PEMBAHASAN
A.Konsep Hospitalisasi
1. Pengertian
1
Kilpi,2010). Jurnal Ilmiah WIDYA 10 Volume 2 Nomor 2 Mei-Juli
2014 Yuli Utami, 9 – 20
c. Faktor kurangnya informasi
yang didapat anak dan orang tuanya ketika akan menjalani hospitalisasi.
Hal ini dimungkinkan mengingat proses hospitalisasi merupakan hal
yang tidak umum di alami oleh semua orang. Proses ketika menjalani
hospitalisasi juga merupakan hal yangr umit dengan berbagai prosedur
yang dilakukan (Gordondkk,2010).
d. Faktor kehilangan kebebasan dan kemandirian
Aturan ataupun rutinitas rumah sakit, prosedur medis yang dijalani
seperti tirah baring, pemasangan infus dan lain sebagainya sangat
mengganggu kebebasan dan kemandirian anak yang sedang dalam taraf
perkembangan (Price & Gwin,2005).
e. Faktor pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan
semakin sering seorang anak berhubungan dengan rumah sakit, maka
semakin kecil bentuk kecemasan atau malah sebaliknya (Pelander &
Leino-Kilpi,2010).
f. Faktor perilaku atau interaksi dengan petugas rumah sakit
khususnya perawat mengingat anak masih memiliki keterbatasan dalam
perkembangan kognitif, bahasa dan komunikasi. Perawat juga
merasakan hal yang sama ketika berkomunikasi, berinteraksi dengan
pasien anak yang menjadi sebuah tantangan, dan dibutuhkan sensitifitas
yang tinggi serta lebih kompleks dibandingkan dengan pasien dewasa.
Selain itu berkomunikasi dengan anak juga sangat dipengaruhi oleh usia
anak, kemampuan kognitif, tingkah laku, kondisi fisik dan psikologis
tahapan penyakit dan respon pengobatan (Pena & Juan,2011).
b. Respon Emosional Terhadap Hospitalisasi
a. Masa Bayi (Infant, 0-1 tahun)
Masalah utama yang terjadi adalah karena dampak dari perpisahan
dengan orang tua sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya
dan kasih sayang. Pada anak usia lebih dari enam bulan terjadi stranger
anxiety atau cemas bila berhadapan dengan orang yang tidak
2
dikenalnya dan cemas karena perpisahan. Reaksi yang sering muncul
paada anak usia ini adalah menangis, marah dan banyak melakukan
gerakan sebagai sikap stranger anxiety. Bila ditinggalkan ibunya, bayi
akan merasakan cemas karena perpisahan dan perilaku yang
ditunjukkan adalah dengan menangis keras. Respons terhadap nyeri
atau adanya perlukaan biasanya menangis keras, pergerakan tubuh yang
banyak, dan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan. (Yupi Supartini,
2012).
b. Masa Balita (Toddler, 2-3 tahun)
Anak usia toddler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber
stresnya. Sumber stress yang utama adalah cemas akibat perpisahan.
Respons perilaku anak sesuai dengan tahapannya, yaitu tahap protes,
putus asa, dan pengingkaran (denial). Pada tahap protes, perilaku yang
ditunjukkan adalah menangis kuat,menjerit memanggil orang tua atau
menolak perhatian yang diberikan orang lain. Pada tahap putus asa,
perilaku yang ditunjukkan adalah menangis berkurang, anak tidak aktif,
kurang menunjukkan minat untuk bermain dan makan, sedih dan apatis.
Pada tahap pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan adalah secara
samar memulai perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan
anak mulai terlihat menyukai lingkungannya. (Yupi Supartini, 2012).
Oleh karena adanya pembatasan terhadap pergerakannya, anak akan
kehilangan kemampuannya untuk mengontrol diri dan anak menjadi
tegantung pada lingkungannya. Akhirnya, anak akan kembali mundur
dengan kemampuan sebelumnya atau regresi. Teerhadap perlukaan
yang dialami atau nyeri yang dirasakan karena mendapatkan tindakan
invasif, seoerti injeksi, infus, pengambilan darah, anak akan meringis,
menggigit bibirnya dan memukul. Walaupun demikian, anak dapat
menunjukkan lokasi nyeri dan mengkomunikasikan rasa nyerinya.
(Yupi Supartini, 2012).
c. Masa Pra Sekolah (3-6 tahun)
3
menyenagkan, yaitu lingkungan rumah, permainan dan teman
sepermainanya. Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia
pra sekolah adalah dengan menolakmakan, sering bertanya, menangis
walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas
kesehatan. Perawatan di rumah sakit juga membuat anak kehilangan
kontrol terhadap dirinya. Perawatan di rumah sakit mengharuskan
adanya pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan
kekuatan diri. Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan anak
prasekolah sebagai hukuman sehingga anak akan merasa malu,
bersalah, atau takut. Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul karena
anak menganggap tindakan dan prosedurnya mengancam integritas
tubuhnya. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan
marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata
marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, ketergantungan ada
orang tua. (Yupi Supartini, 2012).
4
Anak usia remaja mempersepsikan perawatan di rumah sakit
menyebabkan timbulnya perasaan cemas karena harus berpisah dengan
teman sebayanya. Telah diuraikan pada kegiatan belajar sebelumnya
bahwa anak remaja begitu percaya dan sering kali terpengaruh oleh
kelompok sebayanya. Apabila harus dirawat di rumah sakit, anak akan
merasa kehilangan dan timbul perasaan cemas akibat perpisahan
tersebut. Pembatsan aktivitas di rumah sakit membuat anak kehilangan
kontrol terhadap dirinya dan menjadi bergantung pada keluarga atau
petugas kesehatan di rumah sakit. Reaksi yang sering muncul terhadap
pembatasan aktivitas ini adalah dengan menolak perawatan atau
tindakan yang dilakukan padanya atau anak tidak mau kooperatif
dengan petugas kesehatan atau menarik diri dari keluarga, sesama
pasien, dan petugas kesehatan (isolasi). Perasaan sakit karena perlukaan
atau pembedahan menimbulkan respons anak bertanya-tanya, menarik
diri dari lingkungan, dan/ menolak kehadiran orang lain. (Yupi
Supartini, 2012).
b. Perasaan Sedih
Perasaan ini muncul terutama pada saat anak dalam kondisi terminal dan
orang tua mengetahui bahwa tidak ada lagi harapan anaknya untuk
sembuh. Bahkan, pada saat menghadapi anaknya yang menjelang ajal, rasa
5
sedih dan berduka akan dialami oleh orang tua. Disatu sisi orang tua
dituntut untuk berada disamping anaknya dan memberi bimbingan
spiritual pada anaknya, dan disisi lain mereka menghadapi
ketidakberdayaan karena perasaan terpukul dan lebih yang amat sangat.
Pada kondisi ini orang tua menunjukkan perilaku isolasi atau tidak mau
didekati orang lain bahkan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan.
c. Perasaan Frustasi
Pada kondisi anak yang telah dirawat cukup lama dan dirasakan tidak
mengalami perubahan serta tidak ada kuatnya dukungan psikologi yang
diterima orang tua baik dari keluarga maupun kerabat lainnya maka orang
tua akan merasa putus asa, bahkan frustasi. Oleh karena itu, seringkali
orang tua menunjukkan perilaku tidak kooperatif, putus asa, menolak
tindakan, bahkan menginginkan pulang paksa.
6
benci, dan merasa bersalah. Orang tua sering kali mencurahkan perhatian
yang lebih besar terhadap anak yang sakit di bandingkan dengan anak
yang sehat. Hal ini akan menimbulkan perasaan cemburu pada anak yang
sehat dan anak merasa ditolak.
Roming in berarti orang tua dan anak tinggal bersama. Jika tidak bisa,
sebaiknya orang tua dapat melihat anak setiap saat untuk
mempertahankan kontak/komunikasi antara orang tua anak.
7
d. Intervensi Keperawatan pada Keluarga dalam Hospitalisasi
Menurut Muhaj (2009), bentuk intervensi keperawatan pada keluarga yang
terkait dengan hospitalisasi antara lain:
a. Memberi informasi
8
B. Konsep Bermain
1. Pengertian
Sebelum memberikan berbagai jenis permainan pada anak, maka orang tua
seharusnya mengetahui maksud dan tujuan permainan pada anak yang akan
diberikan, agar diketahui perkembangan anak lebih lanjut,mengingat anak
memiliki berbagai masa dalam tumbuh kembang yang membutuhkan stimulasi
dalam mencapai puncaknya seperti masa kritis,optimal dan sensitif.
Untuk lebih jelasnya dibawah ini terdapat beberapa fungsi bermain pada
anak diantaranya
9
ini aktifitas anak dapat mengeksplorasikan alam sekitarnya sebagai
contoh bayi dapat dilakukan rangsangan taktil,audio dan visual melalui
rangsangan ini perkembangan sensorik dan motorik akan
meningkat.Hal tersebut dapat dicontohkan sejak lahir anak yang telah
dikenalkan atau dirangsang visualnya maka anak di kemudian hari
kemampuan visualnya akan lebih menonjol seperti lebih cepat
mengenal sesuatu yang baru dilihatnya.Demikian juga
pendengaran,apabila sejak bayi dikenalkan atau dirangsang melalui
suara-suara maka daya pendengaran dikemudian hari anak lebih cepat
berkembang dibandingkan tidak ada stimulasi sejak dini.
b. Membantu Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif dapat dirangsang melalui permainan. Hal ini
dapat terlihat pada saat anak bermain, maka anak akan mencoba
melakukan komunikasi dengan bahasa anak, mampu memahami obyek
permainan seperti dunia tempat tinggal, mampu membedakan khayalan
dan kenyataan, mampu belajar warna, memahami bentuk ukuran dan
berbagai manfaat benda yang digunakan dalam permainan,sehingga
fungsi bermain pada model demikian akan meningkatkan
perkembangan kognitif selanjutnya.
c. Meningkatkan Sosialisasi Anak
Proses sosialisasi dapat terjadi melalui permainan, sebagai contoh
dimana pada usia bayi anak akan merasakan kesenangan terhadap
kehadiran orang lain dan merasakan ada teman yang dunianya sama,
pada usia toddler anak sudah mencoba bermain dengan sesamanya dan
ini sudah mulai proses sosialisasi satu dengan yang lain, kemudian
bermain peran seperti bermain-main berpura-pura menjadi seorang
guru, jadi seorang anak, menjadi seorang bapak, menjadi seorang ibu
dan lain-lain, kemudian pada usia prasekolah sudah mulai menyadari
akan keberadaan teman sebaya sehingga harapan anak mampu
melakukan sosialisasi dengan teman dan orang lain.
10
d. Meningkatkan Kreatifitas
Bermain juga dapat berfungsi dalam peningkatan kreatifitas, dimana
anak mulai belajar menciptakan sesuatu dari permainan yang ada dan
mampu memodifikasi objek yang akan digunakan dalam permainan
sehingga anak akan lebih kreatif melalui model permainan ini, seperti
bermain bongkar pasang mobil-mobilan.
e. Meningkatkan Kesadaran Diri
Bermain pada anak akan memberikan kemampuan pada anak untuk
ekplorasi tubuh dan merasakan dirinya sadar dengan orang lain yang
merupakan bagian dari individu yang saling berhubungan, anak mau
belajar mengatur perilaku, membandingkan dengan perilaku orang
lain.
f. Mempunyai Nilai Terapeutik
Bermain dapat menjadikan diri anak lebih senang dan nyaman
sehingga adanya stres dan ketegangan dapat dihindarkan, mengingat
bermain dapat menghibur diri anak terhadap dunianya.
g. Mempunyai Nilai Moral Pada Anak
Bermain juga dapat memberikan nilai moral tersendiri kepada anak,
hal ini dapat dijumpai anak sudah mampu belajar benar atau salah dari
budaya di rumah, di sekolah dan ketika berinteraksi dengan temannya,
dan juga ada beberapa permainan yang memiliki aturan-aturan yang
harus dilakukan tidak boleh dilanggar.
3. Tujuan Bermain
Melalui fungsi yang terurai diatasnya, pada prinsipnya bermain
mempunyai tujuan sebagai berikut :
a. Untuk melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang normal pada
saat sakit anak mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya. Walaupun demikian, selama anak dirawat di rumah
sakit, kegiatan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan masih harus
tetap dilanjutkan untuk menjaga kesinambungannya.
b. Mengekspresikan perasaan, keiginan, dan fantasi serta ide-idenya.
Seperti yang telah di uraikan diatas pada saat sakit dan dirawat di
11
rumah sakit, anak mengalami berbagai perasaan yang sangat tidak
menyenangkan. Pada anak yang belum dapat mengekspresikannya.
c. Mengembangkan kreatifitas dan kemampuan memecahkan masalah.
Permainan akan menstimulasi daya pikir, imajinasi, fantasinya untuk
menciptakan sesuatu seperti yang ada dalam pikirannya. Pada saat
melakukan permainan, anak juga akan dihadapkan pada masalah dalam
konteks permainannya, semakin lama ia bermain dan semakin
tertantang untuk dapat menyelesaikannya dengan baik.
d. Dapat beradaptasi secara efektif terhadap stress karena sakit dan
dirawat di rumah sakit. Stress yang dialami anak dirawat di rumah
sakit tidak dapat dihindarkan sebagaimana juga yang dialami orang
tua. Untuk itu yang penting adalah bagaimana menyiapkan anak dan
orang tua untuk dapat beradaptasi dengan stressor yang dialaminya di
rumah sakit secara efeaktorktif. Permainan adalah media yang efektif
untuk beradaptasi karena telah terbukti dapat menurunkan rasa cemas,
takut, nyeri dan marah.
4. Kecenderungan Umum Selama Anak – Anak
Dalam bermain kita mengenal beberapa sifat bermain pada anak,
diantaranya bersifat aktif dan bersifat pasif, sifat demikian akan
memberikan jenis permainan yang berbeda, dikatakan bermain aktif jika
anak berperan secara aktif dalam permainan, selalu memberikan
rangsangan dan melaksanakannya akan tetapi jika sifat bermain tersebut
adalah pasif, maka anak akan memberikan respons secara pasif terhadap
permainan dan orang lingkungan yang memberikan respons secara aktif.
Melihat hal tersebut kita dapat mengenal macam-macam dari permainan
diantaranya:
a. Berdasarkan isinya :
1) Bermain Afektif Sosial
Bermain ini menunjukkan adanya perasaan senang dalam berhungan
dengan orang lain hal ini dapat dilakukan seperti orang tua memeluk
adanya sambil berbicara, bersandung kemudian anak memberikan
respons seperti tersenyum tertawa, bergembira, dan lain-lain.Sifat
12
dari bermain ini adalah orang lain yang berperan aktif dan anak
hanya berespons terhadap simulasi sehingga akan memberikan
kesenangan dan kepuasan bagi anak.
2) Bermain Bersenang-senang
Bermain ini hanya memberikan kesenangan pada anak melalui objek
yang ada sehingga anak merasa senang dan bergembira tanpa adanya
kehadiran orang lain. Sifat bermain ini adalah tergantung dari
stimulasi yang diberikan pada anak, mengingat sifat dari bermain ini
hanya memberikan kesenangan pada anak tapa memperdulikan
kehadiran orang lain, seperti bermain boneka-bonekaan, binatang-
binatangan, dan lain-lain.
3) Bermain Keterampilan
Bermain ini menggunakan objek yang dapat melatih kemampuan
keterampilan anak yang diharapkan mampu untuk berkreatif dan
terampil dalam sebagai hal. Sifat permainan ini adalah sifat aktif
dimana anak selalu ingin mencoba kemampuan dalam keterampilan
tertentu seperti bermain dalam bongkar pasang gambar, disni anak
selalu dipacu untuk selalu terampil dalam meletakkan gambar yang
telahdi bongkar, kemudian bermain latihan memakai baju dan lain-
lain.
4) Bermain Dramtik
Macam bermain ini dapat dilakukan anak dengan mencoba
melakukan berpura-pura dalam berperilaku seperti anak
memperankan sebagai orang dewasa, seorang ibu dan guru dalam
kehidupan sehari-hari. Sifat dari permainan ini adalah anak dituntut
aktif dalam memerankan sesuatu. Permainan dramatic ini dapat
dilakukan apabila anak sudah mampu berkomunikasi dan mengenal
kehidupan social.
5) Bermain Menyelidiki
Macam bermain ini dengan memberikan sentuhan pada anak untuk
berperan dalam menyelidiki sesuatu atau memeriksa dari alat
permainan seperti mengocok untuk mengetahui isinya dan
13
permainan ini bersifat aktif pada anak dan dapat digunakan untuk
mengembangkan kemampuan kecerdasan pada anak. Sifat
permainan tersebut harus selalu diberikan stimulasi dari orang lain
agar selalu bertambah dalam kemampuan kecerdasan anak.
6) Bermain Konstruksi
Bermain ini bertujuan untuk menyusun sesuatu pbjek permainan agar
menjadi sebuah konstruksi yang benar seperti permainan menyusun
balok. Sifat dari permainan ini adalah aktif di mana anak selalu ingin
menyelesaikan tugas-tugas yang ada dalam permaianan dan akan
dapat membangun kecerdasan pada anak.
b. Berdasarkan jenis permainan :
1) Permainan
Permainan ini dapat dilakukan secara sendiri atau bersama temannya
dengan menggunakan beberapa peraturan permainan seperti
permainan ular tangga. Sifatnya adalah aktif, anak akan memberikan
respons kepada temannya sesuai dengan jenis permaianan dan akan
berfungsi memberikan kesenangan yang dapat mengembangkan
perkembangan emosi pada anak.
2) Permainan yang hanya memperhatikan saja (unoccupied behaviour)
Pada saat tertentu, anak sering terlibat mondar-mandir, tersenyum,
tertawa, jinjit-jinjit, bungkuk-bungkuk, memainkan kursi, meja atau
apa saja yang ada di sekelilingnya. Anak melamun, sibuk dengan
bajunya atau benda lain. Jadi sebenarnya anak tidak memainkan alat
permainan tertentu dan situasi atau objek yang ada di sekelilingnya
yang digunakan sebagai alat permainan. Anak memusatkan perhatian
pada segala sesuatu yang menarik perhatiannya. Peran ini berbeda
dibandingkan dengan onlooker, dimana anak aktif mengamati
aktivitas anak lain.
c. Berdasarkan karakteristik sosial :
1) Solitary Play
Di mulai dari bayi bayi (toddler) dan merupakan jenis permainan
sendiri atau independent walaupun ada orang lain di sekitarnya. Hal
14
ini karena keterbatasan sosial, ketrampilan fisik dan kognitif.
Sifatnya adalah aktif akan tetapi bentuk stimulasi tambahan kurang,
karena dilakukan sendiri dalam perkembangan mental pada anak,
kemudian dapat membantu untuk menciptakan kemandirian pada
anak.
2) Pararel Play
Bermain secara sendiri tetapi di tengah-tengah anak lain yang sedang
bermain akan tetapi tidak ikut dalam kegiatan orang lain. Sifat dari
bermain ini adalah anak aktif secara sendiri tetapi masih masih
dalam satu kelompok, dengan harapan kemampuan anak dalam
menyelesaikan tugas mandiri dalam kelompok tersebut terlatih
dengan baik.
3) Associative Play
Permainan kelompok dengan tanpa tujuan kelompok. Yang mulai
dari usia toddler dan dilanjutkan sampai usia prasekolah dan
merupakan permainan dimana anak dalam kelompok dengan
aktivitas yang sama tetapi belum terorganisir secara formal.
4) Cooperative Play
Suatu permainan yang terorganisir dalam kelompok, ada tujuan
kelompok dan ada memimpin yang di mulai dari usia prasekolah.
Permainan ini dilakukan pada usia sekolah dan remaja.
5) Onlooker Play
Anak melihat atau mengobservasi permainan orang lain tetapi tidak
ikut bermain, walaupun anak dapat menanyakan permainan itu dan
biasanya dimulai pada usia toddler.
6) Therapeutic Play
Merupakan pedoman bagi tenaga tim kesehatan, khususnya untuk
memenuhi kebutuhan fisik dan psikososial anak selama hospitalisasi.
Dapat membantu mengurangi stres, memberikan instruksi dan
perbaikan kemampuan fisiologis (Vessey & Mohan, 1990 dikutip
oleh Supartini, 2004). Permainan dengan menggunakan alat-alat
medik dapat menurunkan kecemasan dan untuk pengajaran
15
perawatan diri pada anak-anak. Pengajaran dengan melalui
permainan dan harus diawasi seperti: menggunakan boneka sebagai
alat peraga untuk melakukan kegiatan bermain seperti
memperagakan dan melakukan gambar-gambar seperti pasang gips,
injeksi, memasang infus dan sebagainya.
5. Pedoman Untuk Keamanan Bermain
Menurut Soetjiningsih (1995), agar anak-anak dapat bermain dengan
maksimal, maka diperlukan hal-hal seperti:
a. Ekstra energi
Untuk bermain diperlukan energi ekstra. Anak-anak yang sakit kecil
kemungkinan untuk melakukan permainan.
b. Waktu
Anak harus mempunyai waktu yang cukup untuk bermain sehingga
stimulus yang diberikan dapat optimal.
c. Alat permainan
Untuk bermain alat permainan harus disesuaikan dengan usia dan tahap
perkembangan anak serta memiliki unsur edukatif bagi anak.
d. Ruang untuk bermain
Bermain dapat dilakukan di mana saja, di ruang tamu, halaman, bahkan
di tempat tidur.
e. Pengetahuan cara bermain
Dengan mengetahui cara bermain maka anak akan lebih terarah dan
pengetahuan anak akan lebih berkembang dalam menggunakan alat
permainan tersebut.
f. Teman bermain
16
mengembangkan kemampuan fisiknya, bahasa, kemampuan
kognitifnya, dan adaptasi sosialnya. Dalam mencapai fungsi
perkembangan secara optimal, maka alat permainan ini harus aman,
ukurannya sesuai dengan usia anak, modelnya jelas, menarik,
sederhana, dan tidak mudah rusak.
17
harus berhenti dan kapan harus dimulai, memberikan kesempatan untuk
mandiri.
Dalam bermain pada anak tidaklah sama dalam setiap usia tumbuh
kembang melainkan berbeda, hal ini dikarenakan setiap tahap usia tumbuh
kembang anak selalu mempunyai tugas-tugas perkembangan yang berbeda
sehingga dalam penggunaan alat selalu memperhatikan tugas masing-
masing umur tumbuh kembang. Adapun karakteristik dalam setiap tahap
usia tumbuh kembang anak:
Pada usia ini perkembangan anak mulai dapat dilatih dengan adanya
reflex, melatih kerja sama antara mata dan tangan, mata dan telinga dalam
berkoordinasi, melatih mencari objek yang ada tetapi tidak kelihatan,
melatih mengenal asal suara, kepekaan perabaan, keterampilan dengan
gerakan yang berulang, sehingga fungsi bermain pada usia ini sudah dapat
memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan.
Jenis permainan ini permainan yang dianjurkan pada usia ini antara lain:
benda (permainan) aman yang dapat dimasukkan kedalam mulut, gambar
bentuk muka, boneka orang dan binatang, alat permaianan yang dapat
digoyang dan menimbulkan suara, alat permaian berupa selimut, boneka,
dan lai-lain.
Jenis permainan yang dapat digunakan pada usia ini pada dasarya
bertujuan untuk melatih anak melakukan gerakan mendorong atau
menarik, melatih melakukan imajinasi, melatih anak melakukan kegiatan
sehari-hari dan memperkenalkan beberapa bunyi dan mampu
membedakannya. Jenis permainan ini seperti semua alat permainan yang
dapat didorong dan di tarik, berupa alat rumah tangga, balok-balok, buku
bergambar, kertas, pensil berwarna, dan lain-lain.
18
c. Usia 3-6 tahun
Alat permainan untuk anak dibawah umur 2 tahun hendaknya tidak terlalu
kecil, cat tidak beracun, tidak ada bagian yang tajam, dan tidak mudah
pecah, karena pada usia ini anak kadang – kadang suka memasukkan
benda kedalam mulut.
19
c. Desain
e. Variasi APE
f. Universal
APE sebaiknya mudah diterima dan dikenali oleh semua budaya dan
bangsa. Jadi, dalam menggunakannya, APE mempunyai prinsip yang bisa
dimengerti oleh semua orang.
g. Tidak mudah rusak, mudah didapat dan terjangkau oleh masyarakat luas
20
Bermain juga menyediakan kebebasan untuk mengekspresikan emosi dan
memberikan perlindungan anak terhadap stres, sebab bermain membantu
anak menanggulangi pengalaman yang tidak menyenangkan, pengobatan
dan prosedur invasif. Dengan demikian diharapkan respon anak terhadap
hospitalisasi berupa perilaku agresif, regresi dapat berkurang sehingga
anak lebih kooperatif dalam menjalani perawatan di rumah sakit.
21
b. Perawatan dirumah sakit akan membatasi kemampuan anak untuk
mandiri. Aktivitas bermain yang terprogram akan memulihkan perasaan
mandiri pada anak.
c. Permainan pada anak dirumah sakit tidak hanya akan memberikan rasa
senang pada anak, tetapi juga akan membantu anak mengekspresikan
perasaan dan pikiran cemas, takut, sedih, tegang, dan nyeri. Pada beberapa
anak yang belum dapat mengekspresikan perasaan dan pikiran secara
verbal dan/ atau pada anak yang kurang dapat mengekspresikannya,
permainan menggambar, mewarnai, atau melukis akan membantunya
mengekspresikan perasaan tersebut.
22
c. Harus mempertimbangkan keamanan anak. Pilih alat permainan yang
aman untuk anak, tidak tajam, tidak merangsang anak untuk berlari –
lari dan bergerak secara berlebihan.
d. Dilakukan pada kelompok umur yang sama. Apabila permainan
dilakukan khusus di kamar bermain secara berkelompok dirumah,
permainan harus dilakukan pada kelompok umur yang sama. Misalnya,
permainan mewarnai pada kelompok usia prasekolah.
e. Melibatkan orang tua. Orang tua mempunyai kewajiban untuk tetap
melangsungkan upaya stimulasi tumbuh kembang pada anak walaupun
sedang dirawat dirumah sakit termasuk dalam aktivitas bermain
anaknya. Perawat hanya bertindak sebagai fasilitator sehingga apabila
permainan diinisiasi oleh perawat orang tua harus terlibat secara aktif
dan mendampingi anak dari awal permainan sampai mengevaluasi
permainan anak bersama dengan perawat dan orang tua anak lainnya.
Pedoman dalam menyusun rancangan program bermain pada anak yang
di rawat di rumah sakit :
1) Tujuan bermain
23
3) Alat permainan yang diperlukan
Gunakan alat permainan yang dimiliki anak atau yang tersedia di ruang
rawat. Apabila anak akan diajak bermain melipat kertas, gunakan bahan
yang murah dan haga yang terjangkau.
Selama kegiatan bermain, respon anak dan orang tua harus diobservasi
dan menjadi catatan penting bagi perawat, bahkan apabila tampak
adanya
Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh seorang anak bila bermain
dilaksanakan di suatu rumah sakit, antara lain :
24
DAFTAR PUSTAKA
Setyawan, Dwi Bodhi. 2011. Diakses pada tanggal 24 oktober 2015
darihttp://kumpulan-askepaskep.blogspot.co.id/2011/03/hospitalisasi-pada-
anak.html
25