Anda di halaman 1dari 14

Emosi dan proses kognitif

1. Latar belakang

Sebagian besar hidup kita diisi dengan emosi, kita tidak bisa bayangkan hidup kita
tanpa emosi. Kita akan hidup seperti robot, yang melakukan kegiatan tanpa adanya rasa
senang, sedih, bingung, kesal, marah, dan sakit hati. Emosi mengatur nada dari kehidupan dan
menjadikan hidup berharga. Tanpa kemampuan untuk bersedih, marah, senang dan cinta, kita
akan kesulitan mengenali diri kita sebagai manusia.

Emosi dapat diartikan sebagai pola-pola reaksi yang melibatkan perubahan psikologi,
ekspresi perilaku dan keadaan yang menyebabkan suatu tantangan. Reaksi emosi secara alami
mempengaruhi bagaimana seseorang menghargai dan mengahadapi situasi-situasi tersebut
(Buck 1985). Emosi meliputi bermacam-macam perasaan yang dipengaruhi oleh lingkungan
luar yang kita kurang mampu untuk mengontrolnya. Contohnya, kesedihan yang terlalu dalam
menyebabkan kita merasa bahwa dunia tidak berwarna dan ingin cepat melupakannya. Secara
khusus, emosi juga membawa pada perubahan fisik seseorang. Contoh dari Perubahan fisik
ini meliputi meningkatnya detak jantung karena didekat seseorang yang kita sukai, tangan
gemetar ketika berpidato untuk pertama kalinya. Dan pada akhirnya emosi dapat
mempengaruhi perilaku kita. Bayangkan seorang ibu yang melihat anaknya

Sedangkan kognisi adalah proses yang meliputi memori, perhatian, bahasa, problem
solving, and perencanaan. Banyak proses kognitif yang menakjubkan yang dilakukan oleh
manusia. Mereka sering juga mampu mengontrol proses kognisi yang telah dilakukan dengan
kognisi mereka sendiri (metakognisi), berfikir tentang cara yang terbaik untuk mengingat.
Kemampuan bahasa kita pun sangat menakjubkan. Kita mampu menyimpan kata-kata hingga
100000 kata dan kita mengeluarkan tiga kata per detiknya.

Hubungan antara emosi dengan kognisi telah menjadi hal yang menarik para psikolog
untuk diselidiki lebih lanjut. Selama lebih dari dua decade, keduanya dianggap merupakan
dua proses yang tidak saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.

Pada makalah ini, akan dibahas tentang aspek-aspek fisiologi, behavioral dan
experimental dari emosi. Bahasan ini difokuskan pada isu-isu terkini dari beberapa studi
tentang emosi. Seperti peran dari perubahan fisik dalam memainkan pengalaman emosi
seseorang.

2. Rumusan masalah
2.1. Bagaimana emosi kita mempengaruhi perubahan fisik tubuh kita?
2.2. Bagaimana proses munculnya emosi pada diri kita?
2.3. Bagaimana hubungan antara kognisi dan emosi?
2.4. Bagaimana peran emosi dalam proses pembelajaran fisika?
3. Pembahasan
3.1. Emosi dan perubahan fisik

Peran dari faktor-faktor fisiologi dalam memainkan emosi manusia telah


membangkitkan minat para psikolog pada abad ini. Apakah faktor fisiologi ini adalah
sebab utama dari emosi? Apakah kondisi fisik yang berubah-ubah mempengaruhi
perubahan emosi? Meskipun banyak jawaban pada pertanyaan-pertanyaan ini telah
dikemukakan, akan tetapi banyak kontroversi yang muncul di kalangan para psikolog.
Mereka sepakat dalam satu hal yaitu: emosi yang kuat diasosiasikan dengan perubahan
sistem saraf autonomik.

Sistem saraf autonomik mengatur kondisi internal tubuh dan bekerja secara tidak
sadar. Sistem ini tersusun atas dua divisi, simpathetik dan parasimpathetik, keduanya
terhubung pada hampir setiap otot pada organ dalam dan juga setiap pembuluh darah.

Divisi parasimpathetik bekerja dominan selama proses relaksasi dan dalam hal
pemulihan energi. Dia bekerja untuk menurunkan detak jantung, aliran darah yang
menuju pada otot-otot tulang, dan juga pencernaan. Sudah menjadi hal yang umum
bahwa sebagian besar dari perubahan fisik dihubungkan dengan emosi yang kuat, seperti
seringnya marah dan takut itu disebabkan oleh aktivitas dari divisi simpathetik.

