STRIKTUR URETRA
REFERAT
Oleh:
Tegar Syaiful Qodar
NIM 152010101049
Pembimbing:
dr. Budi Suwarno, Sp.U
STRIKTUR URETRA
REFERAT
disusun guna melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya
SMF Ilmu Bedah di RSD dr. Soebandi Jember
Oleh:
Tegar Syaiful Qodar
NIM 152010101049
Pembimbing:
dr. Budi Suwarno, Sp.U
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL..............................................................................................................i
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................................iv
BAB 1. PENDAHULUAN...............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
BAB 2. ANATOMI DAN FISIOLOGI URETRA..........................................................3
2.1 Anatomi...................................................................................................................3
2.2 Fisiologi...................................................................................................................4
BAB 3. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................6
3.1 Definisi....................................................................................................................6
3.2 Epidemiologi...........................................................................................................6
3.3 Etiologi....................................................................................................................7
3.4 Patofisiologi............................................................................................................9
3.5 Histopatologi......................................................................................................... 12
3.6 Klasifikasi............................................................................................................. 13
3.7 Gejala Klinis......................................................................................................... 15
3.8 Diagnosis............................................................................................................... 16
3.8 Penanganan Striktur Uretra................................................................................ 17
3.8.1 Prosedur Endourilogical..................................................................................... 18
3.8.2 Prosedur Rekonstruksi Terbuka......................................................................... 19
3.9 Prognosis............................................................................................................... 22
BAB 4. KESIMPULAN................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 25
4
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Uretra....................................................................................................................4
Gambar 2.2 Proses miksi dan perasarafannya.................................................................5
Gambar 3.1 Etiologi striktur uretra di negara maju dan berkembang.......................8
Gambar 3.2 Lokasi striktur uretra pada pemasangan kateter urin......................................9
Gambar 3.3 Striktur uretra akibat infeksi...............................................................................10
Gambar 3.4 Lokasi inflamasi striktur uretra.....................................................................12
Gambar 3.5 Perubahan struktur epitel uretra.........................................................................13
Gambar 3.6 Klasifikasi striktur uretra Mc. Aninch et al.....................................................14
Gambar 3.7 Klasifikasi striktur uretra Chiou et al...............................................................15
Gambar 3.8 Unflowmetri pada pasien striktur uretra...........................................................17
Gambar 3.9 Retrograde urethrography pada pasien striktur uretra....................................18
Gambar 3.10 Pilihan terapi pada striktur uretra....................................................................19
Gambar 3.11 Graft urethroplasty.............................................................................................21
Gambar 3.12 Komplikasi pada teknik rekonstruksi terbuka.................................................23
Gambar 3.13 Tingkat keberhasilan berdasarkan etiologi.......................................................24
Gambar 3.13 Tingkat keberhasilan berdasarkan grading TILE..........................................24
BAB 1. PENDAHULUAN
2.1 Anatomi
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-buli melalui
proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan
uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga untuk menyalurkan cairan semen
(mani). Uretra dilengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan
buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak antara uretra anterior dan
uretra posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem
simpatis sehingga pada saat buli-buli penuh , sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna
terdiri atas otot bergaris yang dipersarafi oleh saraf somatik. Aktivitas sfingter uretra
eksterna ini dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing
sfingter ini akan terbuka dan tetap tertutup ketika menahan kencing. Panjang uretra
wanita sekitar 3-5 cm sedangkan panjang uretra pria 23-25 cm. Perbedaan inilah yang
(3)
menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urin sering pada pria.
Uretra posterior laki-laki terdiri atas (1) pars prostatika, yakni bagian uretra
yang dilingkupi oleh prostat dan (2) uretra pars membranasea. Di bagian posterior
lumen uretra prostatika terdapat suatu tonjolan verumontanum dan di sebelah
proksimal dan distal dari verumontanum terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari
vas deferens, yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat di pinggir kanan dan kiri
verumontanum. Sekresi kelenjar prostat bermuara di dalam duktus prostatikus yang
(3)
tersebar di uretra prostatika.
Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum
penis. Uretra anterior terdiri dari (1) uretra pars bulbosa (2) uretra pars pendulare (3)
uretra pars navikulare (4) meatus uretra eksterna. Di dalam lumen uretra anterior
terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi sebagai reproduksi yaitu kelenjar
Cowperi yang ada di dalam diafragma urogenitalis dan bermuara di uretra pars
bulbosa serta kelenjar Littre yaitu kelenjar parauretralis yang bermuara di uretra pars
pendularis. Miksi terjadi jika tekanan intravesika melebihi tekanan intrauretra akibat
(3)
kontraksi otot detrusor dan relaksasi sfingter uretra eksterna.
4
2.2 Fisiologi
2.2.1 Fisiologi Miksi
Uretra merupakan jalan keluar terakhir yang dilalui oleh urin setelah
diproduksi di ginjal dan ditampung di buli-buli atau dapat disebut dengan miksi.
Miksi terbagi menjadi 2 tahapan, yakni tahap penyimpanan (storage phase) dan tahap
(8)
pengosongan (voiding phase).
Selama penyimpanan, tekanan kandung kemih tetap rendah, karena kandung
memiliki otot yang memiliki tingkat elastisitas dan plastisitas cukup tinggi. Fenomena ini
merupakan manifestasi dari hukum Laplace, yang menyatakan bahwa tekanan dalam
viscus bola sama dengan dua kali tegangan dinding dibagi dengan jari-jari. Dalam kasus
kandung kemih, ketegangan meningkat ketika organ terisi, tetapi begitu pula jari-jarinya.
Oleh karena itu, peningkatan tekanan sedikit sampai organ relatif penuh. Otot polos
kandung kemih memiliki aktivitas kontraktil yang melekat; Namun, ketika suplai
sarafnya masih utuh, regangkan reseptor di dinding kandung kemih memulai kontraksi
refleks yang memiliki ambang batas yang lebih rendah daripada respons kontraktil yang
melekat pada otot. Potensial aksi yang dibawa oleh neuron sensorik dari reseptor
peregangan di dinding kandung kemih ke segmen sakral dari
5
(8)
sumsum tulang belakang melalui saraf panggul. Karena peregangan dinding
kandung kemih rendah selama fase penyimpanan, neuron aferen ini memberikan
sinyal pada frekuensi yang rendah. Sinyal aferen frekuensi rendah menyebabkan
relaksasi kandung kemih dengan menghambat neuron preganglionik parasimpatis
(9)
sakral dan neuron preganglionik simpatis lumbar.
Tahap pengosongan (voiding phase) dimulai ketika sinyal dikirim dari otak
untuk mulai buang air kecil, dan berlanjut sampai kandung kemih kosong. Sinyal
aferen kandung kemih naik ke sumsum tulang belakang ke periaqueductal, di mana
mereka meneruskan baik ke pusat miksi yang berada di batang otak dan ke otak besar.
(10)
Pada tingkat aktivitas aferen tertentu, keinginan sadar untuk membatalkan proses
miksi menjadi sulit (menahan buang air kecil). Setelah sinyal untuk membatalkan
proses miksi dikeluarkan, neuron di pusat miksi (batang otak) mengeluarkan sinyal
menyebabkan eksitasi neuron preganglionik sakral. Eksitasi neuron ini menyebabkan
dinding kandung kemih berkontraksi; sebagai hasilnya, peningkatan tekanan
intravesikal yang tiba-tiba dan tajam terjadi. Pusat micturition pontine juga
menyebabkan penghambatan inti Onuf, menghasilkan relaksasi sfingter urin
(11)
eksternal. Ketika sfingter urin eksterna relaksasi, urin dikeluarkan dari kandung
kemih mengalir menyusuri uretra.
3.1 Definisi
Striktur uretra adalah penyempitan uretra yang disebabkan oleh jaringan parut,
yang secara fungsional memiliki efek menghalangi saluran kemih bagian bawah.
Konsekuensi dari obstruksi ini dapat sangat merusak kualitas hidup pasien dengan
menyebabkan gangguan berkemih, urin tersebut tidak bisa dieksresikan dari tubuh
sehingga refluks atau naik kembali ke saluran kemih atas sampai ke ginjal dan
mengakibatkan kerusakan fungsi ginjal. Stiktur uretra dapat terjadi di setiap bagian
uretra, mulai dari leher kandung kemih hingga ke meatus uretra eksternal. Setiap
proses yang menyebabkan trauma uretra akhirnya dapat menyebabkan penyempitan.
Dahulu uretritis akibat penyakit menular seksual, terutama gonore, adalah penyebab
(7,12)
utama striktur uretra.
3.2 Epidemiologi
Striktur uretra adalah penyakit yang relatif umum terjadi pada pria dengan
prevalensi sekitar 229-627 per 100.000 pria, atau sekitar 0,6% pada populasi yang
berisiko (pria usia >65 tahun). Para peneliti menganalisis penyakit striktur uretra di
sepuluh set data publik dan swasta di Amerika Serikat. Mereka menyimpulkan bahwa
penyakit striktur uretra umum terjadi pada populasi lansia dengan peningkatan yang
signifikan setelah usia 55 tahun. Data dari Medicare dan Medicaid Services tahun 2001
mengkonfirmasi adanya peningkatan insidensi penyakit striktur, yakni 9,0/100.000 pada
(2)
pasien >65 tahun dibandingkan dengan 5,8/100.000 pada pasien <65 tahun.
Striktur uretra juga dapat terjadi perempuan meskipun sangat jarang sekali.
Peneliti telah menemukan bahwa kejadian obstruksi pada saluran kemih perempuan
terjadi pada sekitar 3-8% wanita, dari seluruh kasus obstruksi pada saluran kemih
(13)
perempuan striktur uretra terjadi sekitar 4-13% saja.
7
3.3 Etiologi
Striktur uretra terjadi karena proses fibrosis dan pembentukan sikatrik pada
mukosa uretra dan jaringan di sekitarnya. Penyempitan dapat terjadi di setiap lokasi
uretra dari leher kandung kemih hingga meatus uretra eksternal. Setiap proses yang
menyebabkan trauma uretra akhirnya dapat menyebabkan penyempitan. Dahulu
uretritis akibat penyakit menular seksual, terutama gonore ialah penyebab utama
(5)
striktur uretra.
Penyebab striktur uretra yang paling sering pada tahun 1961-1981 ialah uretritis
(40% dari seluruh kasus). Kasus striktur uretra pada tahun 1969-1975 ketika
dibandingkan dengan kasus striktur uretra pada tahun 1976-1981, sudah ada perubahan
besar pada penyebab paling sering, yaitu iatrogenik. Saat ini kejadian striktur uretra
akibat uretritis infeksi telah menurun secara drastis karena banyaknya kampanye
pencegahan penyakit menular seksual, kesadaran masyarakat terhadap penyakit menular
seksual seperti gonore dan HIV, serta pengobatan antibiotik yang cepat dan memadai
(14)
untuk uretritis. Stein et al. melakukan sebuah penelitian pada tahun 2012 untuk
mengetahui penyebab tersering kasus striktur uretra di Negara maju dan Negara
berkembang setelah banyak ditemukannya antibiotik dan teknologi kesehatan yang telah
menggeser etiologi striktur uretra di masa lalu. USA dan Italia diambil sebagai sampel
(15)
negara maju dan India diambil sebagai sampel dari negara berkembang.
Di negara maju, penyebab striktur uretra yang paling sering ialah idiopatik (45%)
(15)
dan iatrogenik (35%). Sebagian besar striktur uretra idiopatik terjadi pada uretra pars
(6,7)
bulbosa (82%). Hipotesis untuk penyebab striktur uretra pada pars bulbosa idiopatik
berasal dari kelainan bawaan (kongenital) atau kemungkinan terjadi manifestasi trauma
(6,7,16,17)
pediatrik yang tidak disadari. Setelah idiopatik penyebab tersering striktur uretra
di negara maju ialah iatrogenik, penyebab iatrogenik yang dapat menimbulkan striktur
uretra tersering ialah kegalalan atau keterlambatan operasi hipospadia (50%) dan
(15)
tindakan pemasangan kateter urin (30%).
Di negara berkembang penyebab tersering dari striktur uretra ialah trauma
(36%), idiopatik (24%), lichen sclerosus (LS) (22%), dan iatrogenik (17%). Negara
berkembang yang diambil sebagai contoh ialah India. Penyebab trauma yang sering
8
menimbulkan striktur uretra ialah ruptur uretra traumatis yang berhubungan dengan
fraktur panggul, hal ini mencerminkan tingkat kecelakaan lalu lintas yang tinggi,
(15)
sistem jalan yang tidak memadai dan faktor sosial ekonomi. LS dianggap sebagai
(18)
kondisi inflamasi kronis dengan etiologi yang tidak diketahui. Ada beberapa teori
tentang etiologi LS, teori yang paling banyak diterima melibatkan disregulasi imun
mengingat antibodi organ-spesifik dan peningkatan insiden gangguan autoimun
lainnya ditemukan pada pasien dengan LS. LS dapat melibatkan area kulit tetapi
memiliki kecenderungan di daerah anogenital. LS genital diketahui merupakan
penyebab dari striktur uretra. Insiden LS genital dan keterlibatan uretra tidak
diketahui, namun seri kasus menunjukkan tingkat striktur uretra sekunder akibat LS
(7,19)
sekitar 8-16%. Penyebab tersering iatrogenik striktur uretra ialah tindakan
pemasangan kateter (36%), tindakan Transurethral Resection of Prostate (TURP)
(15)
(29%), dan radioterapi pada pasien kanker prostrat (20%).
Gambar 3.1 Etiologi striktur uretra di negara maju dan berkembang (Stein et al., 2012)
Berdasarkan lokasi terjadinya striktur, striktur uretra dibagi dua yakni striktur
uretra posterior dan anterior. Perbedaan letak terjadinya striktur uretra terjadi
(3)
berdasarkan etiologi yang mendasari.
Pada striktur uretra posterior etiologi yang paling sering ialah trauma yang
melibatkan pelvic crush injury (72,5%), hal ini dapat menyebabkan terjadinya striktur
(20)
uretra pada pars prostatika ataupun membranasea. Pada striktur uretra anterior dapat
dibagi menjadi 3 yakni uretra pars bulbosa, pars penile, dan panuretral. Pada uretra pars
9
bulbosa penyebab tersering striktur uretranya ialah idiopatik (48%), iatrogenik (36%),
(20,21)
inflamasi (20%), dan trauma (14%). Pada uretra pars penile penyebab terjadinya
striktur paling sering ialah iatrogenik (53,9%) dan idiopatik (20,6%). Sedangkan pada
striktur panuretral penyebab tersering ialah iatrogenic (55%) dan idiopatik (13%) .(22)
Etiologi striktur uretra iatrogenik biasanya disebabkan oleh instrumentasi.
Penyempitan pada uretra sebagian besar merupakan hasil dari reseksi transurethral
(41%), pemasangan kateter urin yang berkepanjangan (36,5%), cystoscopy (12,7%),
sebagai komplikasi perbaikan hipospadia sebelumnya (6,3%), dan operasi
prostatektomi radikal (3,2%). Penyempitan iatrogenik terjadi setelah trauma akibat
kateterisasi yang salah, respons inflamasi yang dipicu oleh bahan kateter dan nekrosis
(21)
avaskular (iskemia tekan) (Gambar 3.2).
Gambar 3.2 Lokasi striktur uretra pada pemasangan kateter urin (Elliot et al., 2013)
3.4 Patofisiologi
Striktur uretra terjadi karena adanya cedera pada epitel uretra atau corpus
spongiosum yang mendasarinya, yang pada akhirnya menyebabkan terbentuknya
jaringan fibrosis selama proses penyembuhan. Mekanisme terjadinya cedera atau
perlukaan pada uretra dapat disebabkan karena beberapa hal seperti infeksi, trauma,
manipulasi dari instrumen pengobatan (pemasangan kateter urin, uretroskopi, dll.),
(5)
penyakit autoimun, dll.
10
Pada tahun 1960an penyebab striktur uretra paling sering ialah uretritis akibat
infeksi penyakit menular seksual teruatama gonore. 90% infeksi uretritis terjadi pada
uretra pars bulbosa dan pars pendulare. Pada uretra pars pendulare terdapat sekumpulan
kelenjar mirip kelenjar bulbouretral yakni kelenjar littre yang menjadi tempat tersering
terbentuknya pus akibat infeksi bakteri Neisseria gonorrhoeae. Mekanisme striktur uretra
gonokokal terjadi karena abses yang terbentuk di kelenjar littre akibat infeksi Neisseria
gonorrhoeae pecah, sehingga mengiritasi korpus spongiosum disekitarnya dan terjadi
proses penyembuhan luka dengan cara pembentukan jaringan fibrosis dan sacarring yang
(21)
berujung pada terjadinya penyempitan lumen uretra (Gambar 3.2).
terbentuknya jaringan fibrosis ini biasanya tidak timbul gejala. Seiring berjalannya
waktu, proses terbentuknya jaringan fibrosis ini dapat menyebabkan penyempitan
lebih lanjut pada lumen uretra yang mengakibatkan sulit buang air kecil sampai
(25)
terjadinya retensi urin.
Patologi striktur uretra umumnya ditandai oleh perubahan matriks
(26)
ekstraseluler jaringan spongiosal uretra, yang telah ditunjukkan pada evaluasi
(27)
histologis jaringan uretra normal dan terstruktur. Jaringan ikat normal digantikan
oleh serat padat diselingi dengan fibroblast dan penurunan rasio dari kolagen tipe III
(27)
ke tipe I terjadi. Perubahan ini disertai dengan penurunan rasio otot polos terhadap
kolagen, serta perubahan signifikan dalam sintesis nitrit oksida dalam jaringan uretra
(28)
yang dikeraskan.
Striktur uretra anterior biasanya terjadi setelah trauma atau infeksi,
mengakibatkan spongiofibrosis. Melalui proses ini, corpus spongiosum menjadi
berserat, menghasilkan lumen uretra yang menyempit. Jika fibrosis yang terjadi
cukup luas bahkan dapat melibatkan jaringan di luar corpus spongiosum juga. Striktur
uretra posterior biasanya merupakan hasil dari proses obliteratif yang menyebabkan
fibrosis uretra posterior, seperti cedera iatrogenik akibat pemasangan kateter urin
terlalu lama, prostatektomi radikal, atau dari cedera akibat trauma terutama fraktur
(25)
panggul (Gambar 3.3).
3.5 Histopatologi
Uretra normal sebagian besar dilapisi oleh epitel kolumnar berlapis semu. Di
bawah membran basal terdapat lapisan jaringan ikat spongiosum yang kaya akan
sinusoid vaskular dan otot polos. Jaringan ikat terdiri terutama dari fibroblas dan
matriks ekstraseluler yang mengandung kolagen, proteoglikan, serat elastis, dan
glikoprotein. Perubahan histologis yang paling signifikan dari striktur uretra terjadi
pada jaringan ikat. Penyempitan yang terjadi merupakan konsekuensi dari kerusakan
(21)
epitel dan spongiofibrosis.
(29)
Scott dan Foote menunjukkan bahwa, setelah trauma, epitel menjadi ulserasi
dan ditutupi dengan sel epitel skuamosa baik simple maupun bertingkat (Gambar 3.4).
Penyempitan itu sendiri juga kaya akan myofibroblast dan multinuclear giant cell.
Keduanya dikaitkan dengan pembentukan striktur dan produksi kolagen. Peningkatan
kolagen tipe II terjadi di perilumen dan tipe I di corpus spongiosum, yang menyebabkan
uretra dan jaringan sekitarnya mengalami penurunan kemampuan dalam hal elastisitas
(21)
dan plastisitas. Etiologi striktur uretra tidak berperan dalam perubahan kandungan otot
(29)
polos atau kolagen dalam korpus spongiosum.
Gambar 3.5 Perubahan struktur epitel uretra (Scott dan Foote, 1980)
13
3.6 Klasifikasi
Mc. Aninch et al pada tahun 1988 pertama kali mengusulkan sistem staging
striktur uretra berdasarkan gambaran ultrasonografi (USG). Gambaran USG yang
(30)
dijadikan patokan ialah derajat oklusi lumen uretra (Gambar 3.3).
Gambar 3.6 Klasifikasi striktur uretra Mc. Aninch et al. (Mc. Aninch et al., 1988)
Gambar 3.7 Klasifikasi striktur uretra Chiou et al. (Chiou et al., 1996)
Stage 2: LS yang melibatkan prepusium, sulcus corona, dan meatus uretra ekterna
Stage 3: LS yang melibatkan prepusium, glans penis, dan meatus uretra eksterna
disertai penyempitan fossa navicularis dan uretra anterior. Terkadang proses infeksi
menyebar sampai ke kelenjar littre dan dapat menyebabkan striktur pan-uretra Stage
4: Terdapat lesi premalignant atau bahkan lesi cancer
(33)
Pansadoro dan Emiliozzi mengusulkan klasifikasi iatrogenik prostatik
striktur uretra (posterior) menurut lokasi dan etiologi:
Tipe I: Jaringan fibrosa hanya terdapat di leher kandung kemih (bladder neck
contracture).
Tipe II: Striktur terlokaslisasi pada bagian medial fossa prostat, dengan leher kandung
kemih terbuka dan verumontanum yang masih baik. Tipe III: Obliterasi uretra prostat
lengkap.
Beberapa sistem klasifikasi striktur uretra telah diusulkan dengan tujuan
stratifikasi striktur uretra menjadi simpel striktur uretra dan kompleks striktur uretra
yang dapat dikelola secara endoskopi dan striktur uretra yang memerlukan
uretroplasti. Meskipun banyak faktor klinis seperti etiologi dan tingkat keparahan
striktur uretra yang memiliki dampak signifikan pada lokasi dan tingkat keberhasilan
(21)
rekonstruksi, sistem klasifikasi striktur uretra yang komprehensif belum ada.
3.8 Diagnosis
Selain dari gejala klinis, striktur uretra dapat ditegakan diagnosisnya
(34)
berdasarkan beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan uroflowmetri.
Pemeriksaan uroflowmetri ini mencatat aliran urin (diukur sebagai volume per unit
waktu) dan keseluruhan waktu buang air kecil. Grafik dari pasien dengan striktur
uretra akan menunjukkan perpanjangan waktu buang air kecil dengan plateu rendah
(Gambar 3.5).
Gambar 3.8 Unflowmetri pada pasien striktur uretra (Tritschler et al., 2013)
Bentuk kurva ini adalah patognomonik dari striktur uretra, meskipun hasil
pemeriksaan tidak dapat mengetahui tentang panjang atau posisi striktur. Kedua hal ini
perlu diketahui sebelum pengobatan dapat direncanakan, dan untuk mengetahui hal ini
pilihan pemeriksaan penunjang yang dipilih ialah retrograde urethrography (RUG)
(5)
(Gambar 3.6). Golden standard diagnostik striktur uretra saat ini ialah RUG,
17
memungkinkan untuk diagnosis, staging, dan delineasi striktur uretra yang akurat,
dan tetap menjadi landasan dalam pengelolaan penyakit striktur uretra. Dalam situasi
yang kompleks, RUG dapat digabungkan dengan vioiding cystourethrogram (VCUG)
untuk memvisualisasikan uretra posterior dengan lebih baik atau mendeteksi
(35)
gangguan kompleks.
Gambar 3.9 Retrograde urethrography pada pasien striktur uretra (Tritschler et al., 2013)
Pada pasien dengan retensi urin atau residu urin dalam jumlah besar, tindakan
blind transurethral bougienage kateter harus dihindari, karena trauma jaringan akan
membuat kondisi uretra memburuk. Pasien-pasien ini harus diberikan fistula kandung
kemih suprapubik. Setiap infeksi saluran kemih yang ada harus diobati sesuai dengan
(5)
hasil tes.
Setelah situasi akut telah diatasi, perawatan definitif striktur harus dilakukan.
Pilihan dasar adalah antara prosedur bedah endoskopi (invasif minimal) dan terbuka
(5)
(Gambar 3.7).
Gambar 3.10 Pilihan terapi pada striktur uretra (Tritschler et al., 2013)
Apapun terapi yang dipilih, harus diingat bahwa striktur uretra cenderung
berulang. Semakin luas striktur, semakin jauh lokasinya, dan semakin sering dirawat,
(36,37)
semakin buruk hasil jangka panjangnya.
digunakan hanya pada pasien yang menolak perawatan bedah atau yang tidak dapat
(5)
dilakukan operasi karena alasan lain (contoh: Anestesiologis).
Prosedur internal uretrotomi, bekas luka striktur diiris dengan pisau secara
endoskopi, mengakibatkan pelebaran lumen. Karena margin luka yang dihasilkan
membesar, penyembuhan menjadi tujuan sekunder. Hal ini menyebabkan
pembentukan parut, menimbulkan tingkat kekambuhan yang tinggi. Angka
(33,38)
kekambuhan setidaknya 50-60% dari kasus, beberapa penelitian melaporkan
(24)
tingkat keberhasilan jangka panjang hanya 20%. Tingkat kekambuhan tergantung
pada panjangnya striktur, hasil yang lebih baik hanya ditemukan pada striktur uretra
(33)
bulbar pendek (<1,5 cm) yang diderita pertama kali (75%). Sebuah studi
prospektif acak menunjukkan bahwa urethrotomy internal menghasilkan hasil yang
(37)
tidak lebih baik daripada bougienage.
Dalam prosedur internal uretrotomi, jaringan sehat proksimal dan distal dari
striktur perlu diiris, sehingga membuat lesi semakin panjang. Hasilnya adalah bahwa
striktur berulang selalu lebih panjang daripada yang pertama kali. Setelah
kekambuhan terjadi dengan bertambahnya panjang striktur, penyembuhan permanen
(36)
tidak lagi dapat diharapkan dari prosedur ini. Oleh karena itu, untuk striktur
(5)
kompleks atau berulang prosedur rekonstruksi terbuka harus digunakan.
tidak dimungkinkan, sehingga prosedur alternatif harus dilakukan. Harus diingat juga
bahwa dalam prosedur ini suplai darah yang mengalir sepanjang corpus spongiosum
benar-benar terganggu. Komplikasi ini harus dihindari, terutama pada pasien muda.
Prosedur ini juga dikontraindikasikan pada pasien yang sebelumnya telah menjalani
koreksi hipospadia, karena dengan anatomi yang berubah, dan kurangnya
anastomosis vaskular ke corpus cavernosum menyebabkan perfusi uretra penis
(5)
setelah transeksi lengkap dari bulbar uretra tidak dapat dipastikan.
Sebagai terapi untuk striktur uretra bulbar yang panjang dan semua striktur
(39)
uretra penis, graft urethroplasty menjadi pilihan. Dalam prosedur ini, uretra
sepenuhnya dimobilisasi di daerah striktur dan dibedah bebas dari corpus cavernosus.
Uretra kemudian dibuka memanjang sepanjang uretra yang mengalami striktur dan
graft (cangkokan) bebas dijahit ke dalam defek yang dibuat, untuk memperlebar
penyempitan (Gambar 3.8).
Skin graft yang cocok dapat diambil dari kulit preputium atau mukosa mulut, atau
(39,40,41,42,43)
dapat juga diambil dari paha atas atau perut bagian bawah. Studi retrospektif
dari striktur uretra bulbar menemukan bahwa skin graf yang berasal dari mukosa mulut
lebih unggul daripada skin graft yang berasal dari preputium, dengan tingkat keberhasilan
setelah 53 bulan sekitar 80% untuk skin graft dari mukosa mulut dan 60% untuk skin
(40)
graft yang berasal dari preputium. Namun, tingkat keberhasilan yang sebanding tidak
dapat dicapai dengan skin graft mukosa mulut untuk striktur
21
uretra penis atau distal. Untuk striktur uretra penis atau distal kulit, skin graft yang
berasal dari preputium sama baiknya dengan mukosa oral (sekitar 70% setelah 52
(5)
bulan. Tidak ditemukan adanya komplikasi yang relevan pada skin graft yang
berasal dari preputium. Dibandingkan dengan skin graft yang berasal dari mukosa
mulut, morbiditas intraoral yang signifikan terjadi setelah pengangkatan mukosa
(44,45)
mulut (nyeri, mati rasa, kontraktur parut). Skin graft yang berasal dari
preputium dan paha atas lebih sering dipilih daripada mukosa mulut, karena
(5)
komplikasi yang muncul serta tingkat kemudahan untuk mengambil skin graft.
Dalam teknik operatif menggunakan flap kulit bertangkai, uretra dibuka dengan
cara yang sama sepanjang seluruh striktur, dan defek yang dihasilkan proses tersebut diisi
dengan flap dari fascia dartos dari bawah kulit batang penis dan diputar melingkupi ke
uretra yang terbuka. Ada berbagai teknik flap yang bisa digunakan, namun teknik flap ini
memiliki kelebihan yaitu selalu menerima suplai darah dari jaringan ikat subdermal.
Teknik flap ini merupakan prosedur yang luas, dan meskipun studi prospektif acak telah
menunjukkan tingkat keberhasilan yang sebanding dengan teknik skin graft, teknik flap
ini membutuhkan waktu operasi yang lama dan terdapat peningkatan tingkat komplikasi
(46,47)
(nekrosis kulit ±15%, pembentukan fistula ±5%) , dan karenanya teknik ini hanya
digunakan pada kasus tertentu seperti kekambuhan kompleks pada uretra penis atau
(5)
pasien yang telah menjalani radioterapi.
Prosedur paliatif untuk pasien dengan striktur uretra berulang yang kompleks
dan tidak ingin menjalani operasi rekonstruktif lebih lanjut atau tidak mampu
menahan komorbiditas, dapat memilih prosedur urethrostomy perineum
(Boutonnière), prosedur sederhana dan efektif di mana uretra bulbar dijahit langsung
ke kulit perineum di bawah skrotum. Hal ini membuat uretra distal berfungsi
berlebihan, dan mempertahankan kontinensi dengan buang air kecil pada posisi
duduk. Meskipun beberapa studi menunjukkan intervensi berulang diperlukan pada
(48)
sekitar 30% kasus, kepuasan subyektif dengan prosedur ini lebih dari 90%.
Untuk penyempitan yang berjalan sepanjang uretra, prosedur dua bagian bisa
menjadi pilihan. Dalam hal ini, seluruh uretra dibuka pertama di bagian perut dan ujung-
ujungnya dijahit ke kulit di sekitarnya. “Pelat uretra” yang dihasilkan kemudian,
22
dalam sesi kedua sekitar 6 bulan kemudian, dikeluarkan kembali dan dibentuk
(49)
menjadi tabung (“tubularized”).
Penutupan uretra setelah terjadinya ruptur uretra adalah kasus yang khusus.
Ruptur uretra hanya terjadi terkait dengan fraktur pelvis pada pasien dengan trauma
multipel. Uretra terlepas baik langsung di atas atau langsung di bawah diafragma
(50)
urogenital (supradiaphragmatic vs infradiaphragmatic urethral rupture). Hal ini
menyebabkan jaringan parut pada defek, dengan obstruksi total lumen uretra (Gambar
6). Terapi dalam kasus ini terdiri atas eksisi lengkap jaringan parut dan anastomosis
(51,52)
antara bulbar uretra dan puncak prostat. Sesuatu yang harus diwaspadai ialah
pada pasien dengan ruptur supradiafragma (sekitar 30%) mekanisme kontinensia
(5)
dapat rusak, karena dapat dieksisi dengan jaringan parut yang padat.
Prosedur rekonstruksi terbuka digunakan pada kasus striktur uretra kompleks
atau berulang, namun bukan berarti teknik rekonstruksi terbuka ini bebas dari
(5)
komplikasi (Gambar 3.12).
Gambar 3.12 Komplikasi pada teknik rekonstruksi terbuka (Tritschler et al., 2013)
3.9 Prognosis
Striktur uretra post traumatik memiliki prognosa terbaik, sedangkan striktur
(53)
post infeksi memiliki prognosa yang lebih buruk (Gambar 3.13).
23
Gambar 3.14 Tingkat keberhasilan berdasarkan grading TILE (Mathur et al., 2011)
24
BAB 4. KESIMPULAN
Striktur uretra adalah penyempitan uretra yang disebabkan oleh jaringan parut,
yang secara fungsional memiliki efek menghalangi saluran kemih bagian bawah.
Penyebab striktur uretra yang paling sering ialah idiopatik, iatrogenik, dan trauma.
Perbedaan geografi di dunia menghadirkan faktor risiko berbeda untuk pembentukan
striktur. Faktor risiko tersebut dapat meliputi sosial ekonomi, paparan intervensi
perawatan kesehatan, infrastruktur, genetika, lingkungan, atau sejumlah faktor
lainnya. Pentingnya mengetahui penyebab dan klasifikasi striktur uretra
mempengaruhi pemilihan terapi yang diberikan.
25
DAFTAR PUSTAKA
26. Cavalcanti A, Costa WS, Baskin LS, McAninch JA, Sampaio FJB. A
morphometric analysis of bulbar urethral strictures. BJU Int. 2007;100:397–
402.
27. Baskin LS, et al. Biochemical characterization and quantitation of the
collagenous components of urethral stricture tissue. J. Urol. 1993;150:642–647
28. Cavalcanti A, Yucel S, Deng DY, McAninch JW, Baskin LS. The distribution
of neuronal and inducible nitric oxide synthase in urethral stricture formation.
J. Urol. 2004;171:1943–1947.
29. Scott TM, Foote J. Early Events in Stricture Formation in the Guinea Pig
Urethra. Urol int. 1980; 35: 334-339.
30. McAninch JW, Laing FC, Jeffrey RJ. Sonourethrography in the evaluation of
urethral stricture: a preliminary report. J Urol. 1988;139:294–7.
31. Chiou RK, Anderson JC, Tran T, Patterson RH, Wobig R, Taylor RJ.
Evaluation of Urethral Strictures and Associated Abnormalities Using High-
Resolution and Color Doppler Ultrasound. 1996;47:102-107
32. Barbagli G, Palminteri E, Balò S, et al. Lichen sclerosus of the male genitalia
and urethral stricture diseases. Urol Int. 2004;73(1):1–5.
33. Pansadoro V, Emiliozzi P. Iatrogenic prostatic urethral strictures: classification
and endoscopic treatment. Urology. 1999;53:784–9.
34. Brandes SB: Urethral Reconstructive Surgery, Totowa: Humana Press 2008.
35. Maciejewski C, Rourke K. Imaging of Urethral Stricture Disease. Trans
Androl Urol. 2015;4(1):2-9.
36. Breyer BN, McAninch JW, Whitson JM, et al.: Multivariate analysis of risk
factors for long-term urethroplasty outcome. J Urol 2010;183: 613–7.
37. Steenkamp JW, Heyns CF, de Kock ML: Internal urethrotomy versus dilation
as treatment for male urethral strictures: a prospective, randomized comparison.
J Urol 1997; 157: 98–101.
38. Verges J, Desgrez JP, Claude JM, Cabane H: Internal urethrotomy. Resection
of urethral stricture (over 5 years follow-up). Ann Urol. 1990; 24: 73–5.
28
39. Andrich DE, Mundy AR: What is the best technique for urethroplasty? Eur Urol
2008; 54: 1031–41.
40. Barbagli G, Guazzoni G, Lazzeri M: One-stage bulbar urethroplasty:
retrospective analysis of the results in 375 patients. Eur Urol 2008;53: 828–33.
41. Meeks JJ, Erickson BA, Fetchev P, Crawford SE, Fine NA, Gonzalez CM:
Urethroplasty with abdominal skin grafts for long segment urethral strictures.
J Urol 2010; 183: 1880–4.
42. Schwentner C, Seibold J, Colleselli D, et al.: Single-stage dorsal inlay full-
thickness genital skin grafts for hypospadias reoperations: extended follow up.
J Pediatr Urol 2011; 7: 65–71.
43. Dalpiaz O, Kerschbaumer A, Pelzer A, et al.: Single-stage dorsal inlay split-
skin graft for salvage anterior urethral reconstruction. BJU Int 2008; 101:
1565– 70.
44. Dublin N, Stewart LH: Oral complications after buccal mucosal graft harvest
for urethroplasty. BJU Int 2004; 94: 867–9.
45. Song LJ, Xu YM, Lazzeri M, Barbagli G: Lingual mucosal grafts for anterior
urethroplasty: a review. BJU Int 2009; 104: 1052–6.
46. Hussein MM, Moursy E, Gamal W, Zaki M, Rashed A, Abozaid A: The use of
penile skin graft versus penile skin flap in the repair of long bulbo-penile
urethral stricture: a prospective randomized study. Urology 2011; 77: 1232–7.
47. Dubey D, Vijjan V, Kapoor R. Dorsal onlay buccal mucosa versus penile skin
flap urethroplasty for anterior urethral strictures: results from a randomized
prospective trial. J Urol 2007; 178:2466–9.
48. Barbagli G, De Angelis M, Romano G, Lazzeri M: Clinical outcome and
quality of life assessment in patients treated with perineal urethrostomy for
anterior urethral stricture disease. J Urol 2009; 182:548–557.
49. Johanson B: Reconstruction of the male urethra in strictures. Application of
the buried intact epithelium tube. Acta Chir Scand. 1953;176 (Suppl).
29