Anda di halaman 1dari 7

Autis berasal dari kata autos yang artinya segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri.

Dalam
Kamus Lengkap Psikologi, autisme didefinisikan sebagai: (1) cara berpikir yang dikendalikan
oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri, (2) menanggapi dunia berdasarkan penglihatan,
harapan sendiri, dan menolak realitas (3) keasyikan ekstrim dengan pikiran dan fantasi
sendiri (Chaplin, 2005). Autistic disorder adalah adanya gangguan atau abnormalitas
perkembangan pada interaksi sosial dan komunikasi serta ditandai dengan terbatasnya aktifitas
dan ketertarikan. Munculnya gangguan ini sangat tergantung pada tahap perkembangan dan usia
kronologis individu. Autistic disorder dianggap sebagai early infantile autism, childhood autism,
atau Kanner’s autism (American Psychiatric Association, 2000).

Perilaku autistik digolongkan dalam dua jenis, yaitu perilaku yang eksesif (berlebihan) dan
perilaku yang defisit (berkekurangan). Yang termasuk perilaku eksesif adalah hiperaktif dan
tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menggigit, mencakar, memukul, mendorong. Di sini juga
sering terjadi anak menyakiti dirinya sendiri (self-abused). Perilaku defisit ditandai dengan
gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit sensori sehingga dikira tuli, bermain tidak
benar dan emosi yang tidak tepat, misalnya tertawa-tawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan
melamun. World Health Organization's International Classification of Diseases (WHO ICD-10)
mendefinisikan autisme (dalam hal ini khusus childhood autism) sebagai adanya keabnormalan
dan atau gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia tiga tahun dengan tipe karakteristik
tidak normalnya tiga bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang diulang-ulang
(World Health Organization, 1992). WHO juga mengklasifikasikan autisme sebagai gangguan
perkembangan sebagai hasil dari gangguan pada sistem syaraf pusat manusia.

Autisme dimulai pada awal masa kanak-kanak dan dapat diketahui pada minggu pertama
kehidupan. Dapat ditemukan pada semua kelas sosial ekonomi maupun pada semua etnis dan ras.
Penderita autisme sejak awal kehidupan tidak mampu berhubungan dengan orang lain dengan
cara yang biasa. Sangat terbatas pada kemampuan bahasa dan sangat terobsesi agar segala
sesuatu tetap pada keadaan semula (rutin/monoton).

IDEA (Individuals with Disabilities Education Act) mendefinisikan autisme sebagai :

“a developmental disability affecting verbal and non verbal communication and social interction,
generally evident before age 3, that affects a child’s performance. Other characteristics often
associated with autism are engagement in repetitive activities and stereotyped moments,
resistance to environmental change or change in daily routines, and unusual reponses to sensory
experiences. The term does not apply if a child’s educational performance is adversely affected
primarily because the child has serious emotional disturbances.” (34 C.F.R. Part 300, dalam
Hallahan & Kauffman, 2006, hal. 366-400).

Meski tidak tertulis dalam definisi yang dikemukakan IDEA, autisme juga bercirikan defisit
kognitif yang parah (Hallahan & Kauffman, 2006).
Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan, sebelumnya dikenal dengan gangguan
perkembangan pervasif. Berdasarkan Diagnostic Manual of Mental Disorder-IVText Revision
(DSM-IV-TR), autisme terdiri dari 5 subdiagnosis yaitu:

1) Gangguan autistik,
2) Sindrom Asperger,
3) Gangguan perkembangan pervasif yang tidak spesifik (Pervasive Developmental
Disorder-Not Otherwise Specified/PDD-NOS),
4) Gangguan disintegratif masa anak (Childhood Disintegrative Disorder/Sindrom Heller)
5) Sindrom Rett.

Gangguan tersebut ditandai dengan tiga gejala utama yaitu: 1) defisit kemampuan interaksi
sosial, 2) defisit kemampuan komunikasi, dan 3) perilaku berulang serta minat yang terbatas.
Pada tahun 2013, American Psychiatric Association melakukan perubahan DSM-IVTR menjadi
Diagnostic Manual of Mental Disorder-5 (DSM-5). Istilah gangguan perkembangan pervasif
tidak lagi digunakan, diganti dengan autism spectrum disorders (ASD) atau gangguan spektrum
autisme (GSA). Berdasarkan DSM-5 gejala GSA hanya dibagi menjadi 2 yaitu: 1) gangguan
komunikasi sosial atau interaksi sosial, 2) adanya perilaku restriktif (terbatas) dan repetitive
(berulang-ulang).

