Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING

NEUROCOGNITIVE DISORDER
SKENARIO : ALZHEIMER

DISUSUN OLEH:
Syela Margareth Wijaya (150120038)

TUTOR: Dr. Drs. Andrian Pramadi, M.Si.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SARJANA PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SURABAYA
2021
SKENARIO :

Saya memiliki masalah besar saat ini, yaitu Ayah saya (71 tahun) yang suka
menghilang dan tersesat dari rumah. Enam bulan belakangan ini ayah saya sering lupa
dimana menaruh barang. Pada awalnya saya pikir hal yang biasa karena sudah tua. Namun
akhir-akhir ini mulai bertambah parah. Ayah saya sering lupa dengan nama sendiri dan makin
sering tersesat. Perubahan ini tampak nyata karena ayah saya juga sulit untuk fokus, sering
keliru dalam mengambil keputusan, seringkali juga ayah sulit berkomunikasi seperti kesulitan
dalam mengungkap kata-kata atau bahkan memahami.
Tidak hanya itu saja, Ayah saya sangat sulit mengingat informasi baru. Tadi cucunya
baru saja datang ke rumah. Karena ia lupa nama cucunya, kami beritahu nama cucunya
adalah “Ani”. Tidak sampai satu menit, ayah saya sudah bingung lagi, bertanya, siapa ini
anak kecil yang sedang merangkak di rumahnya. Saat kami jelaskan bahwa itu adalah
cucunya, ia malah menolak mengatakan tidak punya cucu. Begitu seterusnya hingga kadang
kami sangat jengkel dibuatnya.
Tidak hanya mengalami kesulitan mengingat yang parah, perilaku ayah saya kerap
membuat situasi di rumah menjadi seram. Ayah saya sering berhalusinasi, mengatakan bahwa
ada orang-orang yang sering keluar masuk kamarnya. Ayah saya berkata kepada anggota
keluarga di rumah bahwa ia melihat anak-anak kecil, orang laki-laki, dan perempuan keluar
masuk kamarnya. Nyatanya, tidak ada satupun yang keluar masuk kamarnya karena di rumah
hanya ada saya selaku anaknya dan juga asisten rumah tangga. Ketika kami mengatakan
bahwa tidak ada siapa-siapa yang keluar masuk kamar, Ayah saya marah besar dan ngotot
menjelaskan bahwa ia tidak berbohong.
Lelah rasanya menghadapi perubahan perilaku dan juga emosi ayah saya ini. Mungkin
karena kondisi-kondisi yang terjadi itu, Ayah juga makin mengurung diri dan saya pribadi
merasa seperti tidak mengenal ayah saya lagi. Ada apa dengan Ayah saya dan apa yang harus
saya lakukan?
1. Diagnosis apa yang paling mendekati gejala di atas?
2. Proses neuropsikologis apa yang menyebabkan gejala di atas?
3. Neuropsychological Assessment apa yang bisa digunakan untuk mendeteksi gangguan
di atas?
4. Tinjauan psikofaramakologi apa yang terkait dengan gangguan di atas?
5. Apa yang dapat anggota keluarga lakukan untuk mendukung individu dengan kondisi
di atas?

2 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


BAGIAN I
PRIOR KNOWLEDGE: TERMINOLOGI

Berdasarkan dari cerita kasus pada skenario diatas, terdapat beberapa permasalahan
yang dialami oleh subjek yaitu; kognitif, verbal/komunikasi, dan berhalusinasi. Beberapa
diagnosis yang sempat terpikirkan sesuai dengan gambaran permasalahan yang terjadi dari
kasus diatas adalah skizophrenia dan alzheimer. Awalnya, peneliti mendiagnosis bahwa ini
adalah gangguan skizophrenia karena terdapat gejala halusinasi. Berdasarkan DSM-V, gejala
skizophrenia dapat berupa; delusi, halusinasi, cara bicara yang tidak teratur, catatonic
behavior/perilaku yang tidak biasa, penurunan ekspresi dan emosi. Dilihat bahwa pada cerita
kasus diatas tidak disebutkan mengenai gejala delusi dan catatonic behavior sehingga,
peneliti memutuskan kalau skizophrenia bukanlah diagnosis yang tepat.
Kemudian, alzheimer adalah pertimbangan diagnosis kedua dikarenakan beberapa
gejala alzheimer juga sesuai. Alzheimer merupakan salah satu jenis dari Neurocognitive
Disorder (NCD) atau yang bisa disebut dengan demensia. Demensia adalah suatu gangguan
yang presisten dari gangguan intelektual (Kolb & Wishaw, 2015). NCD memiliki 2 jenis
gangguan yaitu major NCD dan mild NCD, kedua gangguan ini berpengaruh juga terhadap
gangguan alzheimer. Berdasarkan DSM-V, gejala alzheimer pada mild NCD berkaitan
dengan penurunan pada memori dan pembelajaran, yang terkadang disertai juga dengan
penurunan executive function. Pada major NCD terdapat penurunan pada visuoconstructional
dan bahasa. Pada tahap mild NCD, gejala depresi dan apatis dapat terlihat pada gangguan
alzheimer. Pada tahap menengah major NCD, gangguan alzheimer juga nampak pada gejala
psikotik, iritabilitas, agitasi, agresif, dan perilaku wandering. Serta, biasanya pada tahap akhir
dari alzheimer dapat mengalami gangguan gaya berjalan, disfagia, inkontinensia, mioklonus,
dan seizures/kejang.
Berdasarkan kemungkinan diagnosis diatas, dapat disimpulkan bahwa alzheimer
merupakan diagnosis yang paling mendekati pada kasus cerita pada bab sebelumnya. Hal ini
dikarenakan gejala-gejala dari alzheimer yang diambil dari DSM-V memiliki kemiripan pada
cerita kasus diatas.

3 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


BAGIAN II
PENENTUAN MASALAH BELAJAR

Tentukan bersama kelompok apa learning problem yang perlu Anda dalami dari kasus.
Bersama kelompok, silahkan tentukan hal-hal apa saja yang Anda rasa perlu diketahui dari
kasus untuk memahami neuropsikologi dari gangguan yang dimaksud.

