Nabila Naulianah
FKIP Universitas Wisnuwardhana Malang
nauliananabila@gmail.com
ABSTRAK
Pemerolehan bahasa anak autisme di lingkungan masyarakat
berbeda dengan anak normatif. Anak autisme memiliki pemerolehan bahasa
yang terbatas dan berbeda dalam berkomunikasi, disebabkan oleh faktor
eksternal dan internal. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa hampir
lebih dari separuh anak autis tidak mampu berbicara dengan baik, hal ini
karena berbagai faktor yang memengaruhi 1) dari faktor kebahasaan yang
meliputi aspek keterampilan dalam berbahasa bergantung pada kemampuan
individu si anak, 2) faktor lingkungan sosial meliputi keluarga, pendidikan,
tempat tinggal yang memengaruhi pola perkembangan dan pemikiran anak
selama bergaul dengan masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini penting
untuk dilakukan guna mengetahui hasil dari pemerolehan bahasa anak autis
yang dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat sekitar. Berdasarkan hal
tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemerolehan bahasa
anak autisme pada 1) bentuk leksikon, 2) makna leksikon, 3) bentuk kalimat.
Subjek yang diteliti adalah anak-anak autisme di desa Sukolilo dengan subjek
sebanyak 4 orang dengan jenis autisme dan usia yang berbeda. Penelitian ini
merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini
mendeskripsikan atau menggambarkan hal yang menjadi masalah kemudian
menganalisis data yang ada. Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini
diperoleh melalui wawancara dan simak/dialog. Analisis data dilakukan
dengan mentranskripsikan data menjadi sebuah tulisan dan tabel agar
peneliti lebih mudah dalam menelaah dan mendeskripsikan data pemerolehan
bahasa yang diujarkan oleh subjek. Hasil penelitian ini menunjukkan
pemerolehan bentuk leksikon pada subjek dapat menguasai nomina dengan
jumlah lebih banyak dibanding verba dan adjektiva. Ada beberapa jenis kelas
kata yang masih belum dapat dimunculkan oleh subjek penelitian, dengan
taraf yang berbeda. Pada pemerolehan makna leksikon keempat subjek dapat
mengaitkan makna leksikon secara konsisten dengan referen bentuk leksikon
yang didapat masing-masing subjek. Pemerolehan bentuk kalimat ke empat
subjek memproduksi bentuk kalimat secara fungsional maupun kategorial
dengan hasil yang berbeda. Selain faktor genetis, faktor lingkungan
masyarakat (keluarga, tetangga, sekolah) memang sangat berperan dalam
pemerolehan bahasa pada bentuk leksikon, makna leksikon dan bentuk
kalimat yang diperoleh masing-masing subjek.
PENDAHULUAN
Tiada hari tanpa bahasa dan tiada kehidupan tanpa bahasa, itulah salah satu
ungkapan yang menggambarkan bahasa. Bahasa memiliki peran penting dalam kehidupan
manusia yang dapat mengontrol perilaku, mengubah situasi bahkan merealisasikan
tindakan melalui bahasa yang dituturkan. Bahasa sebagai alat komunikasi juga dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal mencakup
aspek neurologi dan biologi, sedangkan faktor eksternal mencakup aspek faktor sosial dan
psikologi.
Kemampuan seseorang dalam menggunakan bahasa sangat menentukan
efektivitasnya dalam berkomunikasi. Kemampuan berbahasa seseorang tersebut, sejak
kecil sampai dewasa melewati beberapa proses maupun tahapan dalam memerolehnya.
Pada tahap tertentu pemerolehan bahasa tidak lepas dari kemampuan dan kematangan otak
manusia. Seperti yang dikemukakan oleh Soenjono Dardjowidjojo (2016:7) bahwa proses
mental dalam berbahasa yang dilalui oleh setiap individu sangat beragam. Secara psikis,
kemampuan tersebut sangat ditentukan oleh situasi emosional untuk mengungkapkan
ekspresi yang dirasakan, jika keadaan psikis individu terganggu maka mereka cenderung
tidak dapat berkomunikasi dengan baik sehingga dapat mengakibatkan gangguan
emosional dan perilaku terhadap lingkungan sekitar, hal ini sering dialami oleh anak
autisme.
Anak autis mengalami gangguan perkembangan pervasif yakni gangguan salah
satu sistem saraf dalam otak yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Bernard Rimland
(1964) dalam Ginanjar (2007) memaparkan tentang adanya gangguan susunan syaraf pusat
pada anak-anak dengan autistik. Kondisi inilah yang menyebabkan mereka mengalami
gangguan perkembangan pada perkembangan kognitif, bahasa, emosi dan interaksi sosial.
Penelitian sebelumnya dari Miftahunnur (2016) dan Ezmar & Ramli (2014)
menyatakan hasil penelitian bahwa hampir dari separuh anak autis tidak mampu berbicara
dengan baik dan pemerolehan bahasa anak autisme berbeda dengan anak normatif, di
antaranya memiliki impairment dalam bahasa. Salah satu penyebabnya adalah faktor
lingkungan yang tidak memahami atau tidak bekerja sama dalam membantu mereka untuk
berkomunikasi dengan baik. Meilan Arsanti (2014) juga memaparkan bahwa pemerolehan
bahasa anak ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : 1) orang tua dan keluarga, 2)
lingkungan baik tempat tinggal maupun pendidikan, dan 3) kemampuan individu si anak.
Jika ketiga faktor tersebut dapat bekerja sama dengan baik maka pemerolehan bahasa anak
akan sangat sempurna karena setiap hari anak memperoleh pemahaman dan kosakata baru
sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan baik.
Penelitian yang dianggap relevan juga pernah dilakukan oleh Niki Wahyuni (2012)
yang memaparkan bahwa ada dua faktor yang menjadi kendala pada seorang anak dalam
memeroleh suatu bahasa yakni faktor kebahasaan dan faktor lingkungan sosial. Penelitian
ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya. Jika penelitian sebelumnya
meneliti mengenai kemampuan fonologi dan leksikon pada anak autis di Sekolah Luar
Biasa. Maka penelitian ini akan menganalisis pemerolehan bahasa anak autisme di
lingkungan masyarakat pada pemerolehan bentuk leksikon, makna leksikon dan
pemerolehan bentuk kalimat, secara lebih rinci penelitian ini menganalisis mengenai
bagaimana hasil dari pemerolehan bahasa anak autis yang dipengaruhi oleh lingkungan
masyarakat sekitar anak autis tinggal. Anak autis yang digunakan sebagai subjek dalam
penelitian ini adalah 4 anak autis usia 7-12 tahun yang bertempat tinggal di desa peneliti.
Mereka merupakan penutur Bahasa Jawa sebagai B1 dan Bahasa Indonesia sebagai B2
yang didapat dari Sekolah Luar Biasa masing-masing subjek, bahasa mereka sangat
dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya dan kategori autis yang diderita.
Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) menganalisis bentuk leksikon yang diperoleh
anak autis, 2) menganalisis makna leksikon yang diperoleh anak autis, 2) menganalisis
bentuk kalimat yang diperoleh anak autis.
Pemerolehan Bahasa
Menurut Kiparsky pemerolehan bahasa merupakan suatu proses yang
dipergunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin
bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang
mungkin sekali terjadi, dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai dia memilih,
berdasarkan suatu ukuran atau dari bahasa tersebut (dalam Tarigan, 2009). Stork dan
Widdowson mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa adalah suatu proses anak-anak
mencapai kelancaran dalam bahasa ibunya. Kelancaran bahasa anak dapat diketahui dari
perkembangan bahasanya, oleh karena itu akuisisi bahasa perkembangan dan penguasaan
bahasa anak diperoleh dari lingkungannya dan bukan karena sengaja mempelajarinya
(Suhartono, 2005:70). Oleh karena itu, pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran
bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu
seorang anak-anak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya.
Misalnya, dalam masyarakat Jawa, bahasa Indonesia disebut sebagai bahasa kedua jika
anak dibesarkan dalam masyarakat tutur bahasa Jawa.
Dari pernyataan di atas, penelitian yang dilakukan terhadap pemerolehan bahasa
anak tentunya tidak terlepas dari pandangan, hipotesis, atau teori psikologi yang dianut.
Abdul Chaer (dalam Puspita, 2015) mengemukakan bahwa terdapat tiga teori dalam
pemerolehan serta perkembangan bahasa anak, yaitu : 1) Pandangan Behaviorisme (B.F.
Skinner), pandangan ini lebih menekankan pada kebiasaan. Teori ini beranggapan bahwa
pemerolehan bahasa anak dapat dilakukan dengan cara rangsangan yang diberikan oleh
lingkungannya dan ditentukan oleh lamanya latihan yang diberikan lingkungan tersebut. 2)
Pandangan Kognitivisme (Jean Piaget), pandangan ini berpendapat bahwa bahasa
distrukturi oleh nalar, perkembangan bahasa anak bergantung pada kesiapan dan
kematangan kognitifnya terhadap lingkungannya. 3) Pandangan Nativisme (Noam
Chomsky), Chomsky memiliki pandangan bahwa sejak lahir manusia itu sudah memiliki
kemampuan berbahasa dalam memori otak yang berupa LAD (Language Aquisition
Device), kemampuan berbahasa pada manusia merupakan potensi bawaan manusia sejak
lahir, ditandai dengan ciri-ciri bawaan bahasa untuk menjelaskan pemerolehan bahasa asli
pada anak dalam tempo begitu singkat meskipun sifat dalam kaidah-kaidah bahasa sangat
abstrak.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemerolehan bahasa yakni
pemerolehan bahasa pertamanya atau bahasa ibunya dan prosesnya terjadi secara alami dan
perkembangan bahasanya melalui proses kebiasaan, kesiapan kognitif dan daya kreativitas
dalam bahasa.
Makna Leksikon
Leksikon merupakan salah satu tanda linguistik dan mempunyai dua unsur yang
terdiri dari bunyi dan makna. Satuan dari leksikon adalah leksem. Makna leksikon dapat
disebut juga semantik leksikal yang di dalamnya menyelidiki makna yang ada pada leksem-
leksem dari bahasa tersebut. Oleh karena itu, makna yang ada pada leksem-leksem itu
disebut makna leksikal. Menurut Chaer (2014:284)makna leksikal dapat dikatakan sebagai
makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat
indera atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Dengan demikian,
makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau
bersifat kata. Dardjowidjojo (2009: 39-40) memaparkan pemerolehan leksikon sebagai
penguasa yang tidak hanya menyangkut kemampuan pelafalan, tetapi juga hubungan antara
bentuk dan makna.
Pemerolehan bentuk kalimat pada anak merupakan suatu proses yang berlangsung
di dalam otak seorang anak dan mampu untuk merangkai suatu kesatuan kalimat yang
bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang rumit. Kelas atau
golongan kata atau frase atau klausa pengisi suatu fungsi sintaksis disebut dengan kategori
kata. Kategori kata terdiri atas nomina, verba, adjektiva, dan preposisi.
Pemerolehan dalam bidang bentuk kalimat yang berjudul Pemerolehan Bahasa
Anak Usia 2-3 Tahun yang ditulis oleh Subyantoro (2011) menunjukkan bahwa
perkembangan konstruksi kalimat anak memang dimulai dari tahap yang sederhana (satu
suku/kata) ke tahap yang lebih sukar (dua suku/kata atau lebih). Dalam bidang sintaksis,
anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau bagian kata). Kata ini, bagi
anak sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi karena ia belum dapat mengatakan lebih dari
satu kata, dia hanya mengambil satu kata dari seluruh kalimat itu disebut Ujaran Satu Kata
(USK). Anak tidak sembarang saja memilih kata itu; dia akan memilih kata yang
memberikan informasi baru. Anak sudah mempunyai pengetahuan tentang informasi lama
versus informasi baru. Kalimat diucapkan untuk memberikan informasi baru kepada
pendengarnya. Setelah tingkatan USK , Sekitar umur 2;0 anak mulai mengeluarkan Ujaran
Dua Kata (UDK) dan seterusnya sesuai dengan perkembangan usianya.
Ada beberapa tahap pemerolehan bentuk Kalimat, antara lain : 1) Masa pra-lingual
(anak usia 0,0-1,0). 2) Masa kalimat satu kata (anak usia 1,0-2,0) disebut tahap holofrastik
(tahap linguistik pertama) atau tahap satu kata, yang mulai di sekitar usia satu tahun. 3)
Masa kalimat dengan rangkaian kata (anak usia 2,0-3,0), anak-anak akan mulai
mengeluarkan ucapan-ucapan dua kata. Anak mulai bisa menyusun kalimat tunggal yang
sempurna serta menggunakan kata-kata yang berawalan dan yang berakhiran. 4) Masa
konstruksi sederhana (anak usia 3,0-5,0), pada tahap ini anak-anak mulai dengan struktur-
struktur kalimat yang lebih rumit.
Kata autisme berasal dari kata autos dan isme, autos berarti diri sendiri dan isme
yang berarti paham. Artinya autisme memiliki makna keadaan yang menyebabkan anak-
anak hanya memiliki perhatian terhadap dirinya sendiri. Autisme adalah gangguan
perkembangan yang begitu kompleks pada anak sehingga menyebabkan gangguan
neurobiologis yang dapat memengaruhi fungsi otak sehingga anak tidak dapat
berkomunikasi, berinteraksi dan mengalami gangguan emosi.
Pada tahun-tahun awal tanda-tanda bahwa anak mengalami gangguan autis itu
tidak terlihat, namun lambat laun akan tampak bahwa anak tersebut berbeda dibandingkan
anak-anak lain, terutama dalam perilaku kesehariannya yang sulit dipeluk (Afin, 2017).
Pakar lain mengatakan : “ autis adalah ketidaknormalan perkembangan yang sampai
sekarang tidak ada penyembuhannya dan gangguannya tidak hanya mempengaruhi anak
untuk belajar dan berfungsi di dunia luar tetapi juga kemampuannya untuk mengadakan
hubungan dengan anggota keluarganya”. Lebih lanjut lagi, dari pendapat para ahli tersebut
autis dapat diartikan sebagai suatu kondisi mengenai seorang anak yang membuat dirinya
tidak dapat membentuk hubungan sosial dan berakibat pada terisolasinya dunia anak
tersebut dengan orang lain. Oleh karena itu mereka sangat kesulitan dalam membentuk
hubungan sosial karena gangguan yang diderita salah satunya yakni terlambatnya
perkembangan kemampuan dan penguasaan bahasanya dibanding dengan anak normal
pada umumnya.
Seyogianya perkembangan kemampuan dan penguasaan bahasa mempunyai
tujuan agar anak mampu berkomunikasi secara lisan dengan lingkungannya. Bagi anak
proses kemampuan dan penguasaan bahasa dikuasai secara bertahap sesuai dengan
perkembangan pemerolehan bahasanya. Setiap anak yang normal pertumbuhan pikirannya
akan belajar bahasa pertama atau bahasa ibu dalam tahun-tahun pertama dalam hidupnya,
dan proses ini terjadi hingga kira-kira umur 5 tahun. Namun berbeda dengan anak autis
yang mengalami keterlambatan dalam perkembangannya, mereka cenderung egosentrisme
yang seakan hidup dalam dunia mereka sendiri. Martini (2018: 90-93) mengklasifikasikan
gejala yang timbul pada anak autis ke dalam tiga bagian, yaitu : 1) kelainan dalam interaksi
sosial, 2) gangguan dalam berkomunikasi, 3) perilaku berulang. Menurut
Handojo(2008:12)mengklasifikasikan anak autis dengan kebutuhan khususnya ke dalam
empat jenis, yaitu : autisme infantil, sindrom asperger, attention deficit hiperactivity
disorder (ADHD) dan gifted and talented.
Berdasarkan gejalanya, autis dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian atau
skala. Skala peringkat autis masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schpler pada awal
1970 , membagi klasifikasi tersebut pada 3 bagian yaitu : 1) autis ringan, 2) autis sedang,
3) autis berat. Masalah perilaku anak autis pada semua bagian tersebut menunjukkan 3
serangkai gangguan yaitu : kerusakan di bidang sosialisasi, imajinasi dan komunikasi.
Sehingga setiap anak autis belum tentu mampu memproduksi bahasa seperti anak normal
yang lainnya karena mengalami kerusakan pada bidang tersebut. Meskipun mengalami
kerusakan pada bidang tersebut, anak autis masih mengalami tahapan yang sama dalam
memproduksi bahasa, hanya saja dengan perkembangan dan kemampuan yang berbeda.
Untuk mengamati perkembangan dan kemampuan dalam memproduksi bahasa
tersebut, mengenai kemampuan berbicara dan bagaimana cara mereka memeroleh bahasa
dari mitra tutur serta menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari, seorang anak autis
harus diketahui kemampuan pemerolehan leksikon dan kalimatnya. Kemampuan
pemerolehan leksikon merupakan komponen dasar dalam pembentukan bahasa serta
perbendaharaan kata yang dapat memengaruhi struktur kalimatnya dalam berbicara. Dalam
memproduksi suatu bahasa (kalimat) anak autis memerlukan proses sosialisasi dengan
masyarakat di lingkungan sekitarnya, dengan demikian anak akan memeroleh bahasa yang
kemudian digunakan untuk berkomunikasi. Kemampuan anak autis dalam memproduksi
leksikon dan kalimatnya tentu sangan dipengaruhi oleh lingkungan sosial di sekitarnya.
Selain faktor internal yang dialami individu anak autis, lingkungan juga merupakan
faktor eksternal yang memiliki peran sangat penting dalam pemerolehan bahasa anak autis.
Lingkungan yang berbeda-beda sangat berpengaruh terhadap proses pemerolehan bahasa
mereka. Seperti pandangan behaviorisme dan kognitivisme, teori behaviorisme yang
dikembangkan B.F Skinner beranggapan bahwa pemerolehan bahasa anak dapat dilakukan
dengan cara rangsangan yang diberikan oleh lingkungannya dan ditentukan oleh lamanya
latihan yang diberikan lingkungan tersebut, sedangkan teori kognitivisme yang
dikembangkan Jean Piaget beranggapan bahwa pemerolehan bahasa distrukturi oleh nalar
dan perkembangan bahasa anak bergantung pada kesiapan dan kematangan kognitifnya
terhadap lingkungan. Jadi, selain faktor kognitif dan masing-masing anak, pemerolehan
dan kemampuan bahasa juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan proses belajar.
METODE PENELITIAN
Penelitian dengan judul Analisis Pemerolehan Bahasa Anak Autis di Lingkungan
Masyarakat Desa Sukolilo Jabung Malang ini merupakan jenis penelitian deskriptif
kualitatif, karena penelitian ini mendeskripsikan atau menggambarkan hal yang menjadi
masalah kemudian menganalisis data yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan sehingga diperoleh informasi, kemudian
memfokuskan pada masalah yang sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu pemerolehan
bahasa pada anak autis mengenai bentuk leksikon, makna leksikon dan bentuk kalimat.
Peneliti sebagai instrumen utama atau sumber data sekunder dalam penelitian ini,
untuk itu penulis secara individu terlibat langsung ke lapangan penelitian. Instrumen
pendukung atau data primer untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah
wawancara dan simak/dialog. Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh
melalui wawancara dan simak/dialog. Dalam kegiatan pengumpulan data wawancara,
peneliti menggunakan tabel pedoman wawancara dan handphone untuk merekam
informasi dari informan/keluarga subjek. Pada teknik simak/dialog, peneliti menggunakan
alat bantu seperti alat tulis (buku dan pulpen) untuk mencatat sumber data dengan teknik
pencatatan dialog dan handphone digunakan untuk merekam dialog yang diucapkan oleh
subjek serta untuk mengambil dokumentasi data yang ada di lapangan.
Peneliti juga menggunakan pedoman tabel yang dapat memudahkan analisis data,
yaitu: 1) tabel pedoman wawancara, 2) tabel dialog, 3) tabel tuturan subjek penelitian, 4)
tabel analisis data leksikon, 5) tabel analisis data kalimat.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis data yang
dikemukakan Creswell (2010). Penganalisisan data dengan model ini mencakup enam
tahap, yaitu :1) pengumpulan data, 2) pembacaan seluruh data untuk memeroleh gagasan,
3) analisis data lebih detail dengan proses coding, mulai dari open coding, axial coding,
dan selected coding, 4) memaparkan deskripsi dan tema-tema ke dalam narasi kualitatif, 6)
menginterpretasi data atau penarikan kesimpulan. Oleh karena itu sesuai dengan langkah
penganalisisan tersebut, analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan
mentranskripsikan data menjadi sebuah tulisan dan tabel agar peneliti lebih mudah dalam
menelaah dan mendeskripsikan data pemerolehan bahasa yang diujarkan oleh subjek.
PEMBAHASAN
Pemerolehan Bentuk Leksikon Anak Autis
Peneliti menggolongkan data hasil penelitian ke dalam kelas kata, yang termasuk
ke dalam kelas kata ialah nomina, adjektiva, verba, adverbia, pronomina, kata tugas,
numeralia dan sebagainya. Berdasarkan data yang diperoleh dari pemerolehan bentuk
leksikon yang dihasilkan oleh anak autis, Seperti yang telah dijelaskan di atas peneliti
menggunakan 4 subjek dalam penelitian ini. Berikut adalah pemerolehan bentuk leksikon
pada subjek berdasarkan data yang diperoleh melalui teknik simak/dialog yang sudah
ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan.
1. Nomina (Kata /konco/, /kelas/, /inti/, /pokok/, Teman, kelas, inti, pokok,
Benda) /gabung/,/pelajaran/, /dino/, gabung, jauh, pelajaran, hari,
/bedo/, /kantor/, /mbak-mbak/, beda, kantor, kakak-kakak,
/gelang/, /engkok/, /coklat/, gelang, nanti, coklat, hitam,
/hitam/, /jam/, /uwong/, /tengah/, pukul, orang, tengah, pintu,
/lawang/, /guru/. semua, guru.
2. Verba (Kata /bermain/, /belajar/, /sekolah/, Bermain, belajar, sekolah, ikut,
Kerja) /melok/, /berhitung/, /terus/, berhitung, terus, mengaji, ada,
/ngaji/, /ono/, /mbombah/ , mencuci, sampai, bangun, geser,
/sampek/, /tangi/, /geser/, /metu/, keluar, tinggal, sholat,
/kari/, /sholat/, /ngulang. mengajar.
3. Adjektiva (Kata /cilik/, /bengi/, /cedek/, /adoh/. Kecil, malam, dekat, jauh.
Sifat)
4. Adverbia (Kata /sakjane/,/enggak/, /kadang/, Seharusnya, tidak, kadang,
Keterangan) /ancen/, /dorong/, /wis/, /ambek/, memang, belum, sudah,
/ojo/, /dikek/. bersama-dengan, jangan, dulu.
5. Numeralia /akeh/, /kabeh/, /satu/, /dua/, /tiga/, Banyak, semua, satu, dua, tiga,
(Bilangan) /empat/, /tujuh/, /lapan/, empat, tujuh, delapan,
/sembilan/, /sepuluh/, /sebelas/, sembilan, sepuluh, sebelas, dua
/dua belas/. belas.
6. Pronomina (Kata /Guru-ku/, /jeneng-e/, /sing/. Guru-ku, nama-nya, yang.
Ganti)
7. Demonstrativa /iki/, /iku/. Ini, itu.
(Kata Tunjuk)
8. Introgativa /sopo/, /opo/, /opo’o/. Siapa, apa, kenapa.
(Kata Tanya)
Tabel 2. Pemerolehan Bentuk Leksikon Subjek RDS
1. Nomina (Kata /Iqro’/, /kamar/, /es krim/, Iqro’, kamar, es krim, semangka,
Benda) /semangka/, /melon/, /keong/, melon, keong, kakak, kakak laki-
/kakak/, /mas/, /anak/, /sebentar/, laki, anak, sebentar, sore.
/sore/.
2. Verba (Kata /Mandi/, /lihat/, /cari/, /bisa/. Mandi, lihat, cari, bisa.
Kerja)
3. Adverbia (Kata /nggak/, /mau/. Tidak, mau.
Keterangan)
4. Adjektiva (Kata /pinter/, /sholeh/, /sama/. Pintar, saleh, sama.
Sifat)
5. Pronomina (Kata /aku/, /Irqo’-nya/. Aku, nya.
Ganti)
Tabel 3. Pemerolehan Bentuk Leksikon Subjek FA
1. Nomina (Kata /Foto/, /buku/, /mbak/, /tas/, /tangan/, Foto, buku, kakak, tangan,
Benda) /angka/, /mulut/, /wingi/, /habib/, angka, mulut, kemarin, habib,
/maengko/. tadi.
2. Verba (Kata /Gawe/, /ilang/, /dekek/, /suwe’i/, /iso/, Pakai, hilang, taruh,
Kerja) /tulis/, /tambah/, /ndelok/,/ngaji/, menyobek, bisa, tulis, tambah,
/dulinan/, /ngapalno/. lihat, mengaji, mainan,
menghafalkan.
3. Adjektiva /pegel/. Capek.
(Kata Sifat)
4. Adverbia /Uwes/, /moro-moro/, /disek/, /gak/, Sudah, tiba-tiba, dulu, tidak,
(Kata /mariki/, /kate/. setelah ini, mau.
Keterangan)
5. Numeralia /Satu/, /tujuh/, /delapan/, /sembilan/, Satu, tujuh, delapan, sembilan,
(Bilangan) /sepuluh/, /sebelat/, /dua belat/, tiga sepuluh, sebelas, dua belas,
belat/, empat belat/, /lima belat/, /enam tiga belas, empat belas, lima
belat/, /tujuh belas/, /lapan belas/, belas, enam belas, tujuh belas,
/sembilan belas/, /dua pulu/. delapan belas, sembilan belas,
dua puluh.
6. Pronomina /Endi/, /iki/, /amean/, /ngene/, /aku/. Mana, ini, kamu, begini, aku,
(Kata Ganti)
7. Demonstrativa /Iki/. Ini.
(Kata Tunjuk)
8. Introgativa /Endi/, /yakpo/. Mana, bagaimana.
(Kata Tanya)
Tabel 4. Pemerolehan Bentuk Leksikon Subjek MO
Bentuk leksikon pada tabel 1 yang diperoleh oleh subjek SM yang berusia 11 tahun
sudah mulai beragam dari kelas kata nomina sampai kelas kata introgativ. Frasa Nomina
lebih banyak diperoleh dari pada frasa/kelas kata yang lain. Verba yang diperoleh SM
cenderung lebih sedikit, data yang diperoleh hanya ada 3 frasa verba yakni menyanyi,
berhitung dan makan. Pada kelas kata numeralia SM hanya dapat mengucapkan numeralia
utuh atau biasa disebut angka numeralia pokok dari angka 1-10. SM dapat berhitung karena
pembiasaan ajaran neneknya dan pemerolehan dari sekolah SLB di Asrikaton. Begitu pun
dengan kelas kata demonstrativ (kata tunjuk) dan introgative (kata tanya), SM hanya
mengucapkan ujarannya secara sederhana. SM selaku penderita autisme infantil (autisme
pada masa kanak-kanak) jenis sedang, memeroleh bentuk leksikon saat usianya 5 tahun
dan hanya USK (ujaran satu kata) memanggil ibu dan neneknya. Padahal saat usia 5 tahun
seharusnya anak sudah berada pada tingkatan operasional konkret untuk anak normal. Pada
usia 8 tahun saat SM sudah bersekolah pemerolehan bahasa itu meningkat, kelas kata
nomina lebih banyak diperoleh dari pada kelas kata yang lain.
Pemerolehan bentuk leksikon pada tabel 2 subjek RDS yang dihasilkan telah
banyak yang dikuasai. Frasa nomina dan frasa verba yang diperoleh RDS juga dikuasai
sangat baik, seperti yang dituturkan oleh narasumber bahwa RDS menguasai kelas kata
benda dan kata kerja yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari. Frasa adjektiva, frasa
adverbia, sudah dikuasai dengan baik, begitu juga pada frasa numeralia RDS dapat
mengenali bilangan dasar dengan baik. Selain itu, RDS juga dapat menuturkan kata yang
terdapat unsur pronomina, demonstrativa, dan introgativa. Selain banyaknya kata dasar dari
berbagai macam jenis kelas kata yang dikuasai, RDS juga sudah menggunakan berimbuhan
dalam berkomunikasi.
Bentuk leksikon yang diperoleh FA pada tabel 3 masih pada kelas kata yang
sederhana.. Frasa nomina yang diketahui FA masih pada kategori kelas kata nama orang-
orang di sekitar, nama buah, nama benda-benda yang dilihat di sekitar, serta ada sedikit
frasa nomina yang menunjukkan pada ragam cakapan yakni kata sekitar dan pada ragam
bagian suatu tengah hari yaitu kata sore. Pada data frasa verba yang diperoleh, FA masih
belum dapat menuturkan kata yang berimbuhan dan hanya kata dasar saja yakni mandi,
lihat, cari, bisa bukan pada kata dasar yang kompleks dan berimbuhan. Frasa adverbia dan
frasa adjektiva yang diperoleh FA masih sangat minim sekali. Begitu pun pada frasa
adjektiva, FA hanya menguasai kata sifat sederhana yang diperoleh dengan menirukan kata
yang diucapkan mitra tuturnya.
Tabel 4 menunjukkan bahwa pemerolehan bentuk leksikon yang diucapkan oleh
MO sudah beragam, MO merupakan anak autis dengan jenis ADHD sudah paham betul
dengan kosa kata yang diperolehnya, meskipun baru bisa berbicara saat umur 5 tahun MO
dapat membuktikan bahwa dirinya dapat mempelajari atau memeroleh kosa kata dengan
cepat dalam kurun waktu 3 tahun. Jenis kata yang dikuasai MO sudah mulai beragam
berdasarkan nama benda-benda yang ada di sekitarnya hingga kosakata yang digunakan
untuk menceritakan pengalaman yang telah dialami. Pemerolehan bentuk leksikon pada
frasa nomina diperoleh dari kegiatan sehari-hari yang dilakukan MO sudah dikuasai dengan
baik. Bentuk leksikon pada kelas kata frasa verba juga diperoleh MO dengan baik dan
beragam, bahkan pada data frasa verba MO sudah dapat membentuk kata dengan bentuk
kompleks atau berimbuhan. Bentuk leksikon pada kelas kata adjektiva masih belum
dikuasai dengan baik karena MO masih sedikit memeroleh kelas kata tersebut, 3 kali
pengambilan data MO hanya mengucapkan satu kata adjektiva yaitu pegel yang artinya
capek. Pada kelas kata adverbia MO menguasai banyak kata meskipun mengucapkan dalam
bahasa Jawa MO dapat mengucapkan dengan fonologi yang jelas dan bentuk kata yang
lengkap seperti kata; /Uwes/ sudah, /moro-moro/ tiba-tiba, /disek/ dulu, /gak/ tidak,
/mariki/ setelah ini, dan /kate/ mau. Pada kelas kata numeralia, MO dapat mengucapkan
numeralia utuh atau biasa disebut angka numeralia pokok dari angka 1sampai 20, MO juga
dapat berhitung dengan sangat baik karena mendapatkan ilmu dari sekolah SLBnya di
Kemantren dan pembiasaan di rumah yang selalu memberi latihan kepada MO.
Pemerolehan bentuk leksikon, pada ke empat subjek dapat menguasai nomina
dengan jumlah lebih banyak dibanding verba dan adjektiva. Hal ini terjadi karena bahasa
sehari-hari yang diperoleh adalah nomina. Kelas kata yang diperoleh rata-rata adalah
nomina, verba, adjektiva, dan numeralia, sebagian subjek ada yang sudah memeroleh kelas
kata adverbia, pronomina, demonstrativa dan introgativa. Berdasarkan hasil penelitian ada
beberapa jenis kelas kata yang masih belum dapat dimunculkan oleh subjek penelitian,
dengan taraf yang berbeda. Taraf terendah pemerolehan bentuk leksikon terjadi pada subjek
SM yang berusia 11 tahun dan taraf tertinggi terjadi pada subjek RDS yang berusia 12
tahun.
3. Subjek FA
Ada dua data yang diperoleh peneliti pada bentuk kalimat yang diucapkan FA dan
sesuai dengan struktur pola kalimat bahasa Indonesia secara fungsional, terdapat pada data
berikut.
1) Fahri pasar Abah naik ngeng(mobil)
2) Fahri mau lihat keong
Data yang diperoleh pada FA dalam pemerolehan bentuk kalimat tersebut
diperoleh dari data wawancara dan simak bebas cakap, dalam data tersebut FA sudah dapat
mengucapkan kalimat yang sesuai dengan struktur pola fungsional maupun kategorial, data
1 FA bermaksud menjelaskan bahwa ia pergi ke pasar bersama ayahnya dengan
mengendarai mobil dan pada data 2 FA berbicara secara jelas bahwa ia ingin melihat keong.
FA memang jarang sekali mengucapkan kalimat lebih dari tiga kata. FA yang saat ini
berusia 7 tahun memang sering kali tidak memiliki perhatian untuk berkomunikasi,
meskipun demikian ada perkembangan pemerolehan kalimat yang diperoleh FA serta
masih adanya kemauan dan sedikit memahami ucapan yang ditujukan pada FA. Seperti
yang dituturkan oleh narasumber bahwa kemampuan FA dalam memahami maksud dan
tujuan orang lain secara verbal masih bergantung pada kondisi emosi FA.
4. Subjek MO
Pemerolehan bentuk kalimat pada MO dalam penelitian ini menunjukkan adanya
konstruksi kalimat ke tahap yang lebih sukar bukan hanya USK tetapi sudah pada tahap
masa konstruksi sederhana dan kompleks. Berikut data tuturan MO yang dapat membentuk
pola struktur kalimat secara fungsional maupun kategorial.
1) Aku kate dulinan = Aku mau bermain
2) Maengko aku gak ngaji =Tadi aku tidak mengaji
3) Aku maringene ngaji Habib = Aku setelah ini mengaji Habib
Data pada tersebut menunjukkan kalimat yang dituturkan oleh MO yang terkait
dengan ruang lingkup masalah penelitian yang ada. 3 data tersebut sudah termasuk pada
struktur kategorial dan struktur fungsional. MO dapat mengonstruksi kalimat baik dalam
bentuk sederhana maupun bentuk yang kompleks di usia 8 tahun dengan mengidap autis
ADHD, kemampuan MO jauh di atas rata-rata dibanding anak autis lain di usia yang sama.
Peranan usia serta jenis autis yang diderita memang sangat memengaruhi pemerolehan
bahasa dalam bentuk kalimat yang dituturkan. Pemerolehan bentuk kalimat ke empat
subjek memproduksi bentuk kalimat secara fungsional maupun kategorial dengan hasil
yang berbeda. Selain faktor genetis, faktor lingkungan masyarakat (keluarga, tetangga,
sekolah) memang sangat berperan dalam pemerolehan bentuk kalimat yang diperoleh
masing-masing subjek.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan pemerolehan bentuk leksikon, pada
ke empat subjek dapat menguasai nomina dengan jumlah lebih banyak dibanding verba dan
adjektiva. Ada beberapa jenis kelas kata yang masih belum dapat dimunculkan oleh subjek
penelitian, dengan taraf yang berbeda. Pada pemerolehan makna leksikon keempat subjek
dapat mengaitkan makna leksikon secara konsisten dengan referen bentuk leksikon yang
didapat masing-masing subjek.
Pemerolehan bentuk kalimat ke empat subjek memproduksi bentuk kalimat secara
fungsional maupun kategorial dengan hasil yang berbeda. Selain faktor genetis, faktor
lingkungan masyarakat (keluarga, tetangga, sekolah) memang sangat berperan dalam
pemerolehan bahasa pada bentuk leksikon, makna leksikon dan bentuk kalimat yang
diperoleh masing-masing subjek.
DAFTAR PUSTAKA