Anda di halaman 1dari 58

EFEKTIFITAS PEMBERIAN TERAPI OKUPASI TERHADAP

KEMANDIRIAN DALAM PERAWATAN DIRI SENDIRI


PADA ANAK AUTISME DI SLB AUTISME YAYASAN
PERKEMBANGAN POTENSI ANAK (YPPA)
PADANG TAHUN 2014

PROPOSAL
PENELITIAN KEPERAWATAN ANAK

OLEH:

SISKIA FITRI
10121508

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
2014
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada saat ini kata-kata autis mulai tidak asing lagi bagi kita, meskipun

istilah autisma/autisme/autism baru mulai tersosialisasi di masyarakat sejak tahun

1997 (Rafmateti, 2004). Kata autis berasal dari bahasa yunani “Auto” yang berarti

sendiri yang di tujukan pada seseorang yang menunjukan gejala “hidup dalam

dunianya sendiri”. Pemakaian istilah autis di perkenalkan pertama kali oleh Leo

Kanner, seorang psikiater dan Harvard pada tahun 1993 (Judarwanto, 2000).

Dalam kamus kedokteran autisme didefinisikan sebagai keadaan introversi

mental dengan perhatian yang hanya tertuju pada ego sendiri. Anak yang

mengalami gangguan ini akan terlihat lebih emosional, serta ditandai dengan

adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, prilaku,

komunikasi, dan interaksi sosial (Aulia Fadhli, 2010).

Akhir-akhir ini kasus autisme banyak terjadi tidak saja di negara-negara

maju seperti Inggris, Australia, Jerman, dan Amerika, tetapi juga di negara

berkembang seperti Indonesia. Prevalensi autisme di dunia saat ini mencapai 15-

20 kasus per 10.000 anak. Pada tahun 2000-2001 terdapat lebih dari 15.000 anak-

anak berusia 3-5 tahun dan lebih dari 78.000 anak-anak berusia 6-21 tahun di

Amerika serikat adalah penyandang autisme (Hasdianah HR, 2013).

Fakta menunjukan kepada kita bahwa masalah anak autis telah menjadi isu

hangat yang di bicarakan oleh para pakar psikologi, neurologi, pemerhati masalah

autisme, pekerja sosial, para pendidik khusus, para mahasiswa jurusan pendidikan

luar biasa, dan masyarakat. Sekalipun isu autis telah dibahas melalui berbagai

pertemuan ilmiah berupa seminar, symposium, diskusi panel, dan jenis pertemuan
ilmiah lainnya dan telah mulai di kaji melalui berbagai penelitian oleh ahli yang

relevan dan terkait, namun isu tentang autis oleh masyarakat dan orang tua pada

umumnya masih belum jelas (Hadis Abdul, 2006).

Di Indonesia, isu dengan anak autis muncul sekitar tahun 1990-an. Autisme

mulai dikenal secara luas sekitar tahun 2000-an. Data jumlah anak dengan

gangguan autisme belum diketahui secara pasti. Namun jumlah anak dengan

gangguan autisme menunjukan peningkatan yang makin mencolok. Menurut

pengakuan seseorang psikiater di Jakarta dari pengalaman prakteknya mengatakan

bahwa sebelum tahun 1990-an jumlah pasien yang di diagnosis sebagai anak

dengan gangguan autis dalam setahun hanya sekitar 5 orang. Kini dalam sehari

saja bisa mendiagnosis 3 pasien dengan gangguan autis. Dengan meningkatnya

penyandang autisme maka sangat dibutuhkan terapi (Hasdianah HR, 2013).

Terapi akupasi merupakan salah satu upaya penyembuhan terhadap anak

yang memiliki kelainan fisik dan mental dengan cara memberikan keaktifan kerja,

sehingga keaktifan tersebut dapat mengurangi penderitaan yang dialami anak

autis. Sasaran terapi okupasi meliput pemulihan, pengembangan dan pemeliharaan

fisik intelektual, sosial dan emosi pada anak (Cristopher Sunu, 2012).

Sebagian penyandang autisme mempunyai perkembangan motorik yang

kurang baik. Gerak-geriknya kasar dan kurang luwes bila dibanding dengan anak-

anak lain seumurnya. Anak-anak ini perlu diberi bantuan terapi okupasi untuk

membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi, dan membuat otot halusnya bisa

terampil. Otot jari tangan misalnya, sangat penting di kuatkan dan dilatih supaya

anak bisa menulis, merawat diri sendiri dan melakukan semua hal yang
membutuhkan keterampilan otot jari tangannya. Dalam hal ini terapi okupasi

sangat penting untuk melatih menggunakan otot-otot halusnya dengan benar

(Mirza Maulana, 2007).

Salah satu tujuan melakukan terapi okupasi adalah mengajarkan materi

akademik dan kemampuan bantu diri serta keterampilan lainnya. Hal yang paling

ditakuti jika anak tidak di terapi adalah ketidakmampuan anak untuk melakukan

segala sesuatunya sendiri dengan kata lain anak tidak akan bisa mandiri seperti

makan, minum, toileting, gosok gigi dan kegiatan lainnya (Handojo, 2003).

Orem (1971) mengembangkan filosofi keperawatan yang menekankan

pada perawatan diri sendiri. Keperawatan memiliki perhatian pada kebutuhan

dasar manusia terhadap tindakan perawatan dirinya sendiri dan kondisi serta

penatalaksanaannya dalam upaya mempertahankan kehidupan dan kesehatan,

penyembuhan dari penyakit atau cedera dan mengatasi bahaya yang di

timbulkannya. Perawatan diri sendiri dibutuhkan oleh setiap manusia, baik laki-

laki, perempuan ataupun anak-anak. Ketika perawatan diri tidak dapat

dipertahankan, akan terjadi kesakitan dan kematian (Poter & Perry, 2006).

Sebagian besar anak belajar kemampuan merawat diri sendiri dengan

memperhatikan dan meniru apa yang mereka lihat dengan pengajaran yang

minimal oleh orang tua atau instruktur. Namun sebaliknya, anak-anak autis

membutuhkan pengajaran yang sistematik dan intensif dalam mempelajari

kemampuan merawat diri sendiri. Hal ini dikarenakan adanya gangguan bahasa,

dan perhatian, gangguan perilaku dan gangguan motorik (Depalma, 1991).


Survei awal yang Peneliti lakukan di Yayasan Pengembangan Potensi

Anak (YPPA) pusat terapi autisme yang beralamat di Andalas Padang pada tahun

2013 terdapat 55 anak autisme. Sebagian besar anak autisme mengalami

keterlambatan dalam kemampuan merawat diri dan masih sangat memerlukan

bantuan dibandingkan anak-anak normal seusia mereka. Salah satu terapi yang

dilaksanakan di sekolah ini yang bertujuan melatih kemampuan merawat diri

adalah terapi okupasi. Adapun jumlah anak yang mengikuti program terapi

okupasi saat ini adalah sebanyak 34 orang. Selebihnya adalah anak yang tidak lagi

menjalani terapi tapi masih memerlukan bantuan dibidang akademik seperti

membaca dan berhitung. Terapi yang diberikan disekolah tersebut berupa terapi

okupasi, terapi wicara, dan terapi perilaku. Dalam satu sesi terapi, 1 orang anak

autis ditangani oleh 1 terapis. Setiap anak mempunyai buku harian yang berisikan

perkembangan dan kemajuan dari terapi mereka, serta ada juga laporan program

terapi per semester yang di isi oleh terapis terhadap kemajuan yang dicapai

masing-masing anak selama satu semester (6 bulan). Kemajuan yang dicapai oleh

anak bersifat individual dan setiap anak yang di terapi tidak mempunyai target

waktu yang ditentukan karena terapi dari anak autisme ini tidak mempunyai

jangka waktu yang pasti dan tergantung dari banyak hal, salah satunya adalah

lamanya waktu pemberian terapi.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik melakukan

penelitian dengan judul ”Efektifitas pemberian terapi okupasi terhadap

kemandirian dalam perawatan diri sendiri pada anak autisme di SLB Autisme

Yayasan Perkembangan Potensi Anak (YPPA) Andalas Padang tahun 2013”.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini

adalah “Apakah ada efek pemberian terapi okupasi terhadap kemandirian dalam

perawatan diri sendiri pada anak autisme Di SLB Autisme Yayasan

Perkembangan Potensi Anak (YPPA) Padang Tahun 2014”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektifitas pemberian terapi okupasi terhadap

kemandirian dalam perawatan diri sendiri pada anak autisme Di SLB

Autisme Yayasan Perkembangan Potensi Anak (YPPA) Padang Tahun

2014.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui distribusi frekuensi Perawatan Diri Sendiri Pada Anak

