Anda di halaman 1dari 20

PROPOSAL

POLA ASUH ORANGTUA YANG MEMILIKI ANAK KETERLAMBATAN BICARA


(SPEECH DELAY)

UNTUK MEMENUHI SALAH SATU TUGAS

MATA KULIAH : Seminar Psikologi Klinis


SEMESTER / TA : VII, 2020
DOSEN PENGAMPU : Veronica J. Kamasi, S.psi., MA

Disusun Oleh:

RIZKA CHINTA BELLA


NIM: 201721002

YAYASAN GMIM Ds. A.Z.R. WENAS


UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON
FAKULTAS PSIKOLOGI
TAHUN 2020
HALAMAN JUDUL. . . . . . . . . . . . . . . .

DAFTAR ISI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

1. BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penelitian
1.4. Manfaat Peneletian
1.4.1. Secara Teoritis
1.4.2. Secara Praltis

2. BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA


2.1. Keterlambatan Bicara (speech Delay)
2.1.1. Pengertian Bicara
2.1.2. Etiologi Keterlambatan Biacara dan Bahasa
2.1.3. Faktor Keterlambatan Bicara Pada Anak
2.2. Pola Asuh OrangTua
2.2.1. Pengertian Pola Asuh
2.2.2. Jenis Pola Asuh OrangTua
2.2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua

3. BAB 3 METODE PENELITIAN


3.1. Jenis Penelitian
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
3.3. Sumber Data
3.4. Metode dan Alat Pengumpul Data
3.4.1. Wawancara
3.4.2. Observasi Partisipan
3.4.3. Catatan Lapangan
3.4.4. Dokumentasi
3.4.4.1. Rekaman
3.4.5. Keasahan Data
3.4.6. Analisis Data

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bahasa adalah bentuk aturan atau sistem lambang yang digunakan anak dalam
berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang dilakukan untuk
bertukargagasan, pikiran dan emosi. Bahasa bisa diekspresikan melalui bicara mengacu
pada simbol verbal. Selain dengan menggunakan simbol verbal,bahasa dapat juga
diekspresikan melalui tulisan, tanda gestural dan musik. Bahasa juga dapat mencakup aspek
komunikasi nonverbal seperti gestikulasi, gestural atau pantomim. Gestikulasi adalah
ekspresi gerakan tangan dan lengan untuk menekankan makna wicara. Pantomim adalah
sebuah cara komunikasi yang mengubah komunikasi verbal dengan aksi yang mencakup
beberapa gestural (ekspresi gerakan yang menggunakan setiap bagian tubuh) dengan
makna yang berbeda-beda).

Kemampuan bicara dan bahasa melibatkan perkembangan kognitif, sensorimotor,


psikologis, emosi dan lingkungan sekitar anak. Kemampuan bahasa pada umumnya dapat
dibedakan atas kemampuan reseptif (mendengar dan memahami) dan kemampuan
ekspresif (berbicara). Kemampuan bicara lebih dapat dinilai daripada kemampuan lainnya
sehingga pembahasan mengenai kemampuan bahasa lebih sering dikaitkan dengan
kemampuan berbicara. Kemahiran dalam bahasa dan berbicara dipengaruhi oleh faktor
intrinsik (dari anak) dan faktor ekstrinsik (dari lingkungan). Faktor intrinsik yaitu kondisi
pembawaan sejak lahir termasuk fisiologi dari organ yang terlibat dalam kemampuan
bahasa dan berbicara. Sementara itu faktor ekstrinsik berupa stimulus yang ada di sekeliling
anak terutama perkataan yang didengar atau ditujukan kepada si anak.

Masalah keterlambatan bicara pada anak merupakan masalah yang cukup serius yang
harus segera ditangani karena merupakan salah satu penyebab gangguan perkembangan
yang paling sering ditemukan pada anak. Keterlambatan bicara dapat diketahui dari
ketepatan penggunaan kata, yang ditandai dengan pengucapan yang tidak jelas dan dalam
berkomunikasi hanya dapat menggunakan bahasa isyarat, sehingga orang tua maupun
orang yang ada disekitarnya kurang dapat memahami anak, walaupun si anak sebenarnya
dapat memahami apa yang dibicarakan orang. Keterlambatan bicara seperti mana yang
diketahui mengacu pada hambatan maupun gangguan perkembangan anak. Gangguan
berbicara pada anak telah didefinisikan sebelumnya sebagai ketidaknormalan kemampuan
berbicara seorang anak jika dibandingkan dengan kemampuan anak yang seusia dengannya.
Pola asuh orang tua dalam mendidik anak memiliki peran yang sangat penting.
Keterlambatan bicara biasa dialami oleh anak kota, dikarenakan sibuknya orangtua untuk
bekerja, membuat anak di asuh oleh pengasuh atau dititipkan kepada kakek-nenek.
Menurut psikolog anak Ayoe Utami, pola asuh yang salah menjadi salah satu penyebab
utama anak terlambat bicara, yaitu pada saat orangtua kurang memberikan stimulasi
kepada anak. Orang tua kurang mengajak anak berbicara dan beraktivitas yang dapat
merangsang kemampuan bicara (Harsono,2017). Law dkk (dalam Sunanik, 2013),
menyatakan bahwa anak yang memperoleh contoh berbahasa yang kurang baik dari
orangtua maupun keluarga, kurang berinteraksi, dan tidak memiliki lawan untuk
berkomunikasi, akan menyebabkan kemampuan berbahasa anak rendah. E.H. Berger
menjelaskan bahwa pola asuh adalah aktivitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang
secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Perkembangan optimal secara fisik,
bahasa, kognitif, emosi, dan sosial (Asmawati,2015)

Pola asuh memiliki berbagai definisi sesuai dengan bidang fokus penelitian dan usia anak
tertentu. Baumrind memperkenalkan tiga jenis gaya pengasuhan, yaitu permisif, otoriter,
dan otoritatif. Gaya pengasuhan permisif mencakup metode nonhukuman, akseptan, dan
afirmatif untuk mengatasi impuls dan tindakan anak-anak. gaya pengasuhan yang otoritatif
memungkinkan untuk membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku anak-anak
dan meningkatkan keterampilan untuk mencapai standar orangtua yang adil (Nam &
Chun,2014). Pola asuh otoritatif, dilaporkan sebagai gaya pola asuh yang optimal, mengikuti
minat dan kebutuhan anak sendiri sambil menekankan perspektif orang tua sebagai orang
dewasa. Orangtua mungkin mengarahkan kegiatan anak-anak melalui dukungan emosional,
standar tinggi, dan pemberian otonomi. Pola asuh yang memberi pengaruh baik terhadap
perkembangan anak yaitu pola asuh demokratis, di mana dalam model pengasuhannya
orang tua memberikan kesempatan kepada anak untuk membuat pilihan mengenai apa
yang disukainya. Pola asuh yang demokratis membuat orangtua percaya pada kemampuan
anak dalam menghargai keputusan mandiri, minat,pendapat dan kepribadian anak. Selain
itu, interaksi dan respon dari orangtua memiliki peran penting dalam perkembangan bahasa
pada anak. anak akan lebih mudah untuk mencapai kemampuan bahasa karena menerima
contoh berbahasa, berekspresi dan berperilaku yang baik dari keluarga, sehingga
komunikasi dan interaksi yang terjalin dapat meningkatkan kemampuan perbendaharaan
kata, keterampilan komunikasi, dan keberanian anak (Rohmah, Astikasari & Weto, 2018).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Haerani Nur (2017) dengan judul Mother’s
Experience in Parenting Disabled Children menyebutkan bahwa ibu yang mempunyai anak
dengan gangguan perkembangan berupa terlambat dalam berbicara dan bahasa mengalami
beberapa masalah yang menyebabkan reaksi emosi negative dan berdampak pada perilaku
pengasuhan yang buruk. Hal yang ditemukan pada penelitian tersebut, bahwa ibu
cenderung permisif, overprotektif, dan memaksakan kehendak (Nur, 2017).

Penelitian dengan judul Peran Pola Asuh Orangtua dalam Meningkatkan Kemampuan
Bicara Anak Speech Delay, yang dilakukan oleh Lanny Wijayaningsih (2018), menyimpulkan
bahwa orangtua yang kurang berperan dalam menstimulasikan anak dan kurangnya
interaksi, dapat menjadikan anak mengalami speech delay. Selain itu, dalam penelitian
tersebut ditemukan bahwa orangtua menerapkan pola asuh yang kurang konsisten, yaitu
mengarah ke demokratis dan permisif (Wijayaningsih, 2018).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Miftahur Rohmah, Nita Dwi Astikasari, dan
Iriyanti Weto dengan judul Analisis Pola Asuh Orangtua dengan Keterlambatan Bicara pada
Anak Usia 3-4 Tahun (2018), yang menggunakan metode penelitian Cross Sectional, dan
menggunakan informan sebanyak 32 responden. Penelitian ini menunjukkan bahwa pola
asuh yang diterapkan oleh sebagian besar orangtua adalah pola asuh permisif yaitu sebesar
15 responden dari total 32 responden. Selain itu, adanya hubungan yang signifikan antara
pola asuh dengan keterlambatan bicara pada anak. Hasil menunjukkan sebanyak 13
responden (40,6%) orangtua yang menerapkan pola asuh permisif, memiliki anak yang
dicurigai terlambat bicara.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan


dengan penelitian sebelumnya adalah, teori yang akan digunakan sama yaitu teori pola
asuh dari Baumrind. Namun, yang membedakan antara penelitian ini dengan sebelumnya
adalah peneliti terdahulu memberikan batasan usia anak speech delay, sedangkan pada
penelitian ini peneliti tidak memberikan batasan usia, sehingga cakupan usia anak menjadi
lebih luas.

Melalui latar belakang ini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Pola Asuh Orangtua yang Memiliki anak Keterlambatan Bicara (Speech Delay).”