LEARNING PROBLEM

1. Diagnosis apa yang paling mendekati gejala di atas?


2. Penyebab dari alzheimer
3. Proses neuropsikologis apa yang menyebabkan gejala di atas?
4. Neuropsychological Assessment apa yang bisa digunakan untuk mendeteksi
gangguan di atas?
5. Tinjauan psikofaramakologi apa yang terkait dengan gangguan di atas?
6. Apa yang dapat anggota keluarga lakukan untuk mendukung individu dengan
kondisi di atas?

4 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


BAGIAN III
DISKUSI DAN PEMBAHASAN
A. Diagnosis
Berdasarkan cerita kasus diatas, terdapat permasalahan yang dialami oleh
subjek yaitu; kognitif, bahasa/komunikasi, dan berhalusinasi. Dalam kasus diatas,
subjek mengalami penurunan kognitifnya yang ditandai dengan subjek sering lupa
dengan nama sendiri dan sering tersesat. Subjek juga sulit mengingat informasi yang
baru, sulit untuk fokus, dan mengalami kesulitan saat pengambilan keputusan. Pada
bahasa, subjek mengalami permasalahan yaitu berkomunikasi seperti kesulitan
berkata-kata dan memahami. Subjek juga ditandai sering berhalusinasi seperti melihat
sosok-sosok yang sebenarnya tidak ada.
Dari permasalahan yang ditunjukkan oleh subjek, terdapat pertimbangan 2
diagnosis yang memungkinkan terjadi pada subjek. Petama, skizophrenia, awalnya
peneliti berasumsi bahwa subjek mengalami gangguan skizophrenia karena ada gejala
halusinasi yang timbul. Namun, setelah diteliti melalui Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (DSM-V), skizophrenia memiliki gejala; delusi,
halusinasi, cara bicara yang tidak teratur, catatonic behavior/perilaku yang tidak
biasa, penurunan ekspresi dan emosi. Dari gejala-gejala tersebut, maka peneliti
menyimpulkan kalau dari kasus subjek tidak mengalami skizophrenia. Hal ini
dikarenakan subjek tidak mengalami delusi dan catatonic behavior, serta tidak
memiliki permasalahan dalam kognitifnya.
Kemudian, untuk pertimbangan diagnosis yang kedua adalah alzheimer. Hal
ini dikarenakan alzheimer memiliki gejala yang serupa dengan gejala permasalahan
yang dialami oleh subjek. Berdasarkan DSM-IV, gangguan alzheimer lebih umum
terjadi pada lanisa yang diatas 65 tahun dan lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin
perempuan daripada laki-laki. Alzheimer merupakan salah satu jenis dari
Neurocognitive Disorder (NCD) atau yang bisa disebut dengan demensia (DSM-V).
Demensia adalah suatu gangguan yang presisten dari gangguan intelektual (Kolb &
Whishaw, 2015). NCD memiliki 2 jenis gangguan yaitu major NCD dan mild NCD,
kedua gangguan ini berpengaruh juga terhadap gangguan alzheimer. Berdasarkan
DSM-V, gejala alzheimer pada mild NCD berkaitan dengan penurunan pada memori
dan pembelajaran, yang terkadang disertai juga dengan penurunan executive function.
Pada major NCD terdapat penurunan pada visuoconstructional dan bahasa. Pada
tahap mild NCD, gejala depresi dan apatis dapat terlihat pada gangguan alzheimer.
Pada tahap menengah major NCD, gangguan alzheimer juga nampak pada gejala
psikotik, iritabilitas, agitasi, agresif, dan perilaku wandering. Biasanya pada tahap
akhir dari alzheimer dapat mengalami gangguan gaya berjalan, disfagia,
inkontinensia, mioklonus, dan seizures/kejang.
Berdasarkan gejala yang ditunjukkan pada gangguan alzheimer, dapat
disimpulkan bahwa alzheimer adalah diagnosis yang tepat pada kasus yang dialami
subjek. Hal ini karena gejala permasalahan yang dialami subjek sesuai (kognitif,
bahasa, dan halusinasi).

5 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


B. Penyebab Alzheimer
1. Genetik
Penyakit gangguan alzheimer rupanya memiliki keterkaitan dengan genetik
dalam suatu keluarga. Rupanya sebesar 70% gangguan alzheimer memiliki faktor
pengaruh dari genetik. Beberapa kasus awal alzheimer memiliki keterkaitan
genetik yang diwariskan dalam pola autosomal dominan dan mutasi pada gen
dominan seperti Amyloid precursor protein (APP), Presenilin-1 (PSEN-1),
Presenilin-2 (PSEN-2), dan apolipoprotein E (ApoE) (Breijyeh & Karaman,
2020). Gen apolipoprotein E (ApoE) merupakan salah satu faktor penyebab gen
yang umum terjadi pada gangguan alzheimer (Munoz & Feldman, 2000).
2. Abnormalitas Protein
Pada gangguan alzheimer, salah satu penyebabnya adalah adanya
abnormalitas protein. Abnormalitas ini dikenal sebagai neurofibrillary tangles dan
senile plaques. Neurofibrillary tangles atau yang disebut dengan belitan
neurofibriler adalah suatu kumpulan protein yang disebut tau protein sedangkan
senile plaques adalah suatu plak yang terdiri dari kumpulan protein yang disebut
dengan beta-amyloid protein (Breijyeh & Karaman, 2020; Munoz & Feldman,
2000). Neurofibrillary tangles merupakan salah satu dampak dari adanya penuaan.
Pada orang dengan gangguan alzheimer, neurofibrillary tangles dapat
menyebabkan kematian saraf. Beberapa area otak seperti hippokampus jika
terdapat neurofibrillary tangles akan menyebabkan terjadinya penurunan dalam
memori khususnya belajar dan penerimaan suatu informasi baru (Munoz &
Feldman, 2000). Senile plaques rupanya memiliki kemiripan dengan
neurofibrillary tangles baik dari segi pendistribusian dan komposisi kimianya
yang dimana juga dapat menyebabkan gangguan alzheimer itu sendiri. Pada
gangguan alzheimer, senile plaques akan muncul tergantung pada genetik dan
faktor buruk lingkungan, serta patologi otak komorbiditas (Arriagada et al;
Fukumoto et al, dalam Munoz & Feldman, 2000).
3. Penuaan
Penuaan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan gangguan
alzheimer. Penuaan berkaitan dengan penurunan yang terjadi melalui organ dan
sistem sel yang hal ini pula juga berkaitan dengan penurunan volume dan berat
otak, hilangnya sinapsis, pembesaran ventrikel di daerah tertentu disertai dengan
adanya neurofibrillary tangles dan senile plaques. Pada alzheimer awal cukup
sulit dideteksi dikarenakan faktor penuaan ini memiliki keterkaitan dengan
penurunan kognitif yang dimana hal ini merupakan hal yang wajar (Breijyeh &
Karaman, 2020).
4. Faktor Lingkungan
a. Polusi Udara
Pada gangguan alzheimer, polusi udara turut memberikan dampak dalam
kemunculannya gangguan ini. Polusi udara yang dapat mengancam
berdasarkan National Ambient Air Quality Standards (NAAQSs) adalah ozon
(O3), nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), materi partikulat (PM),
sulfur dioksida (SO2), dan timbal (Breijyeh & Karaman, 2020). Pada