Gangguan spektrum autisme, mencermikan karakteristik klinis yang luas, tidak lagi dibagi
menjadi beberapa subtipe. Gangguan spektrum autisme sampai saat ini belum diketahui
penyebabnya. Beberapa penelitian mendapatkan berbagai faktor yang saling terkait, baik faktor
genetik maupun nongenetik.

Sebagian besar GSA didiagnosis sekitar usia 2 tahun, dimana prevalens GSA lebih besar pada
lelak dibandingkan perempuan yaitu berkisar 3:1 sampai 6,5:1. Prevalensi GSA di Eropa dan
Amerika Utara diperkirakan 6/1000. Studi terakhir mendapatkan prevalens GSA pada negara di
Amerika Serikat (AS) dan non-AS mencapai 1% populasi, dengan perkiraan pada anak dan
dewasa sama.

Prevalens GSA pada kunjungan Poliklinik Tumbuh Kembang RSUP Sanglah, usia 18-48 bulan
sebesar 9,7%, dimana lelaki 4,7 kali lebih banyak dibandingkan perempuan. Prevalens gangguan
perkembangan pervasif sebesar 63,7/10.000. Angka tersebut berdasarkan kalkulasi prevalens
gangguan autistik, PDD-NOS, dan sindrom Asperger. Prevalens gangguan autistik meningkat
dalam 15-20 tahun terakhir. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dipublikasi sejak tahun
1987, prevalens gangguan autistik diperkirakan sekitar 7/10.000.

Berdasarkan 18 penelitian yang telah dipublikasi sejak tahun 2000, prevalens gangguan autistik
meningkat rata-rata sekitar 20,6/10.000. Prevalens gangguan autistik berkisar dari 0,7/10.000
sampai 72,6/10.000. Perbandingan lelaki dan perempuan sebesar 4,2:1. Indonesia diwakili oleh
Yogjakarta mendapatkan prevalens gangguan autistik sebesar 11,7/10.000, besar sampel 5.120,
usia 4-7 tahun. Prevalens PDD-NOS diperkirakan 1,8 kali dibandingkan gangguan autistik, yaitu
sekitar 37,1/10.000. Prevalens sindrom Asperger tetap konsisten lebih rendah dibandingkan
gangguan autistik yaitu diperkirakan sekitar 6/10.000, 1/3 sampai ¼ dari prevalens gangguan
autistik. Tingginya angka prevalensi tersebut belum jelas apakah berhubungan dengan ekspansi
kriteria diagnosis dari DSM-IV yang memasukkan kasus subthreshold, peningkatan
kewaspadaan, perbedaan metodologi, atau memang peningkatan sebenarnya dari GSA.

Berbagai alasan yang disampaikan untuk menjelaskan terjadinya peningkatan prevalens GSA
yaitu: peningkatan anak yang dirujuk ke layanan spesialis; pola rujukan yang lebih baik;
ketersediaan layanan kesehatan spesialis;peningkatan kepedulian masyarakat dan tenaga
profesional; perubahan konsep diagnostik/perubahan kriteria diagnostik; peningkatan efisiensi
dalam metode identifikasi kasus; perbedaan metode penelitian yang digunakan, baik jumlah
sampel, waktu atau tempat penelitian.

Gejala klinis GSA tampak pada usia 18 bulan, terutama adanya defisit komunikasi verbal dan
non verbal. Beberapa anak dengan GSA menunjukkan regresi pada kemampuannya pada usia 15
bulan dan 24 bulan, jarang terjadi regresi setelah usia 24 bulan. Berdasarkan hal tersebut
American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan agar melakukan skrining GSA pada
usia 18 bulan dan 24 bulan, namunhanya sedikit dokter anak yang menggunakan instrumen
skrining GSA. Berbagai alasan yang dikemukakan antara lain: memerlukan waktu yang lama;
ketersediaan intrumen skrining; ketrampilan melakukan skrining. Alat atau instrumen deteksi
dini (skrining) yang baik harus memiliki sensitifitas yang sangat tinggi, meskipun spesifisitasnya
sedikit rendah.

Instrumen yang telah teruji validitasnya, sebagai skrining GSA adalah Modified-Checklist for
Autism in Toddler (MCHAT) dengan sensitifitas 0,85 dan spesifisitas 0,93-1,0. Skrining GSA
dengan MCHAT versi bahasa Indonesia yang telah diterjemahkan oleh Soetjiningsih memiliki
validitas yang baik. Deteksi dini GSA ini perlu dilakukan agar dapat melakukan identifikasi dini,
intervensi intensif sehingga dapat memperbaiki luaran perkembangan, perilaku dan adaptif yang
baik pada GSA. Diagnosis GSA sampai saat ini masih sangat terlambat, rata-rata pada saat usia
60 bulan jika dilakukan oleh bukan tenaga profesional, dan usia 13 bulan oleh tenaga
profesional.

PENYEBAB

Penyebab pasti GSA sampai saat ini belum jelas diketahui. Berbagai faktor yang saling terkait
diduga sebagai penyebab GSA. Penelitian mengenai faktor risiko GSA diteliti sejak 40 tahun
yang lalu, beberapa faktor yang dihubungkan dengan kejadian GSA:

1) Faktor genetic
Peran genetik sebagai penyebab GSA cukup signifikan yaitu sekitar 37-90%. Lebih dari
15% kasus GSA dihubungkan dengan adanya mutasi genetik. Adanya satu saudara
kandung dengan GSA merupakan faktor risiko paling kuat untuk kejadian GSA pada
anak. Kejadian GSA meningkat 50% pada saudara kandung jika dalam keluarga
mempunyai dua atau lebih anak GSA. Saudara kandung anak GSA juga mempunyai
risiko yang meningkat untuk mengalami gangguan komunikasi dan keterampilan sosial.
Pada kembar monozigot risiko terjadinya GSA sebesar 96%, sedangkan kembar dizigot
27%, namun faktor lingkungan perinatal dan genetik berperan dalam terjadinya GSA.
Pada GSA terjadi peningkatan kadar serotonin platelet (5-HT). Jenis kelamin juga
berperan dalam terjadinya GSA karena keterlibatan kromosom X. Suatu studi
mendapatkan adanya bukti gen yang terlibat terjadinya GSA pada kromosom 2, 3, 7, 15,
16, 17, 22. Beberapa sindrom yang sering dihubungkan dengan GSA adalah sindrom
fragile-X, sindrom fetal alcohol, sindrom Angelman, sindrom Smith-Lemli-Opitz,
sindrom Rett, fenilketonuria, dan gangguan neurokutaneus.
2) Faktor imunologik
Beberapa penelitian melaporkan adanya ketidakcocokan imunologi (immunological
incompatibility) dimana limfosit anak GSA bereaksi dengan antibodi ibu, yang
meningkatkan kemungkinan terjadi kerusakan jaringan saraf embrionik. Hipotesis ini
masih dalam penelitian. Faktor prenatal, perinatal, dan postnatal.
Beberapa faktor risiko prenatal terjadinya GSA yang telah diteliti adalah: diabetes dalam
kehamilan, dimana anak dua kali lipat lebih banyak mengalami GSA; perdarahan dalam
kehamilan, 81% terjadi peningkatan risiko kejadian GSA; penggunaan obat-obatan
selama kehamilan 46% meningkatkan risiko GSA; usia ibu lebih dari 30 tahun, 27%
meningkatkan risiko GSA; usia ayah lebih tua, dimana setiap peningkatan 5 tahun usia
ayah, terjadi peningkatan 3,6% risiko GSA. Hasil yang berbeda-beda antar penelitian
didapatkan untuk infeksi selama kehamilan, nausea/vomit, perdarahan, penambahan berat
badan ibu, usia ibu saat melahirkan, usia ayah saat anak dilahirkan, urutan kehamilan,
merokok selama hamil, dan preeklampsia. Abnormalitas otak selama trimester pertama
dan kedua (periode prenatal) sering dihubungkan dengan kejadian GSA pada anak, hal ini
terutama berkaitan dengan pengaruh lingkungan (misalnya, thalidomide yang bersifat
teratogen, asam valproat, atau pengaruh infeksi seperti rubella dan cytomegalovirus).
Beberapa faktor risiko perinatal yang dikaitkan dengan kejadian GSA, dari berbagai
meta-analisis yaitu: presentasi abnormal dalam kandungan; komplikasi plasenta; gawat
janin; trauma lahir; gemelli; perdarahan ibu; berat badan lahir rendah (BBLR);
intrauterine growth retardation (IUGR); skor Apgar buruk; aspirasi mekoneum; kelainan
kongenital; anemia neonatal; inkompatibilitas ABO atau rhesus; hiperbilirubinemia.
Pengaruh berat badan lahir, usia kehamilan, dan proses persalinan banyak diteliti, namun
belum ada hasil penelitian yang konsisten.
Faktor postnatal seperti pemberian vaksin measles, mumps, rubella (MMR) dan vaksin
yang mengandung merkuri tidak terbukti secara valid berhubungan dengan kejadian
GSA. Hasil meta-analisis mendapatkan tidak cukup bukti untuk menyatakan satu faktor
perinatal atau neonatal sebagai penyebab GSA, walaupun beberapa penelitian
menyatakan paparan beberapa faktor perinatal dan neonatal secara bersama-sama
meningkatkan risiko GSA.

GEJALA

Gejala klinis GSA dapat diketahui sejak dini, namun sering tidak jelas (substle), dan sulit
diketahui oleh orangtua. Gejala klinis GSA tampak pada usia 18 bulan, sehingga sebagian besar
dibawa orangtuanya ke tenaga kesehatan pada saat usia 15 bulan atau 18 bulan dengan keluhan
keterlambatan bicara. Onset usia GSA bervariasi dan sering berhubungan dengan beratnya
gangguan. Gejala dijumpai lebih awal dari 12 bulan bila gejala yang dialami terlalu berat, atau
lebih dari 24 bulan bila gejala ringan.Beberapa anak dengan GSA menunjukkan regresi pada
kemampuannya pada usia 15 bulan dan 24 bulan, jarang terjadi regresi setelah usia 24 bulan. Ciri
awal GSA adalah gangguan perhatian yang berupa tidak bisa menunjuk, menyatakan, atau
menunjukkan benda untuk berbagi kepada orang lain, atau gagal mengikuti perintah seseorang
atau kontak mata.

Gangguan spektum autisme memiliki gambaran yang sangat luas dan bersifat individual.
Gambaran patognomonis GSA tidak ada, namun adanya defisit sosial merupakan gambaran dini
yang dijadikan red flags GSA. Gambaran inti GSA adalah defisit kemampuan komunikasi dan
interaksi sosial, restriktif (terbatas), repetitif (diulang-ulang), pola perilaku, minat, aktivitas dan
ketertarikan yang stereotipi. Gambaran klinis anak GSA berbeda satu anak dengan anak lainnya.
Anak dapat dikeluhkan “berbeda” pada awal-awal kehidupan, keluhan keterlambatan
perkembangan bahasa pada usia 2 tahun. Normal atau regresi dan kehilangan kemampuan
setelah usia 1 tahun. Pada usia sekolah gurunya mengeluh anak kesulitan berinteraksi dengan
teman sebayanya.

Defisit sosial ditandai dengan gangguan pada kemampuan sosial resiprokal (timbal balik) dan
interaksi sosial non verbal. Anak tidak memiliki hubungan dengan lingkungan sekitar, mereka
lebih suka sendiri, tidak menanggapi panggilan orangtua, sangat jarang memberikan atensi, dan
kurang menunjukkan gesture (bahasa tubuh) dan vokalisasi. Pada saat bayi tidak bisa
memberikan senyum sosial, dan makin besar usia bayi akan makin tampak jelas gejala. Pada
anak yang lebih besar tidak menunjukkan kontak mata. Perkembangan sosial pada masa
berikutnya ditandai dengan perlekatan yang atipikal, namun bukan benar-benar menghilang.
Anak tidak dapat membedakan orang-orang terdekat, seperti orangtua atau pengasuh, dan tidak
berespon lebih bila bertemu dengan orang asing. Anak seringkali menunjukkan gejala kecemasan
bila kegiatan yang sedang mereka lakukan dihentikan serta kesulitan melakukan permainan
kelompok. Keterlambatan bicara, bahasa yang diulang-ulang, meniru ucapan seseorang tanpa
tujuan komunikasi (ekolali), kata yang terlepas tiba-tiba, dan kata tertentu yang disukai
merupakan presentasi klasik dari gejala GSA.

Defisit pre-speech dapat muncul sebelum munculnya gejala klasik tersebut, meliputi:
1. kurangnya gerak tubuh yang sesuai,
2. kurangnya ekspresi tubuh yang menunjukkan kehangatan,
3. kurangnya interaksi terhadap vokalisasi yang biasa diucapkan antara orangtua dan bayi
(yang biasanya sudah dikenali bayi pada anak usia 6 bulan),
4. Anak kurang mengenali ibunya (atau ayah, atau pengasuh),
5. tidak memedulikan panggilan,
6. belum babbling pada usia 9 bulan,
7. tidak ada atau menurunnya gesture pre-speech,
8. kurangnya ekspresi diri,
9. kurang tertarik atau respon terhadap situasi/pernyataan sehari-hari.

Anak GSA pada usia sekolah dan menjalani pendidikan formal akan mengalami peningkatan
kemampuan sosial. Kejanggalan yang ditemukan biasanya hanya pada saat permainan spontan
dengan teman sebayanya. Anak pada usia yang lebih besar seringkali dikatakan berperilaku aneh
oleh teman-teman sebayanya. Pada usia yang lebih besar lagi, anak dengan GSA seringkali
berperilaku sebagai anak pendiam. Anak GSA dalam bidang kognitif, anak dengan GSA sering
menunjukkan kemampuan lebih pada perintah visual-spasial, namun menunjukkan kekurangan
pada kemampuan verbal. Anak kesulitan menunjukkan tahapan emosi dan seringkali tidak dapat
menunjukkan empati. Anak GSA sebenarnya menginginkan hubungan pertemanan dengan orang
lain, atau pada penderita GSA dengan kemampuan fungsionalnya yang lebih baik, penderita
dapat merasa bahwa kemampuan sosialnya seringkali menjadi penghalang dalam membangun
pertemanan.

Pada tahun pertama kehidupan, anak GSA seringkali kehilangan kemampuan untuk bermain
yang bersifat eksploratif. Pada saat bermain anak tidak mengeluarkan suara. Boneka atau alat
permainan seringkali tidak dimainkan dengan cara yang lazim dan permainan yang dilakukan
sering bersifat ritual atau terus diulang. Anak GSA juga tidak menunjukkan perilaku meniru
seperti teman sebayanya. Anak GSA memperlihatkan bahasa tubuh yang kaku, berulang, dan
monoton pada saat bermain. Perilaku ritual (terus diulang) dan kompulsif muncul pada usia
anak-anak dini.

Anak GSA seringkali menikmati spinning (berputar), banging (memukul-mukul barang), dan
sangat suka permainan menyiram air. Perilaku obsesif kompulsif seringkali ditemukan, seperti
menderetkan barang, dan seringkali anak yang lebih besar memiliki keterikatan dengan benda
kesayangannya. Anak GSA dengan gangguan intelektual berat seringkali memiliki perilaku
membahayakan diri sendiri. Perilaku stereotipi, tidak mampu berperilaku santun, dan
menunjukkan ekspresi negati bila berhadapan dengan lingkungan yang tidak disukai. Mengubah
susunan perabotan, pindah ke rumah baru, atau bahkan mengubah waktu makan atau mandi
dapat menyebabkan kepanikan atau tantrum.

Perilaku stereotipi atau repetitif termasuk stereotipi motorik sederhana (misalnya bertepuk
tangan, mengibaskan jemari), penggunaan obyek repetitif (misalnya memutar koin, menyusun
mainan), dan bicara repetitif (misalnya ekolali). 2,6 Defisit motorik sering dijumpai, seperti gaya
berjalan aneh, janggal, dan kelainan motorik lainnya (misalnya berjalan jinjit). Perilaku melukai
diri sendiri (misalnya membenturkan kepala, siku), perilaku merusak, dan gangguan intelektual
lebih sering dijumpai. 3 Gambaran fisik yang berkaitan dengan GSA Anak GSA seringkali tidak
menampakkan adanya gambaran fisik yang patognomonis. Pada anak GSA seringkali memiliki
kelainan fisik minor seperti kelainan pada telinga, dan memiliki kelainan bagian otak sejak
intrauterin. Sebagian besar anak GSA tidak mengalami dominansi tangan dan lateralisasi pada
waktunya. Pada GSA terjadi peningkatan volume otak, dimana 15-20% mengalami makrosefali
saat usia 5 tahun.

Anda mungkin juga menyukai