1.2. Rumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

Bagaimana pola asuh yang diterapkan orangtua yang memiliki anak dengan
Keterlambatan Bicara (speech delay)?
1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pola
asuh pada orangtua yang memiliki anak Kerlambatan bicara (speech delay).

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya:

1.4.1. Secara Teoritis

1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa diharapkan dapat memahami lebih dalam bagaimana pola asuh
pada orangtua yang memiliki anak Kerlambatan bicara (speech delay) yang dilihat
dari sudut pandang psikologi.

2. Bagi Peneliti

Melalui penelitian ini akan diteliti bagaimana pola asuh pada orangtua
yang memiliki anak kerlambatan bicara (speech delay) yang dikaji dari sudut
pandang psikologi. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
membuktikan teori yang sudah ada dan dapat juga digunakan sebagai pijakan
untuk melakukan penelitian selanjutnya yang sejenis.

3. Bagi ilmu pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis pada ilmu


pengetahuan khususnya Psikologi Perkembangan bagian Psikologi Linguistik.

1.4.2. Secara Paraktis


1. Bagi Mahasiswa

Melalui penelitian ini mahasiswa diharapkan dapat memahami lebih dalam


bagaimana perkembangan bicara pada anak terutama mengenai keterlambatan
bicara (speech delay) yang dilihat dari sudut pandang psikologi. Hal ini dapat
menjadi bekal bagi mahasiswa dalam menghadapi dan memberikan perlakuan
kepada kasus keterlambatan bicara (speech delay) pada anak secara lebih baik dan
bijak sesuai kompetensi.
2. Bagi Orangtua

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada orangtua


mengenai pola asuh pada anak, selain itu dapat menjadi acuan dalam menetapkan
pola asuh kedepannya.

3. Bagi Masyarakat

Masyarakat diharapkan ikut ambil alih dalam menanggapi permasalahan


keterlambatan bicara (speech delay) pada anak secara positif dengan
memanfaatkan hasil penelitian ini. Peran aktif masyarakat diharapkan dapat
mengurangi dampak yang akan terjadi di masa yang akan datang.

4. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat membantu dan menjadi pedoman


informasi atas penelitian selanjutnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
pola asuh orangtua yang memiliki anak terlambatan bicara (speech delay)
BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Keterlambatan Bicara (Speech Delay)


2.1.1 Pengertian Bicara
Dyer ( 2009: 2) mendefinisikan kemampuan bicara dan bahasa adalah dua
hal yang diukur secara terpisah dan secara bersama-sama dianggap mencerminkan
kemampuan lisan seorang anak secara keseluruhan. Kemampuan bicara terdiri
dari berbagai bunyi yang dibuat orang dengan mulut mereka untuk
berkomunikasi. Hal tersebut diukur dengan membandingkan berbagai bunyi yang
dibuat orang dengan mulut mereka untuk menyampaikan suatu pesan; hal tersebut
merupakan suatu saran yang digunakan untuk berkomunikasi. Hal tersebut diukur
dengan membandingkan berbagai bunyi tertentu serta berbagai kombinasi bunyi
yang digunakan seorang anak dengan norma-norma yang ada bagi kelompok
seusianya. Kemampuan bicara juga melibatkan kualitas, puncak, taksiran, dan
intonasi suara.
Bahasa merupakan suatu konsep yang lebih luas daripada kemampuan
berbicara. Bahasa merupakan suatu sistem simbolis, yang digunakan untuk
mewakili pikiran seseorang. Hal tersebut mengacu pada kosakata, tata bahasa, dan
kondisi sosial yang mengatur cara kita berkomunikasi melalui berbagai sarana
seperti berbicara, memberikan isyarat tubuh, dan menulis. Bahasa memberikan
arti bagi semua bunyi dari kemampuan bicara yang kita lakukan.
Hurlock (1978: 176) menjelaskan bahwa banyak orang yang
mempertukarkan penggunaan istilah “bicara” (speech) dengan “bahasa”
(language), meskipun kedua istilah tersebut sebenarnya tidak sama. Bahasa
mencakup setiap sarana komunikasi dengan menyimbolkan pikiran dan perasaan
untuk menyampaikan makna kepada orang lain. Termasuk di dalamnya perbedaan
bentuk komunikasi yang luas seperti: tulisan, bicara, bahasa simbol, ekspresi
muka, isyarat, pantomim, dan seni.
Bicara adalah bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-kata
yang digunakan untuk menyampaikan sesuatu. Karena bicara merupakan bentuk
komunikasi yang paling efektif, penggunaannya paling luas dan paling penting.
Jakobson menunjukkan bahwa, “semua orang yang otaknya waras berbicara,
namun hampir setengah penduduk dunia adalah tuna aksara total, dan penggunaan
bacaan dan tulisan sesungguhnya merupakan kekayaan sebagian kecil saja”.
Bicara merupakan ketrampilan mental-motorik. Berbicara tidak hanya
melibatkan koordinasi kumpulan otot mekanisme suara yang berbeda, tetapi juga
mempunyai aspek mental yakni kemampuan mengaitkan arti dengan bunyi yang
dihasilkan. Meskipun demikian, tidak semua bunyi yang dibuat anak dapat
dipandang sebagai bicara. Sebelum anak cukup dapat mengendalikan mekanisme
otot syaraf untuk menimbulkan bunyi yang jelas, berbeda, dan terkendali,
ungkapan suaranya merupakan bunyi artikulasi. Lebih lanjut, sebelum mereka
mampu mengaitkan arti dengan bunyi yang terkendali itu, tidak jadi soal
betapapun betulnya ucapan yang mereka keluarkan, pembicaraan mereka hanya
“membeo” karena kekurangan unsur mental dari makna yang dimaksud.
Ada dua kriteria yang dapat digunakan untuk memutuskan apakah anak
berbicara dalam artian yang benar atau hanya “membeo”. Yang pertama adalah
bahwasanya anak harus mengetahui arti kata yang digunakannya dan
mengkaitkannya dengan obyek yang diwakilinya. Sebagai contoh, kata “bola”
harus mengacu hanya pada bola, bukan pada mainan umumnya. Dan yang kedua,
ialah anak harus melafalkan kata-katanya sehingga orang lain memahaminya
dengan mudah. Kata-kata yang hanya dapat dipahami anak karena sudah sering
mendengarnya atau karena telah belajar memahaminya dan menduga apa yang
sedang dikatakan, tidaklah memenuhi kriteria tersebut.
Berdasarkan pada pemaparan di atas dapat disimpulkan definisi bicara
adalah bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-kata yang
digunakan untuk menyampaikan sesuatu. Bicara itu juga terdiri dari berbagai
bunyi yang dibuat orang dengan mulut mereka untuk berkomunikasi, tetapi tidak
semua bunyi
yang dibuat anak dapat dipandang sebagai bicara. Hal yang dapat membuktikan
bahwasannya orang tersebut berbicara adalah dia harus mengerti arti dari kata
yang diproduksinya, di samping itu dia juga harus melafalkannya agar orang lain
dapat memahaminya dengan mudah.

Kriteria diagnosis gangguan berbahasa berdasarkan DSM-5 adalah :


A. Kesulitan yang menetap untuk memperoleh dan menggunakan bahasa
pada berbagai modalitas (misalnya secara wicara, tertulis, bahasa isyarat,
atau lainnya) karena adanya kekurangan dalam pemahaman atau produksi
yang meliputi sebagai berikut:
1. Berkurangnya kosakata (pengetahuan dan penggunaan kata)
2. Struktur kalimat yang terbatas (kemampuan untuk menyusun kata dan
akhiran kata secara bersama-sama untuk membentuk kalimat
berdasarkan aturan tata bahasa dan morfologi)
3. Gangguan pada bercerita (kemampuan untuk menggunakan kosakata
dan menghubungkan kalimat untuk menjelaskan atau
menggambarkan suatu topik atau serangkaian kejadian atau untuk
melakukan percakapan)
B. Kemampuan berbahasa secara bermakna dan terukur berada di bawah
yang diharapkan untuk usia yang sesuai, menyebabkan keterbatasan
fungsional pada komunikasi efektif, partisipasi social, pencapaian
akademik, atau performa dalam pekerjaan, secara individual atau dalam
kombinasi.
C. Awitan gejala adalah pada periode perkembangan awal
D. Kesulitan ini tidak disebabkan oleh gangguan pendengaran atau gangguan
sensoris lainnya, disfungsi motorik, atau kondisi medis atau neurologis
lainnya dan tidak dijelaskan dengan lebih baik oleh hendaya intelektual
(gangguan perkembangan intelektual) atau penundaan perkembangan global.

2.1.2 Etiologi keterlambatan bicara dan bahasa


Penyebab keterlambatan bicara sangat banyak dan bervariasi. Gangguan
tersebut ada yang ringan sampai yang berat. Penyebab keterlambatan bicara bisa
terjadi gangguan mulai dari proses pendengaran, penerus impuls ke otak, otot atau
organ pembuat suara. Beberapa penyebab utama keterlambatan bicara diantaranya
adalah retardasi mental, gangguan pendengaran dan keterlambatan maturasi.
Keterlambatan maturasi sering juga disebut keterlambatan bicara fungsional
termasuk gangguan yang paling ringan dan saat usia tertentu akan membaik.
Penyebab lain yang relatif jarang adalah kelainan organ bicara, kelainan genetik
atau kromosom, autis, mutism selektif, afasia reseptif, dan deprivasi lingkungan.
Deprivasi lingkungan bisa disebabkan lingkungan sepi, dua bahasa, status
ekonomi sosial, teknik pengajaran salah, sikap orangtua (Judarwanto, 2013).
Pemahaman tentang manifestasi klinis penyebab keterlambatan bicara
sangat diperlukan untuk membedakan keterlambatan fungsional atau
nonfungsional. Keterlambatan bicara fungsional sering juga diistilahkan
keterlambatanmaturasi atau keterlambatan perkembangan bahasa yang disebabkan
keterlambatan maturitas (kematangan) dari proses saraf pusat yangdibutuhkan
untuk memproduksi kemampuan bicara pada anak. Keterlambatan bicara
nonfungsional disebabkan adanya gangguan bahasa reseptif, gangguan
kemampuan pemecahan masalah visuo-motor,dan keterlambatan perkembangan.
Keterlambatan bicara nonfungsional dicurigai bila disertai kelainan neurologis
bawaan atau didapat seperti wajah dismorfik, perawakan pendek, mikrosefali,
makrosefali, tumor otak, kelumpuhan umum, infeksi otak, gangguan anatomis
telinga, gangguan mata, cerebral palsi,dan gangguan neurologis lainnya. Klinisi
dan orang tua harus dapat membedakan dengan keterlambatan bicara fungsional
dan nonfungsional.

