Anda di halaman 1dari 10

HAKIKAT PEMEROLEHAN BAHASA, HAKIKAT PEMBELAJARAN

BAHASA DAN PERBEDAANNYA

Dosen Pengampu: Edi Puryanto, M.Pd.

Disusun oleh:

Resti Siti Balqis (1201617004)

3 PB 1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2020
HAKIKAT PEMEROLEHAN BAHASA, HAKIKAT PEMBELAJARAN
BAHASA DAN PERBEDAANNYA

A. Hakikat Pemerolehan Bahasa

Istilah "pemerolehan” dipakai untuk padanan istilah Inggris yaitu


acquisition, yakni proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara
natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (mother language). Istilah ini
dibedakan dari "pembelajaran" yang merupakan padanan dari istilah Inggris
learning. Dalam pengertian ini proses itu dilakukan dalam tatanan yang formal,
yakni belajar di kelas dan diajar oleh seorang guru. Dengan demikian maka proses
dari anak yang belajar menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan, sedangkan
proses dari orang yang belajar di kelas adalah pembelajaran. Pemerolehan bahasa
umumnya berlangsung di lingkungan masyarakat bahasa target dengan sifat alami
dan informal serta lebih merujuk pada tututan komunikasi. Berbeda dengan
pembelajaran bahasa yang berlangsung secara formal dan merujuk pada tututan
pembelajaran.

Chaer (2003:167) menyatakan “pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa


adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang kanak-kanak ketika dia
memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya”. Selanjutnya Kiparsky
(Tarigan:1986:234) menyatakan: Pemerolehan bahasa atau language acquisition
adalah suatu proses yag dipergunakan oleh kanak-kanak untuk menyesuaikan
serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit, ataupun teoriteori yang masih
terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi, dengan ucapan-ucapan
orangtuanya sampai dia memilih, berdasarkan suatu ukuran atau takaran penilaian,
tata bahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa tersebut.

Pemerolehan bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak anak-


anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya (Chaer,
2009:167). Istilah pemerolehan dipakai untuk padanan istilah
inggris acquisition,  yakni proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak
secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language). Bahasa
yang diperoleh bisa berupa vokal yakni pada bahasa lisan atau bunyi ujaran dan
bisa berupa isyarat. Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak
lahir berupa kesanggupannya untu berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia
dan itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan
berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia. Kemampuan berbahasa
anak yang normal sama dengan anak-anak yang cacat. Kemampuan berbahasa
sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fisiologi manusia,
seperti bagian otak tertentu yang mendasari bahasa dan topografi korteks yang
khusus untuk bahasa.
Pemerolehan bahasa (language acquisition) atau akuisisi bahasa menurut
Maksan (1993:20) adalah suatu proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh
seseorang secara tidak sadar, implisit, dan informal. Lyons (1981:252)
menyatakan suatu bahasa yang digunakan tanpa kualifikasi untuk proses yang
menghasilkan pengetahuan bahasa pada penutur bahasa disebut pemerolehan
bahasa. Artinya, seorang penutur bahasa yang dipakainya tanpa terlebih dahulu
mempelajari bahasa tersebut. Stork dan Widdowson (1974:134) mengungkapkan
bahwa pemerolehan bahasa dan akuisisi bahasa adalah suatu proses anak-anak
mencapai kelancaran dalam bahasa ibunya. Huda (1987:1) menyatakan bahwa
pemerolehan bahasa adalah proses alami di dalam diri seseorang menguasai
bahasa. Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan hasil kontak verbal dengan
penutur asli lingkungan bahasa itu. Dengan demikian, istilah pemerolehan bahasa
mengacu ada penguasaan bahasa secara tidak disadari dan tidak terpegaruh oleh
pengajaran bahasa tentang sistem kaidah dalam bahasa yang dipelajari.
Selanjutnya, Darjowidjojo (2003: 244) membagi jenis-jenis pemerolehan
bahasa dalam empat tataran, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
Di samping itu, ada bahasan pula mengenai pemerolehan pragmatik, yakni
bagaimana anak memperoleh kelayakan dalam berujar.

Berikut ini penjelasan dari berbagai macam pemerolehan bahasa di atas.

