Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Selain otak manusia juga dikenal sebagai makhluk dengan emosi yang teramat beragam.
Daniel Goldman, salah satu orang yang sangat tertarik atas kajian emosi, menyebutkan adanya
ratusan emosi yang dimiliki manusia. Atas emosi beraga ini Goldman memilahnya ke dalam
delapan jenis emosi, yaitu amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan
malu.

Mengapa emosi perlu dikaji, dan apa manfaat dari pengetahuan itu, menjawab pertanyaan ini
munculah teori yang bernama Emotional Quoetient (EQ). Menurut teori ini, keberhasilan
seseorang dalam hidupnya bukan ditentukan oleh intellegentia, melainkan Emotional Quoetient
yangtinggi.
BAB 2

PEMBAHASAN

“EMOSI”

A. Emosi sebagai Pola Respon

Respon emosional terdiri dari tiga komponen: perilaku, otonom, dan hormonal. Komponen
perilaku terdiri atas gerakan-gerakan otot yang sesuai dengan situasi yang memicunya.
Misalnya, seeokor anjing yang mempertahankan wilayahnya dari penyusup pertama-tama
menunjukkan postur agresif, geraman, dan seringai. Bila penyusup itu tidak pergi juga, anjing
pemilik wilayah itu akan berlari ke arahnya dan menyerang. Respon otonom memfasilitasi
perilaku dan menyediakan mobilisasi cepat energy untuk gerakan kuat. Dalam contoh ini,
aktivitas cabang simpatik meningkat sementara aktivitas cabang parasimpatik menurun.
Sebagai akibatnya, detak jantung anjing meningkat, dan perubahan ukuran pembuluh
darahnya mengalihkan peredaran darah dari organ-organ pencernaan ke otot.

Respon hormonal memperkuat respon otonom. Hormone-hormon yang disekresikan oleh


medulla adrenal-epinefrin dan norepinefrin semakin meningkatkan aliran darah ke otot diubah
menjadi glukosa. Sebagai tambahan, korteks adrenal mensekresikan hormone steroid, yang
juga membantu menjadi glukosa tersedia bagi otot.

1. Takut
Seperti yang telah kita lihat, respons-respons emosional melibatkan komponen perilaku,
otonom, dan hormonal. Komponen-komponen ini dikontrol oleh sistem neuron sendiri-
sendiri. Integrasi komponen-komponen takut tampaknya dikontrol oleh amigdala.

Penelitian dengan hewan laboratorium


Amigdala memegang peranan khusus dalam reaksi-reaksi fisiologis dan perilaku
tehadap berbagai objek dan situasi yang memiliki makna biologis, misalnya yang
memperingatkan akan rasa nyeri ataupun akibat tidak menyenangkan lainnya, atau
menandakan keberadaan makanan, air, garam, pasangan atau pesaing potensial, ataupun
bayi yang membutuhkan perawatan. Para peneliti di beberapa laboratorium berbeda dalam
menunjukkan bahwa neuron-neuron tunggal di berbagai nucleus amigdala menjafi aktif
ketika stimulus-stimulus yang relevan secara emosional disajikan.
Amigdala (atau lebih tepatnya, kompleks amigdaloid) terletak di dalam lobus temporal.
Amigdala terdiri atas beberapa kelompok nucleus, masing-masing dengan masukan dan
keluaran berbeda-beda serta dalam fungsi berbeda-beda. Amigdala dibagi-bagi menjadi
kira-kira 12 wilayah, masing-masing mengandung beberapa sub wilayah. Akan tetapi, kita
hanya akan bahas 3 wilayah utama: nucleus lateral, nucleus basal, dan nucleus sentral.
Nucleus lateral (LA) menerima informasi dari semua wilayah neokorteks, termasuk
korteks prefrontal ventromedial, talamus, dan formasi hipokampus. Nucleus lateral
mengirimkan informasi ke nucleus basal (B) dank e bagian-bagian lain otak, termasuk
stritiatum ventral (sebuah wilaya otak yang terlibat dalam efek-efek stimulus pemerkuat
dalam pembelajaran) dan nucleus dorsomedial di talamus, yang wilayah penyalurannya
adalah korteks prafrontal. Nucleus LA dan B mengirimkan informasi dari korteks
prafrontal ventromedial dan nucleus sentral (CE), yang menjulurkan aksen ke wilayah-
wilayah hipotalamus, otak tengah, pons, dan medulla yang betanggung jawab atas ekspresi
berbagai komponen respons emosional. Seperti yang akan kita lihat, aktivasi nucleus
sentral merangsang berbagai respons emosional: perilaku, otonom dan hormonal.
Nucleus sentral di amigdala adalah bagian otak paling penting bagi ekspresi respons-
respons emosional yang dipicu oleh stimulus tidak menyenangkan. Ketika stimulus
mengancam diterima, neuron-neuron di nucleus sentral menjadi teraktivasi. Kerusakan
nucleus sentral (atau ke nucleus-nukleus yang menyediakan informasi sensoris baginya)
mengurangi atau melenyapkan berbagai macam perilaku emosional dan respons fisiologis.
Seteleh nucleus sentral dihancurkan, hewan tidak lagi menunjukkan tanda-tanda takut
ketika dihadapkan pada stimulus yang telah dipasangkan dengan peristiwa yang tidak
menyenangkan. Hewan-hewan itu juga bertindka lebih jinak sewaktu dipegang manusia,
kadar hormon stress dalam darah mereka lebih rendah, begitupula kemungkinan mereka
terserang maag atau bentuk-bentuk lain penyakit yang dipicu stress.
Beberapa stimulus secara otomatis mengaktivasi nekleus sentral amigdala dan
menimbulkan reaksi takut misalnya, bunyi nyaring yang tak terduga, mendekatnya hewan
besar, tempat tinggi, (bagi beberaa spesies) suara ataupun bebauan tertentu. Akan tetapi,
yang lebih penting adalah kemampuan untuk mempelajari stimulus atau situasi tertentu
yang berbahaya atau mengancam. Begitu pembelajaran telah berlangsung, stimulus atau
situasi itu akan memicu rasa takut: detak jantung dan tekanan darah akan meningkat, otot-
otot akan menjadi tegang, kelenjar-kelenjar adrenal akan mensekresikan epinefrin, dan
hewan akan berlaku hati-hati, waspada, dan siap merespons.
Bentuk paling dasar pembelajaran emosional adalah respons emosi terkondisikan
(conditioned emotional response), yang dihasilkan oleh stimulus netral yang dipsangkan
dengan stimulus yang menimbulkan emosi. Kata terkondisikan mengacu kepada proses
pengkondisian klasik, yang dijabarkan secara lebih terperinci di Bab 13. Secara ringkas,
pengkondisian klasik terjadi ketika stimulus netral secara teratur diikuti oleh stimulus yang
secara otomatis memicu respons. Misalnya, bila seeekor anjing secara teratur mendengar
dentang lonceng tepat sebelum menerima makanan yang membuatnya meneteskan air liur,
anjing itu akan mulai meneteskan air liur segera setelah endengar bunyi lonceng.
Hari berikutnya, bila nada disajikan sendirian tidak diikuti sengatan listrik monitoring
fisiologis akan menunjukkan respons-respons fisiologis yang sama dengan yang dihasilkan
hewan sewatu mereka diberikan sengatan listrik saat latihan. Sebagai tambahan, mereka
juga menunjukkan pengehentian perilaku sebuah respons defensif tipikal spesies yang
disebut membeku. Dengan kata lain, hewan bertindak seolah-olah bersiap-siap akan
menerima sengatan listrik. Nada menjadi stimulus kondisional (conditional stimulus, CS)
yang memicu perilaku membeku: respons kondisonal (conditional response, CR).
Penelitian-penelitian perilaku telah menunjukkan bahwa musnahnya respons tidak sama
dengan lupa. Alih-alih, hewan itu belajar bahwa CS tidak lagi diikuti stimulus tidak
menyenangkan, dan sebagai akibat pembelajaran ini, ekspresi CR dihambat: sengatan
mengenai keterkaitan antara CS dan stumulus tidak menyenangkan tidak dihapus.
Penghambatan ini dilakukan oleh korteks prafrontal ventromedial (ventromedial prefrontal
cortex, vm PFC).

PENELITIAN DENGAN MANUSIA


Manusia juga dapat memperoleh respons emosi terkondisikan. Mari kaji sebuah contoh
spesifik (meskipun mungkin agak dibuat-buat). Anggaplah anda membantu teman
memasak. Anda mengangkat mikser listrik karena hendak mengaduk adonan untuk kue.
Sebelum anda menyalakan mikser itu, alat tersebut mengeluarkan suara terpatah-patah dan
kemudian anda mendapatkan sengatan listrik yang menyakitkan. Respons pertama anda
adalah refleks defenisif : anda akan melepaskan mikser itu, sehingga sengatan listrik itu
pun berhenti. Respons ini spesifik, sasarannya adalah menghentikan stimulus pembuat
nyeri. Sebagai tambahan, stimulus pembuat nyeri. Sebagai tambahan, stimulus pembuat
nyeri akan memicu respons –respons non-spesifik yang dikontrol oleh sistem saraf otonom
anda : mata anda akan membesar, detak jantung dan tekanan darah akan meningkat, anda
akan bernafas lebih cepat, dan lain sebagainya. Stimulus pembuat nyeri juga akan memicu
sekresi sejumlah hormon terkait-stres, satu lagi respons non-spesifik.
Anggaplah beberapa lama kemudian anda mengunjungi teman anda lagi dan sekali lagi
setuju untuk membuat kue. Teman anda memberi tahu bahwa mikser listrik itu sepenuhnya
aman, karena sudah diperbaiki. Hanya dengan melihat mikser itu dan memikirkan akan
memengangnya lagi membuat dan anda gugup , namun anada mempercayai kata-kata
teman anda dan mengangkatr mikser itu. Tepat pada saat itu, mikser tersebut mengeluarkan
suara terpatah-patah seperti ketika anda tersetrum. Akan seperti apa respons anda? Hamper
pasti, anda akan melepaskan mikser itu lagi, mekipun mikser itu tidak menyetrum anda.
Pupil anda akan melebar, detak jantung dan tekanan darah anda meningjkat, sementara
kelenjar-kelenjar endoktrin anda akan mendepkripsikan sejumlah hormon terkait-stres.
Dengan kata lain, suarah terpatah-patah itu memicu respons emosi terkondisikan.
Bukti mengkondisikan bahwa amigdala terlibat dalam respons-respons emosional pada
manusia. Salah satu penelitian terawal mengamati reaksi orang-orang yang sedang
dievaluasi untuk pengangkatan bagian-bagian otak melalui operasi demi mengobati
gangguan kejang-kejang parah. Penelitian ini menemukan bahwa stimulasi terhadap
bagian-bagian otak (misalnya, hipotalamis) menghasilkan respons-respons otonom yang
sering kali diasosiasikan dengan takut dan cemas, namun hanya bila amigdala distimulasi,
subjek juga melaporkan bahwa mereka betul-betul merasa takut (white, 1940; halgren et
al., 1978; Gloor et al., 1982).
Banyak penelitian telah menunjukan bahwa lesi-lesi pada amigda la menurunkan
respons emosi orang. Misalnya, bechara et al. (1995) dan laBar et al. (1995) menemukan
bahwa penderita lesi amigdala menunjukkan gangguan dalam mempelajari respons
emosional terkondisikan, seperti juga tikus.
Kebanyakan rasa takut manusia barangkali diperoleh secara sosial, bukan melalui
pengalaman langsung dengan stimulus pembuat nyeri (Olsson, Nearing, dan phelps,
2007).

2. Marah, Agresi, Dan Kontrol Impuls

Hampir semua spesies hewan menunjukkan perilaku agresif, yang melibatkan gesture
mengancam atau serangan sungguhan yang diarahkan ke hewan lain. Perilaku agresifg
bersifat tipikal spesies; dengan kata lain, pola-pola gerakan ( misalnya, berpose, menggigit,
menyergap, dan mendesis) organisasi oleh sirkuit- sirkuit neuron yang perkembangannya
sebagian besar diprogram oleh gen-gen hewan tersebut. Banyak perilaku agresif terkait
dengan reproduksi. Misalnya, perilaku agresif untuk memperoleh akses ke pasangan,
mempertahankan teritori yang dibutuhkan untuk menarik pasangan, ataun menyediakan
tempat membnangun sarang, maupun mempertahankan anak dari penyusup dapat dianggap
sebagai perilaku reproduktif. Perilaku-perilaku agresif lain terkait dengan pertahanan-diri,
misalnya perilaku hewan yang terancam oleh pemangsa ataupun penyusup dari spesies
yang sama.
Perilaku agresif dapat terdiri dari serangan sungguhan, atau mungkin semata melibatkan
perilaku mengancam, yang terdiri atas pose atau gestur yang memperingatkan lawan untuk
angkat kaki atau ia akan menjadi sasaran serangan. Hewan yang diancam mungkin
menunjukkan perilaku defensif – perilaku mengancam atau serangan sungguhan terhadap
hewan yang mengancamnya atau mungkin menunjukkan perilaku submisif perilaku yang
mengindikasikan bahwa ia menerima kekalahan dan tidak akan menantang hewan
pengancamnya. Di alam, sebagian besar hewan lebih banyak menampilkan ancaman dari
pada serangan sesungguhan. Perilaku mnegancam berguna dalam memperteguh hierarki
sosial dalam kelompok – kelompok hewan yang terorganisasi atau dalam memperigatkan
para penyusup agar meninggalkan teritori hewan tersebut. Perilaku semacam itu memiliki
keuntungan yaitu tidak melibatkan pertarungan yaitu tidak melibatkan pertarungan
sungguhan, yang dapat membahayakan salah satu ataupun kedua petarung.
Pemangsaan (predasi) adalah serangan anggota salah satu spesies terhadap anggota
spesies lain.

PENELITIAN DENGAN HEWAN LABORATORIUM


Control Neuron atas Perilaku Agresif . control neuron atas perilaku agresif bersifat
hierarkis. Dengan kata lain, gerak-gerak otot tertentu yang dilakukan seseeokor hewan
sewaktu menyerang atau mempertahankan diri deprogram oleh sirkuit-sirkuit neuron di
batang otak. Apakah hewan menyerang atau tidak bergantung kepada banyak faktor,
termasuk sifat stimulus pemicu di lingkungan dan pengalaman hewan sebelumnya.
Aktivitassirkuit batang otak tampaknya di control oleh hipotalamus dan amigdala, yang
juga memengaruhi banyak perilaku tipikal-spesies. Dan , tentu saja, aktifitas sistem limbic
di control oleh sistem –sistem perseptual yang mendeteksi kondisi di lingkungan, termasuk
keberadaan hewan-hewan lain.
Peran serotonin. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa tampaknya aktivitas sinapsis
serotonergic menghambat agresi. Kontras dengan itu, kehancuran akson-akson
serotonergic di otak depan memfasilitasi serangan agresif, barangkali dengan dengan
menyingkirkan efek penghambat ( vergnes et al., 1988) .
Sekelompok peneliti telah mempelajari hubungan antara aktivitas serotonergic dan
keagresifan dalam koloni monyet resus yang menjelajah bebas.
Penelitian-penelitian genetic dengan spesies – spesies lain mengonfirmasi kesimpulan
bahwa serotonim memiliki peran penghambat dalam agresi. Misalnya, pembiakan selektif
terhadap tikus dan rubah perak telah menghasilkan hewan-hewan yang jinak dan
memberikan respons bersahabat kepada kontak manusia. Hewa-hewan ini menunjukkan
peningkatan kadar serotonin dan 5-HIAA di otak (Popova, 2006).

