Anda di halaman 1dari 26

REVIEW JURNAL

Judul Hubungan Antara Resiliensi Dengan Psychological Well-Being Pada


Ibu Yang Memiliki Anak Dengan Gangguan Autis
Nama Jurnal Jurnal Empati
Volume Vol. 7 No. 1
Halaman 283-287
Tahun terbit 2018
Peneliti Dhiya Athaya Purwanti dan Erin Ratna Kustanti
Sumber https://docplayer.info/114590865-Hubungan-antara-resiliensi-
dengan-psychological-well-being-pada-ibu-yang-memiliki-anak-
dengan-gangguan-autis.html
Reviewer Yola Amantha Wibawa (1910801098)
(nama dan NIM
mahasiswa yang
mereview)
Tanggal Review 20 Mei 2022

Latar belakang Orangtua dengan anak penyandang disabilitas merasa tidak mampu
dalam menyelesaikan tanggung jawab mereka. Hal tersebut dapat
membawa orangtua dengan anak penyandang disabilitas menuju
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami tekanan psikologis,
masalah kesehatan mental, kesehatan yang buruk, masalah
penyesuaian dan rendahnya tingkat psychological well-being (Hayat
& Zafar, 2015). Dengan adanya resiliensi, maka orangtua yang
memiliki anak dengan gangguan autis akan lebih memandang positif
terhadap permasalahan yang terjadi (Muniroh, 2010). Diketahui
bahwa sudah terdapat beberapa penelitian mengenai hubungan
antara resiliensi dengan psychological well-being namun peneliti
belum menemukan penelitian yang mengamati hubungan tersebut
pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis maka dari itu,
peneliti ingin melakukan penelitian mengenai hubungan antara
resiliensi dengan psychological well-being namun dengan subjek
yang berbeda yaitu pada ibu yang mempunyai anak dengan
gangguan autis, karena seperti yang dikemukakan oleh Abbeduto,
Seltzer, Shattuck, & Murphy (2004), ibu dengan anak gangguan autis
kurang mendapatkan dukungan sosial dan diagnosis penyakit anak
yang tertunda menjadikan ibu memiliki tingkat stres yang lebih besar
daripada ibu yang memiliki anak dengan gangguan down syndrome.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat
hubungan antara resiliensi dengan psychological well-being pada ibu
yang memiliki anak dengan gangguan autis.
Kerangka Teoritik Orangtua dengan anak penyandang disabilitas menuju risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami tekanan psikologis, masalah kesehatan
mental, kesehatan yang buruk, masalah penyesuaian dan rendahnya
tingkat psychological well-being (Hayat & Zafar, 2015). Tekanan
tersebut dapat menyebabkan psychological well-being ibu yang
memiliki anak dengan gangguan autis rendah. Akan tetapi, terdapat
faktor-faktor yang mampu mempertahankan atau pun meningkatkan
psychological well-being, yaitu salah satunya adalah kepribadian
individu. Muniroh (2010) mengatakan bahwa dengan adanya
resiliensi, maka orangtua yang memiliki anak dengan gangguan autis
akan lebih memandang positif terhadap permasalahan yang terjadi.
Tidak hanya itu, orangtua juga lebih bisa menerima dengan lapang
dada terhadap permasalahan yang dihadapi sehingga memunculkan
motivasi pada orangtua untuk mencari solusi agar anaknya dapat
mengalami peningkatan dalam perkembangannya. Ryff dan Singer
(dalam Malkoç & Yalçin, 2015) menyatakan bahwa individu yang
resilien mampu mempertahankan kesehatan fisik dan psikologis
milik individu tersebut serta memiliki kemampuan untuk pulih lebih
cepat dari stres. Hal ini menunjukkan bahwa resiliensi memiliki
peran mendasar pada psychological well-being dan juga dianggap
efektif dalam meningkatkan psychological well-being (Fredrickson,
2001; Souri & Hasanirad, 2011; Malkoc & Yalcin, 2015).
Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan metode kuantitatif.
Komentar refleksi Penelitian ini mempunyai kelebihan yaitu mampu melakukan
reviewer penelitian dengan subjek yang berbeda dari biasanya. Hal ini
menunjukkan bahwa penelitian dengan subjek tersebut masih sangat
sedikit dilakukan. Walaupun demikian, penelitian ini menghasilkan
hasil yang signifikan sehingga bisa digunakan sebagai acuan peneliti
selanjutnya.
HUBUNGAN ANTARA RESILIENSI DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-
BEING PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK DENGAN GANGGUAN
AUTIS

Dhiya Athaya Purwanti 1, Erin Ratna Kustanti 2

1,2
Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedarto, SH, Kampus Undip Tembalang, Semarang, Indonesia 50275

dhiya.athaya@gmail.com

Abstrak

Kebahagiaan dalam keluarga tidak lengkap apabila tidak adanya kehadiran anak namun, tidak selamanya kebahagiaan
akan menetap dikarenakan adanya kendala dalam kehidupan. Salah satu dari kendala tersebut disebabkan terdapat
masalah dalam perkembangan anak, salah satunya adalah anak berkebutuhan khusus. Penelitian ini bertujuan untuk
meneliti hubungan antara resiliensi dengan psychological well-being pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan
autis di Jakarta Selatan. Penelitian ini dilakukan di Klinik Tumbuh Kembang Anak Yamet, Candradimuka Special
Needs School, Sekolah Purba Adhika, SLB Sarana Terpadu, SLBC Winasis, Sekolah Dasar Pantara, Sekolah Alam
Indonesia, dan Sekolah Citra Alam Ciganjur. Populasi penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak dengan gangguan
autis di Jakarta Selatan sejumlah 101 ibu. Sampel penelitian berjumlah 48 ibu yang diperoleh dengan teknik cluster
random sampling. Pengambilan data penelitian menggunakan Skala Psychological
Well-Being (31 aitem, α = 0,906) dan Skala Resiliensi (35 aitem, α = 0,918), yang telah diujicobakan pada 39 ibu.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi sederhana. Hasil penelitian ini
menunjukkan hubungan positif dan signifikan antara resiliensi dan psychological well-being (rxy = 0,87; p < 0,001),
artinya semakin tinggi kemampuan resiliensi ibu maka semakin tinggi pula psychological well-being ibu, dan
sebaliknya. Resiliensi memberikan sumbangan sebesar 77% terhadap psychological well-being.

Kata kunci: psychological well-being; resiliensi; ibu; anak; gangguan autis

Abstract

Happiness in the family is incomplete if there is no presence of children but, not always happiness will settle due to
obstacles in life. One of the obstacles is caused because of problems in the children’s development, one of them is a
child with special needs. This study aims to examine the relationship between resilience with psychological wellbeing
in mothers with children with autism disorder in South Jakarta. The research was conducted at Yamet Children Growth
Clinic, Candradimuka Special Needs School, Purba Adhika School, SLB Sarana Terpadu, SLBC Winasis, Pantara
Elementary School, Alam Indonesia School, and Citra Alam Ciganjur School. The population of this study is mothers
who have children with autism disorder in South Jakarta a total of 101 mothers. The sample of this research was 48
mothers and it was obtained by cluster random sampling technique. The data were collected using Psychological Well-
Being Scale (31 aitem, α = 0,906) and Resilience Scale (35 items, α = 0,918), which have been tested on 39 mothers.
Simple regression analysis was used to be the method of analysis in this research. The results of this study indicate a
positive and significant relationship between resilience and psychological well-being (rxy = 0.87, p <0.001). The
higher the ability of mother’s resilience, the psychological well-being of the mother will be high too, and vice versa.
Resilience provides an effective contribution in the amount of 77% on psychological well-being.

Keyword: psychological well-being; resilience; mother; child; autism


PENDAHULUAN

Orangtua dengan anak penyandang disabilitas merasa tidak mampu dalam menyelesaikan
tanggung jawab mereka. Orang tua dengan anak penyandang disabilitas menghadapi tantangan
yang lebih besar dibandingkan dengan orang tua yang memiliki anak normal. Hal tersebut dapat
membawa orangtua dengan anak penyandang disabilitas menuju risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami tekanan psikologis, masalah kesehatan mental, kesehatan yang buruk, masalah
penyesuaian dan rendahnya tingkat psychological well-being (Hayat & Zafar, 2015).

Menurut Ryff dan Singer (dalam Wells, 2010) psychological well-being adalah kondisi dimana
seorang individu berfungsi dengan baik yang menggambarkan enam dimensi dalam hidupnya yaitu
penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, menguasai lingkungan, memiliki
tujuan hidup, dan pengembangan diri.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Abbeduto, Seltzer, Shattuck, & Murphy (2004) menunjukkan
adanya kesenjangan psychological well-being antara ibu yang memiliki anak autis dengan ibu yang
memiliki anak down syndrome. Penelitian tersebut melaporkan bahwa ibu yang memiliki anak
autis memiliki psychological well-being yang lebih rendah dikarenakan memiliki tingkat stres
yang lebih besar yang disebabkan kurangnya dukungan sosial. Diagnosis gangguan autis yang
tertunda cukup lama karena pengakuan orangtua yang baru sadar terdapat beberapa masalah
perkembangan yang dihadapi oleh anak serta perilaku-perilaku maladaptif yang ditunjukkan juga
menjadi salah satu penyebab.

Penelitian oleh Cox, Eaton, Ekas, & Enkevort (2015) menemukan bahwa ibu yang memiliki anak
dengan gangguan autis memiliki tingkat psychological well-being yang rendah. Hal tersebut
dikarenakan kecemasan ibu yang bingung jika suatu hari nanti ketika ibu tutup usia, kepada siapa
ibu harus menitipkan anaknya yang mengalami gangguan autis dan apakah orang yang dititipkan
akan mengerti keperluan apa saja yang dibutuhkan oleh anaknya yang mengalami gangguan autis.

Berdasarkan penelitian-penelitian diatas, tekanan-tekanan tersebut dapat menyebabkan


psychological well-being ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis rendah. Akan tetapi,
terdapat faktor-faktor yang mampu mempertahankan atau pun meningkatkan psychological
wellbeing, yaitu salah satunya adalah kepribadian individu. Seperti yang ditemukan oleh
CampbellSills, Cohan, & Stein, (2006), individu dengan kepribadian ekstraversi yang tinggi
mampu mengatasi stres dengan baik. Selain itu, karena memiliki kedekatan interpersonal dan
kemampuan interaksi sosial yang baik memungkinkan individu untuk membangun adanya
dukungan sosial. Individu dengan kemampuan tersebut ketika dihadapkan dengan situasi yang
tidak menyenangkan atau traumatis dapat bangkit kembali dari keterpurukan. Kondisi tersebut
menandakan bahwa individu tersebut merupakan individu yang resilien. Seperti yang dikatakan
oleh Sarubin dkk (2015), bahwa kepribadian ekstraversi dengan tingkat tinggi dan tingkat
neurotisisme yang rendah berfungsi sebagai mediator antara pengalaman positif dan resiliensi yang
tinggi.

Keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus akan melalui proses tertentu yang
memungkinkan keluarga tersebut dapat bertahan dan beradaptasi hingga dapat menjadi sebuah
keluarga yang resilien (Lestari & Mariyati, 2015). Muniroh (2010) dalam hasil penelitiannya
mengatakan bahwa dengan adanya resiliensi, maka orangtua yang memiliki anak dengan gangguan
autis akan lebih memandang positif terhadap permasalahan yang terjadi. Tidak hanya itu, orangtua
juga lebih bisa menerima dengan lapang dada terhadap permasalahan yang dihadapi sehingga
memunculkan motivasi pada orangtua untuk mencari solusi agar anaknya dapat mengalami
peningkatan dalam perkembangannya.

Ryff dan Singer (dalam Malkoç & Yalçin, 2015) menyatakan bahwa individu yang resilien mampu
mempertahankan kesehatan fisik dan psikologis milik individu tersebut serta memiliki
kemampuan untuk pulih lebih cepat dari stres. Oleh karena itu, studi sebelumnya mengenai
resiliensi dan well-being menunjukkan bahwa resiliensi memiliki peran mendasar pada wellbeing
dan juga dianggap efektif dalam meningkatkan psychological well-being (Fredrickson, 2001; Souri
& Hasanirad, 2011; Malkoc & Yalcin, 2015).

Diketahui bahwa sudah terdapat beberapa penelitian mengenai hubungan antara resiliensi dengan
psychological well-being namun peneliti belum menemukan penelitian yang mengamati hubungan
tersebut pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis maka dari itu, peneliti ingin
melakukan penelitian mengenai hubungan antara resiliensi dengan psychological wellbeing namun
dengan subjek yang berbeda yaitu pada ibu yang mempunyai anak dengan gangguan autis, karena
seperti yang dikemukakan oleh Abbeduto, Seltzer, Shattuck, & Murphy (2004), ibu dengan anak
gangguan autis kurang mendapatkan dukungan sosial dan diagnosis penyakit anak yang tertunda
menjadikan ibu memiliki tingkat stres yang lebih besar daripada ibu yang memiliki anak dengan
gangguan down syndrome. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut
apakah terdapat hubungan antara resiliensi dengan psychological well-being pada ibu yang
memiliki anak dengan gangguan autis.

METODE

Penelitian ini dilakukan di Klinik Tumbuh Kembang Anak Yamet, Candradimuka Special Needs
School, Sekolah Purba Adhika, SLB Sarana Terpadu, SLBC Winasis, Sekolah Dasar Pantara,
Sekolah Alam Indonesia, dan Sekolah Citra Alam Ciganjur. Populasi penelitian ini adalah ibu yang
memiliki anak dengan gangguan autis di Jakarta Selatan sejumlah 101 ibu. Sampel penelitian
berjumlah 48 ibu yang diperoleh dengan teknik cluster random sampling.
Pengambilan data penelitian menggunakan Skala Psychological Well-Being (31 aitem, α =
0,906) yang disusun berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh Ryff (dalam Wells,
2010), yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan
lingkungan, tujuan hidup, dan pengembangan diri. Skala Resiliensi (35 aitem, α = 0,918) disusun
berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Reivich dan Shatte (2002) yaitu regulasi emosi,
kontrol impuls, optimisme, analisis sebab-akibat, empati, efikasi diri, dan menjangkau di luar diri.
Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian adalah analisis regresi
sederhana dengan menggunakan SPSS versi 20.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelum uji hipotesis, dilakukan uji asumsi terlebih dahulu. Uji asumsi yang harus dipenuhi untuk
melakukan analisis regresi sederhana, yaitu uji normalitas dan uji linieritas.

Nilai Kolmogorov-Smirnov saat uji normalitas variabel resiliensi sebesar 0,707 dengan signifikansi
sebesar 0,700 (p>0,05) dan psychological well-being sebesar 0, 867 dengan signifikansi sebesar
0,440 (p>0,05), sehingga sebaran data kedua variabel memiliki distribusi normal. Uji linieritas
hubungan antara variabel resiliensi dan psychological well-being hasil F=153,68 dengan
signifikansi p=0, 000 (p<0,001) sehingga hubungan antara kedua variabel linier.

Hasil uji asumsi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa (1) data penelitian ini terdistribusi
secara normal dan (2) variabel resiliensi dan psychological well-being memiliki hubungan yang
linier. Hasil tersebut menggambarkan bahwa kedua uji asumsi tes parametrik dapat terpenuhi.
Dengan demikian, metode statistik yang akan digunakan dalam tahap selanjutnya adalah analisis
regresi sederhana yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel dan
memprediksi seberapa besar peran resiliensi pada psychological well-being. Selanjutnya, hasil
analisis regresi mengatakan terdapat korelasi antara resiliensi dengan psychological well-being
melalui nilai koefisien r = 0,87 dengan sginifikansi 0,000 (p<.0,001). Menunjukan bahwa adanya
arah hubungan yang positif, sehingga semakin tinggi resiliensi maka akan tinggi pula
psychological well-being ibu begitu pula sebaliknya. sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan positif yang signifikan antara resiliensi dan psychological well-being diterima.

Resiliensi memberikan sumbangan efektif sebesar 77% pada psychological well-being (R2 = 0,77).
Hal ini berarti psychological well-being pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis di
Jakarta Selatan ditentukan oleh resiliensi sebesar 77%, sedangkan 23% ditentukan oleh faktor lain
yang tidak diungkap di dalam penelitian ini. Persamaan garis regresi dalam penelitian ini adalah
Y= 19,40 + 0,71X. Arti persamaan di atas adalah variabel psychological well-being (Y) akan
berubah sebesar 0,71 untuk setiap unit perubahan yang terjadi pada variabel resiliensi (X).

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Souri dan Hasanirad (2011) yang mengatakan
bahwa resiliensi memainkan peran kunci dalam psychological well-being. Resiliensi dalam
penelitian tersebut memberikan sumbangan efektif yaitu sebesar 27% terhadap psychological well-
being pada mahasiswa kedokteran. Hasil penelitian oleh Malkoç dan Yalçin (2015) juga
menunjukkan bahwa resiliensi memberikan sumbangan efektif terhadap psychological wellbeing
sebesar 32%.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan positif antara resiliensi
dengan psychological well-being pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis di Jakarta
Selatan. Apabila resiliensi semakin tinggi maka akan semakin tinggi psychological well-being.
Sebaliknya, semakin rendah resiliensi maka semakin rendah pula psychological well-being.
Sebaliknya, semakin rendah resiliensi maka akan semakin rendah pula psychological well-being
ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis. Resiliensi memberikan sumbangan efektif sebesar
77% pada psychological well-being ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis.
DAFTAR PUSTAKA

Abbeduto, L., Seltzer, M. M., Shattuck, P., & Murphy, M. M. (2004). Psychological well-being
and coping in mothers of youths with autism, down syndrome, or fragile x syndrome.
American Journal on Mental Retardation, 109(3), 237–254.
Campbell-Sills, L., Cohan, S. L., & Stein, M. B. (2006). Relationship of resilience to personality,
coping, and psychiatric symptoms in young adults. Behaviour Research and Therapy,
44(4), 585–599. doi.org/10.1016/j.brat.2005.05.001
Cox, C. R., Eaton, S., Ekas, N. V, & Enkevort, E. A. Van. (2015). Research in Developmental
Disabilities Death concerns and psychological well-being in mothers of children with
autism spectrum disorder. Research in Developmental Disabilities, 45–46, 229–238.
doi.org/10.1016/j.ridd.2015.07.029
Hayat, I., & Zafar, M. (2015). Relationship between psychological well-being and coping
strategies among parents with down syndrome children. International Journal of
Humanities and Social Science, 5(71), 109–117. doi.org/2220-8488
Lestari, F. A., & Mariyati, L. I. (2015). Resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome di
Sidoarjo. Psikologia, 3(1), 141-155.
Malkoç, A., & Yalçin, İ. (2015). Relationships among resilience, social support, coping, and
psychological well-being among university studentss. Turkish Psychological Counseling
and Guidance Journal, 5(43), 35–43.
Muniroh, S. M. (2010). Dinamika resiliensi orang tua anak autis. Jurnal Penelitian, 7(9), 1–11.
Sarubin, N., Wolf, M., Giegling, I., Hilbert, S., Naumann, F., Gutt, D., … Padberg, F. (2015).
Neuroticism and extraversion as mediators between positive/negative life events and
resilience. Personality and Individual Differences, 82, 193–198.
doi.org/10.1016/j.paid.2015.03.028
Souri, H., & Hasanirad, T. (2011). Social and relationship between resilience, optimism and
psychological well-being in students of medicine. Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 30, 1–4. doi.org/10.1016/j.sbspro.2011.10.299
Wells, I. E. (Ed.). (2010). Psychological Well-Being. New York: Nova Science Publishers, Inc.
REVIEW JURNAL