1) Pemerolehan Bahasa dalam Bidang Fonologi


Pada waktu dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20% dari otak
dewasanya. Ini berbeda dengan binatang yang sudah memiliki sekitar 70%.
Karena perbedaan inilah maka binatang sudah dapat melakukan banyak hal segera
setelah lahir, sedangkan manusia hanya bisa menangis dan menggerak-gerakkan
badannya. Pada umur sekitar 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi
yang mirip dengan bunyi konsonan atau vocal. Bunyi-bunyi ini belum dapat
dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar dengan jelas. Proses
mengeluarkan bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing, yang telah
diterjemahkan menjadi dekutan (Dardjowidjojo 2012:244). Anak mendekutkan
bermacam-macam bunyi yang belum jelas identitasnya. Pada sekitar umur 6
bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan vocal sehingga membentuk apa
yang dalam bahasa Inggris dinamakan babbling, yang telah diterjemahkan
menjadi celotehan. Celotehan dimulai dengan konsonan yang keluar pertama
adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/, dengan
demikian strukturnya adalah
2) Pemerolehan Bahasa dalam Bidang Morfologi
Afiksasi bahasa Indonesia merupakan salah aspek morfologi yang
kompleks. Hal ini terjadi karena satu kata dapat berubah makna karena proses
afiksasinya (prefiks, sufiks, simulfiks) berubah-ubah. Misalnya kata satu dapat
berubah menjadi: bersatu, menyatu, kesatu, satuan, satukan, disatukan, persatuan,
kesatuan, kebersatuan, mempersatukan, dst. Zuhdi dan Budiasih (1997)
menyatakan bahwa anak-anak mempelajari morfem mula-mula bersifat hapalan.
Hal  ini kemudian diikuti dengan membuat simpulan secara kasar tentang bentuk
dan makna morfem. Akhirnya anak membentuk kaidah. Proses yang rumit ini
dimulai pada periode prasekolah dan terus berlangsung sampai pada masa
adolesen.

3) Pemerolehan Bahasa dalam Bidang Semantik


Menurut beberapa ahli psikolinguistik perkembangan kanak-kanak
memperoleh makna suatu kata dengan cara menguasai fitur-fitur semantik kata itu
satu demi satu sampai semua fitur semantik dikuasai, seperti yang dikuasai oleh
orang dewasa (Mc.Neil, 1970, Clark, 1997). Akhirnya Clark secara umum
menyimpulkan perkembangan pemerolehan semantik ini ke dalam empat tahap
yaitu sebagai berikut. Tahap penyempitan makna kata,   tahap ini berlangsung
antara umur satu sampai satu setengah tahun (1;0–1;6). Pada tahap ini kanak-
kanak menganggap satu benda tertentu yang disebut gukguk hanyalah anjing yang
dipelihara di rumah saja tidak termasuk yang berada di luar rumah. Tahap
generalisasi berlebihan, tahap ini berlangsung antara usia satu setengah tahun
hingga dua tahun setengah (1;6–2;6). Pada tahap ini anak-anak mulai
menggeneralisasikan makna suatu kata secara berlebihan. Jadi yang dimaksud
dengan anjing atau gukguk adalah semua binatang berkaki empat.
Tahap medan semantik, Tahap ini berlangsung antara usia  dua tahun setengah
sampai usia lima tahun (2;6  –  5;0). Pada tahap ini kanak-kanak mulai
mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke dalam satu medan semantik. Pada
mulanya proses ini berlangsung jika makna kata-kata yang digeneralisasi secara
berlebihan semakin sedikit setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang
termasuk dalam generalisasi ini dikuasai oleh kanak-kanak. Umpamanya kalau
pada utamanya kata anjing berlaku untuk semua binatang berkaki empat, namun
setelah mereka mengenal kata kuda, kambing, harimau maka kata anjing berlaku
untuk anjing saja.

Tahap generalisasi, tahap ini berlangsung setelah kanak-kanak berusia lima


tahun. Pada tahap ini kanak-kanak telah mulai mampu mengenal  benda-benda
yang sama dari sudut persepsi, bahwa benda-benda itu mempunyai fitur-fitur
semantik yang sama. Pengenalan seperti ini semakin sempurna jika kanak-kanak
itu semakin bertambah usia. Jadi, ketika berusia antara lima tahun sampai tujuh
tahun misalnya, mereka telah mampu mengenal yang dimaksud dengan hewan.

4) Pemerolehan Bahasa dalam Bidang Sintaksis


Dalam bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan
satu kata atau bagian kata. Kata ini, bagi anak, sebenarnya adalah kalimat penuh,
tetapi karena dia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata dari seluruh kalimat
itu. Yang menjadi pertanyaan adalah kata mana yang dipilih? Seandainya anak itu
bernama Fajri dan yang ingin dia sampaikan adalah Fajri mau makan, dia akan
memilih jri (untuk Fajri), mau (untuk mau), ataukah kan (untuk makan)? Dari tiga
kata pada kalimat Fajri mau makan, yang baru adalah kan. Karena itulah anak
memilih kan, dan bukan jri, atau mau. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa
dalam ujaran yang dinamakan Ujaran Satu Kata, USK, (one word utterance) anak
tidak sembarangan saja memilih kata itu; dia akan memilih kata yang memberikan
informasi baru.