PENELTIAN DENGAN MANUSIA


Peran pewarisan sifat. Pengalaman dimasa kecil jelas dapat membantu perkembangan
perilaku angresif, namun penelitian telah menunjukkan bahwa pewarisan sifat memainkan
peran signifikan. Misalnya, viding et al.(2005, 2008) mempelajari sekelompok anak
kembar berjenis kelamin sama pada usia 7 tahun dan 9 tahun dan menemukan korelasi
yang lebih tinggi pada kembar monozotik dari pada antisosial dan tingkat perilaku tanpa
emosi serta ketidakpedulian, yang mengindikasikan komponen genetic dalam
perkembangan sifat-sifat ini. Tidak ada bukti yang ditemukan mengenai peran dari
lingkungan yang sama.
Peran serotonin. sejumlah penelitian telah menemukan bahwa neuron-neuron
serotonergic memainkan peran menghambat dalam agresi manusia. Misalnya, tingkat
pelepasan serotonin yang turun (diindikasikan oleh kadar rendah 5-HIAA di CSF)terkait
dengan agresi dengan bentuk-bentuk lain perilaku antisosial, termasuk menyerang orang,
menimbulkan kebakaran dengan sengaja, pembunuhan, dan pemukulan anak.
Peran korteks prefrontal ventromedial. Banyak peneliti percaya bahwa kekeran
impulsive merupakan akibat dari regulasi emosi yang keliru. Bagi sebagian besar orang,
frustasi dapat memicu desakan untuk merespon secara emosional, namun kita biasanya
berhasil menenangkan diri dan menekan desak-desakan ini. Seperti yang akan kita lihat,
korteks prefrontal ventromedial berperan penting dalam meregulasi respon kita terhadap
situasisituasi semacam ini. Analisis situasi social melibatkan juga pengalaman dan ingatan,
kesimpulan dan penilaian. Bahkan sebagian keterampilan ini tergolong keterampilan paling
kompleks yang kita punya. Keterampilan-keterampilan ini tidak terbatas letaknya di satu
bagian korteks serebrum saja, meskipun penelitian memang menunjukkan bahwa bahwa
tampaknya hemisfer kanan lebih penting daripada hemisfer kiri. Namun korteks peafrontal
ventromedial yang mencakup korteks orbitofrontal medial dan korteks singulata anterior
subgenual memainkan peran istimewa.
Fakta bahwa vmPFC memainkan peran penting dalam control perilaku emosional
ditunjukkan oleh efek-efek dari kerusakan yang menimpa wilayah ini. Kasus pertama dan
paling terkenal berasal dari pertengahan 1800-an. Phineas Gage, mandor awak konstruksi
rel kereta, sedang menggunakan batang besi untuk mendorong sejumlah mesin ke dalam
lubang yang telah dibor di batu padat. Mendadak, dalam pipinya, menembus otaknya, dan
keluar dari bagian atas kepalanya.
Orang-orang yang vmPFCnya rusak akibat penyakit atau kecelakaan masih bisa
mengkaji secara akurat arti penting dari situasi-situasi tertentu namun hanya dalam
pengertian teoritis. Misalnya, Eslinger dan Damasio (1985) menemukan bahwa seorang
pasien dengan kerusakan bilateral vmPFC (akibat tumor jinak, yang berhasil diangkat)
menampilkan penilaian social sangat bagus. Bila ia diberi situasi hipotesis yang
mengharuskan ia membuat keputusan mengenai apa yang harus dilakukan orang-orang
yang terlibat situasi-situasi yang melibatkan dilemah moral, etis, ataupun praktis ia selalu
memberikan jawaban yang masuk akal dan memberikan alasan dengan logika yang dinalar
secara hari-hati. Akan tetapi hidupnya sendiri sungguh berbeda. Ia menghambur-
hamburkan tabungan hari tuanya untuk berbagai investasi gagal meskipun keluarga dan
teman-temannya telah memperingatkannya. Ia dipecat berkali-kali akibat tidak bisa
bertanggung jawab.
Bukti menunjukkan bahwa tampaknya vmPFC berperan sebagai antar muka antara
mekanisme-mekanisme otak yang melibatkan respons-respons emosional otomatis (baik
yang dipelajari maupun tidak) dan mekanisme-mekanisme otak yang telibat dalam control
perilaku kompleks. Peran ini mencakup penggunaaan reaksi-reaksi emosional kita untuk
memandu perilaku kita dan mengontrol kemunculan reaksi-reaksi emosional dalam
berbagai situasi social.
Tn. V, yang menjabarkan dalam bagian pembuka bab ini, mengalami kerusakan otak
yang merusak penilaiannya tanpa memengaruhi ukuran-ukuran kecerdasan lisan
tradisional. Kerusakan ini mencakup lobus frontal kanan dan lobus parietal, sehingga kita
tidak bisa menyatakan segala-galanya sebagai akibat dari kerusakan di satu wilayah
tertentu.
Sebuah penelitian pencitraan fungsional yang menarik oleh Nili et Al. (2010)
menunjukkan bahwa tampaknya vmPFC berpera dalam mekanisme-mekanisme otak untuk
keberanian. Nili dan kolega-koleganya memindai otak-otak orang yang takut ular dan yang
tidak. Selagi orang-orang itu berada dalam pemindai mereka bisa menekan tombol-tombol
yang mengontrol aktivasi sabuk berjalan yang membawa ular hidup mendekat atau
menjauh dari mereka. Orang-orang yang tidak takut ular mendekatkan ular ke mereka dan
tidak menunjujjan tanda-tanda takut. Akan tetapi, orang-orang yang takut ular
menunjukkan tanda-tanda takut sewaktu ular mendekat. Sejumlah orang yang takut ular
menenkan tombol yang menjauhkan ular dari mereka, namun yang lain membawa ular itu
mendekati mereka, walaupun mereka jelas-jelas takut. Dengan kata lain, mereka
menunjukkan keberanian mereka mengatasi rasa takut. Penunjukkan keberanian disertai
oleh aktivasi sebuah wilayah di vmPFC, korteks singulata interior subgenual (sg ACC).
Subjek-subjek yang tunduk kepada rasa takut mereka yaitu yang menjauhkan ular tidak
menunjukkan aktivasi sg ACC.
Bukti menunjukkan bahwa tampaknya reaksi-reaksi emosional memandu penelitian
moral maupun keputusan yang melibatkan resiko dan ganjaran personal, serta bahwa
korteks prefrontal memainkan peran juga dalam penilaian-penilaian ini. Dulu, penilaian
moral dianggap sebagai rasional. Akan tetapi, penelitin terbaru mengenai peran
mekanisme-mekanisme neuron dari emosi menunjukkan bahwa tampaknya emosi berperan
penting-barangkali berperan paling penting dalam pembentukan penilaian moral.
Dalam sebuah penelitian pencitraan fungsional Greene et Al. (2001) menyajikan
berbagai dilemah moral seperti yang baru saja dijabarkan kepada sejumlah orang dan
mendapati bahwa memikirkan dilemah-dilemah tersebut mengaktivasi beberapa wilayah
otak yang terlibat dalam reaksi-reaksi emosional, termasuk vmPFC. Membuat keputusan
yang tidak berbahaya, mislanya haruskah naik bis atau kereta ke tempat tujuan tertentu,
tidak mengaktivasi wilayah-wilayah ini. Kalau begitu, barangkali keragu-raguan kita
mendorong seseorang sampai tewas dipandu oleh reaksi emosional tidak menyenangkan
yang kita rasakan sewaktu kita menimbang-nimbang timbangan ini.
Koenigs da kolega-koleganya memprediksi bahwa pasien-pasien dengan lesi vmPFC
akan membuat keputusan yang sama dengan subjek-subjek di kedua kelompok lain dalam
penelitian nonmoral dan moral impersonal, sebab keputusan-keputusan ini bisa
diselesaikan secara rasional, tanpa komponen emosi yang kuat. Hanya manfaat, atau
utilitas dari pilihan itu yang perlu dipertimbangkan. Akan tetapi cacat emosional pasien-
pasien dengan kerusakan prefrontal dapat diduga akan menimbulkan penilaian-penilaian
utilitarian bahkan dalam kasus penilaian moral personal dan memang tepat itulah yang
teramati. Proporsi subjek dari masing-masing kelompok yang memilih keputusan untuk
bertindak dalam dilemah-dilemah moral personal berkonflik tinggi, seperti scenario sekoci
darurat. Seperti yang bisa dilihat, pasien-pasien dengan lesi vmPFC berkemungkinan jauh
lebih besar untuk menjawab “ya” bagi pertanyaan yang diajukan di akhir sckenario-
skenario itu.
Mungkin agak melenceng dari topic bagian ini: amarah dan agresi. Akan tetapi, ingatlah
lagi bahwa banyak penelitian percaya bahwa kekerasan impulsive adalah akibat dari
regulasi emosi yang keliru. Amigdala berperan penting dalam meprovokasi amarah dan
reaksi-reaksi emosional yang dahsyat sementara korteks prefrontal berperan penting dalam
menekan perilaku semacam itu dengan membuat kita melihat akibat-akibat negatifnya.
Amigdala matang di awal perkembangan, namun kortek matang jauh sesudahnya, di akhir
masa kanak-kanak dan awal kedewasaan. Sewaktu korteks prefrontal beranjak matang,
remaja menunjukkan peningkatan dalam kecepatan pengolahan kognitif, kemampuan
menalar abstrak, kemampuan beralih perhatian dari satu topic ke topic lain, dan
kemampuan menghambat respons-respons yang tak pantas. Bahkan, sebuah penelitian
pencitraan structural oleh Whittle et Al.(2008) menemukan bahwa perilaku agresif selama
interaksi orang tua/anak saat remaja berbanding lurus dengan volume amigdala dan
berbanding terbalik dengan relative korteks prefrontal medial kanan.
Raine et Al. (1998) menemukan bukti penurunan aktivitas dan peningkatan aktivitas
subkorteks (termasuk amigdala) di otak tersangka pembunuh. Perubahan–perubahan ini
terutama terlihat pada pembunuh emosional yang empulsif. Pembunuh predator yang
berdarah dingin dan penuh perhitungan yang kejahatannya tidak diserta amarah dan
amukan menunjukkan aktivasi yang lebih normal. Barangkali, peningkatan aktivasi
amigdala mencerminkan peningkatan kecenderungan untuk menampilkan emosi-emosi
negative, sementara penurunan aktivasi korteks prefrontal mencerminkan penurunan
kemampuan untuk menghambat aktivitas amigdala dan berarti juga berkurangnya control
emosi. Reine et Al. (2002) menemukan bahwa orang-orang dengan gangguan kepribadian
antisocial menujukkan pengurangan 11% dalam hal volume materi kelabu di korteks
prefrontal.
Sejumlah peneliti telah menemukan bukti adanya cacat persarafan serotoner di korteks
prefrontal ventromedial. New et Al. (2002) menemukan bahwa obat pelepas serotonin
meningkatkan aktivitas korteks orbitofrontal pada subjek-subjek normal yang tidak kejam
namun gagal melakukan hal yang sama pada subjek-subjek dengan riwayat agresi
impulsive. Sebuah penelitian pencitraan fungsional menemukan bukti kadar transporter
serotonin yang lebih rendah di korteks di prefrontal medial pada orang-orang dengan agresi
impulsive. Oleh karena transporter serotonin ditemukan pada membran kenop ujung
serotonergic, penelitian ini menunjukkan bahwa tampaknya korteks prefrontal medial
orang-orang ini mengandung masukan serotoner yang lebih sedikit.
Seperti yang kita lihat sebelumnya, agresi impulsive telah berhasil diterapi dengan
penghambat pengambilan ulang serotonin spesifik seperti fluoksetin (Prozac). Sebuah
penelitian pencitraan fungsional oleh New et Al. (2004) mengukur aktivitas otak regional
orang-orang dengan riwayat agresi impulsif sebelum dan sesudah 12 minggu terapi dengan
fluoksetin. Mereka mendapati bahwa obat itu meningkatkan aktivitas korteks prefrontal
dan mengurangi keagresifan.

3. Kontrol Hormon atas Perilaku Agresif


Seperti yang sudah kita lihat, banyak contoh perilaku agresif ada kaitannya dengan
reproduksi. Misalnya, jantan dari beberapa spesies memantapkan teritori yang memikat
betina selama musim kawin. Untuk teritori dari penyusupan jantan lain. Bahkan pada
spesies yang perbiakannya tidak bergantung kepada penetapan teritori, jantan mungkin
bersaing untuk memperoleh betina, persaingan yang juga melibatkan perilaku agresif.
Betina juga sering kali bersaing dengan betina lain demi memperebutkan ruang untuk
membangun sarang tempat membesarkan anak, dan mereka akan mempertahankan anak
dari perbuahan hewan lain. Kebanyakan perilaku reproduktif dikontrol oleh efek-efek
organisasional dan aktivasional oleh hormon; oleh karenanya, tidak mengejutkan bahwa
banyak bentuk perilaku agresif, seperti juga kawin, diperilaku oleh hormon.

Agresi Pada Jantan


Jantan dewasa dari banyak spesies bertarung memperebutkan teritori atau akses ke
betina. Pada hewan pengerat di laboratorium, sekresi androgen terjadi saat prenatal,
menurun, dan kemudian meningkat lagi di masa pubertas. Keagresifan antar jantan juga
dimulai pada sekitar masa pubertas, yang menunjukkan bahwa tampaknyya perilaku
tersebut dikontrol oleh sirkuit-sirkuit neuron yang distimulasi oleh androgen. Bahan
memang, bertahun-tahun lalu, Beeman (1947) menemukan bahwa kebiri mengurangi
keagresifan sedangkan penyuntikan testosteron mengembalikkannya.
Androgenisasi awal memiliki efek organisasi. Sekresi androgen di awal perkembangan
memodifikasi otak yang sedang berkembang, menjadikan sirkuit-sirkuit neuron yng
mengontrol perilaku seksual jantan menjadi lebih responsive terhadap testosteron. Serupa
dengan itu androgenisasi di awal perkembangan memiliki efek organisasi yang
menstimulasi perkembangan sirkuit-sirkuit neuron yang peka testosterone yang
memfasilitasi agresi antar jantan.
Efek organisasi androgen terhadap agresi antar jantan (pamer agresif atau pertarungan
sungguhan di antara dua jantan dari spesies yang sama) itu penting, namun bukan
fenomena ya-atau-tidak-sama-sekali. Pemberian testosterone berlama-lama pada akhirnya
akan menginduksi agresi antarjantan bahkan pada hewan pengerat yang dikebiri, segera
setelah dilahirkan. Data yang dikaji oleh Vom Saal (1983) menunjukkan bahwa pemaparan
terhadap androgen di awal kehidupan menurunkan jumlah paparan yang dibutuhkan untuk
mengaktivasi perilaku agresif nantinya saat besar. Dengan demikian, androgenisasi awal
mensensitisasi sirkuit neuron: semakin dini androgenisasi, semakin efektif sensitisasi itu .
Andorgen menstimulasi perilaku seksual jantan dengan cara berinteraksi dengan
reseptor-reseptor androgen di neuron-neuron yang terletak di area praoptik medial (MPA).
Wilayah ini juga tampaknya penting dalam memperantarai efek-efek androgen terhadap
agresi antarjantan. Bean dan Conner (1978) menemukan bahwa menanam testosterone di
MPA mengembalikan agresi antarjantan pada tikus jantan yang sudah dikebiri. Barangkali,
testosterone secara langsung mengaktivasi perilaku itu dengan menstimulasi neuron-
neuron peka-androgen yang terletak di situ. Dengan demikian, area praoptik medial
tampaknya terlibat dalam beberapa perilaku yang terkait reproduksi: perilaku seksual
jantan, perilaku maternal, dan agresi antarjantan.
Jantan mudah menyerang jantan lain namun biasanya tidak menyerang betina.
Kemampuan mereka membedakan jenis kelamin penyusup tampaknya didasarkan pada
keberadaan feromon reromon tertentu. Bean (1982) menemukan bahwa agresi antarjantan
bisa dihilangkan dari mencit dengan memotong saraf vomeronasal, yang membuat otak
tidak memperoleh masukan dari organ vomeronasal. Bila kencing mencit betina diolehkan
ke mencit jantan, ia tidak akan diserang bila dimasukkan ke kendang jantan lain (Dixon
dan Mackintosh, 1971; Dixon, 1973). Stowers et alm (2002) menemukan bahwa mutase
terbidik yang merusak protein yang esensial bagi deteksi feromon oleh organ vomeron asal
melenyapkan kemampuan mencit jantan membedakan antara jantan dan betina. Oleh
karena penyusup jantan tidak dikenali sebagai jantan pesaing, meraka tidak diserang.
Bahkan, mencit dengan murasi terbidik mencoba berkopulasi dengan penyusup.
Agresi pada betina
Dua hewan pengerai betina dewasa yang bertemu di teritori sentral lebih kecil
kmungkinannya berkelahi daripada jantan. Namun agresi antara betina, seperti agresi pada
jantan. Tampaknya difasilitasi oleh testosterone. Van de Poll et al. (1988) mengovariektoni
tikus betina dan memberi mereka suntikan harian testosterone, estradiol selama 14 hari.
Hewan-hewan itu kemudian ditempatkan di dalam sangkar uji, dan seekor betina yang
tidak mereka kenal dimasukkan. Seperti yang ditunjukkan, testosterone meningkatkan
keagresifan sementara estradiol tidak memiliki efek apa-apa
Androgen memiliki efek organisasi terhadap keagresifan betina, dan androgenisasi
prenatal sampai tingkat tertentu tampakna terjadi secara alamiah, kebanyakan janin hewan
pengerat mendiami Rahim induknya Bersama saudara-saudaranya, tersusun berjejer seperti
kacang dalam kulitnya. Mencit betina mungkin memiliki nol, satu atau dua saudara laki-
laki di sampingnyya. Para peneliti menyebut betina-betina ini sebagai 0M, 1M, dan 2M,
sesuai urutan. Berada di sebelah janin jantan memiliki efek terhadap kadar androgen
prenatal dalam darah betina. Vom Saal dan Bronson (1980) menemukan bahwa betina-
betina yang sewaktu di Rahim terletak di antara dua jantan, memiliki kadar testosterone
yang jauh lebih tinggi dalam darah daripada betina yang terletak di antara dua betina (atau
antara betina lain dan ujung Rahim). Sewaktu mereka dites sebagai mencit dewasa, betina
2M lebih mungkin menunjukkan keagresifan antar betina.
Betina sejumlah spesies primate (misalnyam monyet resus dan babun) lebih mungkin
terlibat pertarungan pada sekitar masa ovulasi (Carpenter, 1942; Saayman, 1971).
Fenomena ini barangkali disebabkan oleh peningkatan Hasrat seksual dan kedekatan terus-
menerus dengan jantan. Seperti yang diutarakan Carpenter. “Monyet betina itu secara aktif
mendekati jantan dan harus mengatasi resistensi mereka yang biasa terhadap asosiasi
dekat. Oeh karenanya ia menjadi objek serangan mereka’’. Satu lagi periode pertarungan
terjadi tepat sebelum menstruasi (Sassenrath, Powell, dan Hendrickx, 1973; Mallow,
1979). Selama masa ini, betina cenderng menyerang betina lain.

EFEK-EFEK ANDROGEN TERHADAP PERILAKU AGRESIF MANUSIA


Anak laki-laki umumnya agresif daripada anak perempuan. Kebanyakan masyarakat
menoleransi keasertifan dan perilaku agresif dari anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan. Tak diragukan lagi, cara memperlakukan anak laki-laki dan perempuan, serta
contoh-contoh yang kita berikan kepada mereka, memainkan peran penting dalam
perbedaan keagresifan pada jenis kelamin berbeda dalam spesies kita. Pertanyaan ini
bukanlah apakah sosialisasi memiliki efek (tentu saja punya), namun apakah pengaruh-
pengaruh biologis, misalnya pemaparan androgen, juga memiliki efek.
Androgenisasi prenatal meningkatkan perilaku agresif pada semua spesies yang telah
dipelajari. Termasuk primate. Oleh karena itu, bila androgen tidak memengaruhi perilaku
agresif pada manusia, maka spesies kita akan merupakan kekecualian setelah pubertas,
androgen juga mulai memiliki efek-efek aktivasi. Kadar testosterone anak laki-laki mulai
meningkat selama awal remaja, Ketika perilaku agresif dan pertarungan antar laki-laki juga
meningkat (mazur,1983). Tentu saja, status social anak laki-laki berubah saat pubertas, dan
testosterone mereka memengaruhi oto maupun otak mereka, sehingga kita tidak bisa yakin
bahwa efek itu ditimbulkan leh hormone atau, meskipun benar, apakah diperantai oleh
otak.
Seperti yang kita baru lihat, sejumlah kecil paparan androgen saat prenatal yang
diterima betina 2M memiliki efek organisasional yang bisa diukur terhadap perilaku
agresif. Cohen-Bendahan et al. (2005) membandingkan kerekatan melakukan agresi pada
anak perempuan berusia 13 tahun dari pasangan kembar dizigotik yang serahim Bersama
seorang saudara laki-laki (perempuan 1M) dengan yang serahim Bersama seorang saudara
perempuan (perempuan 1F). mereka menemukan peningkatan yang tidak terlalu besar
namun bermakna secara statistic dalam keagresifan pada anak-anak perempuan 1M. kadar
testostron anak-anak perempuan 1M dan 1F tidak berbeda, sehingga peningkatan
keagresifan berangkali merupakan akibat dari peningkatan paparan androgen prenatal.
Tentu saja, kita tidak bisa menghapus kemungkinan bahwa dibesarkan Bersama sauadara
laki-laki berusia sama mungkin berpengaruhi pada kerentanan anak perempuan untuk
melakukan agresi.
Anak perempuan dengan hyperplasia adrenal kongenital (CAH) terpapar ke kadar
androgen yang secara tidak normal tinggi-dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar adrenalin
mereka sendiri—selama perkembangan prenatal. Efek-efek paparan ini mencakup lebih
memilih anak laki-laki sebagai teman bermain, minat kepada mainan dan permainan yang
biasanya di pilih anak laki-laki, dan saat dewasa, peningkatan prevalensi ketertarikan
seksual terhadap perempuan lain. Berenbaum dan Resnick (1997) menemukan bahwa
perempuan dan gadis remaja dengan CAH menampilkan agresi tingkat tinggi, seperti yang
diukur oleh penilaian orang tua dan ujian tertulis.
Bukri yang secara saintifik kuat mengenai efek-efek aktivasional androgen saat dewasa
sulit diperoleh dari manusia. Jelaslah, kita tidak bisa sembarangan mengkebiri laki-laki
untuk mengetahui apakah keagresifan mereka berkurang. Di masa lalu, pihak berwenang
mencoba menekan agresi terkat seks dengan mengebiri pria pelaku kejahatan seksual. Para
peneliti melaporkan bahwa serangan agresif heteroseksual maupun homoseksual
menghilang, sekaligus juga Hasrat seks si pelaku kejahatan (Hawke, 1951; Sturup, 1961;
Laschet, 1973). Akan tetapi, penelitian-penelitian itu secara tipikal tidak memiliki
kelompok control yang tepat dan biasanya tidak mengukur perilaku agresif secara
langsung.
Sejumlah kasus keagresifan, terutama serangan seksual, telah ditangani dengan steroid
sintetik yang menghambat produksi androgen oleh testes. Jelaslah, terapi dengan obat
masih bisa dibatalkan. Akan tetapi, keefektifan terapi dengan anti androgen belum lagi
termantapkan secara konklusif. Menurut Walker dan Meyer (1981). Obat-obatan ini
menurunkan agresi terkait-seks namun tidak memiliki efek terhadap betina sewaktu
diberikan kepada monyet jantan, namun malam meningkatkan agresi antar jantan.
Cara lain menentukan apakah androgen memengaruhi keagresifan pada manusia adalah
mengkaji kadar testosterone pada orang-orang yang menunjukkan perilaku agresif pada
berbagai tingkatan. Akan tetapi, walaupun memiliki lebih sedikit masalah etis, pendekatan
ini memiliki masalah-masalah metodologis. Pertama, mari say aulas beberapa bukti. Dalam
sebuah kajian literatur, Archer (1994) menemukan bahwa Sebagian besar penelitian
menemukan hubungan positif antara kadar testosterone laki-laki dan tingkat keagresifan
mereka. Misalnya Dabbs dan Morris (1990) mempelajari 4462 veteran militer A.S. pria-
pria dengan kadar testosterone paling tinggi memiliki catatan lebih banyak aktivitas
antisosial, termasuk serangan terhadap orang dewasa lain dan Riwayat yang lebih banyak
berisikan masalah dengan orang tua, guru, dan teman-teman sekelas saat remaja. Efek-efek
terbesar terlihat pada laki-laki dengan status social ekonomi rendah.
Mazur dan Booth (1998) menunjukkan bahwa tampaknya efek social utama androgen
barangkali bukan terhadap agresi, melainkan dominansi. Bila androgen meningkatkan
motivasi untuk mendominasi orang lain, mungkin motivasi itu terkadang menimbulkan
agresi namun tidak dalam segala situasi, misalnya, seseorang mungkin berusaha
mengalahkan orang lain secara simbolis (melalui konpetisi atletik atau meraih symbol-
simbol status) alih-alih melalui agresi langsung.
Apapun itu, lita harus ingat bahwa korelasi bukan berarti menujukkan hubungan sebab-
akibat. Lingkungan seseorang bisa memengaruhi kadar testosteronnya, misalnya, kalah
main tenis atau tanding gulat menyebabkan penurunak kadar testosterone dalam darah
(Mazur dan Lamb, 1980; Elias, 1981). Bahkan menang atau kalah dalam permainan
taruhan sederhana yang dilakukan di laboratorium psikologi dapat memengaruhi kadar
testosterone peserta; yang menang merasa lebih enak sesudahnya dan memiliki kadar
testosterone yang lebih tinggi (McCaul, Gladue, dan Joppa, 1992). Bernhardt et al. (1998)
menemukan bahwa penggemar bola basket dan sepakbola menunjukkan peningkatan kadar
testosterone saat tim mereka menang dan penurunan bila tim tersebut kalah. Dengan
demikian, kita tidak bisa yakin dalam penelitian korelasional mana pun bahwa kadar
testosterone tinggi menyebabkan orang menjadi dominan ataukah agresif; barangkali
keberhasilan mereka memantapkan posisi dominansi meningkatkan kadar testosterone
yang relative terhadap orang-orang yang mereka dominasi.
Seperangkat percobaan menarik dengan satu spesies primate lain mungkin memiliki
relevansi terhadap agresi manusia. Bukti menunjukkan bahwa efek-efek alcohol
meningkatkan agresi antar laki-laki pada monyet bajing jantan dominan, namun hanyya
pada saat musim kawin, sewaktu kadar testosterone dalam darah mereka dua sampai tiga
kali lebih tinggi daripada saat bukan musim kawin. Penelitian-penelitian ini menunjukkan
bahwatampaknya efek-efek alcohol berinteraksi dengan status social maupun denga
testosterone. Pemikiran ini dikonfirmasi oleh Wislow, Ellingoe, dan Miczek (1988), yang
menguji monyet saat bukan musim kawin. Mereka mendapati bahwa alcohol meningkatkan
perilaku agresif monyet-monyet dominan bila mereka juga diberi suntikan testosterone.
Akan tetapi, perlakuan-perlakuan ini tidak efektif terhadapt monyet-monyet bawahan, yang
barangkali belajar untuk tidak berlaku agresif. Langkah berikutnya adalah mencari
mekanisme-mekanisme neuron yang bertanggung jawab atas interaksi-interaksi ini.

B. PEYAMPAIAN EMOSI
Bagian sebelumnya menjabarkan emosi sebagai respons terorganisasi (perilaku, otonom,
dan hormonal) yang mempersiapkan seekor hewan untuk berhadapan dengan situasi-situasi
yang ada di lingkungan, misalnya peristiwa yag mengancam organisme tersebut. Bagi nenek
moyang pra-mamalia terawal kita, tak diragukan lagi hanya sebatas itulah yang Namanya
emosi. Namun lama-kelamaan respons-respons lain, dengan fungsi-fungsi baru, ber-evolusi.
Banyak spesies hewan (termasuk spesies kita sendiri) menyampaikan emosinya kepada orang
lain melalui perubahan pose, ekspresi wajah, dan suara-suara nonlisan (misalnya desahan,
erangan, dan geraman). Eksperesi-ekspresi ini menjalankan peran fungsi social yang berguna;
memberitahukan orang-orang lain mengenai apa yang kita rasakan dan lebih langsung ke
tujuannya apa yang yang mungkin kita lakukan. Misalnya, ekspresi tersebut memperingatkan
seorang lawan bahwa kita marah atau memberitahukan kepada teman bahwa kita sedih dan
ingin di hibur dan ditenangkan, ekspresi emosi juga bisa mengindikasikan bahwa mungkin
ada bahaya atau bahwa sesuatu yang menarik tampaknya sedang terjadi. Bagian ini mengkaji
ekspresi-ekspresi semacam itu serta penyampaian emosi.

1. Ekspesi Wajah dari Emosi: Respons bawaan


Charles Darwin (1872/1965) mengajukan bahwa ekspresi emosi manusia telah ber-
evolusi dari ekspresi-ekspresi serupa pada hewan-hewan lain. Ia mengatakan bahwa
ekspresi emosional adalah respons bawaan yang tidak dipelajari, yang terdiri atas
seperangkat kompleks Gerakan, terutama oto-otot wajah. Dengan demikian, seringai
seseorang dan seringai serigala adalah pola respons yang ditentukan secara biologis,
keduanya dikontrol oleh mekanisme-mekanisme otak bawaan, seperti juga batuk dan
bersin. (tentu saja, manusia dan serigala bisa menyeringai karena alasan yang berbeda-
beda). Sejumlah pergerakan ini menyerupai perilaku itu sendiri dan mungkin telah ber-
evolusi. Misalnya, seringai menampakkan gigi dan dapat dilihat sebagai pendahulu gigitan.
Darwin memperoleh bukti dari kesimpulannya bahwa ekspresi emosional merupakaan
bawaan dengan mengamati anak-anaknya sendiri dan melalui korespondensi dengan orang-
orang yang hidup di berbagai budaya terisolasi di berbegai penjuru dunia. Ia menalar
bahwa bila orang-orang di seluruh dunia, tak peduli seberapa pun terisolasinya,
menunjkkan ekspresi emosi yang sama di wajah, maka ekspresi-ekspresi ini pastilah
diwariskan, alih-alih dipelajari. Argument logisnya begini: sewaktu kelompok-kelompok
manusia terisolasi selama bertahun-tahun, mereka mengembangkan Bahasa yang berbeda-
beda. Dengan demikian, kita bisa katakan bahwa kata-kata yang orang gunakan berifat
manasuka; tidak ada dasar biologis untuk menggunakan kata-kata tertentu guna
merepresentasikan konsep tertentu. Akan tetapi, bila ekspresi wajah merupakan bawaan,
maka bentuknya haruslah kira-kira sama pada manusia dari kebudayaan apa pun, terlepas
dari isolasi mereka terhadap satu sama lain. Darwin ternyata memang menemukan bahwa
orang-orang dari kebudayaan yang berbeda-beda menggunakan pola-pola Gerakan otot
wajah yang sama untuk mengekspresikan kondisi emosional tertentu.
Para peneliti membandingkan ekspresi wajah tunanetra orang berpenglihatan normal.
Mereka menalar bahwa bila ekspresi wajah kedua kelompok ini serupa, maka ekspresi
bersifat alamiah bagi spesies kita dan tidak membutuhkan pembelajaran melalui peniruan.
Bahkan, ekspresi wajah anak tunanetra maupun yang berpenglihatan normal sangatlah
serupa (Woodworth dan Schlosberg, 1954; Izardm 1971). Sebagai tambahan, sebuah
penelitian mengenai ekspresi-ekspresi emosional orang-orang yang berkompetisi(dan
menang atau kalah) dalam kegiatan-kegiatan atletik dalam paraliampiade 2004 tidak
menemukaan perbedaan ekspresi antara atlet-atlet yang buta sejak lahir, buta tidak sejak
lahir, maupun berpenglihatan normal (Matsumoto dan Willingham, 2009. Dengan
demikian, baik penelitian lintas-budaya maupun penelitian terhadap tunanetra
mengonfirmasi bahwa ekspresi emosi di wajah ini memang alamiah.

2. Neuron dari Penyampaian Emosi


Lateralitas Pengenalan Emosi
Kita mengenali perasaan orang lain melalui penglihatan dan pendengaran, melihat
ekspresi wajah dan mendengar nada suara serta pilihan kata-kata mereka. Banyak
penelitian telah menemukan bahwa hemisfer kanan menjalankan peran yyang lebih penting
daripada hemisfer kira dalam memahami emosi. Misalnya, Bowers et al. (1991)
menemukan bahwa pasien dengan kerusakan hemisfer kanan kesulitan menghasilkan atau
menjabarkan citra mental dari ekspresi emosi di ajah seseorang yang sangat Bahagia atau
sangat sedih, marah ataupun takut. Kemudian mereka ditanyai mengenai ekspresi wajah itu
misalnya apakah mata merka bersinar-sinar? Apakah alisnya terangkat? Apakah sudut
bibirnya terangkat? Orang-orang dengan kerusakan hemisfer kanan kesulitan
menjawabnya, namun dapat dengan mudah menjawab non-emosional, seperti: apa yang
lebih tinggi dari tanah lutut kuda atau ujung atas ekornya? Atau angka apa dari satu sampai
Sembilan yang mirip kacang?
Sejumlah penelitian pencitraan-fungsional telah mengkonfirmasi hasil-hasil ini.
Misalnya, George et al. (1996) meminta para subjek mendengarkan sejumlah kalimat dan
mengidentifikasi kandungan emosionalnya. Dalam salah satu kondisi, para subjek
mendengarkan makna kata-kata dan mengatakan apakah kata-kata itu menjabarkan situasi
Ketika seseorang merasakan Bahagia, sedih, marah, atua netral. Dalam kondisi lain, para
subjek menilai kondisi emosional dari nada suara. Para peneliti mendapati bahwa
pemahaman emosi dari makna kata meningkatkan aktivitas konteks prefrontal secara
bilateral, dan yang kiri lebih tinggi daripada kanan. Pemahaman emosi dari nada suara
meningkatkan aktivitas di korteks prefrontal kanan saja.