Judul Relationship Between Psychological Well-Being And Coping


Strategies Among Family Caregivers Of Children With Down
Syndrome (Hubungan Antara Kesejahteraan Psikologis Dan Strategi
Koping Pada Pola Asuh Keluarga Dengan Anak Down Syndrome )
Nama Jurnal Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir
Volume Vol. 11 No. 4
Halaman 155-172
Tahun terbit 2020
Peneliti Amgad Said Mohammed, Sahar Mahmoud Eliwa, Rania Abdel-
Hamid Zaki
Sumber https://ejhc.journals.ekb.eg/article_125752.html
Reviewer Yola Amantha Wibawa (1910801098)
(nama dan NIM
mahasiswa yang
mereview)
Tanggal Review 20 Mei 2022

Latar belakang Down syndrome paling umum disebabkan oleh disabilitas


intelektual. Umumnya down syndrome mengakibatkan pertumbuhan
yang tertunda, masalah kesehatan, dan kesulitan dalam
melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari serta defisit
intelektual. Pola asuh keluarga dari anak-anak dengan DS mungkin
mengalami banyak tantangan termasuk, tetapi tidak terbatas pada,
perkembangan, medis, masalah pendidikan, sosial dan keuangan
(Pisula, 2017). Pola asuh keluarga dengan anak-anak dengan DS
perlu menyusun strategi koping dan sumber daya untuk menghadapi
perawatan. Mengasuh anak dengan down syndrome membutuhkan
penggunaan strategi koping yang efektif yang memiliki efek pada
kesejahteraan psikologis pada keluarga.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
kesejahteraan psikologis dan strategi koping pada pola asuh keluarga
dengan anak down syndrome.
Kerangka Teoritik Pola asuh dalam keluarga dari anak-anak dengan disabilitas mungkin
mengalami perubahan psikologis, dan perubahan ini dapat terjadi
bersamaan dengan gejala negatif seperti depresi. Jadi, mengatasi
koping dan kesejahteraan psikologis dalam pola asuh keluarga anak-
anak dengan DS adalah diperlukan untuk meningkatkan kesehatan
dan kualitas hidup mereka secara keseluruhan juga seperti anggota
keluarga lainnya (Hayat, 2016).
Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan metode kuantitatif.

Komentar refleksi Penelitian ini secara umum baik dengan subjek yang digunakan
reviewer masih tergolong sedikit digunakan dalam penelitian. Hanya saja
karena penelitian ini menggunakan Bahasa asing dan ketika diubah
ke Bahasa Indonesia terdapat beberapa kata yang sulit untuk
diartikan. Namun secara keseluruhan penelitian ini sangat bisa
digunakan sebagai bahan acuan penelitian selanjutnya karena teori
yang digunakan cukup baru.
Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4
Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa
Indonesia - www.onlinedoctranslator.com

Artikel asli Jurnal Perawatan

Hubungan antara Kesejahteraan Psikologis dan Coping


Strategi antara Pengasuh Keluarga Anak dengan
Sindrom Down

Amgad Said Mohammed1, Sahar Mahmoud Eliwa 2, Rania Abdel-Hamid Zaki 3 Fakultas Keperawatan Psikiatri/Kesehatan Jiwa Universitas Ain
Shams.

Abstrak

Latar belakang: Mengasuh anak dengan Down Syndrome membutuhkan penggunaan strategi koping yang efektif yang mungkin memiliki efek penyangga pada
kesejahteraan psikologis pengasuh keluarga. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara kesejahteraan psikologis dan strategi koping
antara pengasuh keluarga anak dengan sindrom Down.Desain: Desain penelitian deskriptif digunakan dalam penelitian ini.Pengaturan: Penelitian ini dilakukan
di
Klinik Gen DS di klinik khusus rumah sakit anak universitas yang berafiliasi dengan Rumah Sakit Universitas Ain Shams.mata pelajaran: Sampel 120 pengasuh
keluarga anak down syndrome. Alatalat penelitian adalah: 1) Kuesioner Wawancara, 2) Skala kesejahteraan psikologis Ryff (1989) dan 3) Inventaris Brief-COPE
(Carver, 1997).Hasil: Studi menunjukkan bahwa pengasuh keluarga anak dengan DS menggabungkan antara strategi koping yang berfokus pada emosi dan
fokus pada masalah dalam mengelola beban pengasuhan anak dan strategi koping yang berfokus pada emosi yang paling sering digunakan adalah penerimaan
dan agama sedangkan strategi koping yang berfokus pada masalah yang paling sering digunakan adalah penggunaan dukungan instrumental. Mengenai
kesejahteraan psikologis, hampir dua pertiga pengasuh keluarga anak-anak dengan DS memiliki kesejahteraan psikologis yang kurang dari
biasanya.Kesimpulan: Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara tingkat kesejahteraan psikologis dengan strategi koping yang berfokus pada emosi
kecuali penggunaan dukungan emosional, penerimaan, gangguan diri, curhat, humor dan agama. Sementara itu, terdapat hubungan positif yang signifikan
antara tingkat kesejahteraan psikologis dan strategi koping yang berfokus pada masalah kecuali untuk reframing positif. Rekomendasi: Penelitian masa depan
untuk menilai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peran pengasuhan dan tantangan yang berbeda yang dihadapi oleh pengasuh keluarga dalam
membesarkan anak-anak usia yang berbeda dengan DS.
Kata kunci:kesejahteraan psikologis, strategi koping, sindrom Down

pengantar anak-anak dengan DS mungkin menghadapi


banyak tantangan termasuk, namun tidak
Turun Sindroma, itu paling penyebab terbatas pada, masalah perkembangan, medis,
genetik umum kecacatan intelektual, umumnya pendidikan, sosial dan keuangan (Pisula, 2017).
terkait dengan fenotipe unik dan mungkin
melibatkan pertumbuhan yang tertunda, masalah Pengasuh keluarga anak-anak dengan DS
kesehatan tambahan dan kesulitan dalam melakukan menggunakan mengatur strategi koping dan sumber daya untuk menghadapi
aktivitas hidup sehari-hari serta defisit intelektual. beban perawatan. Mereka menggunakan keduanya adaptif (misalnya,
pembingkaian ulang positif;
Pengasuh keluarga dari

155
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4

mencari dukungan sosial) dan strategi koping maladaptif


(misalnya, pelepasan perilaku), dengan kecenderungan ke arah
metode koping adaptif seperti mencari dukungan sosial dan
pembingkaian ulang positif (Bonab, Motamedi & Zare, 2017).

Reaksi negatif dan positif untuk membesarkan anak dengan DS


mungkin tidak berada di ujung yang berlawanan dari

kontinum. Pengasuh keluarga dari anak-anak


penyandang cacat mungkin mengalami perubahan Pertanyaan Penelitian: Penelitian ini
psikologis yang positif, dan perubahan ini dapat terjadi didasarkan pada jawaban atas pertanyaanpertanyaan
bersamaan dengan gejala negatif seperti kesusahan
berikut:
dan depresi. Jadi, menilai strategi koping dan
kesejahteraan psikologis di antara pengasuh keluarga
anak-anak dengan DS adalah masalah penting dan 1.Berapa levelnya? kesejahteraan
vital(Hayat, 2016). psikologis di antara pengasuh keluarga anak-
anak dengan sindrom Down?

2. Apa itu strategi koping? antara pengasuh


Pentingnya belajar keluarga anak-anak dengan sindrom Down?

Mengasuh anak dengan DS


menghadirkan tantangan luar biasa bagi 3. Apakah ada hubungan antara kesejahteraan
pengasuh keluarga yang seringkali harus psikologis dan strategi koping di antara pengasuh
membantu anak-anak mereka dengan keluarga anakanak dengan sindrom Down?
keterampilan hidup sehari-hari, mengelola
gejala dan masalah perilaku komorbid mereka Subjek dan Metode
serta menavigasi sistem layanan disabilitas
yang kompleks. Tantangan-tantangan ini tidak Desain penelitian:Desain deskriptif telah
terbatas pada tahun-tahun awal masa kanak- digunakan untuk memenuhi tujuan penelitian
kanak, tetapi meluas ke masa remaja dan dan menjawab pertanyaan penelitian.
dewasa. Anak-anak dengan DS sering terus
tinggal bersama pengasuh keluarga mereka
dan dengan demikian pengasuh keluarga terus Pengaturan Studi:Penelitian ini dilakukan di
memiliki tingkat tanggung jawab, stres, dan Klinik Gen DS di klinik khusus rumah sakit
beban pengasuhan sehari-hari yang lebih anak universitas yang berafiliasi dengan
tinggi. Pemanfaatan strategi koping yang Universitas Ain Shams.
efektif telah diidentifikasi sebagai mekanisme
penting dalam mengelola beban pengasuh mata pelajaran:Sampel 120 pengasuh keluarga anak
dengan sindrom Down yang setuju untuk berpartisipasi
keluarga dan meningkatkan kesejahteraan dalam penelitian dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
psikologis mereka. Jadi,

kesehatan dan kualitas hidup secara keseluruhan serta anggota


keluarga lainnya.

Tujuan studi

Kaji hubungan antara kesejahteraan psikologis dan


strategi koping di antara pengasuh keluarga anak-
anak dengan sindrom Down.

