Definisi hospitalisasi
Hospitalisasi ialah di mana suatu keadaan krisis pada saat anak sakit dan dirawat di rumah
sakit. Situasi ini terjadi karena anak mengalami perubahan dari keadaan sehat dan rutinitas
lingkungan serta mekanisme koping yang terbatas dalam menghadapi stresor. Stresor utama
dalam hospitalisasi adalah perpisahan, kehilangan kendali dan nyeri (Hockenberry, M.J., &
Wilson, 2017).
Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana maupun darurat yang
mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi dan perawatan.
Meskipun demikian perawatan di rumah sakit tetap merupakan masalah besar dan
menimbulkan ketakutan dan cemas bagi anak (Supartini, 2004).
Usia, perkembangan kognitif, persiapan anak dan orang tua, keterampilan koping dan
pengaruh budaya sangat mempengaruhi reaksi anak terhadap penyakit. Reaksi anak terhadap
penyakit adalah ketakutan yang tidak diketahui, cemas karena pemisahan, takut sakit, kurang
kontrol, marah dan regresi (James, S.R. & Ashwill, 2017). Berdasarkan pengertian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan berencana maupun
darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal dan melakukan perawatan dirumah sakit yang
dapat menyebabkan beberapa perubahan psikis pada anak.
Perubahan psikis terjadi akibat adanya suatu tekanan atau krisis pada anak. Jika seorang anak
dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah mengalami krisis yang disebabkan
oleh stres akibat perubahan baik terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dalam
kebiasaan sehari-hari. Selain itu, anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanisme
koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian yang sifatnya menekan.
Reaksi anak terhadap hospitalisasi tergantung pada usia, perkembangan anak, pengalaman
sebelumnya terhadap penyakit, sistem pendukung yang tersedia dan mekanisme koping yang
dimilki oleh anak. Menurut (Jovan, 2020) reaksi hospitalisasi pada masa bayi adalah
menangis keras, pergerakan tubuh yang banyak dan ekspresi wajah yang tidak
menyenangkan.
Reaksi yang diperlihatkan anak pada usia todler pada tahap protes adalah menangis, menjerit
dan menolak perhatian orang lain. Anak usia prasekolah menunjukkan reaksi terhadap
hospitalisasi berupa menolak makan, sering bertanya, menangis perlahan dan tidak kooperatif
terhadap petugas.
Dampak hospitalisasi Menurut Cooke dalam Rudolph (2003), hospitalisasi dalam waktu lama
dengan lingkungan yang tidak efisien teridentifikasi dapat mengakibatkan perubahan
perkembangan emosional dan intelektual anak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
anak yang dihospitalisasi bisa mengalami gangguan untuk tidur dan makan, perilaku regresif
seperti kencing di atas tempat tidur, hiperaktif, perilaku agresif, mudah tersinggung, terteror
pada saat malam hari dan negativism (Herliana, 2016).
Setiap anak mempunyai respon yang berbeda terhadap penyakit dan hospitalisasi. Beberapa
faktor yang mempengaruhi respon anak terhadap hospitalisasi menurut (James, S.R. &
Ashwill, 2017) adalah:
Bagi anak usia prasekolah, sakit adalah sesuatu yang menakutkan. Selain itu, perawatan di
rumah sakit dapat menimbulkan cemas karena anak merasa kehilangan lingkungan yang
dirasakanya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan. Anak juga harus meninggalkan
lingkungan rumah yang dikenalnya, permainan, dan teman sepermainannya (Supartini, 2004).
Beberapa hal tersebut membuat anak menjadi stres atau tertekan. Akibatnya anak merasa
gugup dan tidak tenang, bahkan tidak kooperatif pada waktu dilakukan tindakan.
Anak usia prasekolah sering merasa terkekang selama dirawat di rumah sakit. Hal ini
disebabkan adanya pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan
diri. Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan sebagai hukuman sehingga anak akan
merasa malu, bersalah dan cemas atau takut. Anak yang sangat cemas dapat bereaksi agresif
dengan marah dan berontak (Bernand, W, K., & Wilson, 2019).