6 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


seseorang yang terpapar oleh polusi udara dapat mengakibatkan stress
oksidatif, peradangan saraf, degenerasi saraf, dan kemunculan
hiperfosforilasi protein tau dan plak beta-amyloid pada korteks frontal yang ini
dapat mempengaruhi penurunan pada kognitif (Croze & Zimmer; Moulton &
Yang, dalam Breijyeh & Karaman, 2020).
b. Diet
Peran dalam nutrisi pada seseorang juga turut mempengaruhi gangguan
alzheimer. Beberapa suplemen diet seperti antioksidan, vitamin, zat polifenol
(banyak ditemukan di tumbuhan), dan ikan dapat menurunkan resiko
gangguan alzheimer, sedangkan seperti jenis lemak jenuh dan
pengkonsumsian tinggi kalori dapat meningkatkan resiko gangguan alzheimer
(Hu et al dalam Breijyeh & Karaman, 2020). Kekurangan nutrisi seperti folat,
vitamin B12, dan vitamin D juga dapat menurunkan fungsi kognitif yang hal
ini juga berkaitan dengan salah satu penyebab gangguan alzheimer (Koyama
et al dalam Breijyeh & Karaman, 2020).
c. Metal
Salah satu jenis metal seperti aluminium ternyata dapat mempengaruhi
terjadinya gangguan alzheimer. Aluminium dapat digunakan dalam industri
seperti dalam makanan olahan, kosmetik, obat-obatan, dan lain-lain. Ketika
aluminium masuk dalam tubuh, aluminium dapat terakumulasi dalam area
korteks, hippokampus, dan cerebellum yang dimana ini akan berinteraksi
terhadap protein dan mengakibatkan misfolding, agregasi, fosforilasi protein
(tau protein) yang hal ini dapat memberikan pengaruh terhadap gangguan
alzheimer (Colomina & Peris-Sampedro, dalam Breijyeh & Karaman, 2020).
d. Infeksi
Infeksi kronis pada sistem saraf pusat dapat mengakibatkan akumulasi plak
beta-amyloid dan neurofibrillary tangles yang hal ini dapat mempengaruhi
resiko terjadinya alzheimer. Virus herpes simplex (HSV-1) juga berperan
dalam peningkatan beta-amyloid yang dimana dapat mengakibatkan kerusakan
pada neuron dan menyebabkan alzheimer. Bakteri juga dapat berpotensi dalam
peningkatan alzheimer, seperti bakteri spiroket yang terakumulasi dalam
korteks cerebral, dapat memproduksi suatu lesi yang mirip dengan
neurofibrillary tangles yang hal ini dapat menyebabkan gangguan
neurodegeneratif (Breijyeh & Karaman, 2020).
5. Penyakit
a. Penyakit Kardiovaskular
Kardiovaskular merupakan salah satu faktor resiko dalam alzheimer. Penyakit
seperti stroke memiliki keterkaitan dengan meningkatnya resiko demensia
yang dikarenakan hilangnya jaringan saraf. Hal ini dapat meningkatkan efek
degeneratif dan mempengaruhi amyloid serta permasalahan tau protein.
Hipotesis dari penyakit jantung koroner menunjukkan bahwa aterosklerosis,
penyakit ateri perifer, hipoperfusi, dan emboli memiliki keterkaitan dengan
kemunculan alzheimer. Hipertensi juga memiliki keterkaitan dalam
kemunculan resiko alzheimer (Breijyeh & Karaman, 2020).

7 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


b. Obesitas dan Diabetes
Seseorang dapat dikatakan obesitas jika memiliki jumlah benyak yang
melebihi kalkulasi Body Mass Index (BMI). Jumlah lemak yang banyak dalam
tubuh dapat mengakibatkan penurunan suplai darah ke otak sehingga
menyebabkan iskemia otak atau peredaran darah yang berkurang di otak,
hilangnya memori, serta demensia vaskular. Pada obesitas sangat berkaitan
dengan diabetes dimana dapat memberikan efek terhadap jaringan perifer dan
pembuluh darah. Diabetes juga dapat menyebabkan penurunan kognitif yang
disebabkan oleh peningkatan beta-amyloid, stress oksidatif, disfungsi
mitokondria, dan neuroinflamasi saraf sehingga, obesitas dan diabetes
merupakan salah satu faktor pemicu alzheimer (Breijyeh & Karaman, 2020).

