Anda di halaman 1dari 17

AUTIS

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan


Anak Berkebutuhan Khusus
Dosen Pengampu: Yekti Endah Pambudi, M.Pd.

Disusun Oleh:
Miswatun Chasanah 23010190288
Sayidatul Khofsoh 23010190312
Fatkhur Rohman 23010190438

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan segala macam
nikmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyalesaikan apa yang sudah
seharusnya menjadi tugas seorang mahasiswa, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Autis”.

Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi


kita Nabi Agung Muhammad SAW, yang kita nanti-nantikan syafaatnya kelak di
hari akhir. Amin ya robbal’alamin.

Penulis sangat bersyukur dengan terselesaikannya makalah ini tepat pada


waktunya dan tidaklah kurang suatu apapun. Penulis hanya berharap kritik dan
saran yang membangun, karena setiap karya itu tidak lah luput dari kesalahan dan
keliputan, terkecuali karya Tuhan Yang Maha Esa.

Akhir kata, semoga makalah ini nantinya menjadi manfaat bagi penulis
dan pembaca dikemudian hari. Amin yaa robbal ‘alamin.

Wassalamu’alaikum wr. wb

Salatiga, 31 Oktober 2021

Penulis

1
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................iii

A. Latar Belakang......................................................................................iii
B. Rumusan Masalah.................................................................................iii
C. Tujuan...................................................................................................iii

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................1

A. Pengertian Autis....................................................................................1
B. Karakteristik Autis................................................................................2
C. Etiologi Autis........................................................................................2
D. Dampak Autis.......................................................................................5
E. Intervensi/Pendidikan Autis...………………………………………...5
F. Model Pelayanan Autis……………………………………………….6

BAB III PENUTUP.........................................................................................13

A. Kesimpulan...........................................................................................13
B. Saran.....................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Autis pertama kali diperkenalkan dalam suatu makalah pada tahun
1943 oleh seorang psikiatri Amerika yang bernama Leo Kanner. Ia
menemukan sebelas anak yang memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tidak
mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan individu lain dan sangat
tak acuh terhadap lingkungan di luar dirinya, sehingga perilakunya tampak
seperti hidup dalam dunianya sendiri. Autis merupakan suatu gangguan
perkembangan yang kompleks yang berhubungan dengan komunikasi,
interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Dalam pendidikan luar biasa kita
banyak mengenal macam-macam anak berkebutuhan khusus. Salah
satunya anak autis. Anak autis juga merupakan pribadi individu yang
harus diberi pendidikan baik itu keterampilan, maupun secara akademik.
Permasalahan yang di lapangan terkadang setiap orang tidak
mengetahui tentang anak autis tersebut. Oleh karena itu kita harus kaji
lebih dalam tentang anak autis. Dalam pengkajian tersebut kita butuh
banyak informasi mengenai siapa anak autis, penyebabnya dan lainnya.
Dengan adanya bantuan baik itu pendidikan secara umum. Dalam
masyarakat nantinya anak-anak tersebut dapat lebih mandiri dan anak-
anak tersebut dapat mengembangkan potensi yang ada dan dimilikinya
yang selama ini terpendam karena ia belum bisa mandiri. Oleh karena itu
makalah ini nantinya dapat membantu kita mengetahui anak autis tersebut.

3
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Autis?
2. Apa Karakteristik Autis?
3. Apa Etiologi Autis?
4. Apa Dampak Autis?
5. Apa Intervensi/Pendidikan Autis?
6. Apa Model Pelayanan Autis?

C. Tujuan
1. Dapat Mengetahui Pengertian Autis
2. Dapat Mengetahui Karakteristik Autis
3. Dapat Mengetahui Etiologi Autis
4. Dapat Mengetahui Dampak Autis
5. Dapat Mengetahui Intervensi/Pendidikan Autis
6. Dapat Mengetahui Model Pelayanan Autis

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Autis
Banyak sekali definisi yang beredar tentang apa autisme. Kata
autism berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu aut yang
berarti diri sendiri dan ism yang secara tidak langsung menyatakan
orientasi
atau arah atau keadaan (state). Sehingga autism sendiri dapat didefinisikan
sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asyik dengan dirinya sendiri. 1
Pengertian ini menunjuk pada bagaimana anak-anak autis gagal bertindak
dengan minat pada orang lain, tetapi kehilangan beberapa penonjolan
perilaku mereka. Ini tidak membantu orang lain untuk memahami seperti
apa dunia mereka.
Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala
psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut
Sindrom Kanner yang dicirikan dengan ekspresi wajah yang kosong
seolah-
olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain
untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi. 2
Yuniar menambahkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan
yang
komplek, mempengaruhi perilaku, dengan akibat kekurangan kemampuan
komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan orang lain, sehingga
sulit untuk mempunyai ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan
sebagai anggota masyarakat.3

1
Mirza Maulana, Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Menuju Anak Cerdas dan Sehat,
Yogyakarta: Kata Hati, 2007, hlm. 13.
2
Muhammad Budiman, Makalah Simposium, Pentingnya Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan
Terpadu Pada Autisme, Surabaya, 1998.
3
Sasanti Yuniar, Autisme; Tinjauan dari Sudut Medis, Makalah Seminar Nasional Pengembangan
Anak Autis Dalam Perspektif Pendidikan, PGPLB FIP UNESA, Surabaya, 2002.

5
Kartono berpendapat bahwa autisme adalah gejala menutup diri
sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar
keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri. Dalam pengertian
ini,
anak autis memiliki ciri yaitu anak yang sulit bersosialisasi dengan teman
yang lain. Kartono berpendapat bahwa autisme adalah cara berpikir yang
dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri, menanggapi dunia
berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri dan menolak realitas. Oleh
karena itu menurut Faisal Yatim, penyandang akan berbuat semaunya
sendiri, baik cara berpikir maupun berperilaku.4
Dari keterangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa autisme
adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan
lagi dengan dunia luar, merupakan gangguan perkembangan yang
komplek,
mempengaruhi perilaku, dengan akibat kekurangan kemampuan
komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan orang lain dan tidak
tergantung dari ras, suku, strata-ekonomi, strata sosial, tingkat pendidikan,
geografis tempat tinggal, maupun jenis makanan.
Autisme adalah gangguan perkembangan kompleks yang
gejalanya
harus sudah muncul sebelum anak berusia 3 tahun. Gangguan neurologi
pervasif ini terjadi pada aspek neurobiologis otak dan mempengaruhi
proses
perkembangan anak. Akibat gangguan ini sang anak tidak dapat secara
otomatis belajar untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan
sekitarnya, sehingga ia seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Selain
itu,autisme dapat diartikan sebagai suatu kelainan otak yang berpengaruh
pada perkembangan seseorang. Orang-orang yang mengalami autisme
mempunyai gangguan atau masalah dalam berkomunikasi dan berinteraksi

4
Faisal Yatim, Autisme (Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak-anak), Jakarta: Pustaka Populer Obor,
2003.

6
dengan orang lain. Seorang anak autisme mungkin akan terlihat sangat
linglung, terkucil atau terasing, mungkin mereka tidak ingin melakukan
kontak mata dengan orang lain, mungkin juga tidak berbicara atau bermain
seperti yang anak lain lakukan atau mungkin mereka mengulang-ulang
gerakan dan tingkah laku tertentu secara terus menerus dan berlebihan.

B. Karakteristik Autis
1. Gejala
Secara historis, para ahli dan peneliti dalam bidang autisme
mengalami kesulitan dalam menentukan seseorang sebagai
penyandang autisme atau tidak. Pada awalnya, diagnosa disandarkan
pada ada atau tidaknya gejala namun saat ini para ahli setuju bahwa
autisme lebih merupakan sebuah kontinum. Gejala-gejala autisme
dapat dilihat apabila seorang anak memiliki kelemahan di tiga domain
tertentu, yaitu sosial, komunikasi, dan tingkah laku yang berulang.
Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya suatu
pendekatan deskriptif dalam mendiagnosis autisme sehingga
menyertakan pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di-setting-
setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-
taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari
anak di mana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas di
antara teman-teman sebaya mereka yang normal.
Persoalan lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa
sering kali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku
yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat.
Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari
dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya
gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab
mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu

7
menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan
selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa
semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh
terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk.
Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan
keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan
kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan
dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila
kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga
mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal
anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak,
fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan
konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sekuel, kemampuan
musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak
sendiri.
2. Diagnosis
Anak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama
maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua sering kali
menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara
tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang
lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau
bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangsangan dari kelima
pancaindranya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan
penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-ngepakkan tangan
atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata)
juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri
sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif.
Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap
normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang
berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi,
beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang

8
autisme adalah respons-respons yang tidak wajar terhadap informasi
sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya,
permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa
tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka. Beberapa atau
keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati
pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan
kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
a. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami
bahasa;
b. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di
sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang
terjadi;
c. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar;
d. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang
dikenali;
e. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola
perilaku yang tertentu.

Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat


beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi,
dan bahkan perilakunya. Beberapa di antaranya ada yang tidak
‘berbicara’ sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya
sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat
(ekolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi
umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami
konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat
individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan
pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspada
dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute
of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika

9
Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan
perlunya evaluasi lebih lanjut:

a. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan;


b. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada,
menggenggam) hingga usia 12 bulan;
c. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan;
d. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di
usia 24 bulan;
e. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada
usia tertentu.

Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak


tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan
autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan
evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; neurolog,
psikolog, pediatri, terapi wicara, pedagog, dan profesi lainnya yang
memahami persoalan autisme. Dokter spesialis yang cocok untuk
mendeteksi autisme adalah Dokter Spesialis Anak (Sp.A) yang dibantu
oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (Sp.KJ) untuk mengetahui
antara lain tingkat kecerdasan balita, Dokter Spesialis Telinga Hidung
Tenggorok-Bedah Kepala leher (Sp.THT-KL) untuk mengetahui
antara lain pendengaran balita yang tidak/kurang responsif terhadap
suara atau bahkan tidak dapat berkata-kata dan dapat disangka
penderita autisme, padahal bukan.
3. Simtoma klinis menurut DSM IV
a. Interaksi sosial (minimal 2)
1) Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata,
ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju;
2) Kesulitan bermain dengan teman sebaya;
3) Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat;

10
4) Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2
arah.
b. Komunikasi sosial (minimal 1)
1) Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal;
2) Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris;
3) Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip;
4) Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi sosial.
c. Imajinasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1)
1) Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat
khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya;
2) Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak
berguna;
3) Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Sering
kali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu
benda.

C. Etiologi Autis
Menurut Sari ID (2009) Autis merupakan penyakit yang bersifat
multifaktor. Teori pengenai penyebab dari autis diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Faktor genetika
Faktor genetik diperkirakan menjadi penyebab utama dari kelainan
autisme, walaupun bukti kongkrit masih sulit ditemukan. Hal tersebut
diduga karena adanya kelainan kromosom pada anak autisme, namun
kelainan itu tidak selalu berada pada kromosom yang sama. Penelitian
masih terus dilakukan sampai saat ini.
Jumlah anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita autis lebih
banyak dibandingkan perempuan, hal ini diduga karena adanya gen pada
kromosom X yang terlibat dengan autis. Perempuan memiliki dua
kromosom X, sementara laki-laki hanya memiliki satu kromosom X.

11
Kegagalan fungsi pada gen yang terdapat di salah satu kromosom X pada
anak perempuan dapat digantikan oleh gen pada kromosom lainnya.
Sementara pada anak laki-laki tidak terdapat cadangan ketika kromosom X
mengalami keabnormalan. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen
pada kromosom X bukanlah penyebab utama autis, namun suatu gen pada
kromosom X yang mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil
pada perilaku yang berkaitan dengan autis (Wargasetia, 2003).

2. Kelainan anatomis otak


Kelainan anatomis otak ditemukan khususnya di lobus parietalis,
serta
pada sistem limbiknya. Sebanyak 43% penyandang autisme mempunyai
kelainan di lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak tampak
acuh terhadap lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil
(serebelum), terutama pada lobus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung
jawab atas proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan
proses atensi (perhatian). Jumlah sel Purkinye di otak kecil juga ditemukan
sangat sedikit, sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan
dopamin, menyebabkan gangguan atau kekacauan lalu lintas impuls di
otak. Kelainan khas juga ditemukan di daerah sistem limbik yang disebut
hipokampus dan amigdala. Kelainan tersebut menyebabkan terjadinya
gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi. Anak kurang dapat
mengendalikan emosinya, sering terlalu agresif atau sangat pasif.
Amigdala juga bertanggung jawab terhadap berbagai rangsang sensoris
seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, rasa dan rasa
takut. Hipokampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya
ingat. Gangguan hipokampus menyebabkan kesulitan penyimpanan
informasi baru, perilaku diulang-ulang yang aneh dan hiperaktif.
3. Disfungsi metabolik

12
Disfungsi metabolik terutama berhubungan dengan kemampuan
memecah komponen asam amino phenolik. Amino phenolik banyak
ditemukan di berbagai makanan dan dilaporkan bahwa komponen
utamanya dapat menyebabkan terjadinya gangguan tingkah laku pada
pasien autis. Sebuah publikasi dari Lembaga Psikiatri Biologi
menemukan bahwa anak autis mempunyai kapasitas rendah untuk
menggunakan berbagai komponen sulfat sehingga anak-anak tersebut
tidak mampu memetabolisme komponen amino phenolik. Komponen
amino phenolik merupakan bahan baku pembentukan neurotransmiter,
jika komponen tersebut tidak dimetabolisme baik akan terjadi akumulasi
katekolamin yang toksik bagi saraf. Makanan yang
mengandung amino phenolik itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula,
coklat, pisang, dan apel.

4. Teori kelebihan opioid dan hubungan antara diet protein kasein


dangluten.

Pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak sempurna.


Kedua protein ini hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida dari
kedua protein tersebut terserap ke dalam aliran darah dan
menimbulkan “efek morfin” di otak anak. Pori-pori yang tidak lazim
kebanyakan ditemukan di membran saluran cerna pasien autis, yang
menyebabakan masuknya peptida ke dalam darah. Hasil metabolisme
gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan dengan reseptor
opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan dengan mood dan
tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan kasein
menurunkan kadar peptida opioid serta dapat mempengaruhi gejala
autis pada beberapa anak. Sehingga, implementasi diet merupakan
terobosan yang baik untuk memperoleh kesembuhan pasien.

D. Dampak Autis

13
E. Intervensi/Pendidikan Autis

F. Model Pelayanan Autis

PENUTUP

A. Kesimpulan
Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada
seseorang yang kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-
kadang telah dapat dideteksi sejak bayi berusia 6 bulan. Deteksi dan terapi
sedini mungkin akan menjadikan si penderita lebih dapat menyesuaikan
dirinya dengan yang normal. Dua hal yang diyakini sebagai pemicu
autisme adalah faktor genetik atau keturunan dan faktor lingkungan seperti
pengaruh zat kimiawi ataupun vaksin.
Anak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama
maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua sering kali
menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara
tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain.
Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke
waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti
gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang
telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani
autisme.
B. Saran

14
Demikian makalah dari kami, pembahasan tentang Autis, kami
merasa bahwasanya masih terdapat kekurangan dalam penyajian ini.
Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya, Semoga makalah ini
bermanfaat.

15
DAFTAR PUSTAKA

16

Anda mungkin juga menyukai