2.1.3 Faktor keterlambatan bicara pada anak


Faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi terlambat bicara dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu:
A. Faktor internal
a. Genetik
Gangguan bicara dan bahasa berkaitan dengan kerusakan kromosom
1,3,6,7, dan 15. Kerusakan di kromosom ini juga berhubungan dengan
gangguan membaca. Kromosom tersebut membawa gen yang
memengaruhi perkembangan sel saraf saat prenatal (Korbin, 2008).

b. Kecacatan fisik
Cacat yang berhubungan dengan gangguan bicara adalah kondisi fisik
yang menyebabkan gangguan penghantaran suara seperti gangguan pada
telinga dan bagian pendengaran. Gangguan yang lain adalah yang
memengaruhi artikulasi seperti abnormalitas bentuk lidah, frenulum yang
pendek, atau adanya celah di langit-langit mulut (Perna, 2013).

c. Malfungsi neurologis
Gangguan neurologis juga dapat berkaitan dengan gangguan penghantaran
suara di telinga akibat kerusakan sistem saraf. Proses pembentukan saraf
selama masa prenatal yang terganggu merupakan penyebab tersering
karena pemakaian obat-obatan selama kehamilan (Perna, 2013).

d. Prematur
Prematuritas dalam hal keterlambatan bicara pada anak berhubungan
dengan berat badan lahir yang rendah. Berat badan lahir rendah
merupakan indikasi bahwa nutrisi yang diedarkan ke dalam tubuh belum
maksimal sehingga perkembangan beberapa bagian tidak optimal.
Prematur juga menyebabkan belum sempurnanya pembentukan beberapa
organ sehingga dalam perkembangannya mengalami keterlambatan (Amin
dkk, 2009).

B. Faktor Eksternal
a. Urutan/jumlah anak
Anak pertama lebih sering mengalami terlambat bicara dan bahasa.
Jumlah anak yang semakin banyak maka kejadian keterlambatan bicara
makin meningkat atau insiden keterlambatan bicara sering terjadi pada
anak yang memiliki jumlah saudara banyak karena berhubungan dengan
komunikasi antara orangtua dan anak. Anak yang banyak akan
mengurangi intensitas komunikasi anak dan orangtua (Hartantodkk, 2009).

b. Status sosial ekonomi


Sosial ekonomi yang rendah meningkatkan risiko terjadinya
keterlambatanbicara. Orangtua yang tidak mampu secara ekonomi akan
lebih focus untuk pemenuhan kebutuhan pokoknya dan mengabaikan
perkembangan anaknya. Sosial ekonomi rendah juga rawan untuk
terjangkit penyakit infeksi yang memungkinkan terjadinya gangguan saraf
dan kecacatan(Perna, 2013).

c. Fungsi keluarga
Fungsi keluarga berhubungan dengan pola asuh atau interaksi orangtua
dengan anak dalam suatu keluarga. Fungsi keluarga berpengaruh terhadap
perilaku anak dan juga insiden keterlambatan bicara pada anak. Keluarga
dengan fungsi buruk maka di dalam keluarga tidak terdapat kehangatan
dan hubungan emosi tidak terjalin dengan baik. Anak sering mengalami
salah asuh atau perawatan yang salah dan pengabaian. Keluarga yang
fungsinya baik tidak akan pernah terjadi kekerasan dalam rumah tangga
terutama kehamilan yang berefek terhadap perkembangan mental anak.
Keluarga yang berfungsi buruk karena pengabaian dan kesibukan orangtua
sehingga anak dibekali dengan gadget untuk bermain sehingga tenang dan
hal tersebut membuat kemampuan anak dalam bicara dan bahasa tidak
terlatih dengan baik (Restiyani, 2013).

d. Bilingual
Penggunaan dua bahasa atau lebih di rumah dapat memperlambat
kemampuan anak menguasai kedua bahasa tersebut. Anak dengan
kemampuan bilingual dapat menguasai kedua bahasa tersebut sebelum
usia lima tahun. Pada anak dengan keterlambatan bicara yang disertai
penggunaan beberapa bahasa di rumah, akan menghambat kemajuan anak
tersebut dalam tata laksana selanjutnya sehingga bilingual harus
dihilangkan pada anak yang mengalami keterlambatan bicara
(Mangunatmadja, 2010).

2.2 Pola Asuh OrangTua


2.2.1 Pengertian Pola Asuh Orangtua
Hurlock mengatakan bahwa pola asuh dapat diartikan pula dengan
kedisiplinan. Disiplin merupakan cara masyarakat mengajarkan kepada anak
perilaku moral yang dapat diterima kelompok. Adapun tujuan kedisiplinan adalah
memberitahukan kepada anak sesuatu yang baik dan buruk serta mendorongnya
untuk berperilaku dengan standar yang berlaku dalam masyarakat.
Markum (1999 : 49) berpendapat bahwa pola asuh adalah cara orang tua
mendidik anak dan membesarkan anak yang dipengaruhi oleh banyak faktor,
antara lain faktor budaya, agama, kebiasaan, dan kepercayaan, serta pengaruh
kepribadian orang tua (orang tua sendiri atau orang yang mengasuhnya)
Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu “pola” dan “asuh”. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, “pola” berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk
(struktur) yang tetap. (Depdikbud, 1988: 54) . Sedangkan kata “asuh” dapat berati
menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu; melatih
dan sebagainya), dan memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan
atau lembaga. (TIM Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, 1988 : 692) Lebih jelasnya kata asuh adalah mencakup segala aspek yang
berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan, dan bantuan sehingga
orang tetap berdiri dan menjalani hidupnya secara sehat. Menurut (Mussen, 1994,
h.395) Pola asuh adalah cara yang digunakan orangtua dalam mencoba berbagai
strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan tersebut
antara lain pengetahuan, nilai moral, dan standart perilaku yang harus dimiliki
anak bila dewasa nanti. Pernyataan yang sama juga di kemukakan oleh Gunarsa
(1990) bahwa pola asuh adalah suatu gaya mendidik yang dilakukan oleh
orangtua untuk membimbing dan mendidik anak-anaknya dalam proses interaksi
yang bertujuan memperoleh suatu perilaku yang diinginkan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua adalah
cara orang tua memperlakukan anaknya dengan menjaga, merawat, dan mendidik
anaknya. Dari cara perlakuan orang tua akan mencerminkan karakteristik
tersendiri yang mempengaruhi pola sikap anak kemudian hari.

2.2.2 Jenis Pola Asuh Orang Tua


Menurut Gordon (1991 : 115), Ada tiga macam sistem bagaimana orang tua
mendidik atau menjalankan perannya sebagai orang tua:
a. Sistem otoriter yaitu pola asuh dimana individu menggunakan peraturan
peraturan yang ketat dan menuntut agar peraturan-peraturan itu dipatuhi.
Orangtua yang bersikap otoriter dan memberikan kebebasan penuh menjadi
pendorong bagi anak untuk berperilaku agresif. Orangtua tidak mendukung
anak untuk membuat keputusan sendiri, selalu mengatakan apa yang harus
dilakukan anak, tanpa menjelaskan mengapa anak harus melakukan hal
tersebut. Akibatnya, anak kehilangan kesempatan untuk belajar bagaimana
mengendalikan perilakunya sendiri. Ada larangan-larangan yang diberlakukan
orangtua yang tidak masuk akal, seperti tidak boleh bermain di luar rumah.
Pola asuh otoriter ini dapat membuat anak sulit menyesuaikan diri. Ketakutan
anak terhadap hukuman justru membuat anak menjadi tidak jujur dan licik.
b. Sistem permisif yaitu pola asuh yang memberikan kebebasan pada individu
tanpa mengambil keputusan tanpa adanya kontrol dan perhatian orang tua,
atau cenderung sangat pasif ketika ketika menanggapi ketidakpatuhan.
Orangtua permisif tidak begitu menuntut, juga tidak menetapkan sasaran yang
jelas bagi anaknya, karena yakin bahwa anak-anak seharusnya berkembang
sesuai dengan kecenderungan alamiahnya. Akibatnya, anak menjadi cemas,
takut dan agresif serta terkadang menjadi pemarah karena menganggap
orangtua kurang memberi perhatian. Bagi beberapa orang di lingkungannya,
anak yang terlalu dibebaskan itu dianggap sebagaianak yang manja.
c. Sistem otoritatif yaitu: sikap orang tua yang memberi bimbingan, tetapi tidak
mengatur. Pola asuh otoriatif menghargai anak-anaknyatetapi menuntut
mereka memenuhi standar tanggung jawab yang tinggi kepada keluarga,
teman sebaya dan masyarakat. Atau disebut pola asuh demokratif. Dengan
adanya pola asuh otoritatif anak lebih percaya diri, mandiri, imajinatif, mudah
beradaptasi, dan disukai banyak orang yakni anak-anak dengan kecerdasan
emosional berderajat tinggi.

2.2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua


a. Faktor sosial ekonomi
orang tua yang berasal dari kelas ekonomi menengah cenderung lebih bersifat
hangat dibanding orang tua yang berasal dari kelas sosial ekonomi bawah.
Orang tua dari golongan ini cenderung menggunakan hukuman fisik dan
menunjukkan kekuasaan mereka. Orang tua dari kelas ekonomi menengah
lebih menekankan pada perkembangan keingintahuan anak, kontrol dalam diri
anak, kemampuan untuk menunda keinginan, bekerja untuk tujuan jangka
panjang dan kepekaan anak dalam berhubungan dengan orang lain. Orang tua
dari golongan ini lebih bersikap terbuka terhadap hal-hal yang baru.

b. Faktor tingkat pendidikan


orang tua yang bersikap demokratis dan memiliki pandangan mengenai
persamaan hak antara orang tua dan anak cenderung berkepribadian tinggi.
Orang tua dengan berlatar belakang pendidikan yang tinggi dalam praktek
pola asuhnya terlihat sering membaca artikel ataupun mengikuti kemajuan
pengetahuan mengenai perkembangan anak. Dalam mengasuh anaknya
mereka menjadi lebih siap dalam memiliki latar belakang pengetahuan yang
luas, sedangkan orang tua yang memiliki latar belakang pendidikan rendah
memiliki pengetahuan dan pengertian yang terbatas mengenai kebutuhan
perkembangan anak, kurang menunjukkan pengertian dan cenderung
mendominasi anak (Heterington dan Parke, 1979 :20).

c. Jumlah anak
Jumlah anak juga mempengaruhi pola asuh tersebut. Orang tua yang hanya
memiliki 2-3 orang anak akan menggunakan pola asuh
otoriter. Dengan digunakannya pola asuh ini orang tua menganggap dapat
tercipta ketertiban dirumah (Watson, 1970 :170).
Berdasarkan keterangan diatas, bahwasannya banyak factor yang dapat
mempengaruhi pola asuh orang tua. Sehingga suatu bentuk pola asuh sangat
tergantung pada bagaimana keluarga atau pendidik menata pola dalam
mengasuh disesuaikan dengan faktor-faktor pengaruh yang ada. Oleh karena
itu, suatu sistem pola asuh sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik itu
membentuk sistem pola asuh otoriter, permisif, demokratis, atau bahkan
mengkolaborasikan ketiga pola diatas sebagai suatu klasifikasi tertentu.

2.2.4 Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Karakteristik Anak


Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anaknya, membentuk
karakteristik-karakteristik yang berbeda-beda. Berikut adalah karakteristik-
karakteristik anak dengan pola-pola asuh tersebut di atas, sebagai berikut.

a. Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak yang mandiri,


dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu
menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan koperatif
terhadap orang-orang lain.
b. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut,
pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar
norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.
c. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang
impulsive, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri,
kurang percaya diri, dan kurang matang secara social
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007:6).
Adapun jenis pendekatan penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian
deskriptif yaitu penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah
yang ada sekarang berdasarkan data-data.
Dalam penelitian ini penulis akan mendeskripsikan sebuah kasus
bagaimana pola asuh orang tua yang memiliki anak yang mengalami
keterlambatan bicara (speech delay).

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran dan informasi yang


lebih jelas, lengkap, serta memungkinkan dan mudah bagi peneliti untuk
melakukan penelitian observasi. Oleh karena itu, maka penulis menetapkan lokasi
penelitian adalah tempat di mana penelitian akan dilakukan.

Tempat :

Waktu Penelitian :

3.3. Sumber Data

Berdasarkan pada focus kajian penelitian yaitu pola asuh orangtua pada
anak yang memiliki keterlambatan bicara (speech delay), maka peneliti
menentukan sumber data dari penelitian ini berasal dari subjek dan narasumber
penelitian.

3.4. Metode dan Alat Pengumpul Data

Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luwes, tipe dan
metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan
dengan masalah, tujuan penelitian, serta objek sifat yang diteliti. Pada proses
Penelitian kualitatif, peneliti menjadi instrumen kunci interaksi. Interaksi peneliti
dengan narasumber diharapkan memperoleh informasi yang mampu mengungkap
permasalahan secara lengkap dan tuntas. Pengumpulan data merupakan langkah
penting dalam rangka penelitian. Pengumpulan data akan berpengaruh pada
langkah-langkah berikutnya sampai dengan tahapan penarikan kesimpulan. Oleh
karena itu dalam proses pengumpulan data diperlukan metode yang benar untuk
memperoleh data-data yang akurat, relevan dan dapat dipercaya kebenarannya.

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah


dengan metode observasi, wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi.
Sebagai teknik pengumpulan data pelengkap dilakukan perekaman. Alat perekam
digunakan sebagai bukti adanya proses pencarian informasi sebagai data
penelitian. Selain itu alat perekam dapat digunakan untuk membantu proses
pengolahan data dengan lebih mudah.

3.4.1. Wawancara

Hadi (dalam Rahayu dan Ardani, 2004: 63) menyatakan bahwa


wawancara adalah metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak
yang dikerjakan dengan sistematik, dan berdasarkan kepada tujuan penyelidikan.
Moleong (2006: 186) menjelaskan bahwa wawancara adalah percakapan dengan
maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee)
yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

Penelitian ini menggunakan pendekatan wawancara dengan pedoman


umum yang akan diberikan kepada kedua orang tua subjek dan juga lingkungan
sosial subjek. Dalam wawancara ini berbentuk wawancara terfokus, yakni
wawancara yang mengarahkan pembicaraan pada hal-hal atau aspek-aspek
tertentu dari kehidupan atau pengalaman subjek. Wawancara juga dapat berbentuk
wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai
berbagai segi kehidupan subjek secara utuh dan mendalam.

3.4.2. Observasi Partisipan

Teknik observasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
observasi partisipan, umumnya digunakan untuk penelitian yang bersifat
eksploratif. Suatu observasi disebut observasi partisipan jika orang yang
mengadakan observasi (observer) turut ambil bagian dalam perikehidupan
observee. Hal ini dikarenakan peneliti akan tinggal di rumah subjek dan berperan
serta mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan subjek selama sehari-hari.
Dalam penelitian ini, pengamatan dilakukan secara tertutup. Artinya
peneliti tidak memberitahukan kepada subjek dan juga lingkungan sosial subjek
mengenai adanya pengamatan ini, agar perilaku yang tampak adalah perilaku
yang apa adanya dan tidak dibuat-buat.

3.4.3. Catatan Lapangan

Catatan lapangan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan hasil observasi


yang telah dilakukan. Catatan lapangan ini disusun setelah peneliti melakukan
penelitian, untuk disempurnakan lagi sehingga tidak ada hal yang terlewatkan.
Catatan lapangan dibuat secara deskriptif dan diberi tanggal, waktu, lokasi serta
informasi-informasi dasar penting lainnya. Pencatatan tidak dilakukan langsung
pada saat di lapangan karena dapat mempengaruhi perilaku alamiah, sehingga
akan dilakukan setiap kali selesai melakukan observasi dan wawancara.

3.4.4. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan untuk mendukung dan menunjang teknik


wawancara dan observasi dalam mengumpulkan data. Adapun dokumentasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.4.4.1. Rekaman

Peneliti menggunakan alat bantu handphone untuk merekam wawancara


terhadap narasumber dan membuat video tentang aktifitas kegiatan. Rekaman
merupakan bukti audio dalam pengumpulan data yang digunakan sebagai
pendukung dan penguat data yang telah diambil oleh peneliti.

3.5. Keasahan Data

Pada penelitian ini, keabsahan data diperoleh dengan cara memperpanjang


keikutsertaan peneliti dalam pengumpulan data di lapangan, melakukan observasi
secara sungguh-sungguh dan terus menerus kepada responden serta melakukan
triangulasi dengan sumber. Teknik yang digunakan untuk melacak dan
membuktikan temuan data dilakukan melalui ketekunan di lapangan, triangulasi,
pembahasan dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, referensi yang
memadai dan pengecekan anggota. Pembuktian kebenaran dalam penelitian ini
menggunakan teknik ketekunan pengamatan di lapangan dan triangulasi.
3.6. Analisis Data

Setelah data diperoleh, tahap selanjutnya adalah analisis data. Analisa data
menurut Patton (dalam Moleong, 2006: 280)adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.
Analisa data dilakukan pada saat mengumpulkan data dan setelah pengumpulan
data. Data yang didapat dari latar penelitian merupakan data mentah yang harus
diolah supaya didapatkan suatu data yang siap disajikan menjadi hasil dari suatu
penelitian. Oleh karena itu dilakukan pemilihan, pereduksian, pengolaborasian,
yang kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. Proses penelitian data
dilakukan dengan cara memisahkan data-data yang digunakan dan data yang tidak
sesuai, kemudian direduksi atau dikelompokkan sesuai dengan karakter atau poin-
poin yang diteliti untuk mempermudah pengambilan kesimpulan yang kemudian
dikolaborasikan dengan cara membuat teori dari temuan baru hasil penelitian.
Hasil reduksi dan pemilihan data yang dilakukan kemudian disederhanakan dan
dituangkan menjadi kesimpulan-kesimpulan singkat yang bermakna.
Daftar Pustaka

Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta: kencana

Rohmah, M. 2018. Analisis pola Asuh Orangtua Dengan katerlambatan Bicara pada Anak Usia
3-5 Tahun.Kebidanan. No.1, hal. 32-42. Vol,3

Wijayaningsih, L. 2018. Peran Pola Asuh Orangtua Dalam Meningkatkan Kemampuan Bicara
Anak Speech Delay. Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini. No. 2, Vol. 1

DSM-5 315.39 (F80-9)

Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000)

Anda mungkin juga menyukai