Anda di halaman 1dari 8

SAP TERAPI BERMAIN PUZEL

PADA ANAK TUNA GRAHITA

Pembimbing :
Dwi Budi P, M.kes, Ns, Sp. Kep.Kom

Anggota Kelompok :
1. Shintya Alkhoiriyah (C1019046)
2. Siska Oktaviani (C1019047)
3. Syahril Ikhlalludin (C1019048)
4. Tiara Diva Azzahra (C1019049)

PRODI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BHAMADA SLAWI
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan individu yang berbeda dalam satu rentang perubahan
perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Memiliki anak adalah suatu
kebahagiaan tersendiri bagi orangtua.namun pada kenyataannya tidak semua orang tua
berkesempatan memiliki anak yang sehat dan berkembang dengan normal. Beberapa
orang tua memiliki anak dengan berkebutuhan khusus. Salah satu kelompok anak
berkebutuhan khusus adalah anak dengan tuna grahita.
Tunagrahita (seseorang yang memiliki hambatan kecerdasan) menurut Kustawan,
D. (2016) merupakan anak yang memiliki inteligensi yang signifkan berada dibawah rata-
rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam
masa perkembangan. Ia juga mengatakan bahwa anak dengan tunagrahita mempunyai
hambatan akademik yang sedemikian rupa sehingga dalam layanan pembelajarannya
memerlukan modifikasi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan khususnya.
Masyarakat pada umumnya mengenal tunagrahita sebagai retardasi mental atau
terbelakang mental atau idiot. Rachmayana, D. (2016) mengemukakakan bahwa
tunagrahita berarti suatu keadaan yang ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang
berada dibawah rata-rata disertai dengan berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan
diri (berperilaku adaptif), yang mulai timbul sebelum usia 18 tahun. Ia juga mengatakan
bahwa orang-orang secara mental mengalami keterbelakangan, memiliki perkembangan
kecerdasan (IQ)5 yang lebih rendah dan mengalami kesulitan dalam proses belajar serta
adaptasi sosial.
Untuk mengatasi masalah masalah tersebut ada beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan perkembangan kemampuan pada anak tuna grahita adalah
dengan melakukakan terapi bermain. Terapi bermain adalah yang paling dekat dengan
dunia anak. Bermain merupakan suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau
mempraktikkan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif,
mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa (Hidayat, 2005). Bermain
memiliki banyak fungsi diantaranya untuk perkembangan sensorimotorik, perkembangan
intelektual, sosialisasi, kreativitas, kesadaran diri, nilai moral dan manfaat terapeutik.
B. Tujuann
1. Tujuan Umum
Tujuan umum terapi ini adalah untuk mengetahu efektivitas terapi bermain puzzle
pada anak dengan tuna grahita.
2. Tujuan Khusus
 Meningkatkan perkembangan kecerdasan
 Melatih kemempuan beradaptasi sosial
 Melatih perkembangan sensorimotorik
 Meningkatkan perkembangan kreativitas
BAB II
DESKRIPSI KASUS
A. Karakteristik Sasaran
Sasaran terapi bermain ini adalah anak remaja yang di sekolah luar biasa berjumlah 4
anak dengan kriteria.
1. Anak usia ±10 tahun
2. Dapat berkomunikasi secara verbal dan non verbal
3. Mampu mendengar
4. Bersedia mengikuti permainan
B. Analisa Kasus
Dalam kelas tersebut terdapat 4 orang anak umur kurag lebih 10 tahun dengan
kebutuhan khusus tuna grahita.
Alasan menggunakan terapi bermain adalah untuk meningkatkan kecerdasan,
kemampuan anak dalam beradaptasi sosial, sensorik motorik dan kreatifitas anak
Pembelajaran dan pengembangan paling baik dilakukan melalui permainan.
Melalui permainan, anak-anak dapat belajar tentang kemampuan dan keterbatasan
mereka sendiri, aturan sosial, perbedaan antara fantasi dan kenyataan, melatih
keterampilan baru dan menguasai situasi yang sulit dan menantang.
C. Prinsip Bermain Menurut Teori
1. Permainan tidak menggunakan banyak energi
2. Waktu bermain lebih singkat untuk menghindari kelelahan
3. Mainan harus relative aman
4. Sesuai dengan kelompok usia
5. Tidak bertentangan dengan terapi
D. Karakteristik Permainan Menurut Teori
Di dalam terapi bermain terbentuk komunikasi yang dinamis. Bermain bagi anak-
anak adalah ekspresi simbolik dari dunia mereka. Bermain menyediakan jarak emosional
diperlukan untuk komunikasi (Homeyer, Morrison, 2008). Kooperatif play Permainan
yang terorganisasi dan terencana dan ada aturan tertentu. Biasanya dilakukan oleh anak
usia sekolah adolescent.
BAB III
METODOLOGI BERMAIN
A. Judul/Jenis Permainan
PERMAINAN PUZZLE
B. Deskripai Permainan
Puzzle merupakan permainan dengan cara menyusun gambar.
Pada permainan yang satu ini anak Anda dilatih untuk mengingat sebuah bentuk gambar,
kemudian menyusunnya kembali dengan tepat. Proses ini juga akan membantu anak
Anda untuk mengingat & menyusun kembali bentuk dari puzzle.
C. Tujuan Permainan
Bermain puzzle membantu anak memahami dan mengikuti instruksi dalam
mencapai suatu tujuan. Permainan ini pun dapat melatih memori, karena anak akan
mencoba untuk mengingat kembali potongan gambar, pola, atau kata-kata agar bisa
sesuai satu dengan lainnya
D. Ketrampilan Yang Diperlukan
Ketrampilan mahasiswa dalam berkomunikasi dengan anak, ketrampilan
mahasiswa bekerja sama menjalankan perannya sebagai leader, observer dan fasilitator
sehingga tujuan terapi bermain tercapai.
E. Alat Yang Diperlukan
1. PUZZLE
F. Waktu Yang Diperlukan
Tempat : Kelas Tuna Grahita
Hari/Tgl : Selasa, 9 November 2021
Pukul : 08.00 s/d Selesai
G. Proses Bermain
Acak puzel lalu ajak anak mencocokan potongan pazel tersebut kemudian koreksi
dan berikan pujian pada anak
H. Hal Hal Yang Perlu Diwaspadai
Dalam kegiatan bermain kadang tidak dapat dicapai keseimbangan dalam bermain,
yaitu apabila terdapat hal-hal seperti dibawah ini :
1. Kesehatan anak menurun. Anak yang sakit tidak mempunyai energi untuk aktif
bermain.
2. Tidak ada variasi dari alat permainan.
3. Tidak ada kesempatan belajar dari alat permainannya.
4. Tidak mempunyai teman bermain
I. Antisipasi Meminimalkan Hambatan
Pemilihan anak untuk mengikuti permainan ini mengikuti kriteria anak yg sudah
ditetapkan. Remaja berusia 9-10 thn, dapat berkomunikasi secara verbal dan non verbal,
mampu mendengar, bersedia mengikuti permainan.
Kerjasama antar mahasiswa sangat diperlukan agar anak dapat mengikuti terai
bermain hingga akhir.
J. Pengorganisasian
Keterangan :
= leader
= anak - anak
= Fasilitator
= observer

Struktur Organisasi
Leader :
Bertanggung jawab terhadap terlaksananya terapi aktivitas, yaitu membuka dan menutup
kegiatan ini.
Fasilitator :
Mempersiapkan alat dan tempat permainan serta mendampingi setiap peserta dalam
mengikuti terapi aktivitas.
Observer :
Memfasilitasi pelaksanaan terapi bermain; terapi kreativitas dan mengamati, mencatat
jalannya terapi aktivitas.
K. Kriteria Evaluasi
1. Evaluasi Struktur
a. Kondisi lingkungan tenang kondusif sehingga anak dapat berkonsentrasi
terhadap terapi bermain
b. Alat yang digunakan dalam kondisi baik
c. Leader, fasilitator, observer berperan sesuai tugasnya
2. Evaluasi Proses
a. Leader mampu memimpin terapi bermain
b. Fasilitator mampu memotivasi anak selama mengikuti terapi bermain
c. Observer sebagai pengamat melaporkan hasil pengamatan selama terapi bermain
d. Anak mengikuti kegiatan yang dilakukan dari awal hingga akhir
3. Evaluasi Hasil
a. Anak mampu berkomunikasi yang dinamis
b. Anak melakukan pemikiran dan eksplorasi kreatif
c. Anak mampu mengatur emosi
d. Anak mengeluarkan bakat ketrampilan dan peran untuk mengahdapi hidup
e. Anak dapat kerjasama tim
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari beberapa literatur yang sudah dipaparkan, kelompok kami
meyadari betul bahwa anak berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama, khususnya
tunagrahita. Hak yang sama dalam berbagai hal, termasuk mendapatkan pendidikan yang
layak. Pendidikan secara formal ataupun nonformal. Merekapun memiliki hak untuk
mendapatkan semua fasilitas yang diberikan oleh negara dengan tanpa dibedakan.

Anda mungkin juga menyukai