Small, Melnyk & Arcoleo (2009) menyatakan bahwa anak uaia prasekolah selama
dihospitalisasi bisa menyebabkan dampak bagi anak sendiri maupun orang tua. Dampak
muncul pada anak karena kemampuan pemilihan koping belum baik dan stres terhadap
kondisi pengobatan. Perilaku yang diperlihatkan adalah cemas, regresi, sedih, putus asa,
hiperaktif dan agresif. Kecemasan pada anak biasanya muncul karena berbagai perubahan
yang muncul disekelilingnya, baik fisik maupun emosional. Kecemasan dapat juga muncul
akibat kurangnya support system yang ada di sekitarnya. Adapun gejala klinis kecemasan
yang sering ditemukan pada anak adalah perasaan cemas, kekhawatiran dan mudah
tersinggung (Hawari, 2012).
Hospitalisasi membawa dampak yang kurang baik namun dapat mendukung anak semakin
dewasa. Berbagai dampak hospitalisasi yang dapat terjadi pada anak usia prasekolah adalah:
Empat kategori tersebut adalah perpisahan dengan keluarga dan teman, berada di lingkungan
yang asing, menerima berbagai pertanyaan seputar kondisi anak selama perawatan dan
hilangnya kebebasan anak.
Perpisahan dengan keluarga atau teman menyebabkan gangguan terhadap rutinitas keluarga,
hambatan terhadap aktivitas seharihari, terputusnya hubungan dengan teman maupun
penurunan prestasi sekolah. Penyebab dari anak merasa berada di lingkungan yang asing
adalah kondisi ruang rawat yang ramai, lampu yang terang pada malam hari, lingkungan yang
panas, fasilitas permainan yang tidak memadai dan makanan yang dianggap tidak enak.
Berbagai aktivitas perawatan yang bisa menyebabkan ketakutan anak yaitu prosedur operasi,
jarum suntik, kesalahan prosedur perawatan, perubahan gambaran diri dan nyeri. Anak
merasa kehilangan kebebasan selama perawatan karena pembatasan kegiatan, tidak
terpenuhinyan kebutuhan pribadi, perubahan waktu tidur, perubahan terhadap makanan yang
dikonsumsi dan kurangnya kontrol terhadap waktu tindakan perawatan.
Reaksi anak terhadap kesakitan dan rawat inap di rumah sakit bereda-beda pada setiap
individu. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberap faktor. Perkembangan usia anak merupakan
salah satu faktor utama yang dapat mempengaruhi reaksi anak terhadap sakit dan proses
perawatan.
Reaksi anak terhadap sakit juga berbeda-beda sesuai tingkat perkembangan anak. Apabila
anak pernah mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan selama dirawat di rumah
sakit sebelumnya maka anak akan takut dan trauma. Sebaliknya apabila pengalaman anak
dirawat di rumah sakit mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan anak akan lebih
kooperatif pada perawat dan dokter (Supartini, 2004).
Hospitalisasi menimbulkan serangkaian ancaman terhadap anak, termasuk rasa takut disakiti
secara fisik, berpisah dari orang tua, lingkungan asing dan orang-orang yang tidak anak
kenal. Informasi dan komunikasi efektif merupakan unsur yang penting dalam perawatan
anak (Ygge, 2004). Anak yang mengalami hospitalisasi sebelumnya akan memiliki ingatan
akan rasa nyeri berkaitan dengan prosedur medik. Ingatan tentang rasa nyeri terkait dengan
prosedur medik akan muncul kembali pada saat anak menjalani hospitalisasi pada masa
mendatang.
Kecemasan akan diperberat dengan persepsi anak terhadap rasa nyeri, jarum suntik,
perpisahan dengan orang tua dan ancaman cedera tubuh. Anak yang mampu beradaptasi
dengan proses hospitalisasi akan memiliki koping yang positip, sehingga dalam proses ini
faktor usia dan jenis kelamin memberikan kontribusi terhadap dampak hospitalisasi yang
terjadi (Coyne, 2020).
Sistem pendukung (support system) yang tersedia akan membantu anak beradaptasi dengan
lingkungan rumah sakit dimana ia dirawat. Anak akan mencari dukungan yang ada dari orang
lain untuk melepaskan tekanan akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan minta
dukungan kepada orang terdekat misalnya orang tua atau saudaranya. Perilaku ini biasanya
ditandai dengan permintaan anak untuk ditunggui selama dirawat di rumah sakit, didampingi
saat dilakukan treatment padanya, minta dipeluk saat merasa takut dan cemas bahkan saat
merasa kesakitan (Coyne, 2020a).
Rawat inap dapat menjadi pengalaman yang sangat sulit bagi seorang anak. Ketika anak-anak
dirawat di rumah sakit, mereka harus jauh dari rumah, keluarga, teman dan berada di
lingkungan asing bersama anak- anak lain yang belum saling mengenal. Anak-anak
kehilangan kebebasan dalam menentuan nasib sendiri sesuai dengan kebutuhan pribadi
ditambah dengan ketakutan dan kekhawatiran. Rutinitas rumah sakit dapat mempengaruhi
reaksi anak yang sedang dirawat inap.
Anak membutuhkan informasi yang memadai sesuai dengan kebutuhan anak. Perencanaan
dalam pemberian perawatan berfokus pada anak sehingga intervensi dibuat untuk mengurangi
stres pada anak (Coyne, 2020). Sistem pendukung yang mempengaruhi reaksi anak selama
masa perawatan termasuk didalamnya adalah keluarga dan pola asuh yang didapatkan oleh
anak dalam keluarganya. Keluarga yang kurang mendapat informasi, tentang kondisi
kesehatan anak saat dirawat di rumah sakit akan menyebabkan anak semakin stres dan takut.
Selain itu, pola asuh keluarga yang terlalu protektif dan selalu memanjakan anak juga dapat
mempengaruhi reaksi takut dan cemas anak ketika dirawat di rumah sakit. Berbeda dengan
keluarga yang memandirikan anak untuk aktivitas sehari-hari, anak akan lebih kooperatif bila
dirumah sakit (Ahmann, 2019). Perawatan di rumah sakit dapat menyebabkan syok mental,
stres, kemarahan, kesedihan dan meningkatkan hubungan interpersonal anak. Seorang anak
yang merasa bersalah karena adanya keyakinan bahwa penderitaan yang dialami adalah
hukuman untuknya atau dosa masa lalu orangtuanya tidak dapat dibenarkan.
Reaksi psikososial anak terhadap penyakit kronis adalah takut, ketidaknyamanan dan rendah
diri, terkait dengan informasi yang diperoleh terbatas. Cara seorang anak bereaksi dan
menghadapi penyakit kronis bervariasi tergantung pada ciri-ciri kepribadian, usia, sikap
sosial, dan hubungan anak dengan orang tua (Theofanidis, 2010). Ketrampilan koping dalam
menangani stres sangat penting bagi proses adaptasi anak selama masa perawatan. Apabila
mekanisme koping anak baik dalam menerima kondisinya yang mengharuskan dia dirawat di
rumah sakit, anak akan lebih kooperatif selama menjalani perawatan di rumah sakit.
Usia dini disebut juga sebagai tahap perkembangan kritis atau usia emas (golden age). Pada
tahap ini sebagian besar jaringan sel-sel otak berfungsi sebagai pengendali setiap aktivitas
dan kualitas manusia. Dua tahun pertama kehidupan manusia sangat penting bagi
perkembang-an anak. Anak mulai mengembangkan kemampuan motorik indrawi, visual dan
auditori yang distimulasi melalui ling-kungan sekitarnya (Schunk, 2012).
Berbebrapa penelitian menyimpulkan bahwa anak usia dini adalah anak yang berusia 0-8
tahun yang sedang dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun mental.
Definisi lain menyebutkan bahwa anak usia dini yaitu anak dengan usia 4-6 tahun dimana
anak telah memasuki jenjang prasekolah. Anak pada usia tersebut mengalami perubahan pada
fase kehidupan sebelumnya. Masa anak usia dini sering disebut dengan “golden age” atau
masa emas. Pada masa ini hampir seluruh potensi anak mengalami masa peka untuk tumbuh
dan berkembang secara tepat dan hebat. Perkembangan setiap anak tidak sama karena setiap
individu memiliki perkembangan yang berbeda. Taman kanak-kanak sebagai salah satu
bentuk pendidikan prasekolah yang ada di jalur pendidikan yang memberikan layanan bagi
anak usia dini hingga memasuki tahapan pendidikan dasar. Patmonodewo (2003)
menyebutkan “anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun. Mereka
biasanya mengikuti program prasekolah. Sedangkan di Indonesia, umumnya mereka
mengikuti program tempat penitipan anak (3 bulan – 5 tahun) dan kelompok bermain (usia 3
tahun), sedangkan pada usia 4-6 tahun biasanya mereka mengikuti program taman
kanakkanak”. Pendidikan pada taman kanak-kanak diarahkan untuk mengembangkan potensi
anak semaksimal mungkin sesuai dengan tahapan perkembangan anak melalui kegiatan
bermain sambil belajar. Selain itu, taman kanakkanak diharapkan juga berusaha untuk
mengembangkan segi kepribadian anak dalam rangka menjembatani pendidikandalam
keluarga kependidikan dalam lingkungan sekolah. Karena pada tahapan ini,anak tidak lagi
berkumpul dan bergaul bersama keluarga dirumah namun sudah berkumpul bersama dengan
figur baru yaitu guru dan teman sebayanya. Anak harus dibimbing untuk memperoleh
keterampilan sosial yang berhubunganm dengan emosional.
Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang
tua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial atau norma dalam
masyarakat. Pada proses ini biasanya disebut dengan sosialisasi. Tingkah laku sosialisasi
adalah sesuatu yang dipelajari, bukan sekedar hasil dari kematangan. Perkembangan sosial
anak diperoleh selain dari proses kematangan juga melalui kesempatan belajar dari responss
terhadap tingkah laku.
Perkembangan sosial mulai agak komplek ketika anak menginjak usia 7 tahun dimana anak
mulai memasuki ranah pendidikan yang paling dasar yaitu sekolah Dasar. Pada masa ini anak
belajar bersama teman-teman diluar rumah. Anak sudah mulai bermain bersama teman
sebaya (cooperative play). Vygotsky dan Bandura menyebut-nya dengan teori belajar sosial
melalui perkembangan kognitifnya.
Anak usia SD (7 tahun) perkem-bangan sosial sudah mulai berjalan. Hal ini tampak dari
kemampuan mereka dalam melakukan kegiatan secara berke-lompok. Kegiatan bersama
berbentuk seperti sebuah permainan. Tanda-tanda perkembangan pada tahap ini adalah:
Dari sisi sosial emosional, kegiatan bermain dalam melatih anak dalam mema-hami perasaan
teman lainnya. Konflik dalam interaksi keduanya akan membantu anak dalam memahami
bahwa orang selain dirinya yaitu temannya memiliki cara pandang yang berbeda dari dirinya.
Begitu pentingnya perkembangan sosial hingga Sri Esti (Yahro, 2009) mengatakan dalam
buku psikologi pendidikan bahwa anak yang kurang popular adalah anak yang kurang
memiliki keterampilan sosial.
Perkembangan sosial dapat dipetakan dalam beberapa aspek. Kostelnik, Soderman dan Waren
(Yahro, 2009) menyebutkan bahwa perkembangan sosial meliputi komperensi sosial dan
tanggung jawab sosial. Kompetensi sosial menggambarkan keefektifan kemampuan anak
dalam beradaptasi dengan lingkugan so-sialnya. Misalnya mau bergantian dengan teman
lainnya dalam sebuah permainan. Tanggung jawab sosial menunjukkan komitmen anak
terhadap tugasnya, meng-hargai perbedaan individual, memperhati-kan lingkungannya dan
mampu menjalan-kan fungsinya. Perkembangan sosial anak diperoleh dari kematangan dan
kesempatan belajar dari berbagai respons lingkungan terha-dap anak. Perkembangan sosial
yang optimal diperoleh dari respons sosial yang sehat dan kesempatan yang diberikan kepada
anak untuk mengembangkan konsep diri yang positif. Melalui kegiatan bermain, anak dapat
mengembangkan minat dan sikapnya terhadap orang lain. Dan sebaliknya aktivitas yang
terlalu banyak didominasi oleh guru akan meng-hambat perkembangan sosial emosi anak.
Perkembangan Emosi
Campos (dalam Santrock 2007) men-definisikan emosi sebagai perasaan atau afeksi yang
timbul ketika seseorang bera-da dalam suatu keadaan yang dianggap penting oleh individu
tersebut. Emosi diwakilkan oleh perilaku yang mengekspresikan kenyamanan atau
ketidaknya-manan terhadap keadaan atau interaksi yang sedang bentuk rasa senang, takut,
marah, dan sebagainya.
Karaktristik emosi pada anak berbeda dengan karakteristik yang terjadi pada orang dewasa,
dimana karekteristik emosi pada anak itu antara lain; (1) Berlangsung singkat dan berakhir
tiba-tiba; (2) Terlihat lebih hebat atau kuat; (3) Bersifat sementara atau dangkal; (4) Lebih
sering terjadi; (5) Dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya, dan (6) Reaksi
mencerminkan individualitas
Emosi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu, emosi positif maupun negatif. Santrock
mengungkapkan bahwa emosi dipengaruhi oleh dasar biologis dan juga pengalaman masa
lalu. Terutama ekspresi wajah dari emosi, disini dituliskan bahwa emosi dasar seperti
bahagia, terkejut, marah, dan takut memiliki ekspresi wajah yang sama pada budaya yang
berbeda.
Emosi memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan anak, baik pada usia
prasekolah maupun pada tahap-tahap perkembangan selanjutnya, karena memiliki pengaruh
terhadap perilaku anak. Woolfson menyebutkan bahwa anak memiliki kebutuhan emosional,
seperti ingin dicintai, dihargai, rasa aman, merasa kompeten dan mengoptimalkan kompe-
tensinya.
Pada usia prasekolah anak-anak belajar menguasai dan mengekspresikan emosi. Pada usia
enam tahun anak-anak memahami konsep emosi yang lebih kompleks, seperti kecemburuan,
kebang-gaan, kesedihan dan kehilangan, tetapi anakanak masih memiliki kesulitan di dalam
menafsirkan emosi orang lain. Pada tahapan ini anak memerlukan pengalaman pengaturan
emosi, yang mencakup kapa-sitas untuk mengontrol dan mengarahkan ekspresi emosional,
serta menjaga perilaku yang terorganisir ketika munculnya emosi-emosi yang kuat dan untuk
dibim-bing oleh pengalaman emosional. Seluruh kapasitas ini berkembang secara signifikan
selama masa prasekolah dan beberapa diantaranya tampak dari meningkatnya kemampuan
anak dalam mentoleransi frustasi.
Kemampuan untuk mentoleransi frus-tasi ini, yang merupakan upaya anak untuk
menghindari amarah dalam situasi frustasi yang membuat emosi tidak terkontrol dan perilaku
menjadi tidak terorganisir. Anak-anak tampak mening-kat kemampuannya dalam
mentoleransi frustasi ketika diminta melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan
mereka. Mereka juga mulai belajar bagai-mana menegosiasikan konflik tersebut.
Sedangkan Kemampuan untuk me-nunjukkan kontrol diri terhadap emosi akan menjadi
anugerah yang dilematis bagi anak apabila anak tidak mampu menyesuaikan levelnya
terhadap situasi tertentu. Pada beberapa situasi anak diharapkan mampu menahan diri, tetapi
pada situasi yang lain anak-anak dapat berperilaku impulsif dan ekspresif seperti yang
mereka inginkan. Intinya, anak prasekolah diharapkan mampu untuk mengekspresikan
emosinya dengan baik dan tanpa merugikan orang lain, serta dapat pula mulai belajar mela-
kukan regulasi emosi.
Santrock (2007) perkembangan emosi pada masa kanak-kanak awal ditandai dengan
munculnya emosi evaluatif yang disadari rasa bangga, malu, dan rasa bersalah, dimana
kemunculan emosi ini menunjukkan bahwa anak sudah mulai memahami dan menggunakan
peraturan dan norma sosial untuk menilai perilaku mereka. Berikut penjelasan dari tiga emosi
tersebut:
1) Rasa bangga Perasaan ini akan muncul ketika anak merasakan kesenang setelah
sukses melakukan perilaku tertentu. Rasa bangga sering diasosiasikan dengan
pencapaian suatu tujuan tertentu.
2) Malu Perasaan ini muncul ketika anak menganggap dirinya tidak mampu memenuhi
standar atau target tertentu. Anak yang sedang malu sering kali berharap mereka bisa
bersembunyi atau menghilang dari situasi tersebut. Secara fisik anak akan terlihat
menge-rut seolah-olah ingin menghindar dari tatapan orang lain. Dan biasanya rasa
malu lebih disebabkan oleh interpre-tasi individu terhadap kejadian tertentu.
3) Rasa bersalah Rasa ini akan muncul ketika anak menilai perilakunya sebagai sebuah
kegagalan. Dan dalam mengekspresi-kan perasaan ini biasa anak terlihat seperti
melakukan gerakan-gerakan tertentu seakan berusaha memperbaiki kegagalan
mereka.
Terdapat beberapa hal penting dalam perkembangan emosional anak yang perlu difahami:
Menempatkan perubahan bersama-sama dari berbagai teori Greenspan, Fischer, dan Saarni
percaya bahwa perkembangan dari bayi, batita, dan anak-anak prasekolah itu slalu akan
bergerak maju. Seperti: (a) Semakin luas, dan memiliki hubungan emosional yang semakin
kompleks, (b) Kemampuan yang lebih baik dalam mengkoordinasikan dan mengontrol emosi
dan menghubungkan emosi, (c) Lebih mampu untuk merefleksikan perasaan mereka sendiri
dan orang lain, (d) Representasi emosi melalui bahasa, bermain, dan fantasi, (e)
Menghubungkan emosi individual terhdapa nilai dan standar budaya, dan (f) Terintegrasi,
positif, dan otonom, namun berhubungan secara emosional, perasaan diri
Tingkat pencapaian perkembangan sosial emosi anak pada usia 3-6 tahun
Perilaku agresif merupakan masalah serius yang dialami individu baik bagi
kehidupan pribadi maupun sosial, dan telah menjadi masalah serius baik di Indonesia
maupun di skala internasional. Indonesia bahkan belakangan ini mendeklarasikan
“darurat kekerasan anak” akibat banyaknya kasus kekerasan yang terjadi pada anak-
anak Dikatakan bahwa sikap agresif anak pada usia dini jika menetap sampai anak
tersebut dewasa, maka berdampak sangat merugikan diri anak. Kebanyakan para ahli
berpendapat, perilaku agresif merupakan perilaku yang dimaksudkan untuk
merugikan dan merusak orang lain secara fisik maupun psikis (Ferdiansa &
Neviyakni, 2020).
Menurut Akbar et al, (2021) mengungkapkan perilaku agresi pada anak usia
dini jika tidak segera diatasi dapat mempengaruhi perkembangan di tahap
selanjutnya. Berjalannya peningkatan jumlah anak yang dirawat di rumah sakit
akhirakhir ini beresiko terjadi peningkatan populasi anak yang mengalami gangguan
perkembangan. Risiko disfungsi perkembangan pada anak merupakan dampak
hospitalisasi. Anak merupakan populasi yang sangat rentan terutama ketika
menghadapi situasi yang akan membuat stress. Hal ini dikarenakan kemampuan
koping yang digunakan orang dewasa, pada anak-anak belum berkembang secara
sempurna (Utami, 2014).
Faktor Penyebab Perilaku Agresif
Anak yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit akan mengalami
kecemasan dan stres. Penyebab stres dan kecemasan pada anak dipengaruhi oleh
banyak faktor, diantaranya perilaku yang ditunjukkan petugas kesehatan (dokter,
perawat dan tenaga kesehatan lainnya), pengalaman hospitalisasi anak, support
system atau dukungan keluarga yang mendampingi selama perawatan. Faktor-faktor
tersebut dapat menyebabkan anak semakin stres dan hal ini dapat berpengaruh
terhadap proses penyembuhan (Nursalam, Susilaningrum & Utami, 2008).
Selama hospitalisasi anak memiliki stressor yang menjadi krisis pertama yang
harus dihadapi anak. Stresor utama dari hospitalisasi pada anak antara lain
perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh, dan nyeri. Selama masa hospitalisasi,
anak selalu memiliki pengalaman tidak terduga dan menjalani prosedur yang
menyebabkan anak merasa nyeri. Anak akan bereaksi terhadap rasa nyeri dengan
menyeringai wajah, menangis, mengatupkan gigi, mengigit bibir, membuka mata
dengan lebar, atau melakukan tindakan agresif seperti menggigit, menendang,
memukul, atau berlari keluar (Nursalam, Susilaningrum, & Utami, 2008)
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh (Akbar 2021) diketahui
penyebab agresivitas yakni(1) keterampilan emosional yang belum terlatih membuat
subjek tidak bisa menyampaikan keinginannya (2) Situasi yang memicu emosi
negatif seseorang (3) rasa frustasi dan tidak disukai(4) faktor keinginan yang tidak
terpenuhi (5) pola asuh.
Tujuan terapi bermain di rumah sakit adalah agar anak melanjutkan fase
tumbuh kembang secara optimal, mengembangkan kreativitas anak sehingga
anak dapat beradaptasi lebih efektif terhadap stress.
Waktu yang diperlukan untuk terapi bermain pada anak yang di Rumah
Sakit adalah 15-20 menit.Waktu tersebut dapat membuat kedekatan antara orang
tua dan anak serta tidak mengakibatkan anak kelelahan akibat bermain.
2. Sesuai Kelompok Usia