Apa yang terjadi ketika sistem saraf nervous simpathetik teraktivasi? Bayangkan
pada pukul 2 malam, kita berjalan menuju ke mobil kita pada parkiran yang kondisinya
sepi, tiba-tiba seorang muncul dari lorong kecil untuk mengagetkan kita. Apa perubahan
fisik yang akan terjadi pada kondisi ketakutan ini?

a) Pembuluh darah kita yang menuju ke perut dan usus akan menyusut dan pencernaan
kita akan terhenti. Pada waktu bersamaan , pembuluh darah yang menuju pada otot-
otot tulang akan mengembang, dan mengalirkan oksigen dan nutrisi yang dibawa
darah ke bagian tubuh dimana darah diperlukan ketika kondisi tersebut.
b) Pancreas kita akan mengeluarkan hormone glikogen yang akan menstimuli hati untuk
melepaskan gula yang tersimpan dalam hati menuju ke aliran darah. Gula darah akan
menyediakan energi tambahan pada otot-otot tulang dimana mereka dibutuhkan.
Sebagai tambahan, kelenjar adrenalin akan mengeluarkan hormone epinefrin yang
membantu menopang banyaknya perubahan fisikal yang lain.
c) Pernafasan kita akan menjadi lebih dalam dan lebih cepat dan brokioolus akan
mengembang. Perubahan ini akan meningkatkan supply oksigen ke darah untuk
pembakaran gula darah pada otot-otot tulang.
d) Detak jantung akan meningkat bisa lebih dari dua kali lipatnya sehingga
mempercepat sirkulasi darah dan mempercepat pengiriman oksigen dan nutrisi pada
otot-otot tulang.
e) Pupil mata membesar dan sensitivitas penglihatan kita akan meningkat.
f) Kelenjar salivary akan berhenti bekerja, dan menyebabkan mulut menjadi kering,
g) Otot di bawah permukaan kulit akan berkontraksi, dan menyebabkan bulu rambut
berdiri.

Semua perubahan fisik ini diperlukan untuk mepersiapkan tubuh untuk bereaksi pada
potensi ancaman, seperti dengan menghadapinya dan lari darinya, fenomena ini dikenal
sebagai fight or flight respon

Pada kenyataannya aktifnya system saraf simpathetik terkadang menghasilkan


perbuatan yang hebat dan kuat sekali atau daya tahan tubuh. Beberapa kasus yang terjadi
seperti seorang ibu yang mampu mengangkat mobil untuk membebaskan anaknya yang
terjebak dibawahnya, seseorang yang berenang melawan arus yang kuat untuk lari dari
buaya misalnya. Kejadian ini tidak bisa dikatakan bahwa kekuatan ini muncul karena
seseorang tersebut diberkahi oleh kekuatan superpower. Akan tetapi lebih tepatnya
munculnya perubahan fisik ini memungkinkan seseorang untuk menggunakan otot
tubuhnya lebih efektif dan dalam waktu yang lama dari biasanya.

Segera sesudah situasi yang mengancam berakhir maka kondisi fisik kita kembali
dalam keadaan semula. Hal ini disebabkan System syaraf parasimpathetik akan mulai
memulihkan sendiri kondisi yang ditimbulkan oleh system syaraf simpathetik. Denyut
jantung, pernafasan, kelenjar hormone, aliran darah dan ketegangan otot akan kembali
normal. Lalu kondisi tubuh sebagai akibat ketakutan akan menurun.

3.2. Emosi dan otak

Area hipotalamus dan area-area tertentu pada sitem limbik adalah area yang
terlibat dalam sejumlah reaksi-reaksi dari emosi, seperti marah, aggresif, ketakutan
(Pribram 1981). Hal ini dibuktikan dengan beberapa percobaan dengan menggunakan
hewan. Misalnya percobaan dengan menggunakan kucing telah menunjukkan bahwa
stimulus pada area tertentu pada hypothalamus dapat mempengaruhi dengan kuat aktivasi
dari system syaraf simphatetic dan tampilan emosi yang hanya dapat diintepretasikan
oleh jenis binatang kucing. Pupil mata kucing membesar, bulu belakangnya berdiri,
telinga yang bergerak turun, kuku yang keluar dari kaki-kakinya, desisan dan
mengeramnya secara intensif (Flynn et al,.1970). disamping itu pembedahan pada area
amygdala dapat mengahsilkan perilaku hewan yang sangat patuh. Untuk alasan ini,
beberapa hewan buas yang digunakan untuk pertunjukan sirkus bisa patuh dengan
pawangnya disebabkan oleh bagian dari amygdala ini yang telah dilakukan
pembedahan.

Beberapa peneliti menemukan kasus perilaku emosi yang berlebih-lebiahan pada


manusia telah disebabkan kerusakan pada daerah tertentu pada pada system limbik.
Kerusakan ini bisa disebabkan penyakit yang menyerang otak, penyalahgunaan obat dan
trauma yang disebabkan kecelakaan, cedera, dan tertembak. Contohnya seperti tersangka
Charles Whitman, yang telah membunuh 34 orang dikarenakan ada penyakit di otaknya.
Hasil otopsi dari tes kesehatannya menghasilkan bahwa dia menderita tumor pada
daerah amygdala (Sweet, Ervin and Mark,1969). Kerusakan pada system limbik juga bisa
dihubungkan dengan perilaku kekerasan seseorang. Jadi peneliti mengemukakan bahwa
beberapa orang yang mudah berubah-rubah pikiran (volatile) dimungkinkan menderita
penyakit atau mengalami luka di otaknya (mark and Ervin 1970).

Penelitian terkini tentang otak menunjukkan bahwa emosi tidak hanya dikontrol
oleh bagian hypothalamus dan system limbik. Lebih dari itu, bagian otak yang disebut
kortek secara mendalam terlibat dalam mengatur emosi. Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa peran kortek pada emosi adalah secara asimetris. Bagian kiri berkontribusi pada
lebih banyak perasaan positif, sedangkan bagian kanan berkontribusi pada lebih banyak
perasaan negatif. Orang-orang yang menderita kerusakan pada hemisphere cerebral kanan
akan sangat tenang dan riang dalam emosinya. Mereka mungkin menertawakan hal-hal
yang tidak lucu bagi orang lain dan membuat guyonan-guyonan yang tidak tepat. Hal ini
membuktikan bahwa emosi rasa senang adalah sebagian besar dipengaruhi oleh akivitas
otak kiri. Sebaliknya, orang-orang yang menderita kerusakan pada hemisphere kanan
akan mengalami rasa depresi yang akut dan tidak dapat mengontrol tangisannya. Emosi
negatif ini sepertinya lebih banyak dipengaruhi oleh hemisphere kanan (Gainotti, 1972;
Hecaen,1962; Sackeim et al.,1982). Hasil PET menunjukkan bahwa penderita depresi
lebih banyak mengaktifkan bagian hemisphere sebelah kanan dengan level yang tinggi
dibandingkan dengan orang-orang yang tidak depresi. (Davidson, 1984)

3.3. EKSPRESI DARI EMOSI

Emosi adalah perasaan pribadi yang berasal dari suatu kondisi terkini dari status
internal, mood, lingkungan, konteks masa lalunya dan stimuli eksternal. Emosi erat
hubungannya dengan hasrat dan willingness. Hasrat adalah perasaan pribadi atau
keinginan untuk memiliki sesuatu, untuk melakukan interaksi dengan dunia luar atau
untuk mempersiapkan apa yang akan terjadi. willingness adalah keadaan pribadi yang
sadar, tenang dan pilihan dalam melakukan tindakan. Berdasarkan studi dari Fischer,
Shaver, and Carnochan (1990) and Wilson and Keil (1999), taksonomi dari emosi dapat
di uraian menjadi tiga level yang disebut sebagai subkategori, dasar dan level atas seperti
pada table. Menariknya emosi manusia dapat diklasifikasikan kedalam dua katagori yang
berlawanan: senang dan tidak senang. Variasi emosi pada dua kategori ini dapat
diklasifikasikan menjadi lima level berdasarkan kekuatan perasaan individu (Wang,
2005). Kita dapat mengenali Level-level emosi pada individu dengan memperhatikan
petunjuk verbal individu tersebut.

Table 1. taksonomi emosi

Level Deskripsi
level super Positif (senang) Negative (tidak senang)
Level dasar gembira (Joy) Cinta (love) Marah Sedih Takut (fear)
(anger) (sadness)
Level sub- bahagia (Bliss) Kegemaran Kejengkelan Sedih sekali Kengerian
categori bangga (Pride) (fondness) (annoyance) (Agony) (Horror)
kesukaan Tergila-gila Rasa Kesedihan Kecemasan
(contentment) (infatuation) Permusuhan (Grief) (worry)
(Hostility) Rasa bersalah
Rasa jijik (Guilt)
(Contempt) Kesepian
cemburu (loneliness)
(jealousy)

Table 2. Hirarki emosi

Level Deskripsi

0 No emotion -
1 Weak Senang (Comfort) Rasa aman (Safeness), kepuasan hati
emotion (contentment), kepuasan (fulfillment), percaya
(trust)
Takut(Fear) Cemas (Worry), sangat takut (horror), cemburu
(jealousy), ketakutan (frightening), terancem
(threatening)
2 Moderate Kegembiraan Sangat senang (Delight), senang (fun), ketertarikan
emosi (Joy) (interest), rasa bangga (pride)
Kesedihan Gelisah (Anxiety), kesepian (loneliness), rasa sesal
(Sadness) (regret), rasa bersalah (guilt), duka cita (grief),
duka cita karena menderita (sorrow), penderitaan
yang mendalam (agony)
3 Strong Senang (Pleasure) Kebahagiaan (Happiness), kebahagiaan (bliss),
emosi kebahagiaaa/kegemparan ( excitement),
kebahagiaan yang luar biasa (ecstasy)
Marah (Anger) kejengkelan (Annoyance), rasa permusuhan
(hostility), jijik (contempt),sangat marah
(infuriated), membuat marah sekali (enraged)
4 Strongest Cinta (Love) Rasa akrab (Intimacy), keinginan (passion),
emosi amorousness, kegandrungan (fondness), tergila-
gila (infatuation)
Benci (Hate) Muak (Disgust), benci (detestation), ngeri
(abhorrence), sangat brenci (bitterness )

Setiap Individu memiliki perbedaan yang sangat bervariasi dalam penggunaan


petunjuk nonverbal untuk mengungkapkan emosinya. Misalnya dicina, orang yang
menggaruk-garuk telinga dan pipinya menandakan bahwa dia sedang senang. Sedangkan
di barat menunjukkan bahwa seseorang sedang gelisah dan bingung. Perbedaan petunjuk
nonverbal pada orang-orang tersebut berubah-ubah sesuai dengan nilai dari suatu tes yang
disebut Profile of Nonverbal Sensitivity (PONS). PONS mengukur kemampuan
seseorang untuk membaca pesan nonverbal. Sebuah penelitian mengungkap bahwa
orang-orang yang mempunyai kemiripan budaya mendapatkan nilai yang baik dalam Tes
PONS tersebut.

Penelitian lain mengungkap bahwa pria dan wanita menunjukkan perbedaan


ungkapan nonverbal dalam mengekspresikan emosi mereka. Ross Buck (1976)
melakukan penelitian dengan memperlihatkan sederetan gambar ungkapan emosi pada
sekelompok pria dan wanita. Penelitian ini menghasilkan bahwa responden lebih mudah
menebak dengan benar gambar ungkapan emosi dari wanita daripada gambar ungkapan
emosi dari pria. Akan tetapi penelitian ini tidak belaku pada anak-anak. Pada mereka
didapatkan bahwa respon dari melihat gambar ungkapan emosi berubah sesuai dengan
kepribadiannya bukan jenis kelaminnya.

Ekman dan Koleganya mengembangkan penelitaan ini lebih jauh lagi. Mereka
berpendapat bahwa pergerakan otot wajah disebabkan oleh system syaraf autonomic,
yang mengontrol detak jantung, pernafasan, organ tubuh yang lainnya. Dengan memakai
karakterisrik dari ekspresi wajah seseorang, kita dapat memicu respon fisik dari orang
tersebut. Contohnya Eksman And Koleganya melakukan penelitian dengan meminta
seseorang untuk mengangkat alis mata atau kening, mengangkat kelopak mata bagian
atas, mengerutkan kelopak mata bawah, menurunkan rahang dan meregangkan kelopak
mata bawah. Sementara gelombang otak, detak jantung, nafas, suhu tubuh orang tersebut
di monitoring. Ekman mengira bahwa kontraksi dan relaksasi dari otot muka memicu
respon khusus pada system syaraf yang tugasnya untuk memproduksi hormone yang
mampu untuk merubah mood kita.

3.4. Teori-teori tentang proses terbentuknya emosi


3.4.1. Teori James-Lange

William james mengajukan teori, yaitu bahwa kemampuan untuk


mengidentifikasi dan memberi label pada keadaan emosi kita didasarkan pada
kemampuan kita mengintepretasikan perubahan tubuh kita yang berkaitan dengan
emosi tersebut. Berdasarkan teori ini,urutan jalannya terbentuknya emosi adalah
sebagai berikut. Persepsi kita pada stimulus luar memicu perubahan tubuh.
Perubahan tubuh ini menyebabkan pesan sensori dikirimkan ke otak. Lalu otak
memproduksi emosi dari persepsi yang kita alami tersebut. Setiap keadaan emosi
di tandai dengan pola psikologi yag unik. James menekankan bahwa pola tersebut
adalah pola dari respon organ bagian perut (addominal or viscera). Carl lange
mengusulkan teori yang sama seperti yang dikemukakan James. Akan tetapi dia
menekankan pada pola perubahan pembuluh darah (vaskuler).
Persepsi kemunculan Aktivasi dari Pesan ke otak
stimulus emosi perubahan viscera menghasilkan
dan vaskuler pengalaman emosi

3.4.2. Teori cannon-bard

Pada tahun 1927 Walter Cannon mempublikasikan kritik yang tajam pada
teori James-Lange. Pertama ide tentang reaksi tubuh karena emosi dipertanyakan
tentang perkiraan waktu proses terjadinya. Seringkali kita merasa emosi berubah
sangat cepat dan meluncur tanpa kendali. Kita terkadang menemukan teman kita
tiba-tiba emosinya riang lalu sedih. Kedua, percobaan yang dilakukan oleh
Gregorio maranon (1924) membuktikan teori James-lange dengan menyuntikkan
hormon epinefrin pada subyek penelitian. Penelitian ini menghasilkan bahwa
sekitar 71 % dari subtek penelitian mengalami hanya gejala-gejala fisik seperti
detak jantung meningkat, tenggorokan kering, tanpa mengalami perubahan emosi
yang berarti.

Berdasarkan ketidakakuratan teori yang dikemukakan oleh James-Lange,


Maranon mengusulkan bahwa bagian otak yang bernama Thalamus memainkan
peran yang vital dalam mengatur emosi seseorang. Pada situasi yang
membangkitkan emosi seseorang, stimuli dari perasa melewati bagian otak
thalamus yang berfungsi sebagai stasiun penyampai emosi (station relay). Setelah
itu Thalamus menyalurkan secara simultan informasi pada dua bagian tubuh yaitu;
ke bagian tubuh atas yaitu otak kortek ( menghasilkan emosi pada seseorang) dan
ke bagian tubuh bawah yaitu system syaraf autonomic (menghasilkan respon
fisik).

