Penanganan
6.1 Penanganan Non Farmakologi
1. Perbaiki Asupan Nutrisi Untuk Tubuh
Asupan nutrisi yang kurang dalam tubuh dapat menjadi penyebab
munculnya penyakit tiroid. Nutrisi yang diperlukan untuk proses penyembuhan
penyakit tiroid antara lain: Selenium (Mineral tubuh yang membantu kelenjar
tiroid untuk berfungsi normal karena selenium membantu mengubah T4 menjadi
bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh), iodium, tembaga, zat besi, omega-3,
minyak ikan, minyak kelapa, vitamin A, vitamin C, vitamin E, dan antioksidan.
Perbanyak makanan yang mengandung serat karena serta dapat menyebabkan rasa
kenyang dan dapat membantu dalam penurunan berta badan dan kejadian
konstipasi. Diet sehat juga perlu dilakkan karena berat badan berlebih akan
membuat timbunan kelenjar gondok semakin parah (Wisconsin, 2017).
3. Tiroidektomi
Tiroidektomi merupakan prosedur pembedahan pada kelenjar tiroid.
Pembedahan kelenjar tiroid harus dilakukan pada pasien dengan besar kelenjar
tiroid (>80 gram), ophthalmopathy berat, atau pilihan bagi pasien yang
kontraindikasi atau menolak pengobatan dengan obat antitiroid dan iodin
radioaktif (Dipiro et al., 2016).
1
Mekanisme: Memblok sintesis hormon tiroid dengan menghambat enzim
peroksidase, mencegah oksidasi iodida menjadi iodotirosin dan menghambat
coupling MIT dan DIT untuk membentuk T4 dan T3. Efek samping minor meliputi
ruam makulopapular pruritus, artralgia, demam, dan leukopenia sementara jinak
(jumlah sel darah putih <4000/ mm3). Efek samping utama meliputi
agranulositosis (Dengan demam, malaise, gingivitis, oropharingeal infeksi, dan
jumlah granulosit <250/ mm3), anemia aplastik, sindroma mirip lupus,
polimiositis, Intoleransi GI, hepatotoksisitas, dan hipoprotrombinemia (Dipiro et
al., 2016). Contoh obat golongan ini adalah propiltiourasil (PTU), Methimazole
(MMI), dan Karbimazole.
a. Propiltiourasil (PTU)
Propiltiourasil atau biasa disingkat PTU merupakan obat antitiroid golongan
thionamide. Obat ini bekerja dengan cara menghambat kerja enzim tiroid
peroxidase dan mencegah pengikatan iodin ke tiroglobulin, sehingga mencegah
produksi hormon tiroid. Keuntungan propiltiourasil dibandingkan methimazole
adalah propiltiourasil dosis tinggi dapat mencegah konversi tiroksin (T4) menjadi
bentuk aktif triiodotironi (T3) di perifer, sehingga merupakan terapi pilihan dalam
badai tiroid (Thyroid Storm) atau peningkatan hormon tiroid secara akut. Dosis
PTU 300-600 mg/hari dalam tiga sampai empat dosis terbagi (Dipiro et al., 2016).
Propiltiourasil yang digunakan secara per oral hampir sepenuhnya
terabsorpsi disaluran gastrointestinal, karena durasi kerjanya yang hanya 12 24
jam maka PTU harus digunakan beberapa kali sehari (multiple dose).
Propiltiourasil tidak menjadi terapi lini pertama pada pengobatan hipertiroidisme
karena kepatuhan pasien yang rendah dan efek samping berat, seperti
agranulositosis (Hackmon et al., 2012).
2
yang lebih baik dibandingkan propiltiourasil dan merupakan metabolit aktif dari
karbimazole. Karbimazole merupakan bentuk pro-drug dari methimazole. Di
dalam tubuh, karbimazole akan diubah menjadi bentuk aktifnya methimazole
dengan pemotongan gugus samping karboksil pada saat metabolisme fase satu
(Bahn et al., 2011).
Mekanisme kerja methimazole dalam mengobati hipertiroidisme sama
seperti propiltiourasil yaitu menghambat kerja enzim tiroid peroksidase dan
mencegah pembentukan hormon tiroid namun tidak memiliki efek mencegah
konversi T4 ke T3. Obat ini digunakan secara per oral dan hampir terabsorpsi
sempurna di saluran cerna, durasi aksinya yang panjang yaitu sekitar 40 jam.
Dosis methimazole: 30-60 mg/hari dan karbimazole: 20-40 mg/hari digunakan
satu kali sehari (single dose) (NIDDK, 2012).
Propiltiourasil dan methimazole dapat digunakan sebagai terapi tunggal
pada hipertiroidisme yang diakibatkan oleh Graves Disease maupun pada pasien
yang akan menerima terapi radioiodine dan tiroidektomi. Evidence menyatakan
bahwa kedua obat tersebut dapat diberikan dalam satu dosis harian. Durasi
pengobatan minimal 18 24 bulan, bila tetap terkendali dan stabil maka obat
dapat dihentikan. (Dipiro et al., 2016).
3
Gambar 1. Manajemen Hipertiroid dengan ATD (Antithyroid Drugs)
2. Iodides
Iodide adalah obat yang sudah lama digunakan dalam pengobatan
hipertiroid. Mekanisme kerja iodide dengan memblok pelepasan hormon tiroid,
menghambat biosintesis hormon tiroid dengan mengganggu penggunaan iodida
intratiroid dan menurunkan ukuran dan vaskularitas dari kelenjar. Iodida sering
digunakan sebagai terapi tambahan untuk persiapan pasien yang mengalami
operasi Graves Disease dan untuk pasien dengan tirotoksis tinggi dengan
dekompensasi jantung (Dipiro et al., 2016).
Contoh obat iodide adalah kalium iodida tersedia sebagai larutan jenuh
(SSKI, 38 mg iodide per tetes) atau sebagai larutan Lugol yang mengandung 6,3
mg iodida per tetes. Dosis awal SSKI 3-10 tetes setiap hari (120-400 mg) dalam
air, jika digunakan untuk operasi sebaiknya diberikan 7 sampai 14 hari sebelum
operasi. Sebagai tambahan untuk RAI, SSKI tidak boleh digunakan sebelumnya,
melainkan 3-7 hari setelah RAI. Efek samping iodide adalah reaksi
hipersensitifitas (Ruam kulit, demam obat, rinitis, konjungtivitis), pembengkakan
kelenjar ludah, "iodisme" (Rasa logam, mulut terbakar dan tenggorokan, sakit gigi
4
dan gusi, gejala kepala dingin, dan terkadang sakit perut dan diare), dan
ginekomastia (Dipiro et al., 2016).
5
Gambar 2. Rangkuman manajemen hipertiroidisme. BB: -blocker, CCB:
calcium channel blockers, GD: graves disease, TMNG: toxic nodular goitre,
TED: thyroid eye disease, CI: contraindication (King dan Ajjan, 2012).
6
Tabel 2. Klasifikasi Tipe AIT (King dan Ajjan, 2012).
2. Kehamilan
Pasien yang menerima perawatan ATD (Anti Thyroid Drug) disarankan
mengubah pengobatan dari thionamide ke levotiroksin karena thionamide akan
melewati plasenta tapi levotiroksin tidak akan. Namun pada kehamilan trimester
pertama, propiltiourasil merupakan obat pilihan pertama pada pasien
hipertiroidisme. Hal ini disebabkan sifat PTU yang kurang larut lemak dan ikatan
dengan albumin lebih besar menyebabkan obat yang akan transfer ke plasenta
lebih kecil dibandingkan methimazole. Tapi perlu diperhatikan juga bahwa
thionamida dapat meningkatkan resiko gondok janin dan hipotiroidisme
(Hackmon et al., 2012).
Dosis dikurangi sampai serendah mungkin untuk mempertahankan
eutiroidisme dengan T4 pada batas atas referensi dan pada tahap akhir kehamilan
tidak jarang berhenti sama sekali saat kondisinya mengalami remisi (King dan
Ajjan, 2012). Penggunaan methimazole pada kehamilan terutama trimester
pertama tidak direkomendasikan karena efek teratogenik methimazole
menyebabkan malformasi kongenital seperti aplasia cutis dan choanal atresia,
sehingga pada pasien hipertiroidisme yang sedang hamil trimester pertama yang
sedang mengonsumsi methimazole perlu dilakukan penggantian terapi ke
propiltiourasil (Bahn et al., 2011).
7
Iodida dapat dengan cepat menghalangi pelepasan hormon tiroid,
seharusnya diberikan setelah thionamide untuk menghambat penggunaan iodida
oleh kelenjar yang terlalu aktif (Dipiro et al., 2016).
b. Terapi antiadrenergik
Terapi antiadrenergik dengan agen short-acting esmolol lebih disukai
karena dapat digunakan pada pasien dengan penyakit paru atau berisiko
mengalami gagal jantung dan efeknya cepat (Dipiro et al., 2016).
c. Pemberian kortikosteroid
Kortikosteroid umumnya direkomendasikan, namun tidak ada bukti yang
meyakinkan insufisiensi adrenokortikal dalam badai tiroid; manfaatnya dapat
dikaitkan dengan tindakan antipiretik dan stabilisasi tekanan darah (Dipiro et al.,
2016).
d. Pengobatan komplikasi
Tindakan pendukung umum, termasuk acetaminophen sebagai antipiretik
(aspirin atau obat anti-inflamasi nonsteroid lainnya dapat menggantikan hormon
tiroid terikat), penggantian cairan dan elektrolit, obat penenang, digoksin,
antiaritmia, insulin, dan antibiotik harus diberikan seperti yang ditunjukkan oleh
tabel di bawah ini (Dipiro et al., 2016).
Tabel 3. Manjemen Penggunaan Obat Pada Thyroid Storm (Dipiro et al., 2016).
Obat Regimen
Propiltiourasil (PTU) 900-1200 mg/hari oral 4-6 dosis
terbagi
Methimazole (MMI) 90-120 mg/hari oral 4-6 dosis terbagi
Kalium Iodida (KI) Sampai 2 g/hari IV tunggal/dosis
terbagi
Larutan Lugol 5-10 tetes tiga kali sehari dengan air
Larutan Jenuh KI 1-2 tetes tiga kali sehari dengan air
Propranolol 40-80 mg tiap 6 jam
Deksametason 5-20 mg/hari oral/ IV dalam dosis
terbagi
8
Prednison 25-100 mg/hari IV dalam dosis terbagi
Metilprednisolon 20-80 mg/hari IV dalam dosis terbagi
Hidrokortison 100-400 mg/hari IV dalam dosis
terbagi
6.2.3 Hipotiroid
1. Thyroid Hormon Replacement Therapy
Levotiroksin (l-thyroxine, T4) adalah obat pilihan pengganti hormon tiroid
dan terapi supresi karena secara kimiawi stabil, relatif murah, bebas dari
antigenisitas, dan memiliki potensi yang seragam. Pemberian levotiroksin
menghasilkan hormone tiroid yang mudah dan konsisten dikonversi ke T3. Pada
pasien dengan penyakit lama dan orang tua tanpa riwayat jantung terapi dimulai
dengan dosis levotiroksin 50 mcg/ hari dan meningkat setelah 1 bulan. Dosis awal
9
yang dianjurkan untuk pasien yang lebih tua dengan riwayat penyakit jantung
adalah 25 mcg/ hari (Dipiro et al., 2016). Dosis kebanyakan untuk orang dewasa
adalah 75-150 mcg/ hari, tergantung berbat badan pasien (King dan Ajjan, 2012).
Kolestiramin, kalsium karbonat, sukralfat, alumunium hidroksida, ferrous
sulfat, kedelai, suplemen serat makanan, dan kopi espresso dapat mengganggu
penyerapan levotiroksin di gastrointestinal. Obat yang meningkatkan clearance
T4 nondeiodinatif termasuk rifampisin, karbamazepin, fenitoin, dan Amiodarone
bisa menghalangi konversi T4 ke T3 (Dipiro et al., 2016).
Liothyronine (T3 sintetis) memiliki potensi yang seragam namun memiliki
insidensi yang lebih tinggi efek samping jantung, biaya lebih tinggi, dan kesulitan
dalam pemantauan dengan konvensional tes laboratorium. Liotrix (T4 sintetis: T3
dalam rasio 4: 1) stabil secara kimiawi, murni, dan memiliki kemampuan yang
dapat diprediksi. Potensi tapi mahal. Ini tidak memiliki alasan terapeutik karena ~
35% dari T4 adalah dikonversi ke T3 periferal. Dosis hormon tiroid yang
berlebihan dapat menyebabkan gagal jantung, angina pektoris, dan infark miokard
(MI) (Dipiro et al., 2016).
10
6.2.4 Kasus Khusus Hipotiroid
1. Mycedema Coma
Miksidema Koma adalah keadaan hipotiroid yang parah. Penangannnya
adalah terapi segera dan agresif dengan bolus levotiroksin IV, 300 sampai 500
mcg. Pengobatan awal dengan IV liothyronine atau kombinasi kedua hormon juga
telah dianjurkan karena adanya gangguan konversi T4 menjadi T3. Berikan terapi
glukokortikoid dengan hidrokortison IV 100 mg setiap 8 jam sampai supresi
adrenal. Kesadaran, menurunkan konsentrasi TSH, dan perbaikan tanda vital
diharapkan dalam waktu 24 jam. Pemeliharaan dosis levotiroksin biasanya 75
sampai 100 mcg IV sampai pasien stabil dan terapi oral dimulai. Berikan terapi
suportif untuk menjaga ventilasi, euglycemia, tekanan darah, dan suhu tubuh.
Mendiagnosa dan mengobati gangguan yang mendasarinya miksidema, seperti
sepsis dan MI (Dipiro et al., 2016).
2. Kehamilan
Selama kehamilan, kebutuhan tiroksin meningkat sekitar 50% dan sangat
penting bahwa semua wanita hamil tiroksin ditinjau secara teratur selama
kehamilan sehingga perubahan dosis bisa dilakukan. Dianjurkan agar TSH
dipertahankan di ujung bawah rentang referensi selama kehamilan, dengan bebas
T4 di kisaran atas normal. Levothyroxine adalah obat pilihan untuk wanita hamil,
dan tujuannya adalah untuk menurunkan TSH ke kisaran rujukan normal untuk
kehamilan (Dipiro et al., 2016).
11
Gambar 5. Manajemen kasus khusus hipotiroidisme. LT4: levotiroksin, TSH:
thyroid stimulating hormone, TPOAb: thyroid peroksidase antibodies, ICU:
intensive care unit (King dan Ajjan, 2012).
12
7. Evaluasi Hasil Terapi
7.1 Evaluasi Hasil Terapi Hipertiroid
Setelah terapi (thionamides, RAI, atau operasi), evaluasi pasien setiap bulan
sampai mencapai kondisi euthyroid. Menilai gejala klinis tirotoksikosis lanjutan
atau perkembangan hipotiroidisme. Setelah penggantian T4 dimulai, tujuannya
adalah untuk mempertahankan tingkat T4 bebas dan konsentrasi TSH dalam
kisaran normal. Setelah dosis T4 yang stabil diketahui, monitor pasien setiap 6
sampai 12 bulan (Dipiro et al., 2016).
13
DAFTAR PUSTAKA
Bahn, R.S., Burch, H.B., Cooper, D.S., Garber, J.R., Greenlee, M.C., Klein, I.,
Laurberg, P., McDougall, I.R., Montori, V.M., Rivkees, S.A., Ross, D.S.,
Sosa, J.A., dan Stan, M.N. 2011. Hyperthyroidism and Other Causes of
Thyrotoxicosis: Management Guidelines of The American Thyroid
Association and American Association of Clinical Endocrinologists. Endocr
Pract 17 (3): 593-646
Dipiro, J.T., Dipiro,C.V., Wells, B.G., dan Schwinghammer, T.L. 2015.
Pharmacotherapy Handbook. 9th edition. McGraw-Hill: United States.
Hackmon, R., Blichowski, M., dan Koren, G. 2012. The Safety of Methimazole
and Propylthiouracil in Pregnancy: A Systematic Review. J Obstet Gynaeco
Can 34(11): 10771086.
King, R and Ajjan, R.A. 2012 Tratment Modalities in Thyroid Dysfunction.
Tersedia online di https://www.intechopen.com/books/thyroid-and-
parathyroid-diseases-new-insights-into-some-old-and-some-new-
issues/treatment-modalities-in-thyroid-dysfunction [Diakses pada 21
September 2017].
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK).
2012. Graves Disease. National Institutes of Health Publication 12-6217:
1-11.
Wisconsin. 2017. Integrative Treatment of Hypothyroidism. Tersedia online di
http://www.fammed.wisc.edu/files/webfm-
uploads/documents/outreach/im/module_thyroid_patient.pdf [Diakses pada
21 September 2017].
14