LATAR BELAKANG
Invaginasi adalah suatu penyakit pada anak yang memerlukan tindakan emergensi.
Diagnosis pasti invaginasi pada anak sulit untuk ditegakkan karena gejala spesifik invaginasi
“Trias Invaginasi” tidak selalu ditemukan saat anamnesis kepada orang tua anak maupun pada
saat pemeriksaan (Mac Mahon, 1991).
Sebanyak 75% kasus invaginasi anak ditemukan pada usia dibawah 3 tahun dimana
40% nya didapatkan pada usia antara 1 dan 12 bulan. Insiden terjadinya invaginasi diperkirakan
mencapai 1 dari 2000 anak, penelitian di Inggris dan Skotlandia menunjukkan insiden yang
lebih tinggi yaitu 4 dari 1000 kelahiran hidup. Jenis kelamin laki-laki lebih dominan terjadi
dibanding dengan perempuan dengan rasio berkisar 3:2 sampai dengan 2:1 (Hanz-Iko, 2006).
Hasil laporan WHO yang dikeluarkan pada tahun 2002 di 3 kota besar Indonesia
menunjukkan angka terjadinya invaginasi pada anak yang terjadi di kota Medan sebanyak 29
kasus, dijumpai pada usia 2 bulan sampai 2 tahun dan paling banyak ditemukan pada anak usia
di bawah 1 tahun sebanyak 95% dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1.
Penyebab patologis dari invaginasi dapat diidentifikasi pada 1.5-12% kasus. Hal ini
termasuk divertikel meckel, polip, duplikasi, kista mesenteriumhematom intestinal dan limfoma.
Limfoma, walaupun jarang, mengambarkan 6.5% kasus patologis intususepsi pada anak-anak.
Navarro et al melaporkan lama durasi dari gejala dan penurunan berat badan adalah dua tanda
klinis penting untuk terjadinya limfoma gastrontestinal. (navarro, et al. 2000)
BAB II
LAPORAN KASUS
Pasien anak laki-laki datang ke IGD dengan keluhan utama nyeri perut yang dirasakan
sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Lalu pasien dirawat oleh ts pediatri selama 1
minggu. Dilakukan USG abdomen. Selama perawatan pasien bisa BAB dengan frekuensi 1 kali
sehari, konsistensi biasa, lendir (-), darah (-), karena tidak ada perbaikan dari gejala klinis
pasien,dan dari hasil USG didapatkan hasil target sign (+), lalu dikonsulkan ke bagian bedah anak.
Menurut orang tua, pasien mulai mengeluh nyeri perut sudah satu tahun belakangan ini, tapi nyeri
perut dirasakan hilang timbul, karena dianggap nyeri perut biasa, tidak diperiksa ke dokter oleh
orang tua.
Pasien merupakan anak kedua dari dua orang saudara. Kelainan bawaan saat lahir
disangkal oleh orang tua. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan sama seeprti anak sebaya.
Saudara kandung tidak menderita kanker atau kelainan bawaan lainnya. Riwayat kanker pada
keluarga disangkal. Pasien lahir di rumah sakit dengan ditolong persalinan oleh bidan dokter
spesialis kandungan di Rumah sakit. Menurut orang tua anak telah menjalani imunisasi dasar 9
bulan.
Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan distensi (+), sausage sign (+), dan pada
pemeriksaan Rectal Tuche didapatkan tonus musculus sfingter ani (+), ampula kolaps (+), mukosa
licin, massa (-), STLD darah (+), feses (+), lendir (+).
Dari hasil pemeriksaan penunjang, pada labratorium tidak didapatkan kelainan. Dari
hasil USG abdomen didapatkan gambaran invaginasi ileocaecal dengan ileum (intussuseptum)
masuk ke dalam colon ascenden (intusupien) hingga fleksura hepatika.
Gambar: USG abdomen
Gambar: colon in loop
Invaginasi
Gambar: tumor mesenterium dibelah
Gambar: post end anastomose ileotransversum
Selama durante operasi, didapatkan invaginasi ileocolica, dimana segmen ileum dan
caecum masuk sampai colon transversum, pada palpasi didapatkan kesan terdapat masa pada
segmen usus mengalami invaginasi. Selain itu didapatkan juga masa di mesenterium ukuran 5cm
x 5cm x 6cm. Dicoba dilakukan milking procedure namun tidak berhasil, dan dilanjutkan dengan
hemikolektomi dextra. Setelah segmen usus berhasil diangkat, dilakukan release invaginasi dan
membuka lumen usus, didapatkan tumor ukuran 3cm x 6cm x 3cm pada caecum hingga colon
ascenden.
Setelah operasi pasien dirawat di picu hingga 4 hari, selama perawatan tidak ada
keluhan pada pasien. Pasien bisa buang air besar pada perawatan hari ke 3. Setelah hari ke empat,
pasien pindah ke bangsal perawatan biasa, dipulangkan hari ke 6 post operasi. Tidak ada keluhan
pada pasien. Pasien kontrol ke poli perawatan hari ke 10 dan ke 13 tanpa keluhan apapun.
Hasil pemeriksaan patologi anatomi didapatkan hasil pada hari ke 5 post operasi.
Dengan hasil “Diffuse B-Cell NHL, low grade malignancy”. Untuk selanjutnya direncakan untuk
dilakukan kemoterapi oleh ts pediatri.
BAB III
DISKUSI
2.1. Invaginasi
2.1.1. Definisi
Invaginasi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam segmen lainnya,
yang pada umumnya berakibat dengan terjadinya obstruksi ataupun strangulasi. Invaginasi
sering disebut juga sebagai intussusepsi. Umumnya bagian yang proximal (intussuseptum)
masuk ke bagian distal (intususepien) (Syamsuhidayat, 2005).
Gambar 1. Intususepsi usus halus yang masuk ke usus besar (Mckee, jawetz 1996)
2.1.2. Insiden
Insiden penyakit ini tidak diketahui secara pasti, masing-masing penulis mengajukan
jumlah penderita yang berbeda-beda. Kelainan ini umumnya ditemukan pada anak-anak dibawah
1 tahun dan frekuensinya menurun dengan bertambahnya usia. Umumnya invaginasi
ditemukan lebih sering pada laki-laki dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2
(Sapan, 2007).
Insiden invaginasi pada bulan Maret – Juni, September – Oktober menunjukkan angka
yang tinggi. Hal ini mungkin berhubungan dengan musim kemarau dan musim penghujan
dimana pada musim-musim tersebut insiden infeksi saluran dan gastroenteritis meninggi.
Sehingga banyak ahli yang menganggap bahwa motilitas usus yang meningkat merupakan salah
satu faktor penyebab (Wood, 2012).
Invaginasi yang terjadi pada bayi prematur, sering menimbulkan salah diagnosa dengan
Necrotizing Entero Colitis (NEC), sehingga menyebabkan salah atau tertundanya didalam
penanganan intervensi bedah (Jeffrey,2003).
2.1.3. Etiologi
1. Idiopatik: Pada kepustakaan 95% invaginasi pada anak umur 1 bulan sampai 3 tahun sering
tidak dijumpai penyebab yang jelas, sehingga digolongkan ”Infatil idiophatic
intususseption”. Pada saat operasi hanya ditemukan penebalan dari dinding ileum terminal
berupa hyperplasia jaringan follikel submukosa yang diduga sebagai infeksi rotavirus.
Penebalan ini merupakan titik awal (lead point) terjadinya invaginasi (Stringer,1992).
2. Kausatif : Pada penderita invaginasi yang berumur lebih 2 tahun biasanya ditemukan adanya
kelainan usus sebagai penyebab terjadinya invaginasi, seperti: Inverted Meckel’s
Divertikulum, Hemangioma, Lymphoma, Duplikasi usus, Polip Usus (Ravitch, 2007).
Pada sebagian besar kasus invaginasi obstruksi usus terjadi pada daerah ileo – caecal.
Apabila terjadi obstruksi sistem limfatik dan vena mesenterial, akibat dari penyakit invaginasi
yang berjalan progresif dimana ileum dan mesenterium masuk kedalam caecum dan kolon, akan
dijumpai mukosa intussusseptum menjadi edem dan kaku, mengakibatkan obstruksi yang pada
akhirnya akan dijumpai keadaan strangulata dan perforasi usus (Ravitch,2007).
Gambar 4. Usus yang sudah rusak dan Perforasi (Nasution, 2013). Pada gambar
diatas dapat terlihat usus yang sudah rusak dan telah terjadi perforasi.
Gambar 5.Usus yang rusak (Nasution, 2013). Pada gambar dapat terlihat keadaan usus yang
sudah tidak bagus lagi.
Perlu perhatian bahwa untuk penderita malnutrisi gejala-gejala invaginasi tidak khas,
tanda- tanda obstruksi usus berhari-hari baru timbul, pada penderita ini tidak jelas tanda adanya
sakit berat, defekasi tidak ada darah, invaginasi dapat mengalami prolaps melewati anus, hal ini
mungkin disebabkan pada pasien malnutrisi tonus yang melemah, sehingga obstruksi tidak cepat
timbul (Ravitch, 2007).
Suatu keadaan disebut dengan invaginasi atypical, bila kasus itu gagal dibuat diagnosis
yang tepat oleh seorang ahli bedah, meskipun keadaan ini kebanyakan terjadi karena
ketidaktahuan dokter dibandingkan dengan gejala tidak lazim pada penderita (Irish, 2012).
2.1.7 Diagnosis
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan peningkatan jumlah neutrofil segmen (>70%)
(Ravitch, 2007).
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen: didapatkan distribusi udara didalam usus tidak merata, usus
terdesak ke kiri atas, bila telah lanjut terlihat tanda-tanda obstruksi usus dengan gambaran “air
fluid level”. Dapat terlihat “free air“ bila terjadi perforasi (Stringer,1990).
Gambar 6. Foto Polos Abdomen yang menunjukkan dilatasi dari usus halus dan
terkumpulnya gas kuadran kanan bawah dan kuadran atas (Stringer, 1990)
Gambar 7. Foto Polos Abdomen yang Menunjukkan Gambaran Obstruksi Usus dengan “Air
Fluid Level” (Nasution, 2013)
Barium enema: dikerjakan untuk tujuan diagnosis dan terapi, untuk diagnosis
dikerjakan bila gejala-gejala klinik meragukan, pada barium enema akan tampak gambaran
cupping, coiled spring appearance yang dapat terlihat padaa gambar 9 (Gabriel, 2011).
2.1.8. Penatalaksanaan
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya pertolongan
diberikan, jika pertolongan sudah diberikan kurang dari 24 jam dari serangan pertama maka
akan memberikan prognosis yang lebih baik (Stringer, 1992).
Penatalaksanaan dari invaginasi pada umumnya meliputi resusitasi, kofirmasi
diagnostik melalui ultrasonografi, reduksi hidrostasis, reduksi dengan barium enema (kecuali
anak mengalami tanda-tanda peritonitis), dengan intervensi bedah merupakan pilihan terakhir
kecuali pada kasus khusus (Francis R, 2001).
Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak sejak dahulu
mencakup dua tindakan penanganan yang dinilai berhasil dengan baik yaitu:
1. Reduksi dengan barium enema
Reduksi dengan barium enema merupakan terapi awal pada invaginasi pada anak,
namun kontroversi terhadap terapi ini masih terus diperdebatkan (Catarina, 2007).
Sebelum dilakukan tindakan reduksi, maka terhadap penderita: dipuasakan,
resusitasi cairan, dekompresi dengan pemasangan pipa lambung. Bila sudah dijumpai tanda
gangguan pasase usus dan hasil pemeriksaan laboratorium dijumpai peninggian dari jumlah
leukosit dan neutrofil segmen maka antibiotika berspektrum luas dapat diberikan. Narkotik
seperti Demerol dapat diberikan (1mg/kg BB) untuk menghilangkan rasa sakit (Saxton,
1994).
Telah disebutkan pada bab terdahulu bahwa barium enema berfungsi dalam
diagnostik dan terapi (Saxton, 1994). Reduksi invaginasi dengan nonoperatif telah
menunjukkan lama rawat inap, pemulihan yang lebih cepat, mengurangi biaya rumah sakit,
dan mengurangi kompilkasi yang berhubungan dengan operasi abdomen (Somme, 2006).
Telah dilaporkan bahwa reduksi hidrostatis kurang berguna bagi pasien dengan
gejala invaginasi lebih dari 48 jam, dan khususnya pasien dengan keadaan umum yang jelek
dan membutuhkan operasi reduksi sebagai penanganannya (Van den Ende, 2005).
Menurut Syamsuhidayat tahun 2005 barium enema dapat diberikan bila tidak
dijumpai kontra indikasi seperti:
- Adanya tanda obstruksi usus yang jelas baik secara klinis maupun pada foto abdomen.
Hasil reduksi ini akan memuaskan jika dalam keadaan tenang tidak menangis atau
gelisah karena kesakitan oleh karena itu pemberian sedatif sangat membantu (Gabriel, 2011).
Kateter yang telah diolesi pelicin dimasukkan ke rektum dan difiksasi dengan plester, melalui
kateter bubur barium dialirkan dari kontainer yang terletak 3 kaki di atas meja penderita dan
aliran bubur barium dideteksi dengan alat fluoroskopi sampai meniskus intussusepsi dapat di
identifikasi dan dibuat foto. Meniskus sering dijumpai pada kolon transversum dan bagian
proksimal kolon descendens (Saxton, 1994). Bila kolom bubur barium bergerak maju
menandai proses reduksi sedang berlanjut, tetapi bila kolom bubur barium berhenti dapat
diulangi 2-3 kali dengan jarak waktu 3-5 menit. Reduksi dinyatakan gagal bila tekanan barium
dipertahankan selama 10-15 menit tetapi tidak dijumpai kemajuan. Antara percobaan reduksi
pertama, kedua dan ketiga, bubur barium dievakuasi terlebih dahulu (Saxton, 1994).
- Rectal tube ditarik dari anus maka bubur barium keluar dengan disertai massa feses dan
udara.
- Pada fluoroskopi terlihat bubur barium mengisi seluruh kolon dan sebagian usus halus,
jadi adanya refluks ke dalam ileum.
- Perbaikan secara klinis pada anak dan terlihat anak menjadi tertidur serta norit test
positif.
Penderita perlu dirawat inap selama 2-3 hari karena sering dijumpai kekambuhan
selama 36 jam pertama. Keberhasilan tindakan ini tergantung kepada beberapa hal antara
lain, waktu sejak timbulnya gejala pertama, penyebab invaginasi, jenis invaginasi dan teknis
pelaksanaan-nya (Ravitch, 2007). Jika reduksi dengan enema gagal untuk mengatasi keadaan
ini, intervensi bedah dapat dilakukan (Zuo, 2008).
membaik dan temperatur badan tidak lebih dari 38°C. Biasanya perfusi jaringan akan baik
apabila setengah dari perhitungan dehidrasi telah masuk, sisanya dapat diberikan sambil
operasi berjalan dan pasca bedah (Ashcraft,1994).
Yang dilakukan dalam usaha memperbaiki keadaan umum adalah:
a. Pemberian cairan dan elektrolit untuk rehidrasi (resusitasi).
b. Tindakan dekompresi abdomen dengan pemasangan sonde lambung.
c. Pemberian antibiotik dan sedatif.
Suatu kesalahan besar apabila langsung melakukan operasi karena usus dapat
menjadi nekrosis karena perfusi jaringan masih buruk (Ashcraft, 1994).
Harus diingat bahwa obat anestesi dan stress operasi akan memperberat keadaan
umum penderita serta perfusi jaringan yang belum baik akan menyebabkan bertumpuknya hasil
metabolik di jaringan yang seharusnya dibuang lewat ginjal dan pernafasan, begitu pula perfusi
jaringan yang belum baik akan mengakibatkan oksigenasi jaringan akan buruk pula. Bila
dipaksakan kelainan tersebut akan irreversible (Ravitch, 2007).
2.1.9. Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan baik maka invaginasi dapat menyebabkan perforasi
usus dan berlanjut menjadi peritonitis (Ravitch, 2007).
2.2 Non-Hodkin Lymphoma
NHL adalah suatu keganasan dari limfosit T dan B berupa proliferasi klonal yang
terdapat pada berbagai tingkat tumor. Keganasan ini tidak boleh disamankan dengan kelainan
limfoproliferatif poliklonik. Kedua kelompok penyakit tersebut terjadi dengan frekuensi
tertinggi pada anak dengan status imunodefisiensi herediter.
Terdapat lebih dari 15 tipe yang berbeda dari NHL, dikelompokkan ke dalam 3 sub tipe
:
Keadaan infeksi virus lain dengan penyakit immunodefisiensi juga oleh: HIV, Wiskott-
Aldrich Syndrome, Bloom syndrome, ataksia telangiektasis, severe combined
immunodefisiensi disease, X-linked immunoproliferative syndrome, dan pada keadaan
transplantasi dengan imunosupresif kronis.
EBV induced NHL terjadi sebagai akibat gangguan imunitas. Kebanyakan kasus
endemis dan sporadis terdapat translokasi dari lengan panjang khromosom 8 yang mengandung
c-myc protoonkogen ke lengan panjang 14 (8q-;14+). Hal ini mengakibatkan expresi yang
abnormal dari produk gen mengakibatkan proliferasi sel yang tidak terbatas, mencetuskan
tranformasi neoplastik.
2.2.1 Insidensi
Kejadian ini kira-kira sepuluh kasus per 1.000.000 orang per tahun. NHL terjadi paling
sering pada dekade kedua kehidupan, dan terjadi lebih sering pada anak kurang dari 3 tahun.
NHL pada bayi jarang terjadi (1% dalam uji Berlin-Frankfurt-Munster 1986-2002). Dalam
hasil penelitian retrospektif, angka kejadian pada bayi lebih sedikit dibandingkan dengan
pasien yang lebih tua. Insiden NHL meningkat secara keseluruhan, dan ada sedikit peningkatan
dalam kejadian pada usia 15 sampai 19 tahun, namun kejadian NHL pada anak kurang dari 15
tahun tetap konstan selama beberapa dekade terakhir. Insiden NHL lebih tinggi pada kulit putih
daripada orang Afrika Amerika, dan NHL lebih sering pada laki-laki daripada perempuan.
Sebuah tinjauan, data limfoma Burkitt didiagnosis di Amerika Serikat antara 1992 dan
2008 yaitu 2,5 kasus/juta orang pertahun dengan kasus lebih banyak laki-laki dari pada wanita
(3.9:1.1). Limfoma Burkitt lebih sering dalam putih non-Hispanik (3.2 kasus/juta orang-tahun)
dibandingkan dengan kulit putih Hispanik (2.0 kasus/juta orang-tahun).
Imunodefisiensi, baik bawaan dan diperoleh baik imunodefisiensi akibat infeksi virus
manusia atau pun imunodefisiensi post transplantasi organ, meningkatkan risiko NHL. Epstein-
Barr Virus berkaitan dengan sebagian besar kasus NHL pada masyarakat imunodefisiensi.
Sebuah tinjauan retrospektif dari pusat kanker anak di Jerman diidentifikasi 11 (0,3%)
dari 2968 kasus di mana didiagnosa pada anak usia lebih dari 20 tahun dengan NHL keganasan
sekunder. Dengan pengobatan saat ini, lebih dari 80% anak dan remaja dengan NHL akan
bertahan minimal 5 tahun, walaupun hasilnya sangat bervariasi tergantung pada beberapa
faktor, termasuk tingkat keparahan dan histologi.
Kejadian NHL diamati pada anak-anak dan remaja bervariasi tergantung pada usia,
jenis kelamin, dan histologi. Terlepas dari usia atau histologi, laki-laki memiliki insiden yang
lebih tinggi daripada wanita. Limfoma Burkitt adalah jauh lebih umum pada laki-laki, dengan
kejadian tertinggi antara usia 5 tahun dan 14 tahun. Insiden limfoma B-cell diffuse besar
(DLBCL) meningkat dengan usia baik laki-laki dan perempuan. Insiden limfoma
lymphoblastic tetap relatif konstan di usia baik untuk laki-laki dan perempuan.
Tabel 1. Insidensi dan distribusi sesuai usia pada NHL
Laki-laki Perempuan
Usia (tahun) <5 5–9 10–14 15–19 <5 5–9 10–14 15–19
Other (mostly ALCL) 2.3 3.3 4.3 7.8 1.5 1.6 2.8 3.4
2.4 Klasifikasi
Pada anak-anak, non-Hodgkin limfoma (NHL) berbeda dari limfoma pada orang
dewasa. Limfoma pada orang dewasa lebih sering derajat keganasan rendah atau menengah,
hampir semua NHL yang terjadi pada anak-anak dengan derajat keganasan tinggi. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) telah mengklasifikasi NHL sebagai berikut:
a. fenotipe yaitu, B-lineage dan T-lineage atau natural killer [NK] cell lineage
b. diferensiasi yaitu, prekursor dan matang.
Atas dasar respons klinis terhadap pengobatan, NHL masa kanak-kanak dan remaja saat
ini digolongkan ke dalam tiga kategori terapi:
1. lesi awal,
2. polimorfik, dan
3. monomorfik.
Tabel 2. Kategori Histopatologi Mayor dari Non-Hodgkin Lymphoma pada Anak dan
Adolesen (update Revised European-American Lymphoma)
Intra-abdominal
Burkitt and (sporadic), head and
Malignant Lymphoma Mature B
Burkitt-like neck (non-jaw,
small noncleaved cell cell
lymphomas sporadic), jaw
(endemic)
Nodal, abdominal,
bone, primary central
Mature B
Diffuse large B- Malignant Lympgoma nervous system (when
cell; maybe
cell lymphoma large cell associated with
CD30+
immunodeficiency),
mediastinal
Lymphoblastic
lymphoma,
Lymphoblastic
precursor T-cell Mediastinal, bone
convoluted and non- Pre-T cell
leukemia, or marrow
convoluted
precursor B-cell
lymphoma
Anaplastic large
CD30+ Skin only; single or
cell lymphoma,
(Ki-usually) multiple lesions
cutaneous
T cell
NHL pada anak melibatkan generelized lymphoid dan extranodal. Pertumbuhan dan
penyebarannya sangat cepat. Semua KGB termasuk Peyer’s patch, mediastinum, thymus,
Waldeyer’s ring, organ pelvis, hati dan lien mungkin terkena. Extralymphoid termasuk kulit,
testis, tulang, sumsum tulang, dan susunan saraf pusat dapat terkena. Pola penyebarannya
sesuai dengan jenis sub tipe histologisnya.
NHL biasanya supra diafragma 50-75 % anterior mediastinal mass. Dapat disertai
dengan efusi pleura dan gangguan respirasi karena penekanan trachea (wheezing, dyspnea,
batuk, tachypnea dan respiratory distress), kadang-kadang dysphagia karena penekanan
esofagus. Obstruksi vena cava superior khas ditandai dengan distensi vena leher dan extremitas
atas dan edema muka dan penampilan plethoric dari leher dan muka. Dapat terjadi mental
confusion karena hipoxemia.
Small noncleved cell lymphoma (Burkit atau non Burkit) adalah B-cell tumor yang
biasanya timbul di abdomen. Tumor tumbuh cepat dengan doubling time sampai 24 jam pada
beberapa kasus. Bentuk yang endemis pertama timbul di orbita atau rahang (72 %) dan yang
sporadis selalu mulai dari abdominal. Bentuk endemis timbul di lingkungan tropis dan
puncaknya usia 4 – 9 tahun. Bentuk sporadis penyebaran geografisnya lebih luas begitu juga
distribusi usianya. Anak laki-laki : perempuan = 3 : 1. Pada usia belasan kedua jenis kelamin
hampir sama.
Pada abdominal lymphoma lebih dari 60 % kasus mengenai usus halus, khususnya
ileum, juga terdapat pada kolon, appendix, divertikulum Meckel, ovarium ginjal, hati, KGB
mesenterium dan rongga retroperitoneal. Gambaran klinis bervariasi; nyeri abdomen,
anoreksia, nyeri perut kanan bawah, abdominal mass, acute cramping pain, bilous vomiting,
obstruksi intestinal karena intususepsi dengan limfoma sebagai leading point.
Large cell lymphoma (histiositik) sering terjadi pada ekstra nodal dan menyebar luas.
Primer dapat di kulit, testis, mata, tonsil, jaringan lunak, dan kadang-kadang di mediastinum
tapi hampir tidak pernah di abdomen.
Kebanyakan tumor-tumor ini adalah berasal dari sel B, meskipun kadang-kadang sel T.
Large cell tumor terjadi lebih sering pada usia lebih tua, yaitu 10 – 15 tahun.
Kemungkinan
Gejala Penyebab
timbulnya gejala
Gangguan pernafasan Pembesaran kelenjar getah bening di
20-30%
Pembengkakan wajah dada
Pengumpulan cairan di
Penyumbatan pembuluh getah
sekitar paru-paru 20-30%
bening di dalam dada
(efusi pleura)
2.6 Diagnosa
Kenyataannya bahwa NHL adalah penyakit yang heterogen yang ditangani secara
berbeda maka sangat mutlak dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologis,
immunophenotyping, dan pemeriksaan sitogenetik untuk menegakkannya.
Bila pasien terdapat efusi pleura atau ascites, pemeriksaan sitologi dan
immunophenotyping dapat dilakukan. Pemeriksaan pretreatment yang lain hitung jenis, tes
fungsi hati dan ginjal, serum asam urat, Ca, Phospor, LDH, dan elektrolit. Juga diperlukan
pemeriksaan X-ray Thorax dan CT-scan abdominal atau thorak, sidik tulang, dan galium scan,
pemeriksaan LCS (liquor cerebrospinalis) untuk evaluasi. Dalam hal ini tidak seperti
Hodgkin’s disease tidak diperlukan staging laparotomy.
2.7 Staging
Berikut ini adalah pembagian staging dari NHL dari St. Jude Children’s Research
Hospital.
2.8 Terapi
Terapi NHL tergantung histologi, stage, dan immunophenotype. Untuk anak dengan
stage I dan II NHL diberikan multi agen khemoterapi (doxorubicin, vincristine,
cyclophospamide, dan prednison) diikuti 6 bulan daily oral 6 MP dan metotrexate setiap
minggu dengan long term free survival 90 %. Tidak ada perbedaan bermakna dengan lokal
irradiasi.
Penderita limfoma tingkat rendah mungkin tidak memerlukan pengobatan segera, tetapi
harus menjalani pemeriksaan sesering mungkin untuk meyakinkan bahwa penyakitnya tidak
menyebabkan komplikasi yang serius.
Jika dimulai sesegera mungkin, pemberian kemoterapi dengan atau tanpa terapi
penyinaran pada limfoma tingkat menengah dan tingkat tinggi, bisa menyembuhkan lebih dari
separuh penderitanya. Sebagian besar penderita sudah mencapai stadium lanjut (stadium III
dan IV) pada saat penyakitnya terdiagnosis.
Radioterapi secara umum jarang digunakan kecuali untuk beberapa pasien dengan
penyakit lokal yang residual setelah terapi induksi. Pasien dengan refractory atau relapse NHL
juga diterapi dengan kemoterapi dosis tinggi yang diikuti dengan autologus atau allogenic bone
marrow transplantation (BMT).
Terapi untuk stadium IV dengan dosis tinggi arabinoide-C (ara-C) dan dosis
intermediate metotrexate memperbaiki survival sampai 50 %. Anak-anak dengan penyakit
yang lanjut memerlukan profilaksis CNS dengan intrathecal metotrexate atau radiasi cranial
atau keduanya dan memerlukan terapi dengan durasi yang lebih lama. VP-16
(epipodophyllotoxin) dan ara-C bermanfaat untuk menangani NHL yang relapse.
Hanya pada pasien dengan tumor kepala dan leher diberikan terapi intrathecal sebagai
profilaksis. Untuk anak dengan LBLs lanjut (stage III) diberikan 10 –drug program (LSA2L2)
dengan hasil 76 % relapse free survival. Regimen ini tidak efektif untuk tumor sel B limfoma.
(28 % relapse free survival). Penggunaan COMP (cyclophospamide, vincristine, metotrexate
dan prednisone), dimana tidak efektif untuk LBL, memperbaiki relapse free survival pada
limfoma cell B sampai 57 %.
Tersedia beberapa sediaan kemoterapi yang sangat efektif. Obat kemoterapi bisa
diberikan tunggal (untuk limfoma tingkat rendah) atau dalam bentuk kombinasi (untuk
limfoma tingkat menengah dan tingkat tinggi).
Pemberian kemoterapi disertai faktor pertumbuhan dan pencangkokan sumsum tulang masih
dalam tahap penelitian.
Pengobatan baru yang masih dalam penelitian adalah antibodi monoklonal yang telah
digabungkan dengan racun, yang memiliki bahan racun (misalnya senyawa radioaktif atau
protein tanaman yang disebut risin), yang menempel di antibodi tersebut. Antibodi ini secara
khusus akan menempel pada sel-sel limfoma dan melepaskan bahan racunnya, yang
selanjutnya akan membunuh sel-sel limfoma tersebut.
Pada pencangkokan sumsum tulang, sumsum tulang diangkat dari penderita (dan sel
limfomanya dibuang) atau dari donor yang sesuai dan dicangkokkan ke penderita. Prosedur ini
memungkinkan dilakukannya hitung jenis darah, yang berkurang karena kemoterapi dosis
tinggi, sehingga penyembuhan berlangsung lebih cepat. Tetapi pencangkokan sumsum tulang
memiliki resiko, sekitar 5% penderita meninggal karena infeksi pada minggu pertama, sebelum
sumsum tulang membaik dan bisa menghasilkan sel darah putih yang cukup untuk melawan
infeksi. Pencangkokan sumsum tulang juga sedang dicoba dilakukan pada penderita yang pada
awalnya memberikan respon yang baik terhadap kemoterapi tetapi memiliki resiko tinggi
terjadinya kekambuhan.
Fase induksi :
- Prednison 60 mg/m2 po (hari ke-3 sampai 30 kemudian diturunkan bertahap sampai hari
ke-40.
Fase rumatan :
- Vinkristin 1,5 mg/m2 iv (minggu ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, 20)
Siklofosfamid
Doksorubisin
Digunakan pada limfoma tingkat menengah &
CHOP (adriamisin)
beberapa limfoma tingkat tinggi
Vinkristin (onkovin)
Prednison
Metotreksat
Memiliki efek racun yg lebih besar dari CHOP &
Bleomisin
memerlukan pemantauan ketat terhadap fungsi paru-
M-BACOD Doksorubisin
paru & ginjal
(adriamisin)
Kelebihan lainnya menyerupai CHOP
Siklofosfamid
Vinkristin (onkovin)
Deksametason
Prokarbazin
Metotreksat
Doksorubisin
(adriamisin)
ProMACE/ Siklofosfamid Sediaan ProMACE bergantian dengan CytaBOM
CytaBOM Etoposid Kelebihan lainnya menyerupai CHOP
Sitarabin
Bleomisin
Vinkristin (onkovin)
Metotreksat
Metotreksat
Doksorubisin
(adriamisin) Kelebihan utama adalah waktu pengobatan (hanya 12
MACOP-B Siklofosfamid minggu)
Vinkristin (onkovin) Kelebihan lainnya menyerupai CHOP
Prednison
Bleomisin
DAFTAR PUSTAKA
Husain, M., Mantu, F.M., 1993. Invaginasi pada anak dan bayi. Cermin
Dunia Kedokteran, 86.
Mantu, F.1993. Invaginasi pada anak dan bayi. Cermin Dunia Kedokteran, 90.
Nelson, B., Arvin K., Buku Ilmu Kesehatan Anak vol. 3 edisi 15, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2000.