Autisme sebelum diberikan terapi okupasi di SLB Autisme Yayasan

Perkembangan Potensi Anak (YPPA) Padang Tahun 2014.

b. Diketahui distribusi frekuensi Perawatan Diri Sendiri Pada Anak

Autisme sesudah diberikan terapi okupasi di SLB Autisme Yayasan

Perkembangan Potensi Anak (YPPA) Padang Tahun 2014.

c. Diketahui Efektifitas pemberian terapi okupasi terhadap kemandirian

dalam perawatan diri sendiri pada anak autisme di SLB Autisme

Yayasan Perkembangan Potensi Anak (YPPA) Padang Tahun 2014.


D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Profesi Keperawatan

Mengembangkan wawasan keilmuan profesi tenaga kesehatan

khususnya tenaga keperawatan untuk mengetahui efektifitas pemberian

terapi okupasi terhadap kemandirian dalam perawatan diri sendiri pada

anak autisme di SLB Autisme Yayasan Perkembangan Potensi Anak

(YPPA) Padang.

2. Bagi Yayasan Anak Autisme

Memberikan konstribusi data objektif kepada SLB Autisme Yayasan

Perkembangan Potensi Anak (YPPA) Padang dalam pemberian terapi pada

anak autisme dan sebagai masukan bagi terapis dalam memberikan

tindakan terhadap anak autisme.

3. Bagi Riset Penelitian

Memberikan ilmu pengetahuan, pengalaman dan meningkatkan

kemampuan peneliti dalam menganalisis suatu masalah melalui penelitian

serta menerapkan ilmu yang telah di dapat di bangku pendidikan.

4. Bagi institusi pendidikan

Sebagai bahan masukan bagi pengembangan ilmu keperawatan di

program studi S1 keperawatan STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG

dan bahan informasi bagi peneliti lain untuk penelitian lebih lanjut serta

bahan bacaan di perpustakaan.

E. Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas tentang efektifitas pemberian terapi okupasi

terhadap kemandirian dalam perawatan diri sendiri pada anak autisme Di SLB

Autisme Yayasan Perkembangan Potensi Anak (YPPA) Padang. Lingkup

penelitian ini mencakup aplikasi dari keperawatan anak dan sekaligus

keperawatan jiwa. Variabel yang di teliti adalah terapi okupasi (variabel

independen) dan perawatan diri sendiri (variabel dependen).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Autisme

1. Pengertian Autism
Autisme merupakan gangguan perkembangan yang secara signifikan

mempengaruhi komunikasi verbal dan nonverbal dan interaksi sosial, yang

pada umumnya terjadi sebelum usia 3 tahun, dan dengan keadaan ini

sangat mempengaruhi performa pendidikannya (Hasdianah HR, 2013).

Autisme merupakan salah satu bentuk gangguan tumbuh kembang

berupa sekumpulan gejala akibat adanya kelainan syaraf-syaraf tertentu

yang menyebabkan fungsi otak tidak bekerja secara normal sehingga

mempengaruhi tumbuh kembang, kemampuan komunikasi dan

kemampuan interaksi sosial seseorang (Cristopher Sunu, 2012).

Dalam kamus kedokteran autisme didefinisikan sebagai keadaan

introversi mental dengan perhatian yang hanya tertuju pada ego sendiri.

Anak yang mengalami gangguan ini akan terlihat lebih emosional, serta

ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang

kognitif, bahasa, prilaku, komunikasi, dan interaksi sosial (Aulia Fadhli,

2010).

2. Etiologi Autism

Menurut Depsos RI (2006) penyebab pasti autisme belum diketahui

sampai saat ini. Kemungkinan besar ada banyak penyebab autisme, bukan

hanya satu. Menurut Widyawati (2002) mengemukakan bahwa ada

berbagai macam teori tentang penyebab autisme, yaitu teori psikososial,


teori biologis, dan teori imunologi. Teori biologi menjelaskan bahwa ada

hubungan yang erat antara retardasi mental (75-80%) dengan gangguan

autisme, perbandingan autisme pada laki-laki dan perempuan 4:1 dan

adanya beberapa kondisi medis dan genetik yang mempunyai hubungan

dengan gangguan autisme.

Berbagai hal yang dicurigai berpotensi menyebabkan autisme

tersebut antara lain:

a. Gangguan Susunan Saraf Pusat

Ditemukan kelainan anatomi susunan saraf pusat (neuroanatomy)

pada beberapa tempat di dalam otak anak autis. Pengecilan otak

mengakibatkan kacaunya proses penyaluran informasi antar otak. Juga

di temukan kelainan struktur pada pusat emosi pada anak autis

sehingga emosi mereka sering terganggu (Depsos RI, 2006).

b. Genetik

Merupakan dugaan awal dari penyebab autis. Autisme telah lama

di ketahui bisa di turunkan dari orang tua kepada anak-anaknya. Secara

sederhana autis ini di sebabkan adanya kelemahan genetik (Abdul

Hadist, 2006).

Ada bukti kuat yang menyatakan perubahan dalam gen

berkontribusi pada terjadinya autisme. Menurut National Institute of

Health, keluarga yang memiliki satu anak autisme memiliki peluang 1-

20 kali lebih besar untuk melahirkan anak yang juga autisme.

Penelitian pada anak kembar menemukan, jika salah satu anak autis,
kembarannya kemungkinan besar memiliki gangguan yang sama.

Secara umum para ahli mengidentifikasi 20 gen yang menyebabkan

gangguan spectrum autisme. Gen tersebut berperan penting dalam

perkembangan otak, pertumbuhan otak, dan cara sel-sel otak

berkomunikasi (Hasdianah HR, 2013).

c. Makanan

Pada intinya, berbagai zat kimia yang ada dalam makanan

modern (pengawet, pewarna, dll) dicurigai menjadi penyebab dari

autisme pada beberapa kasus. Ketika zat tersebut dihilangkan dari

makanan para penderita autisme, banyak yang kemudian mengalami

peningkatan situasi secara drastis (Abdul Hadist, 2006). Makanan dan

minuman yang mengandung logam berat seperti arsenic, antimony,

cadmium, air raksa dan timbal di duga akan mengganggu kemampuan

pengeluaran keringat berlebihan, urin dan buang air besar (Depsos RI,

2006).

d. Pestisida

Paparan pestisida yang tinggi juga dihubungkan dengan terjadinya

autisme. Beberapa riset menemukan, pestisida akan mengganggu

fungsi gen di system saraf pusat. Menurut Dr Alice Mao, profesor


psikiatri, zat kimia dalam pestisida berdampak pada mereka yang

punya bakat autisme.

e. Usia Orang Tua

Makin tua usia orang tua saat memiliki anak, makin tinggi resiko si

anak menderita autisme. Penelitian yang di publikasikan tahun 2010

menemukan perempuan usia 40 tahun memiliki resiko 50 persen

memiliki anak autisme dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29

tahun (Hasdianah HR, 2013).

f. Ketidakseimbangan Kimiawi

Beberapa peneliti menemukan sejumlah kecil dari gejala autis pada

beberapa anak berhubungan dengan alergi makanan atau kekurangan

zat kimia di badan. Pada anak autis terjadi alergi terhadap makanan

tertentu, seperti bahan-bahan yang mengandung susu, tepung, gandum,

daging, gula, bahan pengawet, penyedap rasa, bahan pewarna dan ragi.

Terjadi keseimbangan hormonal, peningkatan kadar dari bahan

kimiawi tertentu di otak menurunkan persepsi nyeri dan motivasi.

g. Mercuri

Mercuri merupakan salah satu unsur kimia yang sangat berbahaya.

Unsur ini hadir dalam kehidupan kita sehari-hari dalam berbagai

bentuk. Amalgam yang digunakan pada penambalan gigi merupakan


salah satu contoh pemakaian merkuri dalam dunia kedokteran.

(Hasdianah HR, 2013).

3. Gejala Autism

Dari kelainan anatomis dan fungsi dari bagian otak diatas, maka

timbulah gejala yang dapat kita amati. Baik ICD-10-1993(International

Classification of Disease) dari WHO maupun DSM-IV (Diagnostic and

Statistical Manual) 1994, dari grup Psikiatri Amerika, keduanya

menetapkan kriteria yang sama untuk anak yang menderita autisme.

Dengan mempelajari kriteria diagnostik dari DSM-IV ini, tanpa

menkonsultasikan ke Dokter Spesialis Jiwa Anak, sebanarnya para orang

tua pun bisa mendiagnosis anaknya sendiri apakah anak tersebut termasuk

penyandang autisme atau bukan (Handojo, 2003).

Gejala di atas dapat timbul sejak lahir dan tidak pernah mengalami

perkembangan prilaku yang normal. Namun ada juga anak yang sejak lahir

tampak normal dan baru pada usia sekitar 2 tahun terjadi hambatan

perkembangan pada perilakunya dan bahkan kemudian terjadi kemunduran

(regresi). Kesulitan diagnostik terjadi bila selain autisme, anak masih

menderita gangguan lain seperti hiperaktif, epilepsi, reterdasi mental,

sindroma down, dst. Sering kali perhatian tertuju pada gangguan penyerta,

sehingga gangguan autismenya sendiri luput terdiagnosis (Handojo,

2003).

Untuk deteksi dini bagi para orang tua, waspadalah terhadap gejala-

gejala berikut:

1) Anak usia 30 bulan belum bisa bicara untuk komunikasi.


2) Hiperaktif dan cuek kepada orang tua dan orang lain.

3) Tidak bisa bermain dengan teman sebaya.

4) Ada perilaku aneh yang di ulang-ulang.

Segera konsultasikan anak kepada Dokter Spesialis Jiwa Anak atau

bawalah ke institusi yang menangani autisme, agar dapat segera

mengambil langkah yang cepat dan tepat (Handojo, 2003). Gejala yang

umum tampak pada anak autisme adalah gangguan pola tidur, gangguan

pencernaan, tidak adanya kontak mata, komunikasi satu arah, keterbatasan

minat dan kontak sosial, agresif, acuh tak acuh, gangguan motorik,

menstimulasi diri, hipoaktif (Pamuji, 2007).

Spektrum autisme mempunyai rentang yang luas dari ringan sampai

berat. Hasil kemajuan terapi sangat bergantung pada gradasi autism yang

di derita oleh si anak, gradasi ini dilihat dari banyaknya gejala-gejala yang

muncul pada anak. Gejala ini dapat diketahui dengan menggunakan

instrument diagnose Dr. Melly Budhiman, SpKj ketua yayasan autism

Indonesia, instrument ini di adaptasi dari DSM IV dengan gejala-gejala

yang lebih terperinci.

No Gejala Ya Tidak
1 2 3 4
1 Gangguan dalam bidang komunikasi:
a. Terlambat bicara, tak ada usaha untuk
berkomunikasi dengan gerak dan mimik.
b. Meracau dengan bahasa yang tak dapat dimengerti
orang lain.
c. Bila kata-kata diucapkan ia tak mengerti
d. Bisa cepat meniru kalimat-kalimat iklan atau
nyanyian tanpa mengerti.
e. Bicara tidak dipakai untuk komunikasi.
f. Sering mengulangi apa yang dikatakan orang lain
(ekolalia).
g. Komunikasi non verbal sangat kurang, sangat
sering dilakukan adalah menarik tangan orang lain
bila menginginkan sesuatu dan mengharapkan
tangan itu akan melakukan apa yang diinginkan.
h. Tidak memahami pembicaraan orang lain.
2. Gangguan pada waktu bicara dan berintekrasi:
a. Menolak dan menghindari kontak mata
b. Tidak mau menengok pada saat dipanggil
c. Bila diajak main malah menjauh.
d. Tidak dapat merasakan empati.
e. Lebih asyik main sendiri
3. Gangguan dalam bidang perilaku:
a. Acuh terhadap lingkungan.
b. Asyik dengan dunianya sendiri.
c. Tidak mau diatur, semau-maunya.
d. Perilaku tidak terarah, mondar-mandir tanpa tujuan,
lari-lari, manjat-manjat, berputar-putar, melompat-
lompat, mengepak-ngepak (flapping), berteriak-
teriak, berjalan berinjit.
e. Agresif, menyakiti diri sendiri.
f. Melamun, bengong dengan tatapan mata kosong,
terpukau pada benda yang berputar atau pada benda
lain.
g. Kelekatan pada benda tertentu
h. Perilaku yang ritualistik.
4. Gangguan dalam bidang emosi:
a. Tertawa, menangis, marah-marah sendiri tanpa
sebab
b. Tidak dapat mengendalikan emosi: bila tidak
mendapatkan keinginannya.
c. Rasa takut yang tidak wajar.
5 Gangguan dalam bidang persepsi sensori:
a. Menjilat-jilat benda.
b. Mencium-cium benda atau makanan.
c. Menutup telinga bila mendengar suara keras
dengan nada tertentu.
d. Tak suka memakai baju dengan bahan kasar.

Autis berat = gejala yang muncul >75%

Autis sedang = gejala yang muncul 50%-75%

Autisme ringan = gejala yang muncul <50%

4. Jenis Autism

Autis dikelompokan menjadi tiga jenis yaitu:

a. Autis Persepsi

Autis persepsi di anggap autis asli dan disebut juga autis internal

karena kelainan sudah timbul sebelum lahir.

Gejala yang dapat di amati, antara lain:

1) Rangsangan dari luar baik yang kecil maupun yang besar, akan

menimbulkan kecemasan. Tubuh akan mengadakan mekanisme

dan reaksi pertahanan hingga terlihat timbul pengembangan

masalah.
2) Banyaknya pengaruh rangsangan dari orang tua yang tidak bisa di

tentukan. Orang tua tidak peduli terhadap kebingungan dan

kesangsaraan anaknya. Kebingungan anaknya perlahan berubah

menjadi kekecewaan. Lama-kelamaan rangsangan ditolak atau

anak bersikap masa bodoh.

3) Pada kondisi ini orang tua mulai peduli atas kelainan anaknya.

Kemudian orang tua terus menciptakan rangsangan-rangsangan

yang memperberat kebingungan anaknya, serta mulai berusaha

mencari pertolongan.

b. Autis Reaktif

Pada autis reaktif, penderita membuat gerakan-gerakan tertentu

berulang-ulang dan kadang disertai kejang-kejang.

Gejala yang dapat di amati antara lain:

1) Autis rekreatif biasa mulai terlihat pada anak usia lebih besar (6-7

tahun) sebelum anak memasuki tahap berfikir logis. Namun

demikian, bisa terjadi sejak usia minggu-minggu pertama.

2) Mempunyai sifat rapuh, mudah terkena pengaruh luar yang timbul

setelah lahir, baik karena trauma fisik atau psikis tetapi bukan di

sebabkan karena kehilanghan ibu.

3) Setiap kondisi, bisa saja merupakan trauma pada anak yang berjiwa

rapuh, sehingga mempengaruhi perkembangan normal di kemudian

harinya.

c. Autis Yang Timbul kemudian


Kalau kelainan autis dikenal setelah anak agak besar tentu akan

sulit memberikan pelatihan dan pendidikan untuk mengubah

perilakunya yang sudah melekat, ditambah beberapa pengalaman baru

dan mungkin di perberat dengan kelainan jaringan otak yang terjadi

setelah lahir.

Banyak yang bisa dilakukan terhadap penderita autis antara lain:

1) Terutama melalui program pendidikan dan latihan diikuti

pelayanan dan perlakuan lingkungan yang wajar.

2) Untuk mengurangi perilaku anak yang tidak wajar, pengasuh dan

orang tua harus dicari cara menghadapi anak autis.

3) Pengobatan yang dilakukan adalah untuk membatasi memberatnya

gejala dan keluhan, sejalan dengan pertambahan usia anak

(Depsos RI, 2006).

Menurut Dr. Hasdianah HR (2013) Autisme terbagi dua yaitu:

1) Autisme klasik

Autisme klasik manakala kerusakan saraf sudah terdapat sejak

lahir, karena sewaktu mengandung, ibu terinfeksi virus, seperti

rubella, atau terpapar logam berat berbahaya seperti merkuri dan

timbal yang berdampak mengacaukan proses pembentukan sel-sel

saraf di otak janin.


2) Autisme regresif

Autisme regresif muncul saat anak berusia antara 12 sampai

24 bulan. Sebelumnya perkembangan anak relative normal, namun

tiba-tiba saat usia anak meninjak 2 tahun kemampuan anak

merosot. Yang tadinya sudah bisa membuat kalimat 2 sampai 3

kata berubah diam dan tidak lagi berbicara. Anak terlihat acuh dan

tidak mau melakukan kontak mata.

5. Karakteristik Autis

Karakteristik yang diperlihatkan oleh penderita autisme antara lain

(Depsos RI, 2006):

a. Gangguan Komunikasi dan Bicara

1) Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak berkembang.

2) Mengoceh atau berkata berulang-ulang tanpa arti.

3) Mengoceh dengan bahasa yang tidak dimengerti orang lain.

4) Senang meniru atau membeo kata-kata orang lain.

5) Suka menarik-narik tangan orang lain, untuk menyampaikan apa

yang dia inginkan.

6) Tidak ada usaha untuk berkomunikasi secara non verbal dengan

bahasa tubuh.

b. Gangguan dalam Interaksi Sosial

1) Anak autis lebih suka menyendiri.


2) Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindari untuk

bertatapan mata.

3) Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.

4) Bila di ajak bermain dia tidak mau dan menjauh.

c. Gangguan Sensorik

1) Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti seperti tidak suka

dipeluk.

2) Sangat sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.

3) Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.

4) Senang mencium-cium atau menjilat-jilat benda yang

dimainkannya.

d. Pola Bermain

1) Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.

2) Tidak suka bermain dengan teman sebaya.

3) Tidak kreatif

4) Senang kepada benda-benda yang berputar.

e. Perilaku

1) Menunjukan perilaku stimulasi diri seperti : memainkan jari, jalan

bolak-balik dan melakukan gerakan yang berulang-ulang.

2) Tidak suka pada perubahan.

3) Sering duduk bengong dengan tatapan kosong.

f. Emosi

1) Sering marah-marah atau menangis.


2) Tertawa tanpa alasan yang jelas.

3) Jika dilarang kadang mengamuk tak terkendali.

4) Kadang-kadang suka menyerang dan merusak.

5) Kadang-kadang menyakiti diri sendiri.

Menurut Hasdianah (2013), beberapa ciri anak autis yang dapat

diamati sebagai berikut:

1) Perilaku

a. Cuek terhadap lingkungan

b. Perilak tidak terarah, mondar-mandir, lari-lari, manjat-manjat,

berputar-putar, lompat-lompat, dsb.

c. Kelekatan terhadap benda tertentu

d. Terpukau terhadap benda yang bergerak atau benda yang berputar

2) Interaksi sosial

a. Tidak mau menatap mata

b. Dipanggil tidak menoleh

c. Tidak mau berteman dengan teman sebayanya

d. Asyik bermain dengan dirinya sendiri

e. Tidak ada empati dalam lingkungan social

3) Komunikasi dan bahasa

a. Terlambat bicara

b. Tidak ada usaha untuk berkomunikasi secara non verbal dengan

bahasa tubuh

c. Meracau dengan bahasa yang tidak dapat dipahami

d. Membeo (echolalia)
e. Tidak memahami pembicaraan orang lain.

B. Terapi Okupasi

1. Pengertian Terapi okupasi

Terapi akupasi merupakan upaya penyembuhan terhadap anak yang

memiliki kelainan fisik dan mental dengan cara memberikan keaktifan

kerja, sehingga keaktifan tersebut dapat mengurangi penderitaan yang

dialami anak (Christopher Sunu, 2012).

Hampir semua anak autis mempunyai keterlambatan dalam

perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka

kesulitan memegang pensil dengan cara yang benar, kesulitan memegang

sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain sebagaainya. Dalam

hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot-

otot halusnya dengan benar (Hasdianah, 2013).

Sebagai penyandang autisme mempunyai perkembangan motorik

yang kurang baik. Gerak-geriknya kasar dan kurang luwes bila dibanding

dengan anak-anak lain seumurnya. Anak-anak ini perlu diberi bantuan

terapi okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi, dan

membuat otot halusnya bisa terampil. Otot jari tangan misalnya, sangat

penting di kuatkan dan dilatih supaya anak bisa menulis dan melakukan

semua hal yang membutuhkan keterampilan otot jari tangannya (Mirza

Maulana, 2007).

2. Tujuan Terapi Okupasi


Tujuan utama dari terpi okupasi adalah memungkinkan individu

untuk berperan serta dalam aktivitas keseharian. Terapi okupasi mencapai

tujuan ini melalui kerjasama dengan kelompok dan masyarakat untuk

meningkatkan kemampauan mereka untuk terlibat dalam aktivitas yang

mereka inginkan, butuhkan, atau diharapkan untuk dikerjakan, serta

dengan mengubah aktifitas atau lingkungan yang lebih baik untuk

mendukung keterlibatan dalam aktifitas.

Adapun tujuan terapi okupasi untuk anak-anak autis yaitu:

a. Memiliki kemampuan motorik kasar dan halus yang baik

b. Memiliki mobilitas gerak yang baik

c. Mampu mempersepsi dengan bagus

d. Memiliki kemampuan bereaksi

e. Mempu berkomunikasi meskipun sederhana

f. Mampu mengurus diri sendiri secara sederhana

g. Memiliki dan menggunakan kesibukan untuk di jadikan kebiasaan

positif

h. Memiliki kemampuan kerja yang bersifat keterampilan sehingga dapat

membantu sebagai lifeskill untuk bekal hidup dikemudian hari.

Dalam memberikan pelayanan kepada individu, terapai okupasi

memperhatikan kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki individu,

dengan memberikan aktivitas yang bertujuan dan bermakna. Dengan

demikian diharapkan individu tersebut dapat mencapai kemandirian dalam


aktivitas (Pekerjaan atau pendidikan), kemampuan perawatan diri dan

kemampuan penggunaan waktu luang.

Terapi okupasi tidak hanya terbatas pada aktifitas fisik saja, namun

dalam aktivitas sebenarnya mencakup pengembangan intelektualitas anak,

kemampuan sosial, emosi, bahkan keaktivitasnya. Itu kenapa terapi ini

tidak hanya dirtujukan khusus bagi anak- anak autis saja, namun juga

dapat ditujukan untuk anak- anak berkebutuhan khusus lainnya.

Secara spesifik tujuan terapi okupasi dapat di bedakan menjadi tiga yaitu:

a. Diversional

Ditujukan untuk mengisi kesibukan dan pengalih perhatian

sehingga menghindarkan anak autis dari neurosis akibat rasa frustasi

karena gagal dalam memenuhi tuntutan sosial. Selain itu secara

diversional, terapi okupasi juga di tujukan untuk mengembangkan

kecerdasan intelektual, serta motivasi anak.

Terapi okupasi juga dipakai untuk menyalurkan rasa frustasi

emosi ketika menghadapi situasi tertentu sehingga anak tidak menarik

diri dan mudah tersinggung. Harga diri yang meningkat akibat

keberhasilan yang dicapai saat memenuhi tagas-tugas yang diberikan

dalam terapi okupasi baik untuk meningkatkan konsep diri positif anak

serta menjaga motivasinya untuk mengerjakan tantangan yang lebih

sulit.

b. Pemulihan fungsional

Untuk tujuan ini, terapi okupasi berfungsi untuk mengembalikan

fungsi-fungsi tubuh: otot, sendi, dan anggota tubuh lainnya agar dapat
berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat dipakai secara wajar untuk

beraktifitas sehari-hari dengan baik.

c. Latihan prevokasional

Memberi anak kesiapan untuk menghadapi tugas, pekerjaan, atau

profesi yang ingin dijalani sesuai dengan kondisi mereka.

3. Keuntungan Melakukan Terapi Okupasi

Salah satu aspek yang dituju pada terapi okupasi, selain secara fisik

adalah untuk membuat anak memahami bahwa aktivitas okupasi yang

mereka jalani merupakan suatu kebutuhan yang akhirnya dapat menjadi

keahlian untuk bekal hidu mereka dikemudian hari.

Secara umum, sasaran terapi okupasi meliputi pemulihan,

pengembangan, dan pemeliharaan fisik, intelektual, sosial, dan emosi pada

anak. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh anak dari melakukan

terapi okiupasi antara lain meliputi beberapa aspek berikut :

a. Fisik

Peningkatan perubahan fisik yang memerlukan daya tahan tubuh

1) Peninkatan kecepatan gerak

2) Peningkatan kemampuan gerak

3) Peningkatan kekuatan

Pemulihan fungsi tubuh

1) Pemeliharaan area gerak sendi


2) Perbaikan kemampuan mengontrol otot dan kekuatannya

3) Ketangkasan tangan

4) Eye-hand coordination (koordinasi mata-tangan)

5) Peningkatan kesadaran kerja

6) Peningkatan keterampilan gerak

7) Cara anak mengeksplorasi dan menggali potensi tubuhnya

8) Memperluas pengalaman & perkembangan gerak

9) Melakukan gerak yang mengarah pada kemampuan gerak

maksimal

b. Intelektual

1) Meningkatkan kesadaran anak tentang tubuh sehingga sarana gerak

2) Kreativitas

3) Problem solving

c. Sosial emosional

1) Melatih kerjasama

2) Meningkatkan kemampuan berhubungan dengan orang lain dalam

kelompok

3) Melatih kemampuan mengikuti aturan

4) Melatih memperhatikan aturan

5) Menjalankan perintah, dan lain- lain

Anak-anak autis jika diamati sebagian besar memiliki bentuk fisik

yang normal, tidak berbeda dari anak-anak pada umumnya. Mereka

memiliki indera yang lengkap yang berfungsi dengan baik, serta anggota
tubuh yang komplit, hanya saja sering mengalami hambatan dalam

kemampuan sosial dan emosi.

Secara intelegensia memang diantara anak autis memiliki

intelegensia normal atau di sertai mental retardasi. Namun tidak sedikit

juga anak-anak autis yang memiliki intelegensia normal atau bahkan di

atas rata-rata. Dalam hal ini, terapi okupasi yang di berikan disesuaikan

dengan tingkat kebutuhan anak.untuk anak-anak autis yang di sertai

dengan mental retardasi atau kecerdasan di bawah rata-rata, biasanya

butuh penyederhanaan materi terapi dan waktu terapi yang lebih lama.

4. Pelaksanaan Terapi Okupasi

a. Penentuan bahan yang akan digunakan

Dalam menentukan bahan yang akan digunakan pertimbangkan

usia anak secara biologis (Chronological age), dan usia mental anak

(mental age). Chronological age adalah usia anak sesungguhnya

berdasarkan kelahirannya, sedangkan mental age adalah usia anak

berdasarkan kemampuan yang dikuasainya. Bisa jadi seorang anak

memiliki usia nyata 7 tahun, namun mental age nya masih 4 tahun

karena kemampuannya masih seperti anak usia 4 tahun. Dalam hal ini,

bahan latihan anak disesuaikan dengan mental age nya yang masih

sama dengan kemampuan anak usia 4 tahun, namun target terapi harus

terus menurus meningkat hingga mental age anak sesuai dengan

chronological ege nya.

b. Tahap pelaksanaan
Aktifitas yang diberikan dalam terapi di sesuaikan dengan

kebutuhan anak, dan dapat dikurangi atau ditambah sesuai temuan

terapis selama pelaksanaan terapi.

c. Penilain/evaluasi

Untuk mengetahui perkembangan dari terapi okupasi yang

diberikan, terapis sebaiknya memiliki catatan pengukuran dan evaluasi

kemajuan anak berdasarkan aktifitas yang di berikan (Christopher

Sunu, 2012).

C. Kemampuan Merawat Diri

1. Pengertian Merawat Diri

Kemampuan merawat diri adalah kecakapan atau ketrampilan untuk

mengurus atau menolong diri sendiri dalam kehidupan sehari hari

sehingga tidak bergantung pada orang lain. Beberapa istilah lain yang

sering digunakan yaitu: self care, self help dan Activity Daily Living

(ADL).

Dalam banyak hal manusia tidak langsung begitu saja dapat

menolong dirinya sendiri tetapi dipelajari melalui tahapan-tahapan baik

dengan bimbingan orang lain maupun yang dipelajari dari pengamatan dan

pengalaman pengalaman. Anak autis dengan karakteristik yang beragam

mengalami kesulitan dalam mempelajari kecakapan merawat diri.

Beberapa anak bahkan tidak ada respon sama sekali sehingga memerlukan

stimulus yang berulang ulang, begitu pula keberhasilannya perlu

dikondisikan secara alami.

2. Tujuan Latihan Merawat Diri


Bagi anak autis tujuan latihan merawat diri adalah :

1) Agar dapat melakukan sendiri keperluannya sehari hari.

2) Menumbuhkan rasa percaya diri dan meminimalkan bantuan yang

diberikan.

3) Memiliki kebiasan tertip dan teratur.

4) Dapat menjaga kebersihan dan kesehatan badannya.

5) Dapat beradaptasi dengan lingkungannya pada kondisi dan situasi

dimana ia berada.

6) Dapat menjaga diri dan menghidar dari hal hal yang membahayakan.

3. Prinsip Prisip Latihan Merawat Diri

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua, guru atau pelatih

sebelum mempraktekkan merawat diri pada anak:

1) Mengenal dan menerima keberadaan anak sehingga dapat merancang

program yang efektif

2) Memperhtikan kesiapan anak dalam menerima latihan latihan

3) Belajar dalam keadaan rileks dengan intruksi yang tegas tanpa ragu

ragu tetapi tidak menimbulkan ketegangan pada anak

4) Guru atau pelatih menggunakan kata kata intruksi yang tetap dan

sama, begitu pula yang dilakukan orang tua dan anggota keluarga yang

lain

5) Setiap melakukan kegiatan iringilah dengan percakapan dan gunakan

kata kata yang sederhana


6) Latihan diberikan dengan singkat dan sederhana, tahap demi tahap dan

satu pekerjaan dipecah menjadi tugas tugas kecil sehingga anak tidak

stress

7) Tahapan dimulai dari hal yang termudah

8) Tetapkan lah disiplin, jangan menyimpang dari ketetapan utama,

waktu maupun tempat karena akan membingungkan

9) Berilah terus motivasi bila anak belum berhasil, dan berikan pujian

bila usaha yang dilakukan anak berhasil dengan baik

10) Kesalahan dan kecelakaan adalah hal biasa, mungkin saja anak

terjatuh karena memasukan kedua kakinya bersama sama dalam

lobang celana atau menumpahkan air ketika sedang berlatih mencuci

tangan. Kekeliruan yang tidak dapat dielakkan tidak usah menjadikan

marah dan cemas juga tidak perlu merasa kecewa bila kelihatannya

tidak ada kemajuan pada anak walaupun latihan sudah diberikan cukup

lama. Bila sudah lama berlatih masih gagal juga ,hentikan latihan agar

anak tidak frustasi dan merasa gagal, maka dapat dialihkan pada materi

lain.

11) Fleksibilitas. Jika suatu metode latihan tetap tidak berhasil setelah

jangka waktu latihan yang cukup lama, analisalah persoalan dengan

cermat, mungkin terdapat kesukaran pada anak dalam mengikuti

metode tersebut. Jika demikian metode perlu disusun kembali sesuai

dengan batas kemampuan dan keadaan anak.


4. Ruang Lingkup dan Evaluasi Materi Merawat Diri

Materi pelajaran menujukan apa yang harus diajarkan serta sejauh

mana keluasan dan kedalamannya. Materi mata pelajaran kemampuan

merawat diri meliputi:

1) Kebersihan badan antara lain:

a. Cuci tangan

b. Cuci mungka

c. Cuci kaki

d. Sikat gigi

e. Mandi

f. Keramas

2) Makan dan minum meliputi:

a. Makan menggunakan tangan

b. Makan menggunakan sendok

c. Minum menggunakan cangkir

d. Minum menggunakan gelas

e. Minum menggunakan sedotan

3) Berpakaian antara lain:

a. Memakai pakaian dalam

b. Memakai baju kaos

c. Celana/ rok

d. Kemeja
e. Kaos kaki dan sepatu

4) Berhias meliputi:

a. Menyisir rambut

b. Memakai bedak

c. Memakai aksesoris

5) Keselamatan diri, meliputi:

a. Bahaya benda tajam/runcing

b. Bahaya benda api dan listrik

c. Bahaya lalu lintas

d. Bahaya binatang

6) Adaptasi lingkungan, antara lain:

Kegiatan hidup sehari-hari dapat dinilai melalui observasi, interviu

dan pemeriksaan diri kinerja anak berkebutuhan khusus. Penentuan

tingkat kemampuan bantu diri dilakukan dalam skala (urutan)

ketergantungan sampai kemandirian fungsional. Fukus dari skala

tingkatan dimaksudkan untuk mencapai reabilitas yang menyatakan

status anak berkebutuhan khusus kepada orang-orang yang terlibat

dalam rehabilitas medis. Skala tingkatan juga digunakan untuk

memberikan informasi kepada anggota keluarga tentang seberapa

banyak bantuan yang akan dibutuhkan klien, membandingkan kinerja

pada saat yang berlainan dan dalam lingkungan yang berbeda-beda

serta untuk memperhitungkan banyaknya pihak yang ikut serta dalam

program perawatan.
Tabel 1 Format pememeriksaan perawatan diri dan skala ketergantungan dari
courtrsy of the rehabilitation institute of Chicago, Occupational Therapy
Department

KEMAMPUAN FUNGSIONAL/ADL

7 = mandiri

6 = mandiri dengan peralatan/ adaptasi

5 = mandiri dengan supervise jarak jauh

4 = perlu bantuan minimal ( anak mampu melakukan ADL 75%/lebih )

3 = perlu bantuan moderat ( anak mampu melakukan ADL 50-70% )

2 = perlu bantuan maksimal ( anak perlu melakukan ADL 25-50% )

1 = keter gantungan ( anak mampu melakukan ADL < 25% )

0 = tidak mampu merespon tugas

JENIS KEMAMPUAN 0 1 2 3 4 5 6 7

MERAWAT DIRI

Makan

Makan memakai sendok

Makan memakai tangan


Minum / sedotan

Memakai cangkir

Memotong makanan

Berpakaian bagian atas

Mengenakan

Melepas

Mengancingkan baju

Melepas kancing baju

Berpakaian bagian bawah

Mengenakan

Melepas

Menumpuk

Menutup resleting

Membuka resleting

Kebelakang

Menggunakan WC

Berdiri/jongkok/duduk di WC

Memasaang keteter

Kebersihan diri/hygiene

Berhias

Mencuci tangan

Menggosok gigi
Menyisir rambut

Berhias/make-up

Memakai kaca mata

Membersihkan kaca maata

Mengeringkan rambut

Memakai parfum

Perawatan telinga

Perawatan kuku

JENIS KEMAMPUAN 0 1 2 3 4 5 6 7

MERAWAT DIRI

Mandi

Mandi bagian tubuh atas

Mandi bagian tubuh bawah

Mencuci rambut

Komunikasi

Menulis

Memakai telepon

Mengetik/computer

Membuka buku

Membuka amplop

Mempersiapkan makan

Makanan panas
Makanan dingin

Pengelolaan rumah tangga

Kebersihan rumah harian

Mencuci pakaian

Menyetrika

Perawatan anak

Interaksi/integrasi sosial

Perencanaan

Pengelolaan uang

Belanja

Bertimbangan keamanan

Accesibilitas rumah

Menyopir

Waktu senggang

Permainan diatas meja/kartu

Kerajinan tangan

Melihat TV/ mendengarkan

radio

Menggunakan tape recorder

Merokok
Kemajuan kemampuan merawat diri sendiri pada anak autisme

dapat dinilai dari format pemeriksaan perawatan diri dan skala dan

ketergantungan diri courtrsyof the rehabilitation institute of Chicago,

Occupational Therapy Department yang mana dapat dikatakan mandiri

jika.

1) Mandiri, jika nilai kemandirian dengan skore ( >75% )

2) Tidak mandiri, jika nilai kemandirian dengan skore ( < 75% )

(sujarwanto, 2005 ).

Evaluasi urutan kegiatan kemampuan mengurus diri.

a. Makan dan minum

1. Latihan makan menggunakan sendok

a. Memperhatikan makanan

b. Tangan memegang sendok dengan benar

c. Mengambil makanan tampa jatuh

d. Makanan dikunyah

e. Makanan ditelan

2. Latihan makan menggunakan tangan

a. Melihat makanan

b. Tangan mengarah kemakanan

c. Tangan mengambil makanan


d. Makanan dibawa kemulut tanpa berjatuhan

e. Makanan dikunyah

f. Makanan ditelan

3. Latihan minum digelas dengan dua tangan

a. Melihat gelas

b. Membedakan gelas berair dan tidak

c. Kedua tangan memegang gelas

d. Gelas di angkat menuju mulut

e. Minum tanpa jatuh air

4. Latihan minum memakai cangkir

a. Melihat cangkir

b. Memebedakan cangkir berair dan tidak

c. Memegang gagang cangkir dengan benar

d. Cangkir diangkat menuju mulut

e. Minum tanpa jatuh air

5. Latihan memotong makanan

a. Melihat kemakanan

b. Memegang pisau atau garpu dengan benar

c. Memotong makanan samapai terputus

b. Berpakaian

6. Latihan mengenakan pakaian atas

a. Mengambil baju

b. Membuka lipatan baju


c. Membedakan bagian dalam dan luar baju

d. Memasukan lengan

e. Memegang lubang leher baju

f. Memasukan kepala kelubang leher

g. Merapikan baju

7. Latihan melepas pakaian atas

a. Memegang bagian bawah baju

b. Menarik baju ke atas

c. Mengeluarkan kedua tangan dari lengan baju

d. Mengeluarkan kepala dari leher baju

8. Latihan mengancingkan baju

a. Memegang kancing baju

b. Memegang lobang kancing baju yang sesuai

c. Memasukan kancing ke lobang yang sesuai

d. Memasangkan semua kancing baju

9. Latihan melepas kancing baju

a. Memegang kancing baju

b. Melepaskan kancing dari lobangnya

c. Melepaskan semua kancing baju satu persatu

10. Latihan mengenakan pakaian bawah

a. Membuka lipatan rok atau celana

b. Membedakan baagian depan dan belakang rok atau celana

c. Memasukan kaki kelobang rok atau celana tanpa jatuh


d. Menarik rok atau celana sampai pinggang

11. Latihan melepas pakaian bawah

a. Memegang pinggang rok atau celana

b. Menarik rok atau celana kea rah bawah

c. Mengeluarkan kedua kaki dari lobang rok atau celana tanpa

jatuh

12. Latihan menutup resleting

a. Memegang ujung resleting

b. Menarik ujung resleting ke arah atas

13. Latihan membuka resleting

a. Memegang ujung resleting

b. Menaarik ujung resleting kearah bawah

c. Kebersihan badan

14. Latihan menggunakan WC

a. Bereaksi jika ingin kekamar mandi

b. Menggunakan kamar mandi dengan baik

c. Menggunakan gayung dengan baik

d. Membersihkam kamar mandi

e. Mencuci tangan

f. Membersihkan diri dengan baik

g. Melap tangan smapai kering

15. Latihan berdiri/jongkok/duduk di WC

a. Membuka pakaian bawah


b. Menggunakan wc berdiri /jongkok/duduk

c. Memposisikan kaki di wc dengan benar

16. Kebersihan diri/hygine

a. Mengambil air menggumakaan gayung dengan benar

b. Menyiram air dari arah kedepan kebelakang

c. Menggunakan tangan kiri untuk cebok

d. Mencuci tangan dengan sabun hingga bersih

e. Mengeringkan tangan dengan lap

17. Latihan mencuci tangan

a. Kedua tangan dimasukan kedaalam ember

b. Kedua tangan digerak-gerakan/di gosok

c. Kedua tangan di angkat

d. Air di ember ataau digayung di buang

e. Mengisi air

f. Memasukan kedua tanngan

g. Mengeluarkan tangaan

h. Mengeringkannya dengan lap

18. Latihan menggisok gigi

a. Memegang sikat gigi dengan benar

b. Menaruh pasta gigi dengan cara dan jumlah yang benar

c. Meletakan sikat gigi pada mulut


d. Menyikat permukaan gigi (didepan, belakang, atas, bawah,

sisi kanan, sisi kiri)

e. Mengeluarkan sikat gigi dari dalam mulut

f. Berkumur-kumur sampai bersih

g. Membilas sikat gigi sampai bersih

19. Latihan menyisir rambut

a. Melihat cara menyisir rambut

b. Memegang sisir

c. Menyisir rambutnya

20. Latrihan perawatan telinga

a. Memegang cotton but dengan benar

b. Membersihkan telinga dengan benar

21. Latihan peraawatan kuku

a. Memegang gunting kuku dengan benar

b. Menggunting kuku dengan benar

22. Latihan mandi

a. Menyiram tubuh seluruh bagian tubuh dengan air

b. Menyabuni bagian tubuh atas/ bawah dengan benar

c. Membilas seluruh tubuh sampai bersih

d. Mengeringkan tubuh menggunakan tubuh menggunakan

handuk dengan benar

23. Latihan mencuci rambut

a. Membasahi seluruh tubuh


b. Menggunakan shampoo dengan jumlah yang benar

c. Menggosok kepala dengan benar

d. Membilas rambut sampai bersih (Hayati, 2003).

BAB III
KERANGKA PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan

antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang

dilakukan (Notoatmodjo, 2010). Autisme merupakan salah satu bentuk gangguan

tumbuh kembang berupa sekumpulan gejala akibat adanya kelainan syaraf-syaraf

tertentu yang menyebabkan fungsi otak tidak bekerja secara normal sehingga

mempengaruhi tumbuh kembang, kemampuan komunikasi dan kemampuan

interaksi sosial seseorang (Cristopher Sunu, 2012).

Terapi akupasi merupakan upaya penyembuhan terhadap anak yang

memiliki kelainan fisik dan mental dengan cara memberikan keaktifan kerja,

sehingga keaktifan tersebut dapat mengurangi penderitaan yang dialami anak

autis. Sasaran terapi okupasi meliputi meliputi pemulihan, pengembangan dan

pemeliharaan fisik intelektual, sosial dan emosi pada anak (Cristopher Sunu,

2012).

Sebagian penyandang autisme mempunyai perkembangan motorik yang

kurang baik. Gerak-geriknya kasar dan kurang luwes bila dibanding dengan anak-

anak lain seumurnya. Anak-anak ini perlu diberi bantuan terapi okupasi untuk

membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi, dan membuat otot halusnya bisa

terampil. Otot jari tangan misalnya, sangat penting di kuatkan dan dilatih supaya

anak bisa menulis, merawat diri sendiri dan melakukan semua hal yang

membutuhkan keterampilan otot jari tangannya. Dalam hal ini terapi okupasi
sangat penting untuk melatih menggunakan otot-otot halusnya dengan benar

(Mirza Maulana, 2007).

Kemampuan merawat diri adalah kecakapan atau ketrampilan untuk

mengurus atau menolong diri sendiri dalam kehidupan sehari hari sehingga tidak

bergantung pada orang lain (Hayati, 2003).

Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Terapi Kemandirian Dalam


Perawatan Diri
Okupasi

B. Hipotesis

Ha: Ada efek pemberian terapi okupasi terhadap kemandirian perawatan diri

sendiri pada anak autisme di SLB Autisme Yayasan Perkembangan

Potensi Anak (YPPA) Padang tahun 2014.

Ho: Tidak ada efek pemberian terapi okupasi terhadap kemandirian

perawatan diri sendiri pada anak autisme di SLB Autisme Yayasan

Perkembangan Potensi Anak (YPPA) Padang tahun 2014.

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian analitik

dengan menggunakan desain/rancangan Cross Sectional yaitu variabel sebab

(independent) dan akibat dependen di ukur atau di kumpulkan dalam waktu

yang bersamaan (Notoadmodjo, 2010).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB) khusus autisme

Yayasan Perkembangan Potensi Anak (YPPA) Padang. Adapun waktu

penelitian ini adalah pada bulan Februari 2014.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi pada penelitian adalah seluruh anak autisme yang

mengikuti proram terapi okupasi di SLB YPPA Padang tahun 2014 yaitu

sebanyak 34 orang.

2. Sampel

Menurut Notoatmodjo (2010) sampel adalah objek yang diteliti dan

dianggap mewakili seluruh populasi. Teknik pengambilan sampel yang

digunakan disini adalah dengan mengambil seluruh anggota populasi

menjadi sampel hal ini biasa disebut dengan total sampling. Dimana

sampel tersebut memenuhi kriteria inklusi.


Kriteria Inklusi:

1) Penyandang autisme ringan-sedang dengan gangguan motorik.

2) Mendapatkan terapi okupasi minimal 6 bulan terakhir (1 program

semester)

3) Diizinkan orang tua untuk menjadi subjek penelitian

4) Ada pada saat penelitian/ bersedia menjadi responden

Kriteria ekslusi:

1) Penderita autis berat dengan gangguan kompleks lainnya.

2) Catatan perkembangan terapi tidak lengkap

D. Variabel, Pengukuran dan Skala Penelitian

Tabel 2 Variabel, Pengukuran dan Skala Penelitian


N Variabel Devenisi operasional Alat ukur Cara Hasil ukur Skala
o ukur
1 Terapi Terapi untuk membantu Lembar Observasi 0 = jika Rasio
okupasi menguatkan, observasi
memperbaiki anak tidak
koordinasi, dan
membuat otot halusnya mampu
bisa terampil. Otot jari
tangan misalnya, sangat melakukan
penting di kuatkan dan
dilatih supaya anak bisa tugas yang
menulis dan melakukan
semua hal yang diberikan.
membutuhkan
keterampilan otot jari 1 = jika
tangannya.
anak dapat

melakukan

tugas

dengan

bantuan.

2 = jika

anak dapat

melakukan

tugas tanpa

bantuan.

2 Kemandi Perubahan anak autisme Lembar Observasi Mandiri jika Ordinal


rian menuju kea rah yang observasi nilai skore
dalam lebih baik dalam hal >75 %
perawata kecakapan/keterampilan
n diri untuk mengurus atau Tidak
menolong diri sendiri mandiri jika
yang meliputi makan, nilai skore
berpakaian dan < 75 %
kebersihan diri.
E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian berupa lembar observasi yang dibuat berdasarkan format

pemeriksaan perawatan diri dan skala ketergantungan dari courtrsy of the

rehabilitation institute of Chicago (2005). Dengan keterangan:

7= Mandiri, jika anak mampu melakukan keterampilan merawat diri dengan

inisiatif sendiri dan tanpa bantuan sedikitpun.

6= Mandiri dengan peralatan/ adaptasi, jika anak mampu melakukan

keterampilan merawat diri dengan inisiatif sendiri tapi masih memerlukan

bantuan.

5= Mandiri dengan supervise jarak jauh jika anak mampu melakukan

keterampilan merawat diri tapi belum mempunyai inisiatif sendiri.

4= Perlu bantuan minimal (anak mampu melakukan ADL 75%/lebih) jika

anak mampu melakukan keterampilan merawat diri minimal 75% dari

tahapan/ urutan kegiatan keterampilan merawat diri.

3= Perlu bantuan moderat (anak mampu melakukan ADL 50-70%) jika anak

mampu melakukan keterampilan merawat diri 50-75% dari tahapan/

urutan kegiatan keterampilan merawat diri.

2= Perlu bantuan maksimal (anak perlu melakukan ADL 25-50%) jika anak

mampu melakukan keterampilan merawat diri 25-50% dari tahapan/

urutan kegiatan keterampilan merawat diri.

1= Ketergantungan (anak mampu melakukan ADL < 25%) anak tidak mampu

melakukan keterampilan merawat diri tanpa bantuan orang lain.

0= Tidak mampu merespon tugas


F. Teknik Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer didapat secara langsung melalui observasi yang dilakukan

peneliti dan di bantu oleh terapis dengan menggunakan lembar observasi

yang berisi tindakan kemampuan merawat diri yang harus dipenuhi

sampel.

2. Data sekunder

Data yang di ambil dari catatan sebelum diberikan terapi okupasi di

sekolah SLB Autisme YPPA Padang, yang berisi tentang riwayat terapi

okupasi dan perkembangan kemampuan anak merawat diri sendiri.

G. Teknik Pengolahan Data

Data yang terkumpul dalam penelitian ini akan di olah melalui tahap

sebagai berikut:

a. Pemeriksaan data (editing)

Data observasi yang telah di isi oleh responden di periksa ulang

untuk melihat apakah terdapat kesalahan dalam pengisian kuesioner.

Kegiatan ini bertujuan untuk menjaga kualitas data, kebenaran dan

kelengkapan data.

b. Pengkodean data (coding)

Mengklasifikasikan data dan membuat kode untuk masing-masing

data termasuk kedalam kategori yang sama. Untuk responden di berikan

no responden agar mengetahui jumlah responden cukup untuk sampel

penelitian. Hasil ukur di dapat:


1) Mandiri, jika nilai kemandirian dengan skore ( >75% )

2) Tidak mandiri, jika nilai kemandirian dengan skore ( < 75% )

c. Pemindahan data (entry)

Yaitu memasukan data hasil penelitian ke dalam alat/ perangkat

pengolahan data.

d. Pembersihan data (cleaning)

Pembersihan data-data dari kesalahan saat entri data dengan cara:

1. Melihat distribusi frekuensi dari variabel dan menilai kelogisannya

2. Bila di temukan ke anehan pada data perlu di lakukan pengecekan

ulang kuesionernya

3. Bila kesalahan dalam entri data, maka lakukan pembetulan

4. Bila bukan kesalahan dalam entri, maka data yang ganjil tersebut

tentukan tindakan yang akan dilakukan (di buang sementara atau

dipakai hanya sebagian).

H. Analisa Data

a. Analisis Univariat

Analisa univariat adalah analisa yang dilakukan terhadap tiap

variabel dalam penelitian (Notoatmodjo, 2005). Analisis univariat

dilakukan untuk setiap variabel dari hasil penelitian. Analisa secara

univariat berguna untuk menerangkan data mengenai:


Distribusi frekuensi kemampuan merawat diri (makan, berpakaian, dan

kebersihan badan) anak autisme sesudah mengikuti terapi okupasi.

Distribusi frekuensi kemampuan merawat diri sendiri anak autisme

sebelum dan sesudah terapi okupasi di dapatkan dari observasi dengan

menggunakan skala 0-7. Kemudian dilihat persentase dengan

menggunakan rumus:

Keterangan:

P = nilai persentase responden

F = jumlah jawaban yang pernah dilakukan

N = jumlah seluruh item

b. Analisa Bivariat

Analisa ini melihat perbandingan antara dua variabel yaitu variabel

independen dan variabel dependen yaitu melihat efektifitas pemberian

terapi okupasi terhadap kemandirian dalam perawatan diri sendiri pada

anak autisme di SLB autisme YPPA Padang. Analisa ini menggunakan uji

wilconxon dengan melihat selisih nilai angka antara positif dan negative di

perhitungkan. Rata-rata dari efektifitas pemberian terapi terhadap

kemandirian dalam perawatan diri sendiri bermakna jika harga jumlah

jenjang yang terkecil T (dari perhitungan) lebih besar dari harga tabel (T

adalah harga wilxoson berdasarkan table) apabila p<0.05 maka nilai Ha

diterima, sedangkan bila nilai p>0.05 maka nilai Ho diterima.


LEMBAR OBSERVASI

EFEKTIFITAS PEMBERIAN TERAPI OKUPASI TERHADAP

KEMANDIRIAN DALAM PERAWATAN DIRI SENDIRI PADA ANAK

AUTISME DI SLB AUTISME YAYASAN PERKEMBANGAN POTENSI

ANAK (YPPA) PADANG

TAHUN 2014
No. Responden :

Tanggal :

I. Petunjuk

Berikan tanda checklist pada kolom di bawah sesuai kemampuan anak

berdasarkan skala dalam kotak berikut:

7 = mandiri

6 = mandiri dengan peralatan/ adaptasi

5 = mandiri dengan supervise jarak jauh

4 = perlu bantuan minimal (anak mampu melakukan ADL 75%/ lebih)

3 = perlu bantuan moderat (anak mampu melakukan ADL 50-70%)

2 = perlu bantuan maksimal (anak mampu melakukan ADL 25-50%)

1 = ketergantungan (anak mampu melakukan ADL < 25 %)

0 = tidak mampu merespon tugas

II. Identitas Responden

Inisial Anak :

Jenis kelamin :

Umur :

LEMBAR OBSERVASI

EFEKTIFITAS PEMBERIAN TERAPI OKUPASI TERHADAP

KEMANDIRIAN DALAM PERAWATAN DIRI SENDIRI PADA ANAK

AUTISME DI SLB AUTISME YAYASAN PERKEMBANGAN POTENSI

ANAK (YPPA) PADANG


A.Jenis Terapi Okupasi 0 1 2 3 4 5 6 7
Berjalan bebas tanpa bantuan

Melempar bola

Melompat dengan dua kaki

Menyusun kubus kecil

Memungut benda kecil

Merangkai benda kecil

Mengangkat benda

B.Jenis Kemampuan Merawat Diri 0 1 2 3 4 5 6 7

Makan

Makanan memakai sendok

Makan menggunakan tangan

Minum/sedotan

Memakai cangkir

Memotong makanan

Berpakaian bagian atas

Mengenakan

Melepas

Mengancingkan baju

Melepas kancing baju

Berpakaian bagian bawah

Mengenakan

Melepas
Menutup resleting

Membuka resleting

Kebelakang

Menggunakan wc

Berdiri/jongkok/duduk di wc

Kebersihan diri/hygiene

Berhias

Mencuci tangan

Menggosok gigi

Menyisir rambut

Berhias/make-up

Memakai kacamata

Membersihkan kacamata

Mengeringkan rambut

Perawatan telinga

Perawatan kuku

Jenis kemampuan merawat diri

Mandi

Mandi bagian tubuh atas

Mandi bagian tubuh bawah

Mencuci rambut

Komunikasi
Menulis

Memakai telepon

Mengetik/computer

Membuka buku

Membuka amplop

Keterangan :

3) Mandiri, jika nilai kemandirian dengan skore ( >75% )

4) Tidak mandiri, jika nilai kemandirian dengan skore ( < 75% )

Anda mungkin juga menyukai