Latar belakang Orangtua dengan anak penyandang disabilitas merasa tidak mampu
dalam menyelesaikan tanggung jawab mereka. Hal tersebut dapat
membawa orangtua dengan anak penyandang disabilitas menuju
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami tekanan psikologis,
masalah kesehatan mental, kesehatan yang buruk, masalah
penyesuaian dan rendahnya tingkat psychological well-being (Hayat
& Zafar, 2015). Dengan adanya resiliensi, maka orangtua yang
memiliki anak dengan gangguan autis akan lebih memandang positif
terhadap permasalahan yang terjadi (Muniroh, 2010). Diketahui
bahwa sudah terdapat beberapa penelitian mengenai hubungan
antara resiliensi dengan psychological well-being namun peneliti
belum menemukan penelitian yang mengamati hubungan tersebut
pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis maka dari itu,
peneliti ingin melakukan penelitian mengenai hubungan antara
resiliensi dengan psychological well-being namun dengan subjek
yang berbeda yaitu pada ibu yang mempunyai anak dengan
gangguan autis, karena seperti yang dikemukakan oleh Abbeduto,
Seltzer, Shattuck, & Murphy (2004), ibu dengan anak gangguan autis
kurang mendapatkan dukungan sosial dan diagnosis penyakit anak
yang tertunda menjadikan ibu memiliki tingkat stres yang lebih besar
daripada ibu yang memiliki anak dengan gangguan down syndrome.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat
hubungan antara resiliensi dengan psychological well-being pada ibu
yang memiliki anak dengan gangguan autis.
Kerangka Teoritik Orangtua dengan anak penyandang disabilitas menuju risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami tekanan psikologis, masalah kesehatan
mental, kesehatan yang buruk, masalah penyesuaian dan rendahnya
tingkat psychological well-being (Hayat & Zafar, 2015). Tekanan
tersebut dapat menyebabkan psychological well-being ibu yang
memiliki anak dengan gangguan autis rendah. Akan tetapi, terdapat
faktor-faktor yang mampu mempertahankan atau pun meningkatkan
psychological well-being, yaitu salah satunya adalah kepribadian
individu. Muniroh (2010) mengatakan bahwa dengan adanya
resiliensi, maka orangtua yang memiliki anak dengan gangguan autis
akan lebih memandang positif terhadap permasalahan yang terjadi.
Tidak hanya itu, orangtua juga lebih bisa menerima dengan lapang
dada terhadap permasalahan yang dihadapi sehingga memunculkan
motivasi pada orangtua untuk mencari solusi agar anaknya dapat
mengalami peningkatan dalam perkembangannya. Ryff dan Singer
(dalam Malkoç & Yalçin, 2015) menyatakan bahwa individu yang
resilien mampu mempertahankan kesehatan fisik dan psikologis
milik individu tersebut serta memiliki kemampuan untuk pulih lebih
cepat dari stres. Hal ini menunjukkan bahwa resiliensi memiliki
peran mendasar pada psychological well-being dan juga dianggap
efektif dalam meningkatkan psychological well-being (Fredrickson,
2001; Souri & Hasanirad, 2011; Malkoc & Yalcin, 2015).
Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan metode kuantitatif.
Komentar refleksi Penelitian ini mempunyai kelebihan yaitu mampu melakukan
reviewer penelitian dengan subjek yang berbeda dari biasanya. Hal ini
menunjukkan bahwa penelitian dengan subjek tersebut masih sangat
sedikit dilakukan. Walaupun demikian, penelitian ini menghasilkan
hasil yang signifikan sehingga bisa digunakan sebagai acuan peneliti
selanjutnya.
HUBUNGAN ANTARA RESILIENSI DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-
BEING PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK DENGAN GANGGUAN
AUTIS
1,2
Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedarto, SH, Kampus Undip Tembalang, Semarang, Indonesia 50275
dhiya.athaya@gmail.com
Abstrak
Kebahagiaan dalam keluarga tidak lengkap apabila tidak adanya kehadiran anak namun, tidak selamanya kebahagiaan
akan menetap dikarenakan adanya kendala dalam kehidupan. Salah satu dari kendala tersebut disebabkan terdapat
masalah dalam perkembangan anak, salah satunya adalah anak berkebutuhan khusus. Penelitian ini bertujuan untuk
meneliti hubungan antara resiliensi dengan psychological well-being pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan
autis di Jakarta Selatan. Penelitian ini dilakukan di Klinik Tumbuh Kembang Anak Yamet, Candradimuka Special
Needs School, Sekolah Purba Adhika, SLB Sarana Terpadu, SLBC Winasis, Sekolah Dasar Pantara, Sekolah Alam
Indonesia, dan Sekolah Citra Alam Ciganjur. Populasi penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak dengan gangguan
autis di Jakarta Selatan sejumlah 101 ibu. Sampel penelitian berjumlah 48 ibu yang diperoleh dengan teknik cluster
random sampling. Pengambilan data penelitian menggunakan Skala Psychological
Well-Being (31 aitem, α = 0,906) dan Skala Resiliensi (35 aitem, α = 0,918), yang telah diujicobakan pada 39 ibu.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi sederhana. Hasil penelitian ini
menunjukkan hubungan positif dan signifikan antara resiliensi dan psychological well-being (rxy = 0,87; p < 0,001),
artinya semakin tinggi kemampuan resiliensi ibu maka semakin tinggi pula psychological well-being ibu, dan
sebaliknya. Resiliensi memberikan sumbangan sebesar 77% terhadap psychological well-being.
Abstract
Happiness in the family is incomplete if there is no presence of children but, not always happiness will settle due to
obstacles in life. One of the obstacles is caused because of problems in the children’s development, one of them is a
child with special needs. This study aims to examine the relationship between resilience with psychological wellbeing
in mothers with children with autism disorder in South Jakarta. The research was conducted at Yamet Children Growth
Clinic, Candradimuka Special Needs School, Purba Adhika School, SLB Sarana Terpadu, SLBC Winasis, Pantara
Elementary School, Alam Indonesia School, and Citra Alam Ciganjur School. The population of this study is mothers
who have children with autism disorder in South Jakarta a total of 101 mothers. The sample of this research was 48
mothers and it was obtained by cluster random sampling technique. The data were collected using Psychological Well-
Being Scale (31 aitem, α = 0,906) and Resilience Scale (35 items, α = 0,918), which have been tested on 39 mothers.
Simple regression analysis was used to be the method of analysis in this research. The results of this study indicate a
positive and significant relationship between resilience and psychological well-being (rxy = 0.87, p <0.001). The
higher the ability of mother’s resilience, the psychological well-being of the mother will be high too, and vice versa.
Resilience provides an effective contribution in the amount of 77% on psychological well-being.
Orangtua dengan anak penyandang disabilitas merasa tidak mampu dalam menyelesaikan
tanggung jawab mereka. Orang tua dengan anak penyandang disabilitas menghadapi tantangan
yang lebih besar dibandingkan dengan orang tua yang memiliki anak normal. Hal tersebut dapat
membawa orangtua dengan anak penyandang disabilitas menuju risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami tekanan psikologis, masalah kesehatan mental, kesehatan yang buruk, masalah
penyesuaian dan rendahnya tingkat psychological well-being (Hayat & Zafar, 2015).
Menurut Ryff dan Singer (dalam Wells, 2010) psychological well-being adalah kondisi dimana
seorang individu berfungsi dengan baik yang menggambarkan enam dimensi dalam hidupnya yaitu
penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, menguasai lingkungan, memiliki
tujuan hidup, dan pengembangan diri.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Abbeduto, Seltzer, Shattuck, & Murphy (2004) menunjukkan
adanya kesenjangan psychological well-being antara ibu yang memiliki anak autis dengan ibu yang
memiliki anak down syndrome. Penelitian tersebut melaporkan bahwa ibu yang memiliki anak
autis memiliki psychological well-being yang lebih rendah dikarenakan memiliki tingkat stres
yang lebih besar yang disebabkan kurangnya dukungan sosial. Diagnosis gangguan autis yang
tertunda cukup lama karena pengakuan orangtua yang baru sadar terdapat beberapa masalah
perkembangan yang dihadapi oleh anak serta perilaku-perilaku maladaptif yang ditunjukkan juga
menjadi salah satu penyebab.
Penelitian oleh Cox, Eaton, Ekas, & Enkevort (2015) menemukan bahwa ibu yang memiliki anak
dengan gangguan autis memiliki tingkat psychological well-being yang rendah. Hal tersebut
dikarenakan kecemasan ibu yang bingung jika suatu hari nanti ketika ibu tutup usia, kepada siapa
ibu harus menitipkan anaknya yang mengalami gangguan autis dan apakah orang yang dititipkan
akan mengerti keperluan apa saja yang dibutuhkan oleh anaknya yang mengalami gangguan autis.
Keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus akan melalui proses tertentu yang
memungkinkan keluarga tersebut dapat bertahan dan beradaptasi hingga dapat menjadi sebuah
keluarga yang resilien (Lestari & Mariyati, 2015). Muniroh (2010) dalam hasil penelitiannya
mengatakan bahwa dengan adanya resiliensi, maka orangtua yang memiliki anak dengan gangguan
autis akan lebih memandang positif terhadap permasalahan yang terjadi. Tidak hanya itu, orangtua
juga lebih bisa menerima dengan lapang dada terhadap permasalahan yang dihadapi sehingga
memunculkan motivasi pada orangtua untuk mencari solusi agar anaknya dapat mengalami
peningkatan dalam perkembangannya.
Ryff dan Singer (dalam Malkoç & Yalçin, 2015) menyatakan bahwa individu yang resilien mampu
mempertahankan kesehatan fisik dan psikologis milik individu tersebut serta memiliki
kemampuan untuk pulih lebih cepat dari stres. Oleh karena itu, studi sebelumnya mengenai
resiliensi dan well-being menunjukkan bahwa resiliensi memiliki peran mendasar pada wellbeing
dan juga dianggap efektif dalam meningkatkan psychological well-being (Fredrickson, 2001; Souri
& Hasanirad, 2011; Malkoc & Yalcin, 2015).
Diketahui bahwa sudah terdapat beberapa penelitian mengenai hubungan antara resiliensi dengan
psychological well-being namun peneliti belum menemukan penelitian yang mengamati hubungan
tersebut pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis maka dari itu, peneliti ingin
melakukan penelitian mengenai hubungan antara resiliensi dengan psychological wellbeing namun
dengan subjek yang berbeda yaitu pada ibu yang mempunyai anak dengan gangguan autis, karena
seperti yang dikemukakan oleh Abbeduto, Seltzer, Shattuck, & Murphy (2004), ibu dengan anak
gangguan autis kurang mendapatkan dukungan sosial dan diagnosis penyakit anak yang tertunda
menjadikan ibu memiliki tingkat stres yang lebih besar daripada ibu yang memiliki anak dengan
gangguan down syndrome. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut
apakah terdapat hubungan antara resiliensi dengan psychological well-being pada ibu yang
memiliki anak dengan gangguan autis.
METODE
Penelitian ini dilakukan di Klinik Tumbuh Kembang Anak Yamet, Candradimuka Special Needs
School, Sekolah Purba Adhika, SLB Sarana Terpadu, SLBC Winasis, Sekolah Dasar Pantara,
Sekolah Alam Indonesia, dan Sekolah Citra Alam Ciganjur. Populasi penelitian ini adalah ibu yang
memiliki anak dengan gangguan autis di Jakarta Selatan sejumlah 101 ibu. Sampel penelitian
berjumlah 48 ibu yang diperoleh dengan teknik cluster random sampling.
Pengambilan data penelitian menggunakan Skala Psychological Well-Being (31 aitem, α =
0,906) yang disusun berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh Ryff (dalam Wells,
2010), yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan
lingkungan, tujuan hidup, dan pengembangan diri. Skala Resiliensi (35 aitem, α = 0,918) disusun
berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Reivich dan Shatte (2002) yaitu regulasi emosi,
kontrol impuls, optimisme, analisis sebab-akibat, empati, efikasi diri, dan menjangkau di luar diri.
Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian adalah analisis regresi
sederhana dengan menggunakan SPSS versi 20.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum uji hipotesis, dilakukan uji asumsi terlebih dahulu. Uji asumsi yang harus dipenuhi untuk
melakukan analisis regresi sederhana, yaitu uji normalitas dan uji linieritas.
Nilai Kolmogorov-Smirnov saat uji normalitas variabel resiliensi sebesar 0,707 dengan signifikansi
sebesar 0,700 (p>0,05) dan psychological well-being sebesar 0, 867 dengan signifikansi sebesar
0,440 (p>0,05), sehingga sebaran data kedua variabel memiliki distribusi normal. Uji linieritas
hubungan antara variabel resiliensi dan psychological well-being hasil F=153,68 dengan
signifikansi p=0, 000 (p<0,001) sehingga hubungan antara kedua variabel linier.
Hasil uji asumsi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa (1) data penelitian ini terdistribusi
secara normal dan (2) variabel resiliensi dan psychological well-being memiliki hubungan yang
linier. Hasil tersebut menggambarkan bahwa kedua uji asumsi tes parametrik dapat terpenuhi.
Dengan demikian, metode statistik yang akan digunakan dalam tahap selanjutnya adalah analisis
regresi sederhana yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel dan
memprediksi seberapa besar peran resiliensi pada psychological well-being. Selanjutnya, hasil
analisis regresi mengatakan terdapat korelasi antara resiliensi dengan psychological well-being
melalui nilai koefisien r = 0,87 dengan sginifikansi 0,000 (p<.0,001). Menunjukan bahwa adanya
arah hubungan yang positif, sehingga semakin tinggi resiliensi maka akan tinggi pula
psychological well-being ibu begitu pula sebaliknya. sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan positif yang signifikan antara resiliensi dan psychological well-being diterima.
Resiliensi memberikan sumbangan efektif sebesar 77% pada psychological well-being (R2 = 0,77).
Hal ini berarti psychological well-being pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis di
Jakarta Selatan ditentukan oleh resiliensi sebesar 77%, sedangkan 23% ditentukan oleh faktor lain
yang tidak diungkap di dalam penelitian ini. Persamaan garis regresi dalam penelitian ini adalah
Y= 19,40 + 0,71X. Arti persamaan di atas adalah variabel psychological well-being (Y) akan
berubah sebesar 0,71 untuk setiap unit perubahan yang terjadi pada variabel resiliensi (X).
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Souri dan Hasanirad (2011) yang mengatakan
bahwa resiliensi memainkan peran kunci dalam psychological well-being. Resiliensi dalam
penelitian tersebut memberikan sumbangan efektif yaitu sebesar 27% terhadap psychological well-
being pada mahasiswa kedokteran. Hasil penelitian oleh Malkoç dan Yalçin (2015) juga
menunjukkan bahwa resiliensi memberikan sumbangan efektif terhadap psychological wellbeing
sebesar 32%.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan positif antara resiliensi
dengan psychological well-being pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis di Jakarta
Selatan. Apabila resiliensi semakin tinggi maka akan semakin tinggi psychological well-being.
Sebaliknya, semakin rendah resiliensi maka semakin rendah pula psychological well-being.
Sebaliknya, semakin rendah resiliensi maka akan semakin rendah pula psychological well-being
ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis. Resiliensi memberikan sumbangan efektif sebesar
77% pada psychological well-being ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis.
DAFTAR PUSTAKA
Abbeduto, L., Seltzer, M. M., Shattuck, P., & Murphy, M. M. (2004). Psychological well-being
and coping in mothers of youths with autism, down syndrome, or fragile x syndrome.
American Journal on Mental Retardation, 109(3), 237–254.
Campbell-Sills, L., Cohan, S. L., & Stein, M. B. (2006). Relationship of resilience to personality,
coping, and psychiatric symptoms in young adults. Behaviour Research and Therapy,
44(4), 585–599. doi.org/10.1016/j.brat.2005.05.001
Cox, C. R., Eaton, S., Ekas, N. V, & Enkevort, E. A. Van. (2015). Research in Developmental
Disabilities Death concerns and psychological well-being in mothers of children with
autism spectrum disorder. Research in Developmental Disabilities, 45–46, 229–238.
doi.org/10.1016/j.ridd.2015.07.029
Hayat, I., & Zafar, M. (2015). Relationship between psychological well-being and coping
strategies among parents with down syndrome children. International Journal of
Humanities and Social Science, 5(71), 109–117. doi.org/2220-8488
Lestari, F. A., & Mariyati, L. I. (2015). Resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome di
Sidoarjo. Psikologia, 3(1), 141-155.
Malkoç, A., & Yalçin, İ. (2015). Relationships among resilience, social support, coping, and
psychological well-being among university studentss. Turkish Psychological Counseling
and Guidance Journal, 5(43), 35–43.
Muniroh, S. M. (2010). Dinamika resiliensi orang tua anak autis. Jurnal Penelitian, 7(9), 1–11.
Sarubin, N., Wolf, M., Giegling, I., Hilbert, S., Naumann, F., Gutt, D., … Padberg, F. (2015).
Neuroticism and extraversion as mediators between positive/negative life events and
resilience. Personality and Individual Differences, 82, 193–198.
doi.org/10.1016/j.paid.2015.03.028
Souri, H., & Hasanirad, T. (2011). Social and relationship between resilience, optimism and
psychological well-being in students of medicine. Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 30, 1–4. doi.org/10.1016/j.sbspro.2011.10.299
Wells, I. E. (Ed.). (2010). Psychological Well-Being. New York: Nova Science Publishers, Inc.
REVIEW JURNAL
Komentar refleksi Penelitian ini secara umum baik dengan subjek yang digunakan
reviewer masih tergolong sedikit digunakan dalam penelitian. Hanya saja
karena penelitian ini menggunakan Bahasa asing dan ketika diubah
ke Bahasa Indonesia terdapat beberapa kata yang sulit untuk
diartikan. Namun secara keseluruhan penelitian ini sangat bisa
digunakan sebagai bahan acuan penelitian selanjutnya karena teori
yang digunakan cukup baru.
Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4
Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa
Indonesia - www.onlinedoctranslator.com
Amgad Said Mohammed1, Sahar Mahmoud Eliwa 2, Rania Abdel-Hamid Zaki 3 Fakultas Keperawatan Psikiatri/Kesehatan Jiwa Universitas Ain
Shams.
Abstrak
Latar belakang: Mengasuh anak dengan Down Syndrome membutuhkan penggunaan strategi koping yang efektif yang mungkin memiliki efek penyangga pada
kesejahteraan psikologis pengasuh keluarga. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara kesejahteraan psikologis dan strategi koping
antara pengasuh keluarga anak dengan sindrom Down.Desain: Desain penelitian deskriptif digunakan dalam penelitian ini.Pengaturan: Penelitian ini dilakukan
di
Klinik Gen DS di klinik khusus rumah sakit anak universitas yang berafiliasi dengan Rumah Sakit Universitas Ain Shams.mata pelajaran: Sampel 120 pengasuh
keluarga anak down syndrome. Alatalat penelitian adalah: 1) Kuesioner Wawancara, 2) Skala kesejahteraan psikologis Ryff (1989) dan 3) Inventaris Brief-COPE
(Carver, 1997).Hasil: Studi menunjukkan bahwa pengasuh keluarga anak dengan DS menggabungkan antara strategi koping yang berfokus pada emosi dan
fokus pada masalah dalam mengelola beban pengasuhan anak dan strategi koping yang berfokus pada emosi yang paling sering digunakan adalah penerimaan
dan agama sedangkan strategi koping yang berfokus pada masalah yang paling sering digunakan adalah penggunaan dukungan instrumental. Mengenai
kesejahteraan psikologis, hampir dua pertiga pengasuh keluarga anak-anak dengan DS memiliki kesejahteraan psikologis yang kurang dari
biasanya.Kesimpulan: Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara tingkat kesejahteraan psikologis dengan strategi koping yang berfokus pada emosi
kecuali penggunaan dukungan emosional, penerimaan, gangguan diri, curhat, humor dan agama. Sementara itu, terdapat hubungan positif yang signifikan
antara tingkat kesejahteraan psikologis dan strategi koping yang berfokus pada masalah kecuali untuk reframing positif. Rekomendasi: Penelitian masa depan
untuk menilai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peran pengasuhan dan tantangan yang berbeda yang dihadapi oleh pengasuh keluarga dalam
membesarkan anak-anak usia yang berbeda dengan DS.
Kata kunci:kesejahteraan psikologis, strategi koping, sindrom Down
155
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4
Tujuan studi
156
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4
terkait ke sosio-demografis
karakteristik pengasuh keluarga seperti; umur,
- Intelligence Quotient (IQ) dari (25- jenis kelamin, alamat tingkat pendidikan, dll.
70).
- Jenis Kelamin: kedua jenis kelamin (laki-laki dan
perempuan).
B-Bagian kedua:termasuk data terkait ke
- Bebas dari gangguan neurologis atau
sosio-demografis
penyakit psikiatri. ciri-ciri anak down syndrome seperti; umur, jenis
kelamin, pendidikan, dll.
Kriteria eksklusi untuk anak-anak
dengan DS: 2-- Skala kesejahteraan psikologis Ryff (1989):
- Memiliki cacat lain yang tidak
terkait dengan DS. Hal itu disesuaikan oleh peneliti. Ini digunakan
- Punya saudara atau keluarga lain untuk menilai tingkat kesejahteraan psikologis
anggota penyandang disabilitas. di antara
Kriteria inklusi untuk pengasuh keluarga anak-anak sampel. Terdiri dari 42 item.
dengan sindrom
Down: 3- Inventaris singkat-COPE
157
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4
Studi percontohan dilakukan untuk 10% sampel (12 - Peneliti bertemu 120 keluarga pengasuh anak-
pengasuh keluarga anak dengan sindrom Down yang setuju untuk terlibat
anak down syndrome) untuk menguji dalam sampel
keandalan, kejelasan pertanyaan dan penerapan alat, - Peneliti memulai penelitian.
dan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya wawancara dengan setiap pengasuh keluarga secara
kemudian alat dimodifikasi sesuai dengan temuan individual menggunakan alat pengumpulan data.
studi percontohan . Subyek yang berbagi dalam studi
percontohan dikeluarkan dari sampel studi utama.
Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi alat-alat - Kuesioner dibacakan,
tersebut sekitar 10 sampai 15 menit. dijelaskan, dan pilihan dicatat oleh peneliti.
Waktu yang digunakan untuk mengisi lembar
kuesioner berkisar antara 10 sampai 15 menit,
sehingga pengumpulan data berkisar
Pekerjaan lapangan
antara 4 sampai 6 pengasuh setiap minggunya.
158
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4
tertinggi tidak memiliki riwayat keluarga untuk berbeda, strategi yang paling umum digunakan adalah
penyakit kejiwaan atau sindrom Down. Mereka penggunaan dukungan instrumental (89,17%) tetapi koping
mewakili (95,8%) dan (85,8%) masing-masing. aktif adalah yang paling sedikit digunakan (45,83%).
Meja 2):menjelaskan bahwa lebih dari tingkat kesejahteraan psikologis dan strategi
dua pertiga pengasuh keluarga (70,8%) tidak memiliki koping yang berfokus pada emosi kecuali untuk
penerimaan diri, sementara lebih dari seperempat subskala penggunaan dukungan emosional,
(27,5%) memiliki hubungan dan tujuan positif dalam
hidup dan seperempat (25,0%) memiliki pertumbuhan penerimaan, gangguan diri, ventilasi, humor dan
pribadi. agama.
159
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4
masalah, yang secara langsung mempengaruhi pengelolaan anak dan terpaksa tinggal di
kesejahteraan psikologis pengasuh keluarga. Ketika pengasuh keluarga rumah lebih lama untuk mengasuh anak cacat.
mengalami stres, mereka menggunakan strategi tertentu untuk
mengatasi stres ini untuk mengatur emosi mereka. Strategi koping yang Hasil studi saat ini mewakili bahwa sebagian besar pengasuh
berfokus pada masalah biasanya diarahkan pada perolehan sumber daya keluarga tidak memiliki pendapatan keluarga yang cukup. Mungkin karena
untuk membantu mengatasi masalah yang mendasarinya sementara sebagian besar ibu adalah ibu rumah tangga dan ayah adalah satu-satunya
koping yang berfokus pada emosi dapat mengurangi tingkat stres dalam pencari nafkah serta peningkatan biaya tambahan untuk penyediaan
jangka pendek, tetapi dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis pengobatan dan rehabilitasi, untuk perabotan rumah khusus, untuk
pakaian dan makanan, untuk mainan atau buku khusus.
dalam jangka panjang.
Hasil studi saat ini mewakili bahwa lebih dari dua pertiga
sampel penelitian sudah menikah. Hal ini mencerminkan stabilitas
emosional antara pengasuh orang tua yang memungkinkan mereka
untuk dapat melakukan yang terbaik untuk menghadapi beban
pengasuhan anak.
adaptasi pengasuh dan kesejahteraan psikologis. Hasil ini Hasil studi saat ini mewakili bahwa ada korelasi negatif
sesuai dengan Parameswari dan Eljo, (2016), yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan strategi
siapa
koping yang berfokus pada emosi mengenai
melaporkan bahwa pengasuh keluarga yang subskalapenolakan.Ini mungkin karena
menerima kenyataan kecacatan anak mereka cenderung
menjalani kehidupan yang positif dalam mengembangkan keterampilan koping dan
Hasil studi saat ini mewakili bahwa ada korelasi negatif
harga diri mereka; juga
yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan strategi
mengembangkan kepercayaan diri dan dengan demikian
koping yang berfokus pada emosi mengenai subskala
meningkatkan kesejahteraan psikologis mereka. Di sisi lain,
penggunaan zat. Ini mungkin karena penggunaan zat tidak
Penelitian saat ini memberikan solusi permanen untuk masalah dan menyebabkan
tidak sesuai dengan Penley dkk., (2012), efek negatif melalui mempengaruhi fungsi intelektual pengasuh
jenis emosi - koping terfokus seperti
siapa yang paling banyak melaporkan?
keluarga dan kemampuan mereka untuk menghadapi masalah
menerima tanggung jawab terkait dengan respons stres yang atau untuk menghadapi situasi saat ini atau untuk memberikan
lebih tinggi dan kesejahteraan psikologis yang kurang. Hasil alternatif yang tepat untuk pengasuhan anak. Jadi, penggunaan
studi saat ini juga tidak sesuai denganPenebang, Hauser- narkoba berdampak negatif pada kesejahteraan psikologis
Cram, (2013),yang melaporkan bahwa gaya koping yang berfokus pengasuh keluarga. Penelitian ini sesuai dengan Pisula,
pada emosi seperti penerimaan tanggung jawab terkait dengan (2010),yang melaporkan bahwa penggunaan zat sebagai cara
tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah. untuk mengatasi dikaitkan dengan fungsi psikologis yang lebih
buruk.
penggunaan strategi koping penolakan berfungsi untuk keluar dari tetapi dapat menyebabkan peningkatan tekanan ketika stresor
kenyataan yang mengarah pada kepuasan hidup yang lebih rendah, berlanjut.
pengaruh yang kurang positif, hubungan orang tua-anak yang buruk, Hasil studi saat ini mewakili
peningkatan penderitaan mental dan keputusasaan serta bahwa ada korelasi negatif yang signifikan antara kesejahteraan psikologis
peningkatan tingkat morbiditas dan kelelahan psikiatri. Penelitian ini dan strategi koping yang berfokus pada emosi mengenai subskala
sesuai denganBonab, Motamedi, & Zare, (2017)yang menemukan menyalahkan diri sendiri. Mungkin karena menyalahkan diri sendiri
bahwa penggunaan penolakan sebagai strategi koping yang berfokus menyebabkan konsekuensi emosional yang berbeda seperti kemarahan,
pada emosi berfungsi untuk menghindari benar-benar menghadapi ketidakpuasan, suasana hati yang tertekan dan kehilangan minat yang
masalah, dan telah dilaporkan menunjukkan hubungan positif dapat menyebabkan penghambatan aktivitas yang berfokus pada masalah
dengan depresi dan hubungan negatif dengan hasil yang di masa depan dan dengan demikian kesejahteraan psikologis yang
memuaskan. Namun, hasil dari penelitian ini bertentangan dengan kurang. Hasil ini sesuai dengan Allen dan Leary, (2010), yang menemukan
yang dilaporkan oleh Kraaij dan Garnefski, (2016),yang menemukan bahwa menyalahkan orang lain terkait dengan perasaan yang lebih
bahwa strategi yang melibatkan distorsi persepsi realitas (misalnya depresi dan marah. Penelitian ini juga sejalan denganFolkman dan
penolakan) bersifat adaptif, terutama ketika situasi stres tidak dapat Lazarus, (1988),yang melaporkan bahwa menyalahkan memiliki efek
dihindari. Ada kemungkinan bahwa perbedaan ini terkait dengan negatif pada kesejahteraan psikologis.
sifat stresor yang dialami. dengan meningkatkan efektivitas koping yang berfokus pada
Hasil studi saat ini mewakili bahwa ada korelasi negatif masalah karena dapat memberikan individu kesempatan
yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan strategi untuk istirahat dan melepaskan diri dari situasi stres. Hasil
koping yang berfokus pada emosi mengenai subskala pelepasan studi saat ini juga tidak sesuai denganJason, (2015),yang
perilaku. Mungkin karena itu berfungsi untuk menghindari menemukan bahwa gangguan mendorong penyembuhan.
menghadapi masalah dan dengan demikian mempengaruhi Akibatnya, kesejahteraan pengasuh keluarga dapat
pemecahan masalah dan manajemen stres dan mengarah pada ditingkatkan.
kesejahteraan psikologis yang kurang. Hasil ini sesuai
denganShelley, Kraaij, dan Garnefski, (2014),yang melaporkan
Hasil studi saat ini mewakili bahwa tidak ada korelasi yang
bahwa strategi koping penghindaran atau pelepasan perilaku
signifikan antara kesejahteraan psikologis dan strategi koping yang
juga terkait dengan lebih banyak depresi dan kecemasan pada
berfokus pada emosi mengenai subskala dariventilasi.Mungkin
pengasuh keluarga anak-anak dengan sindrom Down. Di
karena ventilasi hanya memberikan jaminan palsu, tidak memberikan
samping itu,Pisula dan Kossakowska, (2010),melaporkan
solusi jangka panjang dan membutuhkan penggunaan strategi aktif
bahwa pelepasan perilaku dapat berguna dalam situasi tertentu, untuk meningkatkan
terutama yang bersifat jangka pendek dan tidak terkendali, koping dan kesejahteraan psikologis. Hasil
Hasil studi saat ini mewakili bahwa tidak ada korelasi penelitian ini tidak sesuai denganCramm dan Nieboer, (2011)yang
yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan strategi menemukan bahwa beberapa gaya koping yang berfokus pada
koping yang berfokus pada emosi mengenai subskala emosi (misalnya berfokus pada atau melampiaskan emosi)
darigangguan diri. Mungkin karena koping yang berfokus pada berhubungan dengan psikopatologi yang lebih besar dibandingkan
emosi seperti gangguan diri tidak memberikan dengan strategi yang berfokus pada emosi adaptif.
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4
solusi jangka panjang dan memerlukan kombinasi dengan berorientasi tugas (yaitu, fokus pada masalah) mengarah pada hasil
strategi fokus masalah lainnya untuk meningkatkan koping dan yang lebih positif.
Mungkin karena koping aktif biasanya
Hasil studi saat ini mewakili diarahkan pada perolehan sumber daya untuk Di sisi lain, penelitian
bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara membantu mengatasi masalah mendasar dan ini tidak sesuai
kesejahteraan psikologis dan strategi koping yang mengubah keadaan situasi. Semua faktor ini yang
denganDily,
berfokus pada emosi mengenai subskala dariagama. berkontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan
Mungkin karena agama hanya mewakili sebagai strategi psikologis pengasuh keluarga. Hasil ini sesuai dengan (2017),yang
yang mendukung untuk membantu pengasuh keluarga Hayat, (2016),yang menemukan bahwa strategi melaporkan bahwa
menerima kenyataan dan kepuasan hidup mereka, koping yang berfokus pada masalah seperti koping gangguan mengarah
tetapi pengasuh keluarga masih perlu menggunakan aktif berkorelasi positif dengan kesejahteraan pada kesejahteraan
strategi yang berfokus pada masalah di samping agama psikologis.
untuk membantu mereka psikologis yang lebih
baik (yaitu, respons
stres yang lebih rendah
dan kinerja yang lebih
menghadapi stresor dan memiliki kesejahteraan Hasil studi saat ini mewakili baik)
psikologis yang lebih baik. . Hasil ini tidak sejalan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara
denganJason, (2015), yang menemukan bahwa
Hasil studi saat ini
kesejahteraan psikologis dan strategi koping berfokus
pengasuh keluarga dapat mengalihkan masalah ke masalah pengasuh keluarga anak dengan sindrom Down mewakili
'kekuatan yang lebih tinggi' dan tampaknya melibatkan tentang penggunaan alat bantu.Mungkin sebagai bahwa tidak ada korelasi
diri mereka dengan agama ke tingkat yang lebih besar dukungan instrumental terjadi dengan memperoleh yang signifikan antara
dalam situasi yang lebih stres daripada di saat-saat informasi dari dokter, pekerja sosial, psikolog atau kesejahteraan psikologis
kurang stres dalam hidup mereka khususnya ketika pengasuh keluarga anakanak lain dengan disabilitas
agama lebih tersedia bagi mereka dan jika itu sudah dan strategi koping yang
yang sama. Informasi ini membantu pengasuh keluarga
menjadi bagian dari gaya hidup mereka dimana agama untuk menangani kecacatan anak dan perubahan berfokus pada emosi
meningkatkan kesejahteraan psikologis mereka. Juga, perilaku dan dengan demikian mempengaruhi mengenai subskala dari
hasil saat ini tidak sesuai denganSharma dan Gupta, kesejahteraan psikologis secara positif. Hasil penelitian humor. Mungkin karena
(2017)yang melaporkan bahwa pengasuh keluarga ini sejalan denganGlenn, Dayus, Cunningham, dan
sering menemukan kelegaan dalam pendamaian agama humor tidak memberikan
Horgan (2015),yang melaporkan bahwa dukungan
dan penyerahan diri kepada kehendak Tuhan ketika instrumental membantu pengasuh keluarga untuk solusi jangka panjang
menghadapi masalah yang sulit dipecahkan. Hasil saat memberikan perawatan yang tepat kepada anak-anak untuk masalah tersebut
ini juga tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan sindrom Down yang mungkin berdampak positif pada dan menyebabkan
olehHayat, (2015),yang menemukan bahwa ada pengasuh keluarga, seperti peningkatan harga diri atau
hubungan positif antara agama dan kesejahteraan pemborosan waktu jika
kepuasan diri dari memenuhi tanggung jawab dan
psikologis. digunakan pada waktu
yang tidak tepat. Hasil ini
sesuai dengan Ganjiwale,
Ganjiwale, Sharma, dan
Mishra (2016),yang
menemukan bahwa
pengasuh keluarga
mencoba mengolok-olok
meningkatkan kesejahteraan psikologis. Penelitian ini sejalan situasi yang dapat memberikan jalan keluar untuk stres untuk beberapa
denMganoosa dan Munaf, waktu tetapi yang lebih merupakan kecenderungan melarikan diri yang
(2012),yang menemukan bahwa koping berorientasi gangguan tidak membantu mereka secara realistis dalam menghadapi situasi
(suatu bentuk koping yang berfokus pada emosi) tidak berkorelasi dalam jangka panjang dan kombinasi dengan
dengan kesejahteraan psikologis yang lebih baik, sedangkan strategi koping yang berfokus pada masalah diperlukan.
kombinasi koping berorientasi gangguan dengan koping strategi pengasuh keluarga anak-anak dengan sindrom Down
tentangkoping aktif.
Korelasi di antara kesejahteraan psikologis dan strategi koping mendorong kemampuan pengasuh keluarga untuk mengatasi
kehidupan sehari-hari dan dengan demikian meningkatkan
yang berfokus pada masalah: -
kemampuan
mereka
Hasil studi saat ini mewakili bahwa ada korelasi positif kesejahteraan psikologis. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian
yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan koping yang dilakukan oleh Paterson, Jones, Rattray, , & Lauder, (2013)
yang berfokus pada masalah yang meneliti pentingnya dukungan instrumental dan dampaknya
mengalami konsekuensi positif memiliki anak sindrom Down , dan pada membesarkan anak dengan sindrom Down dan menemukan
bukan hanya negatif. Misalnya, beberapa pengasuh keluarga
bahwa pengasuh keluarga dengan stres tinggi dan dukungan tinggi
menjadi lebih mampu menghargai hal-hal penting dalam hidup.
memiliki masalah hasil yang lebih sedikit dibandingkan dengan
Emosi positif ini, pada gilirannya, pengasuh keluarga dengan dukungan rendah dan stres tinggi.
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4
Tabel (1): Distribusi Karakteristik Sosio-demografis di antara Sampel yang Dipelajari (n=120)
item N %
Jenis pengasuh
- Ayah 10 8.3
- Ibu 110 91.7
Usia ayah
- 15-<35 2 20.0
- 35-<55 71 70.0
39.21±4.39 10.0
- 55 dan banyak lagi
Rata-rata±SD
UsiadariIbu 29
67 14 26.4
- 15-<35
37,65 ± 5,67
- 35-<55
60.9
12,7
- 55 dan banyak lagi 83 27
Rata-rata±SD Status
10
pernikahan
69.2
- Telah menikah
67 22,5 8.3
- Janda - Bercerai 13 12 16
Tingkat pendidikan 12 55.8
10.8
- Buta huruf
16 10.0
- Sekolah dasar - Sekolah Menengah
104 13.4
- Universitas 10.0
- Pascasarjana Pekerjaan - 49
Bekerja 71 13.3
- Bekerja di PBB 86.7
Tempat tinggal 13
16
- 40.8
perkotaan 91
59.2
- Pedesaan
Pendapatan keluarga 5
10.8
Cukup 115
Nyaris Cukup
13.3
Tidak cukup 17 103 75.8
Riwayat Keluarga untuk Penyakit Psikiatri
Ya 4.2
Tidak 95.8
Riwayat Keluarga untuk sindrom Down
Ya 14.2
Tidak 85.8
Strategi Mengatasi N % N % N
Gangguan diri % X2 P-nilai
63 52.50 4 3.33 53 44.17 74.775 0,000
Penolakan
31 25,83 10 8.33 79 65,83 93.825 0,000
Penggunaan zat 1,67 4 3.33 114
2 95,00 308,100 0,000
Penggunaan dukungan emosional 69.17 12 10.00 25
83 20.83 107.175 0,000
Pelepasan 45,83 16 13.33 49
55 40.83 33.075 0,000 12.50
perilaku Ventilasi humor 85.00 3 2.50 15
102 218.925 0,000
Penerimaan 3.33 20
96 80.00 4 16,67 181,200 0,000
Agama 100.0 0 0,0 0
Menyalahkan diri sendiri 120 0,0 360.000 0,000 3,33 325,200
96,67 0 0.00 4 0,000
116
51.67 2 1,67 56 46.67 81.900 0,000
62
Kadang-kadang Tidak Chi-kuadrat
Ya
Mengatasi Berfokus pada Masalah
N % N% N
Strategi koping % X2 P-nilai
55 45,83 0 0.00 65
aktif 107 89.17 2 1.67 11 54.17 91,875 0,000 9.17
Penggunaan dukungan instrumental 88 73,33 11 9,17 21 254.025 0,000
Pembingkaian ulang positif 62 51.67 20 16.67 38 17,50 131,475 0,000
Perencanaan 31.67 33.300 0,000
Tabel (6): Hubungan antara Kesejahteraan Psikologis dan Strategi Coping Berfokus Emosi pada Pengasuh Keluarga
Anak Down
Syndrome (N=120).
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4
Kesejahteraan psikologis
R
- 0,130 Nilai-P
Strategi koping yang berfokus pada emosi - 0,257 0,156
- 0,235 0,005*
Gangguan diri
Penolakan 0,185 0,010*
Penggunaan zat
- 0,497 0,042*
- 0,110 <0.001**
Penggunaan dukungan emosional
- 0,149 0.230
Pelepasan
0.192 0.104
perilaku Ventilasi humor
- 0,021 0,037*
Penerimaan
- 0,454 0.819
Agama
Menyalahkan diri sendiri <0.001**
Tabel (7): Korelasi antara Kesejahteraan Psikologis dan Strategi Mengatasi
Fokus Masalah pada pengasuh keluarga anak dengan sindrom Down (N=120)
Kesejahteraan psikologis
Strategi koping yang berfokus pada masalah koping
R Nilai-P
aktif 0.617 <0.001**
0,392 <0.001**
Penggunaan dukungan instrumental
Pembingkaian ulang positif 0,064 0,487 0,315<0.001**
Perencanaan
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4
Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi saat ini, dapat disimpulkan bahwa,Pengasuh keluarga anak dengan DS yang dikombinasikan antara strategi koping yang
berfokus pada emosi dan berfokus pada masalah dalam mengelola beban pengasuhan anak dan sebagian besar pengasuh keluarga memiliki
kesejahteraan psikologis yang kurang dari biasanya.
Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara tingkat kesejahteraan psikologis dan strategi koping yang berfokus pada emosi
kecuali dukungan emosional, penerimaan, gangguan diri, curhat, humor dan agama. Sementara itu, terdapat hubungan positif
yang signifikan antara tingkat kesejahteraan psikologis dan masalah-masalah.
strategi koping terfokus kecuali untuk pembingkaian ulang positif.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian saat ini, rekomendasi berikut disarankan: Pendirian klinik konseling untuk pengasuh keluarga anak DS untuk
meningkatkan strategi koping mereka dan menerapkan program intervensi pendidikan untuk peningkatan kesejahteraan psikologis pengasuh
keluarga anak-anak dengan DS. Juga, penelitian masa depan untuk menilai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peran pengasuhan dan
tantangan berbeda yang dihadapi oleh pengasuh keluarga dalam membesarkan anak-anak usia yang berbeda dengan DS. Akhirnya, tim
perawatan kesehatan harus melibatkan pengasuh keluarga dalam diskusi terkait dengan pilihan pengobatan yang tersedia untuk anak-anak
dengan DS dalam percobaan untuk mengurangi beban perawatan.
Dukungan keuangan
Konflik kepentingan
Tidak
Referensi
Alexander,T.,&Walendzik,J.,(2016):
Membesarkan Anak dengan Down Syndrome: Apakah Strategi Mengatasi yang Dipilih Menjelaskan Perbedaan Kesehatan Orang Tua?
Psikologi, 7, 28- 39.
Allen, A., & Leary, M., (2010):Diri sendirikasih sayang, stres, dan koping. USA, Kompas Psikologi Sosial dan Kepribadian, 4, 107–
118.
Baqutayan, S., (2015):Stres dan
Mekanisme Mengatasi: Tinjauan
Sejarah, Jurnal Internasional Humaniora dan Ilmu Sosial, Malaysia, v6n2s1p479.
Beckmann, E., (2001):Kesehatan mental memberikan perhatian emosional, WB Saunders Company, London; hal 164 –
174. Bonab, B., Motamedi, F., & Zare, F., (2017):Pengaruh Strategi Coping terhadap Stres Orang Tua dengan Anak Cacat Intelektual,
Amerika Serikat, Studi Pendidikan Asia, Vol 2,No
3, 266-270.
Pemahat, C., (1997)). Menilai koping strategi: Pendekatan berbasis teori.Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial,56,
267·283. Cramm, J., & Nieboer, A., (2011):
Kesejahteraan psikologis pengasuh anak-anak dengan cacat intelektual: Menggunakan stres orang tua sebagai faktor mediasi.
AS, Jurnal
Intelektual Disabilitas
Penelitian, (2):101-113. Dilys,Y.,(2017):Mengatasi dan Adaptasi Strategi dalam Keluarga dengan
Anggota Sakit Jiwa., AS, Jurnal Penelitian Disabilitas Intelektual, 236-241.
Sesepuh, W; Eldegla, H; Yahya, S;
AbouEla,M;&Hawas,S (2013),Prevalensi infeksi yang didapat masyarakat pada anak-anak sindrom Down, Braz J Infect Dis vol17 no.5.
Folkman,S.,Lazarus,R.,
(1988):Menekankan
proses dan depresif simtomatologi. J.Abnorm.Psychol.1 988;95:107-113.
Rakyat, S., &Lazarus, R.,
(1988).Stres, Penilaian dan Mengatasi. New York, Perusahaan Penerbitan Springer, 111-120.
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4
Ganjiwale, D., Ganjiwale, J., Sharma, B., & Mishra, B., (2016):Kualitas hidup dan strategi koping pengasuh
anak-anak dengan
cacat fisik dan mental, AS, Jurnal kedokteran keluarga dan primer peduli,Volume:5,Halaman:343-348.
Glenn,S.,Dayus,B.,Cunningham,C.,&H organ,M.,2015:Motivasi Penguasaan pada anak Down Syndrome, Down
Syndrome Riset dan
Latihan, AS,7(2),52-59. Groneberg, J., (2008):Peta jalan ke
Holland: Bagaimana Saya Menemukan Jalan
Saya Melalui Anak-anak Saya Dua Tahun
Pertama dengan Sindrom Down, New York,
Perpustakaan Amerika Baru, P55-60. Hayat, I.,(2015):Hubungan antara
Kesejahteraan Psikologis dan Strategi Mengatasi di antara pengasuh Keluarga dengan anakanak sindrom Down, Jurnal
Internasional Humaniora dan Ilmu Sosial, Pakistan Vol. 5, No. 7(1).
Tinggi, J., (2015):HARAPAN, PENANGGULANGAN, DAN
Penley JA, Tomaka J. Wiebe S.Itu asosiasi koping dengan hasil kesehatan fisik dan psikologis: a
meta-analisis tinjauan. J. perilaku Med. 2012;25:551–603.
Pisula, D., (2010):Stres Pengasuhan dan Gaya Mengatasi pada Ibu dan Ayah dari Anak Prasekolah dengan Autisme dan Down
Syndrome, AS, Journal of IntellectualDisabilityResearch, 54(3),2 66-269.
Pisula, E., & Kossakowska, Z. (2010).
Rasa koherensi dan mengatasi stres di antara ibu dan ayah dari anak-anak dengan autisme, New York, Journal of Autism and
Developmental Disorders,
40, 1485-1494.
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4
Ryff, C. (1989).Timbangan Psikologis kesejahteraan. Jurnal kepribadian dan psikologi sosial, 57, 1069-1081. Sharma, S., &
Gupta, A., (2017):Itu
Kehidupan Sehari-hari dan Strategi
Mengatasi Wanita di Delhi: Akar
Pemberdayaan Psikologis yang
Membedakan. Sebuah Studi
Etnografi, India, Jurnal
Internasional Psikologi India, Volume 4, Edisi2, No.96.
Shelley, M., Kraaij, V., & Garnefski,
N.,(2014): Koping Kognitif
Strategi dan Stres dalam Keluarga
Pengasuh Anak Dengan Down
Syndrome: Sebuah Studi Prospektif,
Jurnal Internasional Evaluasi dan
Penelitian Pendidikan, AS, VOLUME
47, NOMOR 4: 295-306. Skinner, E.,
Tepi, K., Altman, J., & Sherwood, H. (2013).Mencari struktur koping: Sebuah tinjauan dan kritik terhadap sistem kategori untuk
mengklasifikasikan cara koping.
Psikologi, 129, 216–269.
Tajrishi, M., Azadfallah, P., Garakani, S.,&Bakhshi,E.,(2015):Pengaruh
Pelatihan Strategi Mengatasi
Masalah Berfokus pada Gejala
Psikologis Ibu dari Anak dengan
Down Syndrome, Jurnal Kesehatan Masyarakat Iran, 44 (2) 254-262.
Woodman, A., Hauser-Cram, P. ,
(2013),:Peran strategi koping dalam memprediksi perubahan dalam kemanjuran pengasuhan dan gejala depresi di antara ibu dari
remaja dengan perkembangancacat.USA, Jurnal Cacat Intelektual.; 57(6)::513-530.