Anda di halaman 1dari 15

Autism Spectrum Disorder (ASD)

Guideline

Penyusun :
Yanuar Adi Sanjaya
Profesi Fisioterapi
Poltekkes Kemenkes Jakarta III

A. Pendahuluan
US Department of Health and Human Services Centers for Disease Control
and Prevention (CDC) menerangkan bahwa Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah
gangguan tumbuh kembang yang mempengaruhi secara signifikan kemampuan sosial,
komunikasi dan perilaku.
WHO menyebutkan bahwa Gangguan spektrum autisme (ASD) adalah
kelompok kondisi yang beragam. Kondisi tersebut dikategorikan dengan beberapa
tingkat kesulitan dalam interaksi sosial dan komunikasi. Karakteristik lainnya adalah
pola aktivitas dan perilaku atipikal, seperti kesulitan transisi dari satu aktivitas ke
aktivitas lainnya, fokus pada detail dan reaksi atau respon yang tidak sesuai terhadap
sensasi yang dirasakan.
National Health Service dari United Kingdom menerangkan bahwa autism
bukanlah sebuah penyakit. Hal tersebut mengartikan bahwa seorang dengan Autism
memiliki kerja otak yang berbeda dari orang lain. Kondisi atau label Autistic akan
disandang seseorang seumur hidupnya. Tidak terdapat istilah sembuh namun treatmen
yang diberikan adalah agar seorang dengan autism bisa memiliki kualitas hidup yang
baik seperti kebutuhan hidup orang pada umumnya.
Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan, sebelumnya dikenal
dengan gangguan perkembangan pervasif. Berdasarkan Diagnostic Manual of Mental
Disorder-IV- Text Revision (DSM-IV-TR), autisme terdiri dari 5 subdiagnosis yaitu:
1) Gangguan autistik, 2) Sindrom Asperger, 3) Gangguan perkembangan pervasif
yang tidak spesifik (Pervasive Developmental Disorder-Not Otherwise
Specified/PDD-NOS),4) Gangguan disintegratif masa anak (Childhood Disintegrative
Disorder/Sindrom Heller) dan 5) Sindrom Rett. Gangguan tersebut ditandai dengan
tiga gejala utama yaitu: 1) defisit kemampuan interaksi sosial, 2) defisit kemampuan
komunikasi, dan 3) perilaku berulang serta minat yang terbatas.
Pada tahun 2013, American Psychiatric Association3 melakukan perubahan
DSM-IV- TR menjadi Diagnostic Manual of Mental Disorder-5 (DSM-5). Istilah
gangguan perkembangan pervasif tidak lagi digunakan, diganti dengan autism
spectrum disorders (ASD) atau gangguan spektrum autisme (GSA). Berdasarkan
DSM-5 gejala GSA hanya dibagi menjadi 2 yaitu: 1) gangguan komunikasi sosial atau
interaksi sosial, 2) adanya perilaku restriktif (terbatas) dan repetitive (berulang-ulang).
Gangguan spektrum autisme, mencermikan karakteristik klinis yang luas.
Sebagian besar GSA didiagnosis sekitar usia 2 tahun, dimana prevalens GSA
lebih besar pada lelakidibandingkan perempuan yaitu berkisar 3:1 sampai 6,5:1.
Prevalens GSA di Eropa dan Amerika Utara diperkirakan 6/1000. Studi terakhir
mendapatkan prevalens GSA pada negara di Amerika Serikat(AS) dan non-AS
mencapai 1% populasi, dengan perkiraan pada anak dan dewasa sama. Prevalens GSA
pada kunjungan Poliklinik Tumbuh Kembang RSUP Sanglah, usia 18-48 bulan
sebesar 9,7%, dimana lelaki 4,7 kali lebih banyak dibandingkan perempuan.
Prevalens gangguan perkembangan pervasif sebesar 63,7/10.000. Angka
tersebut berdasarkan kalkulasi prevalens gangguan autistik, PDD-NOS, dan sindrom
Asperger. Prevalens gangguan autistik meningkat dalam 15-20 tahun terakhir.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dipublikasi sejak tahun 1987, prevalens
gangguan autistik diperkirakan sekitar 7/10.000. Berdasarkan 18 penelitian yang telah
dipublikasi sejak tahun 2000, prevalens gangguan autistik meningkat rata-rata sekitar
20,6/10.000. Prevalens gangguan autistik berkisar dari 0,7/10.000 sampai
72,6/10.000. Perbandingan lelaki dan perempuan sebesar 4,2:1. Indonesia diwakili
oleh Yogjakarta mendapatkan prevalens gangguan autistik sebesar 11,7/10.000, besar
sampel 5.120, usia 4-7 tahun. Prevalens PDD-NOS diperkirakan 1,8 kali
dibandingkan gangguan autistik, yaitu sekitar 37,1/10.000. Prevalens sindrom
Asperger tetap konsisten lebih rendah dibandingkan gangguan autistik yaitu
diperkirakan sekitar 6/10.000, 1/3 sampai 1⁄4 dari prevalens gangguan autistik.
Gejala klinis GSA tampak pada usia 18 bulan, terutama adanya defisit
komunikasi verbal dan non verbal. Beberapa anak dengan GSA menunjukkan regresi
pada kemampuannya pada usia 15 bulan dan 24 bulan, jarang terjadi regresi setelah
usia 24 bulan. Berdasarkan hal tersebut American Academy of Pediatrics (AAP)
merekomendasikan agar melakukan skrining GSA pada usia 18 bulan dan 24 bulan,
namunhanya sedikit dokter anak yang menggunakan instrumen skrining GSA.
Berbagai alasan yang dikemukakan antara lain: memerlukan waktu yang lama;
ketersediaan intrumen skrining; ketrampilan melakukan skrining.
Alat atau instrumen deteksi dini (skrining) yang baik harus memiliki
sensitifitas yang sangat tinggi, meskipun spesifisitasnya sedikit rendah.11 Instrumen
yang telah teruji validitasnya, sebagai skrining GSA adalah Modified-Checklist for
Autism in Toddler (M- CHAT) dengan sensitifitas 0,85 dan spesifisitas 0,93-1,0.
Skrining GSA dengan M- CHAT versi bahasa Indonesia yang telah diterjemahkan
oleh Soetjiningsih memiliki validitas yang baik. Deteksi dini GSA ini perlu dilakukan
agar dapat melakukan identifikasi dini, intervensi intensif sehingga dapat
memperbaiki luaran perkembangan, perilaku dan adaptif yang baik pada GSA.
Diagnosis GSA sampai saat ini masih sangat terlambat, rata-rata pada saat usia 60
bulan jika dilakukan oleh bukan tenaga profesional, dan usia 13 bulan oleh tenaga
profesional.

B. Tanda dan Gejala


Gejala klinis GSA dapat diketahui sejak dini, namun sering tidak jelas
(substle), dan sulit diketahui oleh orangtua. Gejala klinis GSA tampak pada usia 18
bulan, sehingga sebagian besar dibawa orangtuanya ke tenaga kesehatan pada saat
usia 15 bulan atau 18 bulan dengan keluhan keterlambatan bicara. Onset usia GSA
bervariasi dan sering berhubungan dengan beratnya gangguan. Gejala dijumpai lebih
awal dari 12 bulan bila gejala yang dialami terlalu berat, atau lebih dari 24 bulan bila
gejala ringan.Beberapa anak dengan GSA menunjukkan regresi pada kemampuannya
pada usia 15 bulan dan 24 bulan, jarang terjadi regresi setelah usia 24 bulan. Ciri awal
GSA adalah gangguan perhatian yang berupa tidak bisa menunjuk, menyatakan, atau
menunjukkan benda untuk berbagi kepada orang lain, atau gagal mengikuti perintah
seseorang atau kontak mata.
Gangguan spektum autisme memiliki gambaran yang sangat luas dan bersifat
individual. Gambaran patognomonis GSA tidak ada, namun adanya defisit sosial
merupakan gambaran dini yang dijadikan red flags GSA. Gambaran inti GSA adalah
defisit kemampuan komunikasi dan interaksi sosial, restriktif (terbatas), repetitif
(diulang-ulang), pola perilaku, minat, aktivitas dan ketertarikan yang stereotipi.
Gambaran klinis anak GSA berbeda satu anak dengan anak lainnya. Anak dapat
dikeluhkan “berbeda” pada awal-awal kehidupan, keluhan keterlambatan
perkembangan bahasa pada usia 2 tahun. Normal atau regresi dan kehilangan
kemampuan setelah usia 1 tahun. Pada usia sekolah gurunya mengeluh anak kesulitan
berinteraksi dengan teman sebayanya.
Defisit sosial ditandai dengan gangguan pada kemampuan sosial resiprokal
(timbal balik) dan interaksi social nonverbal. Anak tidak memiliki hubungan dengan
lingkungan sekitar, mereka lebih suka sendiri, tidak menanggapi panggilan orangtua,
sangat jarang memberikan atensi, dan kurang menunjukkan gesture (bahasa tubuh)
dan vokalisasi. Pada saat bayi tidak bisa memberikan senyum sosial, dan makin besar
usia bayi akan makin tampak jelas gejala. Pada anak yang lebih besar tidak
menunjukkan kontak mata. Perkembangan sosial pada masa berikutnya ditandai
dengan perlekatan yang atipikal, namun bukan benar-benar menghilang. Anak tidak
dapat membedakan orang-orang terdekat, seperti orangtua atau pengasuh, dan tidak
berespon lebih bila bertemu dengan orang asing. Anak seringkali menunjukkan gejala
kecemasan bila kegiatan yang sedang mereka lakukan dihentikan serta kesulitan
melakukan permainan kelompok.
Keterlambatan bicara, bahasa yang diulang-ulang, meniru ucapan seseorang
tanpa tujuan komunikasi (ekolali), kata yang terlepas tiba-tiba, dan kata tertentu yang
disukai merupakan presentasi klasik dari gejala GSA. Defisit pre-speech dapat
muncul sebelum munculnya gejala klasik tersebut, meliputi: 1) kurangnya gerak
tubuh yang sesuai, 2) kurangnya ekspresi tubuh yang menunjukkan kehangatan, 3)
kurangnya interaksi terhadap vokalisasi yang biasa diucapkan antara orangtua dan
bayi (yang biasanya sudah dikenali bayi pada anak usia 6 bulan), 4) Anak kurang
mengenali ibunya (atau ayah, atau pengasuh), 5) tidak memedulikan panggilan, 6)
belum babbling pada usia 9 bulan, 7) tidak ada atau menurunnya gesture pre-speech,
8) kurangnya ekspresi diri, 9) kurang tertarik atau respon terhadap situasi/pernyataan
sehari-hari.
Anak GSA pada usia sekolah dan menjalani pendidikan formal akan
mengalami peningkatan kemampuan sosial. Kejanggalan yang ditemukan biasanya
hanya pada saat permainan spontan dengan teman sebayanya. Anak pada usia yang
lebih besar seringkali dikatakan berperilaku aneh oleh teman-teman sebayanya. Pada
usia yang lebih besar lagi, anak dengan GSA seringkali berperilaku sebagai anak
pendiam. Anak GSA dalam bidang kognitif, anak dengan GSA sering menunjukkan
kemampuan lebih pada perintah visual-spasial, namun menunjukkan kekurangan pada
kemampuan verbal. Anak kesulitan menunjukkan tahapan emosi dan seringkali tidak
dapat menunjukkan empati. Anak GSA sebenarnya menginginkan hubungan
pertemanan dengan orang lain, atau pada penderita GSA dengan kemampuan
fungsionalnya yang lebih baik, penderita dapat merasa bahwa kemampuan sosialnya
seringkali menjadi penghalang dalam membangun pertemanan.
Pada tahun pertama kehidupan, anak GSA seringkali kehilangan kemampuan
untuk bermain yang bersifat eksploratif. Pada saat bermain anak tidak mengeluarkan
suara. Boneka atau alat permainan seringkali tidak dimainkan dengan cara yang lazim
dan permainan yang dilakukan sering bersifat ritual atau terus diulang. Anak GSA
juga tidak menunjukkan perilaku meniru seperti teman sebayanya. Anak GSA
memperlihatkan bahasa tubuh yang kaku, berulang, dan monoton pada saat bermain.
Perilaku ritual (terus diulang) dan kompulsif muncul pada usia anak-anak dini. Anak
GSA seringkali menikmati spinning (berputar), banging (memukul-mukul barang),
dan sangat suka permainan menyiram air. Perilaku obsesif kompulsif seringkali
ditemukan, seperti menderetkan barang, dan seringkali anak yang lebih besar
memiliki keterikatan dengan benda kesayangannya. Anak GSA dengan gangguan
intelektual berat seringkali memiliki perilaku membahayakan diri sendiri. Perilaku
stereotipi, tidak mampu berperilaku santun, dan menunjukkan ekspresi negatif bila
berhadapan dengan lingkungan yang tidak disukai. Mengubah susunan perabotan,
pindah ke rumah baru, atau bahkan mengubah waktu makan atau mandi dapat
menyebabkan kepanikan atau tantrum. Perilaku stereotipi atau repetitif termasuk
stereotipi motorik sederhana (misalnya bertepuk tangan, mengibaskan jemari),
penggunaan obyek repetitif (misalnya memutar koin, menyusun mainan), dan bicara
repetitif (misalnya ekolali).
Defisit motorik sering dijumpai, seperti gaya berjalan aneh, janggal, dan
kelainan motorik lainnya (misalnya berjalan jinjit). Perilaku melukai diri sendiri
(misalnya membenturkan kepala, siku), perilaku merusak, dan gangguan intelektual
lebih sering dijumpai.

C. Penyebab dan Faktor Resiko


Penyebab pasti GSA sampai saat ini belum jelas diketahui. Berbagai faktor yang
saling terkait diduga sebagai penyebab GSA. Penelitian mengenai faktor risiko GSA
diteliti sejak 40 tahun yang lalu, beberapa faktor yang dihubungkan dengan kejadian
GSA:
1. Faktor genetic
Peran genetik sebagai penyebab GSA cukup signifikan yaitu sekitar 37-
90%. Lebih dari 15% kasus GSA dihubungkan dengan adanya mutasi genetik.
Adanya satu saudara kandung dengan GSA merupakan faktor risiko paling kuat
untuk kejadian GSA pada anak. Kejadian GSA meningkat 50% pada saudara
kandung jika dalam keluarga mempunyai dua atau lebih anak GSA. Saudara
kandung anak GSA juga mempunyai risiko yang meningkat untuk mengalami
gangguan komunikasi dan keterampilan sosial. Pada kembar monozigot risiko
terjadinya GSA sebesar 96%, sedangkan kembar dizigot 27%, namun faktor
lingkungan perinatal dan genetik berperan dalam terjadinya GSA.
Pada GSA terjadi peningkatan kadar serotonin platelet (5-HT). Jenis
kelamin juga berperan dalam terjadinya GSA karena keterlibatan kromosom X.
Suatu studi mendapatkan adanya bukti gen yang terlibat terjadinya GSA pada
kromosom 2,3,7,15,16,17,22. Beberapa sindrom yang sering dihubungkan dengan
GSA adalah sindrom fragile-X, sindrom fetal alcohol, sindrom Angelman,
sindrom Smith-Lemli-Opitz, sindrom Rett, fenilketonuria, dan gangguan
neurokutaneus.

2. Faktor imunologik
Beberapa penelitian melaporkan adanya ketidakcocokan imunologi
(immunological incompatibility) dimana limfosit anak GSA bereaksi dengan
antibodi ibu, yang meningkatkan kemungkinan terjadi kerusakan jaringan saraf
embrionik. Hipotesis ini masih dalam penelitian.

3. Faktor prenatal, perinatal, dan postnatal


Beberapa faktor risiko prenatal terjadinya GSA yang telah diteliti adalah:
diabetes dalam kehamilan, dimana anak dua kali lipat lebih banyak mengalami
GSA; perdarahan dalam kehamilan, 81% terjadi peningkatan risiko kejadian GSA;
penggunaan obat-obatan selama kehamilan 46% meningkatkan risiko GSA; usia
ibu lebih dari 30 tahun, 27% meningkatkan risiko GSA; usia ayah lebih tua,
dimana setiap peningkatan 5 tahun usia ayah, terjadi peningkatan 3,6% risiko
GSA.
Hasil yang berbeda-beda antar penelitian didapatkan untuk infeksi selama
kehamilan, nausea/vomit, perdarahan, penambahan berat badan ibu, usia ibu saat
melahirkan, usia ayah saat anak dilahirkan, urutan kehamilan, merokok selama
hamil, dan preeklampsia.
Abnormalitas otak selama trimester pertama dan kedua (periode prenatal)
sering dihubungkan dengan kejadian GSA pada anak, hal ini terutama berkaitan
dengan pengaruh lingkungan (misalnya, thalidomide yang bersifat teratogen, asam
valproat, atau pengaruh infeksi seperti rubella dan cytomegalovirus).
Beberapa faktor risiko perinatal yang dikaitkan dengan kejadian GSA, dari
berbagai meta-analisis yaitu: presentasi abnormal dalam kandungan; komplikasi
plasenta; gawat janin; trauma lahir; gemelli; perdarahan ibu; berat badan lahir
rendah (BBLR); intrauterine growth retardation (IUGR); skor Apgar buruk;
aspirasi mekoneum; kelainan kongenital; anemia neonatal; inkompatibilitas ABO
atau rhesus; hiperbilirubinemia. Pengaruh berat badan lahir, usia kehamilan, dan
proses persalinan banyak diteliti, namun belum ada hasil penelitian yang
konsisten.
Faktor postnatal seperti pemberian vaksin measles, mumps, rubella (MMR)
dan vaksin yang mengandung merkuri tidak terbukti secara valid berhubungan
dengan kejadian GSA.
Hasil meta-analisis mendapatkan tidak cukup bukti untuk menyatakan satu
faktor perinatal atau neonatal sebagai penyebab GSA, walaupun beberapa
penelitian menyatakan paparan beberapa faktor perinatal dan neonatal secara
bersama-sama meningkatkan risiko GSA.

D. Pemeriksaan Pendukung Diagnosis


1. Gambaran fisik yang berkaitan dengan GSA
Anak GSA seringkali tidak menampakkan adanya gambaran fisik yang
patognomonis. Pada anak GSA seringkali memiliki kelainan fisik minor seperti
kelainan pada telinga, dan memiliki kelainan bagian otak sejak intrauterin.
Sebagian besar anak GSA tidak mengalami dominansi tangan dan lateralisasi pada
waktunya. Pada GSA terjadi peningkatan volume otak, dimana 15- 20%
mengalami makrosefali saat usia 5 tahun.

2. Neuropatologi dan Neuroimaging


Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui neurobiologi GSA.
Pada GSA terdapat perbedaan mendasar pertumbuhan otak dibandingkan dengan
anak normal. Beberapa kelainan yang terjadi meliputi: penurunan sel-sel Purkinje
di serebelum; abnormalitas maturasi pada sistem limbik yaitu penurunan ukuran
neuron, densitas sel meningkat, penurunan kompleksitas neurofil; abnormalitas
kortek frontal dan temporal; perubahan ukuran dan jumlah sel di nukleus diagonal
Broca, nukleus serebelar dan olive inferior; abnormalitas batang otak dan
malformasi neokortikal.
Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) mendukung adanya
peningkatan volume otak pada GSA, dimana 90% anak GSA mempunyai volume
otak lebih besar dibandingkan anak normal. Hal ini yang menyebabkan lingkar
kepala anak GSA di atas rata- rata sampai makrosefali. Bukti pemeriksaan MRI
menguatkan adanya gangguan konektivitas antar berbagai area korteks di otak,
terjadi hipoaktif girus fusiformis, yang berfungsi mengenal wajah dan fungsi
eksekutif. Beberapa kelainan didapatkan dari pemeriksaan neuroimaging namun
pemeriksaan neuroimaging rutin pada GSA tidak direkomendasikan.

3. Surveilens dan Skrining


Surveilens perkembangan adalah monitoring rutin dan menelusuri milestone
perkembangan spesifik anak pada kunjungan anak sehat (well-child visit).
Surveilens merupakan serangkaian proses memantau perkembangan, yang bersifat
fleksibel, longitudinal dan berkelanjutan, dilakukan oleh tenaga medis terlatih.
Surveilens merupakan proses untuk mengidentifikasi anak yang mungkin
mempunyai risiko mengalami keterlambatan perkembangan. Surveilens meliputi
beberapa komponen yaitu: menanyakan kekhawatiran orangtua terhadap
perkembangan anaknya; mendapatkan riwayat perkembangan, melakukan
observasi yang akurat terhadap anak; identifikasi faktor risiko yang ada dan faktor
protektif yang dimiliki anak; dan mendokumentasi proses dan semua informasi
yang didapat. Hasil surveilens ini dipakai sebagai dasar untuk melakukan skrining
atau rujukan untuk evaluasi diagnosis.
Skrining adalah deteksi dini adanya risiko keterlambatan perkembangan
dengan menggunakan instrumen terstandarisasi, pada interval waktu tertentu,
untuk mendukung dan memperbaiki faktor risiko. Skrining dilakukan pada saat
usia tertentu pada populasi umum atau apabila pada saat surveilens perkembangan
rutin mengindikasikan adanya risiko gangguan perkembangan. Skrining
perkembangan bertujuan untuk mengidentifikasi anak-anak yang membutuhkan
evaluasi secara menyeluruh. Evaluasi tersebut meliputi penegakan diagnosis
definitif, perencanaan penanganan komprehensif, dan pengawasan selanjutnya
jika diperlukan. American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan
untuk melakukan skrining pada semua anak dengan menggunakan instrumen
terstandarisasi pada interval waktu tertentu (usia 9 bulan, 18 bulan dan 24 bulan
atau usia 30 bulan saat kunjungan ke tempat kesehatan).
Surveilens GSA dimulai dengan menggali informasi apakah ada anggota
keluarga khususnya saudara kandung yang didiagnosis GSA. Keluarga yang
mempunyai anak GSA mempunyai risiko 10 kali lebih sering mengalami GSA
pada saudara kandungnya. Apabila tenaga medis mencurigai terjadinya GSA,
pemeriksaan klinis saja tidak cukup untuk melakukan penilaian, harus digunakan
instrumen skrining yang sesuai. American Academy of Pediatrics
merekomendasikan melakukan skrining GSA pada usia 18 bulan dan 24 bulan.
Pada anak dengan hasil skrining normal pada kunjungan 18 bulan, dilakukan
skrining kembali pada usia 24 bulan karena dapat terjadi regresi perkembangan
pada anak dengan GSA setelah usia 15-18 bulan.
The American Academy of Neurology and Society merekomendasikan
mengikuti “red flag” yang merupakan indikasi absolut untuk dilakukan evaluasi
segera yaitu: tidak bisa babbling atau menunjuk atau mengenal isyarat lain saat
usia 12 bulan; tidak bisa mengucapkan 1 kata saat usia 16 bulan; tidak bisa
mengucapkan 2 kata secara spontan (bukan ekolali) saat usia 24 bulan; dan
kurangnya kemampuan bahasa atau sosial pada umur berapa saja.
Alat skrining dikatakan baik jika memiliki sensitifitas, spesifisitas, dan
reliabilitas yang baik. Alat skrining perkembangan yang masih dapat diterima jika
memiliki sensitifitas lebih dari 70% dan spesifisitas 70-80%. Beberapa instrumen
skrining dapat digunakan untuk mendeteksi GSA, dimana angka sensitifitas dan
spesifisitas ditentukan dari sampel klinis atau gabungan sampel populasi dan
klinis.
Instrumen skrining perkembangan umum yang dapat digunakan antara lain:
Developmental Profile II (DP II); Ages and Stages Questionnaire (ASQ), 2nd
Edition; Brigance Screen Infant and Toddler; Early Preschool Screen; Brigance
Inventory of Early Development, Revised; Child Development Inventory (Ireton).
American Academy of Pediatrics menyatakan belum ada instrumen skrining
untuk anak usia kurang dari 18 bulan yang telah divalidasi oleh AAP, namun
Infant/Toddler Checklist from the Communication and Symbolic Behavior Scales
Developmental Profile merupakan instrumen skrining yang disarankan oleh AAP,
dan dapat digunakan untuk anak usia 6-24 bulan. Setelah usia 18 bulan banyak
instrumen skrining yang dapat digunakan.
Instrumen skrining GSA level 1 digunakan untuk semua anak dan dipakai
untuk membedakan anak yang berisiko mengalami GSA, pada populasi umum,
terutama pada anak yang mempunyai perkembangan normal. Instrumen skrining
GSA level 2 sering dipakai sebagai program intervensi dini atau di klinik
perkembangan, yang menangani berbagai masalah perkembangan. Instrumen
skrining level 2 digunakan untuk membedakan anak dengan risiko GSA dengan
anak yang mengalami gangguan perkembangan lain seperti Global Developmental
Delayed (GDD) atau gangguan berbahasa spesifik. Instrumen skrining level 2
membutuhkan lebih banyak waktu dan keahlian untuk menggunakan, dapat
digunakan sebagai salah satu bagian dari alat diagnosis, namun tidak dapat
digunakan untuk alat diagnosis tunggal. Hingga saat ini tidak ada instrumen
skrining level 1 yang direkomendasikan oleh WHO.
Checklist for Autism in Toddlers (CHAT) salah satu instrumen skrining GSA
mudah dikerjakan, singkat dan tidak memerlukan biaya mahal. Sensitifitas CHAT
sangat rendah yaitu 0,18-0,38 pada sampel populasi dan 0,65 pada sampel klinis,
sehingga dilakukan revisi menjadi Modified-Checklist for Autism in Toddler (M-
CHAT). Sensitifitas M-CHAT di Amerika dilaporkan sebesar 0,85 pada sampel
populasi dan klinis, sedangkan spesifisitas sebesar 0,93- 1,0.22 Sensitifitas M-
CHAT di Indonesia sebesar 82,35% dan spesifisitas 89,68%.
Modified Checklist for Autism in Toddler, Revised with Follow-up (M-
CHAT-R/F) diperkenalkan dengan beberapa perubahan yaitu: tiga item pada M-
CHAT dihilangkan karena menimbulkan bias; dua puluh item sisanya diorganisir
lebih baik; tujuh item (best 7) yang mendeskripsikan GSA diletakkan pada 10
item pertama; bahasa yang digunakan lebih jelas dan diberikan contoh untuk
mempermudah pertanyaaan; dapat dilakukan sendiri oleh orangtua. Orangtua
dapat diberikan lembar isian M-CHAT-R/F, memerlukan waktu 5-10 menit, berisi
20 pertanyaan ya atau tidak yang mudah dimengerti pada anak usia 18-48 bulan.
Orangtua diminta menjawab pertanyaan lanjutan jika anak terskrining positif
untuk menambah informasi dan mendapatkan contoh perilaku berisiko.
Sensitifitas M-CHAT-R/F di Amerika dilaporkan sebesar 0,854 pada sampel
populasi dan klinis, sedangkan spesifisitas sebesar 0,993. Uji validitas M-CHAT-
R/F belum pernah dilakukan di Indonesia.

 Algoritma Surveillance dan Screening ASD


E. Intervensi
Intervensi pada anak-anak dengan ASD telah banyak berubah sejak awal tahun
1950-an, ketika teori psikodinamika mendominasi. Sampai tahun 1980-an, sebagian
besar anak-anak ASD tidak bersekolah; mereka hanya ditolak atau dilembagakan,
seolah-olah mereka bodoh atau gila. Hubungan yang buruk antara anak dan orang tua
dianggap sebagai penjelasan untuk gangguan tersebut. Sejak itu, Program Pendidikan
Kebutuhan Khusus telah menawarkan kurikulum untuk semua anak-anak ini, yang
sekarang disebut Individualized Program Pendidikan (IEP). IEP adalah paradigma
yang ada di Amerika Serikat, mengikuti Undang-Undang Pendidikan Individu dengan
Disabilitas (IDEA), yang merupakan undang-undang dari tahun 2004 yang
dimaksudkan untuk melindungi anak-anak penyandang disabilitas dan memastikan
mereka mendapatkan rencana pendidikan yang benar [IDEA, 2004]. Ini adalah
rencana multidisiplin yang dikembangkan tim yang diperlukan untuk setiap anak yang
menerima layanan pendidikan khusus, dan harus mencakup: tingkat perkembangan
anak saat ini, tujuan tahunan dan bagaimana mengukurnya, kebutuhan personal
sekolah dan berapa lama anak akan berpartisipasi dengan anak-anak tanpa kebutuhan
khusus. Dengan variasi, ide kurikulum untuk orang dengan ASD dikembangkan di
semua negara yang mengelola anak-anak ini.
Kerjasama antar multidisiplin yang berkaitan dalam perkembangan motorik,
edukasi, komunikasi, kemandirian, minat bakat dan social seperti Fisioterapi, Okupasi
Terapi, Terapi Wicara, Tenaga Pendidik Khusus, Dokter, Psikolog, Terapis Musik,
Parent dan caregiver sangat baik dalam mensuport dalam perkembangan anak dengan
ASD.
Daftar Pustaka

Volkmar dkk. (2004). Autism and Pervasive Developmental Disorders. Blackwell Publishing.
Oxford. UK.
Gardener, Spiegelman. (2011). Perinatal and Neonatal Risk Factor for Autism : A
Comprehensive Meta-Analysis. American Academy of Pediatrics. Miami.
Spence, Zecavati. (2009). Neurometabolic Disorders and Dysfunction in Autism Spectrum
Disorders. Current Medicine Group LLC. USA.
Marco, Hinkley. (2011). Sensory Processing in Autism: A Review of Neurophysiologic
Findings. International Pediatric Research Foundation. San Francisco.
Robins, Fein, Barton. (2018). Modified Checklist for Autism in Todlers.
www.mchatscreen.com.
APA. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 5edition. American
Psychiatric Association. US
Lina, Laura. (2020). The Benefit Assessment of the Physiotherapy Sessions for Children with
Autism Spectrum Disorder. Baltic Journal of Sport and Health Sciences. Lithuania.
AAP. (2007). AAP Screening Guideline. American Academy of Pediatrics. US
Deeley, Murphy. (2009). Pathophysiology of autism: evidence from brain imaging. British
Journal of Hospital Medicine. UK.
Cetin, Tunca. (2015). Neurotransmitter Systems in Autism Spectrum Disorder. In Tech.

Anda mungkin juga menyukai