Amerika atau sekitar 60 juta individu dan hampir 1 milyar penduduk dunia menderita hipertensi,
dengan mayoritas dari populasi ini mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan komplikasi
kardiovaskuler.1-4
mempunyaitekanandarahsistolik(TDS)lebihbesardari
160/95mmHgdanhampirseparuhnyamempunyaiTDS lebihbesardari140/90mmHg.
Prevalensi hipertensi tertinggi ditemukan pada populasi bukan kulit putih. 2,5 Hipertensi yang tidak
terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat terjadinya arterosklerosis dan hipertensi sendiri
merupakan faktor risiko mayor terjadinya penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler. 3
Pengendalian hipertensi yang agresif akan menurunkan komplikasi terjadinya infark miokardium,
gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer dan diseksi aorta, sehingga
morbiditas dapat dikurangi. 3,6 Konsekuensi dari penggunaan obatobat antihipertensi yang rutin
mempunyai potensi terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama pembedahan.
Banyak jenis obat-obatan yang harus tetap dilanjutkan selama periode perioperatif, dimana dosis
terakhir diminum sampai dengan 2 jam sebelum prosedur pembedahan dengan sedikit air dan
dilanjutkan kembali pada saat pemulihan dari pengaruh anestesia. 7 Tingginya angka penderita
hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbulkan akibat hipertensi ini menyebabkan
pentingnya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Periode
perioperatif dimulai dari hari dimana dilakukannya evaluasi prabedah, dilanjutkan periode selama
ditegakkan bila ditemukan adanya peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan
berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal yang diijinkan adalah
sebagai berikut :
Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran TD dipengaruhi oleh banyak
faktor, termasuk posisi dan waktu pengukuran, emosi, aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan
teknik pengukuran TD. Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap
kunjungan dan adanya riwayat peningkatan TD darah sebelumnya. 3 Penderita dengan klasifikasi
prehipertensi mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi hipertensi. Nilai rentang TD
antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali berkembang menjadi hipertensi dibandingkan
dengan nilai TD yang lebih rendah dari nilai itu. 2 Di samping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan
penyebabnya, dapat dibagi dalam 2 penyebab dasar, yaitu sebagai berikut: 5,8 1. Hipertensi primer
(esensial, idiopatik). 2. Hipertensi sekunder: A. Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar: •
Regurgitasi aorta, tirotoksikosis, PDA. B. Hipertensi sistolik dan diastolik dengan peningkatan SVR: •
Renal: glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis, polikistik ginjal, stenosis arteri renalis.
Hypertension), porfiria akut, tanda-tanda keracunan. • Penyebab lain: coarctation dari aorta,
TERJADINYA HIPERTENSI Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya
secara spesifik. Hal ini penting menjadi bahan pertimbangan karena beberapa dari kasus-kasus
hipertensi tersebut bisa dikoreksi dengan terapi definitif pembedahan, seperti penyempitan arteri
renalis, coarctation dari aorta, pheochromocytoma, cushing’s disease, akromegali, dan hipertensi
dalam kehamilan. Sedangkan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya sering disebut sebagai
hipertensi esensial. Hipertensi esensial menduduki 80-95% dari kasus-kasus hipertensi. 1,3,9,10
Secara umum hipertensi selalu dihubungkan dengan ketidaknormalan peningkatan aktivitas simpatis,
yaitu terjadi peningkatan baseline dari curah jantung (CO), seperti pada keadaan febris,
hipertiroidisme atau terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (SVR) atau kedua-duanya.
Peningkatan SVR merupakan penyebab hipertensi pada mayoritas penderita hipertensi. 1,3 Pola
perkembangan terjadinya hipertensi, awalnya CO meningkat, tetapi SVR dalam batas-batas normal.
Ketika hipertensi semakin progresif, CO kembali normal tetapi SVR meningkat menjadi tidak normal.
Afterload jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan LVH (left ventricle hypertrophy) dan
merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga merubah autoregulasi serebral sehingga cerebral blood flow
(CBF) normal untuk penderita hipertensi dipertahankan pada tekanan yang tinggi. 3 Tekanan darah
berbanding lurus dengan curah jantung dan SVR, dimana persamaan ini dapat dirumuskan dengan
menggunakan hukum Law, yaitu: 1,9 BP =CO x SVR Secara fisiologis TD individu dalam keadaan
normal ataupun hipertensi, dipertahankan pada CO atau SVR tertentu. Secara anatomik ada 3 tempat
yang mempengaruhi TD ini, yaitu arterial, vena-vena post kapiler (venous capacitance) dan jantung.
Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat lewat pengaturan volume cairan intravaskuler (gambar
1). Hal lain yang ikut berpengaruh adalah baroreseptor sebagai pengatur aktivitas saraf otonom, yang
menyeimbangkan fungsi dari keempat tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan hormon-hormon
lokal yang berasal dari endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi pengaturan SVR. Sebagai contoh,
Obat antihipertensi bekerja pada reseptor tertentu yang tersebar dalam tubuh. 8,9 Kategori obat
antihipertensi dibagi berdasarkan mekanisme atau prinsip kerjanya, yaitu: 1. Diuretika, menurunkan
TD dengan cara mengurangi natrium tubuh dan volume darah, sehingga CO berkurang. Contohnya:
cara menumpulkan refleks arkus simpatis sehingga menurunkan resistensi pembuluh darah perifer,
menghambat fungsi kardiak, meningkatkan pengisian vena sehingga terjadi penurunan CO.
Contohnya: beta dan alpha blocker, methyldopa dan clonidine, ganglion blocker, dan post ganglionic
relaksasi otot-otot polos vaskuler. Contoh: nitroprusside, hydralazine, calcium channel blocker. 4.
Golongan penghambat produksi atau aktivitas Angiotensin, penghambatan ini menurunkan resistensi
perifer dan volume darah, yaitu dengan menghambat angiotensin I menjadi angiotensin II dan
akan menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu: 10,11 •
Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya. • Penilaian ada tidaknya
kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi. • Penilaian yang akurat tentang status
volume cairan tubuh penderita. • Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik
hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi. Semua data-data di atas
bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes
laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya. 2,11 Penilaian status volume cairan tubuh adalah
menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relatif
hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan
diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan
peningkatan risiko terjadinya aritmia. 5,11,12 Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan
sangat membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat
ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum
kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim
ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan
volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA
dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat. 5 Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah
komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF,
aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakoligis akan menurunkan
mortalitas akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%,
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang
sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi. 12,13 Namun
banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil
keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi. 11,12 Kenapa TD diastolik
(TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring
dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik
dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar
risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini
muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik
dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak
uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke
sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai
lebih dari 50%. 2,12 Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan
lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan
yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil
mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit
hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya
kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. 15 The
bahwa TDS ≥ 180 mmHg dan/atau TDD ≥ 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan
operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat
dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang
bersifat rapid acting. 16 Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD
yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat
tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi
dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang sudah
dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil
dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.. 11,13,14 Perlengkapan Monitor Berikut ini ada
beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dan tujuan penggunaanya: 5 • EKG:
minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasien hipertensi punya risiko tinggi
untuk mengalami iskemia miokard. • TD: monitoring secara continuous TD adalah esensial kateter
Swan-Ganz: hanya digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI berulang. •
Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan perifer. • Analizer end-tidal
CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita mempertahankan kadar CO2. • Suhu atau
Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti
golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari
pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi
menghentikan penggunaan ACEinhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperative Induksi
Anestesi Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik
pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan
hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume
intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum
induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat
anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE
inhibitor dan angiotensin receptor blocker. 3,8,10 Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan
stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan
dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-
intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat
membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa
Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit. • Berikan
opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5
mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/kgbb). • Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena
propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg). • Menggunakan anestesia topikal pada airway. Pemilihan
obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinisi. Propofol,
barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada
penderita hipertensi. 3 Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik
dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat
induksi secara inhalasi. 8,10 Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring Tujuan pencapaian
intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif. 10
Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal.
Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan
iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi
akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa
mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu: 8 •
Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang dianjurkan untuk
penderita hipertensi. • Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi
otak. • Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke. • Pengaruh
hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral.
Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan
hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan
N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O +pelumpuh otot, atau anestesia
total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia. 3 Anestesia regional dapat dipergunakan
sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan
hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia. 10
Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain
Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang
khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama untuk jenis operasi yang
menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi
terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk penderita yang mengalami
masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam.
Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang
mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain. 3,10 Hipertensi
Intraoperatif Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada periode
anestesia maupun saat pasca bedah. 13 Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon dengan
didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral (lihat tabel 2), namun
faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia
atau hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu. 3 Tabel 2. Antihipertensi parenteral untuk
mengatasi hipertensi akut 3 Labetatol 5-20 mg 1-2 menit 4-8 jam Propanolol 1-3 mg 1-2 menit 4-6
jam Trimethapane 1-6 mg/menit 1-3 menit 10-30 menit Phentolamine 1-5 mg 1-10 menit 20-40 menit
Diazoxide 1-3 mg/kgbb perlahan 2-10 menit 4-6 jam Hydralazine 5-20 mg 5-20 menit 4-8 jam
Nifedipine (sublingual) 10 mg 5-10 menit 4 jam Methyldopa 250-1000 mg 2-3 jam 6-12 jam
Nicardipine 0,25-0,5 mg5- 15 mg/jam 1-5 menit 3-4 jam Enalaprilate 0,625-1,25 mg 6-15 menit 4-6
jam Fenoldopam 0,1-1,6 mg/kgbb/menit 5 menit 5 menit Pemilihan obat antihipertensi tergantung
dari berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya
penyakit bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang
diinginkan dari pemberian obat tersebut (lihat tabel 3). 3,19 Berikut ini ada beberapa contoh sebagai
dasar pemilihan obat yang akan digunakan: 3 • Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau
tambahan pada pasien dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada
refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan dengan iskemia miokard dan
antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat. • Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk
terapi intraoperatif pada hipertensi sedang sampai berat. • Nitrogliserin: mungkin kurang efektif,
namun bisa digunakan sebagai terapi atau pencegahan iskemia miokard. • Fenoldopam: dapat
digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi ginjal. • Hydralazine: bisa menjaga kestabilan
TD, namun obat ini juga punya onset yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon
takikardia.
Krisis Hipertensi Dikatakan krisis hipertensi jika TD lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat
dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan ada tidaknya ancaman
kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang progresif. Pasien dengan hipertensi sistemik
kronis dapat mentoleransi TDS yang lebih tinggi dibandingkan individu yang sebelumnya
normotensif dan lebih mungkin mengalami hipertensi yang sifatnya urgensi dibandingkan emergensi.
10 Halhal yang paling sering menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena penggunaan
eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul adalah sesuai dengan target organ yang rusak akibat
hipertensi ini. 8 Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi
emergensi adalah pasien dengan bukti adanya kerusakan target organ yang sedang terjadi atau akut
(ensefalopati, perdarahan intra serebral, kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru, unstable
angina, diseksi aneurisme aorta, IMA, eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi
renal) yang memerlukan intervensi farmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik.
Ensefalopati jarang terjadi pada pasien dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg
sedangkan pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tanda-tanda ensefalopati
pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanita hamil dengan TDD > 109
mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan memerlukan terapi segera. Bila TD diturunkan
secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut, sehingga MAP diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam
pertama, selanjutnya pelan-pelan diturunkan sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda penurunan
TD ditoleransi dengan baik adalah selama fase ini tidak ada tanda-tanda hipoperfusi target organ.
8,10,20 Hipertensi urgensi adalah situasi dimana TD meningkat tinggi secara akut, namun tidak ada
bukti adanya kerusakan target organ. Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau
ansietas. Penurunan TD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat ditangani
dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap dalam beberapa hari. 10,20 Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang menderita
hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi
menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan
stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi
menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi.
3,10 Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena
penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem
respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk
Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi,
sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan
morfin epidural secara infus kontinyu.Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi,
maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca
operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi,
sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. 14 Hipertensi pasca operasi sebaiknya
diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama
digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena
overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart
failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung
maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan
untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. 13 Apabila penderita sudah
bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai. 3,10,14
RINGKASAN Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka penderita yang cukup
tinggi. Hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor yang bisa menyebabkan terjadinya
komplikasi seperti penyakitpenyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler. Mengingat tingginya angka
kejadian dan komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit hipertensi ini, maka perlu adanya
pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Manajemen
perioperatif dimulai sejak evaluasi prabedah, selama operasi dan dilanjutkan sampai periode pasca
bedah. Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi keadaan penderita sangat penting dilakukan untuk
meminimalkan terjadinya komplikasi, baik yang terjadi selama intraoperatif maupun yang terjadi pada
pasca pembedahan. Goncangan hemodinamik mudah terjadi, baik berupa hipertensi maupun berupa
hipotensi, yang bisa menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi. Hal ini harus diantisipasi dengan
perlunya pemahaman tentang teknik anestesia yang benar, manajemen cairan perioperatif,
obatobatan anestesia serta penanganan nyeri akut yang adekuat. Dengan manajemen perioperatif yang
benar terhadap penderita-penderita hipertensi yang akan menjalani pembedahan, diharapkan bisa