Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN PUSTAKA .

Hospitalisasi Pada Anak

Definisi hospitalisasi

Hospitalisasi ialah di mana suatu keadaan krisis pada saat anak sakit dan dirawat di rumah
sakit. Situasi ini terjadi karena anak mengalami perubahan dari keadaan sehat dan rutinitas
lingkungan serta mekanisme koping yang terbatas dalam menghadapi stresor. Stresor utama
dalam hospitalisasi adalah perpisahan, kehilangan kendali dan nyeri (Hockenberry, M.J., &
Wilson, 2017).

Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana maupun darurat yang
mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi dan perawatan.
Meskipun demikian perawatan di rumah sakit tetap merupakan masalah besar dan
menimbulkan ketakutan dan cemas bagi anak (Supartini, 2004).

Usia, perkembangan kognitif, persiapan anak dan orang tua, keterampilan koping dan
pengaruh budaya sangat mempengaruhi reaksi anak terhadap penyakit. Reaksi anak terhadap
penyakit adalah ketakutan yang tidak diketahui, cemas karena pemisahan, takut sakit, kurang
kontrol, marah dan regresi (James, S.R. & Ashwill, 2017). Berdasarkan pengertian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan berencana maupun
darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal dan melakukan perawatan dirumah sakit yang
dapat menyebabkan beberapa perubahan psikis pada anak.

Perubahan psikis terjadi akibat adanya suatu tekanan atau krisis pada anak. Jika seorang anak
dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah mengalami krisis yang disebabkan
oleh stres akibat perubahan baik terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dalam
kebiasaan sehari-hari. Selain itu, anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanisme
koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian yang sifatnya menekan.

Reaksi anak terhadap hospitalisasi

Reaksi anak terhadap hospitalisasi tergantung pada usia, perkembangan anak, pengalaman
sebelumnya terhadap penyakit, sistem pendukung yang tersedia dan mekanisme koping yang
dimilki oleh anak. Menurut (Jovan, 2020) reaksi hospitalisasi pada masa bayi adalah
menangis keras, pergerakan tubuh yang banyak dan ekspresi wajah yang tidak
menyenangkan.
Reaksi yang diperlihatkan anak pada usia todler pada tahap protes adalah menangis, menjerit
dan menolak perhatian orang lain. Anak usia prasekolah menunjukkan reaksi terhadap
hospitalisasi berupa menolak makan, sering bertanya, menangis perlahan dan tidak kooperatif
terhadap petugas.

Dampak hospitalisasi Menurut Cooke dalam Rudolph (2003), hospitalisasi dalam waktu lama
dengan lingkungan yang tidak efisien teridentifikasi dapat mengakibatkan perubahan
perkembangan emosional dan intelektual anak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
anak yang dihospitalisasi bisa mengalami gangguan untuk tidur dan makan, perilaku regresif
seperti kencing di atas tempat tidur, hiperaktif, perilaku agresif, mudah tersinggung, terteror
pada saat malam hari dan negativism (Herliana, 2016).

Faktor-faktor yang mempengaruhi anak dalam berespon terhadap penyakit dan


hospitalisasi

Setiap anak mempunyai respon yang berbeda terhadap penyakit dan hospitalisasi. Beberapa
faktor yang mempengaruhi respon anak terhadap hospitalisasi menurut (James, S.R. &
Ashwill, 2017) adalah:

a) Umur dan perkembangan kognitif


Tingkat perkembangan anak mempengaruhi reaksi anak terhadap penyakit.
Perkembangan anak pada usia prasekolah adalah membentuk konsep sederhana
tentang kenyataan sosial, belajar membina hubungan emosional dengan orang lain
dan belajar membina hubungan baik dan buruk dengan orang lain. Perbedaan-
perbedaan tersebut harus dipertimbangkan saat merencanakan asuhan keperawatan.
Persiapan rawat inap dan prosedur yang akan dilakukan didasarkan pada pertumbuhan
dan perkembangan anak.
b) Respon orang tua terhadap penyakit dan hospitalisasi
Orang tua dan anak mengalami kecemasan saat anak dihospitalisasi. Kecemasan yang
terjadi pada orang tua ini dapat meningkatkan kecemasan anak. Orang tua kadang
tidak menjawab pertanyaan anak dan tidak menjelaskan yang sebenarnya karena
khawatir anak menjadi takut dan cemas. Orang tua takut membuat bingung anak dan
menurunkan tingkat kepercayaan anak.
c) Persiapan anak dan orang tua
Metode yang dapat dilakukan untuk menyiapkan anak dalam menjalani hospitalisasi
adalah mengerti kebutuhan individu dari anak tersebut. Perawat harus
mempertimbangkan umur, tingkat perkembangan, keterlibatan keluarga, waktu, status
fisik dan psikologi anak, faktor sosial budaya dan pengalaman terhadap sakit maupun
pengalaman merawat anak.
d) Ketrampilan koping anak dan keluarga
Koping merupakan suatu proses dalam menghadapi kesulitan untuk mendapatkan
penyelesaian masalah. Koping anak terhadap penyakit atau hospitalisasi dipengaruhi
oleh usia, persepsi terhadap kejadian yang dialami, hospitalisasi sebelumnya dan
dukungan dari berbagai pihak.
e) Manfaat psikologis dari hospitalisasi
Beberapa orang berpikir bahwa hospitalisasi hanya menyebabkan dampak negatif
terhadap status psikologis. Pada kenyataannya ada manfaat psikologis dari penyakit
dan hospitalisasi yaitu dapat meningkatkan perkembangan yang aktual dari
keterampilan koping anak dan meningkatkan harga diri. Anak lebih percaya diri
dalam mengurangi kecemasan selama dihospitalisasi dan lebih mampu untuk
melakukan perawatan diri sendiri.

Hospitalisasi Pada Anak Usia Prasekolah

Bagi anak usia prasekolah, sakit adalah sesuatu yang menakutkan. Selain itu, perawatan di
rumah sakit dapat menimbulkan cemas karena anak merasa kehilangan lingkungan yang
dirasakanya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan. Anak juga harus meninggalkan
lingkungan rumah yang dikenalnya, permainan, dan teman sepermainannya (Supartini, 2004).
Beberapa hal tersebut membuat anak menjadi stres atau tertekan. Akibatnya anak merasa
gugup dan tidak tenang, bahkan tidak kooperatif pada waktu dilakukan tindakan.

Anak usia prasekolah sering merasa terkekang selama dirawat di rumah sakit. Hal ini
disebabkan adanya pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan
diri. Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan sebagai hukuman sehingga anak akan
merasa malu, bersalah dan cemas atau takut. Anak yang sangat cemas dapat bereaksi agresif
dengan marah dan berontak (Bernand, W, K., & Wilson, 2019).

Small, Melnyk & Arcoleo (2009) menyatakan bahwa anak uaia prasekolah selama
dihospitalisasi bisa menyebabkan dampak bagi anak sendiri maupun orang tua. Dampak
muncul pada anak karena kemampuan pemilihan koping belum baik dan stres terhadap
kondisi pengobatan. Perilaku yang diperlihatkan adalah cemas, regresi, sedih, putus asa,
hiperaktif dan agresif. Kecemasan pada anak biasanya muncul karena berbagai perubahan
yang muncul disekelilingnya, baik fisik maupun emosional. Kecemasan dapat juga muncul
akibat kurangnya support system yang ada di sekitarnya. Adapun gejala klinis kecemasan
yang sering ditemukan pada anak adalah perasaan cemas, kekhawatiran dan mudah
tersinggung (Hawari, 2012).

Dampak hospitalisasi pada anak usia prasekolah

Hospitalisasi membawa dampak yang kurang baik namun dapat mendukung anak semakin
dewasa. Berbagai dampak hospitalisasi yang dapat terjadi pada anak usia prasekolah adalah:

a. Cemas terhadap perpisahan


Perpisahan dan trauma merupakan stressor utama bagi anak dan orang tua saat anak
dirawat. Perilaku yang ditunjukan oleh anak sangat bervariasi. Perilaku yang
ditunjukkan akan usia prasekolah adalah menolak orang asing yaitu perawat atau
dokter secara verbal maupun fisik. Anak menginginkan orang tua selalu berada
didekat anak (Hockenberry, M.J., & Wilson, 2017).
Bentuk kecemasan yang ditunjukkan anak adalah perilaku agresif karena berpisah
dengan orang tua (Hockenberry, M.J., & Wilson, 2017). Anak usia prasekolah
berespon terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber stresnya. Sumber stres yang
utama adalah cemas akibat perpisahan. Respon perilaku anak sesuai dengan tahapnya,
yaitu tahap protes, putus asa, dan menerima. (Hockenberry, M.J., & Wilson, 2017).
Pada tahap protes anak menunjukkan perilaku menangis kuat, menjerit memanggil
orang tua atau menolak perhatian yang diberikan orang lain (Supartini, 2004). Anak
biasanya melakukan protes secara verbal dan serangan fisik terhadap orang lain,
seperti menendang, menggigit, memukul, mencoba untuk lari mencari orang tua dan
memaksa orang tua untuk tetap tinggal atau menunggui (Hockenberry, M.J., &
Wilson, 2017). Pada tahap protes ini anak menunjukkan peilaku seperti gelisah,
menangis dan perlu ditenangkan (James, S.R. & Ashwill, 2017). Perilaku yang
ditunjukkan anak selama fase protes ini dapat berlangsung selama beberapa jam
sampai beberapa hari dan dapat menigkat apabila ada orang lain yang tidak dikenal
anak (Hockenberry, M.J., & Wilson, 2017). Perilaku yang ditunjukkan pada tahap
putus asa adalah menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat
untuk bermain dan makan, sedih, dan apatis (Supartini, 2004). Anak juga tidak tertarik
pada lingkungan, tidak komunikatif, mundur ke perilaku sebelumnya, seperti
mengompol dan menghisap ibu jari. Pada tahap ini anak mengalami kehilangan
keterampilan bahasa (Hockenberry, M.J., & Wilson, 2017).
Pada tahap putus asa anak lebih banyak diam, menarik diri dan apatis (James, S.R. &
Ashwill, 2017). Pada tahap menerima, anak menunjukkan perilaku secara samar
mulai menerima perpisahan, membina hubungan secara dangkal dan anak mulai
terlihat menyukai lingkungannya (Supartini, 2004). Anak mulai berinteraksi dengan
orang lain atau pemberi asuhan yang dikenalnya, mulai membentuk hubungan baru,
tapi bersifat superfisial (Hockenberry, M.J., & Wilson, 2017). Anak juga mulai ada
perasaan senang dan ini jarang terlihat pada anak yang dihospitalisasi. Perasaan
senang ini terjadi karena anak mulai bisa mengerti alasan dari perawatan dirinya
(Hockenberry, M.J., & Wilson, 2017).
b. Cedera tubuh Pada anak prasekolah sudah terbentuk kemampuan dalam mengenal
konsep sakit meskipun belum bisa membedakan penyebab dari penyakitnya. Anak
akan mengetahui sakit dari informasi orang lain dan faktor eksternal yang dirasakan
anak, contohnya jika anak mendapat tindakan yang dirasakan menganggu (James,
S.R. & Ashwill, 2017). Anak akan mengalami reaksi terhadap rasa sakit dan cedera
tubuh pada saat mendapat tindakan invasif. Perilaku yang ditunjukkan anak adalah
meminta perawat yang akan melakukan prosedur untuk menjauh, meminta peralatan
yang akan dipakai untuk tindakan dan berusaha untuk melarikan diri saat akan
dilakukan tindakan keperawatan (Hockenberry, M.J., & Wilson, 2017).
c. Kehilangan kontrol Pada saat dirawat, anak usia prasekolah menginginkan kebebasan
seperti sewaktu di rumah. Anak lebih senang berjalan-jalan disekitar ruang rawat dan
tidak suka jika harus diam di atas tempat tidur atau berada di ruang rawat inap (James,
S.R. & Ashwill, 2017). Adanya pembatasan gerak terhadap anak membuatnya
kehilangan kemampuan untuk mengontrol diri dan akan menjadi tergantung pada
lingkungannya. Anak akan meringis, menggigit bibirnya, dan memukul ketika
mengalami perlukaan atau merasakan nyeri karena tindakan invasif, seperti injeksi,
infus, dan pengambilan darah. Walaupun demikian, anak dapat menunjukkan lokasi
rasa nyeri dan mengkomunikasikan rasa nyerinya (Hockenberry, M.J., & Wilson,
2017).
d. Rasa bersalah dan malu Pemikiran anak usia prasekolah menbatasi kemampuan anak
untuk memahami peristiwa yang dialami selama perawatan. Peristiwa yang dialami
selama perawatan dirasa menakutkan bagi anak. Informasi tentang alasan mengapa
anak dihopitalisasi membuat anak merasa bersalah dan malu (Hockenberry, M.J., &
Wilson, 2017). Study grounded theory yang dilakukan oleh (Coyne, 2020b) terhadap
sebelas partisipan tentang pengalaman anak yang dirawat inap menemukan empat
kategori hasil yang menyebabkan ketakutan dan kekawatiran anak selama dirawat di
rumah sakit.

Empat kategori tersebut adalah perpisahan dengan keluarga dan teman, berada di lingkungan
yang asing, menerima berbagai pertanyaan seputar kondisi anak selama perawatan dan
hilangnya kebebasan anak.

Perpisahan dengan keluarga atau teman menyebabkan gangguan terhadap rutinitas keluarga,
hambatan terhadap aktivitas seharihari, terputusnya hubungan dengan teman maupun
penurunan prestasi sekolah. Penyebab dari anak merasa berada di lingkungan yang asing
adalah kondisi ruang rawat yang ramai, lampu yang terang pada malam hari, lingkungan yang
panas, fasilitas permainan yang tidak memadai dan makanan yang dianggap tidak enak.
Berbagai aktivitas perawatan yang bisa menyebabkan ketakutan anak yaitu prosedur operasi,
jarum suntik, kesalahan prosedur perawatan, perubahan gambaran diri dan nyeri. Anak
merasa kehilangan kebebasan selama perawatan karena pembatasan kegiatan, tidak
terpenuhinyan kebutuhan pribadi, perubahan waktu tidur, perubahan terhadap makanan yang
dikonsumsi dan kurangnya kontrol terhadap waktu tindakan perawatan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi anak usia prasekolah terhadap hospitalisas

Reaksi anak terhadap kesakitan dan rawat inap di rumah sakit bereda-beda pada setiap
individu. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberap faktor. Perkembangan usia anak merupakan
salah satu faktor utama yang dapat mempengaruhi reaksi anak terhadap sakit dan proses
perawatan.

Reaksi anak terhadap sakit juga berbeda-beda sesuai tingkat perkembangan anak. Apabila
anak pernah mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan selama dirawat di rumah
sakit sebelumnya maka anak akan takut dan trauma. Sebaliknya apabila pengalaman anak
dirawat di rumah sakit mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan anak akan lebih
kooperatif pada perawat dan dokter (Supartini, 2004).

Hospitalisasi menimbulkan serangkaian ancaman terhadap anak, termasuk rasa takut disakiti
secara fisik, berpisah dari orang tua, lingkungan asing dan orang-orang yang tidak anak
kenal. Informasi dan komunikasi efektif merupakan unsur yang penting dalam perawatan
anak (Ygge, 2004). Anak yang mengalami hospitalisasi sebelumnya akan memiliki ingatan
akan rasa nyeri berkaitan dengan prosedur medik. Ingatan tentang rasa nyeri terkait dengan
prosedur medik akan muncul kembali pada saat anak menjalani hospitalisasi pada masa
mendatang.

Kecemasan akan diperberat dengan persepsi anak terhadap rasa nyeri, jarum suntik,
perpisahan dengan orang tua dan ancaman cedera tubuh. Anak yang mampu beradaptasi
dengan proses hospitalisasi akan memiliki koping yang positip, sehingga dalam proses ini
faktor usia dan jenis kelamin memberikan kontribusi terhadap dampak hospitalisasi yang
terjadi (Coyne, 2020).

Sistem pendukung (support system) yang tersedia akan membantu anak beradaptasi dengan
lingkungan rumah sakit dimana ia dirawat. Anak akan mencari dukungan yang ada dari orang
lain untuk melepaskan tekanan akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan minta
dukungan kepada orang terdekat misalnya orang tua atau saudaranya. Perilaku ini biasanya
ditandai dengan permintaan anak untuk ditunggui selama dirawat di rumah sakit, didampingi
saat dilakukan treatment padanya, minta dipeluk saat merasa takut dan cemas bahkan saat
merasa kesakitan (Coyne, 2020a).

Rawat inap dapat menjadi pengalaman yang sangat sulit bagi seorang anak. Ketika anak-anak
dirawat di rumah sakit, mereka harus jauh dari rumah, keluarga, teman dan berada di
lingkungan asing bersama anak- anak lain yang belum saling mengenal. Anak-anak
kehilangan kebebasan dalam menentuan nasib sendiri sesuai dengan kebutuhan pribadi
ditambah dengan ketakutan dan kekhawatiran. Rutinitas rumah sakit dapat mempengaruhi
reaksi anak yang sedang dirawat inap.

Anak membutuhkan informasi yang memadai sesuai dengan kebutuhan anak. Perencanaan
dalam pemberian perawatan berfokus pada anak sehingga intervensi dibuat untuk mengurangi
stres pada anak (Coyne, 2020). Sistem pendukung yang mempengaruhi reaksi anak selama
masa perawatan termasuk didalamnya adalah keluarga dan pola asuh yang didapatkan oleh
anak dalam keluarganya. Keluarga yang kurang mendapat informasi, tentang kondisi
kesehatan anak saat dirawat di rumah sakit akan menyebabkan anak semakin stres dan takut.
Selain itu, pola asuh keluarga yang terlalu protektif dan selalu memanjakan anak juga dapat
mempengaruhi reaksi takut dan cemas anak ketika dirawat di rumah sakit. Berbeda dengan
keluarga yang memandirikan anak untuk aktivitas sehari-hari, anak akan lebih kooperatif bila
dirumah sakit (Ahmann, 2019). Perawatan di rumah sakit dapat menyebabkan syok mental,
stres, kemarahan, kesedihan dan meningkatkan hubungan interpersonal anak. Seorang anak
yang merasa bersalah karena adanya keyakinan bahwa penderitaan yang dialami adalah
hukuman untuknya atau dosa masa lalu orangtuanya tidak dapat dibenarkan.

Reaksi psikososial anak terhadap penyakit kronis adalah takut, ketidaknyamanan dan rendah
diri, terkait dengan informasi yang diperoleh terbatas. Cara seorang anak bereaksi dan
menghadapi penyakit kronis bervariasi tergantung pada ciri-ciri kepribadian, usia, sikap
sosial, dan hubungan anak dengan orang tua (Theofanidis, 2010). Ketrampilan koping dalam
menangani stres sangat penting bagi proses adaptasi anak selama masa perawatan. Apabila
mekanisme koping anak baik dalam menerima kondisinya yang mengharuskan dia dirawat di
rumah sakit, anak akan lebih kooperatif selama menjalani perawatan di rumah sakit.

American Academy of Pediatrics (2012) menyatakan bahwa perkembangan sosial emosi


mengacu pada kemampuan anak untuk: memiliki pengetahuan dalam mengelola dan
mengekspresikan emosi secara lengkap baik emosi positif maupun emosi negatif, mampu
menjalin hubungan dengan anak-anak lain dan orang dewasa disekitarnya, serta secara aktif
mengeks-plorasi lingkungan melalui belajar.

Usia dini disebut juga sebagai tahap perkembangan kritis atau usia emas (golden age). Pada
tahap ini sebagian besar jaringan sel-sel otak berfungsi sebagai pengendali setiap aktivitas
dan kualitas manusia. Dua tahun pertama kehidupan manusia sangat penting bagi
perkembang-an anak. Anak mulai mengembangkan kemampuan motorik indrawi, visual dan
auditori yang distimulasi melalui ling-kungan sekitarnya (Schunk, 2012).

Anak Usia Dini

Berbebrapa penelitian menyimpulkan bahwa anak usia dini adalah anak yang berusia 0-8
tahun yang sedang dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun mental.
Definisi lain menyebutkan bahwa anak usia dini yaitu anak dengan usia 4-6 tahun dimana
anak telah memasuki jenjang prasekolah. Anak pada usia tersebut mengalami perubahan pada
fase kehidupan sebelumnya. Masa anak usia dini sering disebut dengan “golden age” atau
masa emas. Pada masa ini hampir seluruh potensi anak mengalami masa peka untuk tumbuh
dan berkembang secara tepat dan hebat. Perkembangan setiap anak tidak sama karena setiap
individu memiliki perkembangan yang berbeda. Taman kanak-kanak sebagai salah satu
bentuk pendidikan prasekolah yang ada di jalur pendidikan yang memberikan layanan bagi
anak usia dini hingga memasuki tahapan pendidikan dasar. Patmonodewo (2003)
menyebutkan “anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun. Mereka
biasanya mengikuti program prasekolah. Sedangkan di Indonesia, umumnya mereka
mengikuti program tempat penitipan anak (3 bulan – 5 tahun) dan kelompok bermain (usia 3
tahun), sedangkan pada usia 4-6 tahun biasanya mereka mengikuti program taman
kanakkanak”. Pendidikan pada taman kanak-kanak diarahkan untuk mengembangkan potensi
anak semaksimal mungkin sesuai dengan tahapan perkembangan anak melalui kegiatan
bermain sambil belajar. Selain itu, taman kanakkanak diharapkan juga berusaha untuk
mengembangkan segi kepribadian anak dalam rangka menjembatani pendidikandalam
keluarga kependidikan dalam lingkungan sekolah. Karena pada tahapan ini,anak tidak lagi
berkumpul dan bergaul bersama keluarga dirumah namun sudah berkumpul bersama dengan
figur baru yaitu guru dan teman sebayanya. Anak harus dibimbing untuk memperoleh
keterampilan sosial yang berhubunganm dengan emosional.

Tahapan Perkembangan Sosial Emosi Anak Perkembangan sosial merupakan perkembangan


tingkah laku pada anak dimana anak diminta untuk menyesuaikan diridengan aturan yang
berlaku dalam lingkungan masyarakat. Dengan kata lain, perkembangan sosial merupakan
proses belajar anak dalam menyesuaikan diri dengan norma, moral dan tradisi dalam sebuah
kelompok (Yusuf dalam Yahro, 2009). Piaget menunjukkan adanya sifat egosentris yang
tinggi pada anak karena anak belum dapat memahami perbedaan perspektif pikiran orang lain
(Suyanto, 2005). Pada tahapan ini anak hanya mementingkan dirinya sendiri dan belum
mampu bersosialisasi secara baik dengan orang lain. Anak belum mengerti bahwa lingkungan
memiliki cara pandang yang berbeda dengan dirinya (Suyanto, 2005). Anak masih melakukan
segala sesuatu demi dirinya sendiri bukan untuk orang lain. Awal perkembangan sosial pada
anak tumbuh dari hubungan anak dengan orang tua atau pengasuh dirumah terutama anggota
keluarganya. Anak mulai bermain bersama orang lain yaitu keluarganya. Tanpa disadari anak
mulai belajar berinteraksi dengan orang diluar dirinya sendiri yaitu dengan orang-orang
disekitarnya. Interaksi sosial kemudian diperluas, tidak hanya dengan keluarga dalam rumah
namun mulai berinteraksi dengan tetangga dan tahapan selanjutnya ke sekolah.

Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang
tua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial atau norma dalam
masyarakat. Pada proses ini biasanya disebut dengan sosialisasi. Tingkah laku sosialisasi
adalah sesuatu yang dipelajari, bukan sekedar hasil dari kematangan. Perkembangan sosial
anak diperoleh selain dari proses kematangan juga melalui kesempatan belajar dari responss
terhadap tingkah laku.
Perkembangan sosial mulai agak komplek ketika anak menginjak usia 7 tahun dimana anak
mulai memasuki ranah pendidikan yang paling dasar yaitu sekolah Dasar. Pada masa ini anak
belajar bersama teman-teman diluar rumah. Anak sudah mulai bermain bersama teman
sebaya (cooperative play). Vygotsky dan Bandura menyebut-nya dengan teori belajar sosial
melalui perkembangan kognitifnya.

Anak usia SD (7 tahun) perkem-bangan sosial sudah mulai berjalan. Hal ini tampak dari
kemampuan mereka dalam melakukan kegiatan secara berke-lompok. Kegiatan bersama
berbentuk seperti sebuah permainan. Tanda-tanda perkembangan pada tahap ini adalah:

1) Anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun dalam


lingkungan bermain,
2) Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan,
3) Anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain, dan
4) Anak mulai dapat bermain bersama anak-anak lain, atau teman sebaya.

