Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

HOSPITALISASI PADA ANAK

Disusun oleh:
Gresyela Paulina V 30140118002
Lidya Deniati 30140118007
Nyi. Rd. Mega Aroviani 30140118002
Silpi Nuryani 30140118016

Program Studi Diploma Tiga Keperawatan


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Santo Borromeus
Jl. Kota Baru Parahyangan- Padalarang
2019-2020
A. PENGERTIAN HOSPITALISASI
Hospitalisasi merupakan keadaan yang mengharuskan anak tinggal di rumah sakit, menjalani
terapi dan perawatan karena suatu alasan yang berencana maupun kondisi darurat. Tinggal di rumah
sakit dapat menimbulkan stres bagi anak-anak, remaja dan keluarga mereka.
Hospitalisai merupakan suatu proses yang karna suatu alasan yang berencana atau darurat,
mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi, dan perawatan sampai
pemulangannya kembali ke rumah. Selama proses tersebut, anak dan orangtua dapat mengalami
berbagaikejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang disebut
traumatik dan penuh dengan stres.

Sejumlah faktor risiko membuat anak-anak tertentu lebih rentan terhadap stres hospitalisasi
dibandingkan dengan lainnya. Ditemukan pula bahwa anak pedesaan menunjukkan tingkat
kekacauan psikologis yang lebih signifikan daripada anak kota, karena anak kota memiliki
kesempatan untuk mengenal rumah sakit setempat (Gillis, 1990). Mungkin karena perpisahan
merupakan masalah penting seputar hospitalisasi bagi anak-anak lebih muda, anak yang aktif dan
berkeinginan kuat cenderung lebih baik ketika dihospitalisasi disbanding dengan anak yang
pasif. Akibatnya, perawat harus mewaspadai anak-anak yang menerima secara pasif semua
perubahan dan pemintaan; anak ini dapat memerlukan dukungan yang lebih banyak daripada
anak yang aktif.
Berkembangnya gangguan emosional jangka panjang lanjutan dapat berkaitan dengan lama
dan jumlah masuk rumah sakit dan jenis praktik rumah sakit.hospitalisasi tunggal selama 4
minggu atau lebih dan masuk rumah sakit berulang dikaitkan dengan dimasa yang akan datang.
Akan tetapi, praktik pendukung seperti, kunjungan keluarga yang sering, dapat mengurangi efek
merugikan dari hal tersebut. Penelitian juga menunjukkan bahwa pengalaman nyeri anak
menentukan bagaimana hospitalisasi dialami keseluruhan (Woodgate dan Kristjanson, 1996).

B. DAMPAK HOSPITALISASI PADA ANAK


Proses hospitalisasi dapat menjadi pengalaman yang membingungkan dan menegangkan bagi
anak-anak,remaja,dan keluarga mereka. Pada umunya,anak dan keluarga mereka memiliki banyak
pertanyaan ketika dijadwalkan untuk menjalani operasi atau rawat inap.proses hospitalisasi
mempengaruhi anak-anak dengan cara yang berbeda,tergantung pada usia,alasan untuk rawat inap
mereka,dan temperamen. Temperamen adalah bagaiman anak bereaksi terhadap situasi baru atau
unfamiliar. Anak akan menunjukan berbagai perilaku sebagai reaksi terhadap pengalaman
hospitalisasi. Reaksi tersebut bersifat individual dan sangat bergantung pada tahapan usia
perkembangan anak,pengalaman sebelumnya terhadap sakit, system pendukung yang tersedia, dan
kemampuan koping yang dimilikinya (supartini, 2004). Pada umumnya, reaksi anak terhadap sakit
adalah kecemasan karena perpisahan dengan keluarga dan teman,berada di lingkungan baru,
menerima investigasi dan perawatan, serta kehilangan control diri.
Kecemasan karena perpisahan dengan keluarga dan teman berpengaruh pada terganggunya
aktivitas bersama teman, rutinitas yang dijalani bersama keluarga, hubungan teman sebaya,dan
prestasi disekolah. Anak yang berada dilingkungan baru selama proses hospitalisasi juga merasa
takut pada orang asing. Selain itu, ketidaksukaan anak pada lingkungan rumah sakit juga disebabkan
oleh ruangan rumah sakit yang ramai/gaduh,lingkungan yang panas, fasilotas permainana yang tidak
memadai,dan makanan rumah sakit yang mungkin terasa hambar dan tidak enak.
Anak-anak dapat bereaksi terhadap stress hospitalisasi sebelim mereka masuk, selama
hospitalisasi, dan setelah pemulangan. Konsep sakit yang dimiliki anak bahkan lebih penting
dobandingkan usia dan kematangan intelektual dalam memperkirakan tingkat kecemasan
sebelum hospitalisasi (Carson, Gravley, dan Council, 1992; Clatworthy, Simon, dan Tiedeman, !
999) hal ini bisa saja dipengaruhi oleh durasi kondisi dan/atau sebelum hospitalisasi, bisa juga
tidak. Oleh karena itu perawat tidak boleh berlebihan memperkirakan konsep sakit anak dengan
pengalaman medis sebelumnya.