156
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4

Kriteria inklusi untuk anak down syndrome:


A-Bagian pertama: data yang disertakan

terkait ke sosio-demografis
karakteristik pengasuh keluarga seperti; umur,
- Intelligence Quotient (IQ) dari (25- jenis kelamin, alamat tingkat pendidikan, dll.
70).
- Jenis Kelamin: kedua jenis kelamin (laki-laki dan
perempuan).
B-Bagian kedua:termasuk data terkait ke
- Bebas dari gangguan neurologis atau
sosio-demografis
penyakit psikiatri. ciri-ciri anak down syndrome seperti; umur, jenis
kelamin, pendidikan, dll.
Kriteria eksklusi untuk anak-anak
dengan DS: 2-- Skala kesejahteraan psikologis Ryff (1989):
- Memiliki cacat lain yang tidak
terkait dengan DS. Hal itu disesuaikan oleh peneliti. Ini digunakan
- Punya saudara atau keluarga lain untuk menilai tingkat kesejahteraan psikologis
anggota penyandang disabilitas. di antara

Kriteria inklusi untuk pengasuh keluarga anak-anak sampel. Terdiri dari 42 item.
dengan sindrom
Down: 3- Inventaris singkat-COPE

- Anggota keluarga yang memberi langsung


perawatan kepada anak.

- Hanya memiliki satu anak cacat.


Ini awalnya dikembangkan oleh (Carver,
- Bebas dari penyakit kejiwaan. - Merawat
1997) dan diadaptasi oleh peneliti. Itu digunakan untuk
anak setidaknya menilai strategi koping di antara pengasuh keluarga
satu tahun.
anak-anak dengan sindrom Down. Ini terdiri dari 28
item yang disajikan dalam bentuk pernyataan koping
dan responden diminta untuk menilai apakah
Kriteria eksklusi untuk pengasuh mereka telah atau belum menggunakan setiap cara
keluarga anak-anak dengan DS: koping pada skala tiga poin yang sepenuhnya berlabuh
- Memiliki lebih dari satu yang dinonaktifkan mulai dari “Saya belum pernah melakukan ini di all”
menjadi “Saya sudah sering melakukan ini”.
anak
- Memiliki cacat fisik atau
penyakit psikiatri.
Validitas dan reliabilitas alat
Alat Pengumpulan Data
1-Wawancara sosial
Demografis Daftar pertanyaan
“Lampiran I”

Ini dirancang oleh peneliti setelah meninjau literatur terkait


dan itu termasuk dua bagian:
Untuk mencapai kriteria keterpercayaan alat
pengumpulan data dalam penelitian ini, alat tersebut
diuji dan dievaluasi validitas muka dan isi, dan
reliabilitasnya. Validitas wajah dan isi diuji oleh lima

ahli dari anggota fakultas di bidang keperawatan dan


psikologi dari
Universitas Ain Shams dan Tanta.
Studi percontohan

157
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4

Studi percontohan dilakukan untuk 10% sampel (12 - Peneliti bertemu 120 keluarga pengasuh anak-
pengasuh keluarga anak dengan sindrom Down yang setuju untuk terlibat
anak down syndrome) untuk menguji dalam sampel
keandalan, kejelasan pertanyaan dan penerapan alat, - Peneliti memulai penelitian.
dan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya wawancara dengan setiap pengasuh keluarga secara
kemudian alat dimodifikasi sesuai dengan temuan individual menggunakan alat pengumpulan data.
studi percontohan . Subyek yang berbagi dalam studi
percontohan dikeluarkan dari sampel studi utama.
Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi alat-alat - Kuesioner dibacakan,
tersebut sekitar 10 sampai 15 menit. dijelaskan, dan pilihan dicatat oleh peneliti.
Waktu yang digunakan untuk mengisi lembar
kuesioner berkisar antara 10 sampai 15 menit,
sehingga pengumpulan data berkisar

Pekerjaan lapangan
antara 4 sampai 6 pengasuh setiap minggunya.

- Pengumpulan data penelitian ini adalah


dilakukan setelah izin diberikan untuk melanjutkan bulan, dari 3
- Pengumpulan data berlangsung selama enam

penelitian. September 2017 hingga 4 Maret 2018.

- Tujuan penelitian adalah


hanya menjelaskan kepada pengasuh keluarga Pertimbangan etis
yang setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian
sebelum pengumpulan data. Persetujuan penelitian dari setiap
peserta untuk berbagi dalam penelitian telah
diambil. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan
penelitian kepada subjek. Peneliti menjaga
- Partisipasi sukarela dan kerahasiaan anonimitas dan kerahasiaan data subjek. Subyek
dijamin oleh peneliti untuk setiap pengasuh keluarga diperbolehkan untuk memilih untuk berpartisipasi
melalui klarifikasi kepada mereka bahwa semua atau tidak berpartisipasi,
informasi akan digunakan untuk penelitian ilmiah saja. dan mereka memiliki hak untuk mengundurkan diri
dari penelitian setiap saat tanpa penalti.
- Sampel dipilih sesuai dengan kriteria
inklusi. Desain Statistik

- Satu hari per minggu (setiap hari Minggu)


melalui penggunaan alat-alat studi oleh peneliti Analisis statistik data dilakukan dengan
menggunakan Statistical Package for

- Data dikumpulkan selama pagi pada waktu


kerja Klinik Gen DS di Klinik Khusus di Rumah Sakit
Anak Kelahiran bayi dengan Down sindrom atau mengetahui bahwa
Universitas yang berafiliasi dengan seorang anak menderita sindrom Down dapat menjadi
Rumah Sakit Universitas Ain Shams.
Social Science (SPSS), versi 22. Data bagian pertama adalah data
deskriptif yang direvisi, dikodekan, ditabulasi dan dianalisis
secara statistik menggunakan persentase, mean aritmatika (x)
dan standar penyimpangan
(SD). Tes berikut adalah

158
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4

seluruh keluarga. Keluarga Pengasuh anak down syndrome


digunakan untuk menguji hubungan untuk signifikansi. -P. Nilai>0,05(Tidak Signifikan)
Untuk data kuantitatif dengan uji chikuadrat korelasi oleh
Pears pada korelasi.
-P.Nilai≤0,05(signifikan)
Hasil tingkat signifikansi
-P.Nilai≤0,001(Sangat
adalah:- Penting)
Hasil
dan hanya (3,3%) yang memiliki kesejahteraan
psikologis lebih baik dari biasanya.

Tabel 1): Ini menjelaskan bahwa,


proporsi tertinggi (91,7%) pengasuh keluarga Tabel (4):menjelaskan bahwa pengasuh
adalah ibu, dan lebih dari setengah (60,9%) keluarga menggunakan strategi koping yang berfokus
berada di kelompok usia (35-<55) tahun, pada emosi yang berbeda dan strategi yang paling umum
pengasuh menikah lebih dari dua pertiga dari digunakan adalah penerimaan (100%) dan agama
penelitian sampel (69,2%), juga mewakili (96,67%) tetapi penyalahgunaan zat adalah yang paling
pengasuh yang buta huruf (55,8%), sebagian sedikit digunakan (1,67%).
besar sampel penelitian (86,7%) tidak bekerja,
sebagian besar sampel (75,8%) memiliki
pendapatan keluarga tidak cukup, dan lebih
Tabel (5):menunjukkan bahwa pengasuh
dari setengahnya (59,2 %) tinggal di pedesaan.
Menurut riwayat keluarga, persentase keluarga menggunakan strategi koping berfokus masalah yang

tertinggi tidak memiliki riwayat keluarga untuk berbeda, strategi yang paling umum digunakan adalah
penyakit kejiwaan atau sindrom Down. Mereka penggunaan dukungan instrumental (89,17%) tetapi koping
mewakili (95,8%) dan (85,8%) masing-masing. aktif adalah yang paling sedikit digunakan (45,83%).

Tabel (6):menunjukkan bahwa ada


korelasi negatif yang signifikan antara

Meja 2):menjelaskan bahwa lebih dari tingkat kesejahteraan psikologis dan strategi
dua pertiga pengasuh keluarga (70,8%) tidak memiliki koping yang berfokus pada emosi kecuali untuk
penerimaan diri, sementara lebih dari seperempat subskala penggunaan dukungan emosional,
(27,5%) memiliki hubungan dan tujuan positif dalam
hidup dan seperempat (25,0%) memiliki pertumbuhan penerimaan, gangguan diri, ventilasi, humor dan
pribadi. agama.

Tabel (7):mengungkapkan bahwa


Tabel (3):menggambarkan tingkat ada korelasi positif yang signifikan antara tingkat
kesejahteraan psikologis di antara sampel penelitian dan kesejahteraan psikologis dan strategi koping yang
menunjukkan bahwa hampir dua pertiga pengasuh berfokus pada masalah dari pengasuh keluarga
keluarga (65,83%) memiliki kesejahteraan psikologis anak-anak dengan sindrom Down kecuali untuk
yang kurang dari biasanya
subskala reframing positif.

Diskusi peristiwa traumatis bagi pengasuh keluarga dan


dapat memiliki efek mendalam pada
menghadapi serangkaian masalah fisik, emosional, finansial dan
sosial

159
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4
masalah, yang secara langsung mempengaruhi pengelolaan anak dan terpaksa tinggal di
kesejahteraan psikologis pengasuh keluarga. Ketika pengasuh keluarga rumah lebih lama untuk mengasuh anak cacat.
mengalami stres, mereka menggunakan strategi tertentu untuk
mengatasi stres ini untuk mengatur emosi mereka. Strategi koping yang Hasil studi saat ini mewakili bahwa sebagian besar pengasuh
berfokus pada masalah biasanya diarahkan pada perolehan sumber daya keluarga tidak memiliki pendapatan keluarga yang cukup. Mungkin karena
untuk membantu mengatasi masalah yang mendasarinya sementara sebagian besar ibu adalah ibu rumah tangga dan ayah adalah satu-satunya
koping yang berfokus pada emosi dapat mengurangi tingkat stres dalam pencari nafkah serta peningkatan biaya tambahan untuk penyediaan
jangka pendek, tetapi dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis pengobatan dan rehabilitasi, untuk perabotan rumah khusus, untuk
pakaian dan makanan, untuk mainan atau buku khusus.
dalam jangka panjang.

Sosial-Demografi Tingkat Kesejahteraan


Karakteristik pengasuh keluarga anakanak dengan Psikologis Keluarga Pengasuh Anak
sindrom Down Down Syndrome
Hasil studi saat ini mengungkapkan bahwa proporsi pengasuh anak dengan sindrom Down memiliki tingkat kesejahteraan
keluarga tertinggi adalah ibu. Ini mencerminkan ikatan emosional psikologis yang rendah.
antara ibu dan anak. Jadi, ibu yang melepaskan pekerjaan atau
kariernya untuk tinggal di rumah dan mengambil alih sebagian besar
tanggung jawab pengasuhan anak.

Hasil studi saat ini mewakili bahwa lebih dari dua pertiga
sampel penelitian sudah menikah. Hal ini mencerminkan stabilitas
emosional antara pengasuh orang tua yang memungkinkan mereka
untuk dapat melakukan yang terbaik untuk menghadapi beban
pengasuhan anak.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pengasuh yang


buta huruf mewakili lebih dari setengah sampel penelitian.
Mungkin karena lebih dari separuh sampel penelitian tinggal
di pedesaan dan mayoritas adalah perempuan di atas usia 35
tahun.

Hasil penelitian saat ini menjelaskan bahwa mayoritas sampel


penelitian adalah pengangguran. Mungkin karena pengasuh
keluarga, biasanya ibu, adalah
Hasil studi saat ini menunjukkan bahwa bahwa mayoritas pengasuh
keluarga memiliki kesejahteraan psikologis yang kurang dari
biasanya. Ini mungkin karena beberapa pengasuh keluarga mungkin
masih merasa distigmatisasi oleh kondisi anak-anak mereka, dan
tidak mau bersosialisasi, yang dapat menyebabkan stres dan dengan
demikian berdampak negatif pada kesejahteraan psikologis mereka.
Selaras dengan ini,McGuire dan Chicoine (2002) mengklarifikasi
bahwa sikap negatif untuk bersosialisasi dapat membatasi peluang
penting untuk mengembangkan hubungan positif dengan orang lain,
dan dapat menyebabkan isolasi sosial yang mengarah pada
penurunan kesejahteraan psikologis. Selain itu, kesejahteraan
psikologis pengasuh juga dapat dipengaruhi oleh faktor kontekstual,
faktor anak (tingkat kecacatan, adanya masalah perilaku dan
penyesuaian anak pengasuhsecara keseluruhan),terkait

karakteristik (strategi koping, dukungan dari keluarga dan teman),


dan juga oleh pendidikan dan faktor demografis lainnya). Selaras
dengan ini,Hayat (2015), ditunjukkanbahwa pengasuh keluarga anak
down syndrome mengalami stres, kecemasan, dan tingkat kepuasan
hidup yang rendah, tidak memiliki pola asuh yang baik.
anak hubungan dan dengan demikian memiliki kesejahteraan psikologis
kurang dari biasanya. Selain itu,Parameswari dan Eljo
(2016),melaporkan bahwa lebih dari separuh pengasuh keluarga
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4

strategi yang dapat diterima secara sosial untuk mengatasi dan


meningkatkan kesadaran pengasuh akan bahaya yang disertai dengan
penggunaan zat. Hasil ini sesuai denganHayat, (2015), yang melaporkan
bahwa penggunaan zat adalah strategi yang berfokus pada emosi yang
paling jarang digunakan oleh pengasuh keluarga anak-anak

Hasil studi saat ini mewakili


bahwa penyalahgunaan zat adalah strategi koping yang berfokus pada
dengan sindrom Down. emosi yang paling sedikit
Emosi- Terfokus Mengatasi digunakan di mana tidak
Strategi pengasuh keluarga anakanak dengan ada pengasuh keluarga
Masalah- Terfokus Strategi pengasuh
Mengatasi
sindrom Down:- yang menggunakan obat
keluarga anakanak dengan sindrom Down:-
penenang atau barbiturat
Hasil studi saat ini mewakili untuk keluar dari
bahwa pengasuh keluarga menggunakan strategi koping Hasil studi saat ini mewakili bahwa sehubungan kenyataan yang
yang berfokus pada emosi yang berbeda dan strategi dengan penggunaan dukungan instrumental; menyakitkan. Mungkin
yang paling umum digunakan adalah penerimaan dan mayoritas pengasuh keluarga telah mendapatkan
karena religiusitas yang
bantuan dan nasihat dari psikiater, psikolog atau
agama melalui menerima kenyataan dan menjadi puas sangat lazim di komunitas
pekerja sosial. Jadi, dukungan instrumental merupakan
dengannya, menganggap kecacatan anak sebagai ujian strategi koping yang paling banyak dilaporkan. kita di mana penggunaan
dari Allah, mencari bantuan dari Allah untuk Mungkin karena kebutuhan mereka untuk mengetahui narkoba tidak
menyelesaikan masalah anak. Ini mungkin dikaitkan lebih banyak tentang kecacatan anak mereka, keluhan
fisik anak mereka terkait dengan kecacatan, perubahan terhadap stres yang
dengan itikad baik dan religiusitas yang sangat lazim di dirasakan, atau dengan
perilaku anak sindrom Down, bagaimana menghadapi
komunitas kita di mana anak cacat dapat dianggap kesulitan tersebut dan bagaimana mengatasi beban. memfasilitasi perilaku
sebagai hadiah dari Tuhan. Sikap optimis seperti itu Penelitian ini sesuai dengan Tajrishi, Azadfallah,
yang sehat. Di sisi lain,
dapat membantu meningkatkan adaptasi pengasuh. Hal Garakani, & Bakhshi, (2015)yang melaporkan bahwa
pengasuh keluarga anakanak dengan sindrom Down Hasil saat ini tidak
ini sejalan dengan penelitian di India olehSharma dan sesuai dengan Hayat,
menggunakan dukungan instrumental dengan
Gupta, (2017), yang melaporkan bahwa pengasuh persentase tinggi karena dukungan instrumental dapat (2015) siapa yang
keluarga sering menemukan kelegaan dalam mengurangi dampak penilaian stres dengan
melaporkantpengasuh
pendamaian agama dan penyerahan diri kepada memberikan solusi untuk masalah tersebut, dengan
mengurangi pentingnya masalah yang dirasakan, keluarga anak-anak
kehendak Tuhan ketika menghadapi anak cacat. Hasil dengan sindrom Down
dengan
pengasuhmenenangkan
keluarga yang sistem neuroendokrin
mendapatkan dukungansehingga
penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang orang kurang reaktif lebih menekankan
Hasil studi
dilakukan saat ini
olehKaren mewakili
dan Eva, (2016) yang menemukan emosional baik karena di Mesir, keluarga memainkan peran
penggunaan strategi
bahwa
bahwa dalam hal pembingkaian
penerimaan dan agama kembali positif, sebagian penting dalam memberikan dukungan kepada anggota yang
koping yang berfokus
besar pengasuh keluarga menggunakan
memiliki skor rata-rata tertinggi pembingkaian
dari sub-skala strategi koping. tertekan dan anggota tetap bersama pada saat krisis dan
pada masalah dan yang
kembali positif di mana mereka telah berkonsentrasi dukungan emosional ini diperkenalkan oleh pasangan,
paling
pada hal yang baik untuk mencapai tingkat otonomi anak anggota keluarga lainnya , kerabat, teman atau tetangga
strategi koping yang
tertentu. Mungkin karena penerimaan yang membantu pengasuh keluarga untuk mengekspresikan
dilaporkan adalah
mendorong pengasuh keluarga untuk melihat masalah perasaan mereka
perencanaan dan koping
dari sisi positifnya. Hasil ini sejalan dengan Parameswari dan menjadi terlibat dengan individu dan masyarakat dan
aktif.
dan Eljo, (2016),yang melaporkan bahwa beberapa dengan demikian mengurangi kecemasan mereka dan
strategi mengenai
pengasuh keluarga menerima kenyataan dan cenderung meningkatkan
subskala daripenggunaan
menjalani kehidupan yang positif dalam kesejahteraan psikologis. Hasil ini sesuai dengan Alexander
dan Walendzik, (2016),yang melaporkan bahwa Pengasuh dukungan emosional.
mengembangkan keterampilan dan harga diri mereka;
keluarga dengan sindrom Down yang umumnya Kesejahteraan psikologis
itu juga mengembangkan kepercayaan diri untuk menggunakan strategi koping adaptif, seperti dukungan
membantu anak mereka mempertimbangkan masa emosional, menemukan peluang untuk tumbuh dari Korelasi di antara
depan mereka dan mencapai tingkat tertentu dari tantangan spesifik dalam situasi kehidupan mereka. Ini kesejahteraan psikologis
membantu mereka berada pada risiko rendah untuk dan strategi koping yang
otonomi anak. masalah kesehatan psikologis dan fisik, dibandingkan berfokus pada emosi: -
dengan pengasuh keluarga yang menggunakan strategi
yang agak disfungsional untuk mengatasi faktor-faktor stres
Hasil studi saat ini mewakili dalam hidup mereka.
bahwa pengasuh keluarga menggunakan koping dan
Hasil studi saat ini
perencanaan aktif dengan persentase yang rendah. Ini mewakili bahwa ada
mungkin karena sifat sampel penelitian dimana mayoritas
korelasi positif yang
pengasuh keluarga buta huruf, miskin dan menganggur.
Semua faktor ini signifikan antara
kesejahteraan
psikologis dan koping
yang berfokus pada
menyebabkan pengasuh keluarga memiliki sedikit kesempatan Hasil studi saat ini mewakili bahwa ada emosi meningkatkan
untuk merencanakan atau mengatasi secara aktif. Hasil ini tidak korelasi positif yang signifikan antara
sesuai dengan Hayat, kesejahteraan psikologis dan strategi koping yang
(2015)yang melaporkan bahwa pengasuh keluarga anak- berfokus pada emosi mengenai subskala
anak dengan sindrom Down lebih menekankan penggunaan penerimaan. Hasil ini dapat dikaitkan dengan
strategi koping yang berfokus pada masalah dan strategi itikad baik dan religiusitas yang sangat lazim di
koping yang paling banyak dilaporkan adalah perencanaan
dan koping aktif.
komunitas kami di mana anak cacat dapat
dianggap sebagai hadiah dari Tuhan.

Sikap optimis seperti itu dapat membantu


Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4

adaptasi pengasuh dan kesejahteraan psikologis. Hasil ini Hasil studi saat ini mewakili bahwa ada korelasi negatif
sesuai dengan Parameswari dan Eljo, (2016), yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan strategi
siapa
koping yang berfokus pada emosi mengenai
melaporkan bahwa pengasuh keluarga yang subskalapenolakan.Ini mungkin karena
menerima kenyataan kecacatan anak mereka cenderung
menjalani kehidupan yang positif dalam mengembangkan keterampilan koping dan
Hasil studi saat ini mewakili bahwa ada korelasi negatif
harga diri mereka; juga
yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan strategi
mengembangkan kepercayaan diri dan dengan demikian
koping yang berfokus pada emosi mengenai subskala
meningkatkan kesejahteraan psikologis mereka. Di sisi lain,
penggunaan zat. Ini mungkin karena penggunaan zat tidak
Penelitian saat ini memberikan solusi permanen untuk masalah dan menyebabkan
tidak sesuai dengan Penley dkk., (2012), efek negatif melalui mempengaruhi fungsi intelektual pengasuh
jenis emosi - koping terfokus seperti
siapa yang paling banyak melaporkan?
keluarga dan kemampuan mereka untuk menghadapi masalah
menerima tanggung jawab terkait dengan respons stres yang atau untuk menghadapi situasi saat ini atau untuk memberikan
lebih tinggi dan kesejahteraan psikologis yang kurang. Hasil alternatif yang tepat untuk pengasuhan anak. Jadi, penggunaan
studi saat ini juga tidak sesuai denganPenebang, Hauser- narkoba berdampak negatif pada kesejahteraan psikologis
Cram, (2013),yang melaporkan bahwa gaya koping yang berfokus pengasuh keluarga. Penelitian ini sesuai dengan Pisula,
pada emosi seperti penerimaan tanggung jawab terkait dengan (2010),yang melaporkan bahwa penggunaan zat sebagai cara
tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah. untuk mengatasi dikaitkan dengan fungsi psikologis yang lebih
buruk.
penggunaan strategi koping penolakan berfungsi untuk keluar dari tetapi dapat menyebabkan peningkatan tekanan ketika stresor
kenyataan yang mengarah pada kepuasan hidup yang lebih rendah, berlanjut.
pengaruh yang kurang positif, hubungan orang tua-anak yang buruk, Hasil studi saat ini mewakili
peningkatan penderitaan mental dan keputusasaan serta bahwa ada korelasi negatif yang signifikan antara kesejahteraan psikologis
peningkatan tingkat morbiditas dan kelelahan psikiatri. Penelitian ini dan strategi koping yang berfokus pada emosi mengenai subskala
sesuai denganBonab, Motamedi, & Zare, (2017)yang menemukan menyalahkan diri sendiri. Mungkin karena menyalahkan diri sendiri
bahwa penggunaan penolakan sebagai strategi koping yang berfokus menyebabkan konsekuensi emosional yang berbeda seperti kemarahan,
pada emosi berfungsi untuk menghindari benar-benar menghadapi ketidakpuasan, suasana hati yang tertekan dan kehilangan minat yang
masalah, dan telah dilaporkan menunjukkan hubungan positif dapat menyebabkan penghambatan aktivitas yang berfokus pada masalah
dengan depresi dan hubungan negatif dengan hasil yang di masa depan dan dengan demikian kesejahteraan psikologis yang
memuaskan. Namun, hasil dari penelitian ini bertentangan dengan kurang. Hasil ini sesuai dengan Allen dan Leary, (2010), yang menemukan
yang dilaporkan oleh Kraaij dan Garnefski, (2016),yang menemukan bahwa menyalahkan orang lain terkait dengan perasaan yang lebih
bahwa strategi yang melibatkan distorsi persepsi realitas (misalnya depresi dan marah. Penelitian ini juga sejalan denganFolkman dan
penolakan) bersifat adaptif, terutama ketika situasi stres tidak dapat Lazarus, (1988),yang melaporkan bahwa menyalahkan memiliki efek
dihindari. Ada kemungkinan bahwa perbedaan ini terkait dengan negatif pada kesejahteraan psikologis.
sifat stresor yang dialami. dengan meningkatkan efektivitas koping yang berfokus pada
Hasil studi saat ini mewakili bahwa ada korelasi negatif masalah karena dapat memberikan individu kesempatan
yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan strategi untuk istirahat dan melepaskan diri dari situasi stres. Hasil
koping yang berfokus pada emosi mengenai subskala pelepasan studi saat ini juga tidak sesuai denganJason, (2015),yang
perilaku. Mungkin karena itu berfungsi untuk menghindari menemukan bahwa gangguan mendorong penyembuhan.
menghadapi masalah dan dengan demikian mempengaruhi Akibatnya, kesejahteraan pengasuh keluarga dapat
pemecahan masalah dan manajemen stres dan mengarah pada ditingkatkan.
kesejahteraan psikologis yang kurang. Hasil ini sesuai
denganShelley, Kraaij, dan Garnefski, (2014),yang melaporkan
Hasil studi saat ini mewakili bahwa tidak ada korelasi yang
bahwa strategi koping penghindaran atau pelepasan perilaku
signifikan antara kesejahteraan psikologis dan strategi koping yang
juga terkait dengan lebih banyak depresi dan kecemasan pada
berfokus pada emosi mengenai subskala dariventilasi.Mungkin
pengasuh keluarga anak-anak dengan sindrom Down. Di
karena ventilasi hanya memberikan jaminan palsu, tidak memberikan
samping itu,Pisula dan Kossakowska, (2010),melaporkan
solusi jangka panjang dan membutuhkan penggunaan strategi aktif
bahwa pelepasan perilaku dapat berguna dalam situasi tertentu, untuk meningkatkan
terutama yang bersifat jangka pendek dan tidak terkendali, koping dan kesejahteraan psikologis. Hasil

Hasil studi saat ini mewakili bahwa tidak ada korelasi penelitian ini tidak sesuai denganCramm dan Nieboer, (2011)yang
yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan strategi menemukan bahwa beberapa gaya koping yang berfokus pada
koping yang berfokus pada emosi mengenai subskala emosi (misalnya berfokus pada atau melampiaskan emosi)
darigangguan diri. Mungkin karena koping yang berfokus pada berhubungan dengan psikopatologi yang lebih besar dibandingkan
emosi seperti gangguan diri tidak memberikan dengan strategi yang berfokus pada emosi adaptif.
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4

solusi jangka panjang dan memerlukan kombinasi dengan berorientasi tugas (yaitu, fokus pada masalah) mengarah pada hasil
strategi fokus masalah lainnya untuk meningkatkan koping dan yang lebih positif.
Mungkin karena koping aktif biasanya
Hasil studi saat ini mewakili diarahkan pada perolehan sumber daya untuk Di sisi lain, penelitian
bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara membantu mengatasi masalah mendasar dan ini tidak sesuai
kesejahteraan psikologis dan strategi koping yang mengubah keadaan situasi. Semua faktor ini yang
denganDily,
berfokus pada emosi mengenai subskala dariagama. berkontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan
Mungkin karena agama hanya mewakili sebagai strategi psikologis pengasuh keluarga. Hasil ini sesuai dengan (2017),yang
yang mendukung untuk membantu pengasuh keluarga Hayat, (2016),yang menemukan bahwa strategi melaporkan bahwa
menerima kenyataan dan kepuasan hidup mereka, koping yang berfokus pada masalah seperti koping gangguan mengarah
tetapi pengasuh keluarga masih perlu menggunakan aktif berkorelasi positif dengan kesejahteraan pada kesejahteraan
strategi yang berfokus pada masalah di samping agama psikologis.
untuk membantu mereka psikologis yang lebih
baik (yaitu, respons
stres yang lebih rendah
dan kinerja yang lebih
menghadapi stresor dan memiliki kesejahteraan Hasil studi saat ini mewakili baik)
psikologis yang lebih baik. . Hasil ini tidak sejalan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara
denganJason, (2015), yang menemukan bahwa
Hasil studi saat ini
kesejahteraan psikologis dan strategi koping berfokus
pengasuh keluarga dapat mengalihkan masalah ke masalah pengasuh keluarga anak dengan sindrom Down mewakili
'kekuatan yang lebih tinggi' dan tampaknya melibatkan tentang penggunaan alat bantu.Mungkin sebagai bahwa tidak ada korelasi
diri mereka dengan agama ke tingkat yang lebih besar dukungan instrumental terjadi dengan memperoleh yang signifikan antara
dalam situasi yang lebih stres daripada di saat-saat informasi dari dokter, pekerja sosial, psikolog atau kesejahteraan psikologis
kurang stres dalam hidup mereka khususnya ketika pengasuh keluarga anakanak lain dengan disabilitas
agama lebih tersedia bagi mereka dan jika itu sudah dan strategi koping yang
yang sama. Informasi ini membantu pengasuh keluarga
menjadi bagian dari gaya hidup mereka dimana agama untuk menangani kecacatan anak dan perubahan berfokus pada emosi
meningkatkan kesejahteraan psikologis mereka. Juga, perilaku dan dengan demikian mempengaruhi mengenai subskala dari
hasil saat ini tidak sesuai denganSharma dan Gupta, kesejahteraan psikologis secara positif. Hasil penelitian humor. Mungkin karena
(2017)yang melaporkan bahwa pengasuh keluarga ini sejalan denganGlenn, Dayus, Cunningham, dan
sering menemukan kelegaan dalam pendamaian agama humor tidak memberikan
Horgan (2015),yang melaporkan bahwa dukungan
dan penyerahan diri kepada kehendak Tuhan ketika instrumental membantu pengasuh keluarga untuk solusi jangka panjang
menghadapi masalah yang sulit dipecahkan. Hasil saat memberikan perawatan yang tepat kepada anak-anak untuk masalah tersebut
ini juga tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan sindrom Down yang mungkin berdampak positif pada dan menyebabkan
olehHayat, (2015),yang menemukan bahwa ada pengasuh keluarga, seperti peningkatan harga diri atau
hubungan positif antara agama dan kesejahteraan pemborosan waktu jika
kepuasan diri dari memenuhi tanggung jawab dan
psikologis. digunakan pada waktu
yang tidak tepat. Hasil ini
sesuai dengan Ganjiwale,
Ganjiwale, Sharma, dan
Mishra (2016),yang
menemukan bahwa
pengasuh keluarga
mencoba mengolok-olok
meningkatkan kesejahteraan psikologis. Penelitian ini sejalan situasi yang dapat memberikan jalan keluar untuk stres untuk beberapa
denMganoosa dan Munaf, waktu tetapi yang lebih merupakan kecenderungan melarikan diri yang
(2012),yang menemukan bahwa koping berorientasi gangguan tidak membantu mereka secara realistis dalam menghadapi situasi
(suatu bentuk koping yang berfokus pada emosi) tidak berkorelasi dalam jangka panjang dan kombinasi dengan
dengan kesejahteraan psikologis yang lebih baik, sedangkan strategi koping yang berfokus pada masalah diperlukan.
kombinasi koping berorientasi gangguan dengan koping strategi pengasuh keluarga anak-anak dengan sindrom Down
tentangkoping aktif.
Korelasi di antara kesejahteraan psikologis dan strategi koping mendorong kemampuan pengasuh keluarga untuk mengatasi
kehidupan sehari-hari dan dengan demikian meningkatkan
yang berfokus pada masalah: -
kemampuan
mereka
Hasil studi saat ini mewakili bahwa ada korelasi positif kesejahteraan psikologis. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian
yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan koping yang dilakukan oleh Paterson, Jones, Rattray, , & Lauder, (2013)
yang berfokus pada masalah yang meneliti pentingnya dukungan instrumental dan dampaknya
mengalami konsekuensi positif memiliki anak sindrom Down , dan pada membesarkan anak dengan sindrom Down dan menemukan
bukan hanya negatif. Misalnya, beberapa pengasuh keluarga
bahwa pengasuh keluarga dengan stres tinggi dan dukungan tinggi
menjadi lebih mampu menghargai hal-hal penting dalam hidup.
memiliki masalah hasil yang lebih sedikit dibandingkan dengan
Emosi positif ini, pada gilirannya, pengasuh keluarga dengan dukungan rendah dan stres tinggi.
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4

Hasil studi saat ini mewakili bahwa ada korelasi positif


yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan
strategi koping berfokus masalah pengasuh keluarga
anak-anak
dengan Turun sindroma tentang
perencanaan.Ini mungkin karena efek positif yang mengikuti
penggunaan perencanaan sebagai strategi koping yang berfokus
pada masalah. Ini membantu pengasuh keluarga untuk mengatur
waktu mereka, menemukan rencana yang tepat untuk menangani
masalah anak dan mampu memberikan perawatan yang tepat untuk
anak mereka dengan sindrom Down sehingga mengurangi
kecemasan dan beban yang terkait dengan pengasuhan anak dan
meningkatkan kesejahteraan psikologis pengasuh keluarga. Hasil ini
sesuai dengan Folkman dan Lazarus, (1988),yang melaporkan
bahwa perencanaan strategi koping dikaitkan dengan peningkatan
kesejahteraan psikologis.
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4

Tabel (1): Distribusi Karakteristik Sosio-demografis di antara Sampel yang Dipelajari (n=120)
item N %
Jenis pengasuh
- Ayah 10 8.3
- Ibu 110 91.7
Usia ayah
- 15-<35 2 20.0
- 35-<55 71 70.0
39.21±4.39 10.0
- 55 dan banyak lagi
Rata-rata±SD

UsiadariIbu 29
67 14 26.4
- 15-<35
37,65 ± 5,67
- 35-<55
60.9
12,7
- 55 dan banyak lagi 83 27
Rata-rata±SD Status
10
pernikahan
69.2
- Telah menikah
67 22,5 8.3
- Janda - Bercerai 13 12 16
Tingkat pendidikan 12 55.8
10.8
- Buta huruf
16 10.0
- Sekolah dasar - Sekolah Menengah
104 13.4
- Universitas 10.0
- Pascasarjana Pekerjaan - 49
Bekerja 71 13.3
- Bekerja di PBB 86.7
Tempat tinggal 13
16
- 40.8
perkotaan 91
59.2
- Pedesaan
Pendapatan keluarga 5
10.8
Cukup 115
Nyaris Cukup
13.3
Tidak cukup 17 103 75.8
Riwayat Keluarga untuk Penyakit Psikiatri
Ya 4.2
Tidak 95.8
Riwayat Keluarga untuk sindrom Down
Ya 14.2
Tidak 85.8

Tabel (2): Distribusi Total Kesejahteraan Psikologis Keluarga Pengasuh


Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4

Anak Down Syndrome (N=120)


Kadang-kadang Tidak
item Ya Chi-kuadrat
N % N % N % X2
Otonomi nilai p
Lingkungan 27 22,5 17 14.2 76 63.3 74.775
0,000
penguasaan
41 34.2 10 8.3 69 57.5 65.325
Pengembangan diri hubungan 0,000
positif 30 25.0 6 5.0 84 70.0 119.700
0,000
Tujuan dalam hidup 33 27,5 11 9.2 76 63.3 81.975
86.925 0,000
Penerimaan diri 33 27,5 10 8.3 9 7.5 77 64.2
119.325 0,000
26 21.7 85 70.8 0,000
Tabel (3): Tingkat Kesejahteraan Psikologis Keluarga Pengasuh Anak Down
Syndrome (N=120)
Chi-kuadrat X2 nilai p
Tingkat kesejahteraan psikologis N %
Kurang dari biasanya 65.83
79
Sama seperti biasanya
37 30.83 70.650 <0.001**
Lebih baik dari biasanya
4 3.33
Tabel (4):Strategi Coping Berfokus Emosi Total dari pengasuh keluarga anak-anak dengan sindrom Down (N=120)
Tabel (5): Total Problem-Focused Coping Strategy pengasuh keluarga anak down syndrome (N=120)

Kadang-k adang Chi-kuadrat


Total Emosi-Fokus Ya Tidak

Strategi Mengatasi N % N % N
Gangguan diri % X2 P-nilai
63 52.50 4 3.33 53 44.17 74.775 0,000
Penolakan
31 25,83 10 8.33 79 65,83 93.825 0,000
Penggunaan zat 1,67 4 3.33 114
2 95,00 308,100 0,000
Penggunaan dukungan emosional 69.17 12 10.00 25
83 20.83 107.175 0,000
Pelepasan 45,83 16 13.33 49
55 40.83 33.075 0,000 12.50
perilaku Ventilasi humor 85.00 3 2.50 15
102 218.925 0,000
Penerimaan 3.33 20
96 80.00 4 16,67 181,200 0,000
Agama 100.0 0 0,0 0
Menyalahkan diri sendiri 120 0,0 360.000 0,000 3,33 325,200
96,67 0 0.00 4 0,000
116
51.67 2 1,67 56 46.67 81.900 0,000
62
Kadang-kadang Tidak Chi-kuadrat
Ya
Mengatasi Berfokus pada Masalah
N % N% N
Strategi koping % X2 P-nilai
55 45,83 0 0.00 65
aktif 107 89.17 2 1.67 11 54.17 91,875 0,000 9.17
Penggunaan dukungan instrumental 88 73,33 11 9,17 21 254.025 0,000
Pembingkaian ulang positif 62 51.67 20 16.67 38 17,50 131,475 0,000
Perencanaan 31.67 33.300 0,000
Tabel (6): Hubungan antara Kesejahteraan Psikologis dan Strategi Coping Berfokus Emosi pada Pengasuh Keluarga
Anak Down
Syndrome (N=120).
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4

Kesejahteraan psikologis
R
- 0,130 Nilai-P
Strategi koping yang berfokus pada emosi - 0,257 0,156
- 0,235 0,005*
Gangguan diri
Penolakan 0,185 0,010*
Penggunaan zat
- 0,497 0,042*
- 0,110 <0.001**
Penggunaan dukungan emosional
- 0,149 0.230
Pelepasan
0.192 0.104
perilaku Ventilasi humor
- 0,021 0,037*
Penerimaan
- 0,454 0.819
Agama
Menyalahkan diri sendiri <0.001**
Tabel (7): Korelasi antara Kesejahteraan Psikologis dan Strategi Mengatasi
Fokus Masalah pada pengasuh keluarga anak dengan sindrom Down (N=120)
Kesejahteraan psikologis
Strategi koping yang berfokus pada masalah koping
R Nilai-P
aktif 0.617 <0.001**
0,392 <0.001**
Penggunaan dukungan instrumental
Pembingkaian ulang positif 0,064 0,487 0,315<0.001**
Perencanaan
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4

Kesimpulan

Berdasarkan hasil studi saat ini, dapat disimpulkan bahwa,Pengasuh keluarga anak dengan DS yang dikombinasikan antara strategi koping yang
berfokus pada emosi dan berfokus pada masalah dalam mengelola beban pengasuhan anak dan sebagian besar pengasuh keluarga memiliki
kesejahteraan psikologis yang kurang dari biasanya.
Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara tingkat kesejahteraan psikologis dan strategi koping yang berfokus pada emosi
kecuali dukungan emosional, penerimaan, gangguan diri, curhat, humor dan agama. Sementara itu, terdapat hubungan positif
yang signifikan antara tingkat kesejahteraan psikologis dan masalah-masalah.
strategi koping terfokus kecuali untuk pembingkaian ulang positif.

Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian saat ini, rekomendasi berikut disarankan: Pendirian klinik konseling untuk pengasuh keluarga anak DS untuk
meningkatkan strategi koping mereka dan menerapkan program intervensi pendidikan untuk peningkatan kesejahteraan psikologis pengasuh
keluarga anak-anak dengan DS. Juga, penelitian masa depan untuk menilai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peran pengasuhan dan
tantangan berbeda yang dihadapi oleh pengasuh keluarga dalam membesarkan anak-anak usia yang berbeda dengan DS. Akhirnya, tim
perawatan kesehatan harus melibatkan pengasuh keluarga dalam diskusi terkait dengan pilihan pengobatan yang tersedia untuk anak-anak
dengan DS dalam percobaan untuk mengurangi beban perawatan.

Dukungan keuangan

Tidak ada dana yang diterima

Konflik kepentingan

Tidak

Referensi

Alexander,T.,&Walendzik,J.,(2016):
Membesarkan Anak dengan Down Syndrome: Apakah Strategi Mengatasi yang Dipilih Menjelaskan Perbedaan Kesehatan Orang Tua?
Psikologi, 7, 28- 39.
Allen, A., & Leary, M., (2010):Diri sendirikasih sayang, stres, dan koping. USA, Kompas Psikologi Sosial dan Kepribadian, 4, 107–
118.
Baqutayan, S., (2015):Stres dan
Mekanisme Mengatasi: Tinjauan
Sejarah, Jurnal Internasional Humaniora dan Ilmu Sosial, Malaysia, v6n2s1p479.
Beckmann, E., (2001):Kesehatan mental memberikan perhatian emosional, WB Saunders Company, London; hal 164 –
174. Bonab, B., Motamedi, F., & Zare, F., (2017):Pengaruh Strategi Coping terhadap Stres Orang Tua dengan Anak Cacat Intelektual,
Amerika Serikat, Studi Pendidikan Asia, Vol 2,No
3, 266-270.
Pemahat, C., (1997)). Menilai koping strategi: Pendekatan berbasis teori.Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial,56,
267·283. Cramm, J., & Nieboer, A., (2011):
Kesejahteraan psikologis pengasuh anak-anak dengan cacat intelektual: Menggunakan stres orang tua sebagai faktor mediasi.
AS, Jurnal
Intelektual Disabilitas
Penelitian, (2):101-113. Dilys,Y.,(2017):Mengatasi dan Adaptasi Strategi dalam Keluarga dengan
Anggota Sakit Jiwa., AS, Jurnal Penelitian Disabilitas Intelektual, 236-241.
Sesepuh, W; Eldegla, H; Yahya, S;
AbouEla,M;&Hawas,S (2013),Prevalensi infeksi yang didapat masyarakat pada anak-anak sindrom Down, Braz J Infect Dis vol17 no.5.
Folkman,S.,Lazarus,R.,
(1988):Menekankan
proses dan depresif simtomatologi. J.Abnorm.Psychol.1 988;95:107-113.
Rakyat, S., &Lazarus, R.,
(1988).Stres, Penilaian dan Mengatasi. New York, Perusahaan Penerbitan Springer, 111-120.
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4

Ganjiwale, D., Ganjiwale, J., Sharma, B., & Mishra, B., (2016):Kualitas hidup dan strategi koping pengasuh
anak-anak dengan
cacat fisik dan mental, AS, Jurnal kedokteran keluarga dan primer peduli,Volume:5,Halaman:343-348.
Glenn,S.,Dayus,B.,Cunningham,C.,&H organ,M.,2015:Motivasi Penguasaan pada anak Down Syndrome, Down
Syndrome Riset dan
Latihan, AS,7(2),52-59. Groneberg, J., (2008):Peta jalan ke
Holland: Bagaimana Saya Menemukan Jalan
Saya Melalui Anak-anak Saya Dua Tahun
Pertama dengan Sindrom Down, New York,
Perpustakaan Amerika Baru, P55-60. Hayat, I.,(2015):Hubungan antara
Kesejahteraan Psikologis dan Strategi Mengatasi di antara pengasuh Keluarga dengan anakanak sindrom Down, Jurnal
Internasional Humaniora dan Ilmu Sosial, Pakistan Vol. 5, No. 7(1).
Tinggi, J., (2015):HARAPAN, PENANGGULANGAN, DAN

HUBUNGAN KUALITAS PADA IBU ANAK DOWN SYNDROME, Journal


of Pediatrics, USA, PP: 130.540-565.
Hobfol, S., Cameron, R.,
Chapman, H.,
Gallagher, R., (1996):Dukungan Sosial dan Coping Sosial pada Pasangan. AS,
Springer, PP 413-433.
Holmes, (2006):Penyakit: Keperawatan pendekatan proses untuk perawatan yang sangat baik. Edisi ke-4, Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins,
Welters kluwer comp, hlm. 22-24. Jason, M.,(2015):Bersamaping dengan Stres: Strategi Berfokus pada Masalah dan Berfokus pada Emosi,
AS, Jurnal Kesehatan dan Psikologi, P.222-233.
Karen,A.,&Eva,C.,(2016):
Pengalaman Keluarga Filipina dalam
Mengatasi Anak dengan Sindrom Down, AS, The Bedan Journal of Psychology, P:245-250.
Kraaij,V.,&Garnefski,N.(2016):kognitif ve Strategi Mengatasi dan Stres dalam Orangtua dari Anak-anak dengan Down Syndrome:
Sebuah studi prospektif, American Association on Intellectual and Development Disabilitas,AS,Volume47,Nomor4: 295-306.
dan
McConnell, D., & Savage, A., (2015):Menekankan
Ketahanan Antar Keluarga Merawat Anak
dengan Disabilitas
Intelektual: Memperluas Agenda
Penelitian, AS, Springer, Volume (2),
PP.100-109.
McGuire DE, dan Chicoine BA (2002): Masalah kehidupan remaja dan dewasa dengan down syndrome. Dalam WI Cohen, L.
Nadel & ME Madnick (Eds.), Down syndrome: Visi untuk abad ke-21. New York, NY: Wiley-
Liss, hal. 221-236.
Moosa,E.,&Munaf,S.,(2012):Emosi dan Strategi Mengatasi Berfokus Masalah, Studi Perbandingan
Pasien Psikiatri dan Orang Dewasa Normal, Jurnal Internasional
Manajemen Proyek, 25(7),666-673.
Parameswari, S., & Eljo, J., (2016):
“Studi tentang Kesejahteraan
Psikologis di antara Pengasuh
Keluarga Anak dengan Kecacatan
Intelektual dan Perkembangan”, IOSR Journal of Humaniora dan Ilmu Sosial, India, PP 08-12.

Paterson, C., Jones, M., Rattray, J., &


Lauder, W. , (2013):Menjelajahi hubungan antara koping, dukungan sosial dan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan untuk
penderita kanker
prostat: tinjauan literatur.,USA, Eur J Oncol Nurs, 17(6):750-760.

Penley JA, Tomaka J. Wiebe S.Itu asosiasi koping dengan hasil kesehatan fisik dan psikologis: a
meta-analisis tinjauan. J. perilaku Med. 2012;25:551–603.
Pisula, D., (2010):Stres Pengasuhan dan Gaya Mengatasi pada Ibu dan Ayah dari Anak Prasekolah dengan Autisme dan Down
Syndrome, AS, Journal of IntellectualDisabilityResearch, 54(3),2 66-269.
Pisula, E., & Kossakowska, Z. (2010).
Rasa koherensi dan mengatasi stres di antara ibu dan ayah dari anak-anak dengan autisme, New York, Journal of Autism and
Developmental Disorders,
40, 1485-1494.
Artikel asli Jurnal Perawatan Kesehatan Mesir, 2020 EJH vol. 11 tidak. 4

Ryff, C. (1989).Timbangan Psikologis kesejahteraan. Jurnal kepribadian dan psikologi sosial, 57, 1069-1081. Sharma, S., &
Gupta, A., (2017):Itu
Kehidupan Sehari-hari dan Strategi
Mengatasi Wanita di Delhi: Akar
Pemberdayaan Psikologis yang
Membedakan. Sebuah Studi
Etnografi, India, Jurnal
Internasional Psikologi India, Volume 4, Edisi2, No.96.
Shelley, M., Kraaij, V., & Garnefski,
N.,(2014): Koping Kognitif
Strategi dan Stres dalam Keluarga
Pengasuh Anak Dengan Down
Syndrome: Sebuah Studi Prospektif,
Jurnal Internasional Evaluasi dan
Penelitian Pendidikan, AS, VOLUME
47, NOMOR 4: 295-306. Skinner, E.,
Tepi, K., Altman, J., & Sherwood, H. (2013).Mencari struktur koping: Sebuah tinjauan dan kritik terhadap sistem kategori untuk
mengklasifikasikan cara koping.
Psikologi, 129, 216–269.
Tajrishi, M., Azadfallah, P., Garakani, S.,&Bakhshi,E.,(2015):Pengaruh
Pelatihan Strategi Mengatasi
Masalah Berfokus pada Gejala
Psikologis Ibu dari Anak dengan
Down Syndrome, Jurnal Kesehatan Masyarakat Iran, 44 (2) 254-262.
Woodman, A., Hauser-Cram, P. ,
(2013),:Peran strategi koping dalam memprediksi perubahan dalam kemanjuran pengasuhan dan gejala depresi di antara ibu dari
remaja dengan perkembangancacat.USA, Jurnal Cacat Intelektual.; 57(6)::513-530.

Anda mungkin juga menyukai