Anda di halaman 1dari 11

KONSEP HOSPITALISASI PADA ANAK

A. Pengertian Hospitalisasi
Menurut Potter & Perry (2005) hospitalisasi adalah pengalaman yang penuh tekanan,
utamanya karena perpisahan dengan lingkungan normal dimana orang lain berarti, seleksi perilaku
koping terbatas, dan perubahan status kesehatan.Hospitalisasi adalah kebutuhan klien untuk
dirawat karena adanya perubahan atau gangguan fisik, psikis, sosial dan adaptasi terhadap
lingkungan (Parini, 1999).
Proses hospitalisasi dapat menimbulkan trauma atau dukungan , bergantung pada institusi,
sikap keluarga dan teman, respon staf, dan jenis penerimaan masuk rumah sakit (Stuart, 2007, )
Hospitalisasi merupakan proses karena suatu alasan yang terencana atau darurat,
mengharuskan anak untuk tinggal di RS, menjalani terapi & perawatan sampai dipulangkan
kembali ke rumah. Perasaan yang sering muncul pada anak : cemas, marah, sedih, takut dan rasa
bersalah (Wong, 2000). Bila anak stress maka orang tua juga menjadi stress danakan membuat
stress anak semakin meningkat (Supartini, 2000).
Hospitalisasi terjadi apabila dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak mengalami
suatu gangguan fisik maupun mentalnya yang memungkinkan anak untuk mendapatkan perawatan
di rumah sakit. Secara sederhana, hospitalisasi merupakan keadaan dimana orang sakit berada
pada lingkungan rumah sakit untuk mendapatkan pertolongandalam perawatan atau pengobatan
sehingga dapat mengatasi atau meringankan penyakitnya.Tetapi pada umumnya hospitalisasidapat
menimbulkan ketegangan dan ketakutan serta dapat menimbulkan gangguan emosi atau tingkah
laku yang mempengaruhikesembuhan dan perjalanan penyakit anak selama dirawat di rumah sakit.

Anak adalah bagian dari kehidupan orang tuanya sehingga apabila ada pengalaman yang
mengganggu kehidupannya maka orang tua pun merasa sangat stress ( Brewis ,1995, dalam
Supartini hal : 188 ).

B. Macam – macam Hospitalisasi

Macam-macam hospitalisasi adalah menurut Lyndon (1995, dikutip oleh Supartini


2004, hal 189),, Sebagai berikut :
a. Hospitalisasi Informal
Perawatan dan pemulangan dapat diminta secara lisan, dan pasien dapat meninggalkan
tempat pada tiap waktu, bahkan jika menentang dengan nasehat medis. Sebagian besar
pasien medis dan bedah dirawat secara informal.
b. Hospitalisasi Volunter
Hospitalisasi volunter memerlukan permintaan tertulis untuk perawatan dan untuk
pemulangan. Setelah pasien meminta pulang, dokter dapat mengubah hospitalisasi volunter
menjadi hospitalisasi involuter.
c. Hospitalisasi Involunter
Hospitalisasi Involunter adalah sangat membatasi otonomi dan hak pasien. Keadaan ini
tidak memerlukan persetujuan pasien dan seringkali digunakan untuk pasien yang berbahaya
bagi dirinya sendiri dan orag lain. Hospitalisasi Involunter memerlukan pengesahan
(sertifikasi) oleh sekurang-kurangya dua dokter; pengesahan dapat berlaku sampai 60 hari
dan dapat diperbaharui. Keadaan ini mungkin diminta oleh pegadilan sebagai jawaban atas
permohonan dari rumah sakit atau anggota keluarga.

d. Hospitalisasi Gawat Darurat


Hospitalisasi Gawat Darurat (sementara atau persetujuan satu orang dokter) adalah
bentuk yang mirip dengan komitmen involunter yang memerluka pengesahan atau sertifikasi
hanya oleh satu orang dokter; pengesahan berlaku selama 15 hari. Pasien harus diperiksa
oleh dokter kedua dalam 48 jam untuk menegakkan perlunya perawatan gawat darurat.
Setelah 15 hari, pasien harus dipulangkan, diubah menjadi status involunter, atau diubah
menjadi status volunter.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi hospitalisasi pada anak


a. Berpisah dengan orang tua dan sparing.
b. Fantasi-fantasi dan unrealistic anxieties tentang kegelapan, monster, pembunuhan dan
binatang buas diawali dengan yang asing.
c. Gangguan kontak social jika pengunjung tidak diizinkan
d. Nyeri dan komplikasi akibat pembedahan atau penyakit.
e. Prosedur yang menyakitkan dan takut akan cacat dan kematian .