Hal lain yang menyebabkan anak mengalami kecemasan pada saat proses hospitalisasi adalah
anak harus menerima perawatan anak biasanya takut pada proses-proses yang harus dijalaninya,
seperti proses operasi,penyuntikan,mutilasi,dan mengomsumsi obat-obatan secara rutin. Ketakutan
selama proses perawatan juga bias diakibatkan karena adanya bayangan tentang rasa nyeri,
perubahan tentang penampilan tubuh, dan kecemasan akan kematian.
Anak juga dapat mengalami hilang kontrol diri ketika menjalani proses hospitalisasi. Misalnya,
anak kehilangan kontrol terhadap kebutuhan-krbutuhan pribadi,waktu makan, waktu tidur, dan
waktu untuk menjalankan sebuah prosedur. Anak juga biasanya kehialangan kepercayaan diri karena
dianggap sakit. Biasanya orang disekitarnya akan sangat membatasi aktivitas yang boleh dilakukan.
Berikut reaksi anak terhadap sakit dan proses hospitalisasi sesusai tahapan perkembangan anak.

1. Fase lahir sampai 12 bulan


Bayi pada usia ini biasanya mengembangkan banyak keterampilan baru. Berada dirumah
sakit kadang-kadang tidak memungkinkan mereka untuk berlatih keterampilan ini. Keterampilan
ini mungkin termasuk bergulir,duduk,merangkak, dan berjalan. Bayi mungkin tidak
mendapatkan rangsangan sensorik yang cukup, misalnya musik,sinar matahari,posisi
tubuh,sentuhan,dan mainan. Jika keluarga bayi tidak bias tinggal sering atau bias menggendong
bayi, hubungan bayi dengan orangtua mungkin akan terpengaruh.
Anak pada usia ini dapat menjadi kelompok usia yang paling menentang untuk
mempersiapkan operasi karena pemahaman mereka yang terbatas dan penggunaan Bahasa. Anak
pada usia ini juga paling sensitive terhadap lingkungan mereka seperti nada suara, sentuhan,dan
gerakan tiba-tiba. Ketakutakan terbesar bagi anak-anak usia ini adalah terpisah dari orang orang
tua mereka. Orang tua bias membawa boneka favorit,dot,atau selimut kerumah sakit untuk
membantu menenangkan anak. Kehadiran dan ikatan waktu orang tua menjadi bagian paling
penting dari rumah sakit untuk proses hospitalisasi anak.
Pada anak usia lebih dari enam bulan terjadi stranger anixiety atau cemas apabila berhadapan
dengan orang yang tidak dikenalnya. Reaksi yang sering muncul pada anak usia ini adalah
menangis keras, marah,ekspresi wajah yang tidak menynangkan, dan bnayak melakukan gerakan
sebagai sikat stranger anxiety.

2. Fase 2 sampai 24 bulan


Anak-anak terus mengembangkan keterampilan baru. Peluang untuk mengembangkan
keterampilan ini mungkin dibatasi oleh penyekit. Tutinitas sehari-hari yang berbeda, seperti pola
tidur dan pola makan, dapat berubah saat anak dirumah sakit.
Anak-anak pada usia ini juga mulai mengembangkan kemampuan kepercayaan mereka.
Pengembangan kepercayaan bias terganggu atau sulit dirumah sakit karena ada banyak orang
yang terlibat dengan perawatn anak. Hal tersebut bias menimbulkan stress pada anak. Stress juga
diakibatkan karena anak mulai menyadari bahawa ia berada jauh dari keluarag. Anak pada usia
ini sering takut orang asing dan tidak sepenuhnya memahanami mengapa mereka berada di
rumah sakit.
Supartini (2004)menjelaskan respons perilaku anak pada usia ini dibagi menjadi tiga tahap,
yaitu tahap protes,pututs asa, dan pengingkaran (denial). Pada tahap protes, respons yang
ditunjukan adalah menangis kuat, menjerit memanggil orang tua atau menolak perhatian yang
diberikan orang lain. Semsntara itu,pada tahap putuas asa, anak sudah bias mengontrol
tangisannya. Menjadi kurang aktif dari pada bermain,terlihat sedih, dan apatis. Anak mulai
secara samar menerima perpisahan ketika mencapai tahap pengingkaran. Selain itu, pada tahap
terakhir ini, anak juga mulai membina hubungan secara dangkal dan mulai terlihat menyukai
lingkungan barunya.

3. Fase 2 sampai 5 tahun


Perawatan anak pada usia ini membuat anak mengalami stress karena berada jauh dari rumah
dan kehilangan rutinitas yang familiar. Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukan anak usia ini
adalah dengan menolak makan, menolak perawatan yang dilakukan,menangis perlahan, dan
tidak kooperatif terhadap perawat.sebagai besar anak-anak kelompok usia ini siap untuk mandiri
dan ingin membuat pilihan. Usia ini juga adalah usia dimana imajinasi dan pemikiran berjalan
liar sehingga dapat menyebabkan ketakutan dan mimpi buruk. Proses hospitalisasi dapat
dipersepsikan sebagai proses perampasan kebebsan,konsisten,dan pilihan anak.
Anak –anak mungkin takut mereka akan terluka oleh prosedur rumah sakit. Ketakutan anak
terhadap perlakukan prosedur muncul karena menagganggap tindakan dan prosedur perawatan
mengancam integritas tubuhnya. Selain itu, anak-anak mungkin percaya bahwa mereka
melakukan sesuatu yang salah dan itulah sebabnya mereka berada dirumah sakit. Perawtan
dipersepsikan sebagai hukuman sehingga anak akan merass malu,bersalah,dan takut. Anak-anak
pada usia ini juga lebih sering bertanya karena mereka mungkin tahu lebih banyak tentang tubuh
mereka,tetapi pemahaman mereka masih terbatas.

4. Fase 5 sampai 12 tahun


Proses hospitalisasi memaksa anak berpisah dengan lingkungan yang dicintainya. Yakni
keluarga dan sekolah (teman-teman). Hal tersebut sangat berpotensi membuat anak menjadi
stress. Adanya pembatasan aktivitas akibat proses hospitalisasi membuat anak kehilangan
kontrol diri. Hal ini berdampak pada perubahan peran dalam keluarga dan kelompok sosialnya,
perasaan takut terhadap kematian, serta adanya kelemahan fisik.
Anak usia sekolah ingin menjadi sangat mandiri dari orangtua mereka. Proses soaisalisasi
dan hubungan teman sebaya menjadi lebih penting selama usia ini. Anak-anak dalam kelompok
usia ini sangat menydari perubahan tubuh serta penampilan fisik. Mereka sangat sesnsitif
terhadap pemerikasaan tubuh dan mungkin merasa malu. Memberi anak-anak dalam kelompok
usia ini privasi mereka selama ini akan menjadi hal yang penting untuk dilakukan.

