Anda di halaman 1dari 10

Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai.

Diperkirakan satu dari empat populasi dewasa di

Amerika atau sekitar 60 juta individu dan hampir 1 milyar penduduk dunia menderita hipertensi,

dengan mayoritas dari populasi ini mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan komplikasi

kardiovaskuler.1-4

Datayang diperolehdariFramingham HeartStudy menyatakan bahwaprevalensihipertensitetap akan

meningkat meskipun sudah dilakukan deteksi dini dengan dilakukan

pengukurantekanandarah(TD)secarateratur. Pada populasiberkulitputih ditemukan hampir 1/5

mempunyaitekanandarahsistolik(TDS)lebihbesardari

160/95mmHgdanhampirseparuhnyamempunyaiTDS lebihbesardari140/90mmHg.

Prevalensi hipertensi tertinggi ditemukan pada populasi bukan kulit putih. 2,5 Hipertensi yang tidak

terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat terjadinya arterosklerosis dan hipertensi sendiri

merupakan faktor risiko mayor terjadinya penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler. 3

Pengendalian hipertensi yang agresif akan menurunkan komplikasi terjadinya infark miokardium,

gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer dan diseksi aorta, sehingga

morbiditas dapat dikurangi. 3,6 Konsekuensi dari penggunaan obatobat antihipertensi yang rutin

mempunyai potensi terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama pembedahan.

Banyak jenis obat-obatan yang harus tetap dilanjutkan selama periode perioperatif, dimana dosis

terakhir diminum sampai dengan 2 jam sebelum prosedur pembedahan dengan sedikit air dan

dilanjutkan kembali pada saat pemulihan dari pengaruh anestesia. 7 Tingginya angka penderita

hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbulkan akibat hipertensi ini menyebabkan

pentingnya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Periode

perioperatif dimulai dari hari dimana dilakukannya evaluasi prabedah, dilanjutkan periode selama

pembedahan sampai pemulihan pasca bedah. 1,7

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI HIPERTENSI Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat

ditegakkan bila ditemukan adanya peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan

berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal yang diijinkan adalah

sebagai berikut :

Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran TD dipengaruhi oleh banyak
faktor, termasuk posisi dan waktu pengukuran, emosi, aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan

teknik pengukuran TD. Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap

kunjungan dan adanya riwayat peningkatan TD darah sebelumnya. 3 Penderita dengan klasifikasi

prehipertensi mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi hipertensi. Nilai rentang TD

antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali berkembang menjadi hipertensi dibandingkan

dengan nilai TD yang lebih rendah dari nilai itu. 2 Di samping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan

penyebabnya, dapat dibagi dalam 2 penyebab dasar, yaitu sebagai berikut: 5,8 1. Hipertensi primer

(esensial, idiopatik). 2. Hipertensi sekunder: A. Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar: •

Regurgitasi aorta, tirotoksikosis, PDA. B. Hipertensi sistolik dan diastolik dengan peningkatan SVR: •

Renal: glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis, polikistik ginjal, stenosis arteri renalis.

Endokrin: Sindroma Chusing, hiperplasia adrenal congenital, sindroma Conn (hiperaldosteronisme

primer), phaeochromacytoma, hipotiroidisme. • Neurogenik: peningkatan TIK, psikis (White Coat

Hypertension), porfiria akut, tanda-tanda keracunan. • Penyebab lain: coarctation dari aorta,

polyarteritis nodosa, hiperkalsemia, peningkatan volume intravaskuler (overload). PATOGENESIS

TERJADINYA HIPERTENSI Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya

secara spesifik. Hal ini penting menjadi bahan pertimbangan karena beberapa dari kasus-kasus

hipertensi tersebut bisa dikoreksi dengan terapi definitif pembedahan, seperti penyempitan arteri

renalis, coarctation dari aorta, pheochromocytoma, cushing’s disease, akromegali, dan hipertensi

dalam kehamilan. Sedangkan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya sering disebut sebagai

hipertensi esensial. Hipertensi esensial menduduki 80-95% dari kasus-kasus hipertensi. 1,3,9,10

Secara umum hipertensi selalu dihubungkan dengan ketidaknormalan peningkatan aktivitas simpatis,

yaitu terjadi peningkatan baseline dari curah jantung (CO), seperti pada keadaan febris,

hipertiroidisme atau terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (SVR) atau kedua-duanya.

Peningkatan SVR merupakan penyebab hipertensi pada mayoritas penderita hipertensi. 1,3 Pola

perkembangan terjadinya hipertensi, awalnya CO meningkat, tetapi SVR dalam batas-batas normal.

Ketika hipertensi semakin progresif, CO kembali normal tetapi SVR meningkat menjadi tidak normal.

Afterload jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan LVH (left ventricle hypertrophy) dan

merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga merubah autoregulasi serebral sehingga cerebral blood flow
(CBF) normal untuk penderita hipertensi dipertahankan pada tekanan yang tinggi. 3 Tekanan darah

berbanding lurus dengan curah jantung dan SVR, dimana persamaan ini dapat dirumuskan dengan

menggunakan hukum Law, yaitu: 1,9 BP =CO x SVR Secara fisiologis TD individu dalam keadaan

normal ataupun hipertensi, dipertahankan pada CO atau SVR tertentu. Secara anatomik ada 3 tempat

yang mempengaruhi TD ini, yaitu arterial, vena-vena post kapiler (venous capacitance) dan jantung.

Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat lewat pengaturan volume cairan intravaskuler (gambar

1). Hal lain yang ikut berpengaruh adalah baroreseptor sebagai pengatur aktivitas saraf otonom, yang

bersama dengan mekanisme humoral, termasuk sistem rennin-angiotensin-aldosteron akan

menyeimbangkan fungsi dari keempat tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan hormon-hormon

lokal yang berasal dari endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi pengaturan SVR. Sebagai contoh,

nitrogen oksida (NO) berefek vasodilatasi dan endotelin-1 berefek vasokonstriksi. 9

Obat antihipertensi bekerja pada reseptor tertentu yang tersebar dalam tubuh. 8,9 Kategori obat

antihipertensi dibagi berdasarkan mekanisme atau prinsip kerjanya, yaitu: 1. Diuretika, menurunkan

TD dengan cara mengurangi natrium tubuh dan volume darah, sehingga CO berkurang. Contohnya:

golongan thiazide, loop diuretics. 2. Golongan simpatolitik / simpatoplegik, menurunkan TD dengan

cara menumpulkan refleks arkus simpatis sehingga menurunkan resistensi pembuluh darah perifer,

menghambat fungsi kardiak, meningkatkan pengisian vena sehingga terjadi penurunan CO.

Contohnya: beta dan alpha blocker, methyldopa dan clonidine, ganglion blocker, dan post ganglionic

symphatetic blocker (reserpine, guanethidine). 3. Vasodilator langsung, menurunkan TD dengan cara

relaksasi otot-otot polos vaskuler. Contoh: nitroprusside, hydralazine, calcium channel blocker. 4.

Golongan penghambat produksi atau aktivitas Angiotensin, penghambatan ini menurunkan resistensi

perifer dan volume darah, yaitu dengan menghambat angiotensin I menjadi angiotensin II dan

menghambat metabolisme dari bradikinin.

MANAJEMEN PERIOPERATIF PENDERITA HIPERTENSI Penilaian Preoperatifdan Persiapan

Preoperatif Penderita Hipertensi Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang

akan menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu: 10,11 •

Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya. • Penilaian ada tidaknya
kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi. • Penilaian yang akurat tentang status

volume cairan tubuh penderita. • Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik

hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi. Semua data-data di atas

bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes

laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya. 2,11 Penilaian status volume cairan tubuh adalah

menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relatif

hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan

diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan

peningkatan risiko terjadinya aritmia. 5,11,12 Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan

sangat membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat

ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum

kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim

ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan

volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA

dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat. 5 Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah

komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF,

aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakoligis akan menurunkan

mortalitas akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%,

menurunkan penyakit arteri koronaria sebesar 16%. 11 PertimbanganAnestesiaPenderitaHipertensi

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang

sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi. 12,13 Namun

banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil

keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi. 11,12 Kenapa TD diastolik

(TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring

dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik

dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar

risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini

muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik
dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak

uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke

sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai

lebih dari 50%. 2,12 Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan

lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan

yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil

mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit

hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya

kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. 15 The

American Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan

bahwa TDS ≥ 180 mmHg dan/atau TDD ≥ 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan

operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat

dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang

bersifat rapid acting. 16 Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD

yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat

tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi

dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang sudah

dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil

dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.. 11,13,14 Perlengkapan Monitor Berikut ini ada

beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dan tujuan penggunaanya: 5 • EKG:

minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasien hipertensi punya risiko tinggi

untuk mengalami iskemia miokard. • TD: monitoring secara continuous TD adalah esensial kateter

Swan-Ganz: hanya digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI berulang. •

Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan perifer. • Analizer end-tidal

CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita mempertahankan kadar CO2. • Suhu atau

temperature. Premedikasi Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi.

Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti

golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari
pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi

menghentikan penggunaan ACEinhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperative Induksi

Anestesi Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik

pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan

hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume

intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum

induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat

anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE

inhibitor dan angiotensin receptor blocker. 3,8,10 Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan

stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan

dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-

intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat

membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa

dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi. 3,10 •

Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit. • Berikan

opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5

mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/kgbb). • Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena

atau intratrakea. • Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,

propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg). • Menggunakan anestesia topikal pada airway. Pemilihan

obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinisi. Propofol,

barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada

penderita hipertensi. 3 Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik

dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat

induksi secara inhalasi. 8,10 Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring Tujuan pencapaian

hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya

fluktuasi TD yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode

intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif. 10

Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal.
Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan

iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi

akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa

mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu: 8 •

Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang dianjurkan untuk

penderita hipertensi. • Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi

otak. • Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke. • Pengaruh

hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral.

Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan

hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan

N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O +pelumpuh otot, atau anestesia

total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia. 3 Anestesia regional dapat dipergunakan

sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan

hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia. 10

Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain

harus dipertimbangkan seperti phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm. 17

Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang

khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama untuk jenis operasi yang

menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi

terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk penderita yang mengalami

masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam.

Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang

mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain. 3,10 Hipertensi

Intraoperatif Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada periode

anestesia maupun saat pasca bedah. 13 Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon dengan

didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral (lihat tabel 2), namun

faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia

atau hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu. 3 Tabel 2. Antihipertensi parenteral untuk
mengatasi hipertensi akut 3 Labetatol 5-20 mg 1-2 menit 4-8 jam Propanolol 1-3 mg 1-2 menit 4-6

jam Trimethapane 1-6 mg/menit 1-3 menit 10-30 menit Phentolamine 1-5 mg 1-10 menit 20-40 menit

Diazoxide 1-3 mg/kgbb perlahan 2-10 menit 4-6 jam Hydralazine 5-20 mg 5-20 menit 4-8 jam

Nifedipine (sublingual) 10 mg 5-10 menit 4 jam Methyldopa 250-1000 mg 2-3 jam 6-12 jam

Nicardipine 0,25-0,5 mg5- 15 mg/jam 1-5 menit 3-4 jam Enalaprilate 0,625-1,25 mg 6-15 menit 4-6

jam Fenoldopam 0,1-1,6 mg/kgbb/menit 5 menit 5 menit Pemilihan obat antihipertensi tergantung

dari berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya

penyakit bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang

diinginkan dari pemberian obat tersebut (lihat tabel 3). 3,19 Berikut ini ada beberapa contoh sebagai

dasar pemilihan obat yang akan digunakan: 3 • Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau

tambahan pada pasien dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada

bronkospastik. • Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik. • Nifedipine:

refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan dengan iskemia miokard dan

antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat. • Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk

terapi intraoperatif pada hipertensi sedang sampai berat. • Nitrogliserin: mungkin kurang efektif,

namun bisa digunakan sebagai terapi atau pencegahan iskemia miokard. • Fenoldopam: dapat

digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi ginjal. • Hydralazine: bisa menjaga kestabilan

TD, namun obat ini juga punya onset yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon

takikardia.

Krisis Hipertensi Dikatakan krisis hipertensi jika TD lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat

dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan ada tidaknya ancaman

kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang progresif. Pasien dengan hipertensi sistemik

kronis dapat mentoleransi TDS yang lebih tinggi dibandingkan individu yang sebelumnya

normotensif dan lebih mungkin mengalami hipertensi yang sifatnya urgensi dibandingkan emergensi.

10 Halhal yang paling sering menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena penggunaan

obat antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat-obat penyakit kolagen-vaskuler,

glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti pheokromasitoma, preeclampsia dan

eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul adalah sesuai dengan target organ yang rusak akibat
hipertensi ini. 8 Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi

emergensi adalah pasien dengan bukti adanya kerusakan target organ yang sedang terjadi atau akut

(ensefalopati, perdarahan intra serebral, kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru, unstable

angina, diseksi aneurisme aorta, IMA, eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi

renal) yang memerlukan intervensi farmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik.

Ensefalopati jarang terjadi pada pasien dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg

sedangkan pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tanda-tanda ensefalopati

pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanita hamil dengan TDD > 109

mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan memerlukan terapi segera. Bila TD diturunkan

secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut, sehingga MAP diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam

pertama, selanjutnya pelan-pelan diturunkan sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda penurunan

TD ditoleransi dengan baik adalah selama fase ini tidak ada tanda-tanda hipoperfusi target organ.

8,10,20 Hipertensi urgensi adalah situasi dimana TD meningkat tinggi secara akut, namun tidak ada

bukti adanya kerusakan target organ. Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau

ansietas. Penurunan TD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat ditangani

dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap dalam beberapa hari. 10,20 Manajemen Postoperatif

Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang menderita

hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi

menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan

stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi

menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi.

3,10 Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena

penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem

respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk

memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu. 3

Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi,

sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan

morfin epidural secara infus kontinyu.Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi,
maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca

operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi,

sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. 14 Hipertensi pasca operasi sebaiknya

diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama

digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena

overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart

failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung

maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan

untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. 13 Apabila penderita sudah

bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai. 3,10,14

RINGKASAN Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka penderita yang cukup

tinggi. Hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor yang bisa menyebabkan terjadinya

komplikasi seperti penyakitpenyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler. Mengingat tingginya angka

kejadian dan komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit hipertensi ini, maka perlu adanya

pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Manajemen

perioperatif dimulai sejak evaluasi prabedah, selama operasi dan dilanjutkan sampai periode pasca

bedah. Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi keadaan penderita sangat penting dilakukan untuk

meminimalkan terjadinya komplikasi, baik yang terjadi selama intraoperatif maupun yang terjadi pada

pasca pembedahan. Goncangan hemodinamik mudah terjadi, baik berupa hipertensi maupun berupa

hipotensi, yang bisa menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi. Hal ini harus diantisipasi dengan

perlunya pemahaman tentang teknik anestesia yang benar, manajemen cairan perioperatif,

pengetahuan farmakologi obat-obat yang digunakan, baik obat-obatan antihipertensi maupun

obatobatan anestesia serta penanganan nyeri akut yang adekuat. Dengan manajemen perioperatif yang

benar terhadap penderita-penderita hipertensi yang akan menjalani pembedahan, diharapkan bisa

menurunkan atau meminimalkan angka morbiditas maupun mortalitas.

Anda mungkin juga menyukai