Dari segi sintaktiknya, USK sangatlah sederhana karena memang hanya


terdiri dari satu kata saja, bahkan untuk bahasa seperti bahasa Indonesia hanya
sebagian saja dari kata itu. Di samping ciri ini, USK juga mempunyai ciri-ciri
yang lain. Pada awalnya USK hanya terdiri dari CV saja. Bila kata itu CVC maka
C yang kedua dilesapkan. Kata mobil akan disingkat menjadi /bi/. Pada
perkembangannya kemudian, konsonan akhir ini mulai muncul. Pada umur 2;0
misalnya, Echa menamakan ikan  sebagai /tan/, persis sama dengan kata bukan.
Pada awal USK juga tidak ada gugus konsonan.

Semua gugus yang ada di awal atau akhir kalimat disederhanakan menjadi
satu konsonan saja. Kata Indonesia putri  (untuk Eyang putri) diucapkan oleh
Echa mula-mula sebagai Eyang /ti/. Ciri lain dari USK dalah bahwa kata-kata dari
kategori sintaktik utama (content words), yakni, nomina, verba, adjektiva, dan
mungkin juga adverbia. Tidak ada kata fungsi seperti form, to, dari, atau ke. Di
samping itu, kata-katanya selalu dari kategori sini dan kini. Tidak ada yang
merujuk kepada yang tidak ada di sekitar atau pun ke masa lalu dan masa depan.
Anak pun juga dapat menyatakan negasi no atau nggak,  pengulangan more atau 
lagi, dan habisnya sesuatu gone!   Sekitar umur 2;0 anak mulai mengeluarkan
Ujaran Dua Kata, UDK (Two Word Utterance). Anak mulai dengan dua kata yang
diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata itu terpisah. Untuk menyatakan
bahwa lampunya telah menyala. Echa misalnya, bukan mengatakan /lampunala/
“lampu nyala” tapi /lampu /nala /. Jadi, berbeda dengan USK, UDK sintaksisnya
lebih kompleks (karena adanya dua kata) tetapi semantiknya makin lebih jelas.
5) Pemerolehan Bahasa dalam bidang pragmatik
Jakobson menyatakan bahwa tahap pemerolehan pragmatik, anak
dipengaruhi oleh lingkungannya. Di dalam pemerolehan pragmatik, anak tidak
hanya berbahasa tetapi juga memperoleh tindak berbahasa. Menurut
Dardjowidjojo (2003: 266) membagi pemerolehan pragmatik dalam dua teori,
yaitu:  Pemerolehan niat  komunikatif, Dardjowidjojo (2003: 266) menyatakan
bahwa pada minggu-minggu pertama sesudah lahir, anak mulai menunjukkan niat
komunikatifnya dengan tersenyum, menoleh bila dipanggil, menggapai bila diberi
sesuatu, dan memberikan sesuatu kepada orang lain.  Pemerolehan kemampuan
percakapan, Dardjowidjojo (2003: 266-267) menyatakan bahwa percakapan
mempunyai struktur yang terdiri dari tiga komponen, yaitu (1) pembukaan, (2)
giliran, dan (3) penutup. Bila orang tua menyapanya atau anak-anak yang
menyapa terlebih dahulu, itulah tanda bahwa percakapan akan dimulai. Pada tahap
giliran, akan terjadi memberikan respon dan pada bagian penutup, tidak mustahil
pula bahwa pertanyaan tadi tidak terjawab karena anak lalu pergi saja
meninggalkan orang tuanya atau beralih ke kegiatan lain.

Adapun karakteristik pemerolehan bahasa menurut Tarigan dkk. (1998) adalah:

a) Berlangsung dalam situasi informal, anak-anak belajar bahasa tanpa


beban, dan di luar  sekolah;
b) Pemilikan bahasa tidak melalui pembelajaran formal di lembaga-lembaga
pendidikan seperti sekolah atau kursus;
c) Dilakukan tanpa sadar atau secara spontan;
d) Dialami langsung oleh anak dan terjadi dalam konteks berbahasa yang
bermakna bagi anak.

B. Hakikat Pembelajaran Bahasa

Pembelajaran bahasa Indonesia pada satuan pendidikan sekolah dasar


dibagi dalam dua kelompok utama yakni peringkat pemula (kelas I–III) dan
peringkat lanjutan (kelas IV–VI). Penerapan pembelajaran bahasa untuk kedua
kelompok tersebut berbeda karena sasaran dan tujuan pengajarannyapun berbeda.
Bagi peringkat pemula penguasaan keterampilan membaca–menulis permulaan
dan menyimak–berbicara tingkat sederhana bertujuan untuk mengarahkan pada
pelatihan penggunaan keterampilan berbahasa yang lebih kompleks dan
mendekati kenyataan (Subana dan Sunarti, 2005).
Pembelajaran yang ditujukan untuk tingkat lanjutan (kelas IV–VI)
dimaksud-kan untuk melatih dan mengembangkan penguasaan keterampilan
berbahasa murid secara integral yang meliputi keterampilan menyimak,
keterampilan berbicara, keterampilan membaca dan keterampilan menulis.
Keterampilan berbicara adalah suatu proses penyampaian pesan yang dilakukan
secara lisan. Sebagai proses, di dalam kegiatan berbicara terdapat lima unsur yang
terlibat, yaitu pembicara, isi pembicaraan, saluran, penyimak, dan tanggapan
penyimak (Anonim, 2009).

Kemampuan bahasa yang dimiliki anak melalui tahap-tahap berikut ini:


1. Tahap pralinguistik, yaitu fase perkembangan bahasa di mana anak belum
mampu menghasilkan bunyi-bunyi yang bermakna. Bunyi yang dihasilkan
seperti tangisan, rengekan, dekutan, dan celotehan hanya merupakan
sarana anak untuk melatih gerak artikulatorisnya sampai ia mampu
mengucapkan kata-kata yang bermakna.
2. Tahap satu-kata, yaitu fase perkembangan bahasa anak yang baru mampu
menggunakan ujaran satu-kata. Satu-kata itu mewakili ide dan tuturan
yang lengkap.
3. Tahap dua-kata, yaitu fase anak telah mampu menggunakan dua kata
dalam pertuturannya.
4. Tahap banyak-kata, yaitu fase perkembangan bahasa anak yang telah
mampu bertutur dengan menggunakan tiga-kata atau lebih dengan
penguasaan gramatika yang lebih baik (Anonim, 2009).

Adapun keterampilan menyimak dalam pembelajaran bahasa adalah suatu


proses penerimaan pesan yang disampaikan oleh orang lain. Sebagai proses,
kegiatan menyimak terdiri atas tahap penerimaan rangsangan lisan, pemusatan
perhatian, serta pemahaman makna atas pesan yang disampaikan. Penyimak akan
dapat menyimak dengan baik apabila ia memiliki kemampuan berkonsentrasi,
menangkap bunyi tuturan, mengingat hal-hal penting, serta memahami unsur
linguistik dan nonlinguistik secara memadai (Anonim, 2009).
 
Sedangkan keterampilan menulis dalam pembelajaran bahasa adalah
proses penyampaian pesan kepada pihak lain secara tertulis. Sebagai proses,
menulis terdiri atas tahap prapenulisan, menulis, dan pascapenulisan. Adapun
keterampilan membaca merupakan proses penyampaian pesan secara tertulis dari
pihak lain. Sebagai proses, membaca merupakan kegiatan pemaknaan yang terus-
menerus berdasarkan apa yang tersaji dalam teks karangan serta pengetahuan
yang dimiliki oleh pembacanya (Anonim, 2009).
 
Sementara untuk pembelajaran membaca permulaan diberikan di kelas I
dan II dengan tujuan agar murid memiliki kemampuan memahami dan
menyuarakan tulisan dengan intonasi yang wajar, sebagai dasar untuk dapat
membaca lanjut. Pembelajaran membaca permulaan merupakan tingkatan proses
pembelajaran membaca untuk menguasai sistem tulisan sebagai representasi
visual bahasa. Tingkatan ini sering disebut dengan tingkatan belajar membaca
(learning to read). Adapun membaca lanjut merupakan tingkatan proses
penguasaan membaca untuk memperoleh isi pesan yang terkandung dalam tulisan.
 
Tingkatan ini disebut sebagai membaca untuk belajar (reading to learn).
Kedua tingkatan tersebut bersifat kontinum, artinya pada tingkatan membaca
permulaan yang fokus kegiatannya penguasaan sistem tulisan, telah dimulai pula
pembelajaran membaca lanjut dengan pemahaman walaupun terbatas. Demikian
juga pada membaca lanjut menekankan pada pemahaman isi bacaan, masih perlu
perbaikan dan penyempurnaan penguasaan teknik membaca permulaan (Syafi’ie,
1999).

Elis (dalam Chaer 2002 : 242) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran
bahasa, yaitu:
1).      Tipe Naturalistik
Tipe naturalistik bersifat alamiah, tanpa guru dan tanpa kesengajaan pembelajaran
berlangsung didalam lingkungan kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat
billingual dan multi lingual tipe naturalistik banyak dijumpai. Belajar bahasa
menurut tipe naturalistik ini sama prosesnya dengan pemerolehan bahasa pertama
yang berlangsungnya secara ilmiah, sehingga pemerolehan bahasa yang dihasilkan
antara anak-anak dan dewasa berbeda.
2).      Tipe formal
Tipe formal yang bersifat formal berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi
dan alat-alat yang sudah dipersiapkan, pembelajaan bahasa dalam tipe ini
dilakukan dengan sengaja atau sadar, pembelajaran bahasa bersifat formal
seharusnya lebih baik dari pada pembelajaran yang dilakukan secara naturalistik,
tapi pada kenyataanya tidak tidak berbagai penyebab atau faktor yang
mempengaruhinya dalam proses pembelajaran bahasa.
Beberapa tokoh sudah banyak menyatakan bahwa meskipun studi tentang
metodologi belajar bahasa kedua ataupun bahasa asing telah banyak dilakukan
dengan memakan waktu sekian lama dan biaya yanga sangat besar, tetapi belum
banyak mengubah cara orang untuk belajar bahasa.
C. Perbedaan hakikat pemerolehan bahasa dengan hakikat
pembelajaran bahasa

Dalam pandangan beberapa ahli, ada perbedaan antara konsep


pemerolehan dan pembelajaran. Pemerolehan bahasa diartikan sebagai
penguasaan bahasa pertama seorang anak di mana dia tinggal. Proses pemerolehan
bahasa ini berlangsung secara tidak sadar. Di sisi lain, pembelajaran adalah proses
penguasaan bahasa target (bahasa kedua) yang dilakukan oleh seseorang guna
kepentingan tertentu, misalnya untuk tujuan pekerjaan, akademis, ekonomi, dan
lain-lain. Dalam proses ini tujuan yang ingin dicapai oleh individu tersebut jelas
sehingga proses inipun dilakukan dengan sadar.

Pemerolehan maupun pembelajaran bahasa juga memiliki perbedaan sebagai


berikut.
1)      Perbedaan Motivasi atau tujuan, pemerolehan bahasa digunakan sebagai
dasar dalam berkomunikasi dengan orang di sekitarnya sedangkan pembelajaran
didasari oleh motif tertentu seperti ekonomi, pendidikan, sosial, dan lain
sebagainya.
2)      Pemerolehan bahasa dilakukan secara tidak sadar sedangkan pembelajaran
bahasa dilakukan secara sadar oleh individu yang bersangkutan.
3)      Model dalam pemerolehan bahasa pertama adalah bahasa pertama yang
digunakan di lingkungannya sedangkan pembelajaran biasanya objek bahasanya
adalah bahasa kedua. Misalnya, di suku Jawa bahasa pertama adalah bahasa Jawa
dan bahasa kedua adalah bahasa Indonesia.
4)      Perbedaan waktu ini mengacu pada tahap yang dilalui dimana pemerolehan
bahasa pertama biasanya pada waktu usia anak-anak dan yang paling baik pada
masa periode masa kritis dan pembelajaran bahasa bahasa dapat dilakukan
kapanpun.
5)      Pembelajaran bahasa adalah proses yang terjadi setelah pemerolehan bahasa
terjadi.
Daftar Pustaka

http://repository.fkip.unja.ac.id/file?
i=e3BR0CbOFgNw1mMIyFyABy_FkvbAwcVUT9CRZHf2ag

http://sedikitbicarabanyakilmu.blogspot.com/2013/07/hakikat-pemerolehan-
bahasa-anak.html#!/tcmbck

http://ppg.spada.ristekdikti.go.id/master/mod/page/view.php?id=2253#

Fatmawati, Suci rani. 2015. PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA ANAK


MENURUT TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK. Lentera, Vol. XVIII, No. 1, Juni
2015

https://gurubahasaindonesiavocsten.wordpress.com/2017/01/07/hakikat-bahasa-
dan-pemerolehan-bahasa/

Muchlisoh. 1992. Materi Pokok Bahasa Indonesia 3. Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan.
Subana & Sunarti, 2005. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia.
Bandung. Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai