Anda di halaman 1dari 103

Muhammad Cholis, M.

Pd
Muhammad Masykur AG., M.Psi

ANAK
BERKEBUTUHAN
KHUSUS
(ABK) DI SEKOLAH
INKLUSI
(Assesment dan
Treatmant)

1 | Page
2 | Page
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR . 01

Bagian Pertama
Anak Berkebutuhan Khusus 03
Pengertian. 03
.
Faktor Penyebab .... 05
Klasifikasi . 06
Kesulitan Belajar 09

Bagian Kedua
Sekolah Inklusi adalah Model Pendidikan Untuk Semua .. 20
Pengertian 20
Latar Belakang 23
Dasar Pelaksanaan ... 25
Penyelenggara . 27
Karakteristik Pembelajaran 28
Model Pembelajaran .. 30
Manfaat . 31
Keseriusan Dalam Penyelenggaraan ... 34

Bagian Ketiga
Pendekatan Manajemen Pembelajaran Efektif Anak
Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi 37
Manajemen Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Berbasis Multiple Intelligence 42

Daftar Rujukan . 90

3 | Page
4 | Page
Bagian Pertama

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


(A B K)

Pengertian

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang secara

signifikan berbeda dalam beberapa dimensi penting fungsi

kemanusiaannya. Secara bio-psiko-sosial mereka terhambat dalam

mencapai tahapan-tahapan dan tujuan perkembangannya, meliputi

anak-anak dengan kebutaan, ketulian, mengalami gangguan bicara

dan berbahasa, cacat tubuh, retardasi mental, dan gangguan

emosional. Anak-anak berbakat dengan inteligensi tinggi, juga dapat

dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus karena

memerlukan penanganan yang juga khusus dan terlatih.

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) menurut Direktorat

Pendidikan Luar Biasa (2004) adalah anak yang dalam proses

pertumbuhan atau perkembangannya secara signifikan (bermakna)

mengalami kelainan (fisik, mental intelektual, sosial, emosional)

dibandingkan dengan anak-anak lain, sehingga mereka memerlukan

5 | Page
pelayanan khusus. Sedangkan Puri (2007) mendefinisikan, Anak

Berkebutuhan Khusus (ABK) sebagai anak dengan kondisi

kemampuan fisik dan atau mental di bawah kemampuan rata-rata

anak-anak normal, sehingga dibutuhkan metode pendekatan atau

metode pembelajaran tersendiri untuk anak-anak tersebut.

IDEA (The Individual with Disabilities Education Act) (dalam

Osborn, 2006) memberikan defenisi mengenai anak berkebutuhan

khusus (disabilities) adalah:

1) With mental retardation, hearing impairments including deafness,

speech or language impairments, visual impairments including

blindness, orthopedic impairment, autism, traumatic brain injury,

other health impairments, or specific learning disabilities, and


2) Who reason there of, need special attention and related servies.

Pertama, kategori dimana anak-anak masuk ke dalam

persoalan yang terkait dengan ketidaknormalan tumbuh

kembangnya. Aspek ini, dapat dinilai dari berbagai unsur dan

pendekatan atas ktidakfungsian organ tubuh, seperti mata, telinga,

mental, dan kemampuan berbicara atau kelompok anak-anak yang

ketika lahir, tumbuh dan berkembang membawa keganjilan,

diantaranya autism, superaktif. Kelompok pertama ini adalah

kelompok anak-anak yang membutuhkan pendidikan berkebutuhan

khusus.

Kedua, adalah anak-anak yang secara kategori dan

karakteristik berbedea dengan anak-anak pada kelompok pertama,

yaitu mereka lahir dan tumbuh kembang secara normal, baik fisik

6 | Page
dan mentalnya. Namun bermasalah terhadap kesempatan pendidikan

yang diperoleh, akibat konsekuensi geografis, berdada di tempat

tinggal yang jauh dari layanan pendidikan atau tidak layak, berasal

dari keluarga miskin atau bermasalah dari sisi keberadaan rumah

tangga. Artinya, mereka juga termasuk dalam kategori anak-anak

termarginalkan. Mereka ini termasuk anak-anak yang juga

membutuhkan layanan pendidikan atau sekolah khusus.

7 | Page
Faktor Penyebab

Suparno dkk (2012) menyebutkan beberapa faktor penyebab

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), antara lain:

1. Faktor herediter
Faktor herediter sering terjadi karena kelebihan kromosom yang

diakibatkan oleh kesamaan gen pada pasangan suami istri. Selain

itu, usia ibu sewaktu hamil juga sangat berpengaruh terhadap

kelahiran anak. Usia ibu hamil di atas 35 tahun memiliki resiko

yang cukup tinggi untuk melahirkan anak berkebutuhan khusus.


2. Faktor infeksi
Merupakan suatu penyebab adanya berbagai serangan penyakit

infeksi yang dapat menyebabkan, baik langsung maupun tidak

langsung terjadinya kelainan seperti TORCH (toksoplasma, rubella,

cytomegalo virus, herpes), polio, meningitis dan sebagainya.


3. Faktor keracunan
Keracunan dapat secara langsung terkena anak, maupun melalui

ibu saat kehamilan. Munculnya FAS (Fetal Alcohol Syndrome)

adalah keracunan janin yang disebabkan ibu mengonsumsi

alkohol berlebihan. Kebiasaan ibu mengkonsumsi obat bebas,

tanpa pengawasan dokter merupakan potensi keracunan pada

janin. Jenis makanan yang dikonsumsi bayi yang banyak

mengandung zat-zat berbahaya merupakan salah satu penyebab.

Adanya polusi pada berbagai sarana kehidupan, terutama

pencemaran udara dan air juga sebagai faktor penyebab.


4. Trauma
Kejadian tidak terduga yang langsung terjadi pada anak, seperti:

proses kelahiran yang sulit, sehingga memerlukan pertolongan

yang mengandung resiko tinggi dan mengakibatkan kekurangan

8 | Page
oksigen pada otak. Bencana alam juga dapat menyababkan anak

memiliki kebutuhan khusus, seperti cacat fisik dan gangguan

mental.
5. Kekurangan gizi
Masa tumbuh kembang sangat berpengaruh tarhadap tingkat

kecerdasan anak terutama pada 2 tahun pertama kehidupan.

Kekurangan gizi dapat terjadi karena ada kelainan metabolisme

maupun penyakit parasit pada anak, seperti cacingan.

Jika dipandang dari sudut waktu terjadinya kelainan, Suparno

dkk (2012) membaginya menjadi :

1. Prenatal
Terjadinya kelainan anak semasa dalam kandungan atau sebelum

proses kelahiran. Misalnya, seorang ibu yang tengah hamil muda

keracunan alkohol.
2. Perinatal
Perinatal sering juga disebut natal waktu terjadinya kelainan, saat

proses kelahiran, menjelang dan sesaat setelah proses kelahiran.


3. Pascanatal
Terjadinya kelainan setelah anak dilahirkan sampai dengan usia

perkembangan selesai (kurang lebih usia 18 tahun).

Klasifikasi

Suparno dkk (2012), mengklasifikasikan Anak Berkebutuhan

Khusus (ABK) menjadi tiga (3) kategori, yaitu anak berkelainan fisik,

anak berkelainan mental emosional dan berkelainan akademik.

1. Anak Berkelainan Fisik


Anak berkelainan fisik dibedakan menjadi 3 yaitu: anak

tunanetra, tunarungu, tunadaksa.

9 | Page
a) Tunanetra adalah anak-anak yang mengalami kelainan atau

gangguan fungsi penglihatan, yang memiliki tingkatan atau

klasifikasi yang berbeda. Berdasarkan tingkat ketajaman

penglihatan dapat diklasifikasikan menjadi Low Vision (kurang

lihat, ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m) dan the blind

(berat, ketajaman penglihatan kurang dari 6/60m). Sedangkan

berdasarkan adaptasi pedagogis dapat diklasifikasikan menjadi

kemampuan melihat sedang, ketidakmampuan melihat taraf

berat dan ketidakmampuan taraf sangat berat.


b) Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi

ketidakfungsian organ pendengaran atau telinga seorang anak.

Kondisi ini menyebabkan mereka mengalami hambatan atau

keterbatasan dalam merespon bunyi- bunyi yang ada

disekitarnya. Dalam klasifikasi khusus, tunarungu dibedakan

menjadi tunarungu ringan (tingkat kesulitan 25-45 db),

tunarungu sedang (tingkat kesulitan 46-70 db), tunarungu

berat (tingkat kesulitan 71-90 db), dan tunarungu sangat berat

(tingkat kesulitan lebih dari 90 db).


c) Tunadaksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik

atau cacat tubuh, yang mencakup kelainan anggota tubuh

maupun yang mengalami kelainan gerak dan kelumpuhan.

Berdasarkan tingkat kelainannya diklasifikasikan menjadi

celebral palsy (ringan, sedang, dan berat), berdasarkan letaknya

(spastic, kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya,

dyskenesia, gerakan tak terkontrol serta terjadi kekakuan pada

seluruh tubuh yang sulit digerakkan), ataxia (gangguan

10 | P a g e
keseimbangan, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi),

campuran (mengalami kelainan ganda); berdasarkan polio: tipe

spinal (kelumpuhan pada otot- otot leher, sekat dada, tangan

dan kaki), tipe bulbair (kelumpuhan fungsi motorik pada satu

saraf tepi atau lebih yang menyebabkan adanya gangguan

pernapasan), tipe bulbispinalis (gangguan antara tipe spinal

dan bulbair) dan enceaphalitis (umunya ditandai dengan

demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang- kadang


kejang).

2. Anak Berkelainan Mental-Emosional


Anak berkelainan mental emosional dibedakan menjadi

tunagrahita dan tunalaras.


a) Tunagrahita, didasarkan berbagai tinjauan diantaranya

berdasarkan kapasitas skor intelektualnya (IQ). Tunagrahita

ringan (IQ 50-70), tunagrahita sedang (IQ 35-50), tunagrahita

berat (IQ 20-35) dan tunagrahita sangat berat (IQ dibawah 20).

Sedangkan berdasarkan kamampuan akademik di bagi manjadi

mampu didik, mampu latin dan perlu dirawat.


b) Tunalaras adalah anak-anak yang mengalami gangguan

perilaku, yang ditunjukkan dalam aktivitas kehidupan sehari-

hari, baik di sekolah maupun lingkungan sosialnya. Anak

tunalaras diklasifikasikan berdasarkan perilaku dan

kepribadiannya. Berdasarkan perilakunya: beresiko tinggi

(hiperaktif, suka berkelahi, memukul, melawan, sulit

konsentrasi dan lain- lain), beresiko rendah (autism, khawatir,

cemas, ketakutan dan lain- lain), kurang dewsa (suka

11 | P a g e
berfantasi, berangan-angan, mudah dipengaruhi, kaku, dan

lain-lain). Sedangkan berdasarkan kepribadiannya

diklasifikasikan menjadi: kekacauan perilaku, menarik diri,

ketidakmatangan dan agresi sosial.

3. Anak Berkelainan Akademik


Anak berkelainan akademik dibedakan menjadi anak berbakat

dan anak berkesulitan belajar.


a) Anak berbakat adalah anak-anak yang mengalami kelainan

intelektual di atas rata- rata. Klasifikasi anak berbakat pada

umumnya dilihat dari tingkat intelegensinya, berdasarkan

standar Stanford Belnet meliputi: kategori rata-rata tinggi

(dengan IQ 110-119), kategori superior (dengan IQ 120-139),

dan kategori sangat superior (dengan IQ 140-169).


b) Anak berkesulitan belajar merupakan salah satu jenis anak

berkebutuhan khusus yang ditandai dengan adanya kesulitan

untuk mencapai standar kompetensi (prestasi) yang telah

ditentukan dengan mengikuti pembelajaran konvensional. Anak

berkesulitan belajar juga sering disebut Learning Disability.

Kesulitan belajar perkembangan diklasifikasikan lebih spesifik

menjadi: kesulitan belajar perkembangan (kesulitan belajar

pada anak dibawah 5 tahun) dan kesulitan belajar akademik

(kesulitan pada anak pada usia diatas 6 tahun, contohnya

kesulitan berhitung (diskalkulia), kesulita membaca (disleksia),

kesulitan menulis (disgrapia), kesulitan berbahasa (dysphasia),

dan tidak terampil (dispraksia).

12 | P a g e
Kesulitan Belajar

Adalah individu dengan gangguan pada satu atau lebih

kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan

penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat memengaruhi

kemampuan berpikir, membaca, berhitung, dan berbicara.

Disebabkan adanya gangguan persepsi, brain injury, difsungsi

minimal otak, dyslexia, dan afasia perkembangan. Individu kesulitan

atau keterlambatan belajar, biasanya memiliki IQ di bawah atau di

atas rata-rata, mengalami gangguan persepsi-motorik, gangguan

koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang serta

keterlambatan perkembangan konsep.

Kesulitan belajar dapat menghinggapi individu dalam waktu

yang lama. Beberapa kasus memperlihatkan bahwa kesulitan ini

mengarungi banyak aspek kehidupan seseorang, baik itu disekolah,

pekerjaan, rutinitas sehari-hari, kehidupan keluarga, atau bahkan

terkadang dalam hubungan persahabatan atau permainan. Beberapa

penderita menyatakan bahwa kesulitan ini berpengaruh pada

kebahagiaan mereka. Sementara itu bagi penderita lain, gangguan ini


menghambat proses belajar mereka, sehingga tentu saja berdampak

pada aspek lain dari kehidupan mereka. Terkadang seseorang juga

mengalami berbagai kesulitan belajar yang saling tumpang tindih,

sementara itu yang lainya ada yang mengalami satu macam kesulitan

belajar saja, sehingga hanya sedikit pengaruhnya bagi aspek lain dari

kehidupan mereka.

Mengenali kesulitan belajar jelas berbeda dengan mendiagnosis

penyakit cacar air atau campak. Cacar air dan campak tergolong

13 | P a g e
penyakit dengan gejala yang dapat dikenali dengan mudah. Berbeda

dengan kesulitan belajar yang sangat rumit dan meliputi begitu

banyak kemungkinan penyebab, gejala-gejala, perawatan, serta

penanganan. Kesulitan belajar yang memiliki beragam gejala ini,

sangatlah sulit untuk didiagnosis dan dicari penyebabnya secara

pasti. Hingga saat ini, belum ditemukan obat atau perawatan yang

sanggup penyebutkan mereka sepenuhnya.

Tidak semua kesulitan dalam proses belajar dapat disebut

kesulitan belajar. Sebagai anak mungkin hanya mengalami kesulitan

dalam mengembangkan bakatnya. Kadang individu memperlihatkan

ketidakwajaran dalam perkembangan alaminya, sehingga tampak

seperti penderita kesulitan belajar, namun ternyata hanyalah

keterlambatan dalam proses pendewasaan diri saja. Sebenarnya, para

ahli telah menentukan kriteria-kriteria pasti dimana seseorang dapat

dinyatakan sebagai penderita kesulitan belajar, yang salah satunya

termuat dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual Of Mental

Disorders).

Kesulitan belajar dapat dibagi menjadi tiga katagori besar,

yaitu: (1) kesulitan berbicara dan bahasa; (2) gangguan kemampuan

akademik; dan (3) kesulitan lainya, mencakup kesulitan dalam

mengkoordinasi gerakan anggota tubuh serta permasalahan belajar

yang belum dicakup oleh kedua kategori di atas. Masing-masing

kategori ini mencakup pula kesulitan-kesulitan lain yang lebih

spesifik, yang akan disampaikan sebagai berikut:

1) Kesulitan Berbicara dan Berbahasa

14 | P a g e
Kesulitan dalam berbicara dan berbahasa sering menjadi indikasi

awal kesulitan belajar yang dialami anak. Anak yang mengalami

kesulitan jenis ini menemui kesulitan dalam menghasilkan bunyi-

bunyi bahasa yang tepat, berkomunikasi dengan orang lain dengan

penggunaan bahasa yang benar, atau memahami apa yang orang lain

katakan.
Ciri-ciri spesifik kesulitan berbicara dan berbahasa ini, antara

lain:
a. Keterlambatan pengucapkan bunyi bahasa. Anak-anak yang

mengalami gangguan ini biasanya mengalami masalah dalam

mengucapkan sesuatu dengan tepat. Sebagai contoh, pada umur

6 tahun, masih mengucapkan kata wabbi yang seharusnya

bunyi rabbi. Keterlambatan perkembangan pengucapan

sebenarnya merupakan sesuatu yang umum terjadi, dan 10%

anak di bawah usia 8 tahun kerap mengalami kesulitan ini.

Kesulitan model ini dapat diatasi dengan terapi wicara.


b. Keterlambatan mengespresikan pikiran atau gagasan melalui

bahasa yang baik dan benar. Anak yang menderita kesulitan

berbahasa biasanya mengalami kesulitan dalam mengakses

dirinya pada saat berbicara. Kesulitan semacam ini disebut juga

sebagai keterlambatan kemampuan untuk berbahasa dengan baik

dan benar. Anak yang sering menyebut nama benda dengan

sebutan yang salah, adalah contoh anak yang mengalami

permasalahan semacam ini. Tetapi tentu saja ganguan

perkembangan berbahasa ini dapat timbul dalam wujud lain.

Sebagai contoh, seseorang anak berumur 4 tahun yang hanya

dapat mengucapkan dua frasa saja atau tidak dapat menjawab

15 | P a g e
pertanyaan sederhana, dapat pula digolongkan sebagai anak yang

mengalami kesulitan berbahasa.


c. Keterlambatan pemahaman bahasa. Sebagian anak menemui

kendala dalam mencerna apa yang diucapkan orang lain. Kendala

ini terjadi ketika otak mereka berada di frekuensi yang berbeda,

dan sistem penerimanya sedang tidak berfungsi atau lemah.

Contoh, anak kecil yang tidak dapat merespon ketika namanya

dipanggil, melakukan pekerjaan yang berulang-ulang atau tidak

sanggup mengerjakan tugas-tugas sederhana. Pendengaran

mereka normal, tetapi tidak dapat memberikan respon yang baik

dan benar terhadap suara, kata-kata, atau kalimat yang didengar.

Mereka tampak tidak memperhatikan apa yang orang lain

katakan atau bicarakan pada mereka. Anak-anak dengan kategori

ini menderita keterlambatan pemahaman bahasa. Tentu saja

untuk anak usia pra-sekolah pengucapan beberapa bunyi, kata-

kata, tata bahasa yang salah, masih dapat dipandang wajar

sebagai bagian dari proses belajar berbicara.

2) Gangguan Kemampuan Akademik


Peserta didik atau anak dapat didiagnosis mengalami gangguan

ini, jika mengalami ciri-ciri berikut:


a. Keterlambatan Membaca

Tipe gangguan ini disebut juga dengan disleksia. Pada

kenyataanya, kesulitan membaca dialami oleh 2-8% anak sekolah

dasar. Ketika berpikir tentang apa saja yang terlibat dalam proses

tiga R membaca (read-ing), menulis (riting), dan berhitung

(rithmetic) maka setiap individu akan tercengang, karena

16 | P a g e
kebanyakan darinya memang memelajari proses-proses tersebut.

Untuk memahami apa yang dibaca, maka harus:

1) Memusatkan perhatian pada huruf-huruf yang tertulis dan

mengendalikan gerakan mata dengan menjelajahi tiap

halaman.
2) Mengenali bunyi tiap-tiap huruf atau gabungan huruf
3) Memahami makna kata-kata, tata bahasa, dan susunan

kalimatnya.
4) Membandingkan ide-ide dan gagasan baris
5) Membandingkan ide-ide baru dengan yang telah individu

ketahui.
6) Mengingat berbagai hal dalam benak individu.

Proses mental semacam ini memerlukan interaksi intensif

diantara berbagai sel saraf sebagai penghubung bagian-bagian

otak yang berkaitan dengan fungsi penglihatan, berbahasa dan

mengingat. Siapapun dapat mengalami kendala dalam memahami

sebuah bacaan. Para ahli berpendapat, penderita diseleksia

mengalami ketidakmampuan dalam membedakan memisahkan

bunyi dari kata-kata yang diucapkan.

Di sisi lain, anak dengan disleksia memiliki kesulitan dalam

permainan mengucapkan bunyi-bunyi yang mirip, seperti salah

mengucapkan car dengan rar. Belakangan para ilmuan

mendapati bahwa kemampuan mendasar ini berguna dalam

proses belajar membaca.

Meskipun demikian, lebih sulit membaca daripada

mengenali kata-kata. Jika otak tidak mampu menghubungkan

ide-ide yang baru diterima dengan yang telah tersimpan dalam

17 | P a g e
ingatan, maka pembaca tidak mampu memahami atau mengingat

konsep yang baru. Jadi, dalam tingkatan yang lebih tinggi,

kesulitan memahami bacaan dapat beralih dari sekedar

mengenali kata-kata menuju pada pemahaman susunan kata-

kata dalam sebuah kalimat yang lengkap. Individu yang

menderita gangguan membaca mungkin akan segera melupakan

kata-kata yang baru saja dibacanya, sehingga akhirnya ia tidak

dapat memahami apa yang hendak diungkapkan kalimat

tersebut.

Substansinya, anak yang mengidap keterlambatan

kemampuan membaca, mengalami kesulitan dalam mengartikan

atau mengenali struktur kata-kata, misalnya huruf atau suara

yang seharusnya tidak diucapkan, sisipan, penggantian atau

kebalikan) atau memahaminya. Misalnya, memahami fakta-fakta

dasar, gagasan utama, urutan kronologis, atau topik sebuah

bacaan. Mereka juga mengalami kesulitan lain, seperti cepat

melupakan apa yang telah dibacanya.

Sebagian ahli berargumen bahwa kesulitan mengenali


bunyi-bunyi bahasa (fonem) merupakan dasar bagi keterlambatan

kemampuan membaca, yang penting sekali bagi pemahaman

hubungan antara bunyi bahasa dan tulisan yang mewakilinya

(Torgesen & Wagner, 2008). Kesulitan membaca mempengaruhi

segala aspek kehidupan penderitanya sejak awal masuk sekolah,

yakni ketika ia mulai belajar membaca, hingga bertahun-tahun

kemudian tatkala sang anak diharuskan memabca guna

mempelajari sesuatu yang lebih spesifik. Lebih jauh lagi, masalah

18 | P a g e
ini masih ada tatkala seseorang kelak harus hidup di tengah

tengah masyarakat, rumah, dan tempat kerja di mana di tuntut

untuk mengerti dan memahami informasi.

b. Keterlambatan Menulis

Menulis juga memerlukan koordinasi berbagai bagian dan

funsi otak. Bagian-bagian otak yang mengatur perbendaharaan

kata, tata bahasa, gerakan tangan, dan ingatan harus berada

dalam kondisi serta koordinasi yang baik. Permasalahan dalam

hal ini dapat mengakibatkan gangguan dalam kemampuan

menulis anak (disgrafia). Contoh, anak yang tidak mampu

membedakan berbagai bunyi, bisa dipastikan memiliki masalah

dalam mengeja kata-kata. Anak yang memiliki kesulitan dalam

membaca dan mengespresikan gagasan atau ide dalam bentuk

bahasa yang baik dan benar, kemungkinan besar akan mengalami

kesulitan dalam menyusun kalimat yang lengkap dan benar.

Masalah yang dihadapi anak atau siswa dengan

keterlambatan menulis tampak dari tulisan tangan, kemampuan


mengeja, susunan kata, penggunaan kosakata, kualitas tulisan

yang dihasilkan, dan penyusunan karangan. Banyak penderita

yang mengalami kesulitan atau keterlambatan menulis juga

memiliki kesulitan dalam hal membaca, karena keduanya

berkaitan dengan bahasa (penerimaan dan pengekspresian).

Kesulitan dalam hal menulis memengaruhi perkembangan murid

dalam banyak hal. Misalnya, siswa yang mengalami kesulitan

dalam hal menulis kemungkinan bisa memahami konsep

19 | P a g e
pelajaran ilmu pengetahuan dan sosial, namun mereka tidak

mampu mengekspresikan pemahaman mereka dalam bentuk

tulisan atau pada saat membuat laporan lapangan.

c. Keterlambatan Berhitung

Berhitung melibatkan pengenalan angka-angka,

pemahaman berbagai simbol matematis, mengingat berbagai fakta

seperti tabel perkalian, dan pemahaman konsep-konsep abstrak

seperti nilai tempat serta pecahan. Hal seperti ini mungkin terasa

sulit, bagi anak-anak penderita kesulatan berhitung (diskalkulia).

Masalah diskalkulia bisa timbul dalam wujud kesulitan

membedakan angka, simbol-simbol, serta bangun-bangun ruang

(kemampuan persepsi visual yang buruk), tidak sanggup

mengingat dalil-dalil matematis (ingatan yang buruk), menulis

angka yang tidak terbaca atau dalam ukuran kecil (kelemahan

fungsi motorik), dan tidak memahami makna simbol-simbol

matematis (pemahaman yang lemah terhadap istilah-istilah

matematis).
Bentuk kelemahan lainnya, meliputi lemahnya kemampuan

berpikir abstrak (memecahkan soal-soal dan melakukan

perbandingan) serta metakognisi (mengidentifikasi serta

memanfaatkan algoritma dalam memecahkan soal-soal

matematika). Banyak aspek dari berbicara, mendengar, menulis,

dan berhitung untuk saling tumpang tindih berdasarkan fungsi

otak. Jadi, tidaklah aneh bila ada orang yang didiagnosis

mengalami lebih dari satu kesulitan belajar.

20 | P a g e
3) Gangguan Belajar Lainnya

DSM (Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorders),

mencatat kategori tambahan, seperti gangguan kemampuan

motorik, memori, dan kognisi dan gangguan perkembangan khusus

yang belum diklasifikasikan. Gejala-gejala ini juga mencangkup

gangguan koordinasi tubuh, yang pada gilirannya dapat

mengakibatkan buruknya tulisan seseorang, dan begitu pula halnya

dengan kesulitan menjaga serta mengingat.

a. Gangguan Memori

Penderita dismemori dicirikan mengalami kelemahan dalam

hal mengingat atau mengalami kesulitan dalam mengingat dan

mengolah informasi, sehingga dapat disimpan dalam memori

jangka panjang. Sebagai contoh, siswa penderita keterlambatan

memori akan belajar dengan menatap buku catatan atau

membaca daftar kata-kata sukar terus-menerus, di mana hal ini

merupakan strategi belajar yang kurang efektif. Akibatnya,

kesulitan dalam pengingat juga akan berpengaruk pada memori

jangka panjang anak, ketika harus menemukan serta mengingat

suatu hal dalam waktu singkat.

b. Gangguan Metakognisi

Penderita gangguan metakognisi, yakni terganggunya

kesadaran tentang bagaimana individu berpikir serta memantau

apa yang dipikirkannya. Hasil riset menyatakan bahwa penderita

dismetakognisi tidak mengetahui strategi kognitif efektif dalam

menerima, mengolah, menyimpan, serta memahami suatu

21 | P a g e
informasi. Kelemahan dalam bidang ini pada akhirnya akan

memengaruhi kemampuan mereka untuk menerapkan suatu

strategi dalam tempat serta waktu yang tepat (Mercer, 2007).

22 | P a g e
c. Kesulitan Memusatkan Perhatian

Hampir dari 4 juta anak sekolah dasar menederita kesulitan

belajar. Berdasarkan data yang ada, 20% dari mereka mengalami

kesulitan dalam memusatkan perhatian. Anak-anak atau orang

dewasa yang menderita kesulitan dalam memusatkan perhatian

biasanya gemar melakukan aktivitas secara berlebihan. Kendati

demikian, saat mereka berhasil memusatkan perhatian itu

dengan mudah hilang kembali (temporal). Hal ini dialami oleh

anak yang cenderung hidup dalam dunianya sendiri.

Anak-anak dengan kesulitan memusatkan perhatian (ADHD)

mengalami beberapa jenis kesulitan. Jika anak-anak dengan

kategori ini memiliki kepribadian pendiam akan menjadi

penyebab mengapa gangguan pada mereka kerap tidak terdeteksi.

Pada penderita gangguan semacam ini mungkin dapat terus naik

kelas, tanpa perlu mendapat bimbingan khusus.

Penderita ADHD (Attention Devicit Hiperactivity Disorder),

sebagian besar diderita anak laki-laki, gangguan perhatian sering

diikuti dengan sikap hiperaktif. Seorang anak yang mengalami

permasalahan dalam memusatkan perhatian, pada saat

bersamaan juga bertingkah laku hiperaktif. Anak-anak semacam

ini gemar berprilaku sesuai hati mereka, berlari-lari di jalan raya

atau berdiri di atas meja.

Seperti halnya anak, yang melompat-lompat di atas sofa

hingga hampir pingsan kehausan, maka anak-anak hiperaktif

tidak sanggup hidup tenang. Mereka berteriak-teriak dan

memotong pembicaraan. Dalam bermain, mereka tidak sanggup

23 | P a g e
menunggu giliran. Apa yang dialami anak-anak seperti ini

amatlah sulit untuk diabaikan begitu saja. Karena adanya

ledakan energi ini, anak-anak hiperaktif sering bermasalah

dengan orangtua, guru dan teman-temanya.

Dalam diri orang dewasa, sikap hiperaktif sering tampak

dalam wujud kegugupan dan kegelisahan. Namun, masalah yang

berkaitan dengan perhatian dan konsentrasi ini terus berlanjut.

Di tempat kerja orang dewasa penderita ADHD sering mengalami

masalah berkaitan dengan penyusunan tugas dalam

menyelesaikan pekerjaan mereka. Mereka seolah-olah tidak

mendengarkan atau tidak bersedia mengikuti pengarahan,

pekerjaan mereka terlihat kacau dan terbengkalai.

Kesulitan dalam memusatkan perhatian, baik yang disertai

sikap hiperaktif atau tidak, tidak dianggap sebagai kesulitan

belajar. Kendati demikian, kesulitan dalam memusatkan

perhatian dapat mengaruhi performa akademis anak secara

serius, dimana gangguan ini kerap menyertai kelemahan dalam

kemampuan akademis.

24 | P a g e
Bagian Kedua

SEKOLAH INKLUSI ADALAH MODEL PENDIDIKAN


UNTUK SEMUA

Pengertian
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) dan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Pasal 5 ayat (1) menghendaki negara memberikan jaminan

sepenuhnya kepada peserta didik berkebutuhan khusus dalam

memperoleh layanan pendidikan bermutu. Siapapun, asal anak

negeri termasuk siswa berkebutuhan khusus berhak atas

kesempatan yang sama dengan pesereta didik pada umumnya dalam

memperoleh pelayanan pendidikan terbaik. Layanan pendidikan

terbaik baginya adalah layanan pendidikan yang disesuaikan dengan

hambatan perkembangan dan belajarnya.


Pendidikan inklusi adalah program pendidikan yang

mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan

kebutuhan dan kemampuannya, termasuk di dalamnya siswa

berkelainan atau berkebutuhan khusus (Smith, 2009). Choate (dalam

Dyah, 2010) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah

25 | P a g e
yang mengijinkan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus

untuk dapat belajar di kelas pendidikan umum. Denis, Enrica (dalam

Barokah, 2011) pengertian inklusi secara umum berarti bahwa

peserta didik berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan

pendidikan utama di dalam kelas umum dan di bawah tanggung

jawab seorang guru kelas umum. Pendidikan inklusi juga merupakan

suatu komitmen untuk melibatkan siswa-siswi yang memiliki

habatan dalam setiap tingkat pendidikan mereka yang

memungkinkan.

Indeks untuk inklusi (dalam Stubs 2007) dinyatakan bahwa

inklusi dalam pendidikan merupakan proses peningkatan partisipasi

siswa dan mengurangi keterpisahan dari budaya, kurikulum dan

komunitas setempat. Selain itu Smith (2009), menambahkkan bahwa

inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan

ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri

(visi-misi) sekolah. Hidayat (2011) pendidikan inklusi terfokus pada

setiap kelebihan yang dibawa anak ke sekolah daripada kekurangan

mereka yang terlihat dan secara khusus melihat pada bidang mana
anak-anak dapat mengambil bagian untuk berpartisipasi dalam

kehidupan normal masyarakat atau sekolah, atau memperhatikan

apakah mereka memiliki hambatan fisik dan sosial karena

lingkungan yang tidak kondusif.

