Anda di halaman 1dari 3

Lima Faktor Penyebab Autisme

Kompas.com - Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks


pada anak. Gejala yang tampak adalah gangguan dalam bidang perkembangan:
perkembangan interaksi dua arah, perkembangan interaksi timbal balik, dan
perkembangan perilaku.
Hingga saat ini kepastian mengenai autisme belum juga terpecahkan. Padahal,
perkembangan jumlah anak autis sekarang ini kian mengkhawatirkan. Di Amerika
Serikat, perbandingan anak autis dengan yang normal 1:150, sementara di Inggris
1:100. Indonesia belum punya data akurat mengenai itu.
Para ilmuwan menyebutkan autisme terjadi karena kombinasi berbagai faktor,
termasuk faktor genetik yang dipicu faktor lingkungan. Berikut adalah faktorfaktor yang diduga kuat mencetuskan autisme yang masih misterius ini.
1. Genetik
Ada bukti kuat yang menyatakan perubahan dalam gen berkontribusi pada
terjadinya autisme. Menurut National Institute of Health, keluarga yang memiliki
satu anak autisme memiliki peluang 1-20 kali lebih besar untuk melahirkan anak
yang juga autisme.
Penelitian pada anak kembar menemukan, jika salah satu anak autis, kembarannya
kemungkinan besar memiliki gangguan yang sama.
Secara umum para ahli mengidentifikasi 20 gen yang menyebabkan gangguan
spektrum autisme. Gen tersebut berperan penting dalam perkembangan otak,
pertumbuhan otak, dan cara sel-sel otak berkomunikasi.
2. Pestisida
Paparan pestisida yang tinggi juga dihubungkan dengan terjadinya autisme.
Beberapa riset menemukan, pestisida akan mengganggu fungsi gen di sistem saraf
pusat. Menurut Dr Alice Mao, profesor psikiatri, zat kimia dalam pestisida
berdampak pada mereka yang punya bakat autisme.
3. Obat-obatan
Bayi yang terpapar obat-obatan tertentu ketika dalam kandungan memiliki risiko
lebih besar mengalami autisme. Obat-obatan tersebut termasuk valproic dan

thalidomide. Thalidomide adalah obat generasi lama yang dipakai untuk


mengatasi gejala mual dan muntah selama kehamilan, kecemasan, serta insomnia.
Obat thalidomide sendiri di Amerika sudah dilarang beredar karena banyaknya
laporan bayi yang lahir cacat. Namun, obat ini kini diresepkan untuk mengatasi
gangguan kulit dan terapi kanker. Sementara itu, valproic acid adalah obat yang
dipakai untuk penderita gangguan mood dan bipolar disorder.
4. Usia orangtua
Makin tua usia orangtua saat memiliki anak, makin tinggi risiko si anak menderita
autisme. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan, perempuan usia
40 tahun memiliki risiko 50 persen memiliki anak autisme dibandingkan dengan
perempuan berusia 20-29 tahun.
"Memang belum diketahui dengan pasti hubungan usia orangtua dengan autisme.
Namun, hal ini diduga karena terjadinya faktor mutasi gen," kata Alycia Halladay,
Direktur Riset Studi Lingkungan Autism Speaks.
5. Perkembangan otak
Area tertentu di otak, termasuk serebal korteks dan cerebellum yang bertanggung
jawab pada konsentrasi, pergerakan dan pengaturan mood, berkaitan dengan
autisme. Ketidakseimbangan neurotransmiter, seperti dopamin dan serotonin, di
otak juga dihubungkan dengan autisme.
California, Orangtua berusia di atas 40 tahun cenderung memiliki masalah
ketidaksuburan, salah satunya berisiko melahirkan anak autis. Tapi menurut studi
terkini, risiko memiliki anak autis lebih dipengaruhi usia ibu, bukan ayah.
Peneliti Amerika Serikat menemukan bahwa risiko anak autis bisa terjadi jika
perempuan melahirkan di atas 40 tahun atau perempuan di bawah 30 tahun yang
memiliki suami di atas 40 tahun.
Perempuan berusia 40 tahun berisiko memiliki anak autis 50 persen lebih tinggi
dibandingkan perempuan yang berusia 25-29 tahun. Sementara itu usia ayah yang
lebih tua yaitu 40 tahun ke atas hanya akan memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap risiko anak autis jika ibunya berusia di bawah 30 tahun.
"Ibu yang usianya sudah tua semakin besar risiko memiliki anak autis, terlepas
dari ayahnya yang masih muda atau sudah tua," ujar Irva Hertz-Picciotto dari
University of California Davis MIND Institute, seperti dikutip dari Reuters, Selasa
(9/2/2010).

Namun, hasil penemuan ini bertentangan dengan penelitian sebelumnya di tahun


2006 terhadap anak-anak yang lahir di Israel. Penelitian tersebut menyebutkan
bahwa usia ayah justru memainkan peran lebih besar.
Hertz-Picciotto menambahkan memang telah ada perdebatan mengenai siapa yang
paling memberikan kontribusi terhadap risiko autis, banyak orang berpikir risiko
ini tidak mutlak ditentukan oleh ibu.
Saat ini peneliti dan pembuat kebijakan tengah giat mencari penjelasan penyebab
meningkatnya jumlah anak-anak yang didiagnosis dengan autis. Penyakit autis
hingga kini belum ditemukan obatnya, anak yang mengalami autis biasanya
memiliki masalah ketidakmampuan komunikasi serta keterbelakangan mental
yang gejalanya relatif ringan hingga yang berat.
Masalah usia orangtua ini bisa menjadi tantangan dalam menentukan faktor risiko
anak autis, karena ibu dan ayah yang sudah tua cenderung untuk memiliki anak
bersama-sama. "Ini bisa terjadi karena saat orangtuanya sudah sama-sama tua,
maka risiko yang diberikan oleh ayah sebanding dengan risiko dari ibu," ujar
Hertz-Picciotto.
Peneliti mengungkapkan orangtua yang sudah berusia di atas 40 tahun, cenderung
telah menggunakan perawatan kesuburan. Selain itu kemungkinan lain adalah
para ibu cenderung memiliki kondisi autoimun termasuk gestational diabetes,
telah banyaknya racun yang masuk ke tubuhnya sehingga sperma dan sel telur
cenderung memiliki beberapa perubahan yang dapat meningkatkan risiko.
Faktor lain yang diduga turut memainkan peran mengembangkan anak autis
adalah produk rumah tangga yang mengandung bahan berbahaya, perawatan
medis, makanan yang dikonsumsi, suplemen dan adanya infeksi yang terjadi.

Anda mungkin juga menyukai