestesi lokal dengan mengurangi
penyerapan obat anestesi lokal ke pembuluh darah sistemik.2,3

Tabel 1. Dosis Obat yang Biasa Digunakan pada Anestesi Spinal (SAB)2

5. Teknik Anestesi Subarachnoid Block


a) Persiapan

Persiapan alat dalam melakukan blok subaraknoid mencakup persediaan


alat untuk resusitasi, intubasi, dan anestesi umum. Selain itu, pertimbangkan
untuk menggunakan premedikasi atau persiapan nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa cemas pasien. Penggunaan suplementasi oksigen diperlukan
jika sedasi digunakan. Alat pemantauan minimal seperti monitor tekanan darah
noninvasif, EKG, dan oksimeter denyut harus tersedia.3,4

b) Posisi Pasien
Langkah selanjutnya setelah persiapan alat, premedikasi, dan alat
pemantauan yang terpasang adalah memosisikan pasien. Dalam menentukan
landmark, pasien dapat diposisikan duduk, lateral dekubitus, atau prone. Garis
tengah lebih mudah teridentifikasi menggunakan posisi duduk, terutama pada
pasien obesitas. Kekurangan dari posisi duduk adalah penggunaan obat
hiperbarik dapat menyebabkan distribusi obat ke arah caudal sehingga menjadi
blok saddle. Posisi duduk tidak cocok dilakukan pada pasien yang tersedasi
dan dapat menyebabkan vasovagal syncope. Posisi duduk dilakukan dengan
cara memeluk bantal atau meletakkan siku tangan di paha, sambil fleksi tulang
belakang. Tujuannya adalah untuk membuat posisi tulang belakang lebih dekat
dengan kulit.2,4

Gambar 3. Posisi Duduk.2

Posisi lateral dekubitus lebih nyaman pada pasien yang kesakitan jika
diposisikan duduk, pasien yang lemah, dan pasien yang tersedasi berat.
Kekurangannya adalah posisi ini lebih sulit dilakukan. Pada posisi ini, pasien
tidur miring, dengan lutut fleksi, paha ditarik ke arah abdomen atau dada seperti
posisi fetal. Asisten sangat diperlukan untuk mempertahankan posisi ini.4

Gambar 4. Posisi Lateral Dekubitus.2

Posisi prone digunakan pada operasi anorectal dengan menggunakan obat


isobarik atau hipobarik. Keuntungan posisi ini adalah posisi blok neuraksial
sama dengan posisi operasi sehingga pasien tidak perlu bergerak setelah
injeksi, namun kurangnya fleksi menyebabkan teknik anestesi lebih sulit karena
sulitnya mencari celah. Konfirmasi jarum di ruang subaraknoid adalah dengan
melakukan aspirasi CSF.2

Gambar 5. Posisi Prone.2

c) Identifikasi Tempat Penyuntikan


Selanjutnya setelah pasien diposisikan, yang harus dilakukan adalah
mencari celah interspace dengan meraba processus spinosus. Processus
spinosus biasanya teraba dan menjadi tanda garis tengah tubuh. Celah
interspace akan semakin mudah teraba bila posisi pasien semakin fleksi. Pada
kasus di mana processus spinosus tidak teraba, ultrasound dapat membantu
dalam menentukan garis tengah. Beberapa marker dapat digunakan dalam
menentukan ketinggian celah interspace.2,4

d) Pendekatan Penyuntikan Subaraknoid Blok

Setelah processus spinosus teraba, penusukan jarum blok subaraknoid


dapat digunakan dengan dua pendekatan, yaitu dengan midline dan
paramedian. Sebelum penusukan, lakukan tindakan asepsis dan antisepsis
dilanjutkan dengan draping steril di daerah penusukan. Pertimbangkan
pemberian anestesi lokal pada kulit terlebih dahulu dengan menggunakan
jarum 25 gauge. Introducer diinsersikan pada garis tengah dengan arah sedikit
cephalad. Saat menembus subkutis, akan terasa sedikit resistensi dan
penusukan lebih lanjut akan membuat ujung jarum memasuki ligamentum
supraspinosus dan interspinosus di mana resistensi akan lebih meningkat. Jika
ujung jarum terkena tulang yang masih di daerah superfisial, jarum mengenai
processus spinosus bawah, sedangkan jika terkena tulang pada insersi lebih
dalam, bila berada di daerah midline, jarum mengenal processus spinosus atas
atau bila insersi lateral dari midline, jarum mengenai lamina. Pada kasus
tersebut, jarum harus diarahkan ulang dengan menariknya ke subkutis. Untuk
mengonfirmasi letak ujung jarum blok neuraksial di ruang subaraknoid adalah
dengan mengalirnya CSF pada jarum spinal.
Gambar 6. Pendekatan Median (midline) dan Paramedian.2

Jika menggunakan teknik paramedian, jarum diposisikan 1-2 cm lateral dari


bagian inferior processus spinosus superior. Jarum diarahkan 10 hingga 25
derajat ke arah midline. Jika terkena tulang dangkal, kemungkinan jarum
terkena bagian medial dari lamina bawah dan harus diarahkan sefalad dan
sedikit ke arah lateral, jika terkena tulang lebih dalam, jarum biasanya berada di
lateral dari lamina bawah dan dapat diarahkan sedikit ke arah sefalad dan
midline.2,4

Ketinggian blok neuraksial yang kita inginkan bergantung pada jenis


operasi, pasien, dan pertimbangan lain dari anestesiolog. Namun, beberapa
blok minimal yang harus adekuat pada beberapa operasi dapat dilihat pada
Tabel 1. Jika kita melakukan anestesi spinal, dalam waktu 30-60 detik setelah
injeksi subaraknoid larutan anestesi lokal level anestesi spinal dapat tercapai,
sedangkan anestesi epidural membutuhkan waktu yang lebih lama.3

Serabut saraf yang menyalurkan sensasi dingin (C dan A delta) merupakan


yang pertama diblok. Dengan demikian, indikasi awal dari level yang
teranestesi dapat diperoleh dengan mengevaluasi kemampuan pasien untuk
membedakan perubahan suhu yang dihasilkan dengan membasahi kulit
menggunakan alkohol. Di daerah yang diblok oleh blok neuraksial, alkohol
menghasilkan sensasi hangat atau netral, sedangkan sensasi dingin dirasakan
di area yang tidak diblok. Level anestesi sistem saraf simpatis biasanya
melebihi level blok sensorik yang kemudian melebihi level blok motorik. Level
anestesi sensorik sering kali dievaluasi dengan kemampuan pasien untuk
menilai ketajaman jarum antara level kutaneus dengan level segmental.3
BAB III

PEMBAHASAN

Seorang pasien laki-laki berusia 38 tahun diantar ke IGD Rumah Sakit Umu
m Daerah Labuang Baji pada hari rabu, 26 Januari 2022 dengan keluhan utam
a terdapat benjolan pada anus disertai nyeri. Pasien mengatakan timbulnya ben
jolan tersebut sudah dialami sejak 5 tahun lalu dan kadang disertai nyeri hilang
timbul dan memberat sejak 2 minggu. Timbulnya benjolan tersebut dapat terjadi
secara spontan maupun saat BAB dan memerlukan dorongan jari agar bisa ma
suk kembali ke dalam anus. Selanjutnya akan dilakukan operasi pada tanggal 2
8 Januari 2022.

1. Pre Operasi

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan


persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan
anastesi. Kunjungan ini bertujuan untuk mempersiapkan mental, fisik pasien
secara optimal, merencanakan dan memilih teknik dan obat-obatan yang
sesuai serta menentukan klasifikasi yang sesuai menurut The American
Association of Anesthesiologists (ASA). Kunjungan pre operasi pada pasien
juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi pre
operasi meliputi history taking, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi
klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Beradasarkan klasifikasi
ASA, maka kebugaran pasien ini adalah ASA kelas 2, dimana pasien memiliki
penyakit sistemik (hipertensi) yang terkontrol. Operasi yang elektif dan anestesi
lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis optimal.
Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada
pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin
dalam inform consent.
Pada pasien tidak terdapat riwayat alergi, Riwayat hipertensi (+) terkontrol,
obat hipertensi (+) Riwayat Asma (-), Riwayat DM (-), konsumsi alkohol (-),
riwayat trauma dan MRS (-), riwayat operasi (-), puasa mulai pukul 06.00 (8 jam
sebelum operasi).

Intake Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6
jam dan pada bayi 3-4 jam. Pada pasien dilakukan puasa selama 6 jam
sebelum dilakukan operasi.

2. Teknik Anestesi

Pada pasien ini dilakukan anestesi regional dengan teknik subaraknoid blok
(SAB). Pemilihan subaraknoid blok sebagai teknik anestesi pada pasien ini
berdasarkan pertimbangan bahwa pasien akan menjalani operasi
hemoroidektomi yaitu pembedahan pada daerah sekitar anorectal.
Pembedahan daerah anorectal merupakan salah satu indikasi dilakukannya
teknik anestesi spinal/subaraknoid blok dimana pasien memerlukan blokade
pada regio tubuh bagian bawah. Awitan kerja yang cepat serta kualitas blokade
yang adekuat pada anestesi spinal/subaraknoid blok, juga merupakan dasar
pemilihan teknik anestesi tersebut pada pasien ini.

Adapun obat anestetik yang digunakan dalam prosedur anestesi spinal ini
yaitu bupivacaine hiperbarik. Bupivacaine adalah obat anestesi lokal golongan
amida yang memiliki durasi kerja yang lebih panjang dibandingkan anestesi
lokal golongan lain. Efek anestesi bupivacaine terjadi dengan menghambat
konduksi saraf dengan menurunkan permeabilitas membran saraf terhadap
natrium. Penurunan depolarisasi membran ini akan meningkatkan ambang
batas eksitabilitas elektrik, sehingga mencegah terjadinya inisiasi dan transmisi
impuls saraf dan fungsi-fungsi sel saraf akan menurun. Bupivacaine 0,5% yang
dicampur dengan dextrose 8% akan meningkatkan barisitas anestetik ini
melebihi berat jenis CSF (hiperbarik) sehingga menjadikannya lebih efektif
pada prosedur anestesi spinal/ subaraknoid blok. Selain itu, penambahan
fentanyl 25 mcg sebagai ajuvan dimaksudkan dengan tujuan mempercepat
awitan kerja anestetik yang diberikan sebab sifat fentanyl yang larut lemak
(lipofilik) sehingga dapat menembus sawar jaringan dengan mudah.5,6,7

3. Post Operasi

Pada post operasi, pasien dipindahkan ke ruang perawatan bedah dan


dilakukan pemantauan lebih lanjut.

BAB IV
KESIMPULAN

Seorang pasien laki-laki berusia 38 tahun dengan diagnosis hemoroid grade


III dilakukan operasi hemoroidektomi pada tanggal 28 Januari 2022. Tindakan
anestesi yang dilakukan adalah anestesi regional dengan teknik subarachnoid
block (SAB). Teknik anestesi ini dipilih karena keadaan pasien sesuai dengan
indikasi anestesi regional. Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas
normal. Tidak ditemukan kelainan lain yang menjadi kontraindikasi
dilakukannya anestesi regional.
Berdasarkan klasifikasi status fisik pasien pra-anestesi menurut The
American Society of Anesthesiologists, pasien digolongkan dalam ASA II. Di
ruang pemulihan (recovery room) vital sign pasien dalam batas normal dan nilai
Bromage Score yang didapat adalah 0 sehingga pasien dapat dipindahkan dari
ruang pemulihan ke ruang perawatan bedah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Warsinggih. Hemoroid: Masalah dan Penanganan Terkini. Makassar.
Masagena Press, 2018
2. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail's clinical
anesthesiology. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill Education, 2018.
3. Drasner K, Larson MD. Spinal and epidural anestheshia, Dalam: Miller RD.
Pardo MC, penyunting. Basics of anesthesia. Edisi ke-6. Philalephia:
Saunders Elsevier, 2011.
4. Norris MC. Neuraxial anesthesia, Dalam: Barash PG, Cullen BI. Stoelting
RK Cahalan MK, Stock MC. Ortega R, et al. penyunting Clinical Anesthesia.
Edisi ke-8. Philadeplaia. Wolters Klower 2017.
5. Prescribers’ digital reference. Bupivacaine hydrochloride – drug summary.
2018. Available from: https://www.pdr.net/drug-summary/Marcaine-Spinal-
bupivacai ne-hydrochloride-1574
6. Drugs.com. Bupivacaine. 2020. Available from: https://www.drugs.com/pro/
bupivacaine.html#id_link_2dc92535-a459-432e-e054-00144ff8d46c
7. Shafiei F, Lopez J. Bupivacaine. 2019. Available from:
https://www.statpearls. com/kb/viewarticle/18706#ref_30322458

Anda mungkin juga menyukai