Salamanca (dalam Barokah, 2011) menyatakan bahwa

pendidikan inklusif merupakan perkembangan pelayanan pendidikan

bagi anak berkebutuhan khusus, dimana prinsip mendasar dari

pendidikan inklusi, selama memingkinkan, semua anak atau peserta

26 | P a g e
didik sepatutnya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan

ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Suparno, dkk

(2012) mengemukakan, konsep inklusi lebih menekankan pada

upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak

berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi sebenarnya merupakan

perkembangan lebih lanjut dari program mainstreaming yang sudah

beberapa dekade diterapkan secara luas oleh para pendidik di

berbagai negara untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Hidayat (2011) meyimpulkan bahwa model lingkungan

pembelajaran inklusi dapat memotivasi guru, pengelola atau kepala

sekolah, anak, keluarga dan masyarakat untuk membantu

pembelajaran anak, misalnya di kelas peserta didik beserta guru

bertanggung jawab terhadap pembelajaran dan secara aktif

berpartisipasi di dalamnya. Puri (2007) menyebut pendidikan inklusi

dapat memberikan kesempatan bagi perencana, perancang,

pembuatan kebijakan, administrator dan pelaksana untuk bekerja

dan mengembangkan konsep secara universal. Dalam arti,

pendidikan inklusi adalah format pendidikan ideal yang tidak hanya

mengajarkan akademik dan intelektual, tetapi juga mengajarkan

pembentukan sikap dan mental, seperti rasa percaya diri, sikap

positif dan gairah hidup.

Sekolah inklusi dapat dikatakan sebagai sekolah yang

menyelenggarakan semua peserta didik, baik normal maupun

berkelainan di kelas yang sama (Stainback dalam Yuastutik 2011).

Sekolah inklusi adalah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan

inklusif, dengan sistem menyertakan siswa berkebutuhan khusus

27 | P a g e
untuk dapat belajar bersama dengan siswa normal di kelas sekolah

reguler. Sekolah inklusi juga disebut sebagai sekolah yang

menyelenggarakan pendidikan inklusif dengan prinsip Educational

For All (Sukarlik, 2008).

Substansinya, bahwa sekolah adalah sekolah reguler yang

membuka layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus,

kesempatan yang sama untuk belajar bersama dengan siswa normal

di kelas reguler, tetapi tetap mendapatkan pelayanan pembelajaran

khusus.

28 | P a g e
Latar Belakang

Tekanan untuk meneruskan dan memperluas program kelas

khusus menjadi hal yang sangat penting saat ini. Pemindahan anak

dari kelas reguler ke kelas khusus, memungkinkan memberikan

pengaruh signifikan bagi anak, terutama untuk perasaan rendah diri

dan problem penerimaan diri (Dunn dalam Smith 2009). ELias &

Maurice (dalam Barokah 2011), menyatakan bahwa:

Pelayanan pendidikan yang selama ini diberlakukan


seakan membentuk kotak-kotak pelayanan pendidikan,
yang secara psikologis sangat merugikan peserta didik
dalam bersosialisasi, yang mestinya dalam peletakan dasar
pembelajaran harus diberikan dengan suguhan-suguhan
menyeluruh tentang kehidupan nyata, bahwa di sekeliling
kehidupannya ada kehidupan yang berbeda dari dirinya,
namun kenyataan yang sering ditemukan dalam dunia
pendidikan hanyalah keterbatasan-keterbatasan yang
tidak mampu memberikan sumbangan yang bermakna
bagi perkembangan peserta didik khususnya dalam
menuju kedewasaannya, karena dalam masa pembelajaran
peserta didik adalah masa untuk belajar menjadi orang
dewasa bukan remaja yang sukses.

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk

menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena

itu, negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan

pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali

termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan

(difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 ayat (1).

Tetapi faktanya, sistem pendidikan di Indonesia belum

mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya

29 | P a g e
segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan

agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan fisik dan mental

yang dimiliki oleh siswa. Jelas kondisi ini telah menghambat para

siswa untuk dapat belajar menghormati realitas kehidupan dalam

masyarakat.

Perhatian pemerintah tentang pentingnya pendidikan inklusif,

kemudian ditunjukkan dengan menerbitkan surat persetujuan

tentang perlunya merancang sistem pendidikan inklusif bagi anak

berkebutuhan khusus (Tarsidi, 2007). Keberhasilan tersebut telah

mendorong penertiban Surat Keputusan Menteri Pendidikan No.

002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat. Sayang,

dalam praktiknya pendidikan integrasi kurang mendapat perhatian

dan minim implementasi, terutama di jenjang SD. Akhir 1990-an,

kemudian upaya baru dihadirkan untuk mengembangkan pendidikan

inklusif melalui proyek kerja sama antara Depdiknas dan pemerintah

Norwegia, di bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat PLB.

Robert (2007), menyebutkan pendidikan inklusi adalah Hak

Asasi Manusia, di samping merupakan pendidikan yang baik dan


dapat menumbuhkan rasa sosial. Ada beberapa argumen di balik

pernyataan bahwa pendidikan inklusi merupakan hak asasi

manusia: (1) semua anak memiliki hak untuk belajar bersama; (2)

anak-anak seharusnya tidak dihargai dan didiskriminasikan dengan

cara dikeluarkan atau disisihkan hanya karena kesulitan belajar dan

ketidakmampuan mereka; (3) orang dewasa yang cacat,

menggambarkan diri mereka sendiri sebagai pengawas sekolah

khusus, menghendaki akhir dari segregrasi (pemisahan sosial) yang

30 | P a g e
terjadi selama ini; (4) tidak ada alasan untuk memisahkan anak dari

pendidikan mereka, anak-anak memiliki kesamaan dalam aspek

belajar terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Alasan-alasan lain yang mendasari pernyataan bahwa

pendidikan inklusi adalah pendidikan yang baik, diantaranya: (1)

penelitian menunjukkan bahwa anak-anak akan bekerja lebih baik,

baik secara akademik maupun sosial, dalam setting inklusif; (2) tidak

ada pengajaran atau pengasuhan dalam sekolah yang terpisah atau

khusus yang tidak dapat terjadi dalam sekolah biasa; (3) dengan

diberi komitmen dan dukungan, pendidikan inklusif merupakan

suatu penggunaan sumber-sumber pendidikan yang lebih efektif.

Dasar Pelaksanaan

Suparno, dkk (2012) mengemukakan bahwa pelaksanaan

pendidikan inklusi, didasarkan pada beberapa landasan filosofis dan

yuridis-empiris.

1. Dasar Filosofis

Secara filosofis, implementasi sekolah inklusi mengacu pada

beberapa hal, diantaranya: (1) pendidikan adalah mendasar bagi

setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus; (2) anak adalah

pribadi unik yang memiliki karakteristik, minat, kemampuan dan

kebutuhan yang berbeda-beda; (3) penyelenggaraan pendidikan

menjadi tanggung jawab bersama antara orangtua, masyarakat dan

pemerintah; (4) setiap anak berhak mendapat pendidikan yang layak;

31 | P a g e
(5) setiap anak berhak mendapat akses pendidikan yang ada di

lingkungan sekitarnya.

Pertimbangan filosofis yang menjadi basis pendidikan inklusif

paling tidak dilandasi tiga aspek, yaitu: (1) hambatan dipandang dari

lingkungan sekolah, lingkungan sekolah harus memainkan peran

sentral dalam transformasi hambatan-hambatan peserta didik; (2)

perspektif holistik dalam memandang peserta didik, setiap peserta

didik dipandang mampu dan kreatif secara potensial. Sekolah

bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan di mana potensi-

potensi tersebut berkembang; dan (3) prinsip non-segresi, sekolah

memberikan pemenuhan kebutuhan kepada semua peserta didik.

Organisasi dan alokasi sumber harus cukup fleksibel dalam

memberikan dukungan yang dibutuhkan kelas. Masalah yang

dihadapi peserta didik harus didiskusikan terus menerus di antara

staf sekolah, agar dipecahkan sedini mungkin untuk mencegah

munculnya masalah-masalah lain (UNESCO, 2003).

2. Dasar Yuridis-Empiris
Dasar sekolah inklusi secara yuridis-empiris tercantum dalam

beberapa kebijakan berikut:

1. UUSPN No. 20 Tahun 2003, pasal 5 ayat (1) dan (2)

Ayat 1: "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk


memperoleh pendidikan yang bermutu".
Ayat 2: "Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus".

2. UUSPN No. 20 Tahun 2003 pasal 6 ayat 15 yang berbunyi:

32 | P a g e
"Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan
untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang
memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara
inklusi atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat
pendidikan dasar dan menengah".

3. UUD 1945 pasal 31 ayat (1), (2) dan (3)

Ayat 1: "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan"


Ayat 2: "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan menengah dan pemerintah wajib membiayainya".

4. Permen No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan

Pendidikan Dasar dan Menengah.

"Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah yang


selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal
dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai lulusan
kompetensi minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu".

5. Permen No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan

(SKL)

6. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Tahun 1948

7. Konvensi PBB tentang Hak Anak, Tahun 1989

8. Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (Jomtien),

Tahun 1990

9. Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Para

Penyandang Cacat, Tahun 1993.

10. Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan

Kebutuhan Khusus, Tahun 1994.

11. Tinjauan 5 Tahun Salamanca, Tahun 1999

12. Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia (Dakar), Tahun 2000

33 | P a g e
13. Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada Penurunan

Angka Kemiskinan dan Pembangunan, Tahun 2000.

14. Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan, Tahun 2001

15. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), pasal 32.

16. Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif

Bagi Peserta Didik yang memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi

Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

Penyelenggara

Sesuai dengan peraturan perundangan yang ada, pendidikan

inklusi hanya berlaku bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang

kemampuan intelektualnya tidak berada di bawah rata-rata.

Suparno, dkk (2012) menyebutkan sekolah penyelenggara pendidikan

inklusi harus memenuhi beberapa persyaratan yang sudah

ditentukan, antara lain: keberadaan siswa berkebutuhan khusus,

komitmen terhadap pendidikan inklusi, manajemen sekolah, sarana

prasarana dan ketenagaan.

Penerimaan siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi,

terlebih dahulu perlu diadakan identifikasi oleh guru, terutama guru

kelas dan guru mata pelajaran. Sebab pada umumnya guru memiliki

catatan atau rekaman tentang perkembangan masing-masing siswa,

bagaimana kondisinya dan kebutuhan pendidikan yang diperlukan,

terlebih bagi anak berkebutuhan khusus (Suparno, dkk., 2012). Jika

belum dimiliki, maka untuk mengenali anak-anak berkebutuhan

34 | P a g e
khusus dapat dimulai dengan menggunakan sejumlah instrumen

indentifikasi.

Identifikasi adalah usaha untuk mengenali dan atau

menemukan anak berkebutuhan khusus, sesuai dengan ciri-ciri yang

ada. Suparno, dkk (2012) mengungkapkan ada beberapa ruang

lingkung dalam identifikasi mencakup kondisi fisik, kemampuan

intelektual, emosional dan sosial. Dalam identifikasi beberapa teknik

yang dapat digunakan guru, antara lain: observasi, wawancara, tes

akademik dan psikologi. Identifikasi bertujuan untuk: (1) menyaring

kemampuan anak; (2) pengklasifikasian, penempatan dan penentuan

program; (3) penentuan arah dan tujuan pendidikan; (4)

pengembangan program pendidikan individual; dan (5) penentuan

strategi pembelajaran.

Karakteristik Pembelajaran

Smith (2009) menyatakan bahwa banyak teknik dan konsep

yang telah diterapkan oleh pendidik, termasuk metodologi yang

digunakan untuk mempermudah proses pembelajaran bagi siswa

berkesulitan belajar di sekolah. Jika konsep ini digunakan dengan

baik, maka aka terwujud kelas inklusi dengan sifat atau karakteristik

berikut:

1. Pengajaran proses berbagi yang aktif dan kreatif;

2. Siswa ditempatkan dalam kelompok dengan tujuan untuk

keragaman kegiatan, karena mereka memiliki kebutuhan yang

sama bagi aktivitas lainnya;

35 | P a g e
3. Daripada siswa meninggalkan kelas untuk pelayanan

pembelajaran khusus, lebih baik dukungan sumberdaya yang ada

dibawa ke kelas bagi siswa berkebutuhan khusus;

4. Siswa ditempatkan pada tingkatkan yang sesuai dengan usianya

dan disediakan pengajaran menurut kebutuhannya;

5. Kurikulum untuk setiap siswa (dengan atau tanpa hambatan)

adalah individual;

6. Guru Pendamping Khusus (GPK) dan sumberdaya khusus

dimanfaatkan untuk membantu setiap siswa yang memiliki

kebutuhan khusus, agar dapat terpenuhi oleh layanan

pendidikan ini; dan

7. Semua kemajuan siswa dinilai menurut tujuan dan standar

individual.

Dalam kegiatan pembelajaran, pasti tidak lepas dari kurikulum

dan kurikulum digunakan oleh guru sebagai acuan dasar pembuatan

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yang kemudian menjadi

pedoman pelaksanaan pembelajaran. Hidayat (2011) menyebutkan:


Persoalan kurikulum di sekolah inklusi merupakan
tantangan terbesar bagi guru-guru dan sekolah-sekolah
dalam mempertahankan keikutsertaan dan
memaksimalkan partisipasi semua anak. Penyesuaian
kurikulum bukanlah tentang penurunan standar
persyaratan atau membuat latihan menjadi lebih mudah
bagi murid-murid yang mempunyai keterbatasan atau
berkebutuhan khusus. Tetapi lebih merupakan
pemenuhan terhadap keanekaragaman yang
membutuhkan perencanaan dan persiapan yang matang
oleh para guru, orangtua murid, guru kelas, ahli dan staf.

36 | P a g e
Kurikulum yang digunakan pada sekolah inklusi idealnya

adalah kurikulum yang sama seperti yang diterapkan pada siswa

reguler dan dimodifikasi sesuai kemampuan dan kekhusuan ABK (PPI

ABK). Hal ini sesuai dengan kebijakan Permendiknas RI No. 19 tahun

2007 dan Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, yang

menyatakan bahwa dalam pendidikan inklusi perlu ada penyesuaian

kurikulum dengan mempertimbangkan kondisi peserta didik.

Hidayat (2011) menyebutkan bahwa proses layanan

pembelajaran bukan didasarkan pada bentuk layanan sama rata dan

sama rasa serta disampaikan secara klasikal, tetapi lebih diarahkan

pada bentuk pembelajaran yang lebih demokratis dan proposional,

sesuai dengan target belajar masing-masing kelompok anak. Proses

belajar anak berkebutuhan khusus, juga tidak dipisahkan

berdasarkan kelompok dan komunitasnya, melainkan mereka dapat

belajar bersama-sama dengan teman sebaya di kelas reguler.

Model Pembelajaran

Kegiatan belajar mengajar di sekolah inklusi, berprinsip pada

kesamaan peran dan kegiatan belajar antara siswa berkebutuhan

khusus dengan siswa reguler. Akan tetapi dalam keterampilan

tertentu, anak mempunyai kelas dan guru tutor tersendiri sesuai

dengan kebutuhan masing-masing (Puri, 2009). Lombardi (dalam

Smith, 2009) menyebutkan beberapa model pembelajaran yang dapat

meningkatkan keberhasilan belajar kelas inklusi, diantaranya:

1. Pengajaran lansung (Direct Instruction), dibuat suatu penekanan

pada penggunaan struktur yang ringan dan jadwal waktu kelas,

37 | P a g e
menggunakan seluruh sumberdaya guru secara efisien (baik

pendidikan umum maupun khusus) dan pemantauan kemajuan

secara seksama;

2. Intervensi dan strategi (Strategi Intervention), dibuat suatu

pendekatan pada kemampuan pengajaran seperti: mendengar

(listening), membuat catatan (note talking), pertanyaan mandiri

(self questioning), tes lisan (tes talking) dan pemanfaatan

kesalahan (error monitor);

3. Tim asistensi guru (teacher assistance team) yakni guru umum

dan guru pendidikan khusus bekerja sebagai tim, mereka

bertemu secara teratur untuk mengatasi masalah dan

memberikan bantuan kepada anggota mereka dalam mengatur

sikap siswa dan pertanyaan mengenai kesulitan akademis;

4. Model guru sebagai konsultan (consulting teacher model), yaitu

guru-guru khusus dilatih sebagai konsultan untuk memberikan

bimbingan dan bantuan kepada guru kelas atau guru mata

pelajaran. Mereka juga melatih para profesional yang ditugaskan

di kelas umum untuk membantu kesulitan siswa penyandang

hambatan.

Manfaat
Penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah inklusi pada

sekolah-sekolah umum dan kejuruan, banyak memberikan manfaat

bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus, orangtua, pendidik dan

tenaga kependidikan, para ahli, masyarakat, termasuk pemerintah

dan sekolah. Sebab sistem pendidikan ini, bukan hanya model

38 | P a g e
interpretasi pendidikan terbaik menurut UUD 1945, tetapi juga

merupakan sistem pendidikan yang sebenarnya, inklusif dan tidak

diskriminatif.
Bagi anak/peserta didik, sekolah inklusi dapat memberikan

ruang bagi mereka untuk mendapatkan perlakukan dan kesempatan

yang sama dalam belajar dan sekolah, mengikis klaim atau label

sebagai anak yang tidak normal dan bermasalah, mengajarkan

keyakinan pada anak bahwa mereka terlahir dengan kesempatan

yang sama untuk tumbuh dan berkembang. Meningkatkan

kemandirian, cara berdaptasi, hidup lebih aktif dan ceria,

menghargai perbedaan, serta memperoleh kesempatan untuk

bersosialisasi dan berbagi dengan peserta didik pada umumnya

secara alami.
Bagi peserta didik secara umum, di sekolah inklusi semua

peserta didik dapat belajar tentang keanekaragaman dan

menghormati potensi dan bakat orang lain, menghargai keterbatasan

dan kelebihan masing-masing serta meyakini bahwa manusia adalah

ciptaan terbaik Tuhan YME. Setiap peserta didik dapat


mengmebangkan keterampilan sosial dan bakat terbaik yang dimiliki,

berempati terhadap problem perkembangan dan belajar teman-

temannya dengan kebutuhan khusus serta terdorong untuk

membantunya.
Bagi pendidik dan peserta didik, sekolah inklusi dapat

mendorong guru meningkatkan kompetensi pedagogik, profesional,

kepribadian dan manajerial yang dimiliki. Terdorong untuk mengajar

dan mempersiapkan pembelajaran lebih baik, lebih bisa

mengakomodasi semua peserta didik dengan segenap latar belakang

39 | P a g e
intelektual, psikologis, dan sosial yang dimiliki. Mendorong guru

untuk lebih kreatif dan terampil dalam menerapkan dan

mengembangkan berbagai model pembelajaran, khususnya bagi

siswa dengan berkebutuhan khusus. Mendorong guru agar lebih

terbuka terhadap perbedaan atau keberagaman peserta didik serta

membantu menyelesaikan masalah-masalah perkembangan dan

belajar yang dimiliki.


Bagi orangtua, sekolah inklusi dapat memberikan manfaat

untuk merasa dihargai dalam proses belajar dan sekolah bagi anak-

anaknya dengan berkebutuhan khusus. Orangtua akan merasa

senang ketika anaknya mampu bersosialisasi dengan teman

sebayanya dan diberlakukan sama, tanpa harus dikucilkan di

lingkungannya. Orangtua mengetahui cara membimbing dan

menghargai anaknya dengan lebih baik, baik dalam belajar maupun

ketika bersosialisasi dengan teman sebayanya. Menerima,

mensyukuri, dan meyakini bahwa anak dilahirkan dalam keadaan

istimewa, lengkap dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki.


Bagi pemerintah, sekolah inklusi merupakan model kebijakan
pendidikan sebenarnya yang terlaksana berlandaskan asas

demokrasi, berkeadilan dan tidak diskriminatif. Sehingga dapat

memupuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, mengenai

keseriusannya dalam menyelenggarakan pendidikan terbaik dalam

bentuk pendidikan untuk semua (education for all) untuk anak

negeri. Manfaat lain dari penyelenggaraan pendidikan inklusif ini

dapat mendorong percepatan program tuntas wajib belajar

pendidikan dasar sembilan tahun.

40 | P a g e
Bagi masyarakat, penyelenggaraan sekolah inklusi dapat

memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat dalam

mendapatkan pelayanan pendidikan terbaik. Masyarakat menjadi

lebih sadar bahwa setiap peserta didik khususnya bagi mereka yang

berkebutuhan khusus, berhak memperoleh pendidikan yang sama.


Bagi sekolah, penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah

inklusi dapat meningkatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat

luas bahwa sistem pendidikan di Indonesia jauh lebih terbuka dan

memanusiakan serta terpusat pada anak (child centre), baik dalam

tumbuh kembang dan kematangan akademiknya.

Keseriusan Dalam Penyelenggaraan

Sekolah inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang

mempersyaratkan agar semua anak yang berkelainan dapat dilayani

di sekolah-sekolah terdekat, di kelas-kelas regular bersama teman

sebayanya. Karena itu, ditekankan adanya restrukrisasi terhadap

penyelenggaraan sekolah inklusi, sehingga tersedia sumber belajar

yang kaya dan mendapat dukungan dari semua pihak, baik dari para
siswa, guru, orangtua, dan masyarakat sekitar. Melalui sekolah

inklusi, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama dengan

anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki

(Freiberg, 2005). Hal ini dilandasi kenyataan bahwa di masyarakat

terdapat anak normal dan anak berkebutuhan khusus (berkelainan)

yang tidak dapat dipisahkan sebagai sebuah komunitas.

Florian (2005) mengemukakan bahwa sekolah inklusi memiliki

prinsip-prinsip filosofis, sebagai berikut: (1) semua anak mempunyai

41 | P a g e
hak untuk belajar dan bermain bersama; (2) anak-anak tidak boleh

direndahkan atau dibedakan berdasarkan keterbatasan atau

kesulitannya dalam belajar; dan (3) tidak ada satu alasanpun yang

dibenarkan untuk memisahkan anak selama ia sekolah.

Anak normal dan anak berkebutuhan khusus memiliki

kesulitan belajar maisng-masing dan perlu digunakan berbagai cara

yang berbeda-beda dalam menanganinya. Setiap guru dan orangtua

harus mempertimbangkan apa yang dibutuhkan setiap anak, untuk

dapat berkembang dan belajar dengan cara terbaik. Setiap

pendidikan perlu menemukan metode terbaik agar anak mau dan

mampu belajar bersama secara damai. Tiga penghambat belajar

bersama adalah menekan yang lemah, perasangka buruk, dan

diskriminatif (Dit. PSLB, 2004:20)

Dalam proses pembelajaran, guru/ pendidik memiliki tanggung

jawab untuk mendorong, membimbing, dan memfasilitasi siswa agar

sampai pada tujuan belajar. Guru mempunyai tanggung jawab untuk

melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu

proses perkembangan siswa. Karen dan Wilson (2007), menjelasakn


kinerja guru adalah kemampuan yang didasari oleh pengetahuan,

sikap, keterampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu.

Karena itu, guru sekolah inklusi harus dapat menciptakan dan

menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman,

menghargai perbedaan, mengembangkan pembelajaran kooperatif,

melibatkan kerja sama antar siswa, dan mengajar secara interaktif.

Perlu dipahami bahwa sekolah inklusi adalah model sekolah

yang meyediakan program pendidikan yang dapat menanamkan nilai-

42 | P a g e
nilai, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan

setiap siswa. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat

setiap anak agar dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut,

saling membantu dengan guru dan teman sebayannya, maupun

anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat

terpenuhi.

Sekolah inklusi adalah penempatan anak berkelainan dan

mengalami keterlambatan perkembangan di tingkat ringan, sedang,

dan berat secara penuh di kelas regular. Hal ini menunjukkan bahwa

kelas regular merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak

berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun

gradasinya. Untuk itu, menurut Karten (2005) guru inklusi (yang

lebih dikenal dengan Guru Pendamping Khusus/GPK) harus memiliki

kemampuan dalam pembelajaran yang menyangkut kurikulum,

interaksi belajar, mengajar, penilaian, karakteristik, potensi, minat

dan bakat anak berkebutuhan khusus.

Sekolah inklusi harus siap mengelola kelas yang heterogen

dengan menerapkan berbagai kurikulum (modifikasi kurikulum) dan


pembelajaran yang bersifat individual (Program Pembelajaran

Individual/PPI) dan kelompok, modifikasi perilaku dan terapi. Dalam

hal ini, GPK dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi dan

sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

Guru juga dituntut melibatkan kepala sekolah, siswa dan orangtua

secara bermakna dalam proses penyelenggaraan sekolah inklusi, baik

dalam proses pembelajaran dan tindak lanjutnya. Oleh karena itu,

keseriusan dalam hal ini menjadi sangat penting.

43 | P a g e
44 | P a g e
Bagian Ketiga

PENDEKATAN MANAJEMEN PEMBELAJARAN EFEKTIF


ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)
DI SEKOLAH INKLUSI

Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang secara

kualitas atau kuantitas menyimpang dari rata-rata anak normal,

dalam hal ciri-ciri fisik, sikap, mental, sensorik, neuromuskular,

perilaku sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi maupun

kombinasi dua atau lebih dari hal-hal di atas. Sejauh masih

memerlukan modifikasi atas tugas-tugas sekolah, metode belajar, dan

pelayanan terkait lainnya, yang ditujukan untuk mengembangkan

potensi dan tumbuh kembangnya secara maksimal, berarti mereka

masih berkategori anak berkebutuhan khusus.

Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB), menyebut

kategori ABK antara lain: (1) Tunanetra; (2) Tunarungu; (3) Down

Syndrome; (4) Tunadaksa; (5) Tunalaras (Dysruptive); (6) Tunawicara;

(7) Tunaganda; (8) HIV AIDS; (9) Gifted; (10) Talented; (11) Kesulitan

Belajar (ADHD, Dyslexia, Dysgraphia, Dyscalculia, Dysphasia,

Dyspraxia, Dysmemory, Dysmetacognity); (12) Slow learner; (13) Autis;

45 | P a g e
(14) Korban Penyalahgunaan Narkoba; dan (15) Indigo. Sementara,

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) membagi

anak berkebutuhan khusus, menjadi tiga kategori besar yaitu: (1)

kesulitan dalam berbicara dan berbahasa; (2) bermasalah dalam hal

kemampuan akademik; dan (3) kesulitan lainnya, mencakup

kesulitan dalam mengkoordinasikan gerakan anggota tubuh serta

permasalahan lain yang belum tercakup ke dalam kedua kategori di

atas.

Anak berkebutuhan khusus dalam perkembangannya, termasuk

individu yang memerlukan persyaratan pendidikan khusus dan

berbeda dari rata-rata anak normal. Untuk dapat belajar efektif

mereka memerlukan program, pelayanan, fasilitas dan materi yang

juga khusus. Sehingga menuntut pemahaman holistik (secara bio-

psiko-sosial) dari para orangtua, pendidik, ahli, dan lingkungan

terhadap tumbuh kembangnya. Dalam praktiknya, kemudian lahir

pendidikan inklusi, yang merupakan program pembelajaran yang

didesain secara khusus untuk memenuhi kebutuhan anak-anak

dengan keterbatasan (difabel) di kelas sekolah reguler.

Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif

menyebutkan, pendidikan inklusi adalah penyelenggaraan

pendidikan yang menitikberatkan dan memberikan kesempatan yang

sama kepada semua peserta didik, baik dengan kelainan dan/atau

potensi kecerdasan (bakat) istimewa, untuk mengikuti pendidikan

secara bersama-sama pada satuan pendidikan umum. Pendidikan

inklusi juga diartikan sebagai pendidikan yang mengakomodasi

semua anak tanpa memandang kondisi fisik, psikis, dan sosialnya,

46 | P a g e
yang diselenggarakan melalui sekolah inklusi. Sekolah inklusi adalah

sekolah reguler yang berorientasi inklusif dan dilaksanakan untuk

memenuhi hak pendidikan semua anak, tanpa menghiraukan

perbedaannya.

Pelaksanaan pendidikan inklusi dilandasi keyakinan bahwa

semua anak istimewa, berbakat, dan bisa manyatu dalam komunitas

sekolah yang sama. Terlepas dari kemampuan dan

ketidakmampuannya, perbedaan latar belakang budaya atau bahasa,

bakat atau minat, cacat mental atau tidak, agama atau gender.

Karena itu, sangat penting untuk terus dilakukan penyempurnaan,

adaptasi dan modifikasi terhadap manajemen pendidikan inklusi,

mengingat selama ini masih jauh dari kata sempurna dan

memanusiakan (humanis).

Fakta mendasar belum maksimalnya penyelenggaraan

pendidikan inklusi, antara lain: (1) kurikulum inklusi belum

sepenuhnya berbasis pada masalah-masalah dan tahap

perkembangan anak; (2) kegiatan pembelajaran dan pendampingan,

masih sangat terfokus pada pengembangan potensi akademik, bukan

pada minat dan bakat anak; (3) kompetensi pedagogik, kepribadian,

sosial, dan profesional pendidik dan tenaga kependidikan, belum

sepenuhnya mengarah pada kualifikasi yang dibutuhkan dalam

penyelenggaraan sekolah inklusi; (4) sarana, prasarana dan

pembiayaan sekolah inklusi masih jauh dari kata cukup. Karena itu,

sudah saatnya dilakukan restrukturisasi sumberdaya kependidikan

pada sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga penyelenggara

pendidikan inklusi.

47 | P a g e
Praktik penyelenggaraan sekolah inklusi (penerimaan dan

assesmen, RPP, PPI, modifikasi kurikulum, modifikasi perilaku dan

program terapi), harus benar-benar berbasis pada masalah anak,

mengembangkan pendidikan belajar dan bermain, bertujuan

mengembangkan kecerdasan beragam anak (Multiple Intelligence),

serta mengembangkan minat dan bakat anak. Anak-anak dengan

kebutuhan khusus, sebenarnya lebih membutuhkan pengembangan

minat dan bakat, daripada pengembangan akademik dan kognitif,

sebab masalah neuorologis dan klinis yang dialami. Karena itu,

dengan menghadirkan manajemen pembelajaran berbasis Multiple

Intelligences menjadi sangat penting untuk kemandirian dan

kesuksesannya.

Manajemen pembelajaran berbasis Multiple Intelligences adalah

pengelolaan pembelajaran yang mendasarkan pada kerangka

pemenuhan kebutuhan peserta didik dalam mengasah dan

mengoptimalkan minat dan bakat anak, yang berdasar pada potensi

kecerdasan yang dimiliki (linguistik, matematika, visual-spasial,

kinestetik, musik, interpersonal, intrapersonal, dan natural). Desain

pembelajaran ini, tidak saja mendasarkan pada optimalisasi

kecerdasan dominan anak, melainkan juga menghadirkan konstruk

pembentukan watak positif bagi anak. Manajemen pembelajaran

berbasis Multiple Intelligences, dilandasi semangat dan keyakinan

bahwa semua anak dilahirkan istimewa, unik dan dianugerahi

segenap kelebihan. Anak-anak berkebutuhan khusus bagaimanapun

kondisinya, tetap memiliki aspek yang dapat dioptimalkan dan

bermanfaat bagi sekitar. Tidak ada produk ciptaan Tuhan yang gagal,

48 | P a g e
yang ada hanyalah banyak orangtua, pendidik, ahli dan lingkungan

yang belum mengerti bagaimana cara memaksimalkan segenap

potensinya.

49 | P a g e
MANAJEMEN PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS BERBASIS MULTIPLE
INTELLIGENCE DI LEMBAGA PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSI

Input dan Identifikasi Multiple Intelligence (MI), Logik-Matematik


Kepribadian (Anamnesa, Diagnosa & Pemeriksaan
ABK) Tim Ahli Psikolog/Psikiater Linguistik

Persiapan & Pengembangan Sumberdaya PTK Visual-Spasial


Planning
Orangtua Tenaga Terlatih
(P)
Perumusan Kurikulum Multiple Intelligence Musik

Sekolah/Guru Kinestetik
Pembentukan Badan/Unit Penjamin Mutu
Interpersonal
Pembina
GPK/PLB Terapis Ekstrakurikul Intrapersonal
er
Naturalis
Kurikulum PPI Berbasis
Perumusan Struktur Organisasi Modifikasi MI

Organizing
Pembagian Jobdes & Jobspek
(O)

Pembagian Kelas Berbasis MI


Akademik

Non-Akademik
Pembelajaran Akademik
Terapi-Modifikasi Perilaku
Actuating Pelaksanaan Pembelajaran Raport
Pembelajaran Vokasional
(P) MI Optimalisasi MI
Lomba dan Pentas Kreasi ABK

Controling & Evaluating Perencanaan Pembelajaran & Kewenangan dan Mekanisme Pelaksanaan, Evaluasi dan
(CE) Kurikulum Berbasis MI Kerja Organisasi Follow Up Hasil Pembelajaran
50 | P a g e
Manajemen Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Berbasis Multiple Intelligence

Manajemen merupakan seni dan ilmu mengelola sumber daya

pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya. Unsur-unsur dalam manajemen meliputi: (1) proses, yaitu

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan

penilaian, (2) penataan, yaitu mengalokasian sumberdaya insani dan

non-insani, (3) sumber potensial, ditinjau dari sumberdaya manusia

dan non-manusia, (4) tujuan, yaitu manajemen dilakukan sebagai

upaya pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, dan (5) pencapaian

tujuan, yaitu tujuan yang akan dicapai hendaknya efektif, tepat guna

dan efisien baik dari segi waktu, tenaga, dan biaya. Karena itu,

manajemen mengacu pada hal-hal yang bersifat spesialisasi,

kuantitatif, dan kegiatan yang mengharuskan administrator

melakukan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan

pengendalian, yang dalam konteks ini dikhususkan kepada

pembelajaran anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi.

Sejumlah ahli manajemen memiliki berbagai pandangan

mengenai fungsi manajemen. Tetapi, mereka sependapat bahwa

substansinya manajemen mencakup empat aspek, yaitu

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan kontrol atau

pengawasan.

1. Perencanaan (Planning)

51 | P a g e
Handoko (2012) mengindentifikasi perencanaan sebagai

berikut: (a) perencanaan memberikan arahan dalam menetapkan

tujuan dan prosedur terbaik dalam pencapaian tujuan; (b) organisasi

dapat memperoleh sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai

tujuan; (c) para anggota organisasi dapat melakukan kegiatan yang

konsisten dengan prosedur yang terpilih; serta (d) kemajuan dapat

terus dimonitor dan diukur, sehingga tindakan korektif dapat diambil

bila tingkat kemajuan tidak memuaskan.

Pada proses perencanaan ini, pelaku manajemen dituntut

untuk bersikap kreatif, karena kreativitas dan inovasi berdampak

pada penentuan faktor-faktor, kekuatan, pengaruh, dan hubungan-

hubungan dalam pencapaian tujuan. Secara keseluruhan fungsi

manajemen sangat bergantung pada fungsi perencanaan.

Aspek perencanaan (planning) manajemen pembelajaran

berbasis Multiple Intelligence pada anak berkebutuhan khusus, aspek

yang perlu diperhatikan, antara lain:

(a) Menentukan input siswa

Dilakukan dengan cara skreaning atau diidentifikasi dengan

pemanfatan model Multiple Intelligence untuk mengetahui potensi,

minat, bakat, dan kepribadian yang dimiliki melalui proses

anamnesa, diagnosa, dan pemeriksaan secara komprehensif.

Untuk hasil maksimal para pihak yang harus terlibat dalam

kegiatan ini, antara lain: (a) tim ahli (psikolog, psikiater, neurolog,

dokter, perawat, ahli gizi, dan/atau tenaga terlatih); (b) orangtua

serta; (c) pendidik (guru), yang bertujuan untuk mengetahui

keterlambatan-keterlambatan perkembangan dan belajar anak,

52 | P a g e
menilai kualitas kognitif, afektif, dan psikomotriknya serta

mencari dominan kecerdasan (minat dan bakat) yang dimiliki

secara logik-matematik, linguistik, visual-spasial, musik, kinestetik,

interpersonal, intrapersonal, dan naturalis.

53 | P a g e
(b) Mempersiapkan dan mengembangkan sumberdaya pendidik dan

tenaga kependidikan.

Dalam mengembangkan pembelajaran bagi anak

berkebutuhan khusus, tenaga-tenaga yang perlu dipersiapkan

dan terlatih antara lain: (a) Guru Pendamping Khusus (GPK) yang

memiliki latar belakang disiplin ilmu psikologi atau pendidikan

luar biasa; (b) terapis terlatih; dan (c) pembina ekstrakurikuler.

Untuk yang disebut terakhir, dipersiapkan dan berperan dalam

mengembangkan kemampuan vokasional anak berkebutuhan

khusus.

(c) Merumuskan dan mempersiapkan kurikulum Multiple Intelligence.

Perumusan dan pembuatan kurikulum Multiple Intelligence

harus berdasar pada masalah perkembangan dan belajar

(akademik) anak, berbasis pada minat dan bakat (Multiple

Intelligence) anak serta perlunya dimodifikasi. Modifikasi

(kurikulum, RPP, silabus, dan gaya belajar) dibutuhkan untuk

memudahkan anak berkebutuhan khusus dalam mengikuti

kegiatan pembelajaran dan pendampingan, bahasan juga perlu

dilengkapi dengan suara (audio), visual (gambar), dan kinesterik

(gerak). Sebab, jika merujuk pada paket kurikulum KTSP atau

kurikulum 2013 (K-13) yang dikeluarkan Dinas Pendidikan

(Kemendikbud), sudah dapat dipastikan anak berkebutuhan

khusus tidak dapat mengikutinya.

(d) Pembentukan badan/Unit Penjamin Mutu

Sebaiknya dalam penyelenggaraan sekolah inklusi, desain

organisasi, fungsi, dan kewenangan struktural kelembagaan

54 | P a g e
sekolah tidak disamakan dengan sistem sekolah reguler. Kalau

memang saat ini tanggung jawab kurikulum ada pada Waka

Kurikulum dan kesiswaan ada pada Waka Kesiswaan, maka

penting dalam penyelenggaraan sekolah inklusi ditambahkan

Waka Inklusi. Sebab antara sekolah reguler dan sekolah inklusi

aspek dan tanggung jawab yang dikerjakan berbeda. Dalam aspek

pembelajaran dan input siswa, sekolah inklusi memiliki beban

lebih berat daripada sekolah reguler. Sebab tidak hanya

mengantarkan siswa untuk dapat mandiri dan sukses secara

akademik (intelektual), sosial, dan spiritual, tetapi juga harus

mandiri secara kognitif, afektif, psikomotrik, yang selama ini

masih menjadi problem mendasar dalam tahap perkembangan

anak-anak berkebutuhan khusus.

Berikut sejumlah perangkat yang dapat digunakan dalam

proses anamnesa, diagnosa, dan pemeriksaan terkait kasus-kasus

anak berkebutuhan khusus, diantaranya:

PEMERIKSAAN PSIKOLOGIS

Form: 1
Informasi Perkembangan Anak
(Diisi orangtua)*

A. Identitas Anak
1. Nama :
2. Tempat & tanggal lahir :
3. Usia :
4. Jenis kelamin :
5. Agama :
6. Status anak :
7. Anak ke dari jumlah
saudara :

55 | P a g e
8. Nama sekolah :
9. Kelas :
10. Alamat :

B. Riwayat Kelahiran
1. Perkembangan masa
kehamilan :

2. Penyakit pada masa


:
kehamilan
3. Usia kanduangan :
4. Riwayat proses kelahiran :
5. Tempat kelahiran :
6. Penolong proses kelahiran :
7. Gangguan pada saat bayi
lahir :
8. Berat bayi :
9. Panjang bayi :
10. Tanda-tanda kelainan pada
bayi :

C. Perkembangan Masa Balita


1. Menetek hingga umur :
2. Minum susu kaleng hingga
umur :
3. Imunisasi (lengkap/ tidak) :
4. Pemeriksaan/ penimbangan
(rutin/ tidak) :
5. Kualitas makanan :
6. Kuantitas makanan :
7. Kesulitan makan (ya/ tidak) :

Perkembangan Fisik
1. Bisa berdiri di usia :
2. Bisa berjalan di usia :
3. Naik sepeda roda 3 di usia :
4. Naik sepeda roda 2 di usia :
5. Bicara kalimat lengkap di
usia :
6. Kesulitan gerakan yang
dialami :
7. Status gizi balita (baik/
kurang) :
8. Riwayat kesehatan (baik/
kurang) :
9. Penggunaan tangan
dominan :

56 | P a g e
D. Perkembangan Bahasa
1. Meraba/ berceloteh di usia :
2. Mengucapkan satu suku
kata yang bermakna di usia
(misalnya: pa, ma, kak) :
3. Berbicara dengan satu suku
kata bermakna pada usia :
4. Berbicara dengan kalimat
lengkap sederhana di usia :

E. Perkembangan Sosial
1. Hubungan dengan saudara :
2. Hubungan dengan teman
seusia :
3. Hubungan dengan orangtua :
4. Hobi :
5. Minat khusus :

F. Perkembangan Akademik
1. Masuk TK usia :
2. Lama pendidikan di TK :
3. Kesulitan belajar di TK :
4. Masuk SD usia :
5. Kesulitan belajar di SD :
6. Pernah tidak naik kelas
(ya/ tidak) berapa kali :
7. Layanan pendidikan khusus
yang pernah diterima anak :
8. Prestasi belajar yang
pernah dicapai :
9. Mata pelajaran yang dirasa
paling sulit :
10. Mata pelajaran yang paling
disukai :
11. Keterangan lain yang perlu
dituliskan :
12. :

Sidoarjo, 2016
Orangtua/Wali

( --------------------------- )

* Harap disi dengan teliti dan seksama

57 | P a g e
Form: 2
Data Orangtua/ Wali Siswa
(Diisi orangtua/ wali siswa)*

Identitas Orangtua/ Wali


A. Ayah
1. Nama :
2. Usia :
3. Agama :
4. Status ayah :
5. Pendidikan terakhir :
6. Pekerjaan :
7. Alamat sekarang :

B. Ibu
1. Nama :
2. Usia :
3. Agama :
4. Status ibu :
5. Pendidikan terakhir :
6. Pekerjaan :
7. Alamat sekarang :

C. Wali
1. Nama :
2. Usia :
3. Agama :
4. Status perkawinan :
5. Pendidikan terakhir :
6. Pekerjaan :
7. Alamat :
8. Hubungan keluarga :

D. Hubungan Orangtua Anak


1. Kedua orangtua tinggal
serumah (ya/ tidak) :
2. Anak tinggal serumah
bersama orangtua (ya/
tidak) :
3. Anak diasuh oleh salah satu
orangtua/ single parent
(ya/ tidak) :
4. Anak diasuh oleh wali/
saudara (ya/ tidak) :

E. Sosial Ekonomi Orangtua


1. Jabatan formal ayah di
tempat kerja (jika ada) :

58 | P a g e
2. Jabatan formal ibu di
tempat kerja (jika ada) :
3. Jabatan informal ayah di
luar tempat kerja (jika
ada) :
4. Jabatan informal ibu di
luar tempat kerja (jika
ada) :
5. Rata-rata penghasilan
kedua/ salah satu orangtua
perbulan :

F. Persepsi Orangtua terhadap Anak


1. Persepsi atau tanggapan
orangtua terhadap anak :
2. Kesulitan yang dihadapi
orangtua selama ini dalam
pengasuhan anak :
3. Harapan orangtua terhadap
pendidikan anak :
4. Bantuan yang diharapkan
orangtua bagi anak :

Sidoarjo, 2016
Orangtua/Wali

( --------------------------- )

* Harap disi dengan teliti dan seksama

59 | P a g e
Checklist: 1
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)

No. Karakteristik Ya Tidak


Inatensi
Sering gagal dalam memberikan perhatian penuh atau
1. membuat kesalahan dalam tugas-tugas sekolah,
pekerjaan dan aktivitas lainnya.
Mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian
2.
terhadap tugas belajar atau kegiatan bermain.
3. Tidak memperhatikan ketika orang lain berbicara
Sering tidak dapat mengikuti perintah dan gagal dalam
4.
menyelesaikan tugas-tugas sekolah.
5. Memiliki kesulitan dalam mengatur tugas dan aktivitas
Tidak menyukai, menghindari, bahkan terkadang
6. menolak untuk mengerjakan tugas di sekolah dan tugas
di rumah.
Sering kehilangan perlengkapan untuk belajar dan juga
7.
bermain
8. Mudah terusik oleh stimulus yang ada di sekelilingnya
9. Sering terlupa dalam mengerjakan aktivitas harian

Hiperaktif
Menunjukkan kegelisahan dengan mengerakkan tangan
10.
dan kaki saat duduk.
Sering meninggalkan kursi di kelas atau di segala situasi
11.
yang membutuhkan waktu duduk yang lama.
Sering berlari bahkan memanjat pada situasi yang tidak
12.
tepat.
Memiliki kesulitan bermain di aktivitas bermain yang
13.
membutuhkan ketenangan.
Sering bertindak spontan atau terlihat bergerak tanpa
14.
kendali.
15. Sering berbicara yang tidak terkendali

Impusif
Sering menjawab langsung suatu pertanyaan sebelum
16. pertanyaan tersebut selesai diungkapkan secara
keseluruhan.
17. Mengalami kesulitan pada saat menunggu giliran
18. Sering menginterupsi saat mengikuti percakapan

60 | P a g e
Berdasarkan Perilaku Sosial
Positif
1. Dapat bekerjasama dalam tugas
2. Dapat menyelesaikan tugas
3. Dapat memberi bantuan
4. Dapat mengikuti perintah
5. Dapat bekerjasama dalam bermain
6. Mampu melakukan percakapan efektif
7. Mampu menunjukkan afeksi
8. Mampu tersenyum dan tertawa

Negatif/ Non-Agresif
9. Melanggar aturan
10. Tidak mengikuti perintah
11. Tidak mampu menyelesaikan tugas
12. Mengganggu teman

Agresif
13. Suka memerintah
14. Suka mengejek teman/ menggoda
15. Suka mengancam
16. Suka menolak
17. Suka menghina
18. Suka berteriak/ memekik/ bersorak
19. Mengganggu teman secara fisik
20. Suka bertengkar
21. Suka mencuri barang teman

Non Interaksi
22. Suka menyendiri

Sidoarjo, 2016
GPK/Guru Mata Pelajaran

( --------------------------- )

61 | P a g e
Checklist: 2
Oppositional-Defiant Disorder (ODD)

No. Karakteristik Ya Tidak


1. Sering kehilangan kendali temperamen
Sering memberi alasan terhadap orang yang lebih
2.
dewasa.
3. Sering menantang dan menjengkelkan masyarakat
Sering menyalahkan orang lain atas kesalahan yang
4.
diperbuatnya.
Sering mudah tersinggung atau mudah menjengkelkan
5.
orang lain.
6. Sering marah dan menunjukkan kekesalan
7. Sering berlaku dengki atau menunjukkan dendam

Sidoarjo, 2016
GPK/Guru Mata Pelajaran

( --------------------------- )

Checklist: 3
Conduct Disorder (CD)

No. Karakteristik Ya Tidak


1. Suka mengancam orang lain
2. Suka memulai perkelahian
3. Suka menggunakan senjata
4. Suka mengganggu orang lain dan hewan secara fisik
5. Suka mencuri dan berbohong
6. Suka melakukan penyerangan secara seksual
7. Suka merusak barang
8. Keluar rumah pada saat malam hari
9. Meninggalkan rumah tanpa izin
10. Menolak hadir di sekolah

Sidoarjo, 2016
GPK/Guru Mata Pelajaran

( --------------------------- )

62 | P a g e
Checklist: 4
Gangguan Emosi

No. Karakteristik Ya Tidak


Akademik
1. Memiliki IQ di bawah rata-rata (WISC)
2. Cenderung under achiever

TingkahLaku
3. Tidak patuh
4. Sering terlibat perkelahian
5. Sering melakukan perusakan
6. Sering mengucapkan kata-kata kotor dan tidak senonoh
7. Sering memerintah
8. Cenderung berlaku sekehendaknya

Gangguan Kepribadian
9. Merasa rendah diri
10. Pemalu
11. Depresi
12. Kesedihan yang mendalam
13. Menarik diri dari pergaulan

Immature
14. Pasif dalam bergaul
15. Kaku dalam bergaul
16. Cepat terlihat bingung
17. Perhatian terbatas
18. Senang melamun
19. Senang berkhayal
20. Senang bergaul dengan yang lebih muda

Pelanggaran Sosial
21. Terlibat dalam aktivitas geng
22. Pernah terbukti melakukan pencurian
23. Suka membolos
24. Sering begadang

Sidoarjo, 2016
GPK/Guru Mata Pelajaran

( --------------------------- )

63 | P a g e
Checklist: 5
Gangguan Belajar (Akademik)

No. Karakteristik Gangguan Ya Tidak


1. Keterlamabatan Belajar (Slow Learner)
a. Daya tangkap terhadap pelajaran lambat
b. Sering terlambat (lama) dalam menyelesaikan
tugas-tugas akademik.
c. Rata-rata prestasi belajar terlalu rendah
d. Pernah tidak naik kelas
2. Kesulitan Belajar Spesifik
Disleksia
a. Perkembangan kemampuan membaca terlambat
b. Kemampuan memahami isi bacaan rendah
c. Kalau membaca sering ditemukan banyak kesalahan.
Disgrafia
a. Sering terlambat selesai dalam menyalin tulisan
b. Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q,
v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9 dan seterusnya.
c. Hasil tulisannya jelek dan hampir tidak bisa dibaca
d. Tulisannya banyak salah, terbalik atau huruf hilang
e. Sulit menulis lurus pada kertas bergaris
Diskalkulia
a. Sulit membedakan tanda baca hitung +, -, x, :,
<, >, =
b. Sulit mengoperasikan hitungan/ bilangan
c. Sering salah membilang dengan urut
d. Sering salah membedakan angka 9 dengan 6, 17
dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8 dan sebagainya.
e. Sulit membedakan bangun geometri
Dispasia
a. Bicara terbatah-batah
b. Sering salah dalam menyebutkan kata kerja untuk
keinginan tertentu.
c. Bahasanya sulit dimengerti oleh orang lain
d. Lambat dalam merespons pertanyaan atau
menjawab bila sedang berkomunikasi
e. Pelo dan bicaranya kadang sangat pelan
f. Berbicara di ulang-ulang, tanpa ada hubungan
dengan kata-kata sebelumnya

Sidoarjo, 2016
GPK/Guru Mata Pelajaran

( --------------------------- )

64 | P a g e
Checklist: 6
Gangguan Autis

No. Karakteristik Gangguan Ya Tidak


Anak Autis
Kesulitan mengenal dan merespon dengan emosi dan
1.
isyarat sosial.
Tidak bisa menunjukkan perbedaan ekspresi wajah
2.
secara jelas dan tegas.
3. Kurang memiliki perasaan dan empati
4. Ekspresi emosi yang kaku
5. Sering menunjukkan perilaku yang meledak-ledak
6. Menunjukkan perilaku yang bersifat stereotip
7. Sulit untuk diajak komunikasi secara verbal
Cenderung menyendiri dan asyik dengan dunianya
8.
sendiri.
Sering mengabaikan situasi di sekelilingnya atau justru
9.
terlalu responsif.

Sidoarjo, 2016
GPK/Guru Mata Pelajaran

( --------------------------- )

65 | P a g e
Checklist: 7
Perkembangan Motorik

66 | P a g e
No. Perkembangan Ya Tidak
a. Dapat mengatakan 2 suku kata yang sama,
misalnya: ma-ma, da-da, dan pa-pa.
b. Dapat menirukan 2-3 kata
c. Dapat bersembunyi
d. Dapat berdiri sendiri
e. Dapat mengambil benda kecil atau meremas-
remas.
1.
f. Dapat berdiri sendiri dengan berpegangan pada
kursi/meja.
g. Dapat membedakan orang yang dia kenal dan
tidak kenal serta malu-malu/ragu-ragu.
h. Dapat mempertemukan dua benda kecil
i. Dapat duduk tanpa bantuan
j. Dapat memegang benda kecil secara erat
a. Dapat mengatakan papa ketika melihat
ayahnya, atau mengatakan mama ketika
melihat ibunya.
b. Dapat mempertemukan dua benda kecil
c. Dapat berdiri sendiri tanpa berpegangan (5
detik).
d. Dapat berdiri sendiri tanpa berpegangan (30
detik).
2.
e. Dapat berjalan sendiri
f. Dapat bertepuk tangan/melambai-lambai
g. Dapat membungkuk dan berdiri kembali
h. Dapat menunjuk/merengek untuk barang yang
diinginkan.
i. Dapat berjalan sendiri tanpa jatuh
j. Dapat mengambil benda kecil dengan jari
tertentu.
a. Dapat mengatakan papa ketika melihat/
memanggil ayahnya, atau mengatakan mama
ketika melihat/memanggil ibunya.
b. Dapat berdiri sendiri tanpa berpegangan (5
detik).
c. Dapat berdiri sendiri tanpa berpegangan (30
detik).
d. Dapat membungkuk dan berdiri kembali
3. e. Dapat mengambil benda kecil dengan jari
tertentu.
f. Dapat bertepuk tangan/melambai-lambai
g. Dapat melempar/gelinding bola
h. Dapat memegang benda secara erat/minum
tanpa tumpah
i. Dapat menunjuk/merengek untuk barang yang
diinginkan.
j. Dapat berjalan sendiri tanpa jatuh
a. Dapat mengucapkan tiga kata yang memiliki
arti selain, ma-ma dan pa-pa.
b. Dapat berjalan mundur
c. Dapat menyusun benda (kubus)
d. Dapat melempar/gelinding bola
e. Dapat menunjuk/merengek untuk barang yang
4.
diinginkan.
f. Dapat memegang benda secara erat/ minum
67 | P a g e tanpa tumpah.
g. Dapat mengambil benda kecil dengan jari
tertentu.
h. Dapat meniru kegiatan
a. Dapat mengucapkan tiga kata yang memiliki
Sidoarjo, 2016
GPK/Guru Mata Pelajaran

( --------------------------- )

68 | P a g e
Checklist: 8
Fungsi Kognitif

No. Pertanyaan Kategori Skor


1. Orientasi Menyebutkan dengan benar:
Tahun :
Musim :
Tanggal :
Hari :
Bulan :
Sekarang :

Nilai maks 5
2. Orientasi Dimana sekarang kita berada?
Negara :
Provinsi :
Kabupaten/Kota :
Kecamatan :
Kelurahan :

Nilai maks 5
3. Registrasi Sebutkan 3 nama obyek (misal)
kursi, meja, kertas) kemudian
tanyakan kepada klien
menjawab:
Kursi :
Meja :
Kertas :
Nilai maks 3
4. Perhatian dan Meminta klien berhitung mulai
Kalkulasi dari 100 kemudian kurangi 7
sampai 5 tingkat
93
86
79
72
65

Nilai maks 5
5. Mengingat Miminta klien untuk mengulangi
ke 3 bilangan pada nomer 4
93
86
79
72
65 Nilai maks 3

69 | P a g e
6. Bahasa Menanyakan pada klien tentang
benda (sambil menunjukan
benda tersebut):
1. .

2. .

Minta klien untuk mengulangi


kata berikut: tidak ada, dan,
jika, atau, tetapi.

Minta klien untuk mengikuti


perintah 3 langkah: ambil
secarik kertas dengan tangan
kanan anda, lipat menjadi dua,
dan taruh di lantai.

Minta klien membaca dan


mengikuti perintah ini
(perlihatkan bahan-bahan
tertulis): tutup mata anda

Minta klien untuk menulis satu


kalimat .............

Nilai maks 1
7. Konstruksi Menyalin gambar (poligon
kompleks)

Nilai maks 1

Sidoarjo, 2016
GPK/Guru Mata Pelajaran

( --------------------------- )

70 | P a g e
PEMERIKSAAN MULTIPLE INTELLIGENCES

Kecerdasan Linguistik :
Komponen inti: Kepekaan pada bunyi, struktur, makna, fungsi kata dan bahasa. Berkaitan
dengan kemampuan membaca, menulis, berdiskusi, berargumentasi,
berdebat.

Untuk dapat mensurvei kecerdasan bahasa dapat diubah ke dalam bentuk


pernyataan yang menggambarkan kesukaan atau aktivitas yang biasa
dilakukan dengan menggunakan tanda () dan ketika pernyataan tidak
sesuai dengan kebiasaan dan kesukaan diberi tanda (X).

........................ Menulis lebih rapi dan rajin


........................ Mampu membuat cerita dan menceritaknya di depan
kelas
........................ Senang membaca buku
........................ Dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru
........................ Mampu berkomunikasi dengan orang lain melalui cara
verbal
........................ Menghargai sajak-sajak meski kadang tidak masuk
akal
........................ Mempunya memori yang baik untuk mengingat suatu
peristiwa
........................ Senang bermain kata
........................ Suka mendengar kata-kata lisan
....................... Memiliki kosakata yang lebih baik dari anak
seusianya
Skor Total x 10 = X 10 =

No. Kecerdasan/ Kegiatan


1. Drama
2. Membuat puisi
3. Deklamasi
4. Pidato
5. Majalah dinding
6. Majalah/bulletin/newsletter
7. Debat
8. Permainan scrabble
9. English Day

71 | P a g e
Kecerdasan Matematis-Logis :

Komponen inti: Kepekaan pada memahami pola-pola logis atau numeris, dan kemampuan
mengolah alur pemikiran yang panjang. Berkaitan dengan kemampuan
berhitung, menalar dan berfikir logis, memecahkan masalah.

Untuk dapat mensurvei kecerdasan matematis logis dapat diubah ke dalam


bentuk pernyataan yang menggambarkan kesukaan atau aktivitas yang biasa
dilakukan dengan menggunakan tanda () dan ketika pernyataan tidak sesuai
dengan kebiasaan dan kesukaan diberi tanda (X).

........................ Senang bekerja dan bermain dengan angka-angka


........................ Sangat senang dengan pelajaran matematika
........................ Selalu mencari permainan rasional
........................ Senang bermain catur atau permainan strategi
........................ Senang melalukan sesuatu sesuai kategori
........................ Suka melakukan percobaan dalam mata pelajaran sains
........................ Menunjukkan ketertarikan pada mata pelajaran sains
........................ Senang mengajukan pertanyaan
tentang bagaimana sesuatu itu berjalan
....................... Mampu menyelesaikan dengan
baik jenis tes berpikir logik

Skor Total x 10 = X 10 =

No. Kecerdasan/Kegiatan
1. Berhitung
2. Penggunaan sempoa
3. Debat
4. LKIR
5. Ikut Olimpiade
6. Ikut Lomba Bidang Studi
7. Penulisan Karya Ilmiah

72 | P a g e
Kecerdasan Visual-Spasial :

Komponen inti: Kepekaan merasakan dan membayangkan dunia gambar dan ruang secara
akurat. Berkaitan dengan kemampuan menggambar, memotret, membuat
patung, dan mendesain.

Untuk dapat mensurvei kecerdasan visual spasial dapat diubah ke dalam


bentuk pernyataan yang menggambarkan kesukaan atau aktivitas yang biasa
dilakukan dengan menggunakan tanda () dan ketika pernyataan tidak sesuai
dengan kebiasaan dan kesukaan diberi tanda (X).

........................ Senang menggambar hal-hal di sekitar


........................ Lebih mampu membaca peta, diagram dari pada teks
........................ Sering berpikir secara mendalam dan merenung
........................ Senang pada berbagai aktivitas seni
........................ Menggambar lebih baik dari orang lain pada umumnya
........................ Sangat menyukai nonton film, slide atau presentasi
visual
........................ Senang bermain teka-teki bergambar
........................ Mudah membaca gambar
........................ Menggambar atau melukis sambil merenung

Skor Total x 10 = X 10 =

No. Kecerdasan/ Kegiatan


1. Bermain dam/halma
2. Bermain catur
3. Melukis/painting
4. Membuat patung
5. Membuat kerajinan tangan
6. Buat mind mapping
7. Membuat maket
8. Fotografi
9. Desain grafis

73 | P a g e
Kecerdasan Musikal :

Komponen inti: Kepekaan dan kemampuan menciptakan dan mengapresiasikan irama, pola
titik nada dan warna serta apresiasi emosi musikal. Berkaitan dengan
kemampuan menciptakan lagu, mendengarkan nada dari sumber bunyi atau
alat-alat musik.
Untuk dapat mensurvei kecerdasan musikal dapat diubah ke dalam bentuk
pernyataan yang menggambarkan kesukaan atau aktivitas yang biasa
dilakukan dengan menggunakan tanda () dan ketika pernyataan tidak
sesuai dengan kebiasaan dan kesukaan diberi tanda (X).

........................ Mengetahui ketika bunyi musik


tidak sesuai dengan tangga nada
........................ Sangat mudah mengingat melodi
dan lagu-lagu
........................ Memiliki suara yang merdu
........................ Senang memainkan alat musik
atau lagu-lagu
........................ Menggunakan irama dalam
berbicara dan bergerak
........................ Senang bersenandung sendiri
tanpa disadari
........................ Memukuk-mukul meja atau
bangku sambil berirama
........................ Langsung merespon ketika
mendengar musik
........................ Sering mengulang-ulang lagu yang
Skor Total x 10 =dipelajari
X 10 =

No. Kecerdasan/ Kegiatan


1. Bermain alat musik modern
2. Bermain alat musik tradisional
3. Marching band
4. Vocal Group
5. Orkestra
6. Koor
7. Mengarang lagu
8. Band

74 | P a g e
Kecerdasan Kinestetis :

Komponen inti: Kemampuan mengontrol gerak tubuh dan kemahiran mengelola objek,
respons dan refleks. Berkaitan dengan kemampuan gerak motorik dan
keseimbangan.

Untuk dapat mensurvei kecerdasan kinestesis dapat diubah ke


dalam bentuk pernyataan yang menggambarkan kesukaan atau
aktivitas yang biasa dilakukan dengan menggunakan tanda ()
dan ketika pernyataan tidak sesuai dengan kebiasaan dan
kesukaan diberi tanda (X).

........................ Memiliki kemampuan berolahraga


........................ Senang bergerak dan memukul-mukul meja
ketika duduk
........................ Senang meniru-niru sikap dan perilaku orang
lain
........................ Senang bongkar pasang sesuatu
........................ Senang berlari, melompat-lompat, bergulat
....................... Menunjukkan keterampilan tentang
kerajinan tangan
....................... Mengungkap sesuatu dengan cara dramatis
........................ Selalu mengungkapkan perasaan fisik ketika
bekerja
....................... Selalu bermain dengan tanah liat

Skor Total x 10 = X 10 =

No. Kecerdasan/ Kegiatan


1. Volley
2. Basket
3. Sepak bola
4. Badminton
5. Bela diri
6. Menari
7. Cheerleader
8. Memasak
9. Senam
10. Menjahit
11. Merangkai bunga

75 | P a g e
Kecerdasan Interpersonal (Sosial) :

Komponen inti: Kepekaan mencerna dan merespon secara tepat suasana hati, temperamen,
motivasi, dan keinginan orang lain.
Untuk dapat mensurvei kecerdasan interpersonal dapat diubah ke dalam bentuk
pernyataan yang menggambarkan kesukaan atau aktivitas yang biasa dilakukan
dengan menggunakan tanda () dan ketika pernyataan tidak sesuai dengan
kebiasaan dan kesukaan diberi tanda (X).

........................ Secara alamiah memiliki aura untuk menjadi pemimpin


........................ Sering memberi nasehat kepada teman-temannya
........................ Nampak pintar walaupun secara
tiba-tiba melihat persoalan
........................ Memiliki klub-klub, anggota,
organisasi walaupun tidak formal
........................ Senang mengajar orang lain
walaupun secara tidak formal
....................... Senang bermain game interaktif
dengan orang lain
....................... Mempunyai dua atau lebih teman
yang sangat akrab
........................ Memiliki empati dan kepedulian
kepada orang lain
....................... Berpengaruh sehingga diikuti oleh
orang lain
Skor Total x 10 = X 10 =

No. Kecerdasan/ Kegiatan


1. Hubungan teman sebaya
2. Kegiatan kemasyarakatan
3. Bakti sosial
4. PMR
5. Bekerjasama
6. Kerja kelompok
7. Diskusi
8. Kegiatan ektrakurikuler
9. Kunjungan ke panti asuhan panti jompo
10. Kunjungan ke panti jompo
11. Berbagi
12. Tim
13. Event Organizer

76 | P a g e
Kecerdasan Intra Personal (Diri Sendiri) :

Komponen inti: Memahami perasaan sendiri dan kemampuan membedakan emosi,


pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri. Berkaitan dengan
kemampuan mengenali diri sendiri secara mendalam, kemampuan intuitif,
dan motivasi diri, penyendiri, sensitif terhadap nilai diri dan tujuan hidup.
Untuk dapat mensurvei kecerdasan intrapersonal dapat diubah ke dalam bentuk
pernyataan yang menggambarkan kesukaan atau aktivitas yang biasa dilakukan
dengan menggunakan tanda () dan ketika pernyataan tidak sesuai dengan
kebiasaan dan kesukaan diberi tanda (X).

........................ Menunjukkan kemandirian dan


keinginan yang kuat
........................ Memiliki perasaan realistik terhadap
kelebihan dan kelemahan dirinya
........................ Mengerjakan sesuatu dengan baik
ketika ditinggalkan sendiri
........................ Melakukan sesuatu seperti berbaris dan
memukul drum
........................ Pandai mengatur diri sendiri
....................... Lebih senang bekerja sendiri
....................... Mampu mengungkap perasaan dirinya
dengan akurat
........................ Mampu mengambil pelajaran dari
keberhasilan dan kegagalan dalam hidup
....................... Memiliki harga diri
Skor Total x 10 = X 10 =

No. Kecerdasan/ Kegiatan


1. Hubungan dengan Tuhan
2. Berdoa
3. Mengelola emosi
4. Kebaktian
5. Meditasi
6. Misa
7. Sholat
8. Motivasi diri
9. Kemauan dan kemampuan

77 | P a g e
Kecerdasan Naturalis:

Komponrn inti: Keahlian membedakan anggota-anggota spesies, mengenali eksistensi


spesies lain, dan memetakan hubungan antara beberapa spesies, baik
secara formal maupun non formal. Berkaitan dengan kemampuan meneliti
gejala-gejala alam, mengklasifikasi, dan identifikasi.

Untuk dapat mensurvei kecerdasan naturalis dapat diubah ke dalam bentuk


pernyataan yang menggambarkan kesukaan atau aktivitas yang biasa dilakukan
dengan menggunakan tanda () dan ketika pernyataan tidak sesuai dengan
kebiasaan dan kesukaan diberi tanda (X).

........................ Senang mengkategorisasi sesuatu dengan ciri-ciri umum


........................ Sangat menyukai aktivitas hiking dan berkemah
........................ Senang bekerja atau bermain dikebun
........................ Meyakini bahwa melestarikan taman nasional sangat penting
........................ Memandang bermakna ketika diletakkan menurut hierarki
....................... Senang memelihara dan bersahabat dengan binatang
....................... Senang mendaur ulang sesuatu
........................ Senang belajar biologi
....................... Selalu menghabiskan waktu diluar rumah

Skor Total x 10 = X 10 =

No. Kecerdasan/ Kegiatan


1. Mengenal jenis-jenis binatang
2. Mengenal jenis-jenis tumbuhan
3. Mengenal ciri-ciri hewan laut
4. Mengenal ciri-ciri hewan darat
5. Mengenal ciri mahkluk hidup
6. Cuaca
7. Musim
8. Warna
9. Nama-nama benda

78 | P a g e
Contoh Hasil Pemeriksaan

A. Identitas Klien
1. Nama :
2. Umur :
3. J. Kelamin :
4. Sekolah :
5. Kelas :
6. Tanggal Tes :

B. Hasil Pemeriksaan
Berdasarkan hasil diagnosa (anamnesa dan pemeriksaan), subjek
ditengarahi memiliki kecenderungan-kecenderungan berikut:
1. Aspek kognitif : potensi dan kemauan anak cukup besar, linguistik,
namun ada kemungkinan gangguan organis.
2. Aspek afektif : mudah nervous dan terganggu perasaannya,
kompulsif, antusias, ada ketegangan yang muncul, egosentris,
inferior, kontrol diri yang impulsif.
3. Aspek psikomotorik : agresif, memberontak, dan mencari
kompensasi
4. Aspek akademik :disgrafia dan potensi hiperaktif
5. Aspek sosial : potensi skizoid, butuh perhatian, kasih sayang,
perlindungan, dan penerimaan dari orangtua terutama dari ibu.

C. Treatment
Sejumlah perlakuan yang disarankan untuk membantu subjek dapat
memaksimalkan tumbuh kembang akademik, psikis dan sosial, antara
lain:
1. Group teraphy (psiko-sosio-drama)
2. Telling-inspirative story (dongeng)
3. Terapi ABA
4. Senam otak (brain gym)
5. EFT (emotional freedom technique)

Sidoarjo, 2015

Pemeriksa

79 | P a g e
2. Pengorganisasian (Organizing)

Pengorganisasian (organizing) merupakan proses penyusunan

struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, sumber

daya yang dimiliki dan lingkungan yang melingkupi. Siagian (2002)

menyebutkan pengorganisasian sebagai keseluruhan pengelompokan

orang-orang, alat-alat, tugas-tugas, kewenangan dan tanggung jawab

sedemikian rupa, sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat

digerakkan sebagai suatu kegiatan kesatuan yang telah ditetapkan.

Tujuan pengorganisasian adalah mencapai usaha yang

terkoordinasi dengan menerapkan tugas dan hubungan wewenang.

Pengorganisasian juga ditujukan agar pembagian tugas dapat

dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Dengan pembagian

tugas diharapkan setiap anggota organisasi dapat meningkatkan

keterampilannya secara khusus (spesialisasi) dalam menangani

tugas-tugas yang dibebankan.

Aspek pengorganisasian (organizing) berkaitan dengan

manajemen pembelajaran berbasis Multiple Intelligence pada anak

berkebutuhan khusus, menyangkut adaptasi dan rekonstruksi

terhadap struktur organisasi sekolah melalui pembagian job deskripsi

dan job spesifikasi (tufoksi) pendidik dan tenaga kependidikan, baik

secara struktural dan kultural terhadap kebutuhan sekolah inklusi.

Memilih dan mempersiapkan sumberdaya pendidik dan tenaga

kependidikan terbaik, berdasarkan kebutuhan penyelenggaraan

sekolah inklusi serta membagi kelas inklusi berdasarkan spesifikasi

masalah perkembangan dan belajar anak dengan tetap

memperhatikan minat dan bakatnya. Sebab, anak berkebutuhan

80 | P a g e
khusus menurut para ahli aspek yang mungkin dapat dikembangkan

adalah minat-bakatnya daripada sekedar optimalisasi terhadap

kercerdasan intelektualnya.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan, Bab VI mengenai Standar Pendidik dan

Tenaga kependidikan, Bagian Kesatu tentang Pendidik, Pasal 28 Ayat

3, disebutkan bahwa kompetensi yang harus dimiliki guru sebagai

agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah,

serta pendidikan anak usia dini, meliputi:

(a) Kompetensi pedagogik

Kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi

pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan

pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan

pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai

potensi yang dimilikinya.

(b) Kompetensi kepribadian

Kepribadian pendidik yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan

berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak


mulia.

(c) Kompetensi profesional

Kemampuan pendidik dalam penguasaan materi pembelajaran

secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing

peserta didik memperoleh kompetensi yang ditetapkan.

(d) Kompetensi sosial

81 | P a g e
Kemampuan pendidik berkomunikasi dan berinteraksi secara

efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga

kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat.

Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun

2008 Tentang Guru, bagian kesatu, pasal 3 ayat (4) bahwa

kompetensi pedagogik sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran

peserta didik yang sekurang kurangnya meliputi: (a) pemahaman

wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap

peserta didik; (c) pengembangan kurikulum atau silabus; (d)

perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang

mendidik dan dialogis; (f) pemanfaatan teknologi pembelajaran; (g)

evaluasi hasil belajar; dan (h) pengembangan peserta didik untuk

mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Penting diperhatikan dalam proses organizing ini bahwa

kebutuhan terhadap sumberdaya pendidik dengan multi kompetensi

jauh lebih penting dari sekedar bisa mengajar akademik tanpa

memahami aspek perkembangan dan psikologis anak. Artinya, bahwa

guru sekolah inklusi tidak cukup dengan modal kompetensi

pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Menjadi nilai tambah,

jika pendidik dan tenaga kependidikan juga memahami masalah-

masalah perkembangan dan belajar anak serta cara menanganinya.

Penguasaan terhadap disiplin kependidikan, pembelajaran,

perkembangan anak, keperawatan (medis), gizi, terapi, dan psikologis

82 | P a g e
adalah aspek adaptif yang sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan

sekolah inklusi.

Sejumlah upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan

mutu pendidik (guru) dan tenaga kependidikan sekolah inklusi ini,

diantaranya mengaktifkan Kelompok Kerja Guru Inklusi (KKGI),

Kelompok Kerja Kepala Sekolah Inklusi (KKKSI), Musyawarah Guru

Mata Pelajaran Inklusi (MGMPI) dan Musyawarah Kerja Kepala

Sekolah Inklusi (MKKSI) serta pelatihan-pelatihan pendidik (guru)

dan tenaga kependidikan (PTK) khusus sekolah inklusi, seperti

modifikasi kurikulum, pembuatan silabus, RPP, rencana terapi dan

vokasional untuk mengembangkan minat dan bakat anak

berkebutuhan khusus. Memang, dalam ini kebutuhan akan biaya

operasional pendidikan juga penting diperhatikan dan diadpatasi.

3. Pelaksanaan (Actuating)

Hoy dan Miskel (2005) mendefinisikan kepemimpinan is a

process of social influence in which one person is able to enlist the aid

and support of others in the accomplishment of a common task.

Sedangkan menurut Boone dan Kurtz (2007) actuating is the act

of motivating or causing people to perform certain task intended to

achieve specific objectives. It is the act of making things happen.

Pemaparan tersebut, mengindikasikan bahwa actuating adalah

pelaksanaan kegiatan dari apa yang sebelumnya telah direncanakan

dalam rumusan manajemen. Fungsi pelaksanaan dalam manajemen

mencakup kepemimpinan, motivasi, komunikasi, dan bentuk-bentuk

83 | P a g e
lain dalam rangka memengaruhi pelaksana manajemen untuk

melakukan sesuatu guna mencapai tujuan organisasi.

Dalam aspek pelaksanaan (actuating) manajemen

pembelajaran berbasis Multiple Intelligence pada anak berkebutuhan

khusus, untuk hasil maksimal fokus kegiatan meliputi:

(a) Pembelajaran Akademik

Pembelajaran yang dimaksud di sini adalah pembelajaran

edutainment (education and entertainment) dengan pemanfaatan

unsur visual learning, kinestetic learning, reading books learning, dan

cooperative learning). Belajar sambil bermain, menarik,

menyenangkan, tidak membosankan, dan mengkombinasikan

berbagai model pembelajaran yang berbasis pada masalah belajar

dan perkembangan anak.

Edutainmen learning adalah suatu proses pembelajaran yang

menggabungkan secara harmonis unsur pendidikan dan hiburan.

Model dalam pembelajaran ini, diantaranya: humanizing learning,

active learning, accelerated learning, quantum learning, jigsaw

learning, dan sejenisnya. Substansinya, model pembelajaran yang

baik adalah desain pembelajaran yang di dalamnya berusaha

menggabungkan stimulus humor, permainan (game), bermain peran

(role playing), dan demonstrasi (social skill). Artinya untuk dapat

membawa pesan pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus,

dibutuhkan konsep yang tidak hanya mengoptimalkan potensi

akademis, tetapi juga psikososial.

84 | P a g e
Memahami model pembelajaran akademik ini sangat penting,

terutama bagi siswa yang mengalami ketergantungan belajar

(learning disorder), ketidakmampuan belajar (learning disabilities),

ketidakfungsian belajar (learning disfunction), pencapaian belajar

rendah (under achiever), dan lambat belajar (slow learner) atau bagi

mereka yang mengalami kesulitan belajar menyeluruh, seperti:

kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis

(disgrafia), kesulitan berbahasa (disphasia), gangguan motorik

(dispraksia), gangguan persepsi (dispersepsi), Attention Deficit

Hiperactivity Disorder (ADHD), gangguan memori (dismemory), dan

gangguan metakognisi (dismetacognition).

Untuk mendapatkan hasil maksimal dalam memberikan

pembelajaran terhadap anak berkebutuhan khusus, maka diperlukan

modifikasi kirukulum, program pembelajaran individual, modifikasi

perilaku, dan terapi yang berbasis pada masalah masing-masing

anak berkebutuhan khusus secara spesifik. Berikut sejumlah contoh,

program pembelajaran individual (PPI), modifikasi perilaku dan terapi

(MPT).

85 | P a g e
Contoh Program Pembelajaran Individual (PPI)

PROGRAM PEMBELAJARAN INDIVIDUAL (PPI)


Informasi Siswa
Nama :
Jenis Kelamin :
Tempat, Tanggal Lahir :
NIS :
Kelas :
Sekolah :
Semester/ Tahun Pelajaran :
Alamat :
Kekhususan : Utama/primer : Tunagrahita
Tambahan/sekunder : -
Penempatan : a. Dalam kelas reguler bersama dengan
siswa lain selama 6 hari
b. Pelaksanakan secara individual
(terpisah dari yang lain) yaitu setiap
hari sabtu setelah KBM selesai selama 2
jam
Standar Kurikulum : Kurikulum 2013

Data Assesmen
Sumber Informasi Tanggal Ringkasan Hasil
Guru Kelas (GPK) a. Sulit untuk mengungkapkan
Guru Mapel gagasan secara lisan
Guru Asuh b. Pendiam dan jarang
berkomunikasi dengan
teman/guru
c. Suka menyendiri dan kurang
bergaul dengan teman
d. Kurang percaya diri
e. Hafal semua huruf abjad dan bisa
menuliskannya
f. Bisa membaca 2 suku kata/3 suku
kata
g. Membaca kalimat sederhana
kesulitan dan masih
membutuhkan bimbingan guru
h. Mampu membilang angka satuan
(1-20)
i. Mampu menuliskan bilangan
antara (1-20)

86 | P a g e
j. Mampu menjumlahkan bilangan
(1-9) tetapi dengan bantuan alat
peraga (biji-bijian, gambar
buah/bunga)
Orangtua a. Mampu berkomunikasi dengan
baik kepada orangtua ketika di
rumah
b. Setiap apa yang diinginkan harus
dipenuhi kalau tidak marah-
marah
c. Motivasi belajar anak kurang
(malas)
d. Kepatuhan anak terhadap orang
tua kurang
e. Trauma ketika kelas I
pembawaan guru keras dan sering
di tempatkan di belakang
Guru Ekstrakurikuler a. Bisa mengikuti kegiatan sama
dengan teman seusianya, tetapi
kemampuannya terbatas sebagai
contoh senam (tidak bisa
mengikuti dengan benar hanya
bergerak semaunya)
b. Mampu berganti pakaian sendiri
ketika selesai jam olahraga

Kekuatan dan Kebutuhan Siswa


Kekuatan Kebutuhan Siswa
Kemampuan di bidang kesenian Kemampuan siswa di bidang akademik
menonjol (membaca, menulis dan berhitung)
(menyanyi) Kemampuan berkomunikasi
Kepercayaan diri untuk berinteraksi dengan
orang lain/ sosialisasi

Mata Pelajaran
MCA Penyesuaian dalam IK Penyesuaian GAB Penyesuaian
: penggunaan : terutama dalam : dilaksanakan
metode/cara/alat/ba materi, isi dalam hal isi dan
han tanpa merubah isi kurikulum atau
kurikulum metode/cara/alat
secara bersamaan
atau bergantian

Mata Pelajaran/ Penyesuaian

87 | P a g e
Kecakapan MCA IK GAB
1 Bahasa Indonesia
2 Matematika
3 IPS
4 IPA
5 Bhs. Jawa
6 TIK
7 Kesenian
8 Penjaskes
9 Bina diri
10 Keterampilan berkomunikasi

Profesional terkait yang terlibat :


Kebutuhan
Alat/Instrumen Penyesuaian
Pada waktu KBM bersama anak reguler
Kartu kata
tempat duduk di dekatkan dengan guru.
Kartu bilangan Selalu di dekati dan diberi perhatian
Menjalin keakraban antara siswa dan
Biji-bijian
guru.
Gambar buah, gambar bunga

Program Layanan Kompensatoris

Keterampilan Berkomunikasi

Based Line
Ketika guru bertanya anak:
a. Mampu menyebutkan identitas diri (nama panggilan)
b. Mampu menyebutkan tempat tinggal
c. Mampu menyebutkan nama guru kelasnya
Dengan suara yang sangat pelan.

Indikator Keberhasilan Akhir Semester


- Merespon pembicaraan orang lain/ berbicara secara bergantian dengan orang lain.

Uraian Kegiatan :
Tujuan Pembelajaran Strategi Pembelajaran Teknik/Alat Penilaian
Setengah semester
Tahap 1
Dengan kalimat-kalimat - Setiap pagi ketika datang - Tes lisan
sederhana, kata sapaan ke sekolah guru menyapa - Observasi (respon anak)

88 | P a g e
anak bisa menjawab dan dengan kata sapaan
merespon dengan baik a. Selamat pagi
b. Assalmualaikum
- Menanyakan tentang
kegiatan sehari-hari
siswa untuk
mengakrabkan siswa
dengan guru (misal: Irna
sudah sarapan belum?
Irna sudah mandi belum?
Irna setelah bangun tidur
kegiatannya apa?
Tahap 2
Dengan bimbingan dan - Ketika pelajaran bahasa - Tes Lisan
arahan guru anak bisa indonesia bersama - Daftar pertanyaan
menjawab pertanyaan dengan siswa reguler a. Dikebun itu tadi
sederhana yang di misalkan membuat penuh dengan apa?
tanyakan oleh guru percakapan dengan b. Bunga apa saja yang
(berdialog dengan guru) teman sebangku. ada di kebun?
- Untuk anak ABK karena c. Setiap hari bunga di
penyesuaian tempat kebun itu di apakan?
duduk dekat dengan d. Warna bunga di
guru maka yang menjadi kebun itu apa saja?
teman berdialog anak ini
adalah guru sendiri.
- Karena anak ini suka
menyanyi maka dialog
yang di gunakan guru
untuk bertanya berkaitan
dengan lagu yang ia sukai
(misal: lihat kebunku)
- Anak dan guru terlebih
dahulu menyanyikan
bersama lagu tersebut
kemudian anak secara
mandiri mencoba
menyanyikannya
kembali.
Tahap 3
Dengan mandiri siswa - Guru mengamati ketika - Cek list
bisa melakukan teman dekat sedang
percakapan dengan melakukan percakapan
teman dekatnya (teman dengan anak tersebut.
sebangku)

89 | P a g e
Keterampilan Akademik (Membaca)

Based Line
Sudah bisa membaca dan menuliskan abjad A-Z , membaca kata dengan dua suku
kata (pagi, sore), membaca kata dengan 3 suku kata (boneka), mambaca kata di
akhiri huruf konsonan

Indikator keberhasilan Akhir Semester:


- Membaca kalimat sederhana

Uraian Kegiatan :

Tujuan Pembelajaran Strategi Pembelajaran Teknik/Alat Penilaian


Semester I.
Tahap 1

Dengan bimbingan dan Ketika intervensi - Tes lisan


arahan guru anak mampu individual di luar KBM - Kartu Kata:
mambaca 2 kata yang di guru menunjukkan 2 kartu
rangkai kata kemudian anak Risa beli
(1 katanya terdiri dari 2 membaca dengan Ini bola
suku kata) mengeja/ bimbingan guru
Tahap 2

Dengan bimbingan dan Guru menunjukkan 2 - Tes lisan


arahan guru anak mampu kartu kata kemudian anak - Kartu Kata:
mambaca 2 kata yang di membaca dengan
rangkai mengeja Boneka Risa
(kata pertama terdiri dari Melisa suka
3 suku kata dan kata
kedua 2 suku kata)
Tahap 3
Dengan bimbingan dan Guru menunjukkan 3 - Tes lisan
arahan guru anak mampu kartu kata yang di rangkai - Kartu Kata:
mambaca 3 kata yang di lalu siswa membaca
rangkai dengan mengeja Boneka Risa merah
Melisa suka menari
Dengan mandiri siswa Guru menunjukkan 3 - Tes lisan
membaca sendiri kalimat kartu kata yang di rangkai - Kartu Kata:
sederhana yang terdiri lalu siswa membaca
dari 3 kata yang di dengan mengeja Boneka Risa merah
rangkai Melisa suka menari

Tahap 3
Dengan mandiri tanpa Guru menuliskan kalimat - Observasi
kartu kata anak bisa sederhana di papan tulis - Tes lisan

90 | P a g e
membaca kalimat lalu anak mulai membaca
sederhana di papan dengan mengeja
tulis/buku tulis Misalnya:

Boneka risa besar


Budi belajar baca

Personal yang Terlibat :


Jenis Pelayanan Frekuensi Lokasi
Ruang kelas dan
6 hari dalam seminggu
Guru Mapel lingkungan sekolah
GPK 1 hari (2 jam) dalam Ruang kelas dan
seminggu setelah KBM lingkungan sekolah

Tim Pengembang PPI :


No. NAMA STATUS TANDA TANGAN
1. Guru Mapel/GPK
2. Orangtua
3. Kepala Sekolah
4. Pengawas

91 | P a g e
(b) Pembelajaran Vokasional

Pembelajaran ini diarahkan pada pengembangan dan

optimalisasi minat dan bakat siswa, yang meliputi kecerdasan

linguistik, matematika, visual-spasial, kinestetik, musik,

interpersonal, intrapersonal, dan natural. Sebab, tidak sedikit anak

berkebutuhan khusus yang justru dominan pada jenis kecerdasan

tertentu daripada sekedar pintar di bidang matematika dan lingustik.

Aspek ini, yang perlu diapresiasi dan dipahami oleh para orangtua

dan pendidik, sebab sukses tidak selalu berdasar pada mereka yang

dominan otak kiri (dengan dua kecerdasan matematik dan bahasa),

tetapi sukses harus dapat dipahami secara holistik dengan

pemanfaatan atau optimalisasi keseluruhan fungsi otak, baik kanan

dan kiri. Faktanya menurut para ahli, sukses 80% nya banyak

dipengaruhi oleh kondisi emosional-spiritual (sikap dan mental)

individu, yang justru banyak ditemukan pada potensi kecerdasan

otak kanan, daripada sekedar kompetensi intelektual.

(c) Lomba dan pentas kreasi anak berkebutuhan khusus (ABK)


Anak berkebutuhan khusus secara bio-psikososial atau dalam

aspek apapun, berbeda dengan anak normal pada umumnya. Oleh

karena itu, aktivitas atau kegiatan yang diperuntukkan baginya

harus tetap berdasar pada masalah perkembangan dan belajarnya.

Satu sisi anak berkebutuhan khusus adalah anak yang sudah

matang secara usia dalam hal belajar, tetapi di sisi lain mereka masih

bermasalah dalam tahap perkembangannya.

92 | P a g e
Tidak sedikit dari mereka yang belum matang (immature),

dimana usia tidak sejalan atau berbanding lurus dengan kemampuan

yang dimiliki. Adanya ajang lomba dan pentas kreasi bagi anak

berkebutuhan khusus, merupakan stimulan yang dapat

meningkatkan semangat belajar dan rasa dihargai sekitarnya. Sebab

lingkungan dan masyarakat, hingga saat ini masih saja

memperlakukan anak-anak berkebutuhan khusus sebagai anak yang

sakit, bermasalah, anak kutukan, pasti tidak sukses dan

terpinggirkan. Padahal sudah jelas, tidak ada satupun produk Allah

SWT (Tuhan YME) gagal, yang ada hanyalah banyak dari mereka yang

tidak mengerti potensi dan cara memberlakukan anak-anak dengan

kebutuhan khusus.

(d) Terapi dan modifikasi perilaku

Sekali lagi, anak-anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak

dengan problem perkembangan dan belajar yang kompleks. Sebelum

masalah dan tahap-tahap perkembangan tuntas, percuma

memberikan pembelajaran atau beban belajar kepadanya. Karena itu,

dibutuhkan terapi dan modifikasi perilaku yang berbasis pada

masalah anak oleh tenaga terlatih atau profesional. Hal ini bisa

dilakukan oleh Guru Pendamping Khusus (GPK) atau tenaga

profesional di luar sekolah (seperti: psikolog, psikiater, dokter, terapis,

ahli gizi, perawat, neurolog, ahli spiritual, dan lain-lain). Ini penting

dilakukan, mengingat terapi dan modifikasi perilaku merupakan

faktor pengurai masalah-masalah anak berkebutuhan khusus.

93 | P a g e
94 | P a g e
Contoh Program Modifikasi Perilaku dan Terapi

Data Umum
Nama Anak : ....................................................
Tanggal Lahir : ....................................................
Sekolah : ....................................................
Kelas : ....................................................
Rekomendasi Penempatan : ....................................................
Tanggal dibuat : ....................................................

Diskripsi kondisi psikis sekarang


Kognitif :
Afektif :
Psikomotorik :
Akademik :
Sosial :
Bina Diri :

Layanan khusus yang direkomendasikan :


1. ................
2. ..............
3. ..............

Catatan kesehatan :
.
.

Perhatian khusus :
1. .
2. .
3. .

Kondisi fisik :

.
.....................................................................
................................

Tujuan jangka pendek 1 :

.................
.......................................................................

95 | P a g e
Tujuan jangka pendek 2 :

.........................
...........................................................................

Tujuan jangka panjang 1 :

.........................
...........................................................................

Tujuan jangka panjang 2 :

.........................
...........................................................................

Telah mengetahui dan menyetujui program tersebut di atas :


Kepala Sekolah : ................................................................
Guru Pembinmbing Khusus : ................................................................
Guru Mapel : ................................................................
Guru Ekstrakurikuler : ................................................................
Speech Therapist : ................................................................
Fisiotherapist : ................................................................
Dokter : ................................................................
Orangtua : ................................................................

96 | P a g e
(e) Raport

Dalam penyelenggaraan sekolah inklusi, khususnya untuk

anak-anak dengan kebutuhan khusus raport akademik tidak

begitu penting. Peloporan tahap perkembangan dan belajar anak

(yang bersifat non-akademik dan deskriptif kualitatif) jauh lebih

berarti bagi anak dan orangtua. Alasannya, cukup jelas bahwa

selain kebijakan pemerintah yang menjamin kenaikan kelas dan

kelulusan bagi mereka, negara juga tidak menuntut lebih pada

mereka. Terpenting bagi mereka adalah mampu mandiri (otonom),

terbebas dari masalah-masalah dasar perkembangan, akademik,

dan psiko-sosial serta diperlakukan sama laiknya anak normal di

lingkungan sosial-masyarakat. Sekali lagi, angka-angka akademik

(dalam raport) tidak banyak memberikan pengaruh bagi mereka,

yang penting mereka bisa sehat secara fisik, psikis, sosial, dan

spiritual.

4. Kontrol dan Evaluasi (Controling)

Boone dan Kurtz (2007) menjelaskan, controlling is the process

by which managers determine whether organizational objectives are

achieved and whether actual operations are consistent with plans.

Pengawasan berkolerasi dengan perencanaan, karena pengawasan

sifatnya mengontrol, sehingga keseluruhan kegiatan berlangsung

sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah direncanakan.

Dalam aspek kontrol dan evaluasi (controling and evaluating)

dalam manajemen pembelajaran berbasis Multiple Intelligence pada

anak berkebutuhan khusus, kegiatan yang dilakukan meliputi

97 | P a g e
kontrol dan evaluasi terhadap: (a) perencanaan pembelajaran dan

kurikulum berbasis Multiple Intelligence; (b) kewenangan dan

mekanisme kerja organisasi; dan (c) pelaksanaan, evaluasi, dan

follow up hasil pembelajaran. Kontrol dan evaluasi yang dimaksud

bersifat menyeluruh dan dilakukan tanpa henti, dengan tujuan

peningkatan mutu penyelenggaraan sekolah inklusi.

Komponen yang terkait dengan mutu pendidikan adalah

pertama, kesiapan dan motivasi siswa. Kedua, kemampuan guru

profesional dan kerjasama dalam organisasi sekolah. Ketiga,

kurikulum meliputi relevansi isi dan operasional proses

pembelajarannya. Keempat, sarana dan prasarana meliputi

kecukupan dan keefektifan dalam mendukung proses pembelajaran.

Kelima, partisipasi masyarakat (orangtua, pengguna lulusan dan

perguruan tinggi) dalam pengembangan program-program pendidikan

sekolah (Suti, 2011), termasuk dalam hal ini sekolah inklusi.

Mutu pendidikan harus dipahami dan diterjemahkan secara

menyeluruh menyangkut semua komponen dan pelaksanaan yang

bermutu (total quality) serta mampu memberikan pelayanan sesuai

keinginan dan harapan masyarakat, secara deduktif dan induktif.

Deduktif apabila visi yang telah ditetapkan dapat dijabarkan dalam

misi sekolah inklusi. Induktif apabila pendidikan dapat

mendatangkan manfaat bagi masyarakat (social needs), dunia kerja

(industrial needs) dan professional (professional needs), dalam

konteks ini adalah kemandirian anak-anak berkebutuhan khusus.

Karena itu, mutu pendidikan bukan hanya suatu gagasan, melainkan

suatu filosofi dan metodologi yang disiapkan untuk membantu

98 | P a g e
lembaga pendidikan dalam mengelola perubahan secara sistematik

dan totalitas.

Winata (2010) menyebut agar derajat mutu dapat dicapai,

termasuk dalam penyelenggaraan sekolah inklusi, maka perlu

memperhatikan pendekatan berikut:

99 | P a g e
(a) Quality Control

Kontrol mutu (quality control) merupakan proses deteksi dan

eliminasi komponen terhadap produk atau jasa yang tidak sesuai

dengan standar institusi pasca produksi. Inspeksi dan

pemeliharaan merupakan metode umum dari kontrol mutu.

Kontrol mutu adalah proses yang menjamin bahwa hanya produk

yang memenuhi spesifikasi produsen yang dapat di keluarkan ke

pelanggan, dalam hal ini dipahami bahwa penyelenggaraan

sekolah inklusi harus benar-benar mampu memenuhi ekspektasi

masyarakat terhadap pembelajaran anak berkebutuhan khusus.

Kontrol mutu adalah sistem kendali yang terintregrasi di

dalam proses, berfungsi mencegah terjadinya defect (non-

corformity output) dengan cara benar sejak awal (right from

beginning). Metode ini terbukti mampu mengeliminir

ketidaksesuaian (non-corformity) pada output dengan sifat

pencegahan. Secara fungsi, kontrol mutu merupakan proses

operasional yang secara langsung melakukan aktivitas inspeksi

terhadap produk atau jasa pendidikan penyelenggaraan sekolah

inklusi.

(b) Quality Assurance

Penjaminan mutu (quality assurance) merupakan

pengembangan dari konsep quality control terhadap pemenuhan

spesifikasi produk atau jasa secara konsisten yang selalu baik

sejak awal (right first time every time). Penjaminan mutu lebih

menekankan tanggung jawab pelaksana pendidikan dibandingkan

inpeksi kontrol mutu, artinya evaluasi terhadap apa yang

100 | P a g e
dikerjakan pendidikan dan tenaga kependidikan dalam

keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusi. Tujuannya

menciptakan produk (output) tanpa cacat (zero depect). Mutu

produk atau jasa yang baik, dijamin oleh sistem jaminan mutu

yang memposisikan secara tepat bagaimana produksi seharusnya

berperan sesuai dengan standar mutu yang diatur oleh prosedur-

prosedur yang ada dalam sistem jaminan mutu.

Secara umum yang dimaksud dengan penjaminan mutu

(quality assurance) adalah proses penetapan dan pemenuhan

standar mutu proses secara konsisten dan berkelanjutan

mengenai penyelenggaraan sekolah inklusi, sehingga konsumen,

produsen, dan pihak lain yang berkepentingan memperoleh

kepuasan. Proses penjaminan mutu mengidentifikasi hal-hal yang

telah dicapai dengan memberikan data untuk pengambilan

keputusan berbasis data dan membantu membangun budaya

peningkatan mutu berkelanjutan.

(c) Quality Improvement

Proses yang baik adalah sebuah proses yang berorientasi

terhadap upaya peningkatan mutu (quality improvement) untuk

memenuhi harapan atau kepuasan pelanggan, yaitu efektivitas

penyelenggaraan sekolah inklusi. Mutu itu dinamis, upaya

peningkatan mutu tidak pernah berhenti tetapi selalu

berkelanjutan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi, tatanan nilai dan tuntutan masyarakat serta

lingkungan. Proses peningkatan mutu adalah mengidentifikasi

indikator mutu dalam proses, memonitor dan mengukurnya pada

101 | P a g e
outcome, sehinga tingkat mutu dari hasil yang dicapai akan

meningkat. Upaya peningkatan mutu dilakukan dengan terlebih

dahulu melakukan jaminan mutu (quality assurance), kemudian

mengarah pada peningkatan mutu proaktif.

102 | P a g e
(d) Total Quality Management

TQM (Total Quality Management) adalah pendekatan

manajemen yang berfokus pada kualitas dan didasarkan atas

partisipasi dari keseluruhan sumber daya manusia yang

ditujukan pada kesuksesan jangka panjang, melalui kepuasan

pelanggan dan memberikan manfaat pada anggota institusi atau

masyarakat. TQM merupakan pendekatan yang berorientasi pada

pelanggan, yang memperkenalkan perubahan manajemen secara

sistematik dan perbaikan terus menerus terhadap proses, produk,

dan pelayanan suatu institusi. Artinya bahwa penyelenggaraan

sekolah inklusi harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan

pendidikan anak berkebutuhan khusus, dengan prinsip

mencerdaskan anak bangsa, tanpa diskriminatif serta mampu

menyelesaikan problem perkembangan dan belajarnya.

103 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai