Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN PENDAHULUAN

HOSPITALISASI

I. DEFINISI
Hospitalisasi merupakan suatu keadaan krisis pada anak saat sakit dan dirawat
di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi dengan
lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga kondisi tersebut menjadi faktor
stresor bagi anak dan keluarganya (Kristiyanasari, 2014).
Hospitalisasi merupakan pengalaman yang penuh tekanan, utamanya karena
perpisahan dengan lingkungan normal dimana orang lain berarti, seleksi perilaku
koping terbatas, dan perubahan status kesehatan ( Potter & Perry, 2006).
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang
berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani
terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah. Selama proses tersebut,
anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa
penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh stres
(Supartini, 2004).

II. PENYEBAB KECEMASAN ANAK PADA HOSPITALISASI

Hockenberry & Wilson (2011), penyebab kecemasan anak prasekolah


karena hospitalisasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

A. Kecemasan karena perpisahan


Anak usia prasekolah memiliki koping yang lebih baik dari pada anak usia
toddler. Anak usia prasekolah dapat mementolerir jika mereka harus berpisah
dengan orang tua mereka walaupun anak prasekolah mentolerir perpisahan
dalam waktu sebentar dan anak prasekolah mulai untuk belajar mempercayai
orang lain selain orang terdekat mereka. Reaksi yang umum terjadi pada anak
prasekolah adalah menolak untuk makan, mengalami kesulitan tidur, menangis
pelan ketika anak bersama orang tua, marah, merusak mainan, tidak kooperatif
terhadap pengobatan (Nursalam, Susilaningrum, & Utami 2008).

B. Kehilangan kontrol (Loss of Control)


Anak usia prasekolah kehilangan kontrol karena pembatasan aktifitas fisik
yang menyebabkan anak ketergantungan dengan bantuan dari orang lain.
Respon yang biasa terjadi pada anak prasekolah seperti rasa malu, rasa
bersalah, dan rasa takut (Nursalam, Susilaningrum, & Utami, 2008)

C. Luka pada tubuh dan sakit atau nyeri


Reaksi anak terhadap luka dan nyeri dengan menyeringaikan wajah, menangis,
mengatupkan gigi, menggigit bibir, membuka mata dengan lebar atau anak
melakukan tindakan agresif seperti menggigit,menendang, memukul
(Nursalam, Susilaningrum, & Utami, 2008).0 .
III. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HOSPITALISASI
A. Faktor Lingkungan rumah sakit;
Rumah sakit dapat menjadi suatu tempat yang menakutkan dilihat dari sudut
pandang anak-anak. Suasana rumah sakit yang tidak familiar, wajah-wajah
yang asing, berbagai macam bunyi dari mesin yang digunakan, dan bau yang
khas, dapat menimbulkan kecemasan dan ketakutan baik bagi anak ataupun
orang tua. (Norton-Westwood, 2012).

B. Faktor Berpisah dengan orang yang sangat berarti;


Berpisah dengan suasana rumah sendiri, benda-benda yang familiar digunakan
sehari- hari, juga rutinitas yang biasa dilakukan dan juga berpisah dengan
anggota keluarga lainnya (Pelander & Leino-Kilpi, 2010).

C. Faktor kurangnya informasi Kurangnya informasi yang didapat anak dan


orang tuanya ketikaakan menjalani hospitalisasi. Hal ini dimungkinkan
mengingat proses hospitalisasi merupakan hal yang tidak umum di alami oleh
semua orang. Proses ketika menjalani hospitalisasi juga merupakan hal yang
rumit dengan berbagai prosedur yang dilakukan (Gordon et al, 2010).

D. Faktor kehilangan kebebasan dan kemandirian


Aturan ataupun rutinitas rumah sakit, prosedur medis yang dijalani seperti
tirah
baring, pemasangan infus dan lain sebagainya sangat mengganggu kebebasan
dan kemandirian anak yang sedang dalam taraf perkembangan (Price &
Gwin, 2005).

E. Faktor pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan;


Semakin sering seorang anak berhubungan dengan rumah sakit, maka semakin
kecil bentuk kecemasan atau malah sebaliknya (Pelander & Leino-
Kilpi, 2010). f. Faktor perilaku atau interaksi dengan petugas rumah sakit.
Mengingat anak masih memiliki keterbatasan dalam perkembangan kognitif,
bahasa dan komunikasi. (Pena & Juan, 2011).
IV. TAHAP RESPON KECEMASAN ANAK PADA HOSPITALISASI
Respon kecemasan pada anak prasekolah akibat hospitalisasi adalah anak
menolak untuk makan, sering bertanya, menangis perlahan, tidak kooperatif terhadap
petugas kesehatan dan tindakan medis yang dilakukan. Respon perilaku anak terhadap
kecemasan dibagi dalam 3 tahap yaitu :
A. Tahap protes (PhaseofProtest)
Tahap ini ditandai dengan anak menangis kuat, menjerit, memanggil orang
terdekatnya misalnya ibu. Secara verbal anak akan menyerang dengan rasa
marah seperti anak mengatakan “pergi”. Perilaku protes anak tersebut akan
terus berlanjut dan hanya berhenti jika anak merasa lelah dan orang
terdekatnya mendampinginya (Nursalam, Susilaningrum, & Utami, 2008).

B. Tahap Putus Asa (PhaseofDespair)


Pada tahap ini anak tampak tegang, menangis berkurang, anak kurang akitf,
kurang minat untuk bermain, tidak ada nafsu makan, menarik diri, tidak
kooperatif, perilaku regresi seperti mengompol atau menghisap jari (Nursalam,
Susilaningrum, & Utami, 2008).

V. DAMPAK HOSPITALISASI

Hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam bagi setiap orang.


Khususnya hospitalisasi pada anak merupakan stressor bagi anak itu sendiri maupun
terhadap orang tua atau keluarga. Dengan mengerti kebutuhan anak sesuai dengan
tahap perkembangannya dan mampu memenuhi kebutuhan tersebut, perawat mampu
mengurangi stress akibat hospitalisasi dan dapat meningkatkan perkembangan anak
ke arah yang normal (Nursalam, 2005).

A. Masa Bayi (0-1 Tahun)


Masalah yang utama terjadi adalah karena dampak dari perpisahan
dengan orang tua sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya dan kasih
sayang. Pada bayi usia 6 bulan sulit untuk memahami secara maksimal
bagaimana reaksi bayi bila dirawat, karena bayi belum dapat mengungkapkan
apa yang dirasakannya. Pada bayi yang usianya lebih dari 6 bulan terjadi
stranger anxiety atau cemas apabila berhada pandengan orang yang tidak
dikenal. Reaksi yang sering muncul pada anak usia ini adalah menangis,
marah, dan banyak melakukan gerakan sebagaisikap stranger
anxiety.Disamping itu bayi juga telah merasa memiliki ibunya, sehinggabila
berpisah dengan ibunya akan menimbulkan separation anxiety.
Hal ini akan kelihatan jika bayi ditinggalkan olehibunya, maka akan
menangis dan sangat ketergantungan pada ibunya.Respons terhadap nyeri atau
adanya luka biasanya menangis keras,pergerakan tubuh yang banyak, dan
ekspresi wajah yang tidak menyenangkan.
B. Masa Todler (2-3 tahun)
Anak usia todler belum mampu berkomunikasi denganmenggunakan
bahasa yang memadai dan pengertian terhadap realitaterbatas. Pada usia ini
anak akan bereaksi terhadap hospitalisasi sesuaidengan sumber stressnya.
Sumber stress yang utama adalah analityedepresion (cemas akibat perpisahan).
Terdapat 3 tahap respons perilakupada anak ditahap ini, yaitu tahap protes
(Protest), putus asa (Despair), Manap ini, yaitu tahap protes (Protest), putus
asa (Despair),dan penolakan/denial (Detachment). Pada tahap protes, perilaku
yang ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit memanggil orang tua atau
menolak perhatian yangdiberikan orang lain. Pada tahap putus asa, perilaku
yang ditunjukkanadalah menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang
menunjukkan minatuntuk bermain dan makan, sedih, dan apatis. Pada tahap
penolakan/Denial, perilaku yang ditunjukkan adalah secara samar mulai
menerima perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak mulai
terlihat menyukai lingkungannya.
Oleh karena adanya pembatasan terhadap pergerakannya, anak akan
kehilangan kemampuannya untuk mengontrol diri dan anak menjadi
tergantung pada lingkungannya. Akhirnya, anak akan kembali mundur pada
kemampuan sebelumnya atau regresi.

C. Masa Prasekola (3-6 Tahun)


Anak usia Prasekolah telah dapat menerima perpisahan dengan orang
tuanya dan juga telah dapat membentuk rasa percayaan dengan orang lain.
Walaupun demikian anak tetap membutuhkan perlindungandari keluarganya.
Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usiaprasekolah adalah
dengan menolak makan, sering walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif
terhadap petugas kesehatan.
Perawatan di rumah sakit juga membuat anak kehilangan kontrol
terhadap dirinya, hal ini terjadi karena adanya pembatas aktivitas sehari hari
dan karena kehilangan kekuatan diri. Perawatan di rumah sakiksering kali
dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehinggaanak akan merasa
malu, bersalah, atau takut. Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul karena
anak menganggap tindakan dan prosedurnya mengancam integritas tubuhnya.
Oleh karena itu, hal ini menimbulkanreaksi agresif dengan marah dan
berontak, ekspresi verbal denganmengucapkan kata-kata marah, tidak mau
bekerja sama dengan perawat,dan ketergantungan pada orang tua.

D. Masa Sekolah (6-12 Tahun)


Anak usia sekolah yang dirawat di rumah sakit akan merasaperpisahan
dengan sekolah dan teman sebayanya, takut kehilangan keterampilan merasa
kesepian dan sendiri. Anak membutuhkan rasaaman dan perlindungan dari
orangtua namun tidak selalu ditemani oleh orangtua.
Pada usia ini anak akan berusaha Independen
dan Produktif.Akibat dirawat di rumah sakit akan menyebabkan perasaan
kehilangankontrol dan kekuatan. Hal ini terjadi karena adanya perubahan
dalam peran, kelemahan fisik, takut mati dan kehilangan kegiatan
dalamkelompok serta akibat kegiatan rutin rumah sakit seperti
bedrest,penggunaan pispot, kurangnya privacy, pemakaian kursi roda, dll.
Pada usia ini anak telah dapat mengekspresikan perasaannya danmampu
bertoleransi terhadap rasa nyeri. Anak akan berusaha mengontroltingkah
lakunya pada waktu merasa nyeri/sakit dengan cara menggigitbibir atau
menggenggam sesuatu dengan erat. Anak ingin tahu alasantindakan yang
dilakukan pada dirinya, sehingga ia selalu mengamati apayang dikatakan
perawat.

E. Masa Remaja (12-18 Tahun)


Anak usia remaja memersepsikan perawatan di rumah sakitsebagai suatu
penyebab timbulnya perasaan cemas karena harus berpisah dengan teman
sebayanya.
Sakit dan dirawat merupakan ancaman terhadap identitas dinperkembangan
dan kemampuan anak. Reaksi yang timbul bila anakremaja dirawat ia akan
merasa kebebasannya terancam sehingga anaktidak kooperatif, menarik diri,
marah dan frustasi.
Remaja sangat cepat mengalami perubahan body image selama
perkembangannya. Adanya perubahan dalam body image
akibatpenyakit/pembedahan dapat menimbulkan stress atau perasaan
tidakaman, cemas akan berespon dengan banyak bertanya, menarik diri
danmenolak kehadiran orang lain (Supartini, 2004).

VI. DAMPAK HOSPITALISASI

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak hospitalisasi


bagi anak, yaitu:

A. Berikan informasi kepada anak dan keluarga secara adekuat


Penjelasan selayaknya sudah harus diberikan sejak masa persiapan anak akan
dirawat baik tentang rencana prosedur medis awal maupun lingkungan rumah
sakit yang akan dihadapi (fasilitas rumah sakit, siapa yang terlibat dalam
perawatan, dan lain-lain). Penjelasan juga harus diberikan selama perawatan untuk
setiap tindakan atau prosedur yang akan dilakukan. Pemberian informasi yang
adekuat terbukti dapat menurunkan kecemasan orang tua dan ketakutan bagi anak
yang menjalani hospitalisasi, dan bahkan mereka akan mendukung program
pengobatan. Prinsip yang harus diperhatikan bahwa ketakutan akan ketidaktahuan
(fantasi) lebih besar daripada ketakutan yang diketahui. Metode penjelasan pada
anak harus disesuaikan dengan usia, kondisi, dan tahap perkembangan anak,
misal dengan metode terapi bermain dengan alat bantu seperti boneka, miniatur
peralatan rumah sakit; metode cerita/ dongeng dengan alat bantu menggunakan
buku- buku bacaan, film; metode bemain peran (role play), atau berupa penjelasan
singkat secara langsung.

B. Menghadirkan orang tua atau orang terdekat selama anak dirawat


Sebagian besar rumah sakit telah menerapkan aturan bahwa untuk pasien anak
diperbolehkan orang tua untuk menunggu, dan diperbolehkan anggota keluarga
lain untuk berkunjung. Hal ini untuk mengatasi stressor perpisahan anak dengan
orang- orang dicintainya, dan akan menimbulkan rasa nyaman dan ketenangan
bagi anak. Namun hal ini dengan tetap memperhatikan kondisi anak dan resiko
keamanan bagi pengunjung tersebut. Bilamana tidak memungkinakn bagi anak
untuk dikunjungi, maka oraang tua dapat menghadirkan benda sebagai pengganti
seperti foto, audiotape atau rekaman video kebersamaan anak dan orang tua.

C. Mempertahankan rutinitas kegiatan anak saat hospitalisasi


Perubahan jadwal dan hilangnya ritual aktifitas bagi anak dapat menimbulkan
stress bagi anak. Perawat dapat melakukan pengkajian terhadap kondisi anak dan
dapat memberikan saran aktifitas anak yang tetap dapat dilakukan selama
hospitalisasi dengan modifikasi kegiatan atau pelaksanaan waktu, seperti tetap
mengizinkan anak membawa barang mainannya dan bermain di tempat tidur,
menonton televisi, tetap sekolah melalui media elektronik, dan lain-lain.

D. Komunikasi efektif untuk meningkatkan pemahaman


Untuk menjamin keefektifan komunikasi terutama untuk anak dengan gangguan
perkembangan, maka harus dipilih metode dan media
yang sesuai.Penggunaan alat- alat tertentu, seperti social script book, alat distraksi
(alat bermain) mungkin diperlukan.

E. Penataan ruang rawat dan program bermain Untuk mendukung perawatan anak
yang optimal selama hospitalisasi, rumah sakit selayaknya dapat memfasilitasi
ruangan khusus bagi anak dengan penyediaan perabotan yang berwarna cerah dan
sesuai dengan usia anak, dekorasi ruangan yang menarik dan familiar bagi anak,
serta adanya ruangan bermain yang dilengkapi berbagai macam alat bermain.
Peran perawat adalah tetap memilah kriteria kondisi anak yang diperbolehkan
bermain di ruang bermain dan berinovasi dalam jenis terapi bermain yang bersifat
terapetik bagi anak yang hospitalisasi.

Daftar Pustaka
https://e-journal.unair.ac.id/
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/274/dampak-hospitalisasi-pada-anak-
dan-cara-meminimalisirnya

Anda mungkin juga menyukai