4. STRESSOR UMUM PADA HOSPITALISASI


a. Perpisahan
b. Kehilangan kendali
c. Perubahan gambar diri
d. Nyeri dan Rasa takut

5. RENTANG RESPON HOSPITALISASI


Menurut Supartini ( 2004, hal : 189 ), berbagai macam perilaku yang dapat ditunjukkan
klien dan keluarga sebagai respon terhadap perawatannya dirumah sakit, sebagai berikut :

a. Reaksi anak terhadap hospitalisasi


Setelah dikemukan diatas, anak akan menunjukkan berbagai perilaku sebagai reaksi
terhadap pengalaman hospitalisasi. Reaksi tersebut bersifat individual, dan sangat bergantung
pada tahapan usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, system
pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimilkinya, pada umumnya, reaksi
anak terhadap sakit adalah kecemasan karena perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh, dan
rasa nyeri. Berikut ini reaksi anak terhadap hospitalisai sesuai dengan tahapan
perkambangannya .
1) Masa bayi ( 0 – 1 tahun )
Masalah utama terjadi adalah karena dampak dari perpisahan dengan orang tua sehingga
ada gangguan pembentukkan rasa percaya dan kasih sayang. Pada anak usia lebih dari 6
bulan terjadi stranger anxiety atau cemas atau cemas apabila berhadapan dengan orang
yang tidak dikenalnya dan cemas karena perpisahan. Reaksi yang sering muncul pada anak
ini adalah menangis, marah, dan banyak melakukan gerakan sebagai sikap stranger anxiety.
Bila bayi berpisah dengan orang tua, maka pembentukan rasa percaya dan pembinaan kasih
sayangnya terganggu.
Pada bayi usia 6 bulan sulit untuk memahami secara maksimal bagaimana reaksi bayi bila
dirawat, Karena bayi belum dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya. Sedangkan pada
bayi dengan usia yang lebih dari 6 bulan, akan banyak menunjukkan perubahan.
Pada bayi usia 8 bulan atau lebih telah mengenal ibunya sebagai orang yang berbeda-beda
dengan dirinya, sehingga akan terjadi “Stranger Anxiety” (cemas pada orang yang tidak
dikenal), sehingga bayi akan menolak orang baru yang belum dikenal. Kecemasan ini
dimanifestasikan dengan meanagis, marah dan pergerakan yang berlebihan. Disamping itu
bayi juga telah merasa memiliki ibunya ibunya, sehingga jika berpisah dengan ibunya akan
menimbulkan “Separation Anxiety” (cemas akan berpisah). Hal ini akan kelihatan jika bayi
ditinggalkan oleh ibunya, maka akan menangis sejadi-jadinya, melekat dan sangat
tergantung dengan kuat.

2) Masa todler ( 1-3 tahun )


Toddler belum mampu berkomunikasi dengan menggunkan bahasa yang memadai dan
pengertian terhadap realita terbatas. Hubungan anak dengan ibu sangat dekat sehingga
perpisahan dengan ibu akan menimbulkan rasa kehilangan orang yang terdekat bagi diri
anak dan lingkungan yang dikenal serta akan mengakibatkan perasaan tidak aman dan rasa
cemas. Disebutkan bahwa sumber stress utama pada anak yaitu akibat perpisahan (usia 15-
30 bulan). Anxietas perpisahan disebut juga “Analitic Depression”
Respon perilaku anak akibat perpisahn dibagi dalam 3 tahap, yaitu :

a) Tahap Protes (Protest)


Pada tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat, menjerit dan memanggil ibunya
atau menggunakan tingkah laku agresif agar orang lain tahu bahwa ia tidak ingin
ditinggalkan orang tuanya serta menolak perhatian orang lain.
b) Tahap Putus Asa (Despair)
Pada tahap ini anak tampak tenang, menangis berkurang, tidak aktif, kurang minat untuk
bermain, tidak nafsu makan, menarik diri, sedih dan apatis.
c) Tahap menolak (Denial/Detachment)
Pada tahap ini secara samar-samar anak menerima perpisahan, membina hubungan
dangkal dengan orang lain serta kelihatan mulai menyukai lingkungan.
Toddler telah mampu menunjukkan kestabilan dalam mengontrol dirinya dengan
mempertahankan kegiatan rutin seperti makan, tidur, mandi, toileting dan bermain.
Akibat sakit dan dirawat di Rumah Sakit, anak akan kehilangan kebebasan dan
pandangan egosentrisnya dalam mengembangkan otonominya. Hal ini akan
menimbulkan regresi. Ketergantungan merupakan karakteristik dari peran sakit. Anak
akan bereaksi terhadap ketergantungan dengan negatifistik dan agresif. Jika terjadi
ketergantungan dalam jangka waktu lama (karena penyakit kronik) maka anak akan
berespon dengan menarik diri dari hubungan interpersonal.
3) Masa prasekolah ( 3-6 tahun )
Anak usia Pra Sekolah telah dapat menerima perpisahan dengan orang tuannya dan anak
juga dapat membentuk rasa percaya dengan orang lain. Walaupun demikian anak tetap
membutuhkan perlindungan dari keluarganya. Akibat perpisahan akan menimbulkan reaksi
seperti : menolak makan, menangis pelan-pelan, sering bertanya misalnya : kapan orang
tuanya berkunjung, tidak kooperatif terhadap aktifitas sehari-hari.
Kehilangan kontrol terjadi karena adanya pembatasan aktifitas sehari-hari dan karena
kehilangan kekuatan diri. Anak pra sekolah membayangkan bahwa dirawat di rumah sakit
merupakan suatu hukuman, dipisahkan,merasa tidak aman dan kemandiriannya dihambat.
Anak akan berespon dengan perasaan malu, bersalah dan takut.
Anak usia pra sekolah sangat memperhatikan penampilan dan fungsi tubuh. Mereka
menjadi ingin tahu dan bingung melihat seseorang dengan gangguan penglihatan atau
keadaan tidak normal.
Pada usia ini anak merasa takut bila mengalami perlukaan, anak memgangap bahwa
tindakan dan prosedur mengancam integritas tubuhnya. Anak akan bereaksi dengan agresif,
ekspresif verbal dan depandensi.
Disamping itu anak juga akan menangis, bingung, khususnya bila keluar darah dari
tubuhnya. Maka sulit bagi anak untuk percaya bahwa infeksi, mengukur tekanan darah,
mengukur suhu perrektal dan prosedur tindakan lainnya tidak akan menimbulkan
perlukaan.

4) Masa sekolah (6-12 tahun )


Anak usia sekolah yang dirawat di rumah sakit akan merasa khawatir akan perpisahan
dengan sekolah dan teman sebayanya, takut kehilangan ketrampilan, merasa kesepian dan
sendiri. Anak membutuhkan rasa aman dan perlindungan dari orang tua namun tidak
memerlukan selalu ditemani oleh orang tuanya.
Pada usia ini anak berusaha independen dan produktif. Akibat dirawat di rumah sakit
menyebabkan perasaan kehilangan kontrol dan kekuatan. Hal ini terjadi karena adanya
perubahan dalam peran, kelemahan fisik, takut mati dan kehilangan kegiatan dalam
kelompok serta akibat kegiatan rutin rumah sakit seperti bedrest, penggunaan pispot,
kurangnya privacy, pemakaian kursi roda, dll.
Anak telah dapat mengekpresikan perasaannya dan mampu bertoleransi terhadap rasa
nyeri. Anak akaqn berusaha mengontrol tingkah laku pada waktu merasa nyeri atau sakit
denga cara menggigit bibir atau menggengam sesuatu dengan erat.
Anak ingin tahu alas an tindakan yang dilakukan pada diri9nya, sehingga ia selalu
mengamati apa yang dikatakan perawat. Anak akan merasa takut terhadap mati pada waktu
tidur.

5) Masa remaja (12 – 18 tahun )


Kecemasan yang timbul pada anak remaja yang dirawat di rumah sakit adalah akibat
perpisahan dengan teman-teman sebaya dan kelompok.
Anak tidak merasa takut berpisah dengan orang tua akan tetapi takut kehilangan status dan
hubungan dengan teman sekelompok. Kecemasan lain disebabkan oleh akibat yang
ditimbulkan oleh akibat penyakit fisik, kecacatan serta kurangnya “privacy”.
Sakit dan dirawat merupakan ancaman terhadap identitas diri, perkembangan dan
kemampuan anak. Reaksi yang timbul bila anak remaja dirawat, ia akan merasa
kebebasannya terancam sehingga anak tidak kooperatif, menarik diri, marah atau frustasi.
Remaja sangat cepat mengalami perubahan body image selama perkembangannya. Adanya
perubahan dalam body image akibat penyakit atau pembedahan dapat menimbulkan stress
atau perasaan tidak aman. Remaja akan berespon dengan banyak bertanya, menarik diri
dan menolak orang lain.

b. Reaksi orang tua pada hospitalisasi anak


1. Denial tidak percaya akan penyakit anak
2. Marah/merasa bersalah, merasa bersalah karena tidak bisa merawat anaknya
3. Ketakutan, frustasi dan cemas, tingkat keseriusan penyakit, prosedur tindakan medis,
dan ketidaktahuan
4. Depresi, terjadi setelah masa

c. Reaksi keluarga terhadap hospitalisasi

Reaksi yang terjadi akibat pasien yang dirumah sakit adalah sebagai berikut:
1) Perasaan cemas dan takut
a) Rasa cemas paling tinggi dirasakan keluarga pada saat menunggu informasi tentang
diagnosis penyakit pasien (Supartini, 2000 dikutip oleh Supartini 2004 hal. 193)
b) Rasa takut muncul pada keluarga terutama akibat takut kehilangan pasien pada
kondisi sakit yang terminal (Brewis, 1995 dikutip oleh Supartini 2004 hal. 193).
c) Perilaku yang sering ditunjukan keluarga berkaitan dengan adanya perasaan cemas
dan takut ini adalah : sering bertanya atau bertanya tentang hal sama berulang-ulang
pada orang yang berbeda, gelisah, ekspresi wajah tegang dan bahkan marah
(Supartini, 2000 dikutip oleh Supartini 2004 hal. 193)
2) Perasaan sedih
Perasaan sedih yang dialami keluarga menurut Supartini (2000, dikutip oleh Supartini,
2004 hal.193), adalah sebagai berikut :
a) Perasaan ini muncul terutama pada saat pasien dalam kondisi terminal dan keluarga
mengetahui bahwa tidak ada lagi harapan bagi pasien untuk sembuh.
b) Pada kondisi ini keluarga menunjukkan perilaku isolasi atau tidak mau didekati
orang lain, bahkan bisa tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan.
3) Perasaan frustrasi
Perasaan frustasi yang dirasakan menurut Supartini (2004, hal. 193-194), adalah sebagai
berikut :
a) Pada kondisi pasien yang telah dirawat cukup lama dan dirasakan tidak mengalami
perubahan serta tidak adekuatnya dukungan psikologis yang diterima keluarga, baik
dari keluarga maupun kerabat lainnya maka keluarga akan merasa putus asa, bahkan
frustrasi.
b) Sering kali keluarga menunjukkan perilaku tidak kooperatif, putus asa, menolak
tindakan, bahkan menginginkan pulang paksa. (Supartini, 2004).

6. MANFAAT HOSPITALISASI

Menurut Supartini (2004, hal : 198) manfaat hospitalisasi, sebagai berikut :


a) Membantu perkembangan keluarga dan pasien dengan cara memberi kesempatan keluarga
mempelajari reaksi pasien terhadap stresor yang dihadapi selama perawatan di Rumah sakit
b) Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar. Untuk itu perawatan dapat memberi
kesempatan pada keluarga untuk belajar tentang penyakit, prosedur, penyembuhan, terapi,
dan perawatan pasien.
c) Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan dengan memberi kesempatan
pada pasien mengambil keputusan, tidak terlalu bergantung pada orang lain dan percaya diri.
Berikan juga penguatan yang positif dengan selalu memberikan pujian atas kemampuan klien
dan keluarga dan dorong terus untuk meningkatkannya
d) Fasilitasi klien untuk tetap menjaga sosialisasinya dengan sesame klien yang ada, teman
sebaya atau teman sekolah. Berikan kesempatan padanya untuk saling kenal dan membagi
pengalamannya. Demikian juga interaksi dengan petugas kesehatan dan keluarga harus
difasilitasi oleh perawat karena selama dirumah sakit klien dan keluarga mempunyai
kelompok yang baru

7. DAMPAK HOSPITALISASI

Menurut Asmadi (2008, hal : 36) secara umum hospitaisasi menimbulkan dampak pada lima
aspek,yaitu privasi,gaya hidup,otonomi diri,peran,dan ekonomi.
a. Privasi
Privasi dapat diartika sebagai refleksi perasaan nyaman pada diri seseorang dan bersifat
pribadi. Bisa dikatakan,privasi adalah suatu hal yang sifatnya pribadi. Sewaktu dirawat di
rumah sakit klien kehilangan sebagian privasinya.
b. Gaya Hidup
Klien yang dirawat di rumah sakit seringkali mengalami perubahan pola gaya hidup. Hal ini
disebabkan oleh perubahan situasi antara rumah sakit dan rumah tempat tinggal klien. Juga
oleh perubahan kondisi kesehatan klien. Aktifitas hidup yang klien jalani sewaktu sehat
tentu berbeda aktifitas yang dijalaninya di rumah sakit. Apalagi jika yang dirawat adalah
seorang pejabat.
c. Otonomi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,individu yang sakit dan dirawat di rumah sakit
berada dalam posisi ketergantungan. Artinya ia akan “pasrah” terhadap tindakan apa
pun,yang dilakukan oleh petugas kesehatan demi mencapai keadaan sehat. Ini menunjukkan
bahwa klien yang dirawat di rumah sakit,akan mengalami peruahan otonomi.
d. Peran
Peran dapat diartikan sebagai seperangkat perilaku yang diharapkan oleh individu sesuai
dengan status sosialnya. Jika ia seorang perawat,peran yang diharapkannya adalah peran
sebagai perawat,bukan sebagai dokter. Perubahan terjadi akibat hospitalisasi ini tidak hanya
berpengaruh pada individu,tetapi juga pada keluarga. Perubahan yang terjadi antara lain :
1) Perubahan peran
Jika salah seorang anggota keluarga sakit,akan terjadi perubahan peran dalam keluarga.
2) Masalah keuangan
Keuangan keluarga akan terpengaruh oleh hospitalisasi,keuangan yang sedianya
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga akhirnya digunakan untuk
keperluan klien yang dirawat.
3) Kesepian
Suasana rumah akan berubah jika ada salah seorang anggota keluarga dirawat.
Keseharian keluarga yang biasanya dihiasi dengan keceriaan,kegembiraan,dan senda
gurau,anggotanya tiba-tiba diliputi oleh kesedihan.
4) Perubahan kebiasaan sosial
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Karenanya, keluarga pun mempunyai
kebiasaan dalam lingkup sosialnya. Sewaktu sehat, keluarga mampu berperan serta
dalam kegiatan sosial. Akan tetapi, saat salah seorang anggota keluarga sakit,
keterlibatan keluarga dalam aktivitas sosial dimasyarakat pun mengalami perubahan.

8. PERAN PERAWAT DALAM MENGURANGI STRES AKIBAT HOSPITALISASI

Anak dan keluarga membutuhkan perawatan yang kompeten untuk meminimalkan efek
negatif dari hospitalisasi. Fokus dari intervensi keperawatan adalah meminimalkan stressor
perpisahan, kehilangan kontrol dan perlukaan tubuh atau rasa nyeri pada anak serta memberi
support kepada keluarga seperti membantu perkembangan hubungan dalam keluarga dan
memberikan informasi :
1. Mencegah atau meminimalkan dampak dari perpisahan, terutama pada anak usia kurang dari
5 tahun.
a) Rooming In
Yaitu orang tua dan anak tinggal bersama. Jika tidak bisa, sebaiknya orang tua dapat
melihat anak setiap saat untuk mempertahankan kontak tau komunikasi antar orang tua
dan anak.
b) Partisipasi Orang tua
Orang tua diharapkan dapat berpartisipasi dalam merawat anak yang sakit terutama
dalam perawatan yang bisa dilakukan misal : memberikan kesempatan pada orang tua
untuk menyiapkan makanan pada anak atau memandikan. Perawat berperan sebagai
Health Educator terhadap keluarga.
c) Membuat ruang perawatan seperti situasi di rumah dengan mendekorasi dinding memakai
poster atau kartu bergambar sehingga anak merasa aman jika berada diruang tersebut.
d) Membantu anak mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah dengan mendatangkan
tutor khusus atau melalui kunjungan teman-teman sekolah, surat menyurat atau melalui
telpon.
2. Mencegah perasaan kehilangan kontrol
a) Physical Restriction (Pembatasan Fisik)
Pembatasan fisik atau imobilisasi pada ekstremitas untuk mempertahankan aliran infus
dapat dicegah jika anak kooperatif. Untuk bayi dan toddler, kontak orang tua – anak
mempunyai arti penting untuk mengurangi stress akibat restrain. Pada tindakan atau
prosedur yang menimbulkan nyeri, orang tua dipersiapkan untuk membantu,
mengobsevasi atau menunggu diluar ruangan. Pada beberapa kasus pasien yang diisolasi,
misal luka bakar berat, dengan menempatkan tempat tidur didekat pintu atau jendela,
memberi musik, dll.
b) Gangguan dalam memenuhi kegiatan sehari-hari
Respon anak terhadap kehilangan, kegiatan rutinitas dapat dilihat dengan adanya masalah
dalam makan, tidur, berpakaian, mandi, toileting dan interaksi social.
Teknik untuk meminimalkan gangguan dalam melakukan kegiatan sehari-hari yaitu
dengan “Time Structuring”.
Pendekatan ini sesuai untuk anak usia sekolah dan remaja yang telah mempunyai konsep
waktu. Hal ini meliputi pembuatan jadual kegiatan penting bagi perawat dan anak, misal :
prosedur pengobatan, latihan, nonton TV, waktu bermain, dll. Jadual tersebut dibuat
dengan kesepakatan antara perawat, orang tua dan anak.
3. Meminimalkan rasa takut terhadap perlakuan tubuh dan rasa nyeri
Persiapan anak terhadap prosedur yang menimbulkan rasa nyeri adalah penting untuk
mengurangi ketakutan. Perawat menjelaskan apa yang akan dilakukan, siapa yang dapat
ditemui oleh anak jika dia merasa takut, dll. Memanipulasi prosedur juga dapat mengurangi
ketakutan akibat perlukaan tubuh, misal : jika anak takut diukur temperaturnya melalui anus,
maka dapat dilakukan melalui ketiak atau axilla.
4. Memaksimalkan manfaat dari hospitalisasi
Walaupun hospitalisasi merupakan stressfull bagi anak dan keluarga, tapi juga
membantu memfasilitasi perubahan kearah positif antara anak dan anggota keluarga :
a) Membantu perkembangan hubungan orang tua – anak
Hospitalisasi memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang pertumbuhan dan
perkembangan anak. Jika orang tua tahu reaksi anak terhadap stress seperti regresi dan
agresif, maka mereka dapat memberi support dan juga akan memperluas pandangan orang
tua dalam merawat anak yang sakit.
b) Memberi kesempatan untuk pendidikan
Hospitalisasi memberi kesempatan pada anak dan anggota keluarga belajar tentang tubuh,
profesi kesehatan, dll.
c) Meningkatkan Self – Mastery
Pengalaman menghadapi krisis seperti penyakit atau hospitalisasi akan memberi
kesempatan untuk self - mastery. Anak pada usianya lebih mudah punya kesempatan untuk
mengetest fantasi atau realita. Anak yang usianya lebih besar, punya kesempatan untuk
membuat keputusan, tidak tergantung dan percaya diri perawat dan memfasilitasi perasaan
self-mastery dengan menekan kemampuan personal anak.
d) Memberi kesempatan untuk sosialisasi
Jika anak yang dirawat dalam satu ruangan usianya sebaya maka akan membantu anak
untuk belajar tentang diri mereka. Sosialisasi juga dapat dilakukan dengan team kesehatan
se3lain itu orang tua juga memperoleh kelompok social baru dengan orang tua anak yang
punya masalah yang sama.
5. Memberi support pada anggota keluarga

Asuhan Keperawatan Teoritis Klien Dengan


Hospitalisasi
1. PENGKAJIAN
a. Pada pengkajian biodata atau identitas klien dapat kita kaji meliputi:
Nama,
Umur
Jenis kelamin (L/P)
Nomor CM,
Ruang rawat
Tanggal masuk MRS.
b. Penanggung Jawab klien meliputi:
Orag tua, Wali, atau,Orang lain
c. Faktor predisposisi
1) Tanyakan riwayat penyakit masa lalu klien yang pernah diderita dan trauma yang pernah
dialami seperti aniaya fisik, aniaya sexual, penolakan, kekerasan dalam keluarga, tindakan
kriminal, dan lain-lain, sehingga menyebabkan dia harus masuk rumah sakit atau
hospitalisasi dan juga tanyakan pengobatan seperti apa yang pernah dilakukan klien.
2) Kemudian tanyakan pada klien apakah didalam anggota keluarganya ada yang mengalami
gangguan jiwa.

3) Kaji juga pengalaman yang tidak menyenangkan yang pernah dialami oleh klien.
d. Pemeriksaan fisik
1) Tanda Vital meliputi: tekanan darah, nadi, suhu, dan respirasi.
2) Ukur berat badan dan tinggi badan.
3) Perkembangan
Bertujuan untuk mengidentifikasikan tingkat perkembangan saat ini dan keterampilan yang dicapai
e. Observasi respon terhadap hospitalisasi

Bertujuan untuk mengidentifikasikan perilaku koping saat ini dan intesitas mereka.
f. Riwayat penyakit, hospitalisasi dan perpisahan sebelumnya.

Bertujuan untuk mengidentifikasikan pola koping sebelumnya dan pengaruh koping tersebut.
g. Riwayat pengobatan

Bertujuan untuk mengidentifikasikan keseriusan masalah dan pengaruhnya pada perkembangan


kemampuan.
h. Persepsi tentang penyakit.

Bertujuan untuk mengidentifikasikan pemahaman pasien saat ini tentang penyakit dan alasan
hospitalisasi.
i. Sistem pendukung yang tersedia

Bertujuan untuk mengidentifikasikan tersedianya dan kesediaan keluarga untuk berpartisipasi


dalam perawatan dan pemberian dukungan.
j. Koping keluarga

Bertujuan untuk menggambarkan kemampuan keluarga apakah memperlihatkan perilaku


distruktif yang jelas atau terselubung atau juga menunjukkan adaptasi merusak terhadap stressor.
k. Ketakutan, kecemasan dan kesedihan keluarga

Bertujuan untuk mengidentifikasikan apakah keluarga mengalami suatu perasaan gangguan


fisiologis ataupun emosional yang berhubungan dengan suatu sumber yang dapat diidentifikasi
yang dirasakan membahayakan pasien saat dirawat dihospitalisasi.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat berdasarkan Perry & Potter (2002, hal. 670), adalah
sebagai berikut :
a. Ketakutan berhubungan dengan lingkungan rumah sakit yang menakutkan dan perpisahan
dengan keluarga.
b. Ketidakefektifan koping individu berhubungan dengan sistem pendukung yang tidak adekuat
Sedangkan diganosa keperawatan yang dapat diangkat menurut Lynda Juall Carpenito (1998, hal.
9-14 & hal. 112-114), adalah sebagai berikut :
a. Ansietas berhubungan dengan kehilangan orang terdekat aktual atau yang dirasakan sekunder
terhadap; perpisahan sementara.
b. Kurang aktivitas berhubungan dengan perawatan dirumah sakit dalam waktu lama.

3. RENCANA KEPERAWATAN
Rencana asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa Perry & Potter (2002, hal. 670), adalah
sebagai berikut :
a. Ketakutan berhubungan dengan lingkungan rumah sakit yang menakutkan dan perpisahan
dengan keluarga.
1) Tujuan :
Pasien akan mengatasi secara efektif rasa takut yang dihubungkan dengan hospitalisasi.
2) Kriteria Hasil :
a) Salah satu dari keluarga tetap tinggal bersama pasien
b) Keluarga ikut berpartisipasi dalam pemberian makan, kebersihan dan kegiatan pasien sehari-
hari.
3) Intervensi & Rasional :
a) Beri dorongan kepada keluarga untuk menetap kedalam ruangan dengan pasien atau meminta
anggota keluarga lain untuk bersama pasien.
Rasional : Keluarga dapat memberikan rasa aman dan mencegah dari perkembangan dari
ketidakpercayaan.
b) Tanyakan kepada keluarga bagaimana mereka berharap untuk berpartisipasi dalam perawatan
pasien
Rasional : Untuk mengurangi kecemasan dan ketakutan keluarga maupun pasien

c) Orientasikan keluarga pada divisi, suplai dan lingkungan keperawatan


Rasional : Lingkungan yang asing akan mengancam kepercayaan keluarga dan menimbulkan
kelemahan terhadap layanan keperawatan yang diberikan.
b. Ketidakefektifan koping individu berhubungan dengan sistem pendukung yang tidak adekuat.
1) Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Mengidentifikasikan respons-respons yang membahayakan atau mengabaikan
b) Mengungkapkan kebutuhan akan bantuan dalam mengatasi situasi
c) Menghubungi sumber-sumber komunitas yang tersedia.
2) Intervensi & Rasional :
a) Terima perilaku agresif
Rasional : Perilaku awal yang nyaman memberikan rasa aman
b) Jelaskan kepada keluarga bahwa perilaku ini normal
Rasional : Penjelasan akan membuat keluarga tahu bahwa ini adalah perilaku koping
c) Berikan kesempatan kepada pasien untuk keluar menghilangkan rasa takut dan perasaannya.
Rasional : Media ini merupakan cara pasien untuk mengekspresikan perasaan dari dalam.
Sedangkan rencana asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa Lynda Juall Carpenito (1998, hal. 9-
14 & hal.112 -114), adalah sebagai berikut :
c. Ansietas berhubungan dengan kehilangan orang terdekat aktual atau yang dirasakan sekunder
terhadap; perpisahan sementara.
1) Tujuan dan Kriteria Hasil
a) Menggambarkan ansietas dan pola kopingnya
b) Menghubungkan peningkatan psikologi dan kenyamanan fisiologis
c) Menggunakan mekanisme koping yang efektif dalam menangani ansietas, seperti yang
ditunjukkan.
2) Intervensi dan Rasional
a) Kaji ansietas : ringan, sedang, berat, panik

b) Memberikan kenyamanan dan ketentraman hati


c) Singkirkan stimulasi yang berlebihan, batasi kontak dengan orang lain atau keluarga yang juga
mengalami cemas
d) Bantu klien yang sedang marah: identifikasi adanya marah.
e) Bila berkenan, berikan aktivitas yang dapat mengurangi ketegangan.
d. Kurang aktivitas berhubungan dengan perawatan dirumah sakit dalam waktu lama.
1) Tujuan dan Kriteria Hasil
a) Menceritakan perasaan bosan dan mendiskusikan metode tentang cara menemukan aktivitas
yang dapat menghibur
b) Menceritakan metode koping dengan perasaan marah atau defresi yang disebabkan oleh
kebosanan
c) Melaporkan adanya suatu peningkatan dalam aktivitas yang menyenangkan
2) Intervensi dan Rasional
a) Rangsang motivasi dengan memperlihatkan minat dan mendorong untuk dapat saling berbagi
perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman
b) Bantu individu untuk mengatasi perasaan-perasaan marah dan berduka
c) Libatkan individu dalam merencanakan rutinitas sehari-hari
d) Rencanakan waktu untuk para pengunjung.

Anda mungkin juga menyukai