Peran Amigdala dan Korteks Prafrontal


Seperti yang kita lihat di bagian sebelumnya, amigdala berperan istimewa dalam
respons emosi. Struktur tersebut juga berperan dalam pengenalan emosi. Misalnya,
sejumlah penelitian telah menemukan bahwa lesi amigdala (akibat dari penyakit
degenerative atau bedah untuk mengatasi gangguan kejang-kejang parah) mengacaukan
kemampuan orang mengenali ekspresi emosi pada wajah, terutama ekspresi-ekspresi rasa
takut (Adolphs et al,. 1994, 1995; Young et al., 1995; Calder et al., 1996; Whalen et al.,
1998) fungsional (Morris et al., 1996 Whalen et al., 1998) telah menemukan peningkatan
besar aktivitas di amigdala Ketika orang mengamati foto-foto wajah yang menampakkan
takut, namun hanya sedikit peningkatan (atau bahkan penurunan) Ketika mereka
mengamati foto-foto wajah senang. Akan tetapi, walaupun lesi amigdala mengganggu
pengenalan visual ekspresi emosi pada wajah, sejumlah penelitian telah menemukan bahwa
lesi amigdala tampaknya tidak memengaruhi kemampuan orang mengenali emosi dalam
nada suara (Anderson dan Phelps, 1998; Adolphs dan Tranel, 1999).
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa tampaknya amigdala menerima informasi
visual yang kita gunakan untuk menganali ekspresi emosi pada wajah secara langsung dari
thalamus dan bukan dari korteks asosiasi visual. Adolphs (2002) mencatat bahwa amigdala
menerima masukan visual dari dua sumber: subkorteks dan korteks, kasukan subkorteks
(dari kolikulus superior dan pulvinar, sebua nucleus besar di thalamus posterior)
tampaknya menyediakan informasi paling penting untuk tugas ibi. Bahkan, sejumah orang
dengan mengenali ekspresi emosi pada wajah walaupun mereka tidak sadar bahwa sedang
melihat wajah seseorang , sebagai blindsight afektif (affective blindsight) (de Gelder et al.,
1999; Anders et al., 2004). Tamietto et al. (2009) mengonfirmasi bahwa ‘penularan
emosi’dapat berlangsung bahkan tanpa disadari. Mereka menyajikan foto-foto wajah yang
mengekspresikan kebahagian atau rasa takut kepada medan berpenglihatan dan medan buta
sejumlah orang dengan lesi korteks visual unilateral. Walaupun orang-orang itu tidak
melaporkan melihat ekspresi (atau bahkan wajah) di medan buta mereka, mereka secara
otomatis membuat ekspresi wajah sendiri yang sesuai dengan ekspresi wajah-wajah di foto.
Orang dapat mengekspressikan emosi melalui Bahasa tubuh mereka, maupun Gerakan
otot-oto di Bahasa tubuh mereka, maupun Gerakan otot-otot di wajah (de Gelder, 2006).
Misalnya, kepalan tangan menyertai ekspresi wajah marah, sementara orang yang
ketakutan akan lari menjauh. Terlihatnya foto-foto tubuh yang menunjukkan rasa takut
mengativasi amigdala, seperti juga terlihatnya wajah-wajah takut (Hadjikhani dan de
Gelder, 2003), Meeren, van Heijinsbergen, dan de Gelder (2005) mempersiapkan foto-foto
hasil modifikasi computer yang menampilkan orang-orang yang menunjukkan ekspresi
emosi pada wajah seseorang yang sesuai dengan postur tubuhnya (ekpresi takut pada wajah
dan postur tubuh ketakutan) ataupun tidak sejalan (misalnya, ekpresi wajah marah dan
postur tubuh ketakutan). Para peneliti meminta orang-orang mengidentifikasi ekspresi
wajah yang ditunjukkan di foto-foto itu dan menemuan bahwa penilaian mereka lebih
cepat dan lebih akurat Ketika ekspresi wajah dan tubuh sejalan. Dengan kata lain, sewaktu
kita mengamati wajah orang lain, persepsi kita mengenai emosi mereka dipengaruhi oleh
postur tubuh maupun ekspresi wajah.
Korteks visual menerima informasi dari dua sistem neuron sistem magnoselular (yang
memperoleh Namanya dari lapisan sel-sel besar di nucleus genikulata lateral pada thalamus
yang meranting informasi visual dari mata ke korteks visual) menyediakan informasi
mengenai Gerakan, kedalaman, dan perbedaan yang sangat samar dalam kecerahan
pemandangan di depan mata kita. Sistem ini mucnul di awal evolusi otak mamalua dan
menampilkan citra dunia yang monokrom dan agak kabur bagi Sebagian besar mamalia
(contohnya, anjing dan kucing). Sistem parvoselular (yang memperoleh Namanya dari
lapisan sel-sel kecil di nekleus genikulata lateran) hanya ditemukan pada sejumlah primate,
termasuk manusia. Sistem ini menyediakan penglihatan berwarna dan deteksi perincian
halus kepada kita . bagian korteks asosiasi virtual yang bertanggung jawab atas pengenalan
wajah, area wajah fusiformis,menerima informasi terutama (namun bukan hanya) dari
sistem parvoselular. Informasi yang diterima oleh amigdala dari kolikulus superior dan
pulvinar bersumber dari sistem magnuselular yang lebih primitif.
Vuilleumier dan koleganya menemukan bahwa area wajah fusiformis lebih baik dalam
mengenali wajah-wajah individual dan terutama menggunakan informasi frekuensi spasi
tinggi (parvoselular) untuk melakukannya. Kontras dengan itu, amigdala (dan kolikulus
superior dan pulvinar, yang menyyediakan informasi visual ke amigdala) mampu
mengenali ekspresi takut berdasarkan informasi frekuensi spasial rendah (magnoselular)
namun tidak berdasarkan informasi frekuensi spasial tinggi.
Krolak-Salmon et al. (2004) merekam potensial listrik dari amigdala dan korteks
asosiasi visual melalui elektroda-elektroda yang ditanam dalam orang-orang yang
dievaluasi guna mempersiapkan bedah saraf untuk mengurangi gangguan kejang-kejang.
Mereka menyajikan kepada orang-orang tersebut foto berbagai wajah yang menunjukkan
ekspresi netral atau ekspresi takut, senang, atau jijik. Mereka menemukan bahwa wajah
takut menimbulkan respons terbesar dan bahwa amigdala menunjukkan aktivitas sebelum
korteks visual. Respons cepat tersebut mendukung kesimpulan bahwa amigdala menerima
informasi visual dari sistem magnoselular (yang mengantarkan informasi dengan sangat
cepat) yang memungkinkannya mengenali ekspresi wajah takut.

Persepsi Arah Tatapan


Perrett dan koleganya telah menemukan bahwa neuron-neuron dalam suklus temporal
superior (STS monyet terlibat dalam pengenalan arah tatapan mata monyet lain atau
bahkan tatapan manusia. Mereka mendapati bahwa sebagian neuron di bagian wilayah ini
merespon ketika monyet mengamati foto-foto wajah monyet atau wajah manusia namun
hanya bila tatapan wajah di foto itu di orientasikan ke arah tertentu. Mengapa tatapan
penting dalam pengenalan emosi? Pertama penting untuk mengetahui apakah ekspresi
emosi itu diarahkan ke kita atau oranglain. Misalnya, ekspresi wajah tersebut berbeda
sekali artinya dari ekspresi serupa yang diarahkan ke oranglain. Dan bila orang lain
menunjukkan tanda-tanda takut, ekspresi itu dapat berperan sebagai peringatan bermanfaat,
namun hanya jika anda bisa mengetahui apa yang sedang dilihat oleh orang itu. Bahkan,
Adam dan Kleck (2005) menmukan bahwa orang lebih mudah mengenali amarah bila mata
orang lain diarahkan ke mata pengamat, sementara rasa takut lebih mudah dikenali bila
mata oranglain itu diarahkan ke tempat lain. Seperti yang dinyatakan oleh Blair (2008),
ekspresi marah yang diarahkan ke pengamat berarti bahwa oranglain itu ingin sang
pengamat berhenti melakukan hal yang sedang ia lakukan.

Peran Peniruan dalam Pengenalan Ekspresi Emosi: Sistem Neuron Cermin


Adolphs et al. (2000) mengemukakan kemungkinan tautan antara soamtosensasi dan
pengenalan emosi. Mereka mengompilasi informasi terkomputerisasi mengenai lokasi
kerusakan otak pada 108 pasien dengan lesi otak di wilayah tetentu dan mengorelasikan
informasi ini dengan kemampuan pasien mengenali dan mengidentifikasi ekspresi ekspresi
emosi pada wajah. Mereka menemukan bahwa kerusakan paling parah terhadap
kemampuan ini disebabkan oleh kerusakan korteks somatosensoris dihemisfer kanan. Para
peneliti ini mengajukan bahwa sewaktu kita melihat ekspresi emosi pada wajah,kita secara
tidak sadar membayangkan diri kita sendiri melakukan ekspresi itu. Seringkali kita
melakukan lebih dari sekedar membayangkan membuat ekspresi tersebut, kita betul-betul
menirukan apa yang kita lihat. Adolphs et al. menjelaskan bahwa representasi
somatosensoris mengenai seperti apa rasanya membuat ekspresi yang dipersepsi ini
menyediakan petunjuk yang kita gunakan untuk mengenali emosi yang di ekspresikan oleh
wajah yang sedang kita lihat.
Carl et al. (2003) mengajukan bahwa sistem neuron cermin yang teraktivasi sewaktu
kita mengamati gerakan wajah orang lain, menyediakan umpan balik yang membantu kita
memahami apa yang orang lain rasakan. Dengan kata lain, sistem neuron cermin mungkin
terlibat dalam kemampuan kita berempati dengan emosi orang lain. Sebuah gangguan saraf
yang dikenal sebagai sindroma Moebius memberikan dukungan lebih lanjut bagi hipotesis
ini. Sindroma Moebius adakah kondisi bawaan yang mengakibatkan kelumpuahn wah dan
ketidakmampuan membuat gerakan mata lateral. Akibat kelmpuhan ini, orang-orang
menderita sindrom Moebius tidak bisa membuat ekspresi emosinpada wajah. Selain itu
mereka kesulitan mengenali eksresi emosi oranglain (Cole, 2001). Barangkali,
ketidakmampuan mereka dalam membuat ekspresi emosi pada wajah menjadikan mereka
mustahil meniru ekspresi oranglain, dan kurangnya umpan-baliknya internal dari sistem
motorik tersebut ke korteks somatosensoris mungkin menjadikan tugas pengenalan emosi
lebih lanjut.

Ekspresi Jijik
Rasa jijik adalah emosi yang dipicu oleh sesuatu yang terasa atau berbau tidak sedap
atau oleh tindakan yang kita anggap berselera buruk. Insula mengandung korteks gustatoris
primer, sehingga barangkali bukan kebetulan bahwa wilayah ini juga terlibat dalam
pengenalan “selera buruk”. Hasil dari sebuah survei daring yang digelar oleh situs web
British Broadcasting Corporation Science menunjukkan bahwa tampaknya kspresi jijik
bermula pada penghindaran penyakit. Survei itu menyajikan pasangan foto dan meminta
orang-orang mengindikasikan foto mana yang lebih menjijikan. Orang-orang yang
merespon mengindikasikan bahwa foto yang tampaknya mengandung potensi ancaman
penyakitlah yang lebih menjijikan. Misalnya, cairan kuning yang meresa ke tissue terlihat
lebih seperti cairan tubuh daripada cairan biru.

3. Dasar Neuron dari Penyampaian Emosi : Ekspresi


Ekspresi emosi pada wajah bersifat otomatis dan tidak disadari (walaupun seperti yang
sudah kita lihat, bisa dimodifikasi oleh aturan-aturan berpenampilan). Tidak mudah
membuat ekspresi emosi realistik pada wajah ketika kita tidak benar-benar merasakan
emosi tersebut. Bahkan Ekman dan Davidson telah mengonfirmasi salah satu pengamatan
awal oleh seorang ahli saraf abad ksemebilan belas, Guillaume-Benjamin Duchenne de
Boulogne, bawa senyum senang yang tulus, bukan senyum palsu atau senyum sosial yang
dibuat-buat orang ketika mereka menyapa orang lain,melibatkan kontraksi sebuah otot di
dekat mata, bagian lateral dari okulus orbikularis, sekarang terkadang disebut otot
Duchenne (Ekman, 1992; Ekman dan Davidson, 1993).

C. PERASAAN EMOSI
1. Teori James-Lange
William James (1842-1910), seorang psikolog Ameri, dan Carl Lange (1834-1900),
seorang fisiologi Denmark, secara terpisah mengajukan penjelasan yang serupa untuk
emosi, yang disebut secara kolektif sebagi teori James-Lange. Pada dasarnya teori ini
menyatakan situasi penghasil emosi memicu seperangkat respons fisiologis yang sesuai,
misalnya gemetar, berkeringat dan detak Jantung meningkat. Situasi-situasi tersebut juga
memancing perilaku misalnya mengepalkan tangan atau bertarung. Otak menerima umpan
balik sensori dari oto dan dari organ-organ yang menghasilkan respons-respons ini, dan
umpan balik inilah yang menyusun perasaan emosi kita.
James mengatakan bahwa perasaan emosi kita di dasari pada apa yang kita dapati diri
kita sendiri lakukan dan pada umpan balik sensoris yang kita terima dari aktivita otot-otot
dan organ-organ internal kita misalnya sewaktu kita mendapati diri kita gemetaran dan
merasa gelisah, kita mengalami rasa takut. Bila menyangkut perasaan emosi, kita aalah
pengamat diri.
Dalam salah satu dari segelintir uji terhadap teori James, Hohman (1966)
mengumpulkan data dari penderita kerusakan urat saraf tulang belakang. Ia menanyai
orang orang ini mengenai intensitas perasaan emosi mereka. Bila umpan balik penting, kita
apat menduga bahwa perasaan emosi akan berkurang bila cedera tinggi letaknya (dekat
dengan otak) daripada nilai cedera itu rendah letaknya, sebab cedera urat saraf tulang
belakang yang tinggi akan menjadikan seseorang tidak peka terhadap bagian tubuh yang
lebih besar. Semakin tinggi letak cedera semakin berkurang intesitas perasaan.

2. Umpan-balik dari Ekspresi Emosi


Sejumlah penelitian menjunjukkan bahwa tampaknya umpan balik dari kontraksi otot-
oto wajah dapat mempengaruhi suasana hati orang dan bahkan mengubah aktivitas sistem
saraf otonom. Mengapa pola tertentu gerakan otot wajah menyebabkan perubahan suasana
hati atau ativitas sistem saraf otonom? Baragkali ketersambngan itu adalah akibat dari
penglaman, dengan kata lain terjadina gerak wahtertentu bersama perubahan pada sistem
saraf otonom menyebabkan pengkondisian klasik, sehingga umpan balik dari gerakan
wajah menjadi menjadi mampu memicu respons otonom dan perubahan pada emosi yang
di persepsi.

BAB 3

PENUTUP
KESIMPULAN

Hubungan antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional.
Antara satu dengan yang lainnya saling menentukan. Daniel Goleman menggambarkan bahwa
otak berfikir harus tumbuh dari wilayah otak emosional. Beberapa hasil penelitian membuktikan
bahwa kecerdasan emosional hanya bisa aktif di dalam diri yang memiliki kecerdasan
intelektual.
DAFTAR PUSTAKA

Carlson, N. R. (2013). Fisiologi Perilaku. Edisi Kesebelas, Jilid 2. Jakarta: Erlangga.


Hude, M. Darwis. (2006 ). Emosi;Penjelajahan Religio Psikologis tentang Emosi Manusia
di dalam Al-Qur’an. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai