Anda di halaman 1dari 17

Pemerolehan Bahasa Pada Anak Usia 2 Tahun

PEMEROLEHAN BAHASA PADA ANAK USIA 2 TAHUN

(Studi Kasus Terhadap Pemerolehan Bahasa Anak Usia Dini)

KAJIAN PSIKOLINGUISTIK

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikolinguistik

Dosen Pengampu Retno Purnama Irawati S.S, M.A

Oleh : Laeli Nur Fauziyah

(2303412033)

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ASING

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


2013

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan nikmat kesehatan
dan kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tiada suatu aral
yang berarti. Shalawat dan kesejahteraan semoga ditetapkan pada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga, sahabat, serta orang-orang yang telah dikuatkan hati mereka untuk terus
berjalan bersama sunnah-sunnahNya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak sekali meninggalkan
kekurangan, maka dari itu saran bijak dari para pembaca lah yang penulis harapkan.

Pada akhirnya penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Retno Purnama Irawati S.S,
M.A, selaku dosen pembimbing sekaligus pengampu mata kuliah Psikolinguistik, dan kepada
seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian makalah ini.

                                                                                                Penulis

                                               

                                                                                                Laeli Nur Fauziyah


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Balakang

Bahasa pada anak-anak terkadang sukar diterjemahkan, karena anak pada umumnya masih
menggunakan struktur bahasa yang masih kacau dan masih mengalami tahap transisi dalam
berbicara, sehingga sukar untuk dipahami oleh mitratuturnya. Untuk menjadi mitratutur pada
anak dan dapat memahami maksud dari pembicaraan anak, mitratutur harus menguasai
kondisi atau lingkungan sekitarnya, yakni ketika anak kecil berbicara mereka menggunakan
media di sekitar mereka untuk menjelaskan maksud yang ingin diungkapkan kepada
mitratutrnya di dalam berbicara. Selain menggunakan struktur bahasa yang masih kacau,
anak-anak juga cenderung masih mengalami keterbatasan dalam kosakata (leksikon) dan
dalam pelafalan fonemnya pun kurang tepat. Lingkungan sangat mempengaruhi
perkembangan bahasa anak, sehingga hasil bahasa yang diucapkan oleh anak-anak
berdasarkan dari kemampuanya dalam berinteraksi langsung pada bahasa-bahasa yang ada di
sekitarnya.

’Pemerolehan bahasa’ yang diartikan sebagai proses yang dilakukan oleh kanak-kanak untuk
mencapai kesuksesan penguasaan yang lancar serta fasih terhadap ’bahasa ibu’ mereka atau
yang sering dikenal dengan bahasa yang terbentuk dari lingkungan sekitar. ’Pemerolehan’
tersebut dapat dimaksudkan sebagai pengganti ’belajar’ karena belajar cenderung dipakai
psikologi dalam pengertian khusus dari pada yang sering dipakai orang (Tarigan, Guntur;
1986: 248). Dalam hal ini pemerolehan bahasa pada anak akan membawa anak pada
kelancaran dan kefasihan anak dalam berbicara. Rentang umur anak di usia balita umumnya
mempunyai kemampuan dalam menyerap sesuatu dan ingatan cenderung lebih cepat
dibandingkan usia-usai diatas balita.

Akan tetapi kita masih mempunyai banyak pertanyaan yang tidak terjawab tentang
bagaimana sebenarnya anak-anak memperoleh bahasa. Bagaimana cara mereka menentukan
apa makna kata-kata atau bagaimana cara menghasilkan ujaran yang bersifat gramatika yang
belum pernah mereka dengar atau yang diproduksi sebelumnya? Peneliti tidak mampu untuk
sepakat, seperti mengapa anak-anak belajar bahasa: Apakah anak-anak belajar bahasa karena
orang dewasa mengajarkannya kepada mereka? Atau karena mereka diprogramkan secara
genetik untuk memperoleh bahasa? Apakah mereka belajar gramatika yang kompleks hanya
karena hal itu ada di sana, atau apakah mereka belajar dalam rangka memenuhi beberapa
kebutuhan untuk berkomunikasi dengan orang lain?

B.     Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, fokus penelitian ini adalah pemerolehan bahasa anak usia
2 tahun pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.

C.    Rumusan Masalah

Dari pembahasan di atas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut :

1.      Bagaimana seorang anak itu memperoleh bahasa?

2.      Sejauh mana ketercapaian berbahasa pada anak usia dua tahun?

D.    Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.      Untuk mengetahui bagaimana seorang anak memperolah bahasanya.

2.      Untuk mengidentifikasi sejauh mana ketercapaian berbahasa anak umur dua tahun yang
difokuskan pada Naila Ayu Rafiidah

E.     Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan sebagai salah satu bahan informasi dalam hal penelitian tentang
pemerolehan bahasa anak, Selain itu, penelitian ini diharapkan pula sebagai bahan masukan
bagi penelitian yang relevan, khususnya dalam hal pemerolehan bahasa anak usia di bawah 5
tahun.
BAB II

LANDASAN TEORETIS

2.1 Kajian Pustaka

Pemerolehan bahasa (language acquisition) atau akuisisi bahasa menurut Maksan (1993:20)
adalah suatu proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang secara tidak sadar,
implisit, dan informal. Lyons (1981:252) menyatakan suatu bahasa yang digunakan tanpa
kualifikasi untuk proses yang menghasilkan pengetahuan bahasa pada penutur bahasa disebut
pemerolehan bahasa. Artinya, seorang penutur bahasa yang dipakainya tanpa terlebih dahulu
mempelajari bahasa tersebut.

Stork dan Widdowson (1974:134) mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa dan akuisisi
bahasa adalah suatu proses anak-anak mencapai kelancaran dalam bahasa ibunya. Sedangkan
Huda (1987:1) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah proses alami di dalam diri
seseorang menguasai bahasa. Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan dari hasil kontak
verbal dengan penutur asli lingkungan bahasa itu. Dengan demikian, istilah pemerolehan
bahasa mengacu ada penguasaan bahasa secara tidak disadari dan tidak terpegaruh oleh
pengajaran bahasa tentang sistem kaidah dalam bahasa yang dipelajari.

2.2. Teori / Konsep Yang Digunakan

Dari beberapa pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa pembelajaran bahasa adalah suatu
proses secara sadar yang dilakukan oleh anak (pembelajar) untuk menguasai bahasa yang
dipelajarinya. Penguasaan bahasa tersebut biasanya dilakukan melalui pengajaran yang
formal dan dilakukan secara intensif. Selanjutnya, yang dimaksudkan dengan pemerolehan
bahasa adalah suatu proses penguasaan bahasa anak yang dilakukan secara alami yang
diperoleh dari lingkungannya dan bukan karena sengaja mempelajarinya dengan verbal.
Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan dari hasil kontak verbal dengan penutur asli di
lingkungan bahasa itu.

Ada tiga pandangan yang berkaitan dengan teori pemerolehan bahasa. Ketiga pandangan itu
ialah teori behavioristik, teori mentalistik, dan teori kognitiftik.

2.2.1. Teori Pemerolehan Bahasa Behavioristik

Menurut pandangan kaum behavioristik atau kaum empirik atau kaum antimentalistik,
bahwa anak sejak lahir tidak membawa strutur linguistik. Artinya, anak yang lahir dianggap
kosong dari bahasa dan tidak membawa kapasitas atau potensi bahasa. Brown dalam Pateda
(1990:43) menyatakan bahwa anak lahir ke dunia ini seperti kain putih tanpa catatan-catatan,
lingkungannyalah yang akan membentuknya secara perlahan-lahan dengan dikondisikan oleh
lingkungan dan pengukuhan terhadap tingkah lakunya.

Pengetahuan dan keterampilan berbahasa diperoleh melalui pengalaman dan proses


belajar. Pengalaman dan proses belajar yang akan membentuk akuisisi bahasanya. Dengan
demikian, bahasa dipandang sebagai sesuatu yang dipindahkan melalui pewarisan
kebudayaan, sama halnya seperti orang yang akan belajar mengendarai sepeda.

Menurut Skinner (Suhartono, 2005:73) tingkah laku bahasa dapat dilakukan dengan cara
penguatan. Penguatan itu terjadi melalui dua proses yaitu stimulus dan respon. Dengan
demikian, yang paling penting di sini adalah adanya kegiatan mengulang-ulang stimulus
dalam bentuk respon. Seperti yang dikemukakan oleh Pateda (1990:45) bahwa dalam
hubungan dengan peniruan ini, Ia menyatakan bahwa faktor yang penting dalam peniruan
adalah frekuensi berulangnya satu kata dan urutan kata. Ujaran-ujaran itu akan mendapat
pengukuhan, sehingga anak akan lebih berani menghasilkan kata dan urutan kata. Seandainya
kata dan urutan kata itu salah, maka lingkungan tidak akan memberikan pengukuhan. dengan
cara ini, lingkungan akan mendorong anak menghasilkan tuturan yang gramatikal dan tidak
memberi pengukuhan terhadap tuturan yang tidak gramatikal.

2.2.2. Teori Pemerolehan Bahasa Mentalistik

Menurut pandangan kaum mentalis atau rasionalis atau nativis, proses akuisisi bahasa
bukan karena hasil proses belajar, tetapi karena sejak lahir ia telah memiliki sejumlah
kapasitas atau potensi bahasa yang akan berkembang sesuai dengan proses kematangan
intelektualnya.

Hal ini sesuai dengan pendapat Chomsky (1959) bahwa anak yang lahir ke dunia ini
telah membawa kapasitas atau potensi bahasa yang akan turut menentukan struktur bahasa
yang akan digunakan. Potensi bahasa ini akan berkembang apabila saatnya tiba. Pandangan
ini biasanya disebut pandangan nativis (Brown, 1980:20). Kaum mentalis beranggapan
bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki apa yang disebut LAD (Language Acquisition
Device). Kelengkapan bahasa ini berisi sejumlah hipotesis bawaan. Hipotesis bawaan
menurut para ahli berpendapat bahasa adalah satu pola tingkah laku spesifik dan bentuk
tertentu dari persepsi kecakapan mengategorikan dan mekanisme hubungan bahasa, secara
biologis telah ditemukan (Comsky, 1959).
Pandangan kaum mentalis yang perlu diperhatikan adalah penemuan mereka tentang
sistem bekerjanya bahasa anak. Chomsky dan kawan-kawan berpendapat bahwa
perkembangan bahasa anak bukanlah perubahan rangkaian proses yang berlangsung sedikit
semi sedikit pada struktur bahasa yang tidak benar, dan juga standi lanjut. Akan tetapi
pembelajaran yang bersistem yang berbentuk kelengkapan-kelengkapan bawaan ditambah
dengan pengalaman anak ketika ia melaksanakan sosialisasi diri. Kelengkapan bawaan ini
kemudian diperluas, dikembangkan, dan bahkan diubah.

2.2.3. Teori Akuisisi Bahasa Kognitif

Dalam psikolingustik, teori kognitif ini yang memandang bahasa lebih mendalam lagi.
Para penganut teori ini berpendapat bahwa kaidah generatif yang dikemukakan oleh kaum
mentalis sangat abstrak, formal, dan eksplisit serta sangat logis.

Meskipun demikian, mereka mengemukakan secara spesifik dan terbatas pada bentuk-
bentuk bahasa. Mereka belum membahas hal-hal menyangkut dalam lapisan bahasa, yakni
ingatan, persepsi, pikiran, makna, dan emosi yang saling berpengaruh dalam struktur jiwa
manusia. Para ahli bahasa mulai melihat bahwa bahasa adalah manifestasi dari perkembangan
umum yang merupakan aspek kognitif dan aspek afektif yang menyatakan tentang dunia diri
manusia itu sendiri.

Teori kognitif menekankan hasil kerja mental, hasil kerja yang nonbehavioris. Proses-
proses mental dibayangkan sebagai sesuatu yang secara kualitatif berbeda dari tingkah laku
yang dapat diobservasi. Titik awal teori kognitif adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif
anak dalam menemukan struktur di dalam bahasa yang ia dengar di sekelilingnya. Baik
pemahaman maupun produksi serta komprehensi. Bahasa pada anak dipandang sebagai hasil
proses kognitif yang secara terus-menerus berkembang dan berubah. Jadi, stimulus
merupakan masukan bagi anak yang kemudian berproses dalam otak. Pada otak ini terjadi
mekanisme internal yang diatur oleh pengatur kognitif yang kemudian keluar sebagai hasil
pengolahan kognitif tadi.

Penganut teori kognitif beranggapan bahwa ada prinsip yang mendasari organisasi
linguistik yang digunakan oleh anak untuk menafsirkan serta mengoperasikan lingkungan
linguistiknya. Semua ini adalah hasil pekerjaan mental yang meskipun tidak dapat diamati,
jelas mempunyai dasar fisik. Proses mental secara kualitatif berbeda dari tingkah laku yang
dapat diamati, dan karena berbeda dengan pandangan behavior (Pateda, 1990).
Seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa pertama dalam otaknya, lengkap
dengan semua aturan-aturannya. Bahasa pertama itu diperolehnya dengan beberapa tahap,
dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa.

Berbagai penelitian membuktikan bahwa manusia normal mengalami tahapan yang hampir
sama dalam pemerolehan bahasa pertamanya. Dalam hal ini, peneliti mengambil teori dari
seorang ahli yaitu Aitchison.

            Menurut Aitchison dalam Harras dan Andika (2009: 50-56), tahap kemampuan
bahasa anak terdiri atas hal-hal berikut :

Tahap Perkembangan Bahasa Usia


Menangis Lahir
Mendekur 6 minggu
Meraban 6 bulan
Pola intonasi 8 bulan
Tuturan satu kata 1 tahun
Tuturan dua kata 18 bulan
Infleksi kata 2 tahun
Kalimat tanya dan ingkar 2 ¼ tahun
Konstruksi yang jarang dan kompleks 5 tahun
Tuturan yang matang 10 tahun

2.3  Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Dalam kaitannya dengan pemerolehan bahasa pada anak usia dini sangat erat kaitannya
dengan aliran bunyi bahasa, yang bunyi tersebut bercampur satu dengan yang lain. Secara
auditoris bahasa merupakan rangkaian bunyi bermakna yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia. Bunyi-bunyi bahasa terangkai secara sistematis dan membentuk ujaran-ujaran yang
bermakna sehingga menjadi tanda bahasa yang disepakati. Kesepakatan social terhadap
bahasa ini menyangkut tanda-tanda bahasa secara utuh, termasuk didalamnya bagaimana
realisasi pengujaran segmen-segmen bunyi itu.

Eko Mulyono, telah mengevaluasi bahwa fonetik dan fonologi berada dalam satu subsistem
bahasa. Dengan kata lain, fonetik bertitik tolak pada bahasa manusia yang meneliti produksi,
pengaruh langsung, dan persepsi bahasa. Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini penulis
menelaah Pemerolehan Bahasa Anak Umur 2 Tahun.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tujuan Khusus Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan sejauh mana Pemerolehan
Bahasa Anak pada usia 2 tahun, khususnya yang mencakup Fonologi, Morfologi, Sintaktis
dan Semantis. Melalui kajian ini akan diketahui pemerolehan bahasa dari segi fonologi, segi
morfologi, segi sintaksis dan segi semantis yang sudah dapat lafalkan dan belum dapat
dilafalkan oleh Naila.

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan
pendekatan studi kasus. Melalui metode kualitatif ini akan dideskripsikan mengenai segi
fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik Naila pada usia 2 tahun.

3.3 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional, yaitu meneliti pada suatu titik
waktu tertentu. Studi cross-sectional ini bersifat observasional dan natural, yaitu dengan cara
merekam ujaran maupun tingkah laku anak saat berujar, baik visual maupun auditori. Data
yang kemudian ditranskipsikan dan diamati bentuk visualnya akhirnya diolah untuk
ditemukan kesimpulan-kesimpulannya.

3.4 Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah anak dari kakak perempuan penulis yang bernama Naila Ayu
Rafiidah yang berusia 2 tahun. Dalam kesehariannya, Nayla diajarkan memakai bahasa Jawa
krama alus oleh keluarganya, tetapi ia lebih banyak menggunakan bahasa Jawa ngoko dalam
interaksinya dengan orang lain. Hal ini dimungkinkan karena adanya kebiasaan-kebiasaan
dari keluarganya sendiri yang berbahasa ngoko dalam kesehariannya sehingga kemudian
diserap oleh Naila.

3.5 Latar Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Jalan Raya desa Blater 01/III No.27 Kalimanah, Purbalingga.
Tempat tersebut merupakan rumah tempat tinggal Naila. Pengumpulan data dilakukan selama
dua hari pada bulan April 2013, sedangkan pengolahan dan penganalisisan data serta
penulisan laporan penelitian dilakukan selama 3 minggu pada bulan Juni 2013.
3.6 Data dan Sumber Data Penelitian

Data penelitian ini berupa data kebahasaan lisan yang direkam (spoken teks) dan kemudian
ditranskipsikan oleh penulis ke dalam bentuk visual (pada lembaran kertas). Data ini
berbentuk wacana interaksional. Wujud data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah
wujud verbal atau bentuk bahasa yang digunakan dalam peristiwa tutur di rumah kakak
perempuan penulis. Data-data tersebut diperoleh dari kegiatan bermain subjek penelitian
yang kemudian direkam dalam bentuk video dan dilengkapi dengan catatan lapangan.

3.7 Prosedur Pengumpulan dan Perekam Data

Pemerolehan data tidak melalui perlakuan (eksperimen). Subjek penelitian sebagai sumber
data dibiarkan bercakap-cakap secara alamiah. Percakapan alamiah itu diharapkan
memunculkan data yang bersifat alamiah. Data alamiah menjadi ciri khas penelitian ini. Data
dalam penelitian sederhana ini diperoleh melalui teknik perekaman, dan pencatatan.
Perekaman dilakukan pada saat terjadi komunikasi antar keluarga.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian sederhana ini kecuali peneliti sendiri, juga ada
Rani (Ibunya Naila) dan Lilis (Bibinya Naila), serta digunakannya pula handphone untuk
merekam video selama terjadi proses komunikasi dan alat pencatat yang digunakan setelah
perekaman berlangsung.

3.8 Analisis Data

Data secara keseluruhan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif.
Langkah yang dilakukan adalah data yang berupa rekaman ditranskripsikan ke dalam bentuk
tulisan.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Pada transkrip rekaman ini memaparkan satu alur cerita :


Naila         : Uuun.. aun auuun.. uun aun auuun.. /*yun ayun ayun.. yun ayun ayun/
(bernyanyi sambil menaiki ayunan) Mama!

Ibu            : Dalem

(Liliknya -Bibi Naila- tidak mau mengayun ayunannya lagi)

Naila         : Iyiiik.. aning, aning iyiiik... /*liliik.. maning, maning lilik/ (setelah diayun lagi, Naila
tertawa dan bernyanyi)
bebek ajus kayi.. nocoyii abun aniii.. /*bebek adus kali.. nyocori sabun wangi../

Mama       : Lho deneng bebek adus kali, yun ayun ayun nyanyine sayang

Naila         : Anyii apa mah? Mamah? /*nyanyi apa mah? Mamah?/

Mama       : Yuun ayun ayuuun...

Naila         : Uuun auun auuun.. uuun auun auuun.. /*yuun ayuun ayuun/
Mamah eong. . . mamah eya di.. /*mamah meong.. mamah naila wedi/
(digendong ibunya ke dalam rumah, bajunya dilepas karena keringatan. Lalu dia bermain-
main dilantai teras rumah, sambil meniru gaya ibunya ketika mengepel lantai, dia
membasuhkan baju yang tadi dilepas darinya ke lantai)

Mama       : Ampun lah, ageman petak sayang..

Naila         : Eya pel mah, mamah eya pel.. /*Naila ngepel mah, mamah naila ngepel/

Mama       : Lah jan bersih temen ngepel’e ndo (sambil membiarkan saja - lalu datang embahnya
yang kemudian mencium pipi naila)

Naila         : Aaaah.. Ebah awass.. eya pel baah.. emmmm eya pel.. /*aaah.. embah awas, naila ngepel
mbah, emmmm.. naila pel/

Mbah        : Yaa Allah putuku pinter temen.

Mama       : Naila.. maem yuu..

Naila         : Maem? /*maem?/

Mama       : Enggih.. Naila maem sosis yah..

Naila         : Maem ocis? Ocis mah.. /*maem sosis? Sosis mah../

Mama       : Naila kalih lilik riyin nggih, mama mendet maem ngge Naila.

Naila         : Maem ocis.. /*maem sosis/ (Liliknya datang dengan membawa boneka Olive ditangannya)

Lilis          : Halo... naila halo (memainkan bonekanya)


Naila         : Aoo.... Aoo..... Iyik, oip anyi. /*halooo.. halooo.. Lilik, olive nyanyi/

Lilis          : Yuuh.. nyanyi sareng eya yuuuhh..

Naila         : Ping.. ping.. ping.. ibu macak empin /*ping ping ping.. ibu masak emping/
Pong.. pong.. pong.. aya main pingpong /*pong pong pong.. ayah main pingpong/
Jam.. jam.. jam.. jam eyapan mayam /*jam jam jam.. jam delapan malam/
Tiduu enyak, tiduuu enyak /*tidur nyenyak, tidur nyenyek/
Piying pecah.. ibu mayah mayah /*piring pecah.. ibu marah-marah/
Gocok gigi, mandi jebang jebung /*gosok gigi, mandi jebar jebur/
Pa amat juayan tomat /*pak camat jualan tomat/
Yan bei ayus oomat /*yang beli harus hormat/
Pa amat pake acamata /*pak camat pakai kacamata/
Bu eyaa atu intaa /*bu nayla jatuh cinta/
Atuuu inta, atuuu inta /*jatuh cinta, jatuh cinta/
Piying pecah, ibu mayah mayah /*piring pecah, ibu marah-marah/
Gocok gigi, mandi jebang jebung /*gosok gigi, mandi jebar jebur/

Lilis          : Yeeeee.. Naila papung’e pripun?

Naila         : Buuung.. /*buuur/

Lilis          : Jebang jebung? Kados niku?

Naila         : Jebang jebung... eyaa ikatan boookk.. /*jebar jebur.. naila sikatan mbok../

Lilis          : Nopo? Eya wau sikatan? Pripun cobi sikatan’e?

Naila         : (Mencontohkan gaya gosok gigi)

4.2 Pembahasan

4.2.1. Tataran Fonologi

Pada tataran fonologi, Naila yang berumur dua tahun telah cukup banyak memperoleh dan
meproduksi berbagai fonem yang dapat membedakan arti kata-kata yang diucapkannya.
Hanya saja dalam pengungkapan katanya, kemampuan fonologi Naila secara dominan baru
sebatas pada bunyi-bunyi vokal seperti /a/, /i/, /u/, /e/, /o/. Ini berarti bahwa Naila sudah
menguasai pemerolehan bunyi vokal dasar (Sistem Vokal Minimal) yakni bunyi vokal
dasar /a/, /i/, dan /u/. Bunyi vokal seperti /a/ dan /e/ diujarkan misalnya pada kata /mamah/
yang maksudnya /mama/, atau /pel/ dalam kata /ngepel/. Fonem /i/ pada kata /iyik/ yang
berarti /lilik/ (bibi). Fonem /u/ dalam kata /aun/ yang artinya ayun. Demikian pula fonem /o/
pada kata /ocis/ yang artinya sosis (makanan).

Mengenai konsonan, Naila pun sudah menguasai Sistem Konsonan Minimal dalam
bahasanya. Hal ini ditandai dalam ujarannya yaitu kontras pertama yang muncul adalah
oposisi antara bunyi oral dengan bunyi nasal (p-b/ dan /m-n), seperti dalam kata /mamah/ dan
/pecah/. Kemudian disusul oleh kontras antara bilabial dengan dental (p/ dan /t) seperti dalam
kata /pingpong/ dan /tiduy/ (tidur).

Pada perkembangannya, Naila belum mampu melafalkan huruf /d/ dengan benar dan
menggantinya dengan huruf /j/ karena pada umumnya bunyi yang letaknya dibagian depan
mulut memang lebih mudah dilafalkan daripada di belakang mulut, seperti pada kata /ajus/
yang seharusnya dilafalkan /adus/ (bermakna mandi). Namun hal ini dirasa lebih baik
daripada pada pelafalan kata lain seperti kata /eya/ (namanya sendiri) yang seharusnya
dilafalkan /naila/. Tatanan katanya hampir seluruhnya diubah. Ia belum mampu mengujarkan
bunyi vokal diftong /ai/ dan huruf yang mengikuti lafal diftong tersebut dengan benar,
sehingga memilih untuk mengujarkannya dengan kata /eya/ karena kata itu cenderung lebih
mudah dilafalkan.

Pada kasus lain dijumpai pula kata /maem/ yang berhasil diungkapkan Naila. Hal ini
berarti Ia sudah mampu melafalkan bunyi diftong /ae/ hanya saja apabila diikuti oleh bunyi
konsonan nasal.

Kata /mamah/ sering sekali diucapkan oleh Naila. Kata ini diucapkan dalam banyak situasi
misalnya ketika bermain atau hendak makan yang kesemuanya ini secara spontan diucapkan.
Disamping itu, Naila sudah berhasil melafalkan kata /jam/, dan /awas/ dengan sempurna.

4.2.2  Tataran Morfologi

Pada tataran morfologi, bahasa yang dipakai Naila masih terbilang belum teratur. Naila
belum bisa menempatkan afiks dalam suatu kata sehingga dalam percakapannya Ia
menggunakan kalimat yang mudah dipahami mitratuturnya tanpa menggunakan kata berafiks.
Jadi diksi yang digunakan anak tersebut menggunakan diksi yang tidak menggunakan kata
berafiks. Banyaknya kata dalam percakapan yang digunakan si anak dengan melesapkan atau
menyingkatkan kata tersebut dapat dilihat pada kalimat. Salah satunya adalah:

“Eya pel mah.. mamah eya pel.. “ /*naila ngepel mah, mamah naila ngepel/
Selanjutnya, afiks infleksional cenderung lebih dikuasai terlebih dahulu oleh Naila
daripada afiks derivasional. Misalnya, Ia lebih menguasai nomina terlebih dahulu daripada
verba.

4.2.3 Tataran Sintaksis dan Semantik

Dalam bidang sintaksis, Naila sudah mampu mengungkapkan maksudnya dengan mulai
mengeluarkan Ujaran Dua Kata (UDK). Naila memulai kalimat dengan dua kata yang
diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata itu terpisah. Untuk menyatakan bahwa Ia ingin
makan sosis misalnya, Naila tidak menyatakan /Naila pengin maem sosis/ tapi /maem//ocis/.
Dengan adanya dua kata dalam UDK maka orang dewasa (ibunya) dapat lebih bisa menerka
apa yang dimaksud oleh anak tersebut karena cakupan makna menjadi terbatas. Kedua kata
ini adalah kata-kata dari ketegori utama: nomina, verba, adjektiva, atau bahkan adverbia.
Belum ada kata fungsi yang digunakan, seperti: di, yang, dan, dsb. Belum pula ditemui
prefiks, afiks, dan sufiks.

Berikut adalah beberapa contoh ujaran dua kata yang dikeluarkan Naila berdasarkan
transkipsi di atas :

/Iyiiik.. aning/              “Lilik.. maning..” (Lilik.. lagi)

/Eya pel/                      “Naila lagi ngepel” (Naila sedang mengepel)

/Eya di/                        “Naila wedi” (Naila takut)

/Oip anyi/                    “Olive di kon nyanyi” (Boneka Olive disuruh menyanyi)

Jika diamati contoh-contoh di atas dengan telili, maka akan tampak bahwa dalam UDK
Naila ternyata sudah menguasai hubungan kasus (case relations). Pada contoh kedua
misalnya, kita dapati bahwa Naila telah menguasai hubungan kasus antara pelaku dengan
perbuatan. Pada contoh ketiga kita temukan hubungan kasus antara pelaku dengan adjektiva,
dst.

Namun di sisi lain, dijumpai bahwa Naila belum mampu membedakan waktu terjadinya
suatu verba/ perbuatan. Seperti dalam kalimat :

“Jebang jebung... eyaa ikatan boookk..” /*jebar jebur.. naila sikatan mbok../ (jebar
jebur.. naila gosok gigi kaan..)

Pada kalimat ini, Ia belum mampu menyatakan bahwa sebenarnya yang dia maksud adalah
mengacu pada waktu tadi pagi pada saat dia mandi, dia telah menggosok giginya. Kalimat
yang seharusnya keluar adalah “Jebang jebung.. eya mau ecuk ikatan boook..” (Jebar jebur..
Naila tadi pagi gosok gigi kaan..)

Umunya setelah beberapa lama memakai UDK anak juga mulai mengeluarkan ujaran
dengan tiga kata atau bahkan lebih. Jadi, antara satu jumlah kata dengan jumlah kata yang
lain bukan merupakan tahap yang terputus.

Pada tataran semantik, peneliti menganggap perkataan Naila sudah dapat dimengerti oleh
mitraturnya, selama masih dalam sekitar lingkungan keluarga dan lingkungan hidupnya.

BAB III

SIMPULAN

a.      Simpulan

Pemerolehan bahasa anak dapat secara maksimal diperoleh dari lingkungannya, sehingga
pemerolehan yang maksimal dapat mempengaruhi output bahasa yang dikeluarkan dari anak
tersebut. Dari perolehan data penelitian, menunjukan bahwa keberhasilan anak umur dua
tahun dalam berbahasa kaitannya dengan kefasihan dalam berbicara adalah ditunjang oleh
faktor lingkungan. Adapun cakupan komponen yang termasuk dalam katagori lingkungan
adalah peran aktif orang tua, fasilitas pendukung dalam pemerolehan bahasa, orang-orang
terdekat dengan anak, misalnya kakak, kerabat dan saudara yang usianya di atas anak
tersebut.

Berkaitan dengan ketercapaiannya berbahasa pada subjek penelitian, pada tataran fonologi ini
Naila yang berumur dua tahun telah cukup banyak memperoleh dan meproduksi berbagai
fonem yang dapat membedakan arti kata-kata yang diucapkannya. Naila sudah menguasai
pemerolehan bunyi vokal dasar (Sistem Vokal Minimal) yakni bunyi vokal dasar /a/, /i/,
dan /u/. Mengenai konsonan, Naila pun sudah menguasai Sistem Konsonan Minimal dalam
bahasanya. Hal ini ditandai dalamnya unjarannya yaitu kontras pertama yang muncul adalah
oposisi antara bunyi oral dengan bunyi nasal (p-b/ dan /m-n), seperti dalam kata /mamah/ dan
/pecah/. Kemudian disusul oleh kontras antara bilabial dengan dental (p/ dan /t) seperti dalam
kata /pingpong/ dan /tiduy/ (tidur). Pada tataran morfologi bahasa yang dipakai Naila, masih
tergolong belum teratur. Naila belum bisa menempatkan afiks dalam suatu kata sehingga
dalam percakapannya Ia menggunakan kalimat yang mudah dipahami mitratuturnya tanpa
menggunakan kata berafiks. Jadi diksi yang digunakan anak tersebut menggunakan diksi
yang tidak menggunakan kata berafiks. Dalam bidang sintaksis, Naila sudah mampu
mengungkapkan maksudnya dengan mulai mengeluarkan Ujaran Dua Kata (UDK). Naila
mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata itu terpisah. UDK
Naila ternyata sudah menguasai hubungan kasus (case relations) Pada tataran semantik,
peneliti menganggap perkataan Naila sudah dapat dimengerti oleh mitraturnya, selama masih
dalam sekitar lingkungan keluarga dan lingkungan hidupnya.

b.      Saran

Dari data penelitian mengenai bahasa anak umur dua tahun di atas,  bahwa umumnya anak
dalam usia tersebut memiliki semangat dalam berbicara, dan rasa keingintahuannya
cenderung lebih besar. Misalnya seperti menceritakan sesuatu yang terjadi di sekelilingnya
kepada orang-orang terdekat, atau berbicara dengan tujuan untuk mendapatkan informasi dari
lingkunganya. Namun demikian, mereka cenderung belum mempunyai kemampuan dalam
pengontrolan emosi, sehingga bahasa yang dikeluarkan cenderung mengalami ketersendatan
atau yang sering dikenal dengan penyakit gagap dalam berbicara.

Dalam hal ini pemerolehan bahasa pada anak akan membawa anak pada kelancaran dan
kefasihan anak dalam berbicara. Rentang umur anak di usia balita umumnya mempunyai
kemampuan dalam menyerap sesuatu dan ingatan cenderung lebih cepat dibandingkan usia-
usai diatas balita. Sehingga dalam usia-usia tersebut anak sebaiknya mendapatkan perolehan
bahasa yang baik, anak harus selalu dirangsang dengan sesuatu yang bersifat pedagogig atau
pendidikan. Pendidikan bahasa pada anak-anak tersebut harus selalu di tingkatkan untuk
memperoleh hasil berbicara yang baik. Peran orang tua sebagai fasilitator harus ekstra-aktif
dalam pertumbuhan bahasa anak. Dengan keaktifan tersebut diharapkan anak memperoleh
bahasa yang baik dan lancar dalam berbahasa.

DAFTAR PUSTAKA

Djardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik:Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.


Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.

Chaer, Abdul.2009.Psikolinguistik: Kajian Teoretik.Jakarta:Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai