Anda di halaman 1dari 15

Autisme

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Neurosains dalam Pembelajaran AUD
Dosen pengampu : Sri Maryani, M. Pd.

Kelompok 2 :
Dear Djati (1192100013)
Dina Mutia (1192100018)
Diar Indah Parawati (1192100017)
Hawwa Nurbani Yazid (1192100026)

JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UMIVERSITAS ISLAM NEGRI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2022

i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah Swt. Dengan rida dan rahmat-Nya, penulis
akhirnya bisa menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Makalah dengan judul “Autisme" disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Neurosains
Pembelajaran Anak Usia Dini. Selain itu, penulis juga berharap bahwa penyusunan makalah ini bisa
bermanfaat untuk dunia pendidikan, khususnya para pelajar yang saat ini sedang belajar Neurosains
Pembelajaran Anak Usia Dini.
Makalah ini akan bisa memberikan pemahaman baru tentang Neurosains Pembelajaran Anak Usia
Dini. Oleh karena itu, penulis berharap ada banyak orang yang berkenan membaca penelitian
sederhana ini.
Segala kekurangan yang terdapat pada makalah ini sepenuhnya milik penulis. Penulis terbuka untuk
menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Semoga karya sederhana ini bisa menambah wawasan para pembaca.

Bandung, 25 Mei 2022

ii
Daftar Isi

BAB 1 .................................................................................................................................................... iv
A. Latar Belakang ........................................................................................................................... iv
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................................... iv
BAB 2 .................................................................................................................................................... iv
A. Pengertian Autisme ..................................................................................................................... 1
B. Faktor penyebab autisme ............................................................................................................ 2
C. Pencegahan dan Penanganan Autisme ........................................................................................ 4
D. Strategi Pembelajaran Bagi Autisme .......................................................................................... 8
BAB 3 ..................................................................................................................................................... 9
KESIMPULAN ............................................................................................................................... 9
Daftar Pustaka ....................................................................................................................................... 11

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Autis merupakan suatu gangguan perkembangan pada otak. Autis dalam bahasa
yunani dikenal dengan kata “auto” yang berarti sendiri. Seorang anak yang seringkali terlihat
seperti seorang yang hidup sendiri atau seolah-olah mempunyai dunia sendiri dan terlepas
dari pandangan sosial dan sekitarnya (Bektiningsih, 2009). Autis pertama kali ditemukan oleh
Leo Kanner pada tahun 1943. Leo Kanner mengidentifikasi gangguan pada autis seperti
adanya gangguan interaksi sosial, komunikasi, berbahasa, sering mengulang kalimat, gerakan
yang berulang-ulang, kognitif serta obsesif terhadap mempertahankan keteraturan di dalam
lingkungan (Veskarisyanti, 2008).

Autis merupakan sekumpulan gejala karena adanya kelainan pada saraf tertentu yang
mengakibatkan fungsi otak tidak bekerja secara normal sehingga dapat mempengaruhi
tumbuh kembang (Sunu, 2012). Menurut DSM V (Diagnpstic Statistical Manual) autis
merupakan gangguan perkembangan yang melibatkan berbagai masalah gangguan perilaku
diantaranya gangguan perkembangan sosial, komunikasi, persepsi dan motorik (James &
Susan, 2013).

Data Center for Desease Control and Prevention (CDC, 2018) menyebutkan bahwa
prevalensi kejadian penderita autism meningkat dari 1 per 150 populasi pada tahun 2000
menjadi sebesar 1 per 59 pada tahun 2014. ASD lebih banyak menyerang anak laki-laki,
dengan prevalensi 1:37, sedangkan pada anak perempuan 1: 151. Merujuk pada data
prevalensi tersebut, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk sebesar 237,5 juta dengan laju
pertumbuhan penduduk 1,14% diperkirakan memiliki angka penderita ASD sebanyak 4 juta
orang.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian autisme ?


2. Apa saja faktor penyebab autisme ?
3. Apa saja pencegahan dan penanganan autisme ?
4. Bagaimana strategi pembelajaran bagi autisme ?

iv
BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Autisme

Autis merupakan suatu gangguan perkembangan pada otak. Autis dalam bahasa
yunani dikenal dengan kata “auto” yang berarti sendiri. Seorang anak yang seringkali terlihat
seperti seorang yang hidup sendiri atau seolah-olah mempunyai dunia sendiri dan terlepas
dari pandangan sosial dan sekitarnya (Bektiningsih, 2009). Autis pertama kali ditemukan oleh
Leo Kanner pada tahun 1943. Leo Kanner mengidentifikasi gangguan pada autis seperti
adanya gangguan interaksi sosial, komunikasi, berbahasa, sering mengulang kalimat, gerakan
yang berulang-ulang, kognitif serta obsesif terhadap mempertahankan keteraturan di dalam
lingkungan (Veskarisyanti, 2008).

Autis merupakan sekumpulan gejala karena adanya kelainan pada saraf tertentu yang
mengakibatkan fungsi otak tidak bekerja secara normal sehingga dapat mempengaruhi
tumbuh kembang (Sunu, 2012). Menurut DSM V (Diagnpstic Statistical Manual) autis
merupakan gangguan perkembangan yang melibatkan berbagai masalah gangguan perilaku
diantaranya gangguan perkembangan sosial, komunikasi, persepsi dan motorik (James &
Susan, 2013).

Autisme didefinisikan sebagai suatu gangguan yang mempengaruhi perkembangan


dan bersifat kompleks menyangkut aktivitas imajinasi, komunikasi dan, interaksi sosial.
Gejalanya dapat terlihat ketika anak sebelum berumur 3 tahun. Anak penyandang autis
mempunyai berbagai masalah yang mengganggu dalam berbagai bidang, antara lain dalam
bidang interaksi sosial, komunikasi, pola bermain, gangguan sensoris, perilaku, dan emosi
(Suryana, 2004). Kanner (dalam Berkell, 1992) mendeskripsikan gangguan ini dengan 3
kriteria umum yaitu adanya gangguan yang meliputi hubungan interpersonal, gangguan pada
perkembangan bahasa dan kebiasaan untuk melakukan pengulangan atau melakukan tingkah
laku yang sama secara berulang-ulang.

Kartono (2000) berpendapat bahwa Autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara
total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim dengan fikiran
dan fantasi sendiri.

Supratiknya (1995) menyebutkan bahwa penyandang autis memiliki ciri-ciri yaitu


penderita senang menyendiri dan bersikap dingin sejak kecil atau bayi, misalnya dengan tidak
memberikan respon ( tersenyum, dan sebagainya ), bila di ‘liling’, diberi makanan dan
sebagainya, serta seperti tidak menaruh perhatian terhadap lingkungan sekitar, tidak mau atau
sangat sedikit berbicara, hanya mau mengatakan ya atau tidak, atau ucapan-ucapan lain yang
tidak jelas, tidak suka dengan stimuli pendengaran ( mendengarkan suara orang tua pun
menangis ), senang melakukan stimulasi diri, memukul-mukul kepala atau gerakan-gerakan
aneh lain, kadang-kadang terampil memanipulasikan obyek, namun sulit menangkap.

Kartono (1989) berpendapat bahwa Autisme adalah cara berpikir yang dikendalikan
oleh kebutuhan personal atau diri sendiri, menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan
harapan sendiri dan menolak realitas, oleh karena itu menurut Faisal Yatim (2003),
penyandang akan berbuat semaunya sendiri, baik cara berpikir maupun berperilaku.

Autisme adalah gangguan yang parah pada kemampuan komunikasi yang


berkepanjangan yang tampak pada usia tiga tahun pertama, ketidakmampuan berkomunikasi
ini diduga mengakibatkan anak penyandang autis menyendiri dan tidak ada respon terhadap
orang lain (Sarwindah, 2002).

1
Yuniar (2002) menambahkan bahwa Autisme adalah gangguan perkembangan yang
komplek, mempengaruhi perilaku, dengan akibat kekurangan kemampuan komunikasi,
hubungan sosial dan emosional dengan orang lain, sehingga sulit untuk mempunyai
ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat. Autisme berlanjut
sampai dewasa bila tak dilakukan upaya penyembuhan dan gejala-gejalanya sudah terlihat
sebelum usia tiga tahun.

Yuniar (2002) mengatakan bahwa Autisme tidak pandang bulu, penyandangnya tidak
tergantung dari ras, suku, strata-ekonomi, strata sosial, tingkat pendidikan, geografis tempat
tinggal, maupun jenis makanan. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan penyandang
Autisme ialah 4 : 1.

B. Faktor penyebab autisme

- Gangguan Susunan Saraf Pusat

Pada bagian otak anak autis terdapat kelainan anatomi susunan saraf pusat yang terdapat
pada beberapa tempat yaitu lobus parietal, serebelum dam sistem limbik. Handoyo (2003)
menjelaskan bahwa 43% penderita autis terdapat kelainan otak pada lobus parietal yang
menyebabkan anak autis acuh tak acuh terhadap lingkungannya. Banyak anak autis
mengalami kelainan serebelum terutama pada lobus VI-VII karena jumlah sel purkinje sangat
kurang sehingga berdampak masalah proses penyaluran imformasi antar otak. Selain itu,
sering ditemukan kelainan pada sistem limbik yang menyebabkan struktur pada pusat emosi
di dalam otak anak autis tidak dapat terkontrol (Magdalena, 2006).

- Kelebihan Peptida Opoid

Aktivitas opioid yang tinggi akan berpengaruh terhadap persepsi, kognisi dan emosi pada
autis. Menurut Kessick (2009) di dalam urine autis terdapat kandungan peptida yang tidak
normal akibat sebagian besar peptida terbentuk karena kebanyakan mengkonsumsi makanan
yang mengandung glutea dan kasein. glutea berasal dari gandum dan kasein berasal dari susu.
Protein yang masuk ke dalam usus tidak dicerna secara sempurna akibat jumlah dan
penyerapan peptide dalam usus meningkat. Jumlah peptida yang masuk kedalam darah terlalu
banyak sehingga terjadi kebocoran pada dinding usus. Hal tersebut dapat mengakibatkan
gangguan perilaku pada anak autis (Sastra, 2011).

- Jenis kelamin.Anak laki-laki memiliki risiko hingga 4 kali lebih tinggi mengalami
autisme dibandingkan dengan anak perempuan.
- Faktor keturunan. Orang tua yang mengidap autisme berisiko memiliki anak dengan
kelainan yang sama.
- Penularan selama dalam kandungan. Contohnya, efek samping terhadap minuman
beralkohol atau obat-obatan (terutama obat epilepsi untuk ibu hamil) selama dalam
kandungan.
- Pengaruh gangguan lainnya, seperti sindrom Down, distrofi otot, neurofibromatosis,
sindrom Tourette, lumpuh otak (cerebral palsy) serta sindrom Rett.
- Kelahiran prematur, khususnya bayi yang lahir pada masa kehamilan 26 minggu atau
kurang.

Hingga saat ini, penyebab autisme masih belum diketahui. Namun, para ahli
mengidentifikasi adanya beberapa gen yang dicurigai memiliki kaitan dengan ASD. Kadang-
kadang gen-gen ini muncul dan bermutasi secara spontan. Namun, dalam kasus lain, orang
mungkin mewarisi gen tersebut dari orang tuanya.

2
Dalam kasus anak kembar, autisme bisa terjadi akibat gen kembar. Misalnya, bila satu
anak kembar mengidap autisme, maka kembar yang lain memiliki risiko autisme sekitar 36-
95 persen.

Mereka yang mengidap autisme juga bisa mengalami perubahan di area-area utama otak
mereka yang memengaruhi cara bicara dan perilaku pengidap. Faktor lingkungan mungkin
juga berperan dalam pengembangan ASD, meskipun dokter bisa mengkonfirmasi
kebenarannya. Di samping itu, yang perlu digaris bawahi adalah autisme tidak akan
disebabkan oleh hal-hal berikut, antara lain pola asuh orang tua yang buruk, penggunaan
vaksin, seperti vaksin MMR, konsumsi makanan dan minuman, infeksi yang dapat menular.

Gejala Pada Autisme :

Gangguan pada anak autis mulai terlihat pada saat bayi hingga kurang lebih umur 3
tahun. Tanda gejala pada anak autis diantaranya yaitu gangguan komunikasi, gangguan
interaksi sosial, gangguan kognitif, gangguan perilaku dan gangguan fisik (Cauffield, 2013).
Gangguan anak autis meliputi:

a. Gangguan Komunikasi

Autis sering kali mengalami kesulitan dalam berkomunikasi karena adanya hambatan
dalam mengekspirasikan diri, sulit bertanya jawab, sering mengulangi ucapan orang lain. Bila
anak tidak dapat berbicara atau mengatakan sesuatu, maka ia tidak dapat mempertahankan
percakapan atau komunikasi dengan orang lain. Hal ini dikarenakan adanya penggunaan
bahasa yang kaku (Haryana, 2012).

b. Gangguan Interaksi Sosial

Gangguan ini sering ditemukan pada anak autis. Hambatan dalam interaksi dengan
orang lain, menolak orang lain, mengindar kontak mata dengan orang lain serta menolak
untuk dipeluk, dia lebih suka menyendiri dan menghindar saat bertatapan. Anak autis juga
memerlukan banyak waktu untuk mengubah pola pikir dan pola perhatian terhadap stimulasi
vestibular dan stimulus visual. Karena hal ini yang mengakibatkan anak autis mengalami
gangguan dalam berinteraksi sosial secara cepat (Widura, 2013).

c. Gangguan Sensori

Kelainan sistem sensoris dapat mengakibatkan otak tidak mampu untuk menyatukan
informasi yang dihasilkan dari kelima panca indra sehingga otak tidak mampu lagi untuk
memberikan perintah ketubuh untuk memberikan reaksi yang tepat (Zimmer, 2012).

d. Gangguan Perilaku

Kelainan yang terdapat pada gerakan yang stereotipik (Gerakan yang berulang-ulang)
seperti bertepuk tangan, duduk sambil menganyun-anyunkan badan dan terdapat gangguan
emosi, perasaan seperti rasa takut yang tiba-tiba muncul terhadap objek yang tidak
menakutkan (Sunartini, 2000).

e. Gangguan Fisik

Gangguan fisik sering kali ditemukan pada autis karena adanya kegagalan antara
penyeberangan otak kanan dan kiri karena kelainan struktur otak sehingga menyebabkan

3
terjadinya dominasi serebral dan kejadian dermatoglyphics (ilmu tentang sidik jari) yang
abnormal (Sunartini, 2000).

Klasifikasi Autis :

Menurut Handrian J (2008) autis diklasifikasikan menjadi 3 bagian berdasarkan


gejalanya melalui Childhood Autism Rating Scale (CARS) yaitu :

1. Autis Ringan

Anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata walaupun tidak berlangsung
lama, dapat memberikan sedikit respon Ketika namanya dipanggil, menunjukkan ekspresi-
ekspresi muka dan berkomunikasi secara dua arah walaupun hanya sekali.

2. Autis Sedang

Anak autis mulai mengalami tindakan agresif, menyakiti diri sendiri, acuh dan
gangguan motorik yang stereotipik cenderung agak sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa
dikendalikan.

3. Autis Berat

Anak autis pada kategori ini mulai menunjukkan tindakantindakan yang sangat tidak
terkendalikan, biasanya memukul-memukul kepalanya ke tembok secara berulang-ulang dan
terus menerus tanpa henti. Pada kondisi ini tidak dapat dicegah walaupun dalam keadaan
pelukan orang tua, anak autis akan berhenti sendiri setelah merasa kelelahan dan kemudian
langsung tertidur.

Diagnosis Autis :

Menurut Griadhi et al., (2013) ada beberapa instrumen screening untuk autis:

a. CARS rating sistem (Childhood Autis Rating Scale) yang dikembangkan oleh Eric
Schpler pada awal tahun 1970an, berdasarkan pengamatan terhadap perilaku. Hal tersebut
terdapat 15 nilai skala yang mengandung penilaian terhadap hubungan anak dengan orang
lain, penggunaan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, respon pendengaran dan komunikasi
verbal.

b. Checklist for autism in toddlers (CHAT) yang digunakan untuk screening autis
pada anak usia 18 bulan. Dikembangkan oleh Simon Baron-Cohen pada awal tahun 1990an
yang bertujuan untuk melihat apakah autis dapat terdeteksi pada saat anak berusia 18 bulan.
Alat screening yang digunakan yaitu menggunakan kusioner yang terbagi 2 sesi, yang satu
melalui penilaian dari orang tua dan yang satunya melalui penilaian dari doker yang
menanganinya.

c. AutismScreening Questionnaire merupakan 40 poin skala screening yang telah


dilakukan oleh anak usia 4 tahun ke atas untuk mengevakuasi/ mengevaluasi kemampuan
berkomunikasi dan fungsi sosial.

C. Pencegahan dan Penanganan Autisme

Ada berbagai macam cara yang bisa saja berhasil untuk langkah pencegahan autisme.
Hal ini karena rupanya penderita autisme setiap tahunnya makin meningkat. Sehingga cukup

4
perlu untuk waspada dan melakukan berbagai upaya pencegahan yang penting untuk
menghindari resiko terjadinya penyebab penyempitan saraf otak yang berakibat autisme
tersebut.

Yang paling penting yaitu bagaimana cara supaya dalam kehamilan diupayakan
langkah pencegahan yang maksimal untuk menghindari resiko bayi lahir dengan kondisi
mengalami autisme. Oleh sebab itu ada baiknya jika informasi yang berkaitan dengan hal
tersebut diupayakan. Salah satunya melalui informasi berikut ini mengenai langkah-langkah
untuk pencegahan autisme sejak dini, yaitu terutama saat masa kehamilan atau dalam
kandungan.

1. Kontrol Kandungan

Tentunya hal yang sangat penting dilakukan untuk mencegah kelainan ini yaitu
dengan jalan selalu rajin dan teratur untuk mengontrol kandungan. Ada baiknya melihat
perkembangan janin secara seksama dari waktu ke waktu. Termasuk kemungkinan apakah
dapat terjadi kelainan maupun gejala seperti masalah pada otak.

Karena hal ini bisa jadi merupakan awal mula yang dapat membuat janin pada
akhirnya nanti lahir dan mengalami kondisi autisme. Oleh sebab itu sangat penting bagi ibu
hamil setiap bulannya untuk selalu rajin memeriksakan kandungan ke dokter atau bidan.
Sehingga lebih mudah mengikuti perkembangan janin dan melihat apakah kehamilan berjalan
lancar dan normal.

2. Olahraga Ringan

Lakukan olah raga ringan selama masa kehamilan, seperti misalnya melakukan olah
raga pernapasan atau senam hamil. Hal ini membantu kelancaran suplai oksigen dalam darah
pada ibu hamil. Sehingga secara otomatis juga membantu untuk melancarkan aliran darah dan
oksigen pada janin yang dikandung.

Hal yang sepele semacam ini sebenarnya merupakan salah satu hal yang penting.
Karena kecukupan oksigen untuk janin akan mempengaruhi kesehatan dan pertumbuhan bayi
lebih lanjut. Jika pasokan oksigen tercukupi maka saraf janin juga akan bertumbuh lebih
maksimal.

Sehingga resiko mengalami faktor autisme akan dapat diminimalkan. Secara tidak
langsung akan membantu menjaga kesehatan bayi secara lebih optimal termasuk kesehatan
saraf dan penanganan gegar otak.

3. Batasi Asupan

Sebaiknya selalu perhatikan jenis makanan yang dikonsumsi selama masa kehamilan.
Kebanyakan kasus autis juga bisa terjadi jika pada masa kehamilan tidak dapat menjaga
asupan makanan yang dikonsumsi. Akibatnya berdampak pada janin dan mengalami masalah
seperti gangguan pada pertumbuhan janin itu sendiri. Terutama jika memberikan efek secara
tidak langsung berupa terlalu banyak zat tertentu.

Umumnya hal ini cukup riskan untuk menimbulkan resiko mengalami penyakit
autisme. Oleh sebab itu sebaiknya batasi asupan ibu hamil pada jenis makanan yang sehat saja
supaya kondisi autisme ini dapat dihindari sejak dini dan tidak terjadi pada bayi yang
dilahirkan.

5
Apalagi umumnya kehamilan membuat ibu hamil susah membatasi asupan terutama
saat merasa lapar di trimester terakhir. Sehingga kurang memperhatikan apa yang dimakan
atau dikonsumsi saat menjalani kehamilan. Hal inilah yang memang perlu perhatian lebih
supaya kondisi kesehatan janin dapat terjaga secara maksimal.

4. Makanan Bergizi

Yang cukup penting berkaitan dengan asupan yang dikonsumsi selama masa
kehamilan yaitu membatasi makanan pada makanan yang mengandung cukup gizi yang tepat.
Jangan sampai kekurangan tetapi juga upayakan supaya tidak sampai berlebihan.

Hal ini karena memang makanan sehat untuk penderita stroke yang dapat
menghindarkan resiko autisme yang tepat yaitu mengandung gizi yang cukup untuk
menunjang perkembangan bayi atau janin. Sehingga seluruh fungsi tubuh janin nantinya bisa
berkembang secara maksimal.

Oleh sebab itu sebaiknya pilih makanan yang sehat saja dan tidak banyak
mengandung kolesterol atau lemak jahat yang bisa berbahaya baik bagi ibu hamil maupun
bagi janin yang ada dalam kandungan. Memperbanyak makanan yang kaya akan serat,
vitamin dan mineral bisa menjadi salah satu alternatif yang tepat jika ingin supaya janin
bertumbuh secara maksimal.

Dengan demikian hal ini bisa menjadi salah satu cara pencegahan autisme yang bisa
dilakukan sejak dini. Dengan harapan supaya nantinya anak lahir dalam keadaan sehat dan
tidak mengalami efek apapun yang berbahaya.

5. Minum Vitamin

Selama kehamilan sebaiknya minum berbagai macam vitamin yang disarankan oleh
dokter. Terutama yang mengandung asam folat serta DHA untuk perkembangan otak anak.
Hal ini cukup penting karena unsur tersebut berperan penting pada masa pembentukan janin.

Terutama juga untuk mendukung pertumbuhan yang optimal dan normal. Oleh sebab
itu jika ada beberapa saran dari dokter berupa konsumsi vitamin dan mineral, sebaiknya
lakukan hal ini secara rutin dan teratur. Sehingga faktor resiko seperti bayi mudah kejang,
terserang resiko epilepsi kriptogenik termasuk resiko mengalami autisme bisa dicegah sejak
dini.

6. Hindari Penyakit

Selanjutnya ada baiknya supaya ibu hamil berusaha hidup sehat dan menghindari
sumber penyakit yang berbahaya. Misalnya jika ada anggota keluarga yang sakit sebaiknya
ibu hamil sementara waktu tidak mendekat. Terutama saat berada di tempat umum ada
baiknya untuk berhati-hati terhadap orang yang sedang menderita sakit penyakit tertentu.

Karena salah satu faktor resiko bisa saja terjadi akibat infeksi yang terjadi pada masa
kehamilan. Sehingga pada akhirnya memberikan efek yang kurang baik pada janin. Salah
satunya resiko mengalami autisme tadi. Oleh karena itulah sebaiknya upayakan supaya masa
kehamilan berjalan sehat dan lancar.

7. Perhatikan Makanan Bayi

6
Selanjutnya cara pencegahan autisme yang bisa dilakukan termasuk memperhatikan
asupan makanan yang diberikan setelah bayi lahir. Terutama sebaiknya yang terbaik berusaha
memberikan konsumsi asi eksklusif kepada bayi yang baru lahir dan selanjutnya mengenalkan
makanan padat saat bayi memasuki usia 6 bulan.

Ada banyak kasus dimana pencetus autisme berupa alergi terhadap jenis makanan
yang boleh dikonsumsi penderita epilepsi dengan karbohidrat tinggi. Oleh sebab itu
perhatikan bayi yang dilahirkan apakah memiliki kecenderungan tersebut atau tidak.

Dengan secara tidak langsung membatasi asupan yang diterima oleh bayi baru lahir
maka otomatis akan membantu supaya bayi dapat membentuk perkembangan tubuh yang jauh
lebih optimal dan maksimal. Oleh sebab itu yang cukup baik yaitu berusaha menghindari
jenis makanan berkarbohidrat atau mengandung gula terlalu tinggi.

Sehingga bayi juga bisa lebih sehat dan bebas dari resiko penyakit yang lain.
Memperhatikan asupan yang kaya vitamin serta mineral merupakan salah satu hal yang tak
kalah penting.

8. Terapi

Ada beberapa terapi yang digunakan untuk menangni anak autism yaitu :

- Terapi Medikamentosa

Terapi dengan obat-obatan bertujuan memperbaiki komunikasi, memperbaiki respon


terhadap lingkungan, dan menghilangkan perilaku aneh serta diulang-ulang
(Widyawati, dkk, 2003).

- Terapi Biomedis

Terapi bertujuan memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian


suplemen. (Widyawati, dkk, 2003).

- Terapi Wicara

Terapi untuk membantu anak autis melancarkan otot-otot mulut sehingga membantu
anak autism berbicara lebih baik (Suryana, 2004).

- Terapi Perilaku

Metode untuk membentuk perilaku positif pada anak autism, terapi ini lebih dikenal
dengan nama ABA (Applied Behavior Analysis) atau metode Lovass (Handjono,
2003).

- Terapi Okupasi

Terapi untuk melatih motoric halus anak autism, terapi okupasi untuk membantu
menguatkan, memperbaiki koordinasi dan keterampilan ototnya (Suryana, 20004).

- Terapi Bermain

7
Proses terapi psikologik pada anak, dimana alat permainan menjadi sarana utama
untuk mencapai tujuan. (Sutasi, dkk, 2003).

- Terapi Sensory Integration

Pengorganisasian informasi melalui sensori-sensori (sentuhan, gerakan,


keseimbangan, penciuman, pengecapan, penglihatan, dan pendengaran) yang sangat
berguna untuk menghasilkan respon yang bermakna (Sutasi, dkk, 2003).

- Terapi Auditory Integration

Terapi untuk anak autis agar pendengarannya lebih sempurna (Suryana, 2004).

D. Strategi Pembelajaran Bagi Autisme

Model pembelajaran diartikan sebagai sutau prosedur yang sistematis dalam


mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. (Belajar
Psikologi.com, 2011). Model pembelajaran dapat juga bermakna cara yang digunakan guru
untuk membelajarkan anak supaya tujuan pembelajaran yang sudah direncanakan tercapai.
Didalam model pembelajaran terkandung pendekatan, strategi, metode dan teknik yang
digunakan untuk membelajarkan siswa. Model pembelajaran yang baik adalah model
pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa (kemampuan, kebutuhan dan hambatan, dan
lain sebagainya).

Ada beberapa ciri-ciri model pembelajaran secara khusus diantaranya adalah :

1. Rasional teoritik yang logis yangdisusun oleh para pencipta atau pengembangnya.

2. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar.

3. Tingkah laku mengajar yang diperlukanagar model tersebut dapat dilaksanakandengan


berhasil.

4. Lingkungan belajar yang duperlukanagar tujuan pembelajaran dapat tercapai. (Belajar


Psikologi.com, 2011)

Untuk anak-anak berkebutuhan khusus, khususnya anak autis, memilih model


pembelajaran itu harus menjadi pemikiran yang benar-benar sesuai dengan kondisi siswa.
Ada beberapa pertimbangan yang menjadi dasar seorang guru untuk menentukan model
pembelajaran untuk anak autis diantaranya adalah hambatan utama yang dialami oleh siswa
dan pemahaman tentang gaya belajar anak.

Belajar adalah perubahan perilaku sebagai akibat dari interaksi anak dengan
lingkungannya. Ada beberapa cara untuk membantu anak autis mempelajari keterampilan dan
perilaku baru, diantaranya: isyarat visual/ verbal, modelling, visual support, prompting,
fading, shaping dan chaining (Dodd, 2007).

1. Isyarat visual / verbal

Isyarat visual/ verbal adalah pengajaran yang diberikan pada anak autis untuk
membantu mereka melengkapi tugas-tugas yang diinginkan. Ini mungkin dilakukan dengan
cara non verbal atau verbal, dengan menggunakan tanda manual atau startegi visual (Dodd,

8
2007). Strategi visual merupakan strategi pembelajaran dengan menggunakan benda-benda
konkrit atau semi konkret atau simbol-simbol dalam menyampaikan pembelajaran.

2. Pemodelan (Modelling)

Pemodelan merupakan strategi pembelajaran yang menggunakan orang tua atau


teman sebaya untuk menjadi model, terutama ketika mengajarkan keterampilan-keterampilan
baru.

3. Visual support

Visual support digunakan untuk meningkatkan komunikasi, mentransfer informasi,


perilaku dan mengembangkan kemandirian. Ini termasuk daftar visual (jadwal), urutan suatu
pekerjaan, ekspresi wajah, gestures dan bahasa tubuh.

4. Prompting

Promting merupakan isyarat tambahan untuk membantu memfasilitasi respon yang


benar. Individu membutuhkan bimbingan secara fisik untuk mengerjakan tugas. Memberikan
dorongan secara fisik sering menjamin keberhasilan individu. Reinforcment harus segera
diberikan apabila anak selesai mengerjakan tugas mandirinya.

5. Fading

Fading merupakan pengurangan bantuan secara sistematis. Pengurangan bantuan fisik


secara bertahap. Teknik ini berhasil dalam mengajarkan keterampilan baru. Pengurangan ini
sangat penting supaya anak tidak tergantung pada bantuan dan isyarat.

6. Shaping

Perilaku terkadang dapat dibentuk sesuai dengan tujuan yang diharapkan atau yang
ingin dicapai. Shaping merupakan prosedur yang digunakan untuk mengembangkan
keterampilan atau perilaku yang tidak ada pada diri seseorang. Shaping biasanya digunakan
untuk mengjarkan keterampilan-keterampilan yang sulit seperti memakai baju, makan dan
bersosialisasi dengan orang lain. (Dodd, 2007)

7. Chainning

Chainning adalah menciptakan perilaku yang rumit dengan menggabungkan perilaku-


perilaku sederhana yang telah menjadi bagian dalam diri seseorang. Contohnya dalam
menyikat gigi: pertama menyimpan pasta gigi pada sikat gigi, kemudian memasukkan sikat
gigi ke mulut dan kemudian mulai menggosok gigi ke atas ke bawah, kesamping kiri dan
kanan dan seterusnya.

BAB 3
KESIMPULAN

Autisme adalah gangguan perkembangan yang komplek, mempengaruhi perilaku,


dengan akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan
orang lain, sehingga sulit untuk mempunyai ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan
sebagai anggota masyarakat. Autisme berlanjut sampai dewasa bila tak dilakukan upaya
penyembuhan dan gejala-gejalanya sudah terlihat sebelum usia tiga tahun.

9
Faktor penyebab autism yaitu gangguan susunan saraf pusat, kelebihan peptida opoid,
jenis kelamin, faktor keturunan, penularan selama dalam kandungan, pengaruh gangguan,
kelahiran premature.

Gejala pada autism yaitu gangguan komunikasi, gangguan interaksi sosial, gangguan
sensori, gangguan perilaku, gangguan fisik. Klasifikasi autism yaitu autis ringan, autis
sedang, autis berat,

Diagnosis autisme yaitu CARS rating sistem (Childhood Autis Rating Scale),
checklist for autism in toddlers (CHAT), autismScreening questionnaire.

Pencegahan dan Penanganan Autisme yaitu kontrol kandungan olahraga ringan,


batasi asupan, makanan bergizi, minum vitamin, hindari penyakit, perhatikan makanan bayi,
dan terapi,

Strategi Pembelajaran Bagi Autisme yaitu :

1. Rasional teoritik yang logis yangdisusun oleh para pencipta atau pengembangnya.

2. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar.

3. Tingkah laku mengajar yang diperlukanagar model tersebut dapat dilaksanakandengan


berhasil.

4. Lingkungan belajar yang duperlukanagar tujuan pembelajaran dapat tercapai. (Belajar


Psikologi.com, 2011)

Belajar adalah perubahan perilaku sebagai akibat dari interaksi anak dengan
lingkungannya. Ada beberapa cara untuk membantu anak autis mempelajari keterampilan dan
perilaku baru, diantaranya: isyarat visual/ verbal, modelling, visual support, prompting,
fading, shaping dan chaining (Dodd, 2007).

10
Daftar Pustaka

https://www.academia.edu/34409906/Jurnal_autism

https://oshomdijah.blogspot.com/2012/03/model-pembelajaran-anak-autis.html

https://halosehat.com/autisme/pencegahan-autisme

https://www.halodoc.com/kesehatan/autisme

https://eprints.umm.ac.id/64820/3/BAB%20II.pdf

http://digilib.uinsby.ac.id/3201/5/Bab%202.pdf#:~:text=Autisme%20merupakan%20suatu%20ganggu
an%20perkembangan%20pervasif%20yang%20secara,%20sutu%20%20bentuk%20%20penyakit%20
%20mental

11

Anda mungkin juga menyukai