Hipertiroidi (penyakit Graves, PG) atau juga disebut tirotoksikosis adalah suatu keadaan
akibat peningkatan kadar hormon tiroid bebas dalam darah. Dikenal beberapa penyakit yang
dapat menyebabkan hipertiroidi dengan penyebab tersering toxic diffuse goiter dan toxic nodular
goiter, baik jenis multinoduler maupun soliter (Sumanggar, 1981).
Pada kasus ini, pasien didiagnosa hipertiroid oleh dokter dan didukung oleh hasil
pemeriksaan laboratorium, dimana terjadi peningkatan kadar T3 dan T4 masing-masing menjadi
400 ng/dL dan 20 ug/dL dengan kadar TSH 0,2 mIU/L. Saat ini pasien belum mendapatkan
terapi untuk hipertiroid yang dialaminya sehingga dapat dikategorikan mengalami DRP. Setelah
dilakukan FIR, diketahui pasien dalam keadaan hamil, sehingga kami merekomendasikan
Methimazole. Sesuai dengan guidline, methimazole (obat antitiroid) yang digunakan untuk ibu
hamil trimester kedua.
Evidence Terkait Terapi
Menurut carney et al, 2014, terapi dan ajustmen dosis methimazole pada pasien hypetiroid
dengan kehamilan sebagai berikut
Pada kasus ini pasien sedang hamil trimester 2 sehingga methimazole aman
digunakan pada pasien ini. Jika dilihat dari aspek farmakokinetika obat, methimazole lebih
unggul dari PTU karena waktu paruh methimazole lebih panjang dari PTU sehingga frekuensi
konsumsi obat pada pasien ini lebih sedikit dan hal tersebut juga akan mempengaruhi
kepatuhan pasien dalam pengobatan. Selain itu, berikut merupakan beberapa kelebihan
methimazole jika dibandingkan dengan PTU( Cooper S David, 2003):
Tabel di atas membandingkan rekomendasi ATA dan Endocrine Society tentang
manajemen hipertiroid selama kehamilan. Penggunaan propylthiouracil (PTU) telah
direkomendasikan oleh kedua organisasi selama trimester pertama kehamilan, diikuti oleh
methimazole (MMI) setelah trimester pertama.
Tidak ada pengobatan tunggal yang terbaik untuk semua pasien hipertiroidisme. Pilihan yang
tepat untuk perawatan akan dipengaruhi oleh usia, jenis hipertiroidisme yang dimiliki, tingkat
keparahan hipertiroidisme, dan kondisi medis lainnya yang mungkin mempengaruhi kesehatan
(American Thyroid Association, 2018).
Ada 2 kelas ATD yang tersedia: thiouracil (propylthiouracil (PTU)) dan imidazole
(methimazole (MMI), carbimazole dan thiamazole). PTU disarankan sebagai obat pilihan dalam
kondisi berikut: selama trimester pertama kehamilan; badai tiroid atau krisis tiroid; dan di antara
mereka yang memiliki riwayat alergi atau intoleransi terhadap obat anti-tiroid dan yang menolak
untuk menjalani yodium radioaktif atau terapi bedah. dosis awal, dosis yang lebih tinggi
disarankan (10-20 mg setiap hari) untuk mengembalikan euthyroidism, setelah itu dosis dapat
dititrasi ke tingkat pemeliharaan (umumnya 5-10 mg setiap hari). Methimazole (MMI) memiliki
manfaat administrasi sekali sehari dan mengurangi risiko efek samping utama dibandingkan
dengan PTU. Penilaian serum T4 bebas harus diperoleh sekitar 4 minggu setelah memulai terapi,
sampai tingkat euthyroid dicapai dengan dosis minimal obat. Setelah pasien mengalami eutiroid,
pengujian biokimia dan evaluasi klinis dapat dilakukan pada interval 2–3 bulan. Sebelum
memulai terapi obat antitiroid, meminta tes darah awal, terutama jumlah sel darah putih, bilirubin
dan transaminase dapat dipertimbangkan.
Prognosis
Prognosis GD direfleksikan dengan baik dengan tingkat remisi dan relaps. Tingkat remisi di
kalangan orang dewasa lebih tinggi daripada anak-anak. ATD dapat menyebabkan remisi
permanen dalam 30-50% kasus. Jika kambuh terjadi pada pasien GD yang diobati dengan ATD,
maka terapi destruktif lebih mungkin menjadi pilihan yang lebih tepat. Setelah 12-18 bulan
pemberian ATD, sekitar lebih dari 50% pasien akan mengalami kekambuhan. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa tingkat TSH-R Ab yang tinggi sebelum penghentian terapi diduga
terkait dengan tingkat relaps yang tinggi. Perbandingan T3 / T4 lebih dari 20 terkait dengan lebih
dari 80% risiko kambuh. Tingkat TSH rendah 4 minggu setelah penghentian ATD telah
berkorelasi dengan kejadian kekambuhan pada 70% kasus. Ada korelasi antara volume tiroid dan
aliran darah, di mana temuan ini memperkuat korelasi yang diketahui sebelumnya antara struma
besar dan risiko tinggi untuk kambuh (The Indonesian Society of Endocrinology, 2012).
Kehamilan
Pasien dengan GD memerlukan pengobatan yang cepat dengan ATD dan harus menjalani
pemantauan sering untuk tanda-tanda hiper dan hipotiroidisme janin dan ibu. ATD sekarang
dianggap sebagai terapi utama untuk hipertiroid selama kehamilan untuk membantu mencegah
komplikasi perinatal.
Propylthiouracyl dan methimazole harus digunakan untuk hipertiroidisme karena GD
yang membutuhkan perawatan selama kehamilan. Propylthiouracil harus digunakan ketika terapi
obat antithyroid dimulai selama trimester pertama. Methimazole harus digunakan ketika terapi
obat antitiroid dimulai setelah trimester pertama. Dosis awal PTU yang dianjurkan adalah 100
hingga 450 mg setiap hari, tergantung pada gejala dan hasil tes fungsi tiroid. Total dosis dibagi
menjadi 3 dosis harian. Methimazole dapat dimulai pada 10 hingga 20 mg setiap hari dalam 1
dosis. Dosis ATD harus dijaga serendah mungkin. Terapi penggantian blok yang terdiri dari ATD
plus levothyroxine tidak boleh digunakan dalam kehamilan. Jika seorang wanita yang menerima
terapi tersebut menjadi hamil, terapi harus diubah menjadi ATD saja. Adrenergik blocker, seperti
propranolol, 10 hingga 40 mg setiap 4 hingga 6 jam, atau atenolol, 25 hingga 50 mg setiap hari,
juga direkomendasikan untuk pengobatan gejala hiperadrenergik hadir di hipertiroidisme, tetapi
harus dihentikan setelah gejala membaik atau dalam beberapa minggu pertama pengobatan.
TSH terdeteksi adalah indikasi untuk mengurangi dosis obat antitiroid. Pasien yang
mencapai euthyroidism dengan dosis minimal ATD dan memiliki durasi singkat dari gejala, titer
TRAb yang tidak terdeteksi atau rendah, dan gondok kecil mungkin dapat menghentikan ATD
selama 4 hingga 8 minggu kehamilan. Menghentikan pengobatan sebelum usia kehamilan 32
minggu tidak dianjurkan karena kemungkinan hipertiroid dapat kambuh.
Menyusui
Pemberian ASI dengan mengkonsumsi PTU dan Methimazole keduanya muncul dalam
ASI dalam konsentrasi kecil. Namun, karena potensi untuk berkembang menjadi nekrosis hati
baik ibu atau anak, penggunaan PTU pada ibu adalah ATD yang lebih disukai pada ibu
menyusui.
Radioaktif
Terapi dengan iodium-radioaktif dikontraindikasikan selama kehamilan. Propiltiourasil
dan karbimazol dapat diberikan tetapi tidak boleh memberikan blocking-replacement regiment.
Propiltiourasil dan karbimazol dapat melewati sawar plasenta dan pada dosis tinggi dapat
menyebabkan goiter pada janin dan hipotiroidisme. Dengan demikian dipakai dosis terkecil yang
dapat digunakan untuk mengontrol hipertiroid (pada Grave’s disease kebutuhan obat cenderung
menurun selama kehamilan). Meskipun jarang karbimazol jarang dikaitkan dengan kejadian
aplasia cutis pada neonatus. Karbimazol dan propiltiourasil masuk dalam ASI tetapi hal ini tidak
menghalangi pemberian ASI selama tumbuh kembang bayi dimonitor secara ketat dan digunakan
dosis obat paling rendah yang efektif (Pionas, 2015).
Pada metode titrasi pemberian dosis disesuaikan dengan kondisi hipertiroidisme masing-
masing pasien. Dosis awal untuk methimazole 15 – 40 mg/hari diberikan single dose dan dosis
awal untuk propylthiouracil 300 – 400 mg/hari diberikan multiple dose. Prinsip dari regimen
dosis dengan metode titrasi adalah mencapai kondisi euthyroid secepatnya dan menghindari
kondisi hipotiroidisme. Apabila kadar TSH serum meningkat dan kadar T4 telah mencapai
kondisi euthyroid maka dosis obat anti tiroid diturunkan hingga mencapai dosis efektif minimal
yang menghasilkan efek (Bartalena, 2011). Menurut Abraham et al (2005), pemberian obat anti
tiroid dengan metode titrasi memberikan efikasi yang setara dengan metode block and
replacement. Keunggulannya efek samping berupa rash dan agranulositosis lebih jarang terjadi
pada metode titrasi. Namun pada metode ini durasi pengobatan yang dibutuhkan lebih lama
dibandingkan dengan metode block and replacement, rata-rata selama 12 – 24 bulan, dan perlu
dilakukan kontrol rutin untuk mengetahui profil TSH dan hormon tiroid darah untuk penyesuaian
dosis.
PLANNING
Farmakologi
Nama Obat Indikasi Dosis
Disarankan menggunakan
Methimazole Hipertiroid
Methimazole 2 kali sehari 10 mg.
Monitoring
a. Efektifitas
Methimazole: evaluasi status tiroid pada pasien yang memakai ATD, dan penting bahwa pasien
memahami pentingnya. Penilaian T4 serum bebas harus diperoleh minimal 4 minggu setelah
memulai terapi, dan dosis pengobatan disesuaikan. Serum T3 mungkin juga dimonitoring. Sesuai
interval pemantauan setiap 4-8 minggu sampai tingkat euthyroid dicapai dengan dosis terapeutik
yang minimal. Setelah pasien mengalami eutiroid, uji biokimia dan evaluasi klinis dapat
dilakukan dengan interval 2–3 bulan. Pengukuran kadar T4 bebas dan kadar TSH juga
diperlukan sebelum memulai terapi emnggunakan ATD.
b. Efek samping
Methimazole: efek samping yang paling sering dilaporkan untuk penggunaan ATD seperti
methimazole adalah rash atau kemerahan pada kulit serta resiko toksisitas pada organ hati.
Sumanggar Ps. Thyrotoxicosis di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Palembang. Dalam :
Naskah Lengkap KOPAPDI V, Jilid I. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP — RS Kariadi,
Semarang 1981, hal. 53.
The Indonesian Society of Endocrinology. 2012. Indonesian Clinical Practice Guidelines for
Hyperthyroidism. Philippines. Journal of Asean Federation of Endocrines Societies. Volume
27(1). Page 34-39. Available at: http://asean-
endocrinejournal.org/index.php/JAFES/article/view/10
Abraham, P., Avenell, A., Park, C.M., Watson, W.A. dan Bevan, J.S., 2005, A Systematic
Review of Drug Therapy for Graves’ Hyperthyroidism, European Journal of Endocrinology 153,
489–498.
Cooper David, S. 2003, Obat Antitiroid dalam Pengelolaan Pasien dengan Penyakit Graves:
Pendekatan Berbasis Bukti untuk Kontroversi Terapi. Fakultas Kedokteran Universitas Johns
Hopkins, Divisi Endokrinologi, Rumah Sakit Sinai Baltimore