Dari sisi sosial emosional, kegiatan bermain dalam melatih anak dalam mema-hami perasaan
teman lainnya. Konflik dalam interaksi keduanya akan membantu anak dalam memahami
bahwa orang selain dirinya yaitu temannya memiliki cara pandang yang berbeda dari dirinya.
Begitu pentingnya perkembangan sosial hingga Sri Esti (Yahro, 2009) mengatakan dalam
buku psikologi pendidikan bahwa anak yang kurang popular adalah anak yang kurang
memiliki keterampilan sosial.

Perkembangan sosial dapat dipetakan dalam beberapa aspek. Kostelnik, Soderman dan Waren
(Yahro, 2009) menyebutkan bahwa perkembangan sosial meliputi komperensi sosial dan
tanggung jawab sosial. Kompetensi sosial menggambarkan keefektifan kemampuan anak
dalam beradaptasi dengan lingkugan so-sialnya. Misalnya mau bergantian dengan teman
lainnya dalam sebuah permainan. Tanggung jawab sosial menunjukkan komitmen anak
terhadap tugasnya, meng-hargai perbedaan individual, memperhati-kan lingkungannya dan
mampu menjalan-kan fungsinya. Perkembangan sosial anak diperoleh dari kematangan dan
kesempatan belajar dari berbagai respons lingkungan terha-dap anak. Perkembangan sosial
yang optimal diperoleh dari respons sosial yang sehat dan kesempatan yang diberikan kepada
anak untuk mengembangkan konsep diri yang positif. Melalui kegiatan bermain, anak dapat
mengembangkan minat dan sikapnya terhadap orang lain. Dan sebaliknya aktivitas yang
terlalu banyak didominasi oleh guru akan meng-hambat perkembangan sosial emosi anak.

Perkembangan Emosi
Campos (dalam Santrock 2007) men-definisikan emosi sebagai perasaan atau afeksi yang
timbul ketika seseorang bera-da dalam suatu keadaan yang dianggap penting oleh individu
tersebut. Emosi diwakilkan oleh perilaku yang mengekspresikan kenyamanan atau
ketidaknya-manan terhadap keadaan atau interaksi yang sedang bentuk rasa senang, takut,
marah, dan sebagainya.

Karaktristik emosi pada anak berbeda dengan karakteristik yang terjadi pada orang dewasa,
dimana karekteristik emosi pada anak itu antara lain; (1) Berlangsung singkat dan berakhir
tiba-tiba; (2) Terlihat lebih hebat atau kuat; (3) Bersifat sementara atau dangkal; (4) Lebih
sering terjadi; (5) Dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya, dan (6) Reaksi
mencerminkan individualitas

Emosi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu, emosi positif maupun negatif. Santrock
mengungkapkan bahwa emosi dipengaruhi oleh dasar biologis dan juga pengalaman masa
lalu. Terutama ekspresi wajah dari emosi, disini dituliskan bahwa emosi dasar seperti
bahagia, terkejut, marah, dan takut memiliki ekspresi wajah yang sama pada budaya yang
berbeda.

Emosi memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan anak, baik pada usia
prasekolah maupun pada tahap-tahap perkembangan selanjutnya, karena memiliki pengaruh
terhadap perilaku anak. Woolfson menyebutkan bahwa anak memiliki kebutuhan emosional,
seperti ingin dicintai, dihargai, rasa aman, merasa kompeten dan mengoptimalkan kompe-
tensinya.

Pada usia prasekolah anak-anak belajar menguasai dan mengekspresikan emosi. Pada usia
enam tahun anak-anak memahami konsep emosi yang lebih kompleks, seperti kecemburuan,
kebang-gaan, kesedihan dan kehilangan, tetapi anakanak masih memiliki kesulitan di dalam
menafsirkan emosi orang lain. Pada tahapan ini anak memerlukan pengalaman pengaturan
emosi, yang mencakup kapa-sitas untuk mengontrol dan mengarahkan ekspresi emosional,
serta menjaga perilaku yang terorganisir ketika munculnya emosi-emosi yang kuat dan untuk
dibim-bing oleh pengalaman emosional. Seluruh kapasitas ini berkembang secara signifikan
selama masa prasekolah dan beberapa diantaranya tampak dari meningkatnya kemampuan
anak dalam mentoleransi frustasi.

Kemampuan untuk mentoleransi frus-tasi ini, yang merupakan upaya anak untuk
menghindari amarah dalam situasi frustasi yang membuat emosi tidak terkontrol dan perilaku
menjadi tidak terorganisir. Anak-anak tampak mening-kat kemampuannya dalam
mentoleransi frustasi ketika diminta melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan
mereka. Mereka juga mulai belajar bagai-mana menegosiasikan konflik tersebut.

Sedangkan Kemampuan untuk me-nunjukkan kontrol diri terhadap emosi akan menjadi
anugerah yang dilematis bagi anak apabila anak tidak mampu menyesuaikan levelnya
terhadap situasi tertentu. Pada beberapa situasi anak diharapkan mampu menahan diri, tetapi
pada situasi yang lain anak-anak dapat berperilaku impulsif dan ekspresif seperti yang
mereka inginkan. Intinya, anak prasekolah diharapkan mampu untuk mengekspresikan
emosinya dengan baik dan tanpa merugikan orang lain, serta dapat pula mulai belajar mela-
kukan regulasi emosi.

Santrock (2007) perkembangan emosi pada masa kanak-kanak awal ditandai dengan
munculnya emosi evaluatif yang disadari rasa bangga, malu, dan rasa bersalah, dimana
kemunculan emosi ini menunjukkan bahwa anak sudah mulai memahami dan menggunakan
peraturan dan norma sosial untuk menilai perilaku mereka. Berikut penjelasan dari tiga emosi
tersebut:

1) Rasa bangga Perasaan ini akan muncul ketika anak merasakan kesenang setelah
sukses melakukan perilaku tertentu. Rasa bangga sering diasosiasikan dengan
pencapaian suatu tujuan tertentu.
2) Malu Perasaan ini muncul ketika anak menganggap dirinya tidak mampu memenuhi
standar atau target tertentu. Anak yang sedang malu sering kali berharap mereka bisa
bersembunyi atau menghilang dari situasi tersebut. Secara fisik anak akan terlihat
menge-rut seolah-olah ingin menghindar dari tatapan orang lain. Dan biasanya rasa
malu lebih disebabkan oleh interpre-tasi individu terhadap kejadian tertentu.
3) Rasa bersalah Rasa ini akan muncul ketika anak menilai perilakunya sebagai sebuah
kegagalan. Dan dalam mengekspresi-kan perasaan ini biasa anak terlihat seperti
melakukan gerakan-gerakan tertentu seakan berusaha memperbaiki kegagalan
mereka.

Terdapat beberapa hal penting dalam perkembangan emosional anak yang perlu difahami:

1) Usia berpengaruh pada perbedaan perkembangan emosi Setiap rentang usia


menunjukkan beberapa perbedaan yang paling mencolok dalam ekspresi dan regulasi
emosi. Selama usia prasekolah, anak juga mengalami stress dan meres-ponsnya,
namun di usia ini mereka juga berusaha untuk mengatur pera-saan dan dorongan
dirinya sendiri. Perbedaan kemampuan dalam mengekspresikan dan meregulasi emosi
pada anak ini juga terkait dengan perkembangan kognitif anak, dimana perkembangan
kognitif anak ini akan mempengaruhi kemampuan untuk mengontrol diri dan
menghambat impuls.
2) Perubahan ekspresi wajah terhadap emosi Seperti halnya orang dewasa, ekspresi
perasaan anak-anak juga terlihat dari ekspresi wajahnya. Seiring dengan
bertambahnya usia mereka, anak-anak semakin mampu dalam mengekspresi-kan
emosi mereka melalui tersenyum, mengerutkan kening, dan ekspresi lainnya perasaan.
Kemampuan meng-gambarkan ekspresi emosi mereka semakin kompleks dan terlihat
dari raut wajah mereka.
3) Menunjukkan emosi yang kompleks Anak-anak di usia prasekolah mem-perlihatkan
ekspresi wajah yang menunjukkan kebanggaan, malu-malu, malu, jijik, dan rasa
bersalah yang tidak terlihat pada bayi atau anak yang lebih muda. Ekspresi yang lebih
kompleks dapat di tunjukkan dan kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh
perkembangan kognitif untuk mereka mengalami dan mengekspresi-kan perasaan-
perasan tersebut.
4) Bahasa tubuh Ternyata wajah tidak cukup bagi anak untuk mengekspresikan emosi,
anak juga menggunakan seluruh tubuhnya untuk mengekspresikan perasaannya.
Mereka mengekspresikannya melalui gerak gerik dan bahasa tubuhnya.
5) Suara dan kata Anak-anak semakin baik dalam meng-ekspresikan perasaan mereka
melalui suara dan kata seiring bertambahnya usia. Mereka mulai memberi label yang
sederhana terhadap apa yang mereka rasakan kemudian berkembang menjadi
pelabelan yang semakin kompoleks seiring dengan perasaan yang semakin kompleks
yang mereka alami.
6) Representasi simbolik Sejak batita, balita, dan selanjutnya, anak-anak semakin baik
dalam menggunakan simbol, memainkan permain-an, menggambar, dan
memanipulasi material, untuk mengkomunikasikan dan mengarahkan emosi.
7) Pengetahuan emosi Anak telah mulai mampu mengiden-tifikasi dan memberi nama
perasaan yang dialaminya dan orang lain, dima-na kemampuan ini sangat dibutuhkan
untuk regulasi emosi anak dalam berempati dan menunjukkan sikap pro sosial yang
sesuai. Emosi anak ber-kembang lebih awal dibanding dengan saat anak mulai
mampu berfikir. Batita sudah mampu memberi label pada emosinya yang sederhana,
walaupun mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk melabel emosi yang lebih
kompleks atau campuran dari bebe-rapa emosi yang terjadi dalam satu waktu.
Perubahan dari batita ke masa prasekolah, anak berfikir bahwa orang akan merasa apa
yang mereka rasakan menjadi bahwa perasaan mereka sendiri mungkin berbeda dari
orang lain. Serta belajar kapan mereka perlu dan tidak perlu mengungkapkan pera-
saan mereka sesuai dengan tuntutan social.
8) Perubahan usia dalam regulasi emosi Anak usia ini lebih dapat menyamar-kan atau
melebihkan emosi yang mere-ka rasakan dari reaksi yag biasanya mereka tampilkan
di usia yang lebih muda. Anak yang lebih tua lebih mampu untuk menyesuaikan diri
dengan aturan-aturan tidak tertulis apa pun yang ada dalam budaya dan masyarakat
mereka, tentang menunjukkan atau menyembunyikan emosi
9) Respons pada perasaan lainnya Anak menikmati dalam menunjukkan emosi yang
kuat, dan tampaknya kegiatan ini menjadi salah satu cara mereka belajar tentang
perasaan. Kemampuan berempati juga semakin berkembang. Dan ekspresi emosi
yang ditampilkan untuk satu keadaan yang sama dapat saja berbeda dari setiap
rentang usia, misalnya batita akan merasa takut saat melihat anjing yang besar berlari
kencang, namun anak yang lebih tua akan menunjukkan perasaan tertarik.
10) Ikatan emosional dengan yang lain Ikatan emosional dengan orang lain mulai
berkembang, dan akan berkembang lebih cepat pada anak-anak yang dibesarkan
dalam lingkungan yang mendukung seperti banyak mengha-biskan waktu bersama
saudara kan-dung atau ditempat pengasuhan atau penitipan yang banyak terdapat
orang.
11) Tahap-tahap perkembangan emosional Terdapat beberapa model perkem-bangan
emosi yang dapat dijadikan landasan untuk mempelajari perkem-bangan emosi anak
prasekolah. Seperti teori dari Stanley Greenspan, Kurt Fischer, dan Carolyn Saarni.
Dimana Model Greenspan menjadi lebih psikodinamik, Fischer berfokus lebih pada
kognitif yaitu pada pertumbuhan keterampilan emosi tertentu, dan Saarni datang dari
perspektif konstruktivis sosial.

Tabel 1 Model Perkembangan Emosi

Greenspan Emotional thinking merupakan dasar untuk berfantasi, menyadari


kenyataan, dan membentuk harga diri
Fischer Representasi situasi emosi melalui bermain pura-pura dan bahasa spontan
(sebagai hasil pembangunan melalui representasi emosi yang semakin
kompleks, namun terus berhubungan dengan peristiwa nyata dan
pengalaman langsung)
Saarni 2 ½ -5 tahun
 berkembangnya penggunaan simbol-simbol untuk mewakili emosi
 Penggunaan emosi pura-pura dalam permainan dramatis dan menggoda
 Menyadari kemampuan untuk menyesatkan orang lain dengan
menggunakan ekspresi palsu
 Dengan berkomunikasi dengan orang lain, belajar lebih banyak tentang
bagaimana berperilaku dalam situasi sosial
 Bersimpati pada anak-anak lain; membantu perilaku dalam meningkat-
kan wawasan emosi yang lain
5-7 tahun
 Mencoba untuk mengatur/menyadari emosi sendiri (malu, bangga, malu)
 Masih membutuhkan orang dewasa untuk membantu tetapi lebih
memilih untuk mengatasi dan pemecahan masalah sendiri
 Mengadopsi emosi yang tenang dengan rekan-rekan
 Keterampilan sosial lebih terkoordinasi dengan perasaan sendiri maupun
orang lain
 Mulai untuk mengkoordinasikan emosi yang sesuai dengan orang lain

Menempatkan perubahan bersama-sama dari berbagai teori Greenspan, Fischer, dan Saarni
percaya bahwa perkembangan dari bayi, batita, dan anak-anak prasekolah itu slalu akan
bergerak maju. Seperti: (a) Semakin luas, dan memiliki hubungan emosional yang semakin
kompleks, (b) Kemampuan yang lebih baik dalam mengkoordinasikan dan mengontrol emosi
dan menghubungkan emosi, (c) Lebih mampu untuk merefleksikan perasaan mereka sendiri
dan orang lain, (d) Representasi emosi melalui bahasa, bermain, dan fantasi, (e)
Menghubungkan emosi individual terhdapa nilai dan standar budaya, dan (f) Terintegrasi,
positif, dan otonom, namun berhubungan secara emosional, perasaan diri
Tingkat pencapaian perkembangan sosial emosi anak pada usia 3-6 tahun

Tingkat Pencapaian Perkembangan


2 -  3 tahun 3 -  4 tahun 4 -  5 tahun 5-  6 tahun
1. Mulai bisa meng- 1. Mulai bisa 1. Menunjukkan 1. Bersikap
ungkapkan ketika melakukan buang air sikap mandiri dalam kooperatif dengan
ingin buang air kecil kecil tanpa bantuan. memilih kegiatan. teman.
dan buang air besar. 2. Bersabar 2. Mau berbagi, 2. Menunjukkan
2. Mulai memahami menunggu giliran. menolong, dan sikap toleran.
hak orang lain (harus 3. Mulai membantu teman. 3. Mengekspresikan
antri, menunggu menunjukkan sikap 3. Menunjukan emosi yang sesuai
giliran). toleran sehingga antusiasme dalam dengan kondisi yang
3. Mulai dapat bekerja dalam melakukan ada (senang-
menunjukkan sikap kelompok. permainan sedihantusias dsb.)
berbagi, membantu, 4. Mulai menghargai kompetitif secara 4. Mengenal tata
bekerja bersama. orang lain. positif. krama dan sopan
4. Menyatakan 5. Bereaksi terhadap 4. Mengendalikan santun sesuai dengan
perasaan terhadap hal-hal yang perasaan. nilai sosial budaya
anak lain (suka dianggap tidak benar 5. Menaati aturan setempat.
dengan teman (marah apabila yang berlaku dalam 5. Memahami
karena baik hati, diganggu atau suatu permainan. peraturan dan
tidak suka karena diperlakukan 6. Menunjukkan rasa disiplin.
nakal, dsb.). berbeda). percaya diri. 6. Menunjukkan rasa
5. Berbagi peran 6. Mulai 7. Menjaga diri empati.
dalam suatu menunjukkan sendiri dari 7. Memiliki sikap
permainan (menjadi ekspresi menyesal lingkungannya. gigih (tidak mudah
dokter, perawat, ketika melakukan 8. Menghargai orang menyerah).
pasien penjaga toko kesalahan lain. 8. Bangga terhadap
atau pembeli hasil karya sendiri.
9. Menghargai
keung-gulan orang
lain.

A. Perilaku Agresif Pada Anaka Prasekolah


1. Definisi Perilaku agresif
Anak usia dini atau disebut anak usia prasekolah merupakan generasi penerus
bangsa dan menjadi tumpuan di masa depan bagi orang tua, keluarga, masyarakat
dan bangsa. Melihat generasi penerus ini tumbuh dengan baik, pastilah sangat
membahagiakan. Kenyataannya proses pertumbuhan dan perkembangan yang di
lewati anak usia dini bahwasannya semua tidak berjalan sesuai dengan harapan ,
apalagi ketika muncul perilaku yang tidak di harapkan. Perilaku adalahrespon
seorang individu terhadap stimulus atau tindakan yang salahsatunya tentang
gangguan perkembangan emosional anak yaitu agresivitas (Agresif).

Perilaku agresif merupakan masalah serius yang dialami individu baik bagi
kehidupan pribadi maupun sosial, dan telah menjadi masalah serius baik di Indonesia
maupun di skala internasional. Indonesia bahkan belakangan ini mendeklarasikan
“darurat kekerasan anak” akibat banyaknya kasus kekerasan yang terjadi pada anak-
anak Dikatakan bahwa sikap agresif anak pada usia dini jika menetap sampai anak
tersebut dewasa, maka berdampak sangat merugikan diri anak. Kebanyakan para ahli
berpendapat, perilaku agresif merupakan perilaku yang dimaksudkan untuk
merugikan dan merusak orang lain secara fisik maupun psikis (Ferdiansa &
Neviyakni, 2020).
Menurut Akbar et al, (2021) mengungkapkan perilaku agresi pada anak usia
dini jika tidak segera diatasi dapat mempengaruhi perkembangan di tahap
selanjutnya. Berjalannya peningkatan jumlah anak yang dirawat di rumah sakit
akhirakhir ini beresiko terjadi peningkatan populasi anak yang mengalami gangguan
perkembangan. Risiko disfungsi perkembangan pada anak merupakan dampak
hospitalisasi. Anak merupakan populasi yang sangat rentan terutama ketika
menghadapi situasi yang akan membuat stress. Hal ini dikarenakan kemampuan
koping yang digunakan orang dewasa, pada anak-anak belum berkembang secara
sempurna (Utami, 2014).
Faktor Penyebab Perilaku Agresif
Anak yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit akan mengalami
kecemasan dan stres. Penyebab stres dan kecemasan pada anak dipengaruhi oleh
banyak faktor, diantaranya perilaku yang ditunjukkan petugas kesehatan (dokter,
perawat dan tenaga kesehatan lainnya), pengalaman hospitalisasi anak, support
system atau dukungan keluarga yang mendampingi selama perawatan. Faktor-faktor
tersebut dapat menyebabkan anak semakin stres dan hal ini dapat berpengaruh
terhadap proses penyembuhan (Nursalam, Susilaningrum & Utami, 2008).
Selama hospitalisasi anak memiliki stressor yang menjadi krisis pertama yang
harus dihadapi anak. Stresor utama dari hospitalisasi pada anak antara lain
perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh, dan nyeri. Selama masa hospitalisasi,
anak selalu memiliki pengalaman tidak terduga dan menjalani prosedur yang
menyebabkan anak merasa nyeri. Anak akan bereaksi terhadap rasa nyeri dengan
menyeringai wajah, menangis, mengatupkan gigi, mengigit bibir, membuka mata
dengan lebar, atau melakukan tindakan agresif seperti menggigit, menendang,
memukul, atau berlari keluar (Nursalam, Susilaningrum, & Utami, 2008)
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh (Akbar 2021) diketahui
penyebab agresivitas yakni(1) keterampilan emosional yang belum terlatih membuat
subjek tidak bisa menyampaikan keinginannya (2) Situasi yang memicu emosi
negatif seseorang (3) rasa frustasi dan tidak disukai(4) faktor keinginan yang tidak
terpenuhi (5) pola asuh.

B. Terapi Bermain Pada Hospitalisasi Anak Usia Prasekolah


1. Pengertian Terapi Bermain
Bermain merupakan stimulasi yang tepat bagi anak.bermain dapat
meningkatkan daya pikir anak sehingga anak mendayagunakan aspek emosional,
social, serta fisiknya. Bermain juga dapat meningkatkan kemampuan fisik,
pengalaman dan pengetahuannya, serta berkembangnya keseimbangan menta
anak (Andriana, 2017).
Jadi, terapi bermain merupakan salah satu intervensi yang dapat diberikan
kepada anak ketika dirawat diRumah Sakit.Saat hospitalisasi, anak cenderung
mengalami stress yang berlebihan. Melalui terapi bermain anak dapat
mengeluarkan rasa takut, cemas yang mereka alami dan terapi bermain juga
sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembang anak.

2. Tujuan Terapi Bermain


Menurut Saputro (2017) terapi bermain sangat penting bagi mental,
emosional, dan kesejahteraan social anak.terapi bermain juga dapat menciptakan
suasana aman bagi anak untuk mengekspresikan diri mereka, memahami
bagaimana sesuatu dapat terjadi, mempelajari aturan social dan mengatasi
masalah mereka serta memberikan kesempatan bagi anak untuk berekspresi dan
mencoba sesuatu yang baru.

Tujuan terapi bermain di rumah sakit adalah agar anak melanjutkan fase
tumbuh kembang secara optimal, mengembangkan kreativitas anak sehingga
anak dapat beradaptasi lebih efektif terhadap stress.

3. Prinsip Bermain di Rumah Sakit


Menurut Vanfeet (2010), dalam Saputro (2017) prinsip terapi bermain yang
diperhatikan di rumah sakit adalah :
1. Waktu Bermain

Waktu yang diperlukan untuk terapi bermain pada anak yang di Rumah
Sakit adalah 15-20 menit.Waktu tersebut dapat membuat kedekatan antara orang
tua dan anak serta tidak mengakibatkan anak kelelahan akibat bermain.
2. Sesuai Kelompok Usia

Perlu dijadwalkan dan dikelompokkan sesuai dengan kebutuhan bermain


anak dan usianya. Pada rumah sakit yang ada tempat bermainnya perlu
diperhatikan dan dimanfaatkan secara baik.
3. Tidak Bertentangan dengan Terapi

Terapi bermain harus memperhatikan kondisi anak. Bila program terapi


mengharuskan anak harus istirahat, maka aktivitas bermain hendaknya dilakukan
ditempat tidur. Apabila anak harus tirah baring, harus dipilih permainan yang
dilakukan ditempat tidur.
4. Perlu Keterlibatan Orangtua

Keterlibatan orangtua dalam terapi adalah sangat penting, hal ini


disebabkan karena orangtua mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan
upaya stimulasi tumbuh kembang pada anak walaupun sedang dirawat di rumah
sakit.

4. Pengertian Bermain punzzel


Puzzle merupakan alat bermain yang dapat membantu perkembangan
psikososial pada anak Ball (2012), dalam Fitriani (2017), Puzzle merupakan
permainan yang dapat memfasilitasi permainan asosiatif dimana pada usia
prasekolah anak senang bermain dengan anak lain sehingga Puzzle dapat
dijadikan sarana bermain anak sambil bersosialisasi.Terapi bermain puzzle
merupakan salah satu alat bermain yang dapat membantu perkembangan
psikososial pada anak. Puzzle merupakan permainan yang dapat memfasilitasi
permainan asosiatif dimana pada usia prasekolah ini anak senang bermain dengan
anak lain sehingga puzzle dapat dijadikan sarana bermain anak sambil
bersosialisasi (Fitriani, Santi, Rahmayanti, 2017).

5. Manfaat terapi Bermain Punzze


1. Persiapan
a. Siapkan puzzle yang akan digunakan sebagai alat terapi bermain.
b. Siapkan tempat yang akan digunakan untuk terapi bermain
2. Cara Bermain
a. Letakkan puzzle didepan anak
b. Pisahkan setiap kepingan atau potongan puzzle
c. Beri contoh pada anak cara menyusun puzzle
d. Mintalah pada anak untuk mencobanya
e. Berikan pujian apabila anak berhasil dalam menyusun
f. Apabila anak masih ingin bermain, ulangi permainan dengan puzzle yang lain.

6. Prosedur Terapi Bermain Punzzel


3. Persiapan
c. Siapkan puzzle yang akan digunakan sebagai alat terapi bermain.
d. Siapkan tempat yang akan digunakan untuk terapi bermain
4. Cara Bermain
g. Letakkan puzzle didepan anak
h. Pisahkan setiap kepingan atau potongan puzzle
i. Beri contoh pada anak cara menyusun puzzle
j. Mintalah pada anak untuk mencobanya
k. Berikan pujian apabila anak berhasil dalam menyusun
l. Apabila anak masih ingin bermain, ulangi permainan dengan puzzle yang lain.

Anda mungkin juga menyukai