5. Fase 12 tahun keatas


Ketika dirumah sakit,remaja akan merasa seolah-olah telah kehilangan kontrol penuh dan
hidup mereka telah ditahan. mereka akan nerasa seperti telah terputus dari rutinitas normal dan
dari teman-teman serta keluarga. Penting bagi pengunjung untuk melakukan besuk pada saat
yang tepat. Orang tua diharpakan mendorong remaja untuk membuat keputusan dan mengajukan
pertanyaan tentang kondisi atau prosedur perawatan yang akan dijaani oleh mereka. Anak pada
usia remaja juga perlu dilibatkan dalam semua percakapan yang dibuat dengan tim medis. Selain
itu, orang tua juga harus memberi mereka kesempatan sering membahas apa yang terjadi dan
untuk mengekspresikan kekhawatiran yang mungkin mereka miliki.
Kecemasan yang timbul akibat proses hospitalisasi pada snak usia remaja disebeblan adanya
perpisahan dengan teman sebaya dan hilangnya privasi diri. Anak pada usia remaja juga
menunjukan reaksi aktif pada pembatasan aktivitas dengan menolak perawatan yang dilakukan
dan tidak kooperatif dengan petugas kesehatan. Anak juga menarik diri dari keluarga, sesame
pasien,dan petugas kesehatan (isolasi).
Selain menimbulkan masalah bagi anak, proses hospitalisasi juga bias menimbulkan dampak
negative bagi orang tua. Setidaknya ada tiga reaksi orang tua terhadap perawtan anak dirumah
sakit, yaitu perasaan cemas dan takut, perasaan sedih,, serta perasaan frustasi (supartini,2004).
Perasaan cemas dan takut biasanya timbul ketika orang tua melihat anak menerima prosedur
yang menyakitkan. Selain itu, penelitiam yang dilakukan supartini (2002) menunjukan bahawa
rasa cemas paling tinggi dirasakan orang tua pada saat menunggi informasi tentang diagnosis
penyakit anaknya.
Perasaan sedih muncul pada sar anak dalam kondisi terminal dan orang tua mengetahui
bahwa sang anak tidak memiliki harapan untuk sembuh. Sementara itu, perasaan frustasi muncul
pada orang tua yang anaknya telah dirawat cukup lama dirumah sakit namun tidak kunjung
sembuh bakan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pada orang tua mengalami perasaan
sedih maupun frusrasi,keluarga dan rumah sakit sebaiknya memberikan dukungan psikologis
yang memadai untuk menjaga kondisi mereka stabil. Selain orang tua,proses hospitalisasi juga
dapat memperngaruhi saudara kandung dari anak yang sakit. Reaksi yang sering muncul pada
saudara kadung antara lain maran, cemburu, benci, dan rasa bersalah. Perasaan marah dan
cemburu diakibatkan oleh persepsi bahwa orang tua lebih memperhatikan si sakit dari pada
dirinya. Dari perassan marah dan cemburu tersebut, nnatinya timbul perasaan benci terhadap si
sakit.

C. REAKSI KELUARGA TERHADAP ANAK YANG DIHOSPITALISASI

Reaksi Orang Tua


Krisis penyakit dan hospitalisasi pada masa anak –anak memengaruhi setiap anggota
keluarga inti. Reaksi orang tua terhadap penyakit anak mereka bergantung pada keberagaman
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Meskipun faktor-faktor yang paling mungkin
memengaruhi respons mereka tidak dapat diprediksi, tetapi sejumlah variable telah berhasil
diindetifikasi.
Hampir semua orang tua berespon terhadap penyakit dan hospitalisasi anak mereka dengan
reaksi yang luar biasa konsisten. Pada awalnya orang tua dapat bereaksi denga tidak percaya,
terutama jika penyakit tersebut muncul tiba-tiba dan serius. Setelah reliasasi penyakit, orang tua
bereaksi dengan marah atau merasa bersalah atau kedua-duanya. Mereka dapat meyalahkan diri
mereka sendiri atas penyakit anak tersebut atau marah kepada orang lain atas beberapa
kesalahan. Jika hospitalisasi diindikasikan, rasa bersalah orang tua semakin menguat Karena
orang tua merasa tidak berdaya dalam mengurangi nyeri fisik dan emosional anak.
Takut, cemas, dan frustasi merupakan perasaan yang banyak diungkapkan oleh orang tua.
Takut dan cemas dapat berkaitan dengan keseriusan penyakit dan jenis prosedur medis yang
dilakukan. Sering kali kecemasan yang paling besar berkaitan dengan trauma dan nyeri yang
terjadi pada anak. perasaan frustasi sering berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
prosedur dan pengobatan, ketidaktahuan tentang dan peraturan rumah sakit, rasa tidak diterima
oleh petugas atau takut mengajukan pertanyaan.
Orang tua akhirnya dapat bereaksi dengan beberapa tingkat depresi. Depresi biasanya terjadi
ketika krisis akut sudah berlalu, seperti setelah pemulangan seperti setelah pemulangan atau
pemulihan yang sempurna. Ibu sering mengungkapkan perasaan kelelahan fisik dan mental
setelah semua anggota keluarga beradaptasi dengan krisis. Orang tua dapat juga merasakan
khawatir dan merindukan anak-anak mereka yang lain, yang mungkin ditinggalkan dalam
perawatan keluarga, teman, atau tetangga. Alasan lain untuk cemas dan depresi berkaitan dengan
kekhawaturan akan masa depan anak, termasuk dampak negative dan beban keuangan akibat
hospitalisasi tersebut.
Reaksi Sibling
Reaksi sibling terhadap penyakit atau hospitalisasi saudara permpuan atau saudara laki-
lakinya sedikit berbeda jika anak hanya sementara. Sebling mengalami kesepian, ketakutan, dan
khawatir, juga marah, benci, iri dan merasa bersalah. Beberapa faktor telah diidentifikasi
memengaruhi dampak hospitalisasi anak pada sibling. Meskipun faktor-faktor tersebut serupa
pada anak yang menderita penyakit kronis, Craft (1993) melaporkan bahwa faktor-faktor terkait
sibling berikut ini berhubungan secara spesifik dengan pengalaman rumah sakit dan ternyata
meningkatkan dampak pada sibling :
1. Berusia lebih muda dan mengalami banyak perubahan.
2. Dirawat diluar rumah oleh pengasuh yang bukan kerabat.
3. Menerima sedikit informasi tentang penyakit saudaranya.
4. Menganggap orang tua memperlakukan mereka secara berbeda dibandingkan dengan
hospitalisasi sibling mereka.
Simon (1993) telah menanyakan kepada 45 sibling dari anak-anak yang dihospitalisasi
tentang persepsi mereka terhadap stress akibat hospitalisasi saudaranya. Persepsi sibling tentang
yang mereka alami sama tingkatannya dengan stress anak yang dihospitalisasi.

Perubahan Peran Keluarga


Selain dampak perpisahan terhadap peran keluarga, kehilangan peran orang tua, sibling dan
peran keturunan dapat memengaruhi setiap anggota keluarga dengan cara yang berbeda. Salah
satu reaksi orang tua yang paling banyak terjadi dalah perhatian khusus dan intensif terhadap
anak yang sedang sakit. Anak-anak yang lain biasanya menganggap hal ini sebagai sesuatu yang
tidak adil dan menginterpretasikan sikap orang tua terhadap mereka sebagai penolakan.
Meskipun respons-respons semacam itu biasanya tidak disadari dan tidak diinginkan, hal tersebut
menimbulkan beban kepada anak yang sedang sakit.
Anak yang sakit juga merasa iri dan kesal dengan saudaranya. Karena posisi mereka yang
istimewa dalam keluarga, mereka bisa saja menyangkal kehadiran saudaranya. Persaingan antara
sibling cenderung lebih besar pada anak yang jarak umurnya berdekatan dengan anak yang
sedang sakit. Tanpa pemahaman dinamika interpersonal diantara sibling, orang tua cenderung
menyalahkan anak yang sehat karena perilaku antisosial tersebut. Penyakit dapat menyebabkan
anak-anak kehilangan statusnya baik dalam keluarga maupun kelompok sosial.

D. UPAYA MEMINIMALISASI DAMPAK HOSPITALISASI OLEH ORANG TUA


Banyak cara dapar dilakukan orang tua untuk mengatasi tekanan anak yang tinggal dirumah
sakit.beberapa cara berikut ini dapat mengurangi stress dan kecemasan yang dialami anak
menghadapi proses hospitalisasi. Pertama, mempersiapkan anak sebelum hospitalisasi, jika
proses hospitalisasi telah direncanakan sebelumnya, orang tua dapat membantu anak bersiap-siap
dengan penagalaman yang telah dialami sebelumnya. Orang tua juga dapat memberikan
pengertian yang memadai mengenai perawatan yang dijalani. Orang tua juga harus mendorong
anak untuk berbiacara secara terbuka tentang ketakutan,kecemasan, dan kekhawatiran lainnya
terhadap proses perawatan yang akan dijalani.
Bagaimana orang tua memperispakan anak akan tergantung pada usia mereka. Orang tua bias
berkonsultan dengan dokter, perawat pekerja social,atau spesialis anak tentang bagaimana
mempersiapkan anak tinggal dirumah sakit. Beberapa rumah sakit biasanya memiliki program
untuk membantu orang tua mempersiapkan anak tinggal dirumah sakit.
Hal yang perlu diingat adalah orang tua merupakan teladan bagi perilaku anak. Jika orangtua
menunjukan rasa takut dan kesediahan dirumah sakit. Hal tersebut akan mendorong anak tentang
tes dan pengobatan berhubungan dengan konidsi anak dan program rumah sakit serta prosedur
yang dilakukan,semakin orang tua dapat focus untuk mendukung anak selama tinggal dirumah
sakit.
Kedua, memperbanyak kunjungan. Kunjungan dari orang tua, saudara, teman-teman, dan
orag terdekat lainnya akan berdampak possitif terhadap perawatn anak. Kunjungan yang
dilakukan membuat anak tetap terhubung dengan dunia luar, sehingga membuatnya tidak merasa
terisolasi. Orang tua juga harus menjamin bahawa anak tidak akan sendirian selama menjalani
proses hospitalisasi. Anak harus tahu bahwa orang tua dan anggota keluarga lain akan berada
dirumah sakit sesring mungkin dan bahwa perawat serta dokter akan tersedia setiap saat.
Ketiga, membawa benda favorite dari rumah. Membawa hal-hal favorit dari rumah, seperti
mainan, boneka, atau benda kesyangan anak lainnya akan membantu kenyamanan anak selama
proses hospitalisasi. Bila anak merasa nyaman selama proses hospitalisasi, makan perawatan
yang dilakukan dapat membuatkan hasil yang optimal.
Keempat, bermain.sebisa mungkin, anak-anak dirumah sakit harus disorog untuk bermain.
Bermain dapat menjauhkan pikiran anak dari rasa sakit,kecemasa, dan penyakit pada umumnya,
bermain juga membantu pertunbuhan anak normal.bermain dapat melibatkan mainan,buku,teka-
teki,serta seni dan kerajinan dapat bermain juga dapat diatur dirumah sakit. Seringkali hal ini
dilakukan oleh pekerja social dan spesialis anak.

E. INTERVENSI KEPERAWATAN MENGATASI DAMPAK HOSPITALISASI


Persiapan Hospitalisasi
Alasan mempersiapkan anak menghadapi pengalaman rumah sakit dan prosedur yang terkait
dibuat berdasarkan prinsip ketakutan akan ketidaktahuan (fantasi) lebih besar daripada ketakutan
yang diketahui. Oleh karena itu, mengurangi unsur ketidaktahuan dapat mengurangi ketakutan
tersebut. Jika anak-anak tidak perlu melumpuhkan ketakutan untuk mengatasinya, mereka
mampu mengarahkan energi mereka untuk menghadapi stress hospitalisasi yang tidak dapat
dihindari dan mendapatkan manfaat optimal potensi pertumbuhan pengalaman tersebut.
Meskipun persiapan untuk hospitalisasi merupakan praktik yang umum, tidak ada standar
atau program universal yang dianjurkan untuk semua tempat. Proses persiapan dapat dilakukan
dengan tur, pertunjukkan boneka dan waktu bermain dengan miniatur oeralatan rumah sakit;
persiapan tersebut dapat melibatkan buku-buku, video atau film; atau terbatas pada deskripsi
singkat aspek utamaa tentang dirawat di rumah sakit (Stewart, Algren dan Arnold, 1994). Tidak
ada kesepakatan yang tegas tentang waktu persiapan tersebut. Beberapa pihak berwenang
menganjurkan untuk menyiapkan anak usia 4 sampai 7 tahun sekitar 1 minggu sebelumnya agar
mereka dapat memahami informasi yang diberikan dan mengajukan pertanyaan. Untuk anak-
anak yang lebih besar waktu yang diperlukan dapat lebih lama. Akan tetapi, bagi anak kecil yang
mulai berfantasi tentang apa yang mereka observasi, 1 atau 2 hari sebelum masuk rumah sakit
merupakan waktu yang tepat untuk persiapan antisipasi. Lamanya sesi persiapan tersebut harus
sesuai dengan rentang perhatian anak, semakin kecil usia anak, semakin singkat program.
Pendekatan yang optimal merupakan salah satu yang bersifat individual bagi masing-masing
anak dan keluarga. Tanpa memedulikan jenis program yang spesifik, semua anak, bahkan
mereka yang udah pernah dihospitalisasi sebelumnya, memperoleh manfaat dari pengenalan
terhadap lingkungan dan rutinitas di unit tersebut.
Fokus intervensi keperawatan untuk mengatasi dampak hospitalisasi adalah menimalisasi
stressor, memaksimalkan manfaat hospitalisasi, memberikan dukungan psikologis pada anggota
keluarga, dan mempersiapkan anak sebelum rawat di rumah sakit.

1. Upaya meminimalisasi penyebab stress


Upaya meminimalisasi penyebab stress dapat dilakukan dengan mecegah atau mengurangi
dampak perpisahan, mencegah perasaan kehilangan kontrol, dan mengurangi atau
meminimalkan rasa takut terhadap perlakuan tubuh dan rasa nyeri. Untuk mencegah atau
memilimalkan dampak perpisahan, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Melibatkan orang tu berperan aktif dalam keperawtan anak dengan cara
memperbolehkan mereka untuk tinggal bersama anak selama 24 jam (rooming in)
b. Jika tidak mungkin untuk rooming in, beri kesempatan orang tua melihat anak setiap
saat dengan maksud mempertahankan kontak antara mereka
c. Modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang rawat seperti rumah,
diantaranya dengan membuat dekorasi ruangan yang bernuansa anak.
d. Mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah,diantaranya dengan memfasilitasi
pertemuan dengan guru dan teman sekolah.

Untuk mencegah perasaan kehilanagan control,dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif terhadap petugas kesehatan.
Apabila anak harus di isolasi, lakukan modifikasi lingkungan sehingga isolasi tidak
terlalu dirasakan oleh anak dan ornag tua, pertahankan kontak antara orang tua dan
anak, terutama pada bayi dan anak toddler.
b. Buat jadwal kegiatan untuk prsedur terapi, latihan,bermain,dan aktivitas lain dalam
perawatan guna menghadapi perubahan kebiasaan/kegiatan sehari-hari
c. Fokuskan intervensi keperawatan pada upaya mengurangi ketergantungan dengan
cara memberi kesempatan anak mengambil keputusan dan melibatkan orang tua
dalam perencanaan keputusan kegiatan asuhaan keperawatan

Upaya menimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa nyeri dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut.
a. Memperispakan psikoligis anak dan orang tua untuk tindakn prosedur yang
menimbulkan rasa nyeri,yaitu dengan menjelaskan apa yang akan dilakukan dan
memberikan dukungan psikologis pada oraang tua.
b. Lakukan permainan terlebuh dahulu sebelum melakukan perispakan fisik anak,
misalnya dengan cara bercerita, menggambar, menonton video kaset dengan cerita
yang berkaitan dengan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan pada anak.
c. Pertimbamlan utnuk menghadirkan orang tua pada saat anak menerima prsedur yang
menimbulkan rasa nyeri. Dalam kondisi ini, tawarkan pada anak dan orang tua untuk
mempercayakan kepada perawat sebagai pendamping anak selama prosedur tersebut
dilakukan.
d. tunjukan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa takut
prsosedur yang menyakitkan.
e. Pada tindakan pembedahan elektif, lakukan persiapan khusus jauh hari sebelumnya
apabila mengkinkan mislanya dengan mengorientasikan kamar bedah, tindakan yang
akan dilakukan, dan petugas yang akan menangani anak melalui cerita gambar, atau
menonton dilm video yang menggambarkan kegiatan oeprasi tersebut. Hal ini
dilakukan dengan catatn perlu dilakukan pengkajian terlebih dahulu tentang
kemampuan psikologis anak dan orangtua untuk menerima informasi dengan terbuka.
Lakukan pula latihan relaksasi pada fse sebleum operasi sebagai persiapan untuk
perawatan pascaoperasi.

2. Memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak.


Salah satu upaya intervensi keperawatan dalam mengatasi dampak hospitalisasi adalah
dengan memanfaatkan proses hospitalisasi semaksimal mungkin dengan cara sebagai berikut.
a. Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi kesempatan
orang tua mempelajari tumbuh kembng anak dan reaksi anak terhadap stressor yang
dihadapi selam proses hospitalisasi.
b. Hospitalisais dapat dijadikan media belaajr bagi orang tua. Untuk itu, perawat dapat
memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak, terapi yang
didapat, dan prosedur keperawatan yang dilakukan pada anak, tentunya sesuai dengan
kapasitas belajarnya.
c. Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri, dapt dilakuakan dengan memberi
kesempatan pada anak mengambil keputusan, tidak terlalu bergantung pada orang
lain dan percaya diri. Tentunya hal ini hanya dapat dilakukan oleh anak yang lebih
besar dan bukan bayi. Berikan selalu penguatan yang positif dengan selalu
memberikan pujian atas kemampuan anak dan orang tua serta dorong terus untuk
meningkatkannya.
d. Fasilitas anak untuk tetap menjaga sosialisasinya dengan sesame pasien yang ada,
teman sebaya. Atau teman sekolah. Beri kesempatan padanya untuk saling kenal dan
membagi pengalamnya. Demikian juga interaksi dengan petugas kesehatan dan
sesame orang tua harus difasilitasi oleh perawat karena salaam dirumah sakit orang
tua dan anak mempunyai kelompok social yang baru.

3. Memberikan dukungan pada anggota keluarga lain


a. Berikan dukungan kepada kelluarga untuk mau tinggal dengan anak dirumah sakit.
b. Apabila diperlukan, fasilitasi keluarga untuk berkonsultasi pada psikolog atau ahli
agama karena sangat dimungkinkan keluarga mengalami masalah psikososial dan
spiritual yang memerlukan bantuan ahli.
c. Beri dukungan kepada keluarga untuk menerima kondisi anaknya dengan nilai-nilai
yang diyakininya.
d. Fasilotasi untuk menghadirkan saudara kandung anak apabila diperlukan keluargaa
dan berdampak possitif pada anak yang dirawat maupun saufara kandungnya.

4. Mempersiapkan anak untuk mendapat perawatan dirumah sakit.


Persiapan anak sebelum dirawat dirumah sakit didasarkan pada adanya asumsi bahwa
kekuatan akan sesuatu yang tidak diketahui akan menjadi kekuatan yang nyata.
Sebelum masuk rumah sakit, terdapat tahap-tahap yang dapat dilakukan,anatara lain:
a. Siapakan ruang rawat sesuai dengan tahapan usia anak dan jenis penyakit dengan
peralatan yang diperlukan;
b. Apabila anak harus dirawat secara berencana, 1-2 hari sebelum dirawat diorientasikan
dengan situasi rumah sakit dengan bentuk miniature bangunan rumah sakit.
Pada hari pertama dirawat, dilakukan tindakan:
a. Kenalkan perawaat dan dokter yang akan merawatnya.
b. Orientasukan anak dan orangtua pada ruangan rawat yang ada beserta fasilitas yang
dapat digunakannya;
c. Kenalkan dengan pasien lain yang akan menjadi teman sekamarnya;
d. Berikan indentitas pada anak,misalnya pada papan nama anak;
e. Jelaskan aturan rumah sakit yang berlaku dan jadwal kegiatan yang diikutinya;
f. Laksanakan pengkajian riawayat keperawatan;
g. Lakukan pemerikasaam fisik dan pemerikasaan lainnya sesuai dengan yang
diprogramkan.

Anda mungkin juga menyukai