Segera setelah itu, teori Cannon-Bard ini didukung oleh ahli anatomi tubuh
james Papez (1937). Dia mengusulkan peran kritis dari hypothalamus dan bagian
dari system limbik. Hypothalamus ini adalah bagian yang utama dari daerah otak
yang memicu adanya gejala fisik. Dan system limbik adalah bagian yang utama
dari daerah otak yang mengatur emosi seseorang. Pandangan ini adalah yang
paling banyak diterima oleh para psikolog untuk menggambarkan proses
terjadinya emosi. Sinyal ke kortek menghasilkan
pengalaman emosi

Persepsi kemunculan Impuls saraf Sinyal ke system


stimulus emosi thalamus saraf autonomik
3.4.3. Teori Dua faktor Schachter dan Singer

Ketika banyak peneliti memperbaharui idea James tentang factor-faktor


fisik yang mempengarui emosi. Psikolog lainnya mengembangkan teori James
dengan menitikberatkan pada pada proses kognitif seseorang. Diantara para
psikolog ini adalah Stanley Schachter dan Jerome Singer. Berdasarkan dua factor
teori terbentuknya emosi tersebut. Pengalaman emosi seseorang tergantung pada
perubahan fisik dan interpetasi kognitif pada perubahan tersebut. Interpretasi
kognitif ini memungkinkan seseorang menyebutnya sebagai kondisi umum dari
perubahan fisik pada emosi tertentu (Schacher, 1964)

Bagaimana kita dapat membuktikan adanya peran kognitif dalam emosi


sesorang? Setiap hari dalam kehidupan kita, munculnya emosi dan proses kognitif
yang berkaitan dengannya adalah saling berkaitan antara satu dengan yang
lainnya. Kondisi ini yang membuat Stanley Schachter dan Jerome Singer tertarik
untuk mempelajarinya. Mereka mengajak kita berfikir tentang kondisi yang diluar
kebiasaan kita. Mereka mencoba memisahkan antara kondisi munculnya emosi
dengan proses kognisi yang dilakukan seseorang. Apa yang akan kita lakukan,
jika kita merasakan sensasi emosi akan tetapi tidak ada sebab yang nyata untuk
emosi tersebut? Schachter dan Singer menjelaskan bahwa ketika kita merasakan
suatu emosi, maka kita perlu menjelaskan perasaan kita ini dengan berbagai cara
dan mencari sebab yang masuk akal di sekitar kita. Hasilnya, kita memberi arti
pada setiap kondisi emosi kita dengan perasaan senang, cinta, cemburu, atau
benci, berdasarkan keadaan kognisi yang terjadi pada kita.

Untuk mencoba mendesign suatu ekperimen untuk mengukur hipotesis


ini, Schachter dan Singer menemui beberapa hambatan. Pertama, mereka
kesulitan untuk mencari cara yang nonemosional untuk memunculkan perubahan
fisik seseorang. Mereka menemukan solusi dari permasalahan ini dengan
menyuntikkan hormone epinefrin, dengan alasan bahwa mereka ingin
mempelajari efek suntikan pada penglihatan. Subjek penelitian secara acak
ditempatkan pada salah satu dari empat kondisi yang berbeda.

a) Informed condition, peneliti menginformasikan bahwa suntikan akan


menyebabkan efek samping seperti tangan gemetar, jantung berdebar yang
merupakan efek samping sebenarnya dari suntikan tersebut.
b) Misinformed condition, subjek penelitian diarahkan untuk menduga bahwa
efek suntikan berupa sakit kepala dan gatal
c) Ignorant condition, subjek diberitahukkan bahwa suntikan tidak menimbulkan
efek samping sama sekali
d) Placebo condition, subyek diberitahukan bahwa suntikan yang diberikan
berisi larutan garam yang tidak mempunyai efek apa-apa.

Schachter dan Singer memprediksi bahwa subyek dengan misinformed


dan ignorant condition akan kekurangan penjelasan untuk keadaan yang dia
rasakan. Dan akan mencoba mencari informasi dari lingkungannya yang akan
membatu untuk menjelaskannya dari apa yang dia rasakan.

Setelah itu subyek dengan misinformed dan ignorant condition


diperintahkan untuk melakukan tes penglihatan di sebuah ruangan, dengan
seorang asisten penelitian yang telah diatur untuk membantu melakukan tindakan-
tindakan tertentu. Di kasus tertentu, asisten melakukan tindakan yang membuat
suasana menyenangkan seperti tertawa, bermain hulahoop. Pada kasus yang lain,
asisten tersebut melakukan tindakan yang membuat subjek menjadi marah. Lalu
subyek menjadi marah, bertengkar mulut dengan asisten dan menyobek kertas
questionnaire.

Dari penelitian Schachter dan Singer, mereka memprediksi bahwa subjek


yang tidak memiliki alasan untuk menjelaskan keadaan emosi yang dia rasakan,
akan memberi label berdasarkan emosi yang dilakukan oleh asisten. Jadi subjek
dengan kondisi misinformed dan ignorant condition akan memberi label terhadap
keadaan emosi sama dan mereka tidak mengerti berdasarkan isyarat dari
lingkungannya. Berlainan dengan kondisi diatas, subyek dengan informed
condition, yang telah diberi penjelasan tentang efek dari epinefrin adalah sedikit
untuk berperilaku seperti apa yang dilakukan oleh asisten .

Akan tetapi eksperimen ini mempunyai kekurangan antara lain, penelitian


Schachter dan Singer gagal untuk memonitor respon psikologi dari subyek
penelitian, dikarenakan efek suntikan epinefrin adalah bervariasi dan terkadang
dalam waktu yang singkat. Emosi yang dimunculkan subjek mungkin bukan dari
sebab kondisi lingkungan yang sesaat tersebut akan tetapi ingatan dari masa
lalunya.

Aktivasi dari Interpretasi Mengkombinasi


kemunculan kognitif dari keduanya untuk
perubahan fisik perubahan fisik pengalaman emosi

3.5. Hubungan Emosi, Motivasi dan Proses Kognitif


3.5.1. Emosi, persepsi dan Atensi

Meningkatnya aktivasi penglihatan ketika melihat stimuli emosi


berbanding lurus dengan meningkatnya perilaku pada beberapa tugas visual.
Contoh, wajah marah, senang dan stimuli emosi lainnya terdeteksi dengan cepat
dibandingkan dengan stimuli yang netral (Eastwood et al., 2001). Bukti yang kuat
muncul dari model attentional blink (atensi yang buta), dimana subjek penelitian
diperintahkan untuk melaporkan hasil pengamatan dua target stimuli visual (T1
dan T2) diantara arus beberapa stimulus visual yang cepat. Ketika T2 diikuti
dengan T1 dengan jeda yang singkat, partisipan lebih seperti melewatkannya ,
seperti terbutakan perhatiannya. Menariknya, attentional blink terjadi karena di
atur oleh stimuli emosi daripada ketika keadaan netral (Anderson, 2005).

Berdasarkan penemuan-penemuan lain menunjukkan bahwa wajah emosi


dimungkinkan untuk mengatur dari pembagian perhatian. Sebagai contoh, pasien
dengan unilateral inattention (dikarenakan kerusakan hemisphere parietal bagian
kanan) lebih baik dalam mengenali wajah sedih ataupun senang dibandingkan
dengan wajah netral (Vuilleumier and Schwartz, 2001).

3.5.2. Emosi, memori dan belajar

Penelitian pada pengkondisian classical pada rasa takut menyarankan


bahwa amygdala terlibat dalam kemahiran, penyimpanan dan ekspresi dari respon
rasa takut. Dimana kondisi ketakutan dipercaya terlibat secara primitive pada
proses belajar afektif. Ketakutan yang diintruksikan menggambarkan situasi
dimana kognisi dan emosi berinteraksi lebih jelas lagi.

Contoh lain dari belajar cognitive-affective adalah pengamatan ketakutan.


Pada proses belajar ini, respon ketakutan yang diperoleh pebelajar dihasilkan dari
proses belajar dengan metode observasi sosial. Pada kasus ini, manusia maupun
hewan primata mampu belajar secara afektif pada stimulus yang diberikan,
melalui pengamatannya pada reaksi emosi yang dimunculkan oleh stimulus
tersebut (Ohman and Mineka, 2001). Misalnya kita belajar untuk menghindari
ketakutan dalam terjadinya kecelakaan lalu lintas pada jalur padat dengan
membuat jembatan penyeberangan. Pembuatan bangunan anti gempa untuk
menimimalisir ketakutan terhadap gempa bumi.

Konten emosi dapat merubah membentuk dan mengingat pada kejadian


masa lampau, bersesuaian dengan yang ditemukan pada manusia dan hewan.
Dibandingkan item-item yang netral, manusia lebih baik dalam hal mengingat
informasi dengan melibatkan emosinya. Contohnya hal-hal yang bisa membantu
ingatan adalah cerita sedih, film, gambar, dan untaian kata-kata.

Sebagai contoh, pada salah satu penelitian dengan subyek penelitian yang
diperlihatkan dua video, yang satu berisi konten netral dan yang lainnya berisi
konten emosional (Cahill et al., 1996). Meskipun kedua tipe video tersebut
diambil dari sumber yang dan level pemahaman yang sama, subjek didapati
mengingat lebih baik dari video yang berisi konten emosional dibandingkan
dengan yang netral setelah dilakukan tes kurang lebih 3 minggu setelah subjek
melihat video tersebut. Pada penelitian lain (Bradley et al., 1992) menggunakan
beberapa gambar yang mengandung konten emosional dan netral. Gambar dengan
konten emosional yang tinggi dingat lebih baik dibandingkan dengan gambar-
gambar konten emosionalnya rendah. Pada manusia, ada beberapa dugaan yang
mendukung bahwa peningkatan memori dikarenakan sebab utama dimensi arousal
(pembangkitan) dari konten emosi (Phelps, 2006), dugaan ini ditemukan dengan
melakukan penelitian pada hewan (McGaugh, 2004).

Untuk menggambarkan efek dari pembangkitan emosi, sekelompok hewan


menerima suntikan D-amphetamine sesaat setelah dilatih dan sekelompok yang
terkontrol menerima suntikan cairan garam.

Tes perilaku menunjukkan bahwa pemberian d-amphetamine pada


amygdala meningkatkan memory baik yang berkaitan dengan tugas spasial
maupun non-spasial. Pertumbuhan tubuh dari hewan tersebut mendukung dengan
kuat model yang mengemukakan bahwa emosi berpengaruh pada memori dengan
mengatur memori storage (McGaugh, 2004). Secara khusus, amygdala dan yang
berhubungan dengan system basal forebrain yang meliputi stria terminalis
menunjukkan peran utama pada proses pengaturan memori storage ini. Struktur
ini diteliti memainkan peran utama pada konsolidasi/penggabungan memori pada
jaringan di daerah otak. Jaringan ini termasuk; hippocampus, yang terlibat pada
pembentukkan memori, dan struktur tambahan otak lainnya seperti; nucleus
accumbens, caudate nucleus, entorhinal cortex, dan pada daerah cortical yang
lainnya (McGaugh, 2002).
3.5.3. Behavioral inhibition and working memory

Dimensi yang penting pada kognisi meliputi behavioral inhibition


(hambatan perilaku). Response inhibition adalah proses yang diperlukan untuk
membatalkan tindakan yang ingin dilakukan. Respon ini dipercaya dikontrol pada
daerah di prefrontal cortex (e.g., dorsolateral prefrontal cortex, anterior cingulate
cortex, dan inferior frontal cortex) (Rubia et al., 2003; Aron et al., 2004).
Response inhibition sering diteliti dengan istilah sebagai go/no-go stimulus. Jika
subjek diminta untuk mengesekusi respon motorik maka menunjukkan stimulus
go. Dan ketika menahan respon maka menunjukkan stimulus no-go. study terkini
meneliti tentang interaksi antara proses emosi dan response inhibition (Goldstein
et al., 2007). Response inhibition yang mengikuti kata-kata negative (kata-kata
yang tidak berharga) berkaitan dengan dorsolateral prefrontal cortex. menariknya,
daerah ini tidak mendapatkan tugas inhibitory, malahan, dorsolateral cortex yang
sensitive dengan tugas perilaku penolakan dan memproses kata-kata negative

3.5.4. Dampak dari kognisi pada emosi

Hal terpenting yang patut untuk diskusikan adalah studi-studi tentang


penelitian interaksi antara kognisi dan emosi yang dikenal dengan cognitive
emotion regulation (Ochsner and Gross, 2005; Ochsner and Gross, 2008).
Terutama sekali tentang Strategi pengaturan informasi yang disebut “cognitive
reappraisal”, yang meliputi proses memikirkan kembali makna dari stimuli afektif
yang terbebani atau kejadian yang merubah pengaruh emosi mereka. Reappraisal
(penilaian kembali) muncul berdasarkan pada interaksi antara prefrontal and
daerah cingulate yang sering terlibat pada mengontrol kognitif dan system seperti
amygdala dan insula yang terlibat pada peresponan stimuli. Menariknya, tujuan
untuk memikirkan kembali tentang stimuli yang mengatur dan mengurangi emosi
mungkin bisa mendorong aktivitas amygdala sehingga emosi menjadi berkurang.
Lebih jauh lagi, perubahan pengalaman emosi dan respon autonomic mungkin
berkorelasi dengan seiring naik atau turunnya prefrontal dan/atau aktivitas
amygdala.

3.6. Peran emosi dalam proses pembelajaran fisika

Dalam jurnal yang dipublikasikan Artini,dkk,2013 menyebutkan bahwa


penerapan model pembelajaran berbasis proyek terbukti secara empiris lebih unggul
dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa dibandingkan dengan model
pembelajaran konvensional. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Bas dan Beyhan
(2010) yang melaporkan bahwa multiple intelligence yang didukung dengan
pembelajaran berbasis proyek mampu memberikan pengaruh yang positif terhadap
tingkat prestasi siswa. Pembelajaran berbasis proyek membantu pembelajar untuk
mengembangkan berbagai keterampilan seperti fisika, kecerdasan, sosial, emosional,
dan keterampilan moral yang merupakan keterampilan yang harus berkembang pada
siswa.

Adapun model pembelajaran yang bisa diterapkan untuk mengembangkan kecerdasan


emosi adalah salah satunya dengan model berbasis proyek. Adapun integrasi pada
pengembangan kecerdasan emosional pada langkah-langkah pembelajarannya adalah
sebagai berikut,
a) Pada langkah pertama, searching yaitu menghadapkan siswa pada masalah riil di
lapangan dan mendorong mereka mengidentifikasi masalah riil tersebut. Dalam hal
ini, siswa terdorong untuk dapat mengenal emosi yang ada pada dirinya sendiri untuk
menghadapi permasalahan yang ada dan menumbuhkan motivasi yang ada dalam
dirinya untuk mengidentifikasi permasalahan yang diberikan. Contoh permasalahan
tersebut adalah :
 Bagaimana caranya membuat sebuah wadah yang mempunyai dinding
mendekati dinding adiabatik?
 Bagaimana menyusun suatu rangkaian RLC, sehingga terjadi frekuensi
resonansi?
 Bagaimana cara membuat sebuah kapasitor yang memiliki ukuran kecil akan
tetapi memiliki kapasitansi yang besar?
 Bagaimana menerapkan gaya yang bersifat konservatif?
b) Pada langkah kedua, solving yaitu penentuan alternatif dan merumuskan strategi
pemecahan masalah oleh siswa. Dalam hal ini, siswa bekerja secara berkelompok
yang secara tidak langsung menuntut mereka mampu dalam mengendalikan emosi
amarahnya masing-masing untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang diberikan.
Mereka harus mampu bekerja sebagai sebuah tim untuk memecahkan permasalahan.
Pada tahapan ini siswa bisa berdiskusi tentang konsep-konsep fisika yang
berhubungan dengan permasalahan tersebut. Seperti konsep adiabatic, rangkaian
RLC, Kapasitansi Kapasitor dan konsep gaya.
c) Pada langkah ketiga, designing yaitu perencanaan model alat yang akan dibuat oleh
siswa. Dalam hal ini, siswa dalam kelompok dituntut untuk memiliki motivasi dan
saling berinteraksi satu sama lain dalam merencanakan, sehingga melatih
keterampilan sosial siswa. Selain itu, tahap ini mampu melatih siswa untuk
memahami perasaan siswa lainnya (empati). Pada langkah ini siswa diharapkan
menggambar suatu design produk yang akan dibuat, seperti bagaimana membuat
bentuk dari wadah dinding adiabatic tersebut? Bagaimana membuat rangkaian RLC
yang efesien dan efektif?
d) Producing/creating, yaitu kelompok kerja membuat produk, sebagaimana telah
didesain sebelumnya. Dalam hal ini dilatih empati dan keterampilan siswa dalam
membuat produk secara berkelompok. Contoh dari Ketrampilan tersebut adalah
bagaimana siswa membuat suatu wadah yang tepat sesuai dengan konsep adiabatic?
Bagaimana siswa menyusun rangkaian sesuai dengan konsep RLC?
e) Pada langkah evaluating, yaitu siswa melakukan pengujian produk untuk mengetahui
kelebihan dan kelemahannya. Dalam hal ini melatih kemampuan siswa dalam
mengendalikan emosi mereka, menyadari kelebihan dan menerima kekurangan dari
produk yang dihasilkan. Contoh dari Langkah ini adalah bagaimana siswa menguji
ketepatan wadah yang dibuat tersebut dengan konsep adiabatic? Bagaimana siswa
menguji Rangkaian RLC tersebut dan mengevaluasinya?
f) Pada langkah terakhir sharing, yaitu siswa mempresentasikan produk yang
dihasilkan untuk mengkomunikasikan secara aktual hasil pemikirannya terhadap
kelompok lain. Tahapan ini hampir melatih semua aspek yang ada dalam kecerdasan
emosional yakni mengenal emosinya sendiri ketika persentasi di depan kelompok
lain, mengendalikan emosi ketika menerima kritik dan saran kelompok lain,
memotivasi diri untuk melakukan perbaikan terhadap produk yang telah dihasilkan,
berempati ketika diskusi dan tentunya melatih keterampilan sosial.
Dalam proses berinteraksi antara siswa secara internal pada kelompok tersebut, setiap
individu pasti memiliki sifat karakteristik yang berbeda-beda. Dalam diskusi antar
internal kelompok ini, guru dapat membimbing siswa untuk menerapkan cognitive
emotion regulation dan cognitive reappraisal.

Daftar pustaka

http://www.psychologymania.com/2011/07/hubungan-antara-emosi-motivasi-dan.html

http://www.hrepic.com/Teaching/GenEducation/nonverbcom/nonverbcom.htm

http://www.psychologytoday.com/basics/emotional-intelligence

Luiz Pessoa (2009), Scholarpedia,cognition and emotion dalam


http://www.scholarpedia.org/article/Cognition_and_emotion diakses tanggal 6 desember 2014.

www.psypress.co.uk/ek5/resources/pdf/chap18.pdf

Artini, N. P. J., dkk, 2013, Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Proyek Terhadap
Kecerdasan Emosional Siswa, e-Journal Program Pascasarjana : Universitas Pendidikan
Ganesha

Yingxu Wang, 2007 On the Cognitive Processes of Human Perception with Emotions,
Motivations, and Attitudes, Journal of Cognitive Informatics and Natural Intelligence, University of Calgary,
Canada

Anda mungkin juga menyukai