Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

TERAPI SURFAKTAN PADA


RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

Disusun oleh:
NIVIA TOMASOA
NIM. 2018-84-046

Pembimbing:
dr. Robby Kaleuw., Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan hidayah-Nya, maka saat ini penulis dapat menyelesaikan
pembuatan referat dengan judul “Terapi Surfaktan Pada Respiratory Distress
Syndrome” ini dengan baik.

Referat ini dibuat dalam rangka tugas kepaniteraan klinik pada bagian ilmu
kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura Ambon tahun 2019.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan, dan semoga referat
ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Akhir kata penulis mengucapkan terima aksih atas segala pihak yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian pembuatan referat ini.

Ambon, Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Definisi Respiratory Distress Syndrome 3
2.2 Patofisiologi Respiratory Distress Syndrome 3
2.3 Surfaktan 6
2.4 Fungsi Fisiologis Surfaktan 7
2.5 Komposisi Surfaktan 8
2.6 Sintesis dan Metabolisme Surfaktan 9
2.7 Jenis-Jenis Surfaktan 10
2.8 Dosis dan Cara Pemberian Surfaktan 13
2.9 Profilaksis Surfaktan dan Terapi 15
2.10 Efek Samping dan Komplikasi Pemberian Surfaktan 17
BAB III PENUTUP 19
DAFTAR PUSTAKA 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Respiratory Distress Syndrome (RDS) atau Penyakit membran hialin (PMH)
merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama
pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Penyakit membran hialin pada
bayi kurang bulan terjadi karena pematangan paru yang belum sempurna akibat
kekurangan surfaktan. Tanpa surfaktan, alveoli menjadi kolaps pada akhir
ekspirasi, sehingga menyebabkan gagal nafas pada neonatus.1
Gangguan nafas ini merupakan sindrom yang terdiri dari satu atau lebih
gejala sebagai berikut: pernafasan cepat >60 x/menit, retraksi dinding dada,
merintih dengan atau tanpa sianosis pada udara kamar. Menurut European
Consensus Guidelines on the Management of Neonatal Respiratory Distress
Syndrome in Preterm Infants 2010 Update, sindrom gawat nafas inibiasanya
terjadi 4 jam setelah kelahiran dan memburuk sampai dengan 24–48 jam
kehidupan, dan akan membaik 1–2 hari berikutnya, umumnya timbul bersamaan
dengan peningkatan diuresis. Menurut buku Pedoman pelayanan medis IDAI,
gejala gawat nafas pada PMH memburuk dalam 48 – 96 jam.2
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.
Kelainan yang terjadi dianggap karena faktor pertumbuhan atau karena
pematangan paru yang belum sempurna. Penyakit ini biasanya mengenai bayi
prematur dan dapat ditemukan bila ibu menderita gangguan perfusi darah uterus
selama kehamilan, misalnya ibu yang menderita diabetes mellitus, hipotiroidisme,
toksemia gravidarum, hipotensi, seksio sesaria, dan perdarahan antepartum.3
Penyakit Membran Hialin merupakan penyebab terbanyak morbiditas dan
mortalitas pada bayi prematur. Sekitar 5-10% didapatkan pada bayi kurang bulan,
50% pada bayi dengan berat badan lahir 501-1500 gram. Di negara maju PMH
terjadi pada 0,3-1% kelahiran hidup dan merupakan 15-20% penyebab kematian

1
neonatus. Di Amerika Serikat diperkirakan 1% dari seluruh kelahiran hidup, yang
artinya 4000 bayi mati akibat Sindrom Gawat Nafas Neonatus (SGNN) setiap
tahunnya. Di Indonesia, dari 950.000 BBLR yang lahir setiap tahun diperkirakan
150.000 bayi di antaranya menderita SGNN, dan sebagian besar berupa PMH.
PMH yang terjadi pada bayi kurang bulan tersebut bervariasi dari yang ringan
sampai yang berat. Pada PMH ringan tidak memerlukan ventilasi mekanik
sedangkan PMH berat memerlukan ventilasi mekanik. Semakin berat derajat
PMH, semakin berat keterlibatan kardiovaskular.1,4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Respiratory Distress Syndrome (RDS)


Respiratory Distress Syndrome (RDS) atau Penyakit membrane hialin
(PMH) adalah suatu sindroma yang terjadi pada bayi premature karena imaturitas
struktur paru dan insufisiensi produksi surfaktan. Pada bayi prematur, defisiensi
surfaktan, baik produksi maupun sekresi surfaktan, akan menurunkan simpanan
surfaktan intraseluler dan ekstraseluler, yang selanjutnya mengakibatkan
insufisiensi surfaktan alveolar dan atelektasis. Sindrom ini terjadi pada bayi
prematur segera atau beberapa saat setelah lahir (4-6 jam) yang ditandai adanya
pemapasan cuping hidung, dispnu atau takipnu, retraksi (suprastemal, interkostal,
atau epigastrium), sianosis, suara merintih saat ekspirasi, yang menetap dan
menjadi progresifdalam 48-96 jam pertama kehidupan.5,6
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu
prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria. Respiratory
Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membran Disease (HMD)
didapatkan pada 10% bayi prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan pada
bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya didapatkan pada
paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap
berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan
masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi
akan mengalami sesak napas. Gejala tersebut biasanya tampak segera setelah bayi
lahir dan akan bertambah berat. 7,8

2.2 Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur
disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan
kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang
sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga

3
paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru
sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal,
pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi
hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.9
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10%
protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga
agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru tampak tidak
berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru
memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara
histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal
menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga
menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi ductus alveoli,
tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan
adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan
toksisitas oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial dan epithelial sel
jalan napas bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang
berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu
setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai
dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek;
pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan
dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal
Displasia (BPD). 9
Pada bayi extremely premature (berat badan lahir sangat rendah) mungkin
dapat berlanjut apnea, dan atau hipotermi. Pada RDS yang tanpa komplikasi maka
surfaktan akan tampak kembali dalam paru pada umur 36-48 jam. Gejala dapat
memburuk secara bertahap pada 24-36 jam pertama. Selanjutnya bila kondisi
stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam 60-72 jam dan sembuh pada akhir
minggu pertama. 9
Surfaktan sebagai bahan aktif pemukaan ini akan dilepaskan ke dalam
alveoli, dimana mereka akan mengurangi tegangan permukaan dan membantu
mempertahankan stabilitas alveolus dengan mencegah runtuhnya ruang udara

4
kecil pada akhir ekspirasi. Jumlah yang dihasilkan atau dilepaskan mungkin tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan pasca kelahiran karena immaturitas. Surfaktan
yang hadir dalam konsentrasi tinggi pada paru janin mengalami homogenasi pada
usia kehamilan 20 minggu, tetapi tidak mencapai permukaan paru-paru sampai
nanti ia muncul dalam cairan amnion pada waktu di antara 28-32 minggu. Tingkat
maturitas dari surfaktan paru biasanya terjadi setelah 35 minggu. 9
Asidosis dan atelectasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah
dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini
akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi surfaktan. 9
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran
yang terdiri dari penurunan aliran, transudasi, asidosis, hipoksia, atelectasis,
hambatan pembentukkan substansi surfaktan, darah paru. Hal ini akan
berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi.9

Gambar 2.1 Patofisiologi Respiratory Distress Syndrome

5
2.3 Surfaktan
Suatu bahan senyawa kimia yang memiliki sifat permukaan aktif.
Surfaktan pada paru manusia merupakan senyawa lipoprotein dengan komposisi
yang kompleks dengan variasi berbeda sedikit diantara spesies mamalia. Senyawa
ini terdiri dari fosfolipid (hampir 90% bagian), berupa
Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) yang juga disebut lesitin, dan protein
surfaktan sebagai SPA, SPB, SPC dan SPD (10% bagian). DPPC murni tidak
dapat bekerja dengan baik sebagai surfaktan pada suhu normal badan 37°C,
diperlukan fosfolipid lain (mis. fosfatidil-gliserol) dan juga memerlukan protein
surfaktan untuk mencapai air liquid-interface dan untuk penyebarannya keseluruh
permukaan.10,11,12
Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II yang mulai tumbuh pada gestasi
22-24 minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan pada gestasi 24-26 minggu,
yang mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu. Produksi surfaktan pada
janin dikontrol oleh kortisol melalui reseptor kortisol yang terdapat pada sel
alveolus type I. Produksi surfaktan dapat dipercepat lebih dini dengan
meningkatnya pengeluaran kortisol janin yang disebabkan oleh stres, atau oleh
pengobatan deksamethason yang diberikan pada ibu yang diduga akan melahirkan
bayi dengan defisiensi surfaktan. Karena paru-paru janin berhubungan dengan
cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan amnion dapat menilai
produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara menghitung
rasio lesitin/sfingomielin dari cairan amnion. Sfingomielin adalah fosfolipid yang
berasal dari jaringan tubuh lainnya kecuali paru-paru. Jumlah lesitin meningkat
dengan bertambahnya gestasi, sedangkan sfingomielin jumlahnya menetap. Rasio
L/S biasanya 1:1 pada gestasi 31-32 minggu, dan menjadi 2:1 pada gestasi 35
minggu. Rasio L/S 2:1 atau lebih dianggap fungsi paru telah matang sempurna,
rasio 1,5-1,9 sejumlah 50% akan menjadi RDS, dan rasio kurang dari 1,5
sejumlah 73% akan menjadi RDS. 10,12,13

6
2.4 Fungsi Fisiologis Surfaktan
Surfaktan merupakan zat aktif pada permukaan udara-air di alveoli yang
memberikan penurunan tegangan permukaan paru. Tegangan permukaan yang
tinggi timbul akibat adanya ketidakseimbangan distribusi gayamolekul pada
molekul air di permukaan udara cairan. Tegangan permukaan yang rendah yang
dihasilkan oleh surfaktan membantu mencegah alveolus kollaps dan menjaga
cairan interstisial agar tidak menggenangi alveolus.
Surfaktan juga mencegah bronchioli tergenagi oleh cairan, yang
mengakibatkan obstruksi luminal. Kepentingan fisologis surfaktan dapat
dijelaskan dengan membandingkan hubungan tekanan-volume selama inflasi dan
deflasi pada paru dengan system surfaktan yang normal dengan paru yang
mengalami gangguan atau defisiensi system surfaktan. Kurva tekanan volume
tersebut didapat dari pencatatan volume selama inflasi paru yang tekanannya
ditingkatkan secara bertahap sebesar 2 cm H2O. kemudian dilakukan pula
pencatatan selama deflasi dengancara yang sama.14
Dari kurva tekanan-volume, dapat disimpulkan bahwa setiap tekanan >4
cmH20, paru normal menyimpan volume udara yang lebih tinggi dibandingkan
dengan paru yang tidak normal. Pada tekanan yang tertinggi, paru normal berisi
volume udara tiga kali lebih banyak jika dibandingkan dengan paru yang tidak
normal. Hubungan antara volume dan tekanan dalam paru tersebut dinamakan
compliance paru.14
Dengan menurunnya compliance paru,hanya sedikit oksigen yang dapat
masuk ke dalam paru untuk pertukaran gas, hal tersebut menyebabkan rendahnya
angka tekanan parsial oksigen dalam darah arteri (Pa02). Oleh karena itu, peran
fisiologis surfaktan dinyatakan untuk mempertahankan compliance paru, yang
memungkinkan pertukaran gas secara adekuat.14
Alasan mengapa surfaktan dibutuhkan untuk mempertahankan compliance
paru adalah berhubungan dengan fenomena tegangan permukaan yang timbul
pada permukaan antara (interface) udara-cairan dalam alveoli. Tegangan
permukaan timbul akibat adanya distribusi gaya tarik dan gaya tolak pada
molekul-molekul cairan yang tidak merata pada daerah interface dibandingkan

7
dengan distribusi gaya yang merata pada daerah bulk phase. Hal ini akan
membuat kecenderungan cairan di bulk phase untuk menyusutkan area permukaan
interface. Tegangan permukaan yang tinggi dapat mengakibatkan kolaps spontan
alveoli atau karena alveolus yang kolaps memiliki interface udara-air yang paling
kecil.
Hubungan antara tegangan permukaan dan tekanan pada gelembung
didisknpsikan secara spesifik oleh Young dan Laplace yang menyatakan bahwa
tekanan pada gelembung sarna dengan dua kali tegangan permukaan dibagi
radius. Surfaktan paru menurunkan tegangan permukaan pada interface udara-air
selama ekspirasi.5,6,14-16
Peranan penting surfaktan yang lain dalam hal mempertahankan fungsi
normal paru yaitu sebagai pertahanan paru. Untuk memfasilitasi pertukaran gas.
paru-paru mengandung area permukaan yang tipis yang secara konstan terpapar
dengan partikel-partikel dan bahan infeksius. Untuk mencegah inflamasi kronis
dan untuk membersihkan material yang dihirup, paru-paru memerlukan system
pertahanan yaitu surfaktan. Komponen penting dari surfaktan yang berperan
penting untuk fungsi sistem pertahanan ini adalah protein surfaktan-A dan protein
surfaktan-D. Beberapa penelitian telah membuktikan peran protein-protein
tersebutndalam menstimulasi fagositosis makrofag alveolar, merubah sel-sel imun
dan sel-sel yang berperan dalam proses peradangan, mempengaruhi produksi
oksigen reaktif dan meregulasi sitokin yang dilepaskan dari berbagai sel-sel
inflamasi.5,14,16

2.5 Komposisi Surfaktan


Surfaktan paru merupakan komplek lipoprotein yang disintesa dan
disekresi oleh sel alveolar tipe II dan Clara sel di saluran napas pada lapisan
epithel. Surfaktan paru merupakan senyawa komplek yang komposisinya hampir
90% adalah lipid dan 10% protein. Secara keseluruhan komposisi lipid dan
fosfolipid dari surfaktan diisolasi dari bermacam-macam spesies binatang yang
komposisinya hampir sama.

8
Pada manusia phosphatidylcholine mengandung hampir 80% total lipid,
yang separuhnya adalah dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), 8% lipid netral,
dan 12% protein dimana sekitar separuhnya merupakan protein spesifik surfaktan
dan sisanya protein dari plasma atau jaringan paru. Fosfolipid surfaktan terdiri
dari 60% campuran saturated phosphatidylcholine yang 80% mengandung
dipalmitoylphosphatidylcholine, 25% campuran unsaturated phosphatidylcholine,
dan 15% phosphatidylglycerol dan phosphatidylinositol dan sejumlah kecil
phosphatidylserine, phosphatidylethanolamine, sphingomyeline, dan glycolipid.
Fosfolipid saturasi ini merupakan komponen penting untuk menurunkan
tegangan permukaan antara udara dan cairan pada alveolus untuk mencegah
kolaps saluran napas pada waktu ekspirasi. Pada tahun 1973 menurut King
dkk,dan Possmayer, 1988 terdapat 4 macam protein spesifik surfaktan dengan
struktur dan fungsi yang berbeda. Keempat macam protein tersebut adalah SP-A,
SP-B, SP-C dan SP-D. Protein tersebut didapat dari cairan lavage bronkoalveoli
(BALF) dengan tehnik ultrasentrifugasi serta pemberian pelarut organik kaya
lemak, dapat dipisahkan dan dibedakan menjadi dua golongan yaitu hydrofobik
dengan berat molekul rendah SP- B dan SP-C, sedangkan SP-A dan SP-D
merupakan hidrofilik dengan berat molekul tinggi. 11,12,17

2.6 Sintesis dan Metabolisme Surfaktan


Biosintesis surfaktan dimulai kira-kira pada minggu ke 22-24 kehamilan.
Pembentukan dan proses memepertahankan lapisan permukaan dilakukan melalui
system metabolik yang komplek, meliputi sintesis, penyimpanan intraseluler,
sekresi, pembentukan lapisan permukaan, dan pembentukan sisa partikel untuk
kemudian di ambil dan di pecah atau di daur ulang. Sel yang melakukan sintesa
ini adalah sel tipe II alveolus. Sintesa surfaktan terjadi didalam retikulum
endoplasmik dari sel pneumosit tipe II dengan substrat dasar glukose fosfat dan
asam lemak. Sintesa ini melibatkan berbagai enzim untuk membentuk
fosfatidilkolin jenuh sebagai fofolipid utama.15
Substrat untuk sintesa surfaktan, seperti glukosa dan asam lemak diambil
dari darah dan masuk melalui endotel kapiler dengan proses difusi, setelah melalui

9
komplek golgi, sintesis DPPC dilanjutkan di reticulum endoplasmik didalam sel
alveolus tipe II. DPPC dan protein hidrofobik seperti SP-B dan SP-C dibungkus
dalam badan lamelar, yang merupakan granula penyimpanan dan granula sekresi,
yang terdapat dalam sel tipe II. Badan lamelar ini merupakan simpanan surfaktan
intraseluler.18

2.7 Jenis-Jenis Surfaktan


1. Surfaktan Alami19
Surfaktan alami bisa didapat dan paru sapi ataupun dari babi yang
purifikasinya meliputi proses ekstraksi menggunakan pelarut organic
sehingga protein yang hidrofilik seperti surfaktan protein-A (SP-A) dan
surfaktan protein D (SP-D) akan terbuang, jadi yang tertinggal hanya
material yang mengandung lipid dan sejumlah kecil protein hidrofobik
yaitu SP-B dan SP-C.
Ekstrak surfaktan alami mengandung protein spesifik yang membantu
penyerapan surfaktan dan tahan terhadap inaktifasi surfaktan. Surfaktan
alami mempunyai onset kerja yang cepat. Jika dibandingkan dengan
surfaktan sintesis, respon fisiologis setelah diberikan surfaktan alami lebih
cepat timbul yang di manifestasikan dengan kemampuan untuk
menurunkan FiO dan menurunkan tekanan ventilator, namun kekurangan
surfaktan alami harus disimpan dalam kondisi beku.

10
Tabel 2.1 Surfaktan Alami19

2. Surfaktan Sintesis19
Surfaktan sintetis pertama kali diproduksi tahun 1980. Surfaktan ini
hanya mengandung dipalmitoiylphosphatidylcholine (DPPC), sebagai zat
permukaan aktif yang utama, Akhir-akhir ini surfaktan sintetis
mengandung campuran berbagai fosfolipid permukaan aktif dan zat
spreading. Kelebihan sintesis dibandingkan dengan yang alami yaitu
penympanannya lebih praktis, tidak perlu dibekukan, hanya disimpan pada
suhu dibawah 30°c dalam tempat yang kering.
Terdapat surfaktan eksogen semi sintetik, berasal dari campuran
surfaktan paru anak sapi dengan dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC),
tripalmitin, dan palmitic misalnya Surfactant TA, Survanta. Selain itu
Surfaktan eksogen biologik yaitu surfaktan yang diambil dari paru anak
sapi atau babi, misalnya Infasurf, Alveofact, BLES, sedangkan yang
diambil dari paru babi adalah Curosurf.

11
Tabel 2.2 Surfaktan Sintetik19

Saat ini ada 2 jenis surfaktan di indonesia yaitu :10 Exosurf neonatal yang
dibuat secara sintetik dari DPPC, hexadecanol, dan tyloxapol. Kemudian
Survanta dibuat dari paru anak sapi, dan mengandung protein, kelebihan surfanta
biologi dibanding sintetik terletak pada protein.

Gambar 2.2 Sediaan Survanta

12
2.8 Dosis dan Cara Pemberian Surfaktan
Dosis yang digunakan bervariasi antara 100mg/kg-200mg/kg. Dengan
dosis 100mg/kg sudah dapat memberikan oksigenasi dan ventilasi yang baik, dan
menurunkan angka kematian neonatus dibandingkan dosis kecil. Saat ini dosis
optimum surfaktan yang digunakan adalah 100mg/kg.20
Sampai saat ini surfaktan diberikan secara injeksi bolus intratrakeal,
karena diharapkan dapat menyebarkan sampai saluran napas bagian bawah.
Oetomo,dkk 1990, penyebaran surfaktan kurang baik pada lobus bawah sehingga
dapat menyebabkan penyebaran yang kurang homogen. Wagner,dkk 1996, dengan
pemberian secara bolus dapat mempengaruhi tekanan darah pulmonar dan
sistemik secara fluktuatif. Segerer dkk 1996, pemberian secara perlahan-lahan
dapat mengurangi hal tersebut tapi dapat menyebabkan inhomogen yang lebih
besar dan memberikan respon yang kurang baik. Menurut Henry, dkk 1996
pemberian surfaktan secara nebulasi mempunyai beberapa efek samping pada
jantung dan pernapasan tetapi kurang dari 15% dosis ini akan sampai ke paru-
paru. Berggren, dkk 2000 mengatakan bahwa pemberian secara nebulasi pada
neonatus kurang bermanfaat. Cosmi, dkk 1997 mengusulkan pemberian secara
intra amnion akan tetapi tehnik tersebut sulit karena harus memasukkan catheter
pada nares anterior fetus dengan bantuan USG dan penggunaan aminophilline
pada ibu hamil tidak dianjurkan.22
Surfaktan eksogen mempunyai dosis dengan variasi volume yang berbeda,
Curosurf dengan dosis 100 mg/kg volumenya 1,25 ml sedangkan survanta dengan
dosis 100 mg/kg dengan volume 4 ml. Dalam praktek, Curosurf lebih mudah
diberikan sedangkan Survanta diberikan dengan dosis terbagi. Menurut van der
Bleek dkk (1993) bahwa volume yang besar penyebarannya lebih homogeny.20,12
Surfaktan diberikan secara intratrakeal melalui endotrakeal tube (ETT)
dengan bantuan NG tube. Cateter (NG tube) dapat dimasukkan tanpa melepas
ventilator dengan melalui lubang penghisap sekret pada ETT. Sebagai alternatif,
NGT dapat dimasukkan dengan terlebih dahulu melepas dengan cepat sambugan
antara ETT dengan slang ventilator.20

13
Tabel 2.3 Dosis Surfaktan Alami dan Sintetik

Dosis diberikan secara terbagi menjadi 4 dosis supaya pemberiannya


homogen sampai ke lobus paru bagian bawah. Setiap seperempat dosis diberikan
dengan posisi yang berbeda. Sebelum surfaktan dimasukkan ke dalam ETT
melalui NGT pastikan bahwa ETT berada pada posisi yang benar dan ventilator di
atur pada kecepatan 60x/menit, waktu inspirasi 0,5 detik, dan FiO21,0. ETT
dilepaskan dari ventilator dan kemudian.:23
1. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke bawah kepala menoleh
ke kanan, masukkan surfaktan seperempat dosis pertama melalui NGT
selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi
manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik.
2. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke bawah kepala menoleh
ke kiri, masukkan surfaktan seperempat dosis kedua melalui NGT
selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi
manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik.
3. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke atas kepala menoleh ke
kanan, masukkan surfaktan seperempat dosis ketiga melalui NGT

14
selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi
manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik.
4. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke atas kepala menoleh ke
kiri, masukkan surfaktan seperempat dosis keempat melalui NGT
selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi
manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik.

2.9 Profilaksis Surfaktan dan Terapi


1. Surfaktan sebagai terapi profilaksis
Surfaktan profilaksis adalah pemberian surfaktan pada bayi yang
memiliki resiko tinggi untuk berkembang mengalami penyakitmembran
hialin, yaitu bayi prematur dengan usia gestasi kurang dari 32 minggu.
Namun demikian, bayi mana yang dinilai mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami penyakit membran hialin dan selanjutnya dapat diberi
surfaktan profilaksis belum jelas.4 Para ahli memiliki perbedaan pendapat
mengenai indikasi surfaktan profilaksis, namun secara garis besar indikasi
pemberian surfaktan sebagai profilaksis yaitu 1) bayi yang lahir dengan
masa gestasi kurang dari 32 minggu, 2) bayi yang lahir dengan berat badan
kurang dari 1300gr, 3) bayi dengan pemeriksaan laboratoris menunjukkan
defisiensi surfaktan.24
Secara operasional pemberian surfaktan dilakukan sebelum bayi
melakukan usaha nafas, sebelum dilakukan resusitasi awal, atau paling
umum yaitu setelah resusitasi awal namun dalam 10 sampai 30 menit
setelah kelahiran.25,26
Penelitian pada binatang didapatkan bukti bahwa distribusi surfaktan
akan homogen jika surfaktan diberikan pada paru yang berisi cairan dan
adanya kepercayaan bahwa pemberian surfaktan pada paru yang belum
dilakukan pemasangan ventilator atau yang mendapat ventilator minimal
akan mengurangi trauma paru akut. Ventilasi mekanik sebelum pemberian
surfaktan dapat menyebabkan kerusakan kapiler alveoli, rembesan cairan
proteinaceuous ke rongga alveoli, dan pelepasan mediator inflamasi serta

15
lebih lanjut menurunkan respon terhadap pemberian surfaktan.12 Namun
demikian, pada sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa pemberian
surfaktan sebagai profilaksis yang diberikan sebelum dilakukan resusitasi
awal dan sebelum dilakukan stabilisasi akan menimbulkan komplikasi
yang lebih besar dibandingkan setelah dilakukan resusitasi awal.16,18
Penelitian meta analisis pada bayi dengan masa gestasi kurang dari 30
minggu, didapatkan bahwa penggunaan surfaktan sebagai profilaksis dapat
menurunkan angka kesakitan, menurunkan resiko pneumothorak, dan
menurunkan resiko emfisema interstisial paru.16 Namun demikian, terapi
profilaksistersebut hanya relevan untuk bayi immature yang memang
mempunyai kemungkinan besar berkembang mengalami gangguan paru.
Hal tersebut dikarenakan bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang dari
30 minggu 30%-40% tidak mengalami penyakit membran hialin, dan
penggunaan surfaktan sebagai profilaksis tersebut mungkin akan
menyebabkanpenatalaksanaan yang berlebihan.24,27

2. Surfaktan sebagai terapi


Surfaktan sebagai terapi penyelamatan diartikan sebagai pemberian
surfaktan pada bayi premature yang telah terdiagnosa mengalami PMH,
dimana surfaktan paling sering diberikan dalam 12 jam pertama kelahiran.
Surfaktan sebagai terapi dibedakan menjadi 2 yaitu terapi dini, dimana
surfaktan diberikan dalam 1 sampai 2 jam setelah kelahiran, dan terapi
akhir, yaitu surfaktan diberikan setelah 2 jam atau lebih kelahiran.25
Pada 4 penelitian acak berpembanding, dimana dibandingkan
efektifitas pemberian surfaktan sebagai terapi dini dan surfaktan sebagai
terapi akhir, didapatkan kesimpulan bahwa pada bayi yang lahir kurang
bulan, yang tidak mendapatkan kortikosteroid antenatal, surfaktan
sebaiknya diberikan secepat mungkin.28
Pada beberapa rumah sakit, berlaku pedoman indikasi pemberian
surfaktan sebagai terapi penyelamatan antara lain yaitu:1) bayi prematur
atau bayi aterm terbukti secara klinis mengalami penyakit membran hialin

16
2) bayi prematur atau bayi aterm terbukti secara radiologis mengalami
penyakit mambran hialin 3) bayi yang mengalami peningkatan kebutuhan
oksigen, yang ditandai dengan sianotik, agitasi dan penurunan Pa02, Sp02.

2.10 Efek Samping dan Komplikasi Terapi Surfaktan


Secara teoritis, penggunaan surfaktan alami akan menyebabkan resiko
teijadinya transmisi mikroorganisme tertentu, misalnya penggunaann surfaktan
bovine akan meningkatkan resiko terinfeksi Bovine Spongioform Encephalitis,
dan inveksi virus lain. Namun hal tersebut di eliminasi dengan proses pembuatan
surfaktan alami yang menggunakan pelarut organik, tekhnik strerilisasi yang
cermat, dan screening terhadap hewan yang jaringan parunya akan dijadikan
bahan pembuat surfaktan. Pada awal penelitian klinis terapi surfaktan alami,
dipikirkan bahwa akan terjadi respon imunologis terhadap protein surfaktan,
namun pada 2 penelitian yang dilakukan di inggris menunjukkan bahwa tidak
didapatkan antibodi spesifik terhadap protein surfaktan pada serum bayi yang
diterapi dengan surfaktan alami.19
Secara teknis, saat pemberian surfaktan dapat terjadi hipoksia dan
bradikardi sementara yang timbul akibat obstruksi jalan nafas ataupun timbul
sumbatan mucus pada endotrakeal tube. Juga dapat terjadi refluk surfaktan ke
faring dari endotrakeal tube. Pada beberapa literatur dinyatakan bahwa segera
setelah pemberian surfaktan dapat terjadi penurunan sementara tekanan darah,
penurunan sementara kecepatan aliran darah otak, penurunan sementara
konsentrasi oksihemoglobin atak, dan penurunan sementara aktivitas otak. 19
Secara garis besar, komplikasi pemberian surfaktan berkaitan dengan
lambatnya pemberian surfaktan atau akibat peningkatan tekanan jalan nafas saat
pemberian. Pada beberapa penelitian, pernah dilaporkan terjadinya perdarahan
paru, walaupun mekanisme pasti terjadinya perdarahan paru belum jelas, namun
diperkirakan bahwa peningkatan ventilasi dan penurunan resistensi pembuluh
darah paru yang terjadi setelah pemberian surfaktan mengakibatkan shunt dari kiri
ke kanan melalui ductus arteriosus, yang selanjutnya menyebabkan edema paru
hemorragis. Mekanisme terjadinya perdarahan paru yang dijelaskan secara invitro

17
yaitu akibat sitotoksisitas secara langsung, dimana hal ini dipengaruhi oleh jenis
dan dosis surfaktan.19
Perdarahan paru dilaporkan terjadi pada lebih dari 6% bayi premature yang
diterapi dengan surfaktan, dan memiliki ciri khas yaitu terjadi 72 jam pertama
setelah pemberian terapi surfaktan. Secara umum gambaran klinis perdarahan
paru yang terjadi setelah pemberian surfaktan yaitu timbulnya perburukan
oksigenasi dan ventilasi yang diikuti gangguan kardiovaskuler yang timbul secara
akut.19

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Respiratory Distress Syndrome merupakan penyebab terbanyak dari angka
kesakitan dan kematian pada bayi prematur. Hal ini disebabkan adanya defisiensi
surfaktan yang menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara,
sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang
menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak
napas. Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada
bayi prematur dengan RDS.
Berdasarkan penelitian,surfaktan merupakan terapi yang penting dalam
menurunkan angka kematian dan angka kesakitan bayi prematur. Disebut terapi
profilaksis bila surfaktan diberikan pada waktu pertolongan pertama pada bayi
prematur yang baru lahir melalui endotrakheal tube. Sampai saat ini masih ada
perbedaan pendapat tentang waktu pemberian surfaktan, apakah segera setelah
lahir (pada bayi prematur) atau setelah ada gejala Respiratory Distress Syndrome.
Alasan yang dikemukakan sehubungan dengan pemberian profilaksis
berhubungan dengan epithel paru pada bayi prematur akan mengalami kerusakan
dalam beberapa menit setelah pemberian ventilasi.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Monintja HE, Aminullah A, Boedjang RF, Amir I, penyunting. Sindrom


gawat nafas pada neonatus. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI XXIII. FKUI; 1991 8-9 Juli;
Jakarta: Balai Penerbit FKUI,1991.
2. Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, Hallman M, Ozek E, Richard P, et
alEuropean consensus guidelines on the management of neonatarespiratory
distress syndrome in preterm infants-2010 update Neonatology 2010; 97(4):
402-17.
3. Latief Abdul. 2007. Penyakit membran hialin. Dalam buku Ilmu Kesehatan
Anak jilid 3. Jakarta; FKUI hal. 1083 – 1087.
4. Honrubia.D, Stark AR. 2004. Respiratory distress syndrome. In : Cloherthy J,
Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of neonatal care.5th editon.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 341-61.
5. Rodriguez RJ, Martin R J, Fanaroff AA. Respiratory Distress Syndrome and
its Management. In: Martin R J, FanaroffAA, editors. Neonatal-Perinatal
Medicine, Disease of the fetus and Infant. 8 th edition. Philadelphia: Elsevier
Mosby; 2006. p. 1097-1122.
6. Whitsett JA, Rice WR, Warner BB, Wert SE, Pryhuber GS. Respiratory
Distress Syndrome. In: MacDonald MG, Mullet MD, Seshia MMK, editors.
Avery’s Neonatology. Patophysiology and Management of the Newborn. 6th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005.p. 560-562.
7. Honrubia.D; Stark.AR. Respiratory Distress Syndrome. Dalam : Cloherthy J,
Eichenwald EC, Stark AR,Eds. Manual of Neonatal Care,edisi 5.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2004:341-61.
8. Rennie JM, Roberton NRC. Respiratory Distress Syndrome. Dalam A
Manual of Neonatal Intensive Care, Edisi 4.London ; Arnold, 2002:128-78.
9. Tobing, 2014. Sindrom Gawat Napas Neonatus. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1.
Available from: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/6-1-6.pdf.

20
10. Pusponegoro TS. Penggunaan Surfaktan pada Sindrom Gawat Nafas
Neonatal. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak no 27, Nopember
1997; 89-96.
11. Poynter.S, Marie Ann. Surfactan biology and clinical application. Crit Care
Clin, 2003;19:459-73.
12. Worthman.L. Surfactan Protein A (SP-A) affects Pulmonary Surfactant
Morphology and Biophysical Properties. Department of Biochemistry
Memorial University of Newfoundland, St. John’s, Newfoundland,1997;1-
130.
13. Finer.N. Surfactant use for neonatal lung injury: beyond respiratory distress
syndrome. Paediatric Respiratory Reviews 2004;289-97.
14. Bailey TC, Veldhuizen R. The Physiological Significance of a Dysfunctional
Lung surfactant. In: Lenfant C. Lung Surfactant Function and Disorder. Vol
201. Taylor & Francis Group , 2005.p. 263-270.
15. Golde GD, Barbara JS. Respriatory Tract Disorder. In: Klegman RM,
Behrman RE, Jenson HB. Nelson Text Book of Pediatrics. 18th
edition.Philadelphia: Saunders; 2007. p.731-740.
16. Suresh GK, Soll RF. Pharmacologic Andjuncts II, Exogenous Surfactants. In:
oldsmith JP, Karotkin EH, editors. Assisted Ventilation of The Neonate. 4 ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006.p. 329-343.
17. Griese. M. Pulmonary surfactant in health and human lung diseases: state of
the art. Eur. Respir. J. 1999;13:1455-76.
18. Engle WA and the Committee on Fetus and Newborn. Surfactant-
Replacement Therapy for Respiratory Distress in the Preterm and term
Neonate. Pediatrics 2008;12:;419-432.
19. Sri UF, Herman B, Julniar MT. Terapi Surfaktan Pada Penyakit Membran
Hyalin. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 2016:3:(3):194-202.
20. Ainsworth SB, McCormack K. Exogenaus surfactant and neonatal lung
disease : An update on the curent situation. J of Neo Nurs 2004;10;1:6-11.
21. Morley C, Davis P. Surfactant treatment for premature lung disorders: A
review of best practices in 2002. Paed Respiratory Reviews 2004;299304.

21
22. Morley CJ. Systematic review of prophylactic vs rescue surfactant.
Arch.Dis.Child. Fetal Neonatal Ed 1997;77;70-74.
23. Nur A, Risa E, Sylviati MD, Fatimah I, Agus H. Pemberian surfaktan pada
bayi prematur dengan respiratory distresss syndrome. SMF Ilmu Kesehatan
anak FK.UNAIR/RSUD Dr.Soetomo. 2006.
24. Anonymous (Editorial). Recommendations for neonatal surfactant therapy.
Paediatric Child Health. 2005;10:109-116.
25. Stewart DL, Update on Respiratory Distress Syndrome of the Neonate. Nort
America Phramacotherapy.2004; 2:1-6.
26. Kumar P, Kiran PS. Changing Trends in Management of Respiraory Distress
Syndrome (RDS). Indian J Pediatr. 2004;71(1): 49 - 54.
27. Freddi AN, Filho JO, Exogenous surfactant therapy in pediatrics. Exogenous
surfactant therapy in pediatrics. Jomal de Pediatria. 2003;79:205-207
28. Hörbar JD, Carpenter JH, Buzas j, Soll rf, Suresh G, Bracken MB, et all.
Timing of Initial Surfactant Treatment for Infants 23 to 29 Weeks’ Gestation
Is Routine Practice Evidence Based? Pediatrics.2004;113;1593-1599.

22

Anda mungkin juga menyukai