Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN ILMU ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN Agustus 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

ANESTESI SPINAL PADA PASIEN FRAKTUR TERTUTUP 1/3 TIBIALIS


POSTERIOR

Disusun oleh:
Andre
NIM. 2018-84-021

Pembimbing
dr. Ony. W. Angkejaya, Sp. An
dr. Fahmi Maruapey, Sp. An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi secara umum adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Namun, obat-obat anestesi tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan
tetapi juga menghilangkan kesadaran. Selain itu, juga dibutuhkan relaksasi otot yang
optimal agar operasi dapat berjalan lancar.
Anestesi regional adalah salah satu teknik anestesi untuk anggota/daerah tubuh
tertentu, khususnya daerah lengan, abdomen, dan tungkai. Anestesi regional (AR)
merupakan metode untuk memberikan efek analgesik pada pasien intra operatif
maupun pasca operatif. Teknik AR memungkinkan kontrol nyeri yang sangat baik
dan umumnya digunakan selama operasi berlangsung dan untuk fase setelah operasi.
Sebagai tambahan, beberapa penelitian menunjukan bahwa teknik AR dapat
mempercepat pemulihan dan mengurangi lamanya rawat inap ICU, meningkatkan
fungsi jantung paru, mengurangi angka infeksi dan respon neuroendokrin, dan
memungkinkan fungsi usus yang lebih cepat.
Fraktur adalah kehilangan atau terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial.5,6 Fraktur terjadi ketika
tekanan yang kuat diberikan pada tulang normal atau tekanan yang sedang pada
tulang yang terkena penyakit, misalnya osteoporosis.7 Fraktur biasanya disebabkan
oleh trauma.6 Gambaran klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan
bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), nyeri
tekan, krepitasi, gangguan fungsi muskuloskletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas
tulang, dan gangguan neurovaskular.8
Fraktur dapat diklasifikasikan menurut garis fraktur (transversal, spiral, oblik,
segmental, komunitif, kupu-kupu, simpel, kompresi), lokasi (diafise, metafise,
epifise) dan integritas dari kulit serta jaringan lunak yang mengelilingi (terbuka atau

2
compound dan tertutup).8,9 penatalaksanaan Open Reduction Internal Fixation pada
fraktur merupakan suatu keadaan yang memerlukan penanganan yang terstandar
untuk mengurangi risiko infeksi sebab dalam penatalaksanaannya menyebabkan
kontak jaringan dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga memungkinkan
masuknya kuman dari luar ke dalam luka sehingga timbul komplikasi berupa
infeksi.5,8
Berikut akan dilaporkan sebuah kasus anestesi subarachnoid blok pada pasien closed
fraktur kominutif 1/3 posterior tibia sinistra.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. MP
Umur : 59 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
No. RM : 14-97-27
Alamat : Kopertis RT 01/ RW 06
Gol. Darah :O
Berat badan : 52 kg
Tinggi badan : 149 cm
Tanggal MRS : 11 Agustus 2019
Tanggal Masuk ICU : -
Tanggal Keluar ICU : -
Agama : Kristen Protestan
Suku/Bangsa : Indonesia
Bangsal/Kamar : Ruang Bedah Wanita

B. EVALUASI PRE-ANESTESI

1). Anamnesis (11 Agustus 2019)


 Keluhan utama
Nyeri pada kaki kiri

 Anamnesis terpimpin
Keluhan berupa nyeri pada kaki kiri dialami ± 1 jam SMRS. Keluhan muncul
setelah pasien ditabrak oleh pengemudi sepeda motor dengan kecepatan tinggi
saat pasien sendng berdiri di tepi jalan, pasien tidak mengalami perdarahan,

4
selain itu pasien tidak pingsan, tidak ada mual ataupun muntah setelah
kejadian tersebut. BAB baik, BAK lancar.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
Riw. Asma : -
Riw. DM : -
Riw. Hipertensi : -

 Riwayat Penyakit Keluarga


Riw. DM : -
Riw. Hipertensi : -

 Riwayat Operasi & Anestesi


Tidak ada

 Riwayat Alergi
Tidak ada

 Riwayat Obat-Obatan
Tidak ada

2). Pemeriksaan Fisik


 Status Gizi : Baik (IMT 23,4)
 Keadaan Psikis : Baik.
B1 : A: bebas; B: spontan; RR: 20x/m reguler; Inspeksi: pergerakan dada
simetris ki=ka; Auskultasi: suara napas vesikuler ki=ka; SpO2: 100%

B2 : Akral hangat, kering, merah; TD: 140/90 mmHg; N: 86x/m reguler,

5
kuat angkat; S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-).

B3 : Sadar, GCS: E4V5M6, pupil isokor ODS 3mm, refleks cahaya +/+.

B4 : BAK kateter (+)

B5 : Inspeksi: distensi (-), darm contour (-), sikatriks (-) linea mediana
abdomen, Palpasi: NT(-), Auskultasi: BU normal.

B6 : Fraktur tertutup tibialis sinistra(+), oedem pada 1/3 posterior tungkai


bawah cruris sinistra(+).

3). Pemeriksaan Penunjang


 Laboratorium (11 Agustus 2019):
Hemoglobin: 11,9 g/dL
Hematokrit: 34,2%
Jumlah trombosit : 424 x 103/mm3
Jumlah leukosit: 14,0 x 103/mm3
Glukosa sewaktu: 144 mg/dL
Ureum: 17 mg/dL
Kreatinin: 0,6 mg/dL
SGOT: 26 u/L
SGPT: 27 u/L
 Laboratorium (11 Agustus 2019)
Asam Urat: tidak diperiksa
Kolesterol total: tidak diperiksa
Trigliserida: tidak diperiksa
Kolesterol HDL: tidak diperiksa
Bilirubin total: tidak diperiksa
Albumin: tidak diperiksa

6
 Foto cruris AP-Lateral-pedis SN AP:
a) fraktur kominutif pada 1/3 distal os. tibia SN disertai displacement
fragment distal fraktur ke anterior
b) fraktur komplit 1/3 distal os. fibula SN disertai displacement fragment
distal fraktur ke lateral
c) posterior calcaneal SN spur
d) aposisi dan alignment tidak baik

4). Diagnosis
 closed fraktur kominutif pada 1/3 distal os. tibia + fraktur komplit 1/3 distal
os. fibula
 PS ASA II

5). Planning
 Pro Open Reduction Internal Fixation ORIF os.tibia sinistra
 Stop intake oral 6-8 jam pre-op
 Antibiotik profilaksis
 Rencana Anestesi: SAB

C. PRE-OPERATIF
 Diagnosa Pra Bedah: closed fraktur kominutif pada 1/3 distal os. tibia +
fraktur komplit 1/3 distal os. fibula
 Jenis Pembedahan: Open Reduction Internal Fixation ORIF os.tibia sinistra
 Jenis Anestesi : Anestesi Regional (Subarachnoid block)
 Posisi: Supine
 Lama Anestesi:10.15 WIT - SAB.
 Lama Operasi: 10.35 WIT – 12.13 WIT.
 Premedikasi: Ranitidine amp 25mg/ml/iv, ceftriaxone vial 1gr/iv

7
 Tindakan Anestesi Regional dengan Spinal Anestesi:
1. Pasien diposisikan duduk.
2. Menentukan tempat insersi di L3-L4.
3. Sterilkan tempat insersi dengan betadine dan alkohol.
4. Memasukkan jarum spinal 26G, mandrin jarum spinal dicabut dan jika
keluar likuor cerebrospinal (LCS) pasang spuit dan masukkan Bunascan
0,5% pelan-pelan 0,5 ml/detik diselingi sedikit aspirasi (meyakinkan
posisi jarum tetap baik), cabut jarum spinal kemudian tutup dengan
plester. Selanjutnya baringkan pasien pada posisi supine. Dipastikan blok
sensorik dan motorik sudah tercapai.

D. INTRA OPERATIF (2019)


a. Medikasi :
- Fentanyl 25mcg
- Bunascan 0,5% 20 mg
b. Keseimbangan cairan:
- Cairan masuk : PO (RL 600 cc), DO ( RL 1200 cc)
- Cairan keluar : PO (produksi urin 300 cc), DO (perdarahan ±75cc, produksi
urin 200 cc)

8
Gambar 1. Laporan Intraoperatif

E. POST-OPERATIF

 B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 22 x/m, Rh (-), Wh (-).


 B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 64 x/m, TD: 116/67 mmHg, S1S2
reguler, murmur (-), gallop (-).

9
 B3: Sadar, pupil isokor ODS 3mm, refleks cahaya +/+.
 B4: BAK via cateter
 B5: BU (-)
 B6: edema (-), deformitas (-)
 Terapi:
• Head up 30o
• Baring ± 24 jam, boleh miring kanan/kiri
• ketorolac 3x1amp/iv
• Tramadol 100 mg dalam RL 500cc, 20tpm
• Lain-lain sesuai terapi dari dokter bedah

10
BAB III
PEMBAHASAN

A. ANATOMI DALAM ANESTESI SPINAL


Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis merupakan
salah satu faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu,
pengetahuan tentang penyebaran analgesia lokal dalam cairan serebrospinal dan
level analgesia diperlukan untuk menjaga keamanan tindakan anestesi
spinal.1,2,3,8
Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam spinal
anestesi, karena sebagian besar penusukan pada spinal anestesi dilakukan pada
daerah ini. Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi
menjadi 5 bagian yaitu 7 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus.
Kolumna vertebralis mempunyai empat lengkungan yaitu daerah servikal dan
lumbal melengkung ke depan, daerah thorakal dan sakral melengkung ke belakang
sehingga pada waktu berbaring daerah tertinggi adalah L3, sedang daerah terendah
adalah L5.8,9
Segmen medulla spinalis terdiri dari 31 segmen : 8 segmen servikal, 12
thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan
melekatnya kelompokkelompok saraf. Panjang setiap segmen berbeda-beda,
seperti segmen tengah thorakal lebih kurang 2 kali panjang segmen servikal atau
lumbal atas. Terdapat dua pelebaran yang berhubungan dengan saraf servikal atas
dan bawah. Pelebaran servikal merupakan asal serabut-serabut saraf dalam pleksus
brakhialis. Pelebaran lumbal sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus
lumbosakralis. Hubungan antara segmen-segmen medulla spinalis dan korpus
vertebralis serta tulang belakang penting artinya dalam klinik untuk menentukan
tinggi lesi pada medulla spinalis dan juga untuk mencapainya pada
pembedahan.6,9

11
Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar
yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan
duramater. Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak
sampai medulla spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan
piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid.1,2,3,8
Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2,
sehingga dibawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub
arachnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang
berisi cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang
berasal dari medulla spinalis. Pada orang dewasa medulla spinalis berakhir pada
sisi bawah vertebra lumbal.3,10,1

Gambar 1. Potongan sagital vertebra lumbalis

12
Gambar 2. Anatomi vertebra; tampak superior dan lateral.

Proses spinous umumnya teraba dan membantu untuk menentukan garis


tengah. Prosesus spinosus tulang belakang servikal dan lumbar hampir horisontal,
sedangkan pada tulang belakang toraks miring ke arah kaudal dan dapat tumpang
tindih secara signifikan. Oleh karena itu, ketika melakukan blok epidural lumbal
atau serviks (dengan fleksi tulang belakang maksimum), jarum diarahkan dengan
sedikit sudut cephalad, sedangkan untuk blok torakal, jarum harus miring secara
signifikan lebih cephalad untuk memasuki ruang epidural toraks. Di area servikal,
proses spinosus teraba pertama adalah C2, tetapi yang paling menonjol adalah C7
(vertebra prominens). Dengan lengan di samping, prosesus spinosus T7 biasanya
pada tingkat yang sama dengan sudut inferior skapula. Garis yang ditarik di antara
titik tertinggi dari kedua puncak iliaka (garis Tuffier) biasanya melintasi tubuh L4
atau L4-L5. Menghitung proses spinosus naik atau turun dari titik referensi ini
mengidentifikasi tingkat tulang belakang lainnya. Sebuah garis yang
menghubungkan tulang belakang iliaka superior posterior melintasi foramen
posterior S2. Pada orang ramping, sacrum mudah teraba, dan hiatus sakral
dirasakan sebagai depresi tepat di atas atau di antara celah gluteal dan di atas
coccyx, mendefinisikan titik masuk untuk blok kaudal.

13
Gambar 3. Penanda letak ketinggian vertebra

B. ANESTESI SPINAL
a. Definisi
Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subaraknoid) adalah
injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang menghasilkan
analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau ruang
subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5, untuk
menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang
tinggi.

b. Indikasi
Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 kebawah
(daerah papila mamae kebawah). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu
lama, maksimal 2-3 jam. Injeksi tunggal anestesi spinal berguna untuk
prosedur operasi dengan durasi yang diketahui yang melibatkan ekstremitas

14
bawah, perineum, panggul, atau abdomen bagian bawah. Jenis anestesi ini
juga dapat diindikasikan ketika pasien ingin tetap sadar atau bila terdapat
beberapa kondisi komorbiditas penyerta, seperti penyakit pernapasan berat
atau saluran napas yang sulit dikelola, dan meningkatkan risiko penggunaan
anestesi umum.

c. Kontraindikasi
1. Kontraindikasi Absolut
- Pasien menolak
- Infeksi di daerah suntikan
- Koagulopati
- Hipovolemi berat
- Peningkatan tekanan intracranial
- Stenosis aorta/mitral berat

2. Kontraindikasi Relatif
- Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
- Pasien yang tidak kooperatif
- Kelainan neurologis
- Kelainan psikis
- Bedah lama
- Hypertrophic obstructive cardiomyopathy
- Deformitas spinal berat
- Lesi katup jantung stenotik

d. Farmakologi
Banyak anestesi lokal telah digunakan untuk anestesi spinal di masa
lalu, tetapi hanya sedikit yang saat ini digunakan. Hanya larutan anestesi lokal
bebas pengawet yang digunakan. Penambahan vasokonstriktor (agonis α-

15
adrenergik, epinefrin (0,1-0,2 mg)) dan opioid meningkatkan kualitas dan/atau
memperpanjang durasi anestesi spinal. Vasokonstriktor tampaknya menunda
pengambilan anestesi lokal dari CSF dan mungkin memiliki sifat analgesik
spinal yang lemah. Opioid dan clonidine juga dapat ditambahkan ke anestesi
spinal untuk meningkatkan kualitas dan durasi blok subarachnoid.
Bupivakain hiperbarik dan tetrakain adalah dua agen yang paling sering
digunakan untuk anestesi spinal. Keduanya relatif memiliki onset lambat (5-
10 menit) dan memiliki durasi yang lama (90-120 menit). Meskipun kedua
agen menghasilkan tingkat sensorik yang sama, spinal tetracaine lebih
konsisten menghasilkan blokade motorik daripada dosis bupivakain yang
setara. Penambahan epinefrin ke bupivakain spinal hanya sedikit
memperpanjang durasinya. Sebaliknya, epinefrin dapat memperpanjang durasi
tetrakain hingga lebih dari 50%. Phenylephrine juga memperpanjang anestesi
tetracaine, tetapi tidak memiliki efek pada blok spinal bupivakain.
Ropivacaine juga telah digunakan untuk anestesi spinal, tetapi pengalaman
penggunaannya lebih terbatas. Lidokain dan prokain memiliki onset yang
relatif cepat (3-5 menit) dan durasi kerja yang pendek (60–90 menit). Durasi
mereka hanya sedikit diperpanjang oleh vasokonstriktor. Meskipun anestesi
spinal lidocaine telah digunakan di seluruh dunia, beberapa ahli tidak lagi
menggunakan agen ini karena fenomena gejala neurologis sementara dan
sindrom cauda equina (CES). Pengulangan dosis lidokain setelah blok “gagal”
pada awalnya harus dihindari. Memang, penelitian telah menunjukkan bahwa
kegagalan anestesi spinal akibat maldistribusi anestesi lokal dapat terjadi
terlepas dari konsentrasi CSF anestesi lokal yang memadai. Salah satu agen
alternatif, 2-chloroprocaine, telah digunakan di beberapa pusat dengan
kesuksesan yang besar. Sayangnya, formulasi yang lebih tua dari agen ini juga
menimbulkan cauda equine syndrome ketika secara tidak sengaja disuntikkan
intratecally (dalam dosis besar) selama percobaan anestesi epidural.

16
Tabel 1. Dosis dan durasi kerja beberapa obat-obatan yang sering dipakai pada anestesi spinal

e. Teknik Anestesi
1. Persiapan pasien
Pada dasarnya persiapan pasien untuk analgesia spinal seperti
persiapan pada anesthesia umum. Hal ini bertujuan sebagai antisipasi
perubahan mendadak tekanan darah, laju nadi, atau masalah oksigenasi.
Harus ada akses intavena yang adekuat dan perlengkapan monitor pasien
misalnya EKG, monitor tekanan darah non invasif, atau kateter arterial, dan
pulse oxymeter. Monitoring suhu badan sebaiknya disiapkan karena pasien
dapat terserang hipotermia selama spinal atau epidural, terutama pada
operasi yang lama. Mesin anestesi, sungkup muka, sumber O2, dan suction
harus tersedia dan siap pakai. Obat-obatan sedasi, induksi, emergensi dan
pelumpuh otot harus tetap tersedia meskipun tidak langsung di dalam spuit.
Alat-alat manajemen napas seperti pipa endotrakea, laringoskop, dan pipa
orofaringeal harus juga tersedia.
Evaluasi preoperatif termasuk pemeriksaan toraks dan vertebra lumbal
serta kulit disekitar tempat penusukan jarum. Anestesi spinal lebih sulit dan
mungkin kesalahan lebih banyak jika terdapat kelainan anatomik seperti
scoliosis atau keterbatasan fleksi vertebra pasien. Infeksi pada tempat
punksi menghalangi spinal anestesi. Defisit neurologi yang ada sebelumnya

17
yang ditemukan lewat anamnesa atau dengan pemeriksaan harus dicatat
untuk mencegah kesalahan diagnosis kelainan neurologi post anestesi.
2. Jarum spinal
Jarum spinal yang baik permukaan ujungnya tertutup dan bentuknya
cocok serta mudah dipindah-pindahkan posisinya. Hal ini agar saat lumbal
pungsi dilakukan sel-sel epitel kulit dan bahan-bahan lain tidak masuk ke
dalam ruang subaraknoid. Dipasaran jarum spinal tersedia dalam ukuran
Gauce 16-30, menurut jenis bentuk jarum spinal ini terdapat 5 bentuk yaitu
standard cutting atau quincke needle, directional Tuohy needle, pencil
point needle, greene, whitacre, dan sprotte.
Bentuk ujung jarum spinal menentukan apakah jarum akan
memotong (Pitkin dan Quincke) atau merobek duramater (Whitacre dan
Sprotte). Pencil-point tip needle mengurangi insiden nyeri kepala post-
dural puncture. Semakin kecil jarum, semakin mengurangi insidennya.
Jenis jarum yang paling ideal adalah 25G, 26G, dan 27G.

Gambar 4. Jenis-Jenis Jarum Spinal

18
3. Posisi pasien
Dua posisi pasien utama adalah lateral decubitus dan duduk. Posisi
pronasi jarang digunakan. Keunggulan dari satu posisi terhadap yang lain
tidak jelas. Posisi dekubitus lateral memudahkan pemberian obat penenang
jika diperlukan dan kemungkinan lebih nyaman. Pasien ditempatkan
dengan punggung paralel ke tepi meja operasi, paha tertekuk ke perut,
dengan leher tertekuk untuk memungkinkan dahi sedekat mungkin dengan
lutut dalam upaya untuk "membuka" ruang vertebral. Pasien harus
diposisikan sehingga penyebaran hipobarik, isobarik, atau solusi hiperbarik
ke situs operasi dioptimalkan.
Identifikasi garis tengah mungkin lebih mudah ketika pasien
ditempatkan dalam posisi duduk, terutama ketika obesitas atau skoliosis
membuat anatomi garis tengah sulit untuk diperiksa. Seorang asisten
membantu menjaga pasien dalam bidang vertikal sambil meregangkan
leher dan lengan pasien di atas bantal, merilekskan bahu, dan meminta
pasien untuk “mendorong keluar” punggung bawah untuk membuka ruang
vertebral lumbal.

Gambar 5. Posisi duduk dalam anestesi spinal

19
Gambar 6. Posisi lateral decubitus dalam anestesi spinal

Gambar 7. Pengaruh posisi fleksi pada foramen interlaminar vertebralis

20
4. Teknik anestesi spinal
Sebelum melakukan penyuntikan jarum spinal/epidural, langkah awal
yang harus kita lakukan adalah identifikasi space atau celah antar ruas
tulang vertebra. Ada beberapa panduan (landmark) yang dapat digunakan,
antara lain berpatokan bahwa garis khayalan setinggi Krista iliaka dianggap
setinggi L4 atau L4-5. Garis khayalan setinggi margo inferior scapula
sesuai dengan ketinggian T7 dan processus spinosus yang paling menonjol
di dasar leher sesuai dengan vertebra C7. Ada beberapa pendekatan melalui
lumbal pungsi, yaitu:8,9,10
- Pendekatan garis tengah (midline apporach)
Pendekatan ini adalah yang paling sering dilakukan. Setelah celah
diidentifikasi maka jarum penuntun (jika menggunakan jarum penuntun)
atau jarum berisi anestetika lokal untuk infiltrasi disuntikan pada garis
tengah sampai kedalaman jarum kira-kira sampai di ligamentum
interspinosum. Kemudian jarum spinal disuntikan baik melalui penuntun
atau langsung menembus kulit. Bila di awal penyuntikan terdapat tahanan,
kemungkinan jarum membentur prosesus spinosus bagian bawah. Apabila
kemudian jarum spinal tertahan di kedalaman yang lebih jauh dapat
dipikirkan bahwa jarum sudah berada di garis tengah namun membentur
prosesus spinosus bagian atas, atau berada di lateral garis tengah tetapi
membentur lamina. Pada kasus seperti ini jarum spinal harus diposisikan
kembali pada titik penyuntikan dan disesuaikan ke arah yang lain. Ketika
ujung jarum menembus ligamentum flavum, umumnya akan terjadi
kehilangan tahanan (loss of resistance). Pada tahap ini ada perbedaan
prosedur pada anestesia spinal dan anestesia epidural. Pada anestesia
epidural, kehilangan tahanan berarti jarum sudah menembus lapisan
ligamentum flavum dan sudah berada di ruang epidural. Sedangkan pada
anestesia spinal jarum didorong terus lagi sampai menembus lapisan dura

21
dan membran subarachnoid dan berhenti setelah ditandai keluarnya cairan
liquor.8,9,10
- Pendekatan paramedian
Teknik paramedian dapat dipilih bila kita mengalami kesulitan
menggunakan pendekatan garis tengah. Sebagian pasien mungkin tidak
dapat diposisikan dengan mudah misalnya pada arthritis berat,
kyphoscoliosis, atau riwayat lumbar spine surgery. Pada pendekatan
paramedian ini secara anatomi celah yang akan dilalui oleh jarum spinal
lebih lebar dibandingkan dengan midline. Posisi atau lokasi penyuntikan
adalah 2 cm ke lateral dan 2 cm ke kaudal. Pada titik ini tidak dilakukan
penyuntikan dengan besar sudut 10-25 derajat dari midline yang diarahkan
ke titik seperti pada pendekatan midline. Pada pendekatan paramedian
jarum tidak melewati ligamentum interspinosum. Oleh karena itu
identifikasi ligamentum flavum dan masuknya ujung jarum ke ruang
epidural dengan sensasi hilang tahanan sering sulit dibedakan
dibandingkan dengan pendekatan midline.8,9,10

Gambar 8. Anatomi vertebra pada pendekatan mediana dan paramedian

22
- Pendekatan Taylor
Pendekatan ini merupakan variasi dari pendekatan paramedian,
dimana kita memanfaatkan celah antara ruangan L5-S1 sebagai jalur untuk
memasukan obat. Celah ini merupakan celah terlebar di daerah lumbar dan
dapat dijadikan alternative apabila kita kesulitan untuk identikasi space di
sebelah atasnya. Awalnya dengan identifikasi aspek inferior spina
ischiadika posterior superior (SIPS) dengan cara palpasi. Satu sentimeter
ke medial dan satu sentimeter ke inferior dari SIPS dan dengan
membentuk sudut 45 derajat terhadap midline dan cephalad, jarum spinal
disuntikan. Pada saat meneyntuh lamina, jarum didorong ke arah
mediosuperior untuk memasuki interspace L5-S1. Pendekatan cara Taylor
ini dapat dilakukan pada penderita baik dalam posisi tengkurap (prone),
lateral, maupun posisi duduk.8,9,10

f. Faktor yang mempengaruhi ketinggian blok


Penentu yang paling penting adalah barisitas dari solusi anestesi lokal,
posisi pasien selama dan segera setelah injeksi, dan dosis obat. Secara umum,
semakin besar dosis atau lebih cephalad tempat suntikan, semakin cephalad
tingkat anestesi yang akan didapat. Selain itu, migrasi cephalad anestesi lokal
di CSF tergantung pada densitasnya relatif terhadap CSF (barisitas). CSF
memiliki berat jenis 1,003-1,008 pada 37°C. Solusi hiperbarik anestesi lokal
lebih padat (lebih berat) daripada CSF, sedangkan solusi hypobaric kurang
padat (lebih ringan) daripada CSF. Solusi anestesi lokal dapat dibuat
hiperbarik dengan penambahan glukosa atau hipobarik dengan penambahan
air steril atau fentanyl. Dengan demikian, dengan pasien dalam posisi kepala
ke bawah, solusi hiperbarik menyebar ke cephalad, dan larutan anestesi
hipobarik bergerak caudad. Posisi kepala menyebabkan solusi hiperbarik
untuk menyelesaikan caudad dan solusi hypobaric untuk naik cephalad.
Demikian pula, ketika pasien tetap dalam posisi lateral, solusi tulang belakang

23
hiperbarik akan memiliki efek yang lebih besar pada sisi yang lebih rendah
(bawah), sedangkan solusi hypobaric akan mencapai tingkat yang lebih tinggi
pada sisi nondependen (atas). Larutan isobarik cenderung tetap pada tingkat
injeksi. Agen anestesi dicampur dengan CSF (minimal 1: 1) untuk membuat
larutan mereka isobarik. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat
blokade saraf termasuk tingkat injeksi dan tinggi badan dan anatomi kolom
vertebral. Arah bevel jarum atau port injeksi juga dapat memainkan peran;
tingkat anestesi yang lebih tinggi tercapai jika injeksi diarahkan cephalad
dibandingkan jika titik injeksi berorientasi lateral atau caudad.
Larutan hiperbarik cenderung bergerak ke daerah yang paling
bergantung pada tulang belakang (biasanya T4 – T8 dalam posisi terlentang).
Dengan anatomi tulang belakang normal, puncak kelengkungan
thoracolumbar adalah T4. Dalam posisi terlentang, ini harus membatasi solusi
hiperbarik untuk menghasilkan tingkat anestesi pada atau di bawah T4.
Lengkungan tulang belakang yang abnormal, seperti skoliosis dan
kyphoscoliosis, memiliki beberapa efek pada anestesi spinal. Menempatkan
blok menjadi lebih sulit karena rotasi dan angulasi tubuh vertebral dan proses
spinosus. Menemukan garis tengah dan ruang interlaminar mungkin sulit.
Pendekatan paramedian untuk pungsi lumbal mungkin lebih baik pada pasien
dengan skoliosis berat dan kyphoscoliosis. Dalam pendekatan Taylor, varian
dari pendekatan paramedian standar yang dijelaskan sebelumnya, jarum
memasuki medial 1 cm dan 1 cm lebih rendah dari tulang belakang iliaka
superior posterior dan diarahkan cephalad dan menuju garis tengah. Meninjau
radiografi tulang belakang sebelum mencoba blok mungkin berguna.
Kelengkungan tulang belakang mempengaruhi tingkat tertinggi dengan
mengubah kontur ruang subarachnoid. Pembedahan tulang belakang
sebelumnya dapat menyebabkan kesulitan teknis dalam menempatkan blok.
Identifikasi dengan benar ruang interspinous dan interlaminar mungkin sulit
pada tingkat laminektomi sebelumnya atau fusi tulang belakang. Pendekatan

24
paramedian mungkin lebih mudah, atau tingkat di atas situs bedah dapat
dipilih. Blok mungkin tidak lengkap, atau tingkat mungkin berbeda daripada
yang diantisipasi, karena perubahan anatomi pasca bedah.

Gambar 9. Posisi kanalis spinalsi pada posisi supinasi dan lateral decubitus

Volume Lumbar CSF berbanding terbalik dengan penyebaran dermatom


anestesi spinal. Peningkatan tekanan intraabdominal atau kondisi yang
menyebabkan pembengkakan vena epidural, sehingga menurunkan volume
CSF, berhubungan dengan penyebaran dermatomal yang lebih besar untuk
volume suntikan yang diberikan. Ini akan mencakup kondisi seperti
kehamilan, asites, dan tumor perut besar. Dalam situasi klinis ini, tingkat
anestesi yang lebih tinggi dicapai dengan dosis anestesi lokal yang diberikan
daripada yang diharapkan. Untuk anestesi spinal pada kehamilan jangka
panjang, beberapa dokter mengurangi dosis anestesi oleh satu-tiga
dibandingkan dengan pasien tidak hamil, terutama ketika blok akan dimulai
dengan pasien dalam posisi lateral. Penurunan volume CSF terkait usia
kemungkinan besar bertanggung jawab untuk tingkat anestesi yang lebih
tinggi yang dicapai pada orang tua untuk dosis anestesi spinal yang diberikan.
Kyphosis berat atau kyphoscoliosis juga dapat dikaitkan dengan penurunan

25
volume CSF dan sering menyebabkan tingkat yang lebih tinggi dari yang
diharapkan, terutama dengan teknik hypobaric atau injeksi cepat. Tradisi
menyatakan bahwa peningkatan tekanan CSF sementara dari batuk atau
ketegangan meningkatkan penyebaran anestesi lokal di CSF, tetapi data yang
mendukung ini kurang.

C. FRAKTUR
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari kekuatan tersebut, keadaan tulang
itu sendiri dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah
fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Anderson, 2005).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Ada lebih dari 150
klasifikasi fraktur. Empat yang utama adalah :
1. Incomplit
Fraktur yang hanya melibatkan bagian potongan menyilang tulang.
2. Complit
Garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan
fragmen tulang biasanya berubah tempat atau bergeser (bergeser dari
posisi normal).
3. Tertutup (simple)
Fraktur tidak meluas dan tidak menyebabkan robekan pada kulit.
4. Terbuka (compound)
Fragmen tulang meluas melewati otot dan adanya perlukaan di kulit
yang terbagi menjadi 3 derajad :

D. ANESTESI PADA ILEUS OBSTRUKSI

26
Empat tanda kardinal dan gejala obstruksi usus adalah nyeri kolik
abdomen, muntah, obstipasi, dan distensi abdomen. Tiga sistem utama, status
cairan dan elektrolit, hemodinamik dan hipertensi intra-abdominal (IAH) harus
dioptimalkan sebelum operasi.
Manifestasi pasien dapat bervariasi dari dehidrasi ringan hingga syok
septik. Dalam kehilangan cairan, yang berbda ialah akumulasi cairan intraluminal
yang tersembunyi dan kesulitan dalam penilaiannya. Mungkin ada kehilangan sel
darah merah (RBCs) juga pada gangrenusus yang menyebabkan anemia berat.
Dalam hal, tidak ada kehilangan RBC, jika hematokrit telah meningkat menjadi
55%, sekitar 40% dari volume cairan plasma dan ekstraseluler telah hilang.
Sekresi saluran pencernaan yang normal dalam 24 jam dalam ml adalah - air liur
1000 ml, lambung 2000 ml, pankreas 2000 ml, empedu 1000 ml, succus entericus
1000 ml (sekitar 7000 mL). Koreksi preoperatif dari gangguan elektrolit dan
dehidrasi untuk mendapatkan output urin yang adekuat setidaknya 4 jam sebelum
operasi menurunkan mortalitas pada kasus-kasus seperti itu. Koreksi cairan
dilakukan berdasarkan tingkat obstruksi - ringan: 1500 ml, sedang: 3000 ml, dan
berat dengan syok: 6-8 L.
Harus ditekankan bahwa ini adalah pedoman kasar dan keputusan untuk
diinfus harus dibuat pada kasus-kasus per individual. Ringer laktat paling mirip
dengan plasma, dan itu adalah cairan pilihan dalam banyak kasus. Namun jika
dijumpai muntah bermakna dengan hiponatremia terkait, saline normal dapat
ditambahkan.
Penilaian denyut nadi yang stabil, volume yang baik, peningkatan tekanan
darah, output urin lebih dari 0,5 ml/kg/jam adalah tanda-tanda rehidrasi yang baik.
Inotropik dan ventilasi elektif harus dipertimbangkan pada pasien dengan asidosis
dan syok. Pemantauan dan idealisasi tekanan vena sentral adalah keharusan dalam
sebagian besar kasus.
Foto polos abdomen menunjukkan adanya beberapa tingkat cairan udara
dalam obstruksi usus kecil. Dinding perut yang tegang dapat meningkatkan

27
peristaltik balik, menurunkan aliran balik vena dan meningkatkan kebutuhan
anestesi dan relaksan. Kita harus paham tentang IAH dan konsekuensinya pada
aliran darah hepatik dan penyesuaian dosis obat. Ada kompromi dalam aliran
darah ginjal pada pasien dengan IAH dan beberapa kasus yang dipilih rehidrasi
yang memadai tidak dapat menghasilkan output urin pra operasi yang memuaskan.
Tekanan vena sentral mungkin tidak memandu terapi cairan dalam beberapa kasus
di IAH. Harus diingat dalam sebagian besar kasus bahwa intervensi dengan
rehidrasi, menstabilkan ginjal, dan parameter gas darah adalah keadaan darurat,
tetapi prosedur pembedahan dapat ditunda setelah mencapai hal di atas. Karena
gangguan fungsi usus, suplemen Vitamin K sebelum operasi dapat
dipertimbangkan pada beberapa kasus.
Anestesi umum terkendali (GA) dengan atau tanpa anestesi epidural
kontinyu adalah pilihan di antara teknik. Jika profil koagulasi tetap normal,
kemungkinan teknik regional tambahan, misalnya, penyisipan kateter epidural di
perempatan torakalis akan memecahkan sebagian besar masalah nyeri perioperatif
dan stres. Oleh karena itu, dalam banyak kasus, suntikan 6-8 ml bupivakain 0,25%
dengan fentanil atau morfin dalam kateter epidural toraks sebelum induksi dengan
dosis yang dilanjutkan pada periode pasca operasi dapat diterima. Anestesi
regional sendiri telah berhasil digunakan pada pasien dengan kompromi paru.
Meskipun blokade neuraxial menggunakan RA tidak sepenuhnya aman, ia
menawarkan beberapa keuntungan. Telah diketahui bahwa pembedahan perut
berhubungan dengan penurunan kapasitas residual fungsional. RA melemahkan
efek ini dengan meningkatkan fungsi diafragma (mengganggu penghambatan
refleks yang diinduksi oleh operasi saraf frenikus) dan kepatuhan dinding dada
(penurunan tonus otot dinding dada). Ventilasi menit normal dipertahankan. Lebih
lanjut, pasien yang rentan terhadap gagal jantung kongestif atau kor pulmonal
dapat mengambil manfaat dari blokade neuraxial yang diinduksi preload dan
afterload reduction. Di sisi bawah, FEV berkurang akibat kehilangan otot perut,
sehingga menurunkan kemampuan untuk batuk dan membersihkan sekresi.

28
Namun, masalah potensial ini umumnya dapat ditoleransi dengan agresif paru paru
pra- dan pasca operasi.
Henti jantung dapat terjadi akibat blokade neuroaksial komplit yang tidak
disengaja ("spinal lengkap"), toksisitas anestesi lokal, atau blokade simpatis toraks
komplet ke jantung, sehingga menghasilkan masukan parasimpatis (vagal) yang
tidak dilawan. Faktor risiko yang paling penting untuk yang terakhir adalah usia
kurang dari 50. Meskipun ada laporan terisolasi dari bronkospasme selama RA,
tidak ada bukti fisiologis bahwa blokade neuraksial mengurangi ambang batas
untuk bronkospasme.
GA memiliki manfaat memfasilitasi jalan nafas yang aman dan sarana untuk
menyediakan ventilasi tekanan positif; namun, induksi GA dan intubasi pasien
menghasilkan ketergantungan ventilasi mekanik (setidaknya sementara).
Tambahan efek fisiologis / mekanis dari GA (potensi bronkospasme,
ketidaksesuaian V / Q, pneumotoraks, tabung endotrakeal berkerut atau tersumbat,
depresi pernapasan dari anestesi residual / relaksan otot) menghambat penyapihan
ventilasi pada pasien dengan SPI.
Jelas, RA sebagai teknik anestesi primer dan tunggal tidak cocok untuk semua
pasien dengan SPI yang menjalani operasi perut. Ada beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan: durasi operasi, tempat operasi, risiko aspirasi, berat pasien,
penyakit komorbid, dan status hemodinamik / volume. (Seorang pasien hipotensi
atau volume-habis mungkin tidak mentolerir blokade simpatik RA.) Yang paling
penting adalah kemampuan untuk dengan mudah dan cepat mengubah RA ke GA
jika diperlukan. Oleh karena itu, pasien dengan kesulitan jalan napas
membutuhkan intubasi fiberoptik yang terjaga, bukanlah kandidat ideal untuk RA.
Meskipun pengukuran FEV1 digunakan untuk membantu mengkarakterisasi
pasien dalam penelitian ini, tetapi belum terbukti menjadi prediktor independen
morbiditas paru pasca operasi.
Premedikasi pada pasien ini membingungkan. Jika lambung penuh,
penggunaan antagonis H2 dan metoclopramide mungkin tidak berguna seperti

29
kasus lain. Namun, ini dapat dipertimbangkan. Antikolinergik memiliki peran
terbatas karena takikardia terkait. Dosis narkotik yang cukup, misalnya, morfin
(0,1 mg / kg) atau fentanyl (2 µg / kg) dengan midazolam intravena (IV) sebelum
induksi optimal.
Banyak kasus mungkin memerlukan ventilasi pasca operasi elektif yang akan
diputuskan secara individual dengan mata pada hemodinamik pra operasi, perilaku
intraoperatif dan tingkat trauma bedah. Perlu ditekankan bahwa penjahitan setelah
pengangkatan usus mati tidak memecahkan masalah yang dihadapi pasien.
Pemantauan terus parameter kardiorespirasi, penggunaan inotropik, ventilasi
mekanis, mengoptimalkan nilai gas darah, cairan dan status elektrolit tetap
menjadi andalan dalam pemulihan pasien. Oleh karena itu, penggunaan antibiotik
yang dipilih, profilaksis tromboembolisme, dan dimulainya nutrisi enteral dini
dengan mata pada distensi abdomen adalah signifikan. Pemantauan tekanan intra-
abdominal (IAP) dengan kateter Foley dan kelanjutan kewaspadaan yang ketat
pada parameter lain sampai IAP turun di bawah 20 sangat penting. Perawatan
lanjutan dari rasa sakit pasca operasi sebaiknya dengan pemberian anestesi
epidural anestesi-fentanyl dosis rendah cocok untuk mencegah atelektasis dan
pneumonia. Penggunaan obat anti-inflamasi nonsteroid adalah berhati-hati pada
pasien yang kekurangan garam, lanjut usia, yang kekurangan dehidrasi.

30
BAB IV

KESIMPULAN

Anestesi regional adalah salah satu teknik anestesi untuk anggota/daerah tubuh
tertentu, khususnya daerah lengan, abdomen,dan tungkai. Anestesi regional (AR)
merupakan metode untuk memberikan efek analgesik pada pasien intra operatif
maupun pasca operatif. Teknik AR memungkinkan kontrol nyeri yang sangat baik
dan umumnya digunakan selama operasi berlangsung dan untuk fase setelah operasi.
Sebagai tambahan, beberapa penelitian menunjukan bahwa teknik AR dapat
mempercepat pemulihan dan mengurangi lamanya rawat inap ICU, meningkatkan
fungsi jantung paru, mengurangi angka infeksi dan respon neuroendokrin, dan
memungkinkan fungsi usus yang lebih cepat.

Pada kasus ileus obstruktif evaluasi pra operasi yang tepat dengan koreksi
cairan, elektrolit, asam basa, hemodinamik, dan ketidakseimbangan pernapasan
sebelum operasi adalah suatu keharusan. Epidural kontinu dengan GA terkendali
adalah pilihan terbaik. Pemeliharaan intraoperatif dari semua parameter adalah kunci
keberhasilannya. Perawatan pasca operasi persisten terhadap dasar-dasar dengan
perhatian khusus pada sindrom kompartemen abdomen adalah kunci utama untuk
hasil akhir yang lebih baik.

31
REFERENSI

1. Miller, Ronald D. Miller's Anesthesia. 7th ed. Philadelphia, PA: Churchill


Livingstone/Elsevier, 2010.
2. Katzung G, Bertram. Basic and Clinical Pharmacology 10th Ed.. United states of
America: McGraw-Hill Companies, 2007
3. Brunicardi FC, editor. Scchwartz's Principles of Surgery. 8th ed. New York:
McGraw-Hill; 2005. pp. 1017–32.
4. Parthasarathy S, Sripriya R, Krishnaveni N. Anesthetic management of intestinal
obstruction: A postgraduate educational review. Anesthesia, Essays and
Researches. 2016;10(3):397-401. doi:10.4103/0259-1162.177192.
5. LW Gemmell, C Rincon; Anaesthetic management of intestinal obstruction, BJA
CEPD Reviews, Volume 1, Issue 5, 1 October 2001, Pages 138–
141, https://doi.org/10.1093/bjacepd/1.5.138

32

Anda mungkin juga menyukai