Anda di halaman 1dari 52

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan seseorang yang memiliki rentang usia sejak anak
dilahirkan hingga usia tujuh belas tahun, dimana masing-masing anak
tumbuh dan belajar sesuai dengan tingkat perkembangannya (Centers for
Disease Control and Prevention, 2014 dalam Dera Altiyanti, 2007). Dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya, anak membutuhkan lingkungan yang
dapat memfasilitasinya untuk belajar mandiri sesuai dengan usia
perkembangannya (Supartini, 2004 dalam Riski Sahara, 2015).
Hasil survei UNICEF tahun 2012, prevalensi anak yang menjalani
perawatan di rumah sakit sekitar 84% (unicef, 2014 dalam Noer Ella
Dayani, 2015). Hasil survei Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun
2013 didapatkan data rata-rata anak yang menjalani rawat inap di rumah
sakit di seluruh Indonesia adalah 2,8% dari total jumlah anak 82.666 orang
(Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 dalam Noer Ella Dayani,
2015).
Usia prasekolah merupakan usia dimana anak akan mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat sehingga pada masa ini
sering disebut sebagai periode emas (Mansur, 2011 dalam Warastuti,
2015). Anak usia prasekolah adalah anak yang mempunyai rentang usia 3 -
6 tahun (Muscari, 2005 dalam Warastuti, 2015). Sistem kekebalan tubuh
pada anak usia prasekolah belum dapat berkembang sempurna, sehingga
rentan terhadap berbagai serangan penyakit. Tidak sedikit anak pada masa
ini terserang penyakit yang mengharuskan anak untuk mendapatkan
perawatan dan perhatian khusus di rumah sakit atau hospitalisasi (Potter &
Perry, 2009 dalam Katinawati).
Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan terencana atau
darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal dirumah sakit, menjalani
terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Supartini,
2004 dalam Noer Ella Dayani, 2015). Peralatan medis yang terlihat bersih
dan prosedur medis dianggap anak menyakitkan dan membahayakan
karena dapat melukai bagian tubuhnya (Alfiyanti, 2007 dalam Noer Ella
Dayani, 2015). Hal inilah yang dapat menimbulkan terjadinya kecemasan
anak (Apriany, 2013 dalam Noer Ella Dayani, 2015). Prevalensi
kecemasan anak saat menjalani hospitalisasi mencapai 75% (Hermiati,
2014 dalam Noer Ella Dayani, 2015). Selain itu prosedur tindakan yang
menyakitkan seperti suntikan, pemasangan infus meyebabkan anak
menjadi takut dan trauma sehingga menimbulkan kecemasan.
Kecemasan merupakan kondisi emosional yang tidak
menyenangkan yang ditandai oleh perasaan-perasaan subjektif atau
perasaan yang tidak diketahui jelas sebabnya atau sumbernya seperti
ketegangan, ketakutan, dan kekhawatiran (Panitia SAK Komisi
Keperawatan, 1999 dalam Noer Ella Dayani, 2015). Semua prosedur atau
tindakan keperawatan baik yang menimbulkan nyeri maupun tidak dapat
menyebabkan kecemasan anak prasekolah. Hal ini disebabkan karena
keterbatasan pemahaman anak mengenai tubuh (Alfiyanti, 2007 dalam
Noer Ella Dayani, 2015). Untuk mengurangi dampak akibat hospitalisasi
yang dialami anak selama menjalani perawatan, diperlukan suatu media
yang dapat mengungkapkan rasa cemasnya. Salah satunya adalah terapi
bermain (Sujatmiko, 2013 dalam Noer Ella Dayani, 2015).
Terapi bermain adalah suatu kegiatan bermain yang dilakukan
untuk membantu dalam proses penyembuhan anak dan sarana dalam
melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal
(Pratiwi, 2012 dalam Noer Ella Dayani, 2015). Tujuan bermain bagi anak
adalah menghilangkan rasa nyeri ataupun sakit yang dirasakannya dengan
cara mengalihkan perhatian anak pada permainan sehingga anak akan lupa
terhadap perasaan cemas maupun takut yang dialami, selama anak
menjalani perawatan dirumah sakit (Sujatmiko, 2013 dalam Noer Ella
Dayani, 2015). Dengan terapi bermain, diharapkan kecemasan anak segera
menurun, sehingga dapat menjadikan anak lebih bekerjasama pada petugas
kesehatan (Pravitasari, 2012 dalam Noer Ella Dayani, 2015). Permainan
yang cocok diterapkan untuk anak usia prasekolah salah satunya adalah
permainan membentuk (konstruksi) seperti clay (Susilaningrum, 2013
dalam Noer Ella Dayani, 2015).
Clay adalah sejenis bahan yang menyerupai lilin lembut dan
mudah dibentuk (Lanjarsari, 2013 dalam Noer Ella Dayani, 2015). Terapi
bermain dengan menggunakan jenis clay seperti playdough cocok
diberikan pada anak yang sedang menjalani perawatan, karena tidak
membutuhkan energi yang besar untuk bermain. Permainan ini juga dapat
dilakukan di atas tempat tidur anak, sehingga tidak mengganggu dalam
proses pemulihan kesehatan anak (Ngastiyah, 2005 dalam Noer Ella
Dayani, 2015).
Hasil penelitian terdahulu oleh Rahmani dan Moheb (2010) tentang
terapi clay dalam menangani kecemasan pada anak usia prasekolah
menunjukkan bahwa ada perbedaan kecemasan antara kelompok perlakuan
sebelum dan setelah diberikan terapi bermain Clay (Rahmani, 2010 dalam
Noer Ella Dayani, 2015).

B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh terapi bermain clay untuk menurunkan
tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah yang mengalami
hospitalisasi?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui pengaruh terapi bermain clay menurunkan tingkat
kecemasan pada anak usia prasekolah di RSUD BREBES.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik responden berdasarkan usia, jenis
kelamin, lama dirawat, pengalaman dirawat.
b. Untuk mengetahui tingkat kecemasan anak sebelum dilakukan
terapi bermain clay.
c. Untuk mengetahui tingkat kecemasan anak setelah dilakukan terapi
bermain clay.
d. Untuk mengetahui pengaruh terapi bermain clay yang berhubungan
dengan tingkat kecemasan.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi instansi pendidikan
Memberikan bekal kompetensi bagi mahasiswa sehingga mampu
menerapkan ilmu yang didapat kepada ibu tentang manfaat terapi
bermain.
b. Bagi peneliti
Peneliti berharap agar hasil penelitian ini dapat menambah
wawasan dan pengetahuan tentang pengaruh terapi bermain
terhadap tingkat kecemasan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pasien dan ibu
Sebagai dasar supaya individu dan keluarga yang mengalami
hospitalisasi mampu mengelola kecemasan yang terjadi dengan
berbagai aktivitas, salah satunya dengan terapi bermain.
b. Bagi Rumah Sakit
Memberikan masukan pada instansi untuk meningkatkan fasilitas
bermain sesuai dengan umur dan kebutuhan klien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak Usia Prasekolah


1. Pengertian
Menurut Supartini (2004) Anak adalah individu yang masih
bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, dimana dapat
memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar
mandiri. Anak usia prasekolah merupakan masa transisi dan periode
ini berkisar antara usia 4-6 tahun, pada masa ini anak lebih aktif,
kreatif, imajinatif dan kemampuan berbicara dan berhubungan dengan
orang lain semakin meningkat. Selain itu anak prasekolah juga
memiliki pemikiran magis dan egosentris yang membatasi kemampuan
mereka untuk memahami berbagai peristiwa dari sudut pandang
mereka sendiri (egosentris) dan memandang peristiwa secara
berlebihan, aneh dan menakutkan dari pada kejadian sebenarnya.
Anak usia prasekolah memilih kosakata yang terus meningkat
secara cepat, dimana anak sudah memilih lebih dari 2000 kata yang
dapat mereka gunakan untuk menentukan benda yang dikenal,
mengidentifikasi warna dan megekspresikan keinginan dan frustasi
mereka (Potter & Perry, 2006). Dalam upaya mempermudah
melakukan tindakan medis, petugas kesehatan dapat menggunakan
teknik role-playing daripada menjelaskan kepada anak secara verbal
dalam perincian, misalnya ketika anak harus disuntik, untuk
memperagakan prosedurnya dengan boneka sehingga anak bersedia
untuk disuntik (Kaplan & Sadock, 1997).
Perkembangan psikososial anak usia prasekolah menurut
Erikso berada pada tahap inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus
guilt). Pada tahap ini, anak berkembang rasa ingin tahu (courius) dan
daya imajinasinya, sehingga anak bertanya mengenai segala sesuatu di
sekelilingnya yang tidak diketahui (Nursalam, dkk, 2005). Anak akan
memulai inisiatifnya untuk belajar mencari pengalaman baru secara
aktif dalam melakukan aktivitasnya dan apabila anak dilarang atau
dicegah, maka akan timbul perasaan bersalah pada diri anak tersebut.
Perawatan dirumah sakit juga dipersepsikan oleh anak sebagai
hukuman, sehingga anak akan merasa bersalah (Supartini, 2004).
Menurut teori Sigmund Freud dalam Nursalam, dkk (2005),
anak usia prasekolah berada pada fase falik, dimana anak mulai
mengenal perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Anak juga
akan mengidentifikasi figure atau perilaku orangtua, sehingga
mempunyai kecenderungan untuk meniru tingkah laku orang dewasa
di sekitarnya

2. Karakteristik Anak Usia Prasekolah


Karakteristik perkembangan menurut Betz (2002) adalah :
a. Karakteristik Fisik
1) Berat badan
a) Penambahan berat badan anak pra sekolah kurang dari 2 kg
per tahun.
b) Berat badan rata-rata adalah 18 kg.
2) Tinggi badan
a) Pertumbuhan tinggi badan anak 5 sampai 7 cm pertahun.
b) Tinggi rata-rata adalah 108 cm.
b. Perkembangan Bahasa
1) Usia 3 tahun
a) Banyak bertanya.
b) Berbicara saat ada maupun tidak ada orang.
c) Menggunakan pembicaraan telegrafis (tanpa kata preposisi,
kata sifat, kata keterangan, dll.).
d) Mengucapkan konsonan berikut d, b, t, k dan y.
e) Menghilangkan w dari pembicaraannya.
f) Mempunyai perbendaharaan kata sebanyak 900 kata.
g) Memakai kalimat tiga kata (subyek-kata kerja-obyek).
h) Menyatakan namanya sendiri.
i) Membuat kesalahan suara spesifik (s, sh, ch, z, th, r dan l).
j) Menjamakkan kata-kata.
k) Mengulangi ungkapan dan kata-kata dengan tanpa tujuan.
2) Usia 4 tahun
a) Perbendaharaan katanya berjumlah 1.500 kata.
b) Menghitung sampai tiga.
c) Menceritakan cerita panjang.
d) Mengerti pertanyaan sederhana.
e) Mengerti dasar hubungan sebab-akibat dari perasaan.
f) Pembicaraannya egosentris.
g) Membuat kesalahan suara spesifik (s, sh, ch, z, th, r dan l).
h) Memakai kalimat empat kata.
3) Usia 5 tahun
a) Perbendaharaan katanya berjumlah 2.100 kata.
b) Memakai kalimat lima kata.
c) Memakai kalimat lengkap.
d) Mengerti pertanyaan yang berkaitan dengan waktu dan
jumlah (berapa banyak dan kapan).
e) Tetap membuat kesalahan suara.
f) Belajar untuk berpartisipasi dalam percakapan sosial.
g) Dapat menyebut hari-hari dalam seminggu.
4) Usia 6 tahun
a) Tidak ada kesalahan suara lagi.
b) Mengerti hubungan sebab-akibat dari kejadian fisik.
c) Memakai bahasa sebagai media pertukaran verbal.
d) Berbicaranya mirip bentuk dewasa dalam strukturnya.
e) Menambah kosakata sesuai stimulasi lingkungan.
c. Perkembangan Psikoseksual (Tahap Falik)
1) Fokus tubuh – genital
2) Tugas perkembangan-peningkatan kesadarannya akan organ
seks dan minatnya dalam seksualitas.
3) Krisis perkembangan-Oedipus dan Electra kompleks, ketakutan
akan kastrasi; ketakutan akan adanya gangguan pada tubuh;
perkembangan prasyarat untuk identitas laki-laki atau
perempuan; indentifikasi dengan orang tua dari jenis kelamin
yang sama (pada keluarga dengan hanya satu orang tua,
pemecahan krisis selama krisis ini mungkin lebih sulit).
4) Ketrampilan koping umum-pembentukan reaksi; transisi dari
perasaan negatif terhadap orang tua dengan jenis kelamin yang
berbeda menjadi perasaan positif; masturbasi selama masa stres
dan isolasi.
5) Temperamen-sedikit banyaknya kecemburuan dan perilaku
bervariasi sesuai pengalaman anak di masa lalu dan lingkungan
keluarga.
6) Bermain-permainan dramatis, yaitu anak-anak memerankan
peran orang tua dan peran jenis kelamin yang sama.
d. Perkembangan Psikososial
1) Tugas perkembangan-perkembangan hati nurani; peningkatan
kesadaran akan diri dan kemampuan berfungsi dalam dunia.
2) Krisis perkembangan- memperagakan peran seks yang sesuai;
mempelajari benar dan salah.
3) Keterampilan koping umum.
a) Keterampilan pemecahan masalah awal.
b) Penolakan, penyangkalan.
c) Pembentukan reaksi.
d) Somatisasi (umumnya dalam system gastrointestinal).
e) Regresi.
f) Pemindahan.
g) Proyeksi.
h) Fantasi.
4) Bermain-anak memiliki fantasi aktif; menunjukkan
eksperimentasi dengan keterampilan baru dan permainan
peningkatan aktivitas bermain, yaitu anak dapat mengendalikan
dan menggunakan dirinya sendiri.
5) Peran orang tua-supervisi dan pengarahan diterima oleh anak
yang berusia 5 tahun; anak yang berusia 6 tahun berespons
lebih lambat dan negative terhadap permintaan dan arahan
orang tua; orang tua adalah model peran bagi anak prasekolah,
dan sikap orang tua tersebut mempunyai pengaruh yang lebih
besar pada perilaku dan sikap anak.
6) Rencana-untuk memberi aktivitas permainan yang sesuai dan
kesempatan merawat diri.
e. Perilaku Sosialisasi
1) Memandang orang tua sebagai figure yang terpenting
2) Bersifat posesif; ingin maunya sendiri
3) Mampu bekerjasama dengan teman sebaya dan orang dewasa.
4) Meniru orang tua dan model peran dewasa lainnya.
f. Perkembangan Moral
1) Anak prasekolah melihat aturan sebagai sesuatu yang kaku dan
tidak fleksibel.
2) Konsekuensi negatif dilihat sebagai hukuman terhadap
kelakuan buruk.
3) Orang tua dilihat sebagai otoritas tertinggi untuk menetapkan
benar dan salah.
4) Anak memulai proses mendalami pengertian benar dan salah.
g. Perkembangan Kepercayaan
1) Praktik keagamaan, perhiasan kecil, dan symbol mulai
memiliki arti praktis bagi anak prasekolah.
2) Tuhan dilihat dalam istilah manusia
3) Tuhan dipahami sebagai bagian dari alam, seperti halnya
pohon, bunga dan sungai.
4) Kejahatan dapat dibayangkan dengan istilah menyeramkan,
seperti monster atau setan.

B. Hospitalisasi
1. Definisi Hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan darurat
yang mengharuskan anak untuk tinggal dirumah sakit untuk menjalani
terapi dan perawatan. Meskipun demikian, dirawat di rumah sakit
merupakan masalah yang besar sehingga menimbulkan rasa takut dan
cemas bagi anak (Supartini, 2014). Sementara menurut Wong, 2009
hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan
dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak mengalami
perubahan dari keadaan sehat dan rutinitas lingkungan serta
mekanisme koping yang terbatas dalam menghadapi stresor. Stresor
utama dalam hospitalisasi adalah perpisahan, kehilangan kendali dan
nyeri.
Ridha, 2014 mengemukakan bahwa sakit dan dirawat di rumah
sakit merupakan krisis yang paling utama tampak pada anak. Anak
yang dirawat dirumah sakit sering mengalami krisis sebab anak
mengalami perubahan baik pada status kesehatan maupun
lingkungannya, dari kebiasaan sehari-hari, dan anak juga mempunyai
sejumlah keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi
masalah atau kejadian yang bersifat menekan. Peran perawat dalam
memahami konsep stres rawat inap (hospitalisasi) dan prinsip-prinsip
asuhan keperawatan yaitu dengan cara melakukan pendekatan proses
keperawatan.

2. Dampak Hospitalisasi
Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan kecemasan dan
stres pada semua tingkat usia. Penyebab dari kecemasan dipengaruhi
oleh banyaknya faktor, baik faktor dari petugas (perawat, dokter, dan
tenaga kesehatan lainnya), lingkungan baru, maupun lingkungan
keluarga yang mendampingi selama perawatan. Meskipun dampak
tersebut tidak bersifat langsung terhadap anak, secara psikologis anak
akan merasakan perubahan perilaku dari orang tua yang mendampingi
selama perawatan (Marks, 1998). Anak menjadi semakin stres dan hal
ini berpengaruh pada proses penyembuhan, yaitu menurunnya respon
imun. Hal ini telah dibuktikan oleh Robert Ader (1885) bahwa pasien
yang mengalami kegoncangan jiwa akan mudah terserang penyakit,
karena pada kondisi stress akan terjadi penekanan system imun
(Subowo, 1992).
Pasien anak akan merasa nyaman selama perawatan
dengan adanya dukungan social keluarga, lingkungan perawatan yang
terapeutik, dan sikap perawat yang penuh dengan perhatian akan
mempercepat proses penyembuhan. Anak yang dirawat di rumah sakit
masih sering mengalami stres hospitalisasi yang berat, khususnya takut
terhadap pengobatan, asing dengan lingkungan baru, dan takut
terhadap petugas kesehatan. Fakta tersebut merupakan masalah penting
yang harus mendapatkan perhatian perawat dalam pengelolah asuhan
keperawatan (Nursalam, 2005).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Reaksi Hospitalisasi pada


Anak Prasekolah
Anak usia prasekolah akan mempresepsikan hospitalisasi
sebagai hukuman dan pengalaman yang menakutkan (Supartini, 2004).
Sehingga respon anak terhadap hospitalisasi pada usia prasekolah akan
lebih berat dibandingkan dengan anak usia sekolah. Reaksi anak
terhadap hospitalisasi menurut Hockenberry & Wilson (2009)
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor usia, pengalaman sakit,
perpisahan, pengalaman dirawat di rumah sakit, dan jenis kelamin
anak.
a. Faktor usia: anak usia prasekolah mempresepsikan hospitalisasi
sebagai suatu pengalaman yang menakutkan (Hockenberry &
Wilson, 2007).
b. Jenis kelamin: jenis kelamin perempuan lebih bersikap adaptif
dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki (Handayani &
Puspitasari, 2009).
c. Pengalaman dirawat di rumah sakit: anak yang pernah memiliki
pengalaman dirawat dirumah sakit sebelumnya dengan pengalaman
yang tidak menyenangkan menyebabkan anak menjadi takut dan
trauma sehingga anak akan sulit beradaptasi dan koopertif dengan
tindakan. Anak yang sebelumnya mendapatkan pengalaman
hospitalisasi yang menyenangkan akan lebih mudah beradaptasi
dan kooperatif terhadap tindakan perawatan (Supartini, 2004).
d. Lama rawat: tingkat kecemasan anak terhadap respon hospitalisasi
tetap tinggi hingga anak menjalani hospitalisasi lebih dari 2 hari
(Stubbe, 2008).

C. Kecemasan
1. Pengertian
Kecemasan adalah ketegangan, rasa tidak aman dan
kekhawatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak
menyenangkan tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui dan
berasal dari dalam (DepKes RI, 1990). Menurut Ibrahim, 2007
mengatakan bahwa kecemasan adalah respon terhadap suatu ancaman
yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar, atau
konfliktual. Sedangkan menurut Keliat (2011) kecemasan merupakan
suatu perasaan was-was seakan sesuatu yang buruk akan terjadi dan
merasa tidak nyaman seakan ada ancaman yang disertai gejala-gejala
fisik seperti jantung berdebar-debar, keringat dingin, tangan gemetar.
2. Penyebab Kecemasan Pada Anak Usia Pra Sekolah
Kecemasan yang terjadi pada usia prasekolah selama hospitalisasi
dapat disebabkan karena :
a. Cemas yang Disebabkan Perpisahan
Saat anak prasekolah dirawat di rumah sakit, kondisi ini
memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan rumah yang
dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan serta
hilangnya waktu bermain bersama teman-teman sepermainannya.
Adapun reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia
prasekolah selama dirawat di rumah sakit adalah dengan menolak
makan, sering bertanya kepada orang tuanya tentang hal-hal yang
tidak dipahaminya, menangis dan tidak kooperatif terhadap petugas
kesehatan. Dampak dari perpisahan yang dialami anak prasekolah
saat dirawat di rumah sakit akan menimbulkan rasa kecemasan
pada anak tersebut (Moersintowati, dkk, 2008).
Menurut Supartini (2004), perawatan di rumah sakit
seringkali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman
sehingga anak merasa malu, bersalah, cemas dan takut. Anak juga
sering merasa takut pada hal-hal yang tidak logis, seperti takut
gelap, monster, dll. Berbagai perasaan yang sering muncul pada
anak usia prasekolah yaitu cemas, marah, sedih, takut dan rasa
bersalah. Perasaan tersebut dapat timbul karena menghadapi
sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa
tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang
dialaminya, dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan serta
lingkungan rumah sakit (Wong, 2000).
b. Kehilangan Kontrol
Selain kecemasan akibat perpisahan, anak juga mengalami
cemas akibat kehilangan kendali atas dirinya. Akibat sakit dan
dirawat di rumah sakit, anak akan kehilangan kebebasan dalam
mengembangkan otonominya. Anak akan bereaksi negatif terhadap
ketergantungan yang dialaminya, terutama anak akan menjadi
cepat marah dan agresif (Nursalam, Susilaningrum, dan Utami,
2005). Kecemasan yang muncul merupakan respon emosional
terhadap penilaian sesuatu yang berbahaya, berkaitan dengan
perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Stuart & Sundeen, 1998).
Sedangkan menurut Gunarso (1995), kecemasan juga dapat
diartikan rasa khawatir takut tidak jelas sebabnya.
Anak usia prasekolah merasa (kehilangan kendali) karena
mereka mengalami ketakutan mereka sendiri. Potter (2005) juga
mengemukakan bahwa selama waktu sakit, anak usia prasekolah
mungkin kembali ngompol, atau menghisap ibu jari dan
menginginkan orang tua mereka untuk menyuapi, memakaikan
pakaian dan memeluk mereka.
c. Luka pada Tubuh dan Rasa Sakit (Rasa Nyeri)
Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak
menyenangkan dirawat di rumah sakit sebelumnya akan
menyebabkan anak takut dan trauma. Sebaliknya apabila anak
dirawat di rumah sakit mendapatkan perawatan yang baik dan
menyenangkan anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter
(Supartini, 2004). Sistem pendukung (support system) yang
tersedia akan membantu anak beradaptasi dengan lingkungan
rumah sakit dimana ia dirawat. Anak akan mencari dukungan yang
ada dari orang lain untuk melepaskan tekanan akibat penyakit yang
dideritanya. Anak biasanya akan minta dukungan kepada orang
terdekat dengannya misalnya orang tua atau saudaranya. Perilaku
ini biasanya ditandai dengan permintaan anak untuk ditunggui
selama dirawat di rumah sakit, didampingi saat dilakukan
treatment padanya, minta dipeluk saat merasa takut dan cemas
bahkan saat merasa kesakitan.
Menurut Nursalam, Susilaningrum, dan Utami, 2005 reaksi
anak usia prasekolah terhadap rasa nyeri sama seperti sewaktu
masih bayi. Anak akan bereaksi terhadap nyeri dengan
menyeringaikan wajah, menangis, mengatupkan gigi, menggigit
bibir, membuka mata dengan lebar, atau melakukan tindakan
agresif seperti menendang dan memukul. Namun, pada akhir
periode balita anak biasanya sudah mampu mengkomunikasikan
rasa nyeri yang mereka alami dan menunjukkan lokasi nyeri.

3. Klasifikasi Tingkat Kecemasan


Menurut Peplau dalam Stuart & Laraia (2001) mengidentifikasi 4
tingkat kecemasan, yaitu :
a. Kecemasan ringan
Kecemasan ini berhubungan dengan ketegangana dalam
kehidupan sehari-hari dan menyebabkan anak menjadi waspada
serta meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan dapat
memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta
kreativitas.
b. Kecemasan sedang
Kecemasan sedang memungkinkan anak untuk
memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang
lain, sehingga anak mengalami perhatian yang selektif namun
dapat melakukan sesuatu yag lebih terarah.
c. Kecemasan berat
Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi anak.
Anak cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan
spesifik serta tidak dapat berpikir tetang hal lain. Semua perilaku
ditunjukkan untuk mengurangi ketegangan. Anak memerlukan
banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.
d. Panik
Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan
terperangah, ketakutan, dan terror. Karena mengalami kehilangan
kendali, anak yang mengalami panic tidak mampu melakukan
sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panic menyebabkan
peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan
kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat kecemasan ini tidak
sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung dalam waktu yang
lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian.

4. Upaya Mengatasi Kecemasan Pada Anak Yang Mengalami


Hospitalisasi
Untuk itu berkaitan dengan upaya mengatasi kecemasan yang timbul
akibat hospitalisasi pada anak, fokus intervensi keperawatan adalah :
a. Mencegah Atau Meminimalkan Dampak Perpisahan
Menurut Susilaningrum (2005), beberapa cara untuk
meminimalkan dampak perpisahan antara lain :
1) Melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak
dengan cara membolehkan mereka untuk tinggal bersama anak
selama 24 jam (rooming in).
2) Jika tidak mungkin untuk rooming in, beri kesempatan orang tua
untuk melihat anak setiap saat dengan maksud mempertahankan
kontak antar mereka.
3) Modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang
rawat seperti dirumah, diantaranya dengan membuat dekorasi
ruangan yang bernuansa anak.
b. Mencegah Perasaan Kehilangan Kontrol
Menurut Wong (2009), cara yang dapat dilakukan untuk
mencegah atau meminimalkan perasaan kehilangan kontrol pada
anak, antara lain :
1) Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif terhadap
petugas kesehatan.
2) Buat jadwal kegiatan untuk prosedur terapi, latihan, bermain,
dan aktifitas lain dalam perawatan untuk menghadapi perubahan
kebiasaan/kegiatan sehari-hari.
3) Fokuskan intervensi keperawatan pada upaya untuk mengurangi
ketergantungan dengan cara memberi kesempatan anak
mengambil keputusan dan melibatkan orang tua dalam
perencanaan kegiatan asuhan keperawatan.
c. Meminimalkan Rasa Takut Terhadap Cedera Tubuh Dan Rasa
Nyeri
Adapun cara meminimalkan rasa takut terhadap cedera
tubuh dan rasa nyeri yang dapat dilakukan perawat anak, menurut
Supartini (2004), antara lain :
1) Menjelaskan prosedur tindakan yang menimbulkan nyeri kepada
anak dan orang tua serta berikan dukungan psikologis.
2) Lakukan permainan yang berkaitan dengan tindakan atau
prosedur yang akan dilakukan terlebih dahulu sebelum
melakukan persiapan fisik anak.
3) Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua saat anak
dilakukan tindakan yang menimbulkanrasa nyeri apabila orang
tua tidak dapat menahan diri.
4) Tunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam
mengurangi rasa takut akibat prosedur yang menyakitkan.
5) Pada tindakan pembedahan elektif, lakukan persiapan khusus
jauh hari sebelumnya apabila memungkinkan. Misalnya, dengan
mengorientasikan kamar bedah, tindakan yang akan dilakukan,
dan petugas yang akan menangani anak melalui cerita, gambar,
atau menonton film video yang menggambarkan kegiatan
operasi tersebut.
5. Pengukur Kecemasan
Metode pengukuran kecemasan yang dapat digunakan untuk mengukur
kecemasan, antara lain:
a. AAS (Anxiety Analog Scale)
Di Indonesia telah dikembangkan test kecemasan oleh
kelompok Psikiatri Biologik Jakarta (KSPBJ), yaitu anxiety analog
scale (AAS). Skor untuk tingkat kecemasan berdasarkan anxiety
analog scale (AAS) adalah :
Skor kurang dari 150 : tidak ada cemas
Skor 150-199 : cemas ringan
Skor 200-299 : cemas sedang
Skor 300-399 : cemas berat
Skor lebih dari 399 : cemas luar biasa atau panic
Cara pengukuran dengan AAS ini bersifat sederhana,
praktis dan mudah mengukur kecemasan, meskipun skor pada
AAS K SPBJ bersifat subjektif dan merupakan ukuran kasar, tetapi
bermanfaat pada keadaan cemas penderita dengan kecerdasan
cukup dan kooperatif.
b. Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)
Alat ukur untuk kecemasan adalah Hamilton Anxiety Scale
(HAS) disebut juga dengan Hamilton Anxiety Rating Scale
(HARS) yang teridiri dari 14 item pertanyaan untuk mengukur
tanda adanya kecemasan pada anak orang dewasa, karena HARS
telah distandarkan untuk mengevaluasi tanda kecemasan pada
individu yang sudah menjalani pengobatan terapi, setelah
mendapatkan obat antidepresan.
Menurut Fahmy (2007) dalam Apriliawati (2011),
Hamilton Anxiety Scale (HAS) pertama kali dikembangkan oleh
Max Hamilton pada tahun 1956, kemudian Hamilton Anxiety
Rating Scale (HARS) digunakan untuk mengukur semua tanda
kecemasan baik kecemasan psikis (agistasi dan distress psikologis)
maupun kecemasan somatic (keluhan fisik yang berhubungan
dengan kecemasan) dan telah dikembangkan lebih lanjut untuk
mengukur tingkat depresi dalam Hamilton Depression Scale
(HDS).
HARS terdiri 14 pertanyaan dengan jawaban dalam 5 skala
dari nilai 0-4 yang artinya :
0 : tidak ada (tidak ada gejala sama sekali)
1 : ringan (satu gejala dari pilihan yang ada)
2 : sedang(separuh dari gejala yang ada)
3 : berat(lebih dari separuh dari gejala yang ada)
4 : berat sekali (semua gejala ada)
Alat ukur ini menggunakan teknik wawancara secara
langsung. Masing-masing angka dari ke 14 gejala kelompok
tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat
diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu:
Skor <14 (tidak ada kecemasan)
14-20 (kecemasan ringan)
21-27 (kecemasan sedang)
28-41 (kecemasan berat)
42-56 (kecemasan berat sekali)
Adapun hal-hal yang dinilai dalam alat ukur HRSA ini
adalah sebagai berikut :
1) Perasaan cemas, ditandai dengan rasa cemas, firasat buruk,
takut akan pikiran sendiri, mudah tersinggung.
2) Ketegangan yang ditandai oleh : perasaan tegang, lesu, tidak
dapat istirahat tenang, mudah terkejut, mudah menangis,
gemetar, gelisah, mudah terkejut.
3) Ketakutan ditandai oleh ketakutan pada gelap, ketakutan
ditinggal sendiri, ketakutan pada orang asing, ketakutan pada
binatang besar, ketakutan pada keramaian lalu lintas, ketakutan
pada kerumunan orang banyak.
4) Gangguan tidur ditandai oleh : sukar masuk tidur, terbangun
malam hari, tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, mimpi
buruk, mimpi yang menakutkan.
5) Gangguan kecerdasan ditandai oleh : sukar konsentrasi, daya
ingat buruk, daya ingat menurun.
6) Perasaan depresi ditandai oleh : kehilangan minat, sedih,
bangun dini hari, kurangnya kesenangan pada hobi, perasaan
berubah sepanjang hari.
7) Gejolak somatic ditandai oleh nyeri pada otot, kaku, kedutan
otot, gigi gemeretak, suara tidak stabil.
8) Gejala sensorik ditandai oleh : tinnitus, penglihatan kabur,
muka merah dan pucat, merasa lemah, perasaan ditusuk-tusuk.
9) Gejala kardiovaskuler ditandai oleh : takikardia, berdebar-
debar, nyeri dada, denyut nadi mengeras, rasa lemas seperti
mau pingsan, detak jantung hilang sekejap.
10) Gejala pernafasan ditandai oleh : rasa tertekan atau sempit di
dada, perasaan tercekik, merasa nafas pendek/ sesak, sering
menarik nafas panjang.
11) Gejala gastrointestinal ditandai oleh : sulit menelan, mual,
perut melilit, gangguan pencernaan, nyeri lambung sebelum
atau sesudah makan, rasa panas di perut, perut terasa kembung
atau penuh, muntah, defekasi lembek, berat badan menurun,
konstipasi (sukar buang air besar).
12) Gejala urogenital ditandai oleh : sering kencing, tidak dapat
menahan kencing.
13) Gejala otonom ditandai oleh : mulut kering, muka merah
kering, mudah berkeringat, pusing, sakit kepala, kepala terasa
berat, bulu-bulu berdiri.
14) Perilaku sewaktu wawancara, ditandai oleh : gelisah, tidak
tenang, jari gemetar, mengerutkan dahi atau kening, muka
tegang, tonus otot meningkat, nafas pendek dan cepat, muka
merah.
c. Alat yang digunakan untuk mengukur kecemasan pada anak adalah
Revised Children’s Manifest Anxiety Scale (RCMAS).
RCMAS merupakan alat yang digunakan untuk menilai
derajat dan kualitas kecemasan yang dialami oleh anak-anak dan
remaja. RCMAS ini didasarkan pada Children Manifest Anxiety
Scale (CMAS) yang dirancang oleh Casteneda, McCandless dan
Palemo (1956) kemudian dikembangkan oleh Reynold dan
Richmond (1978). RCMAS ini cocok digunakan untuk menilai
derajat dan kualitas kecemasan pada anak usia 6-19 tahun.
Kuisioner ini terdiri dari tiga faktor kecemasan yang dinilai yaitu
kecemasan fisiologis (10 item), khawatir/oversensitivity (11 item),
konsentrasi dan kepedulian sosial (7 item) dengan jawaban ya
(skor 1) dan tidak (skor 0). Jumlah skor butir pernyataan pada
kuisioner RCMAS yang diperoleh adalah 0-28 (Asian nursing
research, 2009).
Dalam penelitian ini alat ukur yang digunakan adalah
RCMAS. Hal ini dikarenakan RCMAS sudah sesuai untuk anak
usia 6-19 tahun. Selain itu, keuntungan memakai RCMAS adalah
tidak perlu memerlukan waktu pemeriksaan yang lama dan hanya
memerlukan waktu selama 10-15 menit.

D. Terapi Bermain
1. Definisi Bermain
Wong, 2000 mengemukakan bahwa bermain adalah cerminan
kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial dan bermain
merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain,
anak akan berkata-kata, belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan
melakukan apa yang dapat dilakukan, dan mengenal waktu, jarak, serta
suara.
Terapi bermain merupakan suatu proses penyembuhan dengan
metode bermain yang digunakan pada anak yang mempunyai masalah
emosi, khususnya pada anak usia 3-5 tahun, dengan tujuan mengubah
tingkah laku anak yang tidak sesuai menjadi tingkah laku yang
diharapkan. Pelaksanaan terapi bermain sudah sesuai dengan prinsip
terapi bermain bagi anak dirumah sakit yaitu permainan tidak boleh
bertentangan dengan pengobatan yang sedang dijalankan pada anak,
permainan yang tidak membutuhkan energi, singkat dan sederhana,
permainan harus mempertimbangkan keamanan anak (Karsi, 2013).

2. Fungsi Bermain
Fungsi utama bermain adalah merangsang perkembangan sensoris-
motorik, perkembangan intelektual, perkembangan social,
perkembangan kreativitas, perkembangan kesadaran diri,
perkembangan moral dan bermain sebagai terapi.
a. Perkembangan Sensoris – Motorik
Pada saat melakukan permainan, aktivitas sensoris-motorik
merupakan komponen terbesar yang digunakan anak dan bermain
aktif sangat penting untuk perkembangan fungsi otot. Misalnya,
alat permainan yang digunakan untuk bayi yang mengembangkan
kemampuan sensoris-motorik dan alat permainan untuk anak usia
toddler dan prasekolah yang banyak membantu perkembangan
aktivitas motorik baik kasar maupun halus.
b. Perkembangan Intelektual
Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan
manipulasi terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan
sekitarnya, terutama mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur dan
membedakan objek. Pada saat bermain pula anak akan melatih diri
untuk memecahkan masalah. Pada saat anak bermain mobil-
mobilan, kemudian bannya terlepas dan anak dapat
memperbaikinya maka ia telah belajar memecahkan masalahnya
melalui eksplorasi alat mainannya dan untuk mencapai kemampuan
ini, anak menggunakan daya pikir dan imajinasinya semaksimal
mungkin. Semakin sering anak melakukan eksplorasi seperti ini
akan semakin terlatih kemampuan intelektualnya.
c. Perkembangan Social
Perkembangan social ditandai dengan kemampuan
berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui kegiatan bermain,
anak akan belajar memberi dan menerima. Bermain dengan orang
lain akan membantu anak untuk mengembangkan hubungan social
dan belajar memecahkan masalah dari hubungan tersebut. Pada
saat melakukan aktivitas bermain, anak belajar berinteraksi dengan
teman, memahami bahasa lawan bicara, dan belajar tentang nilai
social yang ada pada kelompoknya. Hal ini terjadi terutama pada
anak usia sekolah dan remaja. Meskipun demikian, anak usia
toddler dan prasekolah adalah tahapan awal bagi anak untuk
meluaskan aktivitas sosialnya dilingkungan keluarga.
d. Perkembangan Kreativitas
Berkreasi adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu
dan mewujudkannya kedalam bentuk objek dan/atau kegiatan yang
dilakukannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar dan
mencoba untuk merealisasikan ide-idenya. Misalnya, dengan
membongkar dan memasang satu alat permainan akan merangsang
kreativitasnya untuk semakin berkembang.
e. Perkembangan Kesadaran Diri
Melalui bermain, anak mengembangkan kemampuannya
dalam mengatur mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar
mengenal kemampuannya dan membandingkannya dengan orang
lain dan menguji kemampuannya dengan mencoba peran-peran
baru dan mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap orang lain.
Misalnya, jika anak mengambil mainan temannya sehingga
temannya menangis, anak akan belajar mengembangkan diri bahwa
perilakunya menyakiti teman. Dalam hal ini penting peran orang
tua untuk menanamkan nilai moral dan etika, terutama dalam
kaitannya dengan kemampuan untuk memahami dampak positif
dan negatif dari perilakunya terhadap orang lain.
f. Perkembangan Moral
Anak mempelajari nilai benar dan salah dari
lingkungannya, terutama dari orang tua dan guru. Dengan
melakukan aktivitas bermain, anak akan mendapatkan kesempatan
untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima di
lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan
kelompok yang ada dalam lingkungannya. Melalui kegiatan
bermain anak juga akan belajar nilai moral dan etika, belajar
membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta belajar
bertanggung-jawab atas segala tindakan yang telah dilakukannya.
Misalnya, merebut mainan teman merupakan perbuatan yang tidak
baik dan membereskan alat permainan sesudah bermain adalah
membelajarkan anak untuk bertanggung-jawab terhadap tindakan
serta barang yang dimilikinya. Sesuai dengan kemampuan
kognitifnya, bagi anak usia toddler dan prasekolah, permainan
adalah media yang efektif untuk mengembangkan nilai moral
dibandingkan dengan memberikan nasihat. Oleh karena itu,
penting peran orang tua untuk mengawasi anak saat anak
melakukan aktivitas bermain dan mengajarkan nilai moral, seperti
baik/buruk atau benar/salah.
g. Bermain Sebagai Terapi
Pada saat dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami
berbagai perasaan yang sangat tidak menyenangkan, seperti marah,
takut, cemas, sedih, dan nyeri. Perasaan tersebut merupakan
dampak dari hospitalisasi yang dialami anak karena menghadapi
beberapa stressor yang ada dilingkungan rumah sakit. Untuk itu,
dengan melakukan permainan anak akan terlepas dari ketegangan
dan stress yang dialaminya karena dengan melakukan permainan
anak akan depat mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya
(distraksi) dan relaksasi melalui kesenangannya melakukan
permainan.
Hal tersebut terutama terjadi pada anak yang belum mampu
mengekspresikannya secara verbal. Dengan demikian, permainan
adalah media komunikasi antar anak dengan orang lain, termasuk
dengan perawat atau petugas kesehatan dirumah sakit. Perawat
dapat mengkaji perasaan dan pikiran anak melalui ekspresi
nonverbal yang ditunjukkan selama melakukan permainan atau
melalui interaksi yang ditunjukkan anak dengan orang tua dan
teman kelompok bermainnya.
Agar fungsi bermain dapat terlaksana dengan baik, Jeffree
dalam Sujiono (2010) menyatakan bahwa terdapat 6 (enam)
karakteristik kegiatan bermain pada anak yang perlu dipahami
oleh stimulator, yaitu :
1) Bermain datang dari dalam diri anak artinya, keinginan
bermain harus muncul dari dalam diri anak sehingga anak
dapat menikmati dan bermain sesuai dengan caranya sendiri.
2) Bermain harus terbebas dari aturan yang mengikat, karena
bermain adalah suatu kegiatan untuk dinikmati, anak
memiliki cara bermainnya sendiri.
3) Bermain adalah aktivitas nyata atau sesungguhnya, oleh
karenanya bermain melibatkan partisipasi aktif baik secara
fisik maupun mental, seperti pada saat bereksplorasi dengan
bermain air.
4) Bermain fokus pada proses dari pada hasil artinya, dalam
bermain anak mengenal dan mengetahui apa yang ia mainkan
dan mendapatkan keterampilan baru.
5) Bermain didominasi oleh pemain di mana, pemainnya adalah
anak itu sendiri, bukan didominasi oleh orang dewasa.
6) Bermain melibatkan pemain secara aktif, artinya anak
sebagai pemain harus terjun langsung dalam bermain. Jika
anak pasif dalam bermain maka ia tidak akan memperoleh
pengalaman baru karena bagi anak bermain adalah bekerja
untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru.

3. Tujuan Bermain
Melalui fungsi yang terurai diatas, pada prinsipnya bermain
mempunyai tujuan sebagai berikut :
a. Untuk melanjutkan tumbuh kembang yg normal pada saat sakit.
Pada saat sakit anak mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya.
b. Mengekspresikan perasaan, keinginan, dan fantasi serta ide-idenya.
Permainan adalah media yang sangat efektif untuk
mengsekspresikan berbagai perasaan yang tidak menyenangkan.
c. Mengembangkan kreativitas dan kemampuan memecahkan
masalah.
Permainan akan menstimulasi daya pikir, imajinasi, dan fantasinya
untuk mencipakan sesuatu seperti yang ada dalam pikirannya.
d. Dapat beradaptasi secara efektif terhadap stres karena sakit dan di
rawat di RS.

4. Klasifikasi Bermain
Ada beberapa jenis permainan, baik ditinjau dari isi permainan,
karakter social dan kelompok usia anak. Dibawah ini akan dibahas
secara rinci satu per satu :
a. Berdasarkan Isi Permainan
Berdasarkan isi permainan, ada enam jenis permainan, yaitu :
1) Social affective play
Inti permainan ini adalah adanya hubungan
interpersonal yang menyenangkan antara anak dan orang lain.
Misalnya, bayi akan mendapatkan kesenangan dan kepuasan
dari hubungan yang menyenangkan dengan orang tuanya dan
orang lain. Permainan yang biasa dilakukan adalah “Cilukba”,
berbicara sambil tersenyum/tertawa, atau sekadar memberikan
tangan pada bayi untuk menggenggamnya , tetapi dengan
diiringi berbicara sambil tersenyum dan tertawa. Bayi akan
mencoba berespons terhadap tingkah laku orang tuanya dan
orang dewasa tersebut, misalnya dengan tersenyum, tertawa,
dan mengoceh.
2) Sense of pleasure play
Permainan ini menggunakan alat yang dapat
menimbulkan rasa senang pada anak dan biasanya
mengasyikkan. Misalnya, dengan menggunakan pasir, anak
akan membuat gunung-gunungan atau benda-benda apa saja
yang dapat dibentuknya dengan pasir . Bisa juga dengan
menggunakan air anak akan melakukan macam-macam
permainan, misalnya memindah-mindahkan air ke botol, bak,
atau tempat lain. Ciri khas permainan ini adalah anak akan
semakin asyik bersentuhan dengan alat permainan ini dan
dengan permainan yang dilakukannya sehingga susah
dihentikan.
3) Skill play
Sesuai dengan sebutannya, permainan ini akan
meningkatkan ketrampilan anak, khususnya motorik kasar dan
halus. Misalnya, bayi akan terampil memegang benda-benda
kecil, memindahkan benda dari satu tempat ke tempat yang
lain, dan anak akan terampil naik sepeda. Jadi, keterampilan
tersebut diperoleh melalui pengulangan kegiatan permainan
yang di lakukan. Semakin sering melakukan latihan, anak akan
semakin terampil.
4) Games atau permainan
Games atau permainan adalah jenis permainan yang
menggunakan alat tertentu yang menggunakan perhitungan
dan/atau skor. Permainan ini bisa dilakukan oleh anak sendiri
dengan temannya. Banyak sekali jenis permainan ini mulai dari
yang sifatnya tradisional maupun yang modern.misalnya, ular
tangga, congklak, puzzle, clay dan lain-lain.
5) Unoccupied behavior
Pada saat tertentu, anak sering terlihat mondar-mandir,
tersenyum, tertawa, jinjit-jinjit, bungkuk-bungkuk, memainkan
kursi, meja, atau apa saja yang ada di sekelilingnya. Jadi,
sebenarnya anak tidak memainkan alat permainan tertentu, dan
situasi atau obyek yang ada di sekelilingnya yang di
gunakannya sebagai alat permainan. Anak tampak senang,
gembira, dan asyik dengan situasi serta lingkungannya tersebut
6) Dramatic play
Sesuai dengan sebutannya, pada permainan ini anak
memainkan peran sebagai orang lain melalui permainannya.
Anak berceloteh sambil berpakaian meniru orang dewasa,
misalnya ibu guru, ibunya, ayahnya, kakaknya, dan sebagainya
yang ingin ia tiru. Apabila anak bermain dengan temannya,
akan terjadi percakapan di antara mereka tentang peran orang
yang mereka tiru. Permainan ini penting untuk proses
identifikasi anak terhadap peran tertentu .
b. Berdasarkan Karakter Social
Berdasarkan karakter sosialnya, ada lima jenis permainan, yaitu :
1) Onlooker play
Pada jenis permainan ini, anak hanya mengamati
temannya yang sedang bermain, tanpa ada inisiatif untuk ikut
berpartisipasi dalam permainan. Jadi, anak tersebut bersifat
pasif, tetapi ada proses pengamatan terhadap permainan yang
sedang dilakukan temannya.
2) Solitary play
Pada permainan ini, anak tampak berada dalam
kelompok permainan, tetapi anak bermain sendiri dengan alat
permainan yang dimilikinya, dan alat permainan tersebut
berbeda dengan alat permainan yang digunakan temannya,
tidak ada kerja sama, ataupun komunikasi dengan teman
sepermainannya.
3) Parallel play
Pada permainan ini, anak dapat menggunakan alat
permainan yang sama, tetapi antara satu anak dengan anak
lainnya tidak terjadi kontak satu sama lain sehingga antara anak
satu dengan anak lain tidak ada sosialisasi satu sama lain.
Biasanya permainan ini dilakukan oleh anak usia toddler.
4) Associative play
Pada permainan ini sudah terjadi komunikasi antara
satu anak dengan anak lain, tetapi tidak terorganisasi, tidak ada
pemimpin atau yang memimpin permainan, dan tujuan
permainan tidak jelas. Contoh permainan jenis ini adalah
bermain boneka, bermain hujan-hujanan dan bermain masak-
masakan.
5) Cooperative play
Aturan permainan dalam kelompok tampak lebih jelas
pada permainan jenis ini, juga tujuan dan pemimpin permainan.
Anak yang memimpin permainan mengatur dan
mengarahkananggotanya untuk bertindak dalam permainan
sesuai dengan tujuan yang diharapkan dalam permainan
tersebut. Misalnya, pada permainan sepak bola, ada anak yang
memimpin permainan, aturan main harus dijalankan oleh anak
dan mereka harus dapat mencapai tujuan bersama, yaitu
memenangkan permainan dengan memasukkan bola ke gawang
lawan mainnya.

5. Faktor yang Mempengaruhi Bermain


Ada 5 (lima) factor yang mempengaruhi aktivitas bermain pada anak,
yaitu :
a. Tahap perkembangan anak
Aktivitas bermain yang tepat harus sesuai dengan tahapan
pertumbuhan dan perkembangan anak. Orang tua dan Perawat
harus mengetahui dan memberikan jenis permainan yang tepat
untuk setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak.
b. Status kesehatan anak
Aktivitas bermain memerlukan energi maka Perawat harus
mengetahui kondisi anak pada saat sakit dan jeli memilihkan
permainan yang dapat dilakukan anak sesuai dengan prinsip
bermain pada anak yang sedang dirawat di RS.
c. Jenis kelamin
Pada dasarnya dalam melakukan aktifitas bermain tidak
membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan namun ada
pendapat yang diyakini bahwa permainan adalah salah satu alat
mengenal identitas dirinya. Hal ini dilatar belakangi oleh alasan
adanya tuntutan perilaku yang berbeda antara laki – laki dan
perempuan dan hal ini dipelajari melalui media permainan.
d. Lingkungan yang mendukung
Lingkungan yang cukup luas untuk bermain
memungkinkan anak mempunyai cukup ruang untuk bermain.
e. Alat dan jenis permainan yg cocok
Pilih alat bermain sesuai dengan tahapan tumbuh kembang
anak. Alat permainan harus aman bagi anak. Orang tua dan anak
dapat memilih mainan bersama-sama, tetapi yang harus diingat
bahwa alat permainan harus aman bagi anak. Oleh karena itu,
orang tua harus membantu anak memilihkan mainan yang aman.

6. Bermain Di Rumah Sakit


Perawatan di Rumah Sakit merupakan pengalaman yang penuh
dengan stress, baik bagi anak maupun orang tua. Untuk itu, anak
memerlukan media yang dapat mengeskpresikan perasaan tersebut dan
mampu bekerja sama degan petugas kesehatan selama dalam masa
perawatan.
Aktivitas bermain yang dilakukan perawat pada anak di RS
akan memberikan keuntungan sebagai berikut :
a. Meningkatkan hubungan klien dan perawat.
b. Aktivitas bermain yang terpogram akan memulihkan perasaan
mandiri pada anak.
c. Permainan di RS membantu anak mengekspresikan perasaannya.
d. Permainan yang terapeutik akan membentuk tingkah laku yang
positif.

Prinsip – prinsip bermain di rumah sakit :


1) Permainan yang tidak membutuhkan banyak energi, singkat dan
sederhana.
2) Relatif aman dan terhindar dari infeksi silang.
3) Sesuai dengan kelompok usia.
4) Peramainan tidak boleh bertentangan dengan terapi yang sedang
dijalankan.
5) Perlu partisipasi orang tua dan keluarga.

Tekhnik Bermain di Rumah Sakit :


1) Berikan alat permainan untuk merangsang anak bermain sesuai
dengan umur perkembangannya.
2) Berikan cukup waktu dalam bermain dan menghindari interupsi.
3) Berikan permainan yang bersifat mengurangi sifat emosi anak.
4) Tentukan kapan anak boleh keluar atau turun dari tempat tidur
sesuai dengan kondisi anak.

Tujuan Bermain Di Rumah Sakit


Kebutuhan bermain mengacu pada tahapan tumbuh kembang
anak, sedangkan tujuan yang ditetapkan harus memperhatikan prinsip
bermain bagi anak di rumah sakit yaitu menekankan pada upaya
ekspresi sekaligus relaksasi dan distraksi dari perasaan takut, cemas,
sedih, tegang dan nyeri.

E. Clay Therapy
a. Definisi Clay
Clay therapy merupakan terapi bermain dengan menggunakan
media clay sebagai bagian dalam terapi ( Rahmani dan Moheb, 2010).
Clay therapy sebagai sebuah terapi dengan menggunakan media clay
yang membantu seseorang dalam mengekspresikan suasana hati dan
perasaannya (Buchalter, 2009 dalam Wirastania, 2012). Terapi
bermain clay therapy akan dilakukan dengan beberapa tema seperti
buah-buahan, sayuran, hewan, bunga dan desain lainnya. Penetapan
tema dilakukan untuk membantu mengarahkan klien membuat karya
dengan clay.
Clay sebagai alat terapi yang terbukti efektif bagi anak-anak
dalam meningkatkan kemampuan memecahkan masalah,
meningkatkan harga diri, mengurangi kecemasan, pengendalian impuls
dan kemarahan (Landerth, 2004). Bainbridge (1996) dalam Suryani
(2011) menjelaskan bahwa bermain clay membantu dalam mengasah
kemampuan otak kanan dalam berkreatifitas, meningkatkan daya
imanjinasi dan melatih kerja saraf motorik anak.
Clay merupakan tanah liat, dengan materi alam yang diolah dan
dibentuk menjadi macam-macam bentuk yang akan dibuat sebagai
keramik (Designs, 2011 dalam Rochayah, 2012). Dalam
perkembangannya istilah clay digunakan dalam menyebut adonan yang
menyerupai tanah liat atau clay buatan (Wahyuningsih, 2012).

b. Macam-macam Clay
Macam-macam clay buatan menurut Suryani (2011) yaitu:
1) Paper clay: clay ini dibuat dari bubur kertas dan pengeringannya
dapat dilakukan dengan diangin-anginkan saja. Pembuatan clay ini
hanya dengan kertas koran, air, lem, tepung kanji dan dapat
dipercantik dengan warna yang ditambahkan.
2) Lilin malam: clay ini biasanya digunakan sebagai mainan anak-
anak yang banyak dijual di toko dengan bermacam-macam warna
dan mudah dibentuk. Bentuk akhirnya lunak dan tidak akan
mengeras sehingga dapat diolah kembali.
3) Polymer clay: clay ini dilakukan pengeringan dengan cara di
panggang dalam oven. Hasilnya dapat menyerupai batu alam,
plastik atau metal.
4) Air dry clay: clay ini sering disebut dengan clay jepang atau clay
korea karena clay tersebut umumnya didatangkan dari kedua
negara tersebut. Pengeringan clay ini cukup dengan diangin-
anginkan saja.
5) Jumping clay: clay ini menyerupai air dry clay, namun hasil
akhirnya akan lebih ringan dan pengeringannya cukup dengan
diangin-anginkan saja.
6) Plastisin (clay tepung): clay ini hampir sama dengan lilin malam,
namun bentuknya tidak selunak lilin malam dan lebih keras
dibandingkan dengan lilin malam. Clay ini dapat dibuat sendiri
dengan bahan dasar tepung jagung dan pengeringannya hanya
dengan diangin-anginkan saja.
c. Manfaat Clay Therapy
1) Mengembangkan kemampuan motorik halus. Karena dengan
adanya kegiatan mengepal, meremas dengan memijit, memipih,
menekan dan lain-lain dapat menggerakkan, melatih dan
memperkuat otot halus Si Kecil.
2) Mengenal konsep warna. Si Kecil menginginkan membentuk
suatu warna yang baru maka ia dapat mencampurkan macam-
macam warna sesuai dengan keinginannya.
3) Memperluas wawasan dan pengetahuan. Si Kecil tidak hanya
menerima apa yang sudah ada, namun ia akan mengetahui
bagaimana membuat suatu bentuk.
4) Mengembangkan imajinasi dan fantasi. Si Kecil akan
berimajinasi dan berfantasi sesuai dengan apa yang ia pikirkan, dan
dituangkan dalam bentuk kegiatan yang ingin ia lakukan.
5) Mendorong kepercayaan diri. Membiarkan Si Kecil membentuk
clay dapat menimbulkan sebuah rasa bertanggung jawab atas
sesuatu. Tentu saja hal ini merupakan hal yang baik, karena ia akan
merasa lebih percaya diri untuk mengkomunikasikan maksudnya.
Setelah Si Kecil belajar untuk mengekspresikan diri, ia akan
termotivasi untuk membuat sesuatu yang lebih baik lagi.
6) Menimbulkan rasa bangga atas pencapaiannya. Saat ia berhasil
membuat sebuah karya, timbul rasa bangga dan jangan segan ya
Yah untuk memuji pencapaian Si Kecil. (Yosi Avianti/Photo :
Various)
F. Kerangka Konsep

Anak prasekolah
Penyebab anak
karakteristik :
cemas karena :
1. Egosentris
1. Perpisahan
2. Perkembangan Hospitalisasi 2. Kehilangan
verbal meningkat
control
secara progresif
3. Luka pada
3. Fase inisiatif dan
tubuh dan
rasa bersalah
rasa
4. Fase falik
sakit/nyeri

Klasifikasi tingkat
kecemasan anak :
1. Ringan
2. Sedang
Diukur dengan modifikasi 3. Berat
dan dikembangkan dari 4. Panik
Hockenberry dan Wilson
(2007) dan Subardiah
(2009).

Terapi bermain
clay/lilin/malam

Gambar 2.1
Kerangka Teori Penelitian
Sumber : (potter & perry, 2006, Nursalam, dkk, 2005; hawari, 2001, dan hidayat, 2005)
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Studi : Studi Kasus


Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian
pra eksperiment dengan rancangan One Group Pre Test And Post Test
Design. Kelompok eksperimen dilakukan pengamatan awal (pretest)
terlebih dahulu sebelum diberikan perlakuan, setelah diberikan perlakuan
lalu dilakukan pengamatan akhir (posttest).

B. Karakteristik Partisipan
Kriteria inklusi penelitian ini adalah :
1. Anak yang dirawat berusia 3-6 tahun
2. Anak yang mengalami hospitalisasi pertama kali
3. Anak tidak menderita fraktur pada tangan, anak dalam keadaan sadar
(compos mentis)
4. Anak dan keluarga bersedia ikut dalam penelitian
5. Anak dan orangtua dapat diajak berkomunikasi secara verbal serta
orang tua anak bisa membaca dan menulis
6. Anak mau mengikuti kegiatan terapi bermain dari awal sampai akhir.
Sedangkan kriteria eksklusinya adalah :
1. Pasien usia prasekolah yang mengalami kelemahan dan keterbatasan
gerak seperti bedrest total, kondisi yang sangat lemah, fraktur, pasien
anak yang mengalami gangguan mental.
2. Pasien dan keluarga yang tidak kooperatif.

C. Fokus Intervensi
Pendekatan dengan terapi bermain clay untuk menurunkan tingkat
kecemasan pada anak usia prasekolah. Sebelum diberikan terapi bermain
clay peneliti melakukan pengambilan data kecemasan sebelum (pretest)
yang diisi oleh orangtua responden. Peneliti melakukan pendekatan pada
responden untuk diajak bermain bersama peneliti dengan bahasa yang
mudah dipahami oleh responden. Pelaksanaan terapi bermain clay
dilakukan selama 20 menit ditempat tidur anak sebanyak 2 kali pertemuan.
Setelah kegiatan terapi bermain clay selesai, peneliti melakukan
pengambilan data kecemasan sesudah (posttest) yang diisi oleh orangtua
responden.

D. Lokasi Dan Waktu Intervensi


1) Lokasi Penelitian dilaksanakan di RSUD Brebes.
2) Waktu penelitian akan dilaksanakan antara tanggal 17 april 2017
sampai 13 mei 2017.
3) Durasi pelaksanaan intervensi terapi bermain clay 20 menit.

E. Definisi Operasional
Definisi operasional yaitu untuk membatasi ruang lingkup atas
variabel-variabel yang diteliti dan diamati (Notoatmodjo,2005). Variabel
adalah obyek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu
penelitian (Arikunto, 2006).
Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu :
a) Variabel bebas
Terapi bermain clay
b) Variabel terikat
Tingkat kecemasan anak usia pra sekolah yang mengalami
hospitalisasi.
Definisi operasional dan skala pengukuran pada penelitian ini
dilihat dalam tabel dibawah ini :
Definisi Skala
No. Variabel Alat Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur
1. Bebas : Suatu kegiatan Memberikan 1. Anak tidak -
terapi untuk permainan clay melakukan
bermain menurunkan pada anak aktivitas
dengan clay tingkat bermain
kecemasan clay
dengan 2. Anak
menggunakan melakukan
clay/malam. aktivitas
bermain
clay
2. Terikat : Suatu kegiatan Observasi Menjumlahkan -
tingkat untuk terhadap perilaku hasil ukur yang
kecemasan menenurunkan yang ditampilkan dinyatakan
hospitalisasi tingkat oleh anak yang dalam skor
kecemasan didapatkan dari dengan nilai
pada anak hasil pengamatan minimal 15 dan
orangtua dengan nilai maksimal
menggunakan 60.
lembar observasi
yang terdiri dari
15 item.

F. Insrument Kegiatan
1. Lembar kuesioner kecemasan (khusus untuk anak usia prasekolah
menggunakan alat ukur kecemasan lembar observasi yang dimodifikasi
dan dikembangkan dari Widianti, Christina Ririn, 2011.
2. Alat permainan clay.
G. Langkah Dalam Melaksanakan Intervensi (SOP)
Tahap Prainteraksi:
1. Melakukan kontrak waktu
2. Menentukan responden
3. Mengecek kesiapan anak (tidak ngantuk, tidak rewel, keadaan umum
membaik/kondisi yang memungkinkan)
4. Menyiapkan alat
5. Mencuci tangan
Tahap Orientasi:
1. Memberikan salam dan menyapa nama anak
2. Memperkenalkan diri
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan terapi bermain clay
therapy
4. Menanyakan persetujuan dan kesiapan responden sebelum kegiatan
dilakukan
Tahap Kerja:
1. Memberi petunjuk pada anak mengenai cara bermain clay therapy
2. Mempersilahkan anak untuk melakukan permainan sendiri/ bersama
orang tua/ keluarga/ dibantu
3. Memotivasi keterlibatan anak dan keluarga
4. Memberi pujian pada anak bila dapat melakukan permainan clay
5. Meminta anak menceritakan apa yang dilakukan atau dibuatnya
dengan clay
6. Menanyakan perasaan anak setelah bermain clay
Tahap Terminasi:
1. Melakukan evaluasi hasil kegiatan sesuai tujuan
2. Berpamitan dengan anak
3. Membereskan dan mengembalikan alat ke tempat semula
4. Mencuci tangan
5. Mendokumentasikan hasil kegiatan
H. Langkah Dalam Pengumpulan, Pengolahan, Analisa, Dan Penyajian
Data
1. Metode pengumpulan data
Prosedur pengumpulan data :
a. Melakukan observasi untuk menilai tingkat kecemasan anak
sebelum dilakukan terapi bermain.
b. Melakukan wawancara kepada orangtua responden tentang tingkat
kecemasan anak.
2. Pengolahan Data
Data yang diperoleh dan terkumpul kemudian dilakukan
pengolahan data yang terdiri dari: editing, tabulating, dan entry data
(Notoatmodjo S, 2010).
Teknik Pengolahan Data
a. Editing
Pada penelitian ini peneliti melakukan pemeriksaan
terhadap data hasil wawancara berdasarkan pedoman lembar
observasi. Semua data dan informasi sudah terkumpul secara
lengkap dan benar.
b. Menghitung Data (Tabulating)
Langkah selanjutnya peneliti memasukkannya ke dalam
tabel.
c. Entry Data
Setelah semua data yang ada di dalam kuesioner diberi
kode maka langkah selanjutnya yang dilakukan peneliti adalah
memasukkan kode tersebut kedalam master tabel.
3. Analisa Data
Pada penelitian ini peneliti akan menganalisa data dengan cara
membandingkan hasil intervensi pada kelompok eksperimen apakah
ada perbedaan dan pengaruh intervensi terapi bermain clay terhadap
kecemasan pada anak usia prasekolah (3-6 tahun) yang menjalani
hospitalisasi.
4. Penyajian Data
Pada penelitian ini hasil data akan disajikan menggunakan tabel
dan narasi.

I. Etika Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika
penelitian dan sudah mendapat kode etik penelitian dari Fakultas
Keperawatan serta memberikan perlindungan dengan responden yang
menjadi subjek dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan untuk mencegah
timbulnya masalah etik yang dapat terjadi selama proses penelitian
berlangsung. Prinsip etika (Polit & Hungler, 2001, dalam Muthmainah,
2012) yang akan diterapkan penelitian ini yaitu :
1. Self determination
Dalam penelitian ini peneliti menghormati responden untuk bebas
menentukan pilihan ikut atau menolak penelitian. Peneliti tidak
memaksa atau menekan agar responden bersedia ikut dalam penelitian,
responden yang di wakili oleh ibunya bersedia langsung diminta untuk
menandatangani lembaran inform consent. Apabila responden menolak
untuk dilanjutkan dalam melakukan terapi bermain maka responden
boleh untuk keluar dan membatalkannya.
2. Anonymity dan confidentially
Peneliti merahasiakan berbagai informasi yang menyangkut privasi
responden dan ibunya dengan tidak menampilkan indentitasnya pada
instrumen penelitian yang peneliti buat hanya menampilkan inisial
pada kolom nama responden.
3. Beneficence dan non malaficence
Peneliti menjelaskan kepada responden bahwa penilitian ini
bermanfaat bagi responden dan penelitian ini tidak akan merugikan
responden.
4. Justice
Dalam melakukan penelitian, perlakukannya sama dilakukan
secara adil terhadap responden baik sebelum, selama, dan setelah
berpartisipasi dalam penelitian, tanpa ada diskriminasi. Perlakuan
terhadap responden yang satu dengan yang lain sama tidak ada
membedakan yang kaya dengan yang miskin.
DAFTAR PUSTAKA

Aniek Wirastania. (2016, Januari). Penggunaan Clay Therapy Dalam Program


Bimbingan Untuk Peserta Didik Tingkat Sekolah Dasar. Jurnal Fokus
Konseling Volume 2 No. 1 Hlm. 68-75.
http://ejournal.stkipmpringsewulpg.ac.id/index.php/fokus

Dera Altiyanti. (2007, Oktober). Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Tingkat


Kecemasan Anak Usia Prasekolah Selama Tindakan Keperawatan Di
Ruang Lukman Rumah Sakit Roesmani Semarang. FIKKES Jurnal
Keperawatan Vol.1No. 1 : 35 – 44.

Katinawati. Pengaruh Terapi Bermain Dalam Menurunkan Kecemasan Pada Anak


Usia Prasekolah (3-5tahun) Yang Mengalami Hospitalisasi Di Rumah
Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang.

Nor Ella Dayani. (2015, September). Terapi Bermain Clay Terhadap Kecemasan
Pada Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) Yang Menjalani Hospitalisasi Di
Rsud Banjarbaru. DK Vol.3/No.2.

Riski Sahara. (2015, November). Pengaruh Pemberian Terapi Bermain Terhadap


Penurunan Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Anak Usia
Prasekolah Di Rumah Sakit Permata Bunda. JURNAL THE SHINE
Cahaya Kebidanan. Edisi November 2015. ISSN 2503-2461.

Solikhah, U. (2011, Juli). Pengaruh therapeutic peer play terhadap kecemasan


dan kemandirian anak usia sekolah selama hospitalisasi dirumah sakit
wilayah banyumas.
Utami, Y. Dampak (2014, Mei-Juli). Hospitalisasi Terhadap Perkembangan Anak.
Jurnal Ilmiah WIDYA. TESIS. Volume 2 Nomor 2.

Warastuti, W., & Erlina Suci Astuti. (2015, September). Kecemasan Anak Usia
3-6 Tahun Dengan Hospitalisasi Pre Dan Post Pemberian Terapi Bermain.
Jurnal Keperawatan Terapan, Volume 1, No. 2 : 67-73. pISSN 2443-1125
eISSN 2442 8873.
Lampiran 1

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertandatangan dibawah ini setelah membaca dan mendengarkan


penjelasan dari peneliti serta memahami tujuan dan manfaat dari penelitian ini,
maka kami bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Kami menyadari bahwa
partisipasi kami sangat besar manfaatnya bagi peningkatan kesehatan anak yang
dirawat.
Demikian surat persetujuan saya yang dibuat dengan sukarela.

Tegal, ………………
Responden

(……….…………….)
Lampiran 2

LEMBAR OBSERVASI KECEMASAN ANAK

A. Identitas Responden
1. Nama anak (inisial) :
2. Umur anak/tanggal lahir :
3. Jenis kelamin :
4. Tanggal masuk :
5. Pernah dirawat pada usia 1-6 tahun :
6. Tanggal penilaian :
B. Petunjuk Pengisian
1. Beri tanda chek (√) pada kolom yang tersedia sesuai dengan
pengamatan yang anda lakukan terhadap anak anda selama 24 jam
dirawat.
2. Keterangan :
Kecemasan diobservasi menggunakan 15 item respon anak
yang dinilai dengan skala likert, yaitu selalu (SL) = 4, sering (SR) = 3,
kadang-kadang (KD) = 2, dan tidak pernah (TP) = 1 untuk pernyataan
positif. Sedangkan untuk pernyataan negative adalah selalu (SL) = 1,
sering (SR) = 2, kadang-kadang (KD) = 3, dan tidak pernah (TP) = 4.
Pernyataan positif terdapat pada pernyataan item 1, 2, 6, 11, 12 dan 15,
sedangkan sisanya adalah pernyataan negative.
a) SL (selalu) : jika anak selalu (antara 76-100%)
menunjukkan perilaku ringan.
b) SR (sering) : jika anak sering (antara 51-75%)
menunjukkan perilaku cemas sedang.
c) KD (kadang) : jika anak kadang-kadang (antara 26-50%)
menunjukkan perilaku cemas berat..
d) TP (tidak pernah) : jika anak tidak pernah (antara 0-25%)
menunjukkan perilaku panik.
Respon Anak
No. Respon Perilaku Anak Kadang Tidak
Selalu Sering
-kadang Pernah
A. Reaksi anak selama dalam
perawatan
1. Anak mau diberi makan
2. Anak mudah ditidurkan
3. Anak dengan diam-diam
menangisi orangtuanya
4. Anak terus menerus
menanyakan kapan
orangua/keluarganya
akan berkunjung
5. Anak mengekspresikan
marahnya dengan
menangisi/memukul
orang lain/menolak
selama aktivitas
perawatan
B. Reaksi anak pada saat
perawat masuk keruangan
tempat anak dirawat
6. Anak tetap bermain/
makan/minum, ekspresi
wajah tenang/wajar.
7. Anak segera mendekati
orangtuanya
8. Anak memegangi orang
tuanya atau keluarga
yang ada didekatnya
9. Anak menghisap ibu jari
tangannya atau
meremas-remas
tangannya
C. Reaksi anak ketika perawat
mendekati anak
10. Anak memegangi lengan
atau tangan orangtua
serta merapatkan
tubuhnya.
11. Anak diam
12. Ekspresi wajah anak
tenang/wajar
13. Anak segera
membelakangi perawat/
menyelimuti tubuh atau
mukanya berpura-pura
tidur
14. Anak mengajak
orantuanya untuk pulang
atau meninggalkan ruang
perawat
15. Anak mau ditinggal
sendiri
Lampiran 3

Standar Operasional Prosedur


TERAPI BERMAIN CLAY

1. Cara alamiah bagi anak untuk


mengungkapkan konflik dirinya
yang tidak disadari (Wong: 1991)
2. Bermain merupakan kegiatan yang
dilakukan untuk kesenangan yang
ditimbulkannya tanpa
mempertimbangkan hasil akhirnya
PENGERTIAN (Hurlock: 1978)
3. Kegiatan yang dilakukan sesuai
dengan keinginan dalam mengatasi
konflik dari dalam dirinya yang
tidak disadari serta dengan
keinginan sendiri untuk
memperoleh kesenangan (Roster:
1987)
1. Meminimalisir tindakan perawatan
yang traumatis
2. Mengurangi kecemasan
TUJUAN
3. Membantu mempercepat
penyembuhan
4. Sebagai fasilitas komunikasi
5. Persiapan untuk hospitalisasi atau
surgery
6. Sarana untuk mengekspresikan
perasaan
Terapi bermain diberikan pada :
1. Klien anak-anak dengan
INDIKASI hospitalisasi
2. Klien anak-anak yang mengalami
kecemasan
1. Rancangan program bermain yang
lengkap dan sistematis
PERALATAN
2. Alat bermain sesuai dengan
umur/jenis kelamin dan tujuan
Tahap Prainteraksi:
PROSEDUR 1. Melakukan kontrak waktu
PELAKSANA 2. Menentukan responden
3. Mengecek kesiapan anak (tidak
ngantuk, tidak rewel, keadaan
umum membaik/kondisi yang
memungkinkan)
4. Menyiapkan alat
5. Mencuci tangan

Tahap Orientasi:
1. Memberikan salam dan menyapa
nama anak
2. Memperkenalkan diri
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur
pelaksanaan terapi bermain clay
therapy
4. Menanyakan persetujuan dan
kesiapan responden sebelum
kegiatan dilakukan

Tahap Kerja:
1. Memberi petunjuk pada anak
mengenai cara bermain clay
therapy
2. Mempersilahkan anak untuk
melakukan permainan sendiri/
bersama orang tua/ keluarga/
dibantu
3. Memotivasi keterlibatan anak dan
keluarga
4. Memberi pujian pada anak bila
dapat melakukan permainan clay
5. Meminta anak menceritakan apa
yang dilakukan atau dibuatnya
dengan clay
6. Menanyakan perasaan anak setelah
bermain clay

Tahap Terminasi:
1. Melakukan evaluasi hasil kegiatan
sesuai tujuan
2. Berpamitan dengan anak
3. Membereskan dan mengembalikan
alat ke tempat semula
4. Mencuci tangan
5. Mendokumentasikan hasil kegiatan
Lampiran 4

C. Rencana Jadwal Kegiatan


Kegiatan Minggu Februari Maret April Mei
No.
Ke- 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Tahap Persiapan
2. Persetujuan Judul
Dan Mencari
Refrensi
3. Pembuatan BAB I
Dan BAB II
4. Studi Kasus Ke
Rumah Sakit
5. Konsul BAB I Dan
BAB II
6. Pembuatan BAB III
7. Konsul BAB I, II, III
8. Persetujuan Proposal
Penelitian
9. Sidang Proposal
10. Revisi BAB I, II, III
11. Mulai Penerapan
Terapi Bermain
12. Ujian Lahan
Seminat

Anda mungkin juga menyukai