lokal dexmedetomidin pada kaki belakang tikus efektif melawan induksi karagenan yang menyebabkan inflamasi. Ini mengindikasikan bahwa dexmedetomidin dapat digunakan untuk mengobati inflamasi akut. • Pada penelitian, injeksi lokal lebih dari 10 µM dexmedetomidin akan menurunkan secara signifikan 50% batas penarikan kaki belakang tikus pada tempat injeksi karagenan di bagian bawah kaki belakang dan efek ini berbanding terbalik pada injeksi yohimbine pada kaki belakang tikus. Penyuntikan kembali secara sistematik dexmedetomidin pada 100 µM juga meningkatkan batas penarikan kaki belakang tikus pada tempat injeksi karagenan di bagian bawah kaki belakang. Bagaimanapun, peningkatan batas dengan penginjeksian dexmedetomidin tidak berbanding terbalik dengan injeksi yohimbin pada kaki belakng tikus. Ini mengindikasikan bahwa kedua injeksi lokal dexmedetomidin dan injeksi sistematik dexmedetomidin memperlihatkan anti infalmasi, mekanisme injeksi lokal dexmedetomidin mungkin berbeda dari injeksi sistematik. • Penginjeksian secara sistematik dari dexmedetomidin pada dosis tinggi akan menginduksi efek analgesik dan injeksi dexmedetomidin secara sistematik akan memiliki efikasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan injeksi lokal karena penginjeksian kembali 100 µM dexmedetomidin hampir mengembalikan level basal sementara bagian bawah kaki belakang diinjeksikan 10 µM memiliki efek yang terbatas pada penelitian ini • efek samping sistemik dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pada konsentrasi darah dari dexmedetomidin dengan dosis yang lebih tinggi. Dexmedetomidin pada dosis yang lebih tinggi diketahui dapat menginduksi efek samping sistemik, termasuk bradikardia dan hypnosis (Hall et al., 2000; Jung et al., 2011). • Hal ini berarti akan dibandingkan administrasi dexmedetomidin secara aman untuk manajemen rasa sakit dengan injeksi lokal dan indeks terapi yang lebih lebar dibandingkan dengan administrasi secara sistemik. • Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Yang pertama adalah penelitian batas penarikan kaki belakang pada respon stimulasi mekanik pada tikus hasilnya adalah reflex yang dihasilkan tidak terlalu berpengaruh pada rasa sakit pasca operasi. • Kedua, yang tidak diungkapkan adalah mekanisme dari efek lokal anti nonsiseptif dexmedetomidin pada tempat inflamasi. • Sebagai hasil dari penelitian yang sebelumnya, telah ditetapkan dexmedetomidin memiliki akris analgesic pada α2- adrenoceptor pada CNS(KamibayashiandMaze,2000). Pada penelitian selanjutnya (Brummett etal.,2011) demonstrasi dexmedetomidin secara langsung memblok hiperpolarisasi pengaktifan kation pada saraf peripheral, hasilnya adalah efek analgesic. Pada penelitian lebih lanjut (Mansikka et al., 2002) didemonstrasikan dexmedetomidin menghambat rasa sakit inflamasi pada mencit, efek dari dexmedetomidin dipengaruhi reseptor µ-opioid. Penelitian ini menyarankan bahwa mekanisme aksi dari dexmedetomidin mungkin lebih kompleks. • Selanjutnya pada penelitian ini, efek anti nonisiseptif pada injeksi lokal dexmedetomidin pada 10 µM telah diblok oleh yohimbin, sangat disarankan bahwa reseptor α2 berkontribusi pada mekanisme anti nonsisepsi pada dexmedetomidin. Lebih jauh lagi, dihipotesakan bahwa peripheral (lokal) reseptor α2 berkontribusi secara utama pada mekanisme efek anti nosiseptif pada lokal dexmedetomidin karena injeksi pada dosis yang sama dari dexmedetomidin ke belakang gagal untuk menginduksi anti nosisepsi pada tempat injeksi karagenan dibawah kaki belakang tikus. • Hasil yang didapatkan menyarankan bahwa lokal dexmedetomidin mungkin mempekerjakan mekanisme yang lain dibanding mediasi lokal reseptor α2 karena lokal yohimbine gagal untuk mengembalikan efek dari lokal dexmedetomidin ke level basal, dan sistemik dexmedetomidin mungkin memiliki efikasi yang lebih dibandingkan dengan administrasi lokal.