C. Proses Neuropsikologis yang Mempengaruhi


Pada gangguan alzheimer memiliki keterkaitan dengan permasalahan pada
kognitifnya. Orang dengan gangguan alzheimer memiliki permasalahan pada lobus
temporal medial, khususnya pada hippokampus dan korteks entorhinal yang hal ini
berpengaruh pada jaringan saraf yang penting pada memori episodik (Braak & Braak,
dalam Weintraub et al., 2015). Weintraub et al (2015) mengatakan bahwa, pada orang
dengan gangguan alzheimer memiliki penurunan dalam memori episodik, yang
dimana mereka dengan gangguan ini kesulitan untuk belajar, menyimpan suatu
informasi yang baru, kesulitan untuk recall dan recognition. Hippokampus dan
korteks entorhinal berpengaruh penting terhadap penurunan kemampuan belajar dan
mengingat suatu informasi. Fungsi dari hippokampus adalah berperan penting dalam
pemrosesan memori. Hippokampus juga memiliki peranan dalam memori faktual
serta memori jangka panjang atau (Weiten, 2013). Sedangkan korteks entorhinal
memiliki fungsi sebagai jalur penghubung menuju hippokampus yang dimana jika
korteks entorhinal bermasalah akan menimbulkan dampak pada hippokampus (Kolb
& Whishaw, 2015). Suatu studi menunjukkan bahwa pada orang dengan gangguan
alzheimer memiliki permasalahan dalam volume pada korteks entorhinal yang hal ini
menyebabkan permasalahan memori dalam gangguan alzheimer. Perbedaan volume
pada korteks entorhinal sebelah kiri inilah yang mempengaruhi pada struktur otak
(yang juga mempengaruhi hippokampus) (Khan et al; Takehara-Nishiuchi, dalam
López et al., 2014).
Pada gangguan alzheimer, gejala yang terjadi juga terdapat permasalahan
dalam bahasa seperti pada kasus subjek diatas. Subjek mengalami kesulitan dalam
berkata-kata atau berbicara dan memahami kata-kata. Pada orang-orang yang
memiliki gangguan alzheimer, mereka memiliki penurunan dalam level semantik dan
pragmatik pada pemrosesan bahasa mereka (Savundranayagam, dalam Ferris &
Farlow, 2013). Menurut Weiten (2013), semantik adalah area bahasa yang berkaitan
dengan memahami arti dari kata-kata dan kombinasi kata-kata. Pragmatik adalah
tahapan bahasa dalam memahami makna suatu kata-kata atau kalimat dalam situasi
sosial (Savundranayagam, dalam Ferris & Farlow, 2013). Bagian otak yang
mempengaruhi area bahasa adalah lobus temoral. Lobus temporal bagian kiri
berfungsi untuk mengetahui suatu bahasa yang biasannya menyimpan apa arti dari

8 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


suatu bahasa. Pada orang demensia yang juga memiliki permasalahan dalam bahasa,
kerusakan pada lobus temporal dapat mengakibatkan seseorang menjadi kesulitan
dalam mengenali arti suatu kata dan mengungkapkannya (Surendranathan &
McKiernan, 2019).
Penurunan pada executive function juga merupakan salah satu gejala dari
alzheimer. Orang dengan gangguan alzheimer akan tampak kesusahan dalam
mengingat informasi, pemecahan masalah, dan fokus. Penurunan dalam executive
function pada gangguan alzheimer disebabkan oleh adanya neurofibrillary tangles
(belitan-belitan neurofibriler) pada korteks prefrontal (Johnson et al; Waltz et al,
dalam Weintraub et al., 2015). Terlihat juga pada gangguan alzheimer memiliki
permasalahan pada working memory yang merupakan tempat penyimpanan memori
sementara.
Pada gangguan alzheimer, penurunan pada kemampuan visual spatial juga
termasuk sebagai indikator alzheimer. Penurunan pada visual spatial akan
menyebabkan seseorang akan kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan yang
berhubungan dengan kemampuan visuopersepsi dan orientasi visual (Weintraub et al.,
2015). Maka tidak heran jika orang dengan gangguan alzheimer sering kali memiliki
permasalahan tersesat. Pada orang gangguan alzheimer terdapat neuropatologi yang
terjadi pada korteks occipital dan korteks posterior parietal (Hof et al; Renner et al,
dalam Weintraub et al., 2015). Permasalahan visual pada gangguan alzheimer juga
terjadi pada atrofi kortikal posterior yang dimana terdapat neurofibrillary tangles dan
neuritic plaques di kortikal posterior (Hof et al, dalam Weintraub et al., 2015). Pada
gangguan alzheimer, ketika korteks occipital rusak maka akan menyebabkan
sesoerang mengalami kesulitan dalam visualnya dan beberapa kasus yang terjadi
dapat menyebabkan halusinasi (Surendranathan & McKiernan, 2019). Kasus
halusinasi memang lebih umum dijumpai pada demensia dengan kasus lewy bodies
dan parkinson namun, pada alzheimer juga dapat mengalaminya. Halusinasi ini
awalnya dapat disebabkan oleh permasalahan pada penglihatan yang lama-kelamaan
memburuk sehingga memunculkan halusinasi, permasalahan ini juga dapat
dinamakan sebagai Sindrom Charles Bonnet (Harwood & Surr, 2021).

D. Asesmen
Pada pendiagnosisan seseorang yang memungkinkan mengalami gejala
alzheimer tentunya tidak terlepas dari adanya asesmen. Sebelumnya telah dibahas
bahwa alzheimer merupakan suatu jenis dari demensia. Untuk asesmen sendiri
terdapat banyak jenisnya, beberapa asesmen yang dapat digunakan untuk gangguan
alzheimer diantaranya:
1. Mini-Mental State Exam (MMSE)
Mini-Mental State Exam (MMSE) merupakan salah satu asesmen yang paling
umum digunakan di seluruh dunia (Sheehan, 2012). MMSE merupakan suatu tes
pemeriksaan kognitif yang dapat digunakan pada demensia. Penggunaan tes ini
hanya dilakukan selama 5-10 menit yang memiliki konsentrasi pada aspek fungsi
kognitif yaitu, orientasi, memori, atensi, kalkulasi, bahasa, dan konstruksi visual
(Duong et al., 2017; Sheehan, 2012).

9 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


2. Abbreviated Mental Test Score (AMTS)
Abbreviated Mental Test Score (AMTS) merupakan suatu tes yang memiliki 10
skala item. AMTS dapat digunakan untuk semua ahli klinis yang hanya
menggunakan waktu selama 3-4 menit. AMTS merupakan salah satu alat tes yang
umum banyak digunakan (Sheehan, 2012). Alat ukur ini mengukur orientasi,
atensi, memori, dan general knowledge (Duong et al., 2017).
3. Montreal Cognitive Assessment (MoCA)
Montreal Cognitive Assessment (MoCA) merupakan alat ukur yang digunakan
untuk membantu skrining dari alzheimer. Alat ukur ini dapat digunakan pada
semua ahli klinis dan hanya memakan waktu selama 10 menit. Alat ukur ini
mengukur atensi, executive function, conceptual thinking, memori, bahasa,
kalkulasi, dan orientasi (Sheehan, 2012).
4. Clock Drawing Test (CDT)
Pada CDT, pasien diberikan perintah untuk menggambar bentuk jam dengan
angka dan jarum jam yang menunjukkan jam tertentu. Alat tes ini merupakan alat
tes yang cukup mudah dan merupakan tes yang dapat digunakan pada penderita
demensia. (Sheehan, 2012).
5. Mini-Cog
Mini-Cog merupakan alat tes yang hanya memakan waktu selama 3 menit yang
dapat digunakan untuk skrining gangguan demensia. Alat ukur ini dikombinasikan
dengan clock drawing test setelah mengalami penundaan recall pada 3 kata
(Duong et al., 2017; Sheehan, 2012).
6. General Practitioner assessment of Cognition (GPCOG)
Merupakan alat tes yang digunakan untuk mendeteksi gangguan kognitif yang
umum digunakan untuk penderita gejala demensia. Alat tes ini terdiri dari tes
pemeriksaan kognitif dan wawancara informan yang memakan waktu sekitar
kurang lebih 6 menit (Duong et al., 2017; Sheehan, 2012).
7. Memory Impairment Screen (MIS)
Merupakan alat ukur dengan 4 skala item yang dapat digunakan untuk mendeteksi
beberapa tipe dari demensia. Alat ukur ini merupakan alat ukur alternatif untuk
GPCOG, 6-CIT, clock-drawing, Mini-Cog atau AMTS (Duong et al., 2017;
Sheehan, 2012).
8. Alzheimer’s Disease Assessment Scale (ADAS)
ADAS merupakan alat ukur yang digunakan untuk menilai disfungsi kognitif dan
non kognitif pada penderita gangguan alzheimer. Alat ukur ini memiliki 2 sub
skala dengan total 21 item. 10 item pada ADAS-Noncog dan 11 item pada ADAS-
Cog. Untuk ADAS-Noncog digunakan untuk meneliti mood dan perubahan
perilaku, sedangkan unttuk ADAS-Cog digunakan untuk meneliti bidang kognitif
seperti memori, bahasa, dan praxis (Rosen et al, dalam Kueper et al., 2018).
Pada negara-negara seperti negara bagian asia timur, alat tes atau asesmen
yang umum digunakan adalah Mini-Mental State Exam (MMSE), Montreal Cognitive
Assessment (MoCA), Clock Drawing Test (CDT), dan Mini-Cog. Hal ini ditinjau dari
adanya beberapa validasi adaptasi alat tes yang telah digunakan pada negara-negara
timur seperti bagian asia namun, beberapa alat tes adaptasi ini mungkin terdapat

10 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


modifikasi untuk menyesuaikan dengan budaya berbagai negara di asia. Seperti pada
MMSE, alat ukur ini telah memiliki banyak adaptasi di berbagai negara asia (Rosli et
al., 2016) dan beberapa memiliki perbedaan seperti dalam hal pengelolaannya karena
beberapa item yang di modifikasi, yang sama halnya dengan alat tes MoCA (Shim et
al., 2017). Pada pengukuran MMSE ternyata memiliki pengaruh terhadap umur,
pendidikan seseorang khususnya pada bahasa, etnis dan perbedaan kultur yang
dimana ini akan berpengaruh terhadap keakuratan hasil alat ukur (Mathuranath et al;
Ibrahim et al; Dong et al; Ridha & Rossor, dalam Rosli et al., 2016).
Kemudian, pada alat tes Mini-Cog juga banyak diaplikasikan pada negara-
negara asia karena alat tes ini adalah alat tes yang memiliki waktu singkat dalam
pengukuran serta sangat bagus dalam skrining awal pendektesian demensia (Nurfanti
& An, 2019; Yang et al., 2016). Kemudahan CDT dalam pengadministrasikannya
juga merupakan salah satu alat tes yang banyak digunakan di beberapa negara atau
cross cultural. CDT merupakan salah satu alat tes yang memiliki ke efektifan yang
baik dalam pendeteksian demensia pada lansia di berbagai multi etnis (Borson et al.,
1999). Bahkan CDT adalah alat tes yang baik dalam pendeteksian awal demensia
pada orang-orang dengan tingkat pendidikan yang rendah (Munang et al., 2010).

E. Psikofarmakologi
Untuk pengobatan bagi seseorang atau pasien yang memiliki gangguan
alzheimer, medikasi dapat dilakukan dengan menggunakan inhibitor
asetilkolinesterase (AchEIs) dan antagonis reseptor N-metilD-aspartat (NMDA),
seperti memantine. AchEIs dikenal dapat menurunkan atau mengatasi gangguan
alzheimer dari yang ringan hingga parah (Doody et al, dalam Apostolova, 2016).
Terdapat 3 obat golongan inhibitor asetilkolinesterase yang disetujui oleh Amerika
Serikat yaitu; donepezil, rivastigmin, dan galantamine. Ketiga obat ini dapat terbukti
dalam menurunkan gejala kognitif pada alzheimer dalam hal memori dan atensi. Efek
samping pada ketiga obat ini seperti pada gejala gastrointestinal atau pada pencernaan
(muntah, diare). Efek samping lain seperti bradikardia (heart block) juga dapat terjadi
(Apostolova, 2016). Memantine biasanya merupakan obat yang digunakan sebagai
tambahan pada terapi obat AchEIs. Memantine telah disetujui oleh FDA (Badan
Pengawas Obat dan Makanan) Amerika Serikat sebagai obat yang dapat menangani
gangguan alzheimer kelas berat. Memantine memberikan efek positif dalam hal
kognitif seperti berpikir dan memori, serta gangguan perilaku (Alamri et at., 2021;
Apostolova, 2016). Memantine dapat memberikan efek samping seperti mudah
bingung dan pusing. Pada permasalahan depresi, pengobatan pada alzheimer dapat
dilakukan dengan menggunakan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRi). SSRi
juga dapat mengatasi kecemasan, iritabilitas, atau permasalahan yang dapat mengarah
pada depresi. Untuk jenis obatnya dapat menggunakan quetiapine, risperidone,
olanzapine. Namun, penggunaan obat-obatan ini harus diperhatikan dosis
penggunaannya khususnya pada usia lansia karena, obat antipsikotik ini dapat
menyebabkan peningkatan kardiovaskuler dan cerebrovaskular yang dapat berakhir
kematian (Apostolova, 2016).

11 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


Pada permasalahan gangguan perilaku alzheimer, penanganan dapat dilakukan
dengan menggunakan teknik nonfarmakologis. Misalnya, untuk mengatasi masalah
disorientasi pada gangguan alzheimer dapat dilakukan dengan cara membiasakan
subjek dalam lingkungan yang tenang dan familiar dengan pencahayaan yang terang
serta pemberian nama disetiap tempat. Kemudian, perilaku agresif pada pasien atau
subjek juga dapat ditenangkan dengan menggunakan bahasa yang positif (Apostolova,
2016). Pada gangguan alzheimer juga sangatlah penting dilakukannya partisipasi
dalam kegiatan sosial dan olahraga karena, hal ini dapat mengurangi gejala alzheimer.

F. Peran Keluarga
Para penderita alzhemier tentunya perlu diberikan dukungan khusus dan sosok
pengasuh (caregiver) dikarenakan penderita alzheimer tidak dapat melakukan
aktivitasnya secara sendirian. Semua permasalahan pada penderita alzheimer bersifat
unik dan berbeda-beda. Caregiver dapat berupa siapa saja baik anggota keluarga
maupun pengasuh bayaran. Anggota keluarga yang berperan sebagai caregiver
biasanya mereka memiliki peran ganda dimana harus bekerja sekaligus mengasuh
anggota keluarganya yang memiliki alzheimer. Disinilah mereka terkadang harus
mengambil keputusan apakah harus bekerja atau mengasuh (Khikmatin &
Desiningrum, 2018). Menjadi caregiver alzheimer harus memiliki beberapa
karakteristik tertentu. Beberapa karakteristik untuk menjadi caregiver alzheimer
menurut Alzheimer’s Universe dan Home Care Assistance, diantaranya:
1. Menghargai Kemandirian
Seorang caregiver memang berperan penuh dalam hal mengasuh dan merawat
penderita alzheimer namun, jangan sampai peran caregiver disini mengambil
atau melarang seluruh hal aktivitas yang dilakukan pada penderita alzheimer.
Peran caregiver harus memberikan kesempatan pada penderita alzheimer
untuk melakukan aktivitas apapun selagi mereka bisa melakukannya dan tetap
mengawasinya.
2. Mampu Beradaptasi
Caregiver harus bisa mampu beradaptasi dalam merawat dan mengasuh
penderita alzheimer. Hal ini dikarenakan para penderita alzheimer memiliki
perilaku yang unik dan harus bisa menerima tantangan yang terjadi. Caregiver
harus bisa fleksibel dalam menemukan metode-metode baru untuk mengatasi
permasalahan yang beragam pada penderita alzheimer.
3. Bijaksana
Maksud dari bijaksana disini, caregiver jangan sampai membatasi kegiatan
atau aktivitas yang disukai oleh penderita alzheimer. Misalnya, membatasi
penderita alzheimer untuk tidak jalan-jalan keluar rumah. Peran caregiver
disini justru harus bisa bijaksana dalam mengkondisikan bagaimana caranya
agar penderita alzheimer bisa aman. Misalnya dengan mengajak jalan-jalan
penderita alzheimer agar ia tidak tersesat atau berjalan sendirian.
4. Sabar
Kesabaran sangatlah dibutuhkan bagi semua caregiver dalam menangani
penderita alzheimer. Hal ini dikarenakan penderita alzheimer memiliki

12 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


permasalahan-permasalahan seperti penurunan dalam memorinya, sehingga
mereka menjadi mudah lupa atau pikun. Kemudian, penurunan dalam fungsi
bahasanya, sehingga mereka juga sulit berkomunikasi, dan permasalahan
disorientasi yang bisa membuat terkadang penderita alzheimer tersesat.
Caregiver juga harus sabar dalam menghadapi perubahan psikologis para
penderita alzheimer karena, kerap kali mereka juga mengalami depresi dan
bersikap acuh. Bahkan terkadang juga terdapat kasus pada penderita alzheimer
yang memiliki halusinasi (Khikmatin & Desiningrum, 2018).
5. Memiliki Motivational Skill
Penderita alzheimer mungkin kerap kali merasa memiliki permasalahan
terhadap kegiatannya sehari-sehari. Mereka mungkin bisa menjadi frustasi
terhadap kegiatan dulunya yang mereka anggap gampang. Peran caregiver
disini selain membantu pada permasalahan yang dialami oleh penderita
alzheimer juga harus bisa memberikan motivasi atau dorongan agar para
penderita alzheimer bisa mandiri melakukan kegiatannya.
6. Skill Komunikasi
Skill Komunikasi juga sangatlah penting dalam caregiver. Mereka harus bisa
mengetahui bagaimana cara menyampaikan kata-kata atau pesan-pesan
terhadap penderita alzheimer agar bisa mudah dipahami. Selain itu, caregiver
juga harus bisa menjadi pendengar yang baik bagi penderita alzheimer.
Caregiver harus bisa mengetahui dan memahami apa yang diinginkan dan
dibutuhkan para penderita alzheimer.
7. Coping Stress yang Baik
Peran caregiver juga harus bisa memiliki kesempatan waktu untuk diri mereka
sendiri dan tidak sepenuhnya merawat penderita alzheimer. Pekerjaan seorang
caregiver alzheimer sangat memberatkan yang maka dari itu caregiver juga
harus memiliki coping stress yang baik. Menurut Sallim et al (dalam
Khikmatin & Desiningrum, 2018), dalam penelitiannya mengatakan
prevelensi kecemasan yang dimiliki pada seorang caregiver alzhemier
mencapai 43,6% yang merupakan angka yang cukup tinggi. Menjadi
caregiver harus bisa menyesuaikan dirinya dengan baik dan harus bisa
melakukan manajemen emosional yang baik.

13 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


BAGIAN IV
KESIMPULAN
Berdasarkan kasus cerita diatas, dapat disimpulkan bahwa Ayah yang berusia 71
tahun kemungkinan terdiagnosis gangguan alzheimer. Alzheimer merupakan salah satu jenis
dari Neurocognitive Disorder (NCD) atau dikenal sebagai jenis dari penyakit demensia.
Penyebab utama dari gangguan alzheimer adalah faktor usia. Ketika orang yang sudah
berusia 65 tahun keatas biasanya memiliki kerentanan terkenanya gangguan alzheimer. Selain
dari faktor usia, faktor genetik, abnormalitas protein, faktor lingkungan, dan penyakit seperti
kardiovaskular, diabetes dan obesitas juga mempengaruhi terjadinya gangguan alzheimer.
Dari sisi neuropsikologis, ternyata gangguan alzheimer juga dapat ditinjau dari adanya
abnormalitas pada otak.
Diagnosis alzheimer bisa dilakukan langsung pada para ahli seperti dokter dan juga
bisa melalui suatu asesmen. Asesmen untuk alzheimer sendiri memiliki banyak jenisnya.
Salah satu asesmen yang terkenal adalah Mini-Mental State Exam (MMSE). Gangguan
alzheimer tidak dapat disembuhkan tetapi gejalanya dapat diminimalisir. Beberapa
psikofarmakologis atau obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengurangi gejala dari
gangguan alzheimer adalah memantine, donepezil, rivastigmin, dan galantamine. Tidak
hanya melalui obat-obatan, pengurangan gelaja dari gangguan alzheimer juga dapat melalui
nonfarmakologis yang dimana sangat berkaitan dengan pengaruh dari peran keluarga atau
pengasuh atau yang biasa disebut dengan caregiver. Peran caregiver disini harus bisa
merawat dan memahami para penderita alzheimer dengan baik. Selain mengurus penderita
alzheimer, kesehatan mental para caregiver perlu diperhatikan karena peran seorang
caregiver sangatlah berat.

14 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


DAFTAR PUSTAKA
Alamri, K. N. H., Posangi, J., & Nangoy, E. (2021). Perbandingan Efektivitas Penggunaan
Donepezil dan Memantine Terhadap Perbaikan Fungsi Kognitif pada Penyakit
Alzheimer. Jurnal Biomedik : Jbm, 13(2), 218–226.
https://doi.org/10.35790/jbm.13.2.2021.31950
Alzheimer’s Universe. 8 Qualities of An Alzheimer’s Caregiver. URL:
https://www.alzu.org/blog/2015/12/18/8-qualities-need-to-be-a-great-alzheimers-
caregiver/. Diakses tanggal 21 November 2021.
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, 4th ed. United States.: American Psychiatric Association.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, 5th ed. Washington, D.C.: American Psychiatric Association.
Apostolova L. G. (2016). Alzheimer Disease. Continuum (Minneapolis, Minn.), 22(2
Dementia), 419–434. https://doi.org/10.1212/CON.0000000000000307
Borson, S., Brush, M., Gil, E., Scanlan, J., Vitaliano, P., Chen, J., Cashman, J., Sta Maria, M.
M., Barnhart, R., & Roques, J. (1999). The clock drawing test: Utility for dementia
detection in multiethnic elders. Journals of Gerontology - Series A Biological Sciences
and Medical Sciences, 54(11), 534–540. https://doi.org/10.1093/gerona/54.11.M53
Breijyeh, Z., & Karaman, R. (2020). Comprehensive Review on Alzheimer ’ s Disease :
Molecules, 25(24), 5789.
Duong, S., Patel, T., & Chang, F. (2017). Dementia: What pharmacists need to know.
Canadian Pharmacists Journal, 150(2), 118–129.
https://doi.org/10.1177/1715163517690745
Ferris, S. H., & Farlow, M. (2013). Language impairment in alzheimer’s disease and benefits
of acetylcholinesterase inhibitors. Clinical Interventions in Aging, 8, 1007–1014.
https://doi.org/10.2147/CIA.S39959
Harwood, D., & Surr, C. (2021). Changes in perception, Factsheet 527LP. United Kingdom:
Alzheimer’s Society
Home Care Assistance. 6 Important Traits of Alzheimer’s Caregivers. URL:
https://www.homecareassistancerockwall.com/qualities-of-alzheimers-caregivers/.
Diakses tanggal 21 November 2021.
Khikmatin, I. N. I., & Desiningrum, D. R. (2018). Sebuah Interpretative Phenomenological
Analysis Tentang Pengalaman Family Caregiver Dalam Merawat Pasien Alzheimer.
Jurnal Empati, (2), 1–12.
Kolb, B., & Whishaw, I. Q. (2015). Fundamentals of human neuropsychology, seventh
edition. New York: Worth Publishers.
Kueper, J. K., Speechley, M., & Montero-Odasso, M. (2018). The Alzheimer’s Disease
Assessment Scale-Cognitive Subscale (ADAS-Cog): Modifications and Responsiveness
in Pre-Dementia Populations. A Narrative Review. Journal of Alzheimer’s Disease,
63(2), 423–444. https://doi.org/10.3233/JAD-170991
López, M. E., Bruña, R., Aurtenetxe, S., Pineda-Pardo, J. Á., Marcos, A., Arrazola, J.,

15 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


Reinoso, A. I., Montejo, P., Bajo, R., & Maestú, F. (2014). Alpha-band
hypersynchronization in progressive mild cognitive impairment: A
magnetoencephalography study. Journal of Neuroscience, 34(44), 14551–14559.
https://doi.org/10.1523/JNEUROSCI.0964-14.2014
Munang, L., Chan, M., & Lim, W. (2010). Diagnostic performance of the Clock Drawing
Test using a pre-drawn circle in persons with early dementia. Asian Journal of
Gerontology and Geriatrics, 5(2), 54–61.
Munoz, D. G., & Feldman, H. (2000). Causes of Alzheimer’s disease. Cmaj, 162(1), 65–72.
https://doi.org/10.1201/9780429260353-24
Nurfianti, A., & An, A. (2020). The Effectiveness of The Mini-Cog and MMSE As Vital
Instrument Identifying Risk of Dementia As A Nursing Process Reinforcement.
NurseLine Journal, 4(2), 114. https://doi.org/10.19184/nlj.v4i2.1370
Rosli, R., Tan, M. P., Gray, W. K., Subramanian, P., & Chin, A. V. (2016). Cognitive
assessment tools in Asia: A systematic review. International Psychogeriatrics, 28(2),
189–210. https://doi.org/10.1017/S1041610215001635
Sheehan, B. (2012). Assessment scales in dementia. Therapeutic Advances in Neurological
Disorders, 5(6), 349–358. https://doi.org/10.1177/1756285612455733
Shim, Y. S., Yang, D. W., Kim, H. J., Park, Y. H., & Kim, S. Y. (2017). Characteristic
differences in the mini-mental state examination used in Asian countries. BMC
Neurology, 17(1). https://doi.org/10.1186/s12883-017-0925-z
Surendranathan, A., & McKiernan, E. (2019). Dementia and the brain, Factsheet 456LP.
United Kingdom: Alzheimer’s Society
Weintraub, S., Wicklund, A. H., & Salmon, D. P. (2012). The neuropsychological profile of
Alzheimer disease. Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine, 2(4).
https://doi.org/10.1101/cshperspect.a006171
Weiten, W. (2013). Psychology Themes and Variations, 9th edition. United States:
Wadsworth, Cengage Learning.
Yang, L., Yan, J., Jin, X., Jin, Y., Yu, W., Xu, S., & Wu, H. (2016). Screening for dementia
in older adults: Comparison of mini-mental state examination, Mini-Cog, clock drawing
test and AD8. PLoS ONE, 11(12), 1–9. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0168949

16 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


LAMPIRAN 1. Hasil Self Study
Hasil dari self study yang didapat, saya mendapatkan beberapa diagnosis yang tepat
untuk kasus subjek diatas. Beberapa diagnosis yang memungkinkan bisa dari skizophrenia
dan alzheimer. Pada hasil research dari jurnal dan buku-buku, saya mengambil kesimpulan
bahwa pada kasus diatas, penderita mengalami gangguan alzheimer. Hal ini juga sesuai
dengan usia dan gejala yang ditunjukkan subjek pada kasus tersebut. Alzheimer memiliki
permasalahan pada fungsi kognitif, bahasa, permasalahan perilaku (apatis, depresi, dll), dan
bahkan bisa timbul gejala halusinasi.

1. Penyebab
Penyebab dari gangguan alzheimer salah satu faktor utama yang mempengaruhi
adalah usia, yaitu diatas 65 tahun biasanya memiliki pengaruh besar dalam terkenanya
gangguan alzheimer. Faktor genetik, abnormalitas protein, faktor lingkungan, dan
penyakit seperti kardiovaskular, diabetes dan obesitas juga mempengaruhi terjadinya
gangguan alzheimer.

2. Neuropsikologis yang Mempengaruhi


Permasalahan alzheimer tidak terlepas dari masalah yang terjadi pada otak seperti
hippokampus dan korteks entorhinal yang hal ini menyebabkan pada penderita
alzheimer memiliki kesulitan dalam mengingat dan belajar. Kerusakan pada lobus
temporal dapat mengakibatkan seseorang menjadi kesulitan dalam mengenali arti
suatu kata dan mengungkapkannya. Terdapat penurunan dalam executive function
pada gangguan alzheimer yang disebabkan oleh adanya neurofibrillary tangles
(belitan-belitan neurofibriler) pada korteks prefrontal. Pada orang gangguan alzheimer
terdapat neuropatologi yang terjadi pada korteks occipital dan korteks posterior
parietal yang hal ini menyebabkan penderita alzheimer memiliki permasalahan dalam
visualspasial-nya dan orientasi. Ketika korteks occipital rusak maka akan
menyebabkan sesoerang mengalami kesulitan dalam visualnya dan beberapa kasus
yang terjadi dapat menyebabkan halusinasi.

3. Diagnosis Melalui Asesmen


Pada pendiagnosisan alzheimer, terdapat beberapa asesmen yang dapat membantu.
Diantaranya Mini-Mental State Exam (MMSE), Abbreviated Mental Test Score
(AMTS), Montreal Cognitive Assessment (MoCA), Clock Drawing Test (CDT),
Mini-Cog, General Practitioner assessment of Cognition (GPCOG), Memory
Impairment Screen (MIS), dan Alzheimer’s Disease Assessment Scale (ADAS).
MMSE merupakan salah satu asesmen yang paling banyak digunakan di manca
negara. Jika di Indonesia, asesmen yang banyak digunakan antara lain; MMSE,
MoCA, CDT, dan Mini-Cog.

4. Psikofarmakologi
Pada psikofarmakologi, obat-obatan yang dapat diberikan pada penderita alzheimer
adalah; donepezil, rivastigmin, galantamine, dan memantine. Untuk pengobatan pada

17 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


alzheimer tidak hanya dari psikofarmakologi saja tetapi bisa dapat dari
nonfarmakologi. Pada nonfarmakologi dapat mengatasi pada gangguan perilaku
seperti disorientasi dan perilaku agresif.

5. Caregiver
Para penderita alzhemier tentunya perlu diberikan dukungan khusus dan sosok
pengasuh (caregiver) dikarenakan penderita alzheimer tidak dapat melakukan
aktivitasnya secara sendirian. Peran caregiver disini tentunya memiliki kriteria khusus
yang diperlukan dalam merawat dan menangani penderita alzheimer. Menghargai
kemandirian, mampu beradaptasi, bijaksana, sabar, memiliki motivasional skill,
memiliki skill komunikasi, serta memiliki coping stress yang baik merupakan kriteria
khusus yang diperlukan para caregiver alzheimer. Terutama coping stress sangatlah
penting dan harus ada di setiap caregiver karena pekerjaan seorang caregiver
alzheimer adalah pekerjaan yang berat dan menguras emosi dan mental.

18 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


LAMPIRAN 2. Screenshot Diskusi PBL Minggu 11 dan 12
Lampirkan screenshoot zoom diskusi PBL minggu ke11 dan 12 pada bagian ini.

PBLMinggu ke – 11
Tanggal PBL : 11 November 2021
Nama Mahasiswa yang Hadir : Syela Margareth Wijaya
Screenshoot :

PBLMinggu ke – 12
Tanggal PBL : 15 November 2021
Nama Mahasiswa yang Hadir : Syela Margareth Wijaya
Screenshoot :

19 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA


LAMPIRAN 3. Feedback Dosen Tutor
Tuliskan feedback yang diberikan oleh dosen tutor terhadap kelompok Anda

Nama Dosen Tutor: Dr. Drs. Andrian Pramadi, M.Si.


Tanggal Tutorial: 11 November 2021
Feedback: Cari seluruh fungsi bagian otak yang disebutkan di bag sub bab neuropsiko,
tambahan tentang pengaruh genetik, dll. Cari juga kesimpulan asesmen yang cocok pada
budaya timur.

Nama Dosen Tutor: Dr. Drs. Andrian Pramadi, M.Si.


Tanggal Tutorial: 15 November 2021
Feedback: menambahkan penyebab alzheimer apa aja dan keterkaitan dengan budaya dan
dijelaskan lagi mengenai caregiver lebih dalam lagi, dijelaskan terkait kenapa harus bisa
sabar, tekun, dan manajemen emosi yang baik.

20 | Laporan PBL Fakultas Psikologi UBAYA

